60
Kecerdasan Yūsuf al-Qardhāwī sudah mulai tampak sejak usianya terhitung sangat belia, ketika usianya lima tahun ia di didik menghafalkan Al-
Qur‟an secara intensif oleh pamannya dan pada usianya yang kesepuluh sudah hafal al-
Qur‟an dengan fasih. Karena kemahirannya dalam bidang al- Qur‟an pada masa remajanya ia terbiasa dipanggil oleh orang-orang dengan
sebutan Syekh Qardh āwī. Dan dengan kemahirannya serta suaranya yang
merdu, ia selalu ditunjuk untuk menjadi imam pada salat jahriyyah salat yang mengeraskan bacaannya.
37
Dalam pendidikan, Yūsuf al-Qardhāwī telah lulus dari Ma‟had Tanta, selama empat tahun. Kemudian di Ma‟had Sanawi yang diselesaikan dalam
waktu lima tahun. Yūsuf al-Qardhāwī kemudian melanjutkan pendidikannya
ke Universitas Al-Azhar Cairo, beliau mengambil Fakultas Ushuludin, jurusan Tafsir Hadis dan lulus pada tahun 1953 dengan predikat terbaik.
Pada tahun 1957 Yūsuf al-Qardhāwī masuk ke Ma‟had al-Buhus ad- Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah sehingga mendapatkan diploma tinggi di bidang
bahasa dan sastra. Di jurusan ini pun ia lulus dengan peringkat pertama di antara 500 mahasiswa. Kemudian melanjutkan studinya ke lembaga tinggi
riset dan penelitian masalah-masalah Islam dan perkembangannya, selama tiga tahun. Dan pada saat yang sama ia mengikuti kuliah pada program pasca
sarjana Dirāsāt al-Ūlā di Universitas yang sama dengan mengambil jurusan
37
Ensiklopesdi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, cet.I Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996, V: 1448, artikel “al-Qardhāwy, Yūsuf ”.
61
Tafsir Hadis, berhasil diselesaikan pada tahun 1960. Setelah itu Yūsuf al- Qardh
āwī melanjutkan program doktor yang selesai dalam dua tahun, gelar doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat Dan
Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif
membahas persoalan zakat dengan nuansa modern. Yūsuf al-Qardhāwī terlambat dalam meraih gelar doktor dari yang
diperkirakan semula karena ia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Pada tahun 1961 beliau menuju Qatar,
di sana Yūsuf al-Qardhāwī sempat mendirikan fakultas Syari‟ah di
Universitas Qatar. P ada saat yang sama Yūsuf al-Qardhāwī mendirikan Pusat
Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi.
Sebab yang lain yaitu pada tahun 1968-1970,
Yūsuf al-Qardhāwī ditahan oleh penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan
Ikhwanul Muslimin.
38
Setelah keluar dari tahanan, beliau hijrah ke Daha, Qatar yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalan hidupnya, Yūsuf al-Qardhāwī pernah mengenyam
pendidikan penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, ia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya
dalam pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun. Pada April tahun 1956, ia
38
David Commins, “Hasan al-Banna 1906-1949, para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa Ilyas Hasan Bandung: Mizan, 1995, hlm. 133
62
ditangkap lagi saat terjadi revolusi Juni di Mesir. Bu lan Oktober Yūsuf al-
Qardh āwī kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun.
39
b. Metode ijtihad Yusuf Al-Qardhawi
Yūsuf al-Qardhāwī adalah seorang pemikir produk sejarah.
40
Oleh karena itu, untuk membaca pemikirannya, aspek historis yang mengitarinya
tidak dapat dilepas begitu saja, nam un jelas pemikiran Yūsuf al-Qardhāwī
tidak dapat dilepas dari pemikiran Islamnya. Sikap moderat sering dilekatkan pada pribadi Yūsuf al-Qardhāwī. Sikap moderat tersebut tidak dapat
diabaikan, karena hampir dalam semua ka rya Yūsuf al-Qardhāwī selalu
mengedepankan prinsip al-Wasatiyah al-Islamiyah Islam pertengahan. Corak pemikiran pertama yang bisa ditangkap dengan jelas dari pemahaman
Yūsuf al-Qardhāwī adalah pemahaman fiqhnya yang mampu menggabungkan antara fiqh dan hadis. Ciri seperti ini merupakan ciri yang tidak pernah lepas
dari tulisan-tulisannya secara keseluruhan. Sebagai ulama yang memiliki kepekaan apresiasi tinggi terhadap al-
Qu r‟an dan as-Sunah, Yūsuf al-Qardhāwī telah berhasil dengan sangat jenius
menangkap ruh dan semangat ajaran kedua sumber hukum Islam tersebut. Fleksibelitasnya, kedalaman dan ketajamannya dalam menangkap ajaran
Islam sangat membantunya untuk selalu bersikap arif dan bijak, namun pada saat yang sama ia pun sangat kuat dalam mempertahankan pendapat-
39
Yūsuf al-Qaradāwī, Tentang Pengarang, http: www. ISNET, akses 9 Juli 2004
40
A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” Paradigma Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I, Juli-Desember 1998, hlm. 58.
63
pendapatnya yang digalinya dari al- Qur‟an dan as-Sunnah. Yūsuf al-
Qardh āwī dengan gencar mengedepankan Islam yang toleran serta kelebihan-
kelebihannya oleh umat-umat lain diluar agama Islam. Ia juga sangat berhati- hati dan sangat selektif terhadap berbagai propoganda pemikiran Barat atau
Timur, termasuk dari karangan u mat Islam sendiri, Yūsuf al-Qardhāwī tidak
pernah terjebak dalam dikotomi Barat dan Timur.
41
Dala m masalah ijtihad, Yūsuf al-Qardhāwī merupakan seorang ulama
kontemporer yang menyuarakan bahwa menjadi seorang ulama mujtahid yang berwawasan luas dan berpikir obyektif, ulama harus lebih banyak membaca
dan menelaah buku-buku agama yang ditulis oleh orang non Islam serta membaca kritik-kritik pihak lawan Islam.
42
Yūsuf al-Qardhāwī adalah salah seorang dari sedikit ulama yang tak jemu mengembalikan identitas umat melalui tulisan-tulisannya. Keresahan
menyaksikan tragedi perpecahan umat dan galau akan kebodohan umat terhadap ajaran Islam menjadi titik tolak sikapnya mengembangkan budaya
menuli s. Sekali lagi, Yūsuf al-Qardhāwī berkeyakinan bahwa mengambil
jalan pertengahan sikap moderat adalah yang terbaik dan yang paling sesuai dengan warisan nilai Islam. Dan cara menyebarkan opini itu adalah melalui
tulisan.
41
Sri Vira Chandra, “DR Yūsuf al-Qaradāwī: Revolusi Pemikiran Lewat Ikatan Ilmu, Sabili, No. 25, Th. VII 31 Mei 2000, hlm. 80
.
42
Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1449
64
Menanggapi adanya golongan yang menolak pembaharuan, termasuk pembah
aruan hukum Islam. Yūsuf al-Qardhāwī berkomentar bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti jiwa dan cita-cita Islam dan tidak
memahami parsialitas dalam kerangka global. Menurutnya, golongan modern ekstrem yang menginginkan bahwa semua yang berbau kuno harus
dihapuskan meskipun telah mