Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah

(1)

PENERAPAN SISTEM JUAL BELI

MURABAHAH PADA BANK SYARIAH

(Studi Terhadap Pembiayaan Rumah/Properti Pada Bank

Negara Indonesia Syariah Cabang Medan)

TESIS

Oleh:

RIDHA KURNIAWAN ADNANS

057011074/MKn

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

PENERAPAN SISTEM JUAL BELI

MURABAHAH PADA BANK SYARIAH

(Studi Terhadap Pembiayaan Rumah/Properti Pada Bank

Negara Indonesia Syariah Cabang Medan)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan Pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh:

RIDHA KURNIAWAN ADNANS

057011074/MKn

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Telah diuji pada Hari/Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D.

Anggota : 1. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA. 2. Chairani Bustami, SH, Sp.N, MKn.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN. 4. Dr. T. Kheizerina Devi A, SH, CN, M.Hum.


(4)

PENERAPAN SISTEM JUAL BELI MURABAHAH PADA BANK SYARIAH (Studi Terhadap Pembiayaan Rumah/Properti Pada Bank Negara Indonesia

Syariah Cabang Medan)

Ridha Kurniawan Adnans1 H. M. Hasballah Thaib2 Ramlan Yusuf Rangkuti3

Chairani Bustami4

INTISARI

Pada kenyataannya konsep perbankan syariah di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera Utara belum dapat menarik minat umat Islam Indonesia untuk menggunakan lembaga perbankan syariah sebagai bagian dari kegiatan perekonomian mereka. Hal ini antara lain dikarenakan masih banyak pihak yang menganggap bahwa bank-bank syariah tidak ubahnya bank konvensional yang hanya memakai stempel syariah. Misalnya dalam praktek pembiayaan murabahah terhadap rumah/properti, dimana dalam pembiayaan murabahah menghendaki terjadi jual beli antara pemilik barang dengan bank – dan antara bank dengan nasabah. Namun dalam prakteknya, transaksi jual beli yang terjadi adalah transaksi jual beli antara pemilik barang (suplier) dengan nasabah yang dibuktikan dengan penandatanganan akta jual beli yang dibuat dihadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Disini pembiayaan murabahah hampir tidak ada bedanya dengan produk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pada bank konvensional.

Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Penelitian ini dilakukan terhadap sistem jual beli murabahah pada Bank Negara Indonesia Syariah (Bank BNI Syariah) Cabang Medan, dalam kaitannya dengan pembiayaan rumah/properti. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nasabah pengguna jasa pembiayaan murabahah terhadap rumah/properti (nasabah). Karena populasi dalam penelitian ini bersifat homogen maka penarikan sampel hanya dilakukan terhadap 10 (sepuluh) orang nasabah. Selanjutnya pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling.

1

Mahasiswa Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

2

Dosen Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3

Dosen Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

4

Dosen Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.


(5)

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa sistem jual beli murabahah pada Bank BNI Syariah Cabang Medan adalah jual beli yang terjadi antara: pemilik barang (suplier) – bank – nasabah yang dibuat dibawah tangan, kemudian terjadi lagi jual beli antara suplier dengan nasabah dengan akta Notaris/PPAT. Sistem jual beli tersebut tidaklah termasuk ke dalam bentuk jual beli murabahah sebagaimana yang dimaksud oleh Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Ketentuan Umum Murabahah Dalam Bank Syariah Jo. PBI No. 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Dengan sistem tersebut, pada kenyataannya jual beli yang terjadi adalah jual beli antara suplier dengan nasabah, dan peranan bank disini hanya sebagai penyedia pembiayaan saja, bukan sebagai penjual. Disamping itu, pelaksanaan jual beli murabahah pada Bank BNI Syariah Cabang Medan belum dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku karena masih terdapat praktek peralihan hak atas tanah secara di bawah tangan. Hal ini tidak sesuai dengan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Jo. Peraturan Menteri Agraria/KBPN No. 3 Tahun 1997. Penyimpangan ini terjadi karena bank pada kenyataannya dihadapkan pada kendala-kendala dalam penyaluran pembiayaan murabahah, terutama sekali kendala dari segi peraturan perundang-undangan yang memang pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan karena dipandang dapat merugikan dan sangat melemahkan pihak bank.

Disarankan kepada Bank BNI Syariah dalam menyalurkan pembiayaan murabahah senantiasa memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku, baik ketentuan syariah Islam maupun ketentuan hukum positip. Apabila memang pelaksanaan pembiayaan murabahah ini tidak dapat mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, maka sebaiknya produk murabahah ini tidak dipasarkan untuk sementara sambil menunggu terbitnya peraturan baru yang lebih mendukung pelaksanaan produk murabahah ini. Karena itu diharapkan Bank BNI Syariah untuk lebih mengembangkan produk-produk pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang berbasis PLS.

Kata kunci: -Bank Syariah. -Murabahah.


(6)

APPLICATION OF MURABAHAH TRADE SYSTEM IN ISLAMIC BANK (Study On Houses/Properties Financing At Bank Negara Indonesia Syariah

Branch Of Medan)

Ridha Kurniawan Adnans5 H. M. Hasballah Thaib6 Ramlan Yusuf Rangkuti7

Chairani Bustami8

ABSTRACT

Actually, islamic banking concept in Indonesia specially in North Sumatera region has not yet interest for the moslem people in Indonesia to use the islamic banking as part of their economic activities. Because most of people assume that islamic banks are not different to the conventional banks that use the islamic stamp. For example in murabahah financing on houses/properties in wich the murabahah financing requires a trade or selling-buying between the properties owner and bank- and between bank and customer. But in fact, the trade (selling-buying) transaction is a trade between the product owner (supplier) and customer that indicated by the trade deed prepared before the Notary/PPAT. This Murabahah financing is not so differ to the housing ownership loan (KPR) at conventional bank.

This research is descriptive study by using the empiric juridical research metodh. This research is conducted to the murabahah trade system at Bank Negara Indonesia Syariah Branch Of Medan in financing the houses/properties. The population of this research are all the customers of murabahah financing on houses/properties (customer). For the homogenous population in this research, only 10 customers will be able to be sample that took by purposive sampling.

The result of this research indicate that the murabahah trade system applied at Bank Negara Indonesia Syariah Branch Of Medan, is a trade or selling-buying between the supplier – bank – customer in underhanded metodh and then the trade between supplier and customer based on Notarial deed. This trade system did not included into murabahah trade as mentioned in Fatwa (Instruction) DSN N0. 04/DSN-MUI/IV/2000 Concerning To The General Term Of Murabahah In Islamic

5

College Student Of Notary Master, Postgraduate School Of North Sumatera University, Medan.

6

Lecturer Of Notary Master Program, Postgraduate School Of North Sumatera University, Medan.

7

Lecturer Of Notary Master Program, Postgraduate School Of North Sumatera University, Medan.

8

Lecturer Of Notary Master Program, Postgraduate School Of North Sumatera University, Medan.


(7)

Bank Jo. PBI No.7/46/PBI/2005 Concerning To The Contract Of Fund Collecting And Distribution For The Bank Wich Implement The Business Based On Islamic Principle. By the system, the trade is a trade between supplier and customer, and the role of bank is a funder and not as seller. In addition, the trade of murabahah at Bank Negara Indonesia Syariah Branch Of Medan has not yet implemented according to the valid regulation because there are any right transfer on the land in underhanded. This is not suitable to the Government Rule No. 24 Of 1997 Concerning To The Land Registration Jo. Agrarian Minister Rule/KBPN No. 3 Of 1997. This discrepancy caused by the bank faces any obtacles in the distribution of murabahah financing, specially in the applied regulations that can not be applied for the losses and put the bank into the low position.

It is suggested to Bank Negara Indonesia Syariah, in the murabahah financing distribution must pay attention and to be a subject of valid rule either Islamic rule or positve law. If the implementation of muarabahah did not based on the valid rules, the product of murabahah did not marketed temporarily while to wait the issuance of new act that support the marketing of murabahah product. Therefore it is suggested that Bank Negara Indonesia Syariah developes mudharabah and musyarakah financing products wich based on PLS.

Keywords: -Islamic Bank -Murabahah


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Bismillaahirrahmaanirrahiim, dengan ini Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allas s.w.t., yang senantiasa telah memberikan nikmat dan petunjuknya kepada Penulis, hingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “PENERAPAN SISTEM JUAL BELI

MURABAHAH PADA BANK SYARIAH (Studi Terhadap Pembiayaan Rumah/Properti Pada PT. Bank Negara Indonesia Syariah Cabang Medan).

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn), pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, di Medan. Penulisan tesis ini tidak akan mungkin selesai tanpa adanya arahan, bimbingan, bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak, hingga akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.

Untuk itu pada kesempatan ini Penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: Bapak Prof. H. M. Hasballah

Thaib, MA, Ph.D., Bapak Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA., dan Ibu Chairani Bustami, SH, Sp.N, MKn., atas kesediaan Bapak/Ibu dalam memberikan

bimbingan, arahan maupun petunjuk kepada Penulis, sejak awal penyusunan proposal penelitian sampai selesainya penulisan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr.

Muhammad Yamin, SH, MS, CN., dan Ibu Dr. T. Kheizerina Devi A, SH, CN, M.Hum., selaku dosen penguji yang telah sangat banyak memberikan masukan,

petunjuk, dan arahan yang sangat berguna dalam menyempurnakan tesis ini, sejak tahap seminar proposal sampai selesainya penulisan tesis ini.


(9)

Dalam kesempatan ini Penulis juga memberikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Leo Imsar Adnans dan Ibunda Sugati, atas jasa-jasa keduanya yang tak terhingga. “Terima kasih banyak

atas segala yang pernah kalian berikan kepada ananda, sampai kapanpun ananda

tak akan mampu untuk membalas jasa kalian wahai ayahanda dan ibunda, walaupun

hanya seujung kuku.”

Selanjutnya Penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisaa B, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, dan Jajaran Asisten Direkttur beserta seluruh staff, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., dan Ibu Dr. T. Kheizerina Devi A, SH, CN, M.Hum., selaku Ketua Program dan Sekretaris Program Magister Kenotarian, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, yang telah memberikan arahan dan petunjuk dalam penulisan tesis ini. 3. Para Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Magister Kenotarian,

Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, atas jasa mereka yang telah mencurahkan ilmu pengetahuannya dan mendidik Penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

4. Para pegawai/staf pada Program Magister Kenotarian, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, yang senantiasa memberikan bantuannya kepada Penulis selama masa perkuliahan.


(10)

5. Pemimpin Cabang, Bank BNI Syariah Cabang Medan beserta staff, yang telah menginzinkan Penulis untuk melakukan peneltian.

6. Majelis Ulama Indonesia, khususnya kepada Bapak Dr. Lahmuddin Nasution, MA., yang telah meluangkan waktu dan memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melakukan wawancara.

7. Notaris Ella Wijaya A, SH., yang telah meluangkan waktu dan memberi kesempatan kepada Penulis untuk melakukan wawancara.

8. Teman-teman se-angkatan 2005-2006, pada Program Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang sama-sama berjuang dan telah saling membantu dalam menyelesaikan pendidikan ini.

9. Terakhir dan yang tak terlupakan, Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Adinda tercinta Refni Aprilia, yang selalu memberikan semangat dan dorongan. “Terima kasih karena selalu menjadi pendengar yang baik saat

aku berkeluh kesah”.

Akhirnya Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada segala pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu, yang telah turut membantu dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 20 Juli 2007

Salam Dan Hormat Saya,

Penulis


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi

Nama : Ridha Kurniawan Adnans. Tempat/Tanggal Lahir : Medan/17 Juli 1982.

Status : Belum Menikah.

Alamat : Jl. Gagak Hitam, Komplek Bumi Seroja Permai, Blok E-25, Medan Sunggal, Medan, 20128.

II. Keluarga

Nama Ayah : Leo Imsar Adnans.

Nama Ibu : Sugati.

Nama Saudara : 1. Ifrah Rahmiaty.

2. M. Imam Rasyid Mahi.

3. Rabbani al-Faruq.

III. Pendidikan

1. SD HARAPAN MEDAN, Jl. Imam Bonjol, tahun 1988-1994.

2. MTs as-Salaam, Pabelan, Kartasura, Solo - Jawa Tengah, tahun 1994-1997. 3. SMU Negeri 04 MEDAN, tahun 1997-2000.

4. Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, tahun 2001-2005.

5. Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005 s/d sekarang.


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN PANITIA PENGUJI ... iii

INTISARI ... iv

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR SKEMA ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Keaslian Penelitian... 5

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 6

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian ... 11

2. Lokasi Penelitian... 11

3. Populasi Dan Sampel ... 12

4. Sumber Data... 13


(13)

6. Analisis Data ... 14

BAB II JUAL BELI MURABAHAH DI DALAM SYARIAH ISLAM A. Pandangan Islam Terhadap Bank 1. Bank Di Dalam Ekonomi Islam ... 15

2. Bank Syariah Dan Perkembangannya Di Indonesia ... 17

3. Konsep Bank Syariah Di Indonesia ... 20

4. Kegiatan Usaha Bank Syariah... 21

B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Jual Beli 1. Jual Beli Menurut Hukum Islam ... 24

2. Jual Beli Dalam Hukum Perdata ... 28

C. Tinjauan Umum Tentang Murabahah 1. Murabahah Di Dalam Fiqih ... 34

2. Murabahah Di Indonesia ... 37

3. Pelaksanaan Transaksi Murabahah ... 38

BAB III PENERAPAN SISTEM JUAL BELI MURABAHAH TERHADAP PEMBIAYAAN RUMAH/PROPERTI PADA BANK BNI SYARIAH A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Gambaran Umum Perusahaan... 42

2. Filosofi Perusahaan ... 44

3. Produk-produk Bank BNI Syariah Cabang Medan... 47

B. Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Terhadap Pembiayaan Rumah/Properti Pada Bank BNI Syariah... 52


(14)

C. Penyimpangan Dalam Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank BNI Syariah ... 56

BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI OLEH BANK

SYARIAH DALAM PELAKSANAAN PEMBIAYAAN MURABAHAH TERHADAP RUMAH/PROPERTI

A. Kendala-kendala Dari Segi Internal Bank... 67

B. Kendala-kendala Dari Segi Penerapan Peraturan Dan Ketentuan Pembiayaan Murabahah ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran... 78

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 1 : Skema Transaksi Mrabahah……….. 50 Skema 2 : Skema Struktur Organisasi Bank Negara Indonesia


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Pada permulaan perkembangannya perbankan syariah menawarkan produk-produk perbankan yang bebas bunga yaitu: mudharabah dan musyarakah, dua produk-produk yang diasumsikan berdasarkan pada sistem bagi hasil, atau yang populer dikenal sebagai Profit and Loss Sharing (PLS).9 Dengan dua produk itu, bank tidak beroperasi dengan bunga, tetapi berbagi hasil dengan nasabah.10

Namun seiring dengan perjalanan waktu, bank kemudian menyadari bahwa produk-produk yang berbasis PLS adalah sulit untuk diterapkan karena bank disamping berbagi keuntungan dengan nasabah juga harus berbagi kerugian.

Hal tersebut dibuktikan berdasarkan penelitian yang dilakukan Abdullah Saeed terhadap bank-bank Islam yang beroperasi di Timur Tengah, yang menyatakan bahwa bank-bank Islam enggan menjalankan produk-produk bersistem PLS karena resiko yang mungkin diterima oleh bank sangat tinggi, suatu resiko yang bersama dengan berjalannya waktu, telah memaksa bank untuk ‘merenovasi’ bentuk dan isi

musyarakah dan mudharabah hingga berbeda jauh dengan apa yang dapat ditemukan

dalam fiqih, diantaranya ialah di dalam fiqih tidak diizinkan pihak bank untuk mengambil jaminan dari nasabah. Namun pada kenyataannya Bank Islam selalu

9

Profit and Loss Sharing adalah berbagi keuntungan dan kerugian (selanjutnya disebut PLS).

10

Arif Mahtuhin, Dikutip dalam Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, Diterjemahkan Oleh Arif Mahtuhin, Penerbit Paramadina, Cet-I, Jakarta, 2004, hal. ix.


(17)

mengambil jaminan terhadap produk-produk yang berbasis PLS (representasi historis hukum Islam).11

Pada akhirnya bank-bank syariah mencari-cari bentuk produk lain yang lebih menguntungkan yang dikenal dengan murabahah, yaitu suatu sistem jual beli, dimana pihak pembeli – karena satu dan lain hal – tidak bisa membeli langsung barang yang diperlukannya dari pihak penjual, sehingga ia memerlukan perantara untuk bisa membeli dan mendapatkannya. Dalam proses ini, si perantara biasanya menaikkan harga sekian persen dari harga aslinya. Produk ini kemudian menjadi bisnis yang paling populer dan disenangi oleh bank-bank Islam karena nyaris tanpa resiko.12

Sehubungan dengan itu Sunarto Zulkifli memberi komentar bahwa dalam praktek perbankan syariah di Indonesia, apa yang disebut dengan murabahah termasuk ke dalam produk pembiayaan. Produk ini muncul karena bank tidak memiliki barang yang diinginkan oleh pembeli, sehingga bank harus melakukan transaksi pembelian barang yang diinginkan kepada pihak lainnya yang disebut sebagai suplier. Dengan demikian bank bertindak selaku penjual disatu sisi, dan disisi lain bertindak selaku pembeli.13

Konsep perbankan syariah yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat melalui produk-produk yang berlandaskan syariat Islam menurut beberapa pengamat mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun pada kenyataannya masih belum dapat menarik minat umat Islam Indonesia (sebagaimana

11

Ibid.

12

Ibid., hal. x.

13

Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Penerbit Zikrul Hakim, Cet-II, Jakarta, 2004, hal. 62.


(18)

yang diharapkan) untuk menggunakan lembaga perbankan syariah sebagai bagian dari kegiatan perekonomian mereka.

Berdasarkan data terakhir yang diperoleh, aset perbankan syariah khusus untuk wilayah Sumatera Utara (Sumut) hanya 1,9 % dari total aset perbankan di Sumut. Dengan kata lain bank syariah belum diminati oleh masyarakat khususnya masyarakat Sumut.14

Rendahnya minat masyarakat antara lain dikarenakan masih banyak pihak yang menganggap bahwa bank-bank syariah tidak ubahnya bank konvensional yang hanya memakai stempel syariah.

Misalnya dalam praktek pembiayaan murabahah terhadap rumah/properti, dimana dalam pembiayaan murabahah menghendaki terjadi jual beli antara pemilik barang dengan bank – dan antara bank dengan nasabah. Namun dalam prakteknya, transaksi jual beli yang terjadi adalah transaksi jual beli antara pemilik barang (suplier) dengan nasabah yang dibuktikan dengan penandatanganan akta jual beli yang dibuat dihadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta tanah.

Disini bank seolah-olah hanya bertindak sebagai penyedia dana kepada nasabah, dan kedudukan nasabah seringkali bukanlah sebagai pembeli tapi semata-mata sebagai pengguna jasa pembiayaan yang disediakan oleh bank..

Berdasarkan uraian diatas perlu kiranya untuk dilakukan penelitian terhadap produk pembiyaan murabahah pada bank syariah yang dianggap tidak ada bedanya dengan produk kredit pada bank konvensional.

14


(19)

B. Perumusan Masalah.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang terkandung di dalamnya adalah:

1. Bagaimanakah konsep jual beli murabahah menurut syariat Islam?

2. Bagaimanakah penerapan sistem jual beli murabahah terhadap pembiayaan rumah/properti pada Bank BNI Syariah?

3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan sistem jual beli murabahah terhadap pembiayaan rumah/properti pada Bank BNI Syariah?

C. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang murabahah, baik dari sudut pandang hukum Islam maupun dalam hukum positip di Indonesia.

2. Untuk mengetahui penerapan sistem jual beli murabahah terhadap pembiayaan rumah/properti pada Bank BNI Syariah.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembiayaan murabahah terhadap rumah/properti pada Bank BNI syariah, sehingga dapat dicari jalan keluar terhadap faktor-faktor penghambat tersebut.

D. Manfaat Penelitian.

Adapun manfaat dari hasil penelitian ini secara teoritis adalah untuk memberikan suatu sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum perjanjian


(20)

khususnya terhadap praktek pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah, baik dari sudut pandang syariah Islam maupun dari sudut pandang hukum positip.

Secara praktis untuk memberikan masukan bagi lembaga perbankan syariah khususnya Bank BNI Syariah terhadap kegiatan operasional mereka dalam praktek pembiayaan murabahah terhadap rumah/properti (pembiayaan murabahah), sehingga dengan penelitian ini bank diharapkan dapat memahami dan melaksanakan sistem jual beli murabahah secara ideal.

E. Keaslian Penelitian.

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan Penulis, khususnya di lingkungan kepustakaan Universitas Sumatera Utara, sudah pernah ada beberapa penelitian yang mengkaji tentang perbankan syariah, diantaranya adalah:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara AZWAR, Mahasiswa Program Magister Kenotarian Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DALAM OPERASIONAL PERBANKAN ISLAM”, di mana dalam penelitian tersebut titik berat pembahasannya adalah mengenai prinsip-prinsip syariah apa saja yang sudah diterapkan oleh bank syariah.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara AHMAD FAUZI, Mahasiswa Program Magister Kenotarian Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “JAMINAN DALAM AKAD PEMBIAYAAN PADA BANK SYARIAH YANG MENGANDUNG KONFLIK”. Dalam penelitian tersebut


(21)

titik berat pembahasannya adalah mengenai jaminan dalam hal pembiayaan pada bank syariah.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara RIFKI SURYADI, Mahasiswa Program Magister Kenotarian Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK DENGAN PRINSIP-PRINSIP SYARIAH ISLAM”. Dalam penelitian tersebut titik berat permasalahannya adalah mengenai jaminan dalam pembiayaan murabahah dan penyelesaian terhadap pembiayaan macet yang diikat dengan perjanjian murabahah.

Berdasarkan uraian diatas dalam kaitannya dengan penelitian ini, penelitian ini menitik beratkan pembahasannya kepada penerapan sistem jual beli murabahah terhadap pembiayaan rumah/properti, dari pemilik barang – kepada bank – untuk kemudian dialihkan lagi kepada nasabah. Disamping juga penelitian ini membahas tentang faktor-faktor yang sampai saat ini menjadi kendala terhadap pelaksanaan prinsip syariah sehingga bank syariah sulit untuk berkembang.

Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi.

Penelitian ini sengaja mengambil judul “PENERAPAN SISTEM JUAL BELI MURABAHAH PADA BANK SYARIAH (Studi Terhadap Pembiayaan Rumah/Properti Pada PT. Bank BNI Syariah Cabang Medan)”, karena memang pada


(22)

kenyataannya diduga masih terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan sistem jual beli murabahah pada bank syariah. Karena itu tulisan ini hanya akan membahas mengenai sistem jual beli murabahah dalam kaitannya dengan pembiayaan rumah/properi pada Bank BNI Syariah.

Bank merupakan salah satu lembaga yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. Dari segi fungsinya, bank merupakan perantara dari dan kepentingan masyarakat dibidang dana, yaitu kepentingan dari masyarakat yang berkelebihan dana dengan kepentingan dari masyarakat yang membutuhkan dana. Cara menghimpun dana dari masyarakat luas dengan menyalurkan kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit yang merupakan dua fungsi utama bank dari ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang dimaksud dengan bank adalah: ‘Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Dalam rangka menyediakan dana bagi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan ekonomi atau bagi masyarakat untuk malakukan kegiatan yang prodiktif, bank membantu dalam menyediakan dana tersebut, yang dilakukan antara lain melalui usaha pemberian kredit. Karena itu tidaklah berlebihan bilamana dikatakan bahwa kredit merupakan salah satu usaha untuk yang sangat vital.

Mengingat kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko maka “pemberian kredit oleh bank harus dilandasi oleh keyakinan bank atas kemampuan


(23)

debitur untuk dapat melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.15

Oleh karena itu untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya dan tidak mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat dalam setiap pemberian kredit.

Bila Undang-Undang Perbankan diteliti, ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bank untuk menjalankan kegiatan usahanya dibidang perkreditan yakni akan diuraikan sebagai berikut :

a) Keharusan pemberian kredit berdasarkan analisis 5C dan 7P.

Dalam pelaksanaannya untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Dalam hal ini pihak bank harus melakukan penilaian yang umum untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar membutuhkan dan beritikad baik, maka dilakukan dengan analisis lima 5C. dan selanjutnya penilaian suatu ktedit dapat pula dilakukan dengan analisis 7P kredit dengan unsur penilaian sebagai berikut:16

1) Personality yakni mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu maslah dan menyelesaikannya.

2) Party yakni mengklasifikasikan nasabah dalam golongan-golongan tertentu, berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya dan ini mendapat fasilitas yang berbeda dari bank.


(24)

sesuai dengan kebutuhan.

4) Prospect yakni menilai usaha nasabah dimasa yang akan datang menguntungkan atau tidak, karena tanpa mempunyai prospek, bukan saja bank yang rugi akan tetapi juga nasabah.

5) Payment yakni cara pembayaran dari mana sumber dana untuk pengemabalian kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitur ini semakin baik karena jika salah satu rugi dapat ditutupi dengan usaha yang lain.

6) Profitability yakni menganalisis kemampuan nasabah dalam mencari laba yang diukur dalam periode ke periode apakah sama atau meningkat dengan adanya tambahan kredit yang diperoleh.

7) Protection yakni untuk mendapatkan jaminan perlindungan sehingga kredit yang diberikan benar-benar aman, ini berupa jaminan barang atau jaminan asuransi.

Dengan penilaian tersebut diatas dapat dikatakan sebagai studi kelayakan usaha dan biasanya digunakan untuk proyek-proyek yang bernilai besar dan berjangka waktu panjang.

b) Batas maksimum pemberian kredit

Berdasarkan Pasal 11 penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatakan :

Pemberian kredit pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh bank mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat bahwa kredit tersebut


(25)

bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank, resiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dan masyarakat tersebut. Oleh karena itu untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah atau kelompok nasabah debitur tertentu.

Dalam hal ini untuk mengantisipasi hal tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 yang mengatur tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bank umum dengan tujuan untuk dilakukan penyebaran resiko dalam pemberian kredit.

Adapun yang dimaksud dengan bank, secara awam adalah suatu lembaga atau badan usaha yang bergerak di bidang keuangan. Dalam kamus Black Law Dictionary bank diartikan sebagai suatu institusi yang mempunyai peran yang besar dalam dunia komersil, yang mempunyai wewenang untuk menerima deposito, memberikan pinjaman, dan menerbitkan promissory notes yang sering disebut dengan bank bills atau bank notes. Namun demikian, fungsi bank yang orisinil hanya menerima deposito berupa uang logam, plate, emas, dan lain-lain.15

Selanjutnya yang dimaksud dengan bank dalam tulisan ini adalah bank sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 10

15

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 14.


(26)

Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menjelaskan pengertian bank adalah “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menjelaskan pengertian bank umum adalah “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”

Selanjutnya Pasal 1 angka 4 menjelaskan pengertian bank perkreditan rakyat adalah “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”

Sedangkan bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu:

“Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh


(27)

keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).”

Dengan demikian konsep bank syariah di Indonesia adalah bank, baik berbentuk bank umum maupun bank perkreditan rakyat yang menjalankan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah.

G. Metode Penelitian. 1. Sifat Penelitian

Penelitian bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang dikemukakan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris/yuridis sosiologis.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Unit Syariah Bank Negara Indonesia (selanjutnya disebut Bank BNI Syariah), Cabang Medan yang terletak di Jalan Gatot Subroto Nomor 199/210. Adapun alasan Penulis memilih lokasi penelitian tersebut karena BNI Syariah merupakan bagian dari PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.

PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk yang lebih kita kenal dengan Bank BNI adalah termasuk salah satu bank pemerintah tertua dan terbesar sampai saat ini, yang didirikan pada tahun 1946.


(28)

3. Populasi Dan Sampel

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nasabah pengguna jasa pembiayaan murabahah terhadap rumah/properti pada Bank BNI Syariah Cabang Medan.

Selanjutnya untuk mewakili populasi dilakukan penarikan sampel. Karena populasi di dalam penelitian ini adalah populasi yang sifatnya homogen16 maka Penulis hanya mengambil 10 (sepuluh) nasabah pengguna jasa pembiayaan murabahah sebagai sampel dalam penelitian ini, dan tehnik pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling.17

Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara yang akan dilakukan terhadap:

1. 10 (sepuluh) orang nasabah pengguna jasa pembiayaan murabahah terhadap rumah/properti pada Bank BNI Syariah Cabang Medan.

2. 1 (satu) orang pemimpin bidang operasional pada Bank BNI Syariah Cabang Medan.

3. 1 (satu) orang penyelia pemasaran pembiayaan pada Bank BNI Syariah Cabang Medan.

4. 2 (dua) orang Notaris yang pernah membuat akta pada Bank BNI Syariah Cabang Medan.

16

Populasi homogen adalah populasi yang kemungkinan keberagaman unit, strata, ataupun sifat-sifat tertentu dari populasi hampir tidak ditemui. Lihat: Burhan Bungin, Metodologi Penelitian

Sosial, Penerbit Airlangga University Press, Bandung, 2001, hal. 105.

17

Purposive sampling adalah tehnik pengambilan sampel, dimana pengambilan sampel ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sepihak oleh peneliti. Dalam hal ini setiap anggota populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dapat dijadikan sebagai sampel dalam penelitian. Lihat: Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 91.


(29)

5. 1 (satu) orang dari Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara.

4. Sumber Data

a. Data Primer.

Data primer diperoleh dari penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara terhadap para responden dan nara sumber.

b. Data Sekunder.

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dari penelitian/penelusuran kepustakaan yang mempunyai kekuatan mengikat yang dapat dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder dan tertier.18

5. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui:

1. Terhadap Data Pimer, pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang ada kaitannya terhadap permasalahan yang diteliti, dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai alat pengumpul data.19

18

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni berupa norma-norma hukum seperti antara lain: peraturan perundang-undangan. Bahan Hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Lihat: Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, 1986, hal. 55.

19

Di dalam penelitian dikenal tiga jenis alat pengumpul data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara. Lihat: Soerjono Soekanto, Ibid., hal. 66.


(30)

2. Terhadap Data Sekunder, pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen., yaitu dengan menghimpun data yang berasal dari kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku/literatur, karya ilmiah seperti makalah, jurnal, artikel-artikel yang terdapat pada majalah-majalah maupun koran, dan segala tulisan yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti.

Studi dokumen juga mencakup studi terhadap dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan operasional Unit Syariah BNI, yang diperoleh dari Bank BNI Syariah Cabang Medan.

6. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif,20 yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dan pengambilam kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode induktif.

20

Analisis data dibedakan berdasarkan sifat datanya menjadi analisis yang berifat kuantitatif dan kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan pada data yang tidak bisa dihitung (datanya tidak berupa angka-angka statistik). Lihat: Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Penerbit Granit, Jakarta, 2004, hal. 128.


(31)

BAB II

JUAL BELI MURABAHAH DI DALAM SYARIAT ISLAM

A. Pandangan Islam Terhadap Bank. 1. Bank Di Dalam Ekonomi Islam

Bank adalah salah satu lembaga keuangan modern yang memegang peranan sangat vital dalam kegiatan perekonomian saat ini. Hampir tidak mungkin berjalannya kegiatan perekonomian dalam suatu negara tanpa melibatkan jasa perbankan di tengah masyarakat modern sekarang ini, karena bank itu tidak hanya sebatas tempat menyimpan uang, tetapi segala bentuk transaksi bisnis kini ditangani oleh bank.

Sayangnya sistem perbankan itu berasal dan dikembangkan oleh dunia barat yang nota bene tidak mengenal aturan halal haram dan juga riba. Sistem perbankan seperti ini tentu saja bertentangan dengan syariat Islam, sehingga membuat umat Islam serba salah dalam menggunakan jasa perbankan untuk setiap kegiatan bisnis mereka.

Akhirnya timbullah perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai keberadaan bank sebagai lembaga keuangan masyarakat. Sebagian kalangan melihat bahwa sistem ekonomi itu harus mengacu persis dengan sistem yang pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. di masanya. Sebaliknya, bila beliau (Rasulullah) tidak pernah melakukannya, mereka cenderung untuk menafikan sistem itu karena dianggap tidak sesuai dengan sunnah beliau. Maka dengan demikian, praktek


(32)

perbankan (termasuk di dalamnya perbankan syariah) yang sekarang ini ada dianggap tidak berlandaskan kepada apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.21

Sebagian lainnya berpendapat walaupun bank tidak ada di masa Rasulullah s.a.w., namun bila tujuannya baik dan cara-cara yang dilakukannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariah Islam, maka hukumnya boleh dilakukan.22 Mereka menyatakan bahwa keberadaan bank dalam kegiatan ekonomi merupakan bagian dari muamalah sehingga hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah yang menyatakan “segala sesuatunya dibolehkan kecuali ada larangan dalam Quran atau Sunnah”.

Walaupun lembaga perbankan seperti sekarang ini belum dikenal pada masa Rasulullah s.a.w., tetapi fungsi-fungsi utama dalam perbankan seperti menerima titipan uang, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah s.a.w.23

Yang kemudian menjadi permasalahan adalah bahwa praktek perbankan itu lahir dan dikembangkan oleh dunia barat yang dalam operasionalnya melakukan praktek riba yang tidak sesuai dengan syariah Islam.

Gemala Dewi dalam bukunya menyatakan bahwa yang menjadi permasalahan bagi kebanyakan orang terhadap kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan tersebut jika dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam

21

www.syariahonline.com., Konsultasi Muamalat, Argumen Tentang Bank Syariah, diakses pada tanggal 11 Maret 2007.

22

Ibid.

23

Baca: Adiwarman A Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih Dan Keuangan), Penerbit PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2006, hal. 18-19.


(33)

bukanlah dari segi fungsi lembaga tersebut melainkan dari segi konsep usahanya yang menarik keuntungan usahanya terutama dari bunga kredit.24

Atas dasar itulah kemudian timbul keinginan umat Islam untuk membentuk konsep tersendiri bagi lembaga keuangan bank, yaitu bank yang tunduk kepada syariah Islam.

2. Bank Syariah Dan Perkembangnnya Di Indonesia

Oleh karena bunga uang secara fiqih dikategorikan sebagai riba yang berarti haram, di sejumlah negara Islam dan berpenduduk mayoritas muslim mulai timbul usaha-usaha untuk mendirikan lembaga bank alternatif non-ribawi.25

Sebenarnya sudah cukup lama umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia Islam (muslim world) lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah (Islamic Economic System) untuk dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi Umat. Keinginan ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total seperti yang ditegaskan Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 85:26

“… Apakah kalian beriman kepada sebagian Alkitab (Taurat) dan ingkar

terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat

demikian daripada kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan

24

Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan & Perasuransian Syariah Di

Indonesia, Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 53. Lihat juga: M. Hasballah Thaib Dan Iman

Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal.65-80.

25

Adiwarman A Karim, Op.Cit., hal. 22.

26

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Penerbit Gema Insani Press Bekerja Sama Dengan Tazkia Cendikia, Jakarta, 2001, hal. Vii.


(34)

pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah

tidak lengah dari apa yang kalian perbuat.”

Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya bukan hal yang baru dalam tradisi pemikiran intelektual Islam, terutama dalam tradisi para pemikir Islam Klasik yaitu masa kejayaan umat Islam.27

Namun apabila dibandingkan dengan bidang-bidang lain, pemikiran tentang ekonomi Islam tidak semarak dan simultan dengan pemikiran lainnya seperti tasawuf, kalam, fikih, tafsir, hadits dan lainnya. Bahkan dibandingkan dengan pemikiran politik Islam, yang boleh dikatakan “baru” dalam tradisi intelektual Islam, pemikiran ekonomi Islam masih berada dibawahnya.28

Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an, tetapi usaha ini tidak sukses.29 Eksperimen lain dilakukan di Pakistan pada akhir tahun 1950-an, dimana suatu lembaga perkreditan tanpa bunga didirikan di pedesaan negara itu.30

Kemudian disusul dengan didirikannya sebuah bank simpanan lokal (local saving bank) yang beroperasi tanpa bunga di desa Mit Ghamir, ditepi sungai Nil, Mesir pada tahun 1969 oleh Dr. Abdul Hamid an-Nagar.31

Walaupun beberapa tahun kemudian tutup karena masalah manajemen, namun bank lokal ini mencatatkan sejarah yang amat berarti, karena telah mengilhami

27

Muslimin H Kara, Bank Syariah Di Indonesia (Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia

Terhadap Perbankan Syariah), UII-Press, Yogyakarta, 2005, hal. 44.

28

Ibid.

29

Sudin Haron, Dikutip dari Adiwarman A Karim, Op. Cit., hal. 23.

30

Ibid.

31

Ahmad an-Nagar, Muhafazah wal Mu’asarah: Dirasah fil Mashrafiyyah Laa Ribawiyyah, Dikutip dari Muslimin H Kara, Op. Cit., hal. 65.


(35)

konferensi ekonomi Islam di Mekkah pada tahun 1975. Dan dua tahun kemudian lahir Bank Pembangunan Islam (IDB) yang merupakan tindak lanjut dari rekomendasi yang lahir dari konferensi tersebut. Setelah itu muncul bank-bank komersial yang transaksi-transaksinya didasarkan pada ajaran Islam.32

Munculnya bank-bank swasta Islam baik di tingkat desa maupun internasional, diiringi dengan keperluan akan lembaga-lembaga pendukungnya seperti asuransi, karena itu biasanya jika ada bank Islam di suatu negara, maka muncul pula asuransi Islami (takaful).33

Prakarsa untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990, yang berawal dari lokakarya yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 tentang Bunga Bank Dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, dan dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk kelompok kerja yang disebut Tim perbankan MUI. Dan pada tahun 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia sebagai pelopor34 bank syariah di Indonesia.35

32

Ibid.

33

Ibid., hal. 66.

34

Walaupun banyak pihak berpendapat bank muamalat sebagai Bank syariah pertama yang pernah ada di Indonesia, sebenarnya bank Muamalat bukanlah lembaga keungan syariah yang pertama kali berdiri di Indonesia, karena seblumnya telah pernah berdiri Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah, serta BPRS Amanah Rabaniah. (Lihat: Gemalah Dewi, Op. Cit., hal. 62). Bahkan jauh sebelum itu sudah pernah bediri lembaga keuangan syariah Baitul Tamwil Teknosa di Bandung dan Baitul Tamwil Ridho Gusti di Jakarta (Lihat: Adiwarman A Karim, Op. Cit., hal.108).

35


(36)

Berdirinya bank Muamalat membuat geliat ekonomi syariah di tanah air menjadi wacana yang kerap diperbincangkan. Namun tampaknya gagasan-gagasan tentang perekonomian syariah pada masa itu hanya sebatas wacana saja. karena sejak berdirinya Bank Muamalat tidak diikuti dengan tindakan serupa atau dengan kata lain setelah berdirinya Bank Muamalat tidak ada lagi bank-bank syariah yang berdiri.

Sampai akhirnya krisis ekonomi pada tahun 1997 melanda negeri ini, membuat perekonomian menjadi kacau balau dimana pada saat itu sebagian besar bank konvensional bertumbangan, namun Bank Muamalat pada waktu itu tetap dapat bertahan dan dinyatakan sebagai bank yang sehat.

Kemampuan sistem keuangan syariah yang dapat bertahan dari krisis ekonomi akhirnya turut memberi faktor pendukung bagi pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan Undang-Undang-Udang Nomor 10 Tahun 1998. Pemerintah dengan Undang-Undang baru lebih mengakomodasi sistem perbankan Islam diterapkan dalam sistem perbankan nasional dan memberi peluang yang lebih besar bagi pengembangan bank syariah di Indonesia.

3. Konsep Bank Syariah Di Indonesia

Walaupun banyak doktrin-doktrin yang berkembang mengenai sistem/konsep perekonomian Islam,36 namun di Indonesia konsep tentang perbankan syariah

36

Bahwa perkembangan ekonomi Islam dalam tiga dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk kajian akademis di perguruan tinggi maupun secara praktik operasional. Dalam bentuk kajian, ekonomi Islam telah dikembangkan di berbagai universitas, baik di negeri-negeri Muslim maupun di negara-negara Barat, seperti USA, Australia, Inggeris, negara-negara Eropa lainnya.


(37)

mengacu kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 maupun peraturan-peraturan pelaksananya.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, telah membagi bank ke dalam dua bentuk yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (Pasal 1 angka 2 dan 3), yang mana di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 keduanya dapat menjalankan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah, hanya saja kepada bank umum dimungkinkan untuk melakukan dual banking system37 (Pasal 1 angka 3 dan 4).

Sedangkan pengertian dari prinsip syariah dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut:

“Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya

Di Indonesia, perkembangan kajian dan praktek ekonomi Islam juga mengalami kemajuan yang pesat. Kajian-kajian ekonomi Islam telah banyak diselenggarakan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan momentum yang sangat berarti semenjak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Berbagai Undang-undang yang mendukungnya dikeluarkan, seperti UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. (www.waspada.co.id/serba_waspada/mimbar_jumat/artikel.php). Diakses pada tanggal 07-03-2007.

37

Dual Banking System adalah suatu sistem yang memberi kemungkinan bagi bank-bank konvensional untuk dapat membuka unit syariah dengan tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai bank umum (melaksanakan dual banking system).


(38)

pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).”

Dengan demikian konsep bank syariah di Indonesia adalah bank, baik berbentuk bank umum maupun bank perkreditan rakyat yang menjalankan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah.

4. Kegiatan Usaha Bank Syariah

Adapun kegiatan usaha bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai berikut:

“Usaha bank umum berdasarkan prinsip syariah menurut ketentuan pasal 6 huruf m adalah menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.

Secara garis besar kegiatan usaha perbankan syariah meliputi 9 fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 36 – 37 PBI 6/24/PBI/2004:

1. Berkaitan dengan penghimpunan dana. Melakukan penghimpunan dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan (giro dan tabungan berdasar prinsip Wadi’ah) serta investasi (giro, tabungan dan deposito berdasar prinsip Mudharabah).

2. Berkaitan dengan penyaluran dana (langsung dan tidak langsung).


(39)

dan pinjam meminjam) serta tidak langsung/indirect finance (Bank Garansi, Letter of Credit).

3. Berkaitan dengan jasa pelayanan perbankan. Jasa pelayanan perbankan

berdasarkan wakalah, hawalah, kafalah dan rahn. Menyediakan tempat menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah (Safe Deposit Box). Melakukan kegiatan penitipan, termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah (kustodian).

4. Berkaitan dengan surat berharga. Membeli, menjual dan/atau menjamin atas

risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip syariah.

Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan Pemerintah dan/atau BI (SWBI). Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah.

5. Berkaitan dengan lalu lintas keuangan dan pembayaran. Money transfer,

inkaso, kartu debet/charge card, valuta asing (Sharf). 6. Berkaitan dengan pasar modal. Wali amanat (wakalah).

7. Di bidang investasi. Penyertaan modal di bank atau perusahaan lain bidang

keuangan berdasarkan prinsip syariah, seperti: sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan.


(40)

Penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan BI.

8. Pengelolaan dana pensiun. Pendiri dan pengurus dana pensiun (DPLK)

berdasarkan prinsip syariah.

9. Di bidang sosial. Penerima dan penyalur dana sosial (Zakat, Infak, Shadaqah, Waqaf, Hibah).

Selanjutnya usaha bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah menurut ketentuan Pasal 13 huruf c adalah menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Jual Beli.

Di Indonesia, setelah enam puluh tahun kita merdeka dari penjajah Belanda, namun sampai saat ini belum ada produk hukum perdata nasional yang mengatur tentang jual beli. Hal ini mengakibatkan untuk trnsaksi jual beli masih berlaku ketentuan-ketentuan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Bangsa Indonesia sendiri juga mempunyai hukum asli yang dikenal dengan hukum adat, yang pada prakteknya masih berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat. Selain dari dua sistem hukum yang telah disebutkan, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam, mengakibatkan Hukum Islam juga berlaku di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Hal ini sesuai dengan


(41)

tuntutan ajaran Islam yang senantiasa menyuruh pemeluknya untuk berpedoman kepada Sumber Hukum Islam yang utama yaitu al-Quran dan Hadits.

1. Jual Beli Menurut Hukum Islam

Di dalam hukum Islam jual beli termasuk ke dalam lapangan hukum perjanjian/perikatan, atau aqad (Arab). Jual beli adalah merupakan suatu bentuk aqad khusus yaitu tunduk kepada ketentuan khusus tentang aqad jual beli namun tetap tunduk kepada ketentuan umum tentang akad.38

Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar (pertukaran). Kata al-Bai’ (jual) dan asy-Syiraa (beli) dipergunakan biasanya dalam pengertian yang sama, tetapi mempunyai makna yang bertolak belakang.39

Menurut pengertian syariat, jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar).40

Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang jaminan dalam tata perundang-undangan di Indonesia terdapat dalam berbagai peraturan, tidak terkodifikasi dalam satu Undang-Undang tertentu, misalnya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan sebagainya.

38

M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank

Sistem Syariah, Op. Cit., hal. 8-15.

39

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa Oleh Kamaluddin A Marzuki, Jilid 12, Penerbit PT. al-Ma’arif, Bandung, 1987, hal. 44.

40


(42)

Keadaan demikian perlu dimaklumi mengingat dalam suatu negera yang sedang berkembang maka hukum jaminan merupakan salah satu hukum yang dinamis, berkembang sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan masyarakat.

Dalam KUH Perdata, Undang-Undang telah memberikan jaminan bagi setiap kreditur meskipun kedua belah pihak tidak memperjanjikannya, yakni sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan, segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan, kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseim,bangan, yaitu menurut besar kecil piutang masing-masing kecuali apabila diatara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut mengandung asas hukum yang menyatakan bahwa harta kekayaan seseorang dijadikan jaminan untuk semua kewajibannya, yakni semua hutangnya. Jika seseorang mempunyai suatu hutang, maka jaminannya adalah semua kekayaannya yang telah diikat atau yang telah diserahkan pada bank.

Apabila orang bersangkutan tidak dapat membayar hutang-hutangnya, maka benda-benda miliknya itu setelah dijual merupakan sumber pembayaran hutang-hutang tersebut. Hasil dari penjualan banda-benda tersebut harus dibagi diantara para kreditur secara seimbang atau proporsional menurut perbandingan jumlah tagihan


(43)

masing-masing, kecuali bila diantara mereka terdapat pihak yang oleh Undang-Undang telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan lebih dahulu dari penagih (Pasal 1132 KUH Perdata).

Hak untuk didahulukan diantara lainnya itu terbit dari hak istimewa (previlege) yang oleh Undang-Undang diberikan kedudukan istimewa itu, yakni : Orang-orang berpiutang yang mempunyai “hak istimewa”.

1. Orang-orang pemegang gadai. 2. Orang-orang pemegang hipotik.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan istilah jaminan dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 8, yang menyatakan bahwa :

Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petok, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan


(44)

sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang berkaitan dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan “agunan tambahan”.

Dari uraian di atas dapat dipakai bahwa agunan merupakan salah satu unsur dari jaminan kredit. Dengan demikian apabila berdasarkan unsur-unsur yang lain telah diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan hutangnya, maka agunan yang diserahkan dapat hanya berupa proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit tersebut (agunan pokok).

Meskipun agunan tambahan menurut hukum tidak merupakan keharusan namun untuk kredit menegah dan besar umumnya dalam perjanjian kredit dipersyaratkan debitur wajib menyerahkan agunan tambahan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Jaminan yang diperoleh bank ini akan memberikan rasa aman karena disamping sebagai langkah preventif agar bank terhindar dari itikad buruk debitur, barang jaminan juga merupakan salah satu sumber untuk pelunasan kredit macet. Secara rasional, didalam praktek perbankan masih banyak bank yang baik yang tetap meminta jaminan kredit atau collateral dengan sifat-sifat sebagai berikut :

Secured dalam arti dapat diikat secara juridisch perfekt sehingga tidak akan ada klaim dari pihak lainnya.

Worth and marketable dalam arti harga atau nilai jaminan cukup tinggi sehingga dapat menutup kreditnya (saldo debet rekening pinjaman debitur dan laku dijual). Agar jaminan tersebut bisa menjadi secured, maka harus diadakan perjanjian peningkatan, meskipun perjanjian tersebut bersifat accessoir dalam arti perjanjian tambahan dari perjanjian pokok, yakni perjanjian kredit tetapi pengikatan jaminan itu


(45)

harulah sekuat atau sesempurna mungkin dan semuanya bergantung pada jenis jaminan itu sendiri.

Apabila perjanjian kredit batal/berakhir, maka perjanjian hak tanggungan ikut batal/berakhir.Dasar hukum jual beli ini terdapat dalam Al-Quran diantaranya yaitu pada Surat al-Baqarah ayat 275 yang artinya “Dan Allah telah menghalalkan jual beli

dan mengharamkan riba”, dan Surat an-Nisaa ayat 29 yang artinya “Hai

orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan jalan

bathil, kecuali melalui perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu”.

Dalam hukum Islam, bai’u atau menjual sesuatu dihalalkan atau dibenarkan agama asal memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama, dan tidak ada khilaf padanya.41 Karena al-Quran dengan tegas menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Agar perjanjian/akad jual beli yang diadakan oleh para pihak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka perjanjian/akad jual beli tersebut harus memenuhi rukun dan syarat jual beli.

Adapun rukun dari jual beli yaitu meliputi: adanya para pihak, adanya uang dan benda, dan adanya lafaz.42

Sedangkan syarat sahnya perjanjian jual beli terdiri dari:43 1. Syarat yang menyangkut subjek jual beli.

41

Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, hal. 336.

42

Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Penerbit: Citra Media, Yogyakarta, 2006, hal. 34.

43


(46)

Bahwa penjual dan pembeli selaku subjek hukum dari perjanjian jual beli harus memenuhi persyaratan yaitu: berakal sehat, dengan kehendaknya sendiri, keduanya tidak mubazir (pemboros), dan baligh.

Setelah syarat ini terpenuhi, maka perjanjian jual beli dapat dibuat dan harus selalu didasarkan pada kesepakatan antara penjual dan pembeli (Q.S. an-Nisaa:29).

2. Syarat yang menyangkut objek jual beli. a. Bersih barangnya

b. Dapat dimanfaatkan

c. Barang yang dijual milik orang yang melakukan akad

Bahwa barang yang menjadi objek perjanjian harus benar-benar milik pejual secara sah. Dengan demikian jual beli yang dilakukan terhadap barang yang bukan miliknya secara sah adalah batal.

d. Mampu menyerahkannya

e. Barang tersebut diketahui oleh pembeli dan penjual f. Barang yang diakadkan ada di tangan

3. Syarat sah yang menyangkut lafaz.

Sebagai sebuah perjanjian harus dilafazkan, artinya secara lisan atau secara tertulis disampaikan kepada pihak lain. Yang dimaksud dengan lafaz adalah adanya pernyataan ijab dan kabul, atau sighat yaitu serah terima dari kedua belah pihak.


(47)

Disamping dari syarat yang telah dijelaskan diatas, para ulama fiqih juga ada yang mengemukakan syarat lain berkaitan dengan pembedaan antara jual beli benda bergerak dan benda tidak bergerak. Apabila barang yang diperjual belikan itu benda bergerak, maka benda itu langsung dikuasai oleh pembeli dan harga dikuasai penjual, sedangkan barang yang tidak bergerak, dapat dikuasai pembeli setelah surat-menyuratnya diselesaikan menurut ‘urf (kebiasaan) setempat.44

2. Jual Beli Dalam Hukum Perdata

Dalam lapangan hukum perdata, jual beli diatur dalam buku III tentang perikatan/perjanjian, van verbintenissen (Belanda), aqad (Arab). Mengenai istilah verbintenis terjemahannya dalam bahasa Indonesia masih belum ada kesatuan pendapat, ada yang menggunakan istilah perutangan, ada yang menggunakan istilah perikatan, ada pula yang meggunakan istilah perjanjian.45 Wirjono menempatkan jual beli ke dalam bentuk persetujuan.46

Jual beli adalah suatu bentuk perjanjian yang telah diberi nama oleh KUHPerdata sehingga dikatakan juga sebagai perjanjian bernama dan diberikan pengaturannya secara khusus.

44

M. Ali Hasan, Op. Cit., hal. 125.

45

J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Penerbit Alumni, Bandung, Cet-3, 1999, hal 1. Lihat juga: Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 2004, hal. 195.

46

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1985.


(48)

Kalau kita perhatikan susunan Buku III KUHPerdata, maka kita dapat melihat ada bab-bab yang mengatur tentang ketentuan umum tentang perikatan (bab I-IV), dan ada pula bab-bab yang mengatur tentang ketentuan khusus (bab V-XVIII).

Pada dasarnya ketentuan umum berlaku untuk semua perjanjian, kecuali ketentuan khusus menyimpanginya. Dengan perkataan lain, pada asasnya ketentuan khusus didahulukan terhadap ketentuan umum.47

Di dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.

Berkenaan dengan permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, maka jual beli yang akan dibahas pada bab ini adalah jual beli terhadap rumah yang dibangun diatas tanah dan merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu pengertian jual beli rumah dalam tulisan ini haruslah diartikan pula mencakup jual beli terhadap tanahnya, yang tergolong kepada benda tidak bergerak.

Sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka dualisme dalam bidang hukum pertanahan sudah berakhir. Untuk mengakhiri dualisme hak atas tanah tersebut dilakukan konversi hak atas tanah-tanah adat dan tanah-tanah barat kepada hak-hak atas tanah menurut UUPA.

Menurut Effendi Perangin, UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan jual beli tanah. Tetapi biarpun demikian, mengingat bahwa hukum agraria kita sekarang ini memakai sistem dan asas-asas hukum adat,

47


(49)

maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yaitu menurut pengertian hukum adat.48 Namun dalam perkembangan hukum tanah di negara kita, tindakan-tindakan yang berkaitan dengan peralihan hak-hak atas tanah telah mendapat pengaturan dari pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 10 Tahun 1961), yang telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (PP No. 24 Tahun 1997).

Disamping dari apa yang telah dijelaskan, di sebagian daerah di Indonesia masih memberlakukan hukum daerahnya masing-masing yang dikenal dengan hukum adat. Berbeda dengan Hukum Perdata, transaksi dalam hukum adat biasanya tidak dibuat secara tertulis atau kalaupun dibuat secara tertulis tapi tidak teratur. Maka dengan penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual beli dilakukan, maka jual beli itu selesai.49

Transaksi dalam hukum adat bersifat terang dan tunai, terang maksudnya disaksikan oleh sejumlah saksi dari pihak masyarakat, kerabat atau tetangga. Sedangkan tunai yaitu menyangkut pembayaran dan penyerahan objek transaksi, dimana pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan.50

48

Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia (Suatu Telaah Dari Sudut Pandang

Praktisi Hukum), Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 13.

49

Ibid.

50


(50)

Menurut Hilman Hadikusuma, yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum perjanjian adat dengan hukum perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah bahwa hukum perjanjian KUHPerdata bertitik tolak pada dasar kejiwaan kepentingan perseorangan dan bersifat kebendaan, sedangkan hukum perjanjian adat bertitik tolak dasar kejiwaan kekeluargaan dan kerukunan dan bersifat tolong-menolong. Perjanjian menurut KUHPerdata menimbulkan perikatan, sedangkan menurut hukum adat untuk mengikatnya perjanjian harus ada tanda pengikat/tanda jadi yang dikenal dengan istilah panjer (Jawa).51

Dalam perjanjian jual lepas, panjer itu berupa sejumlah uang yang diterima panjual dari pembeli. Apabila dikemudian hari perjanjian batal karena kesalahan penjual maka ia harus mengembalikan panjer dua kali lipat kepada pembeli, sebaliknya jika kesalahan itu dari pihak pembeli sehingga perjanjian batal maka panjer hilang.52

Lain halnya dengan persekot sebagai tanda jadi yang merupakan pembayaran pendahuluan dari pembeli kepada penjual, yang akan dipotong dari harga pembelian ketika pelunasan pembayaran dilakukan. Persekot ini pun dapat hilang apabila perjanjian batal dikarenakan kesalahan dari pihak pembeli, sebaliknya jika tidak dinyatakan sebelumnya, persekot dikembalikan lagi kepada pembeli apabila perjanjian tidak dilanjutkan oleh pihak penjual.53

51

Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 4.

52

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 223.

53


(51)

C. Tinjauan Umum Tentang Murabahah

Jual beli murabahah bukanlah suatu bentuk jual beli yang lazim terjadi pada masyarakat Indonesia. Istilah murabahah itu sendiri bukanlah suatu istilah yang dikenal dalam bahasa Indonesia, melainkan istilah yang berasal dari bahasa arab. Karena itu pembahasan mengenai murabahah pada bab ini dimulai dari pembahasan murabahah di dalam fiqih.

1. Murabahah Di Dalam Fiqih

Adullah Saeed menyatakan dalam bukunya bahwa para teoritisi perbankan Islam berargumen perbankan Islam harus didasarkan pada Profit and Loss Sharing (PLS), bukan berdasarkan bunga. Namun, dalam prakteknya, bank-bank Islam sejak awal telah menemukan bahwa perbankan berdasar PLS adalah sulit untuk diterapkan karena penuh resiko dan tidak pasti. Problem-problem yang terkait dengan pembiayaan ini telah mengakibatkan penurunan bertahap penggunannya dalam perbankan Islam. Oleh sebab itu bank-bank Islam lalu mencari jalan ‘lain’ dengan menggunakan mekanisme pembiayaan yang mirip bunga.54

Mereka (bank syariah) menemukan apa yang di dalam fiqih disebut dengan

murabahah, suatu model jual beli yang pihak pembeli – karena satu dan lain hal –

tidak bisa membeli langsung barang yang diperlukannya dari pihak penjual, sehingga ia memerlukan perantara untuk bisa membeli dan mendapatkannya. Dalam proses ini, si perantara biasanya menaikkan harga sekian persen dari harga aslinya. Produk ini

54


(52)

kemudian menjadi bisnis yang paling populer dan disenangi oleh bank-bank Islam karena nyaris tanpa resiko.55

Udovitch, sebagaimana telah dikutip, mengatakan bahwa murabahah adalah satu bentuk jual beli dengan komisi, dimana si pembeli biasanya tidak dapat memperoleh barang yang diinginkan kecuali lewat seorang perantara, atau ketika si pembeli tidak mau susah-susah mendapatkannya sendiri, sehingga ia mencari jasa seorang perantara.

Hasballah Thaib sebagaimana juga telah dikutip sebelumnya memberikan pengertian murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli namun berbeda dengan jual beli musawwamah (tawar menawar). Murabahah terlaksana antara penjual dan pembeli berdasarkan harga barang, harga asli pembelian si penjual diketahui oleh si pembeli dan keuntungan penjual pun diberitahu kepada pembeli, sedangkan

musawwamah adalah transaksi yang terlaksana antara si penjual dengan si pembeli

dengan suatu harga tanpa melihat harga asli barang.

Kemudian Gemala Dewi dalam bukunya menyatakan bahwa murabahah adalah pembelian oleh satu pihak kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan.56

55

Ibid., Bandingkan dengan pengertian murabahah sebagaimana terdapat dalam buku Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Op. Cit.

56

Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Penerbit Prenada Media Bekerjasama Dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 111.


(53)

As-Shiddieqy menjelaskan dalam bukunya bahwa jual beli murabahah ini merupakan jual beli yang kurang disukai oleh kalangan sahabat Nabi s.a.w., namun oleh beberapa imam mazhab bentuk jual beli murabahah ini dibolehkan.57

Menurut Abdullah Saeed, pada dasarnya murabahah adalah suatu bentuk jual beli, namun bukanlah suatu bentuk transaksi jual beli yang dikenal dalam Islam karena tidak ada hadits yang menjelaskan bentuk jual beli murabahah ini. Para ulama generasi awal semisal Malik dan Syafi’i yang secara khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah adalah halal, tidak memperkuat pendapat mereka dengan satu hadits pun.58

Al-Kaff, menyatakan pendapatnya sebagaimana telah dikutip sebelumnya, menyimpulkan bahwa murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada zaman nabi atau para sahabatnya. Menurutnya, para tokoh ulama mulai menyatakan pendapat mereka tentang murabahah pada seperempat pertama abad kedua Hijriyah, atau bahkan lebih akhir lagi.

Dalam hukum Islam, dibolehkannya jual beli dengan memakai jasa perantara ini didasarkan atas pendapat Ibnu Abbas yang berkata “Juallah pakaian ini, sekiranya lebih dari sekian, maka untuk anda.”59

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa transaksi murabahah adalah transaksi jual beli yang termasuk dalam bidang muamalah yang tidak dikenal pada zaman nabi, dan baru berkembang di kemudian hari pada masyarakat Madinah sehingga ia merupakan ‘urf (adat-istiadat atau kebiasaan setempat) di bidang

57

Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit., hal. 361.

58

Abdullah Saeed, Op. Cit., hal. 119.

59


(54)

muamalah, dan karena dianggap tidak bertentangan dengan syariat Islam maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah yang menyatakan “segala sesuatunya dibolehkan kecuali ada larangan dalam Quran atau Sunnah”.

Dalil yang dapat dijadikan dasar dalam transaksi murabahah merupakan dalil-dalil transaksi jual beli, karena itu dasar-dasar syariah mengenai jual beli dijadikan pula sebagai dasar syariah pada transaksi murabahah.

Adapun dalil-dalil tersebut antara lain yaitu Surat al-Baqarah ayat 275 yang artinya “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”, dan Surat an-Nisaa ayat 29 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

memakan harta sesama kamu dengan jalan bathil, kecuali melalui perniagaan yang

berlaku suka sama suka diantara kamu.”

2. Murabahah Di Indonesia

Ketentuan fiqih di Indonesia yang mengatur tentang transaksi murabahah yang telah diadopsi ke dalam hukum positip diwujudkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang merupakan hasil Ijtihad para ulama Indonesia yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Pengertian murabahah sebagaimana tersebut dalam pasal 1 angka 7 PBI No. 7/46/PBI/2005 adalah: “Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.”

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan


(55)

Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pada Pasal 9, mengenai Penyaluran Dana Berdasarkan Murabahah, Salam dan Istishna’, pada ayat (1) menyatakan bahwa kegiatan penyaluran dana dalam bentuk murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:

a. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang.

b. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.

c. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

d. Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank.

e. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah.

f. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai Bank.

g. Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama periode Akad.

h. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional.


(56)

Pada ayat (2) dinyatakan bahwa dalam hal bank meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e maka berlaku ketentuan sebagai berikut :

a. Dalam hal uang muka, jika nasabah menolak untuk membeli barang setelah membayar uang muka, maka biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut dan bank harus mengembalikan kelebihan uang muka kepada nasabah. Namun jika nilai uang muka kurang dari nilai kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, maka Bank dapat meminta lagi pembayaran sisa kerugiannya kepada nasabah.

b. Dalam hal urbun, jika nasabah batal membeli barang, maka urbun yang telah dibayarkan nasabah menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut, dan jika

urbun tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

3. Pelaksanaan Transaksi Murabahah

Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (selanjutnya disebut DSN) No.04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Ketentuan Umum Murabahah Dalam Bank Syariah adalah sebagai berikut:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.


(57)

3. Bank membiayai sebagaian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pemebelian ini harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.

Dari ketentuan-ketentuan diatas, maka pelaksanaan transaksi murabahah secara ideal fiqih adalah sebagai berikut:60

a. Adanya kesepakatan awal antara bank dan nasabah untuk melakukan transaksi murbahah.

60

Aspek Legal Bank Syariah (Komparasi Hukum Positip Dan Tinjauan Fiqh Muamalah

Maaliyah Tentang Akad-akad Bank Syariah), Makalah Disampaikan Pada Pelatihan Dasar Lembaga


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Pada dasarnya murabahah adalah transaksi jual beli yang termasuk dalam bidang muamalah yang tidak dikenal pada zaman nabi, dan baru berkembang di kemudian hari pada masyarakat Madinah. sehingga ia merupakan ‘urf (adat-istiadat atau kebiasaan setempat) di bidang muamalah, dan karena dianggap tidak bertentangan dengan syariat Islam maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah yang menyatakan “segala sesuatunya dibolehkan kecuali ada larangan dalam Quran atau Sunnah”. Karena itu dasar-dasar syariah yang mengatur mengenai jual beli dijadikan pula sebagai dasar syariah pada transaksi murabahah.

2. Adapun sistem jual beli murabahah pada Bank BNI Syariah Cabang Medan adalah jual beli yang terjadi antara: pemilik barang (suplier) – bank – nasabah yang dibuat dibawah tangan, kemudian terjadi lagi jual beli antara suplier dengan nasabah dengan akta Notaris/PPAT. Sistem jual beli tersebut tidaklah termasuk ke dalam bentuk jual beli murabahah sebagaimana yang dimaksud oleh Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV2000 Tentang Ketentuan Umum Murabahah Dalam Bank Syariah Jo. PBI No. 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan.

3. Penyimpangan ini terjadi karena bank pada kenyataannya dihadapkan pada kendala-kendala dalam penyaluran pembiayaan murabahah diantaranya kendala dari segi SDM dan peraturan perundang-undangan yang tidak


(2)

memihak kepada perkembangan bank syariah. Kendala-kendala ini pada kenyataannya sangat menyulitkan bank untuk dapat melaksanakan pembiayaan murabahah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, terutama sekali kendala dari segi peraturan perundang-undangan yang memang pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan karena dipandang dapat merugikan dan sangat melemahkan pihak bank.

B. Saran.

1. Seluruh kegiatan dalam proses pembiayaan murabahah pada Bank BNI Syariah hendaknya dilakukan dalam bentuk tertulis dengan senantiasa memperhatikan segala peraturan, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan jual beli, baik yang berasal dari syariat Islam maupun hukum positip, dan senantiasa diperhatikan keterkaitannya dengan sistem jual beli murabahah.

2. Apabila penerapan pembiayaan murabahah sulit untuk mengikuti ketentuan yang berlaku, maka hendaknya dicari jalan keluar secara internal.

3. Mengingat hampir 15 tahun keberadaan bank syariah di Indonesia, namun bank syariah pada kenyataannya masih belum dapat menjalankan prinsip-prinsip syariah dan ketentuan hukum positip dalam produk pembiayaan murabahah ini.


(3)

Daftar Pustaka Literatur:

A. Pitlo, Pembuktian Dan Daluwarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Alih Bahasa Oleh: M. Isa Arief, Penerbit

PT. Intermasa, Jakarta, 1968.

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , Penerbit Ichtiar Baru van

Hoeve, Cet-7, Jakarta, 2006.

Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia,

Penerbit: Citra Media, Yogyakarta, 2006.

Abdullah Saeed, Diterjemahkan oleh Arif Maftuhin, Menyoal Bank Syariah,

Penerbit Paramadina, Cet-I, Jakarta, 2004.

Abu Bakar al-Jazaairi, Kitab Minhajul Muslim, Penerbit Daarul Fikri,

Madinah Munawwarah, 1964.

Adiwarman A Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih Dan Keuangan), Penerbit

PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2006.

al-Quran Dan Terjemahannya, Diterbitkan Oleh Mujamma’ al-Malik Fadh

Li Thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif, al-Quran Dan Terjemahannya, Medinah Munawwarah, !990.

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT. Rineka Cipta,

Jakarta, 1996.

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial, Airlangga University Press,

Bandung, 2001.

Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia (Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum), Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1986. Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan & Perasuransian

Syariah Di Indonesia, Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2004.

Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Penerbit Prenada

Media Bekerjasama Dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005,

Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Penerbit Ghalia


(4)

Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Penerbit Bulan Bintang,

Jakarta.

Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Penerbit PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1994.

---, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1992.

Husain Syahathah Dan Siddiq Muhammad al-Amin ad-Dhahar, Transaksi Dan Etika Bisnis Islam, Diterjemakan Oleh: Saptono Budi

Satryo Dan Fauziah R, Penerbit Visi Insani Publishing, Jakarta, 2005.

J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Penerbit Alumni,

Bandung, Cet-3, 1999.

---, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku II,

Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat),

Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank Sistem Syariah, Diterbitkan Oleh Program Pasca

Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005.

M. Hasballah Thaib Dan Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam,

Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004.

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Penerbit

Gema Insani Press bekerja sama dengan Tazkia Cendikia, Jakarta, 2001.

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1999.

Muslimin H Kara, Bank Syariah Di Indonesia (Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah), UII-Press,

Yogyakarta, 2005.

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Penerbit Granit,

Jakarta, 2004.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit


(5)

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa Oleh Kamaluddin A Marzuki, Jilid

12, Penerbit: PT. al-Ma’arif, Bandung, 1988.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta,

1986.

Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Penerbit

Zikrul Hakim, Cet-II, Jakarta, 2004.

Urip Santoso, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, Penerbit Prenada

Media, Jakarta, 2005.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung.

Peraturan Dan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Ketentuan Umum Murabahah Dalam Bank Syariah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/24/PBI/2004, Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005, Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Lain-lain:

Aspek Legal Bank Syariah (Komparasi Hukum Positip Dan Tinjauan Fiqh Muamalah Maaliyah Tentang Akad-akad Bank Syariah),


(6)

Harian Analisa, Kolom Ekonomi Dan Keuangan, Edisi Jumat 15 Desember 2006.

Modul BNI, BNI ICONS (Integrated & Centralized On Line System).

www.syariahonline.com., Konsultasi Muamalat, Argumen Tentang Bank

Syariah.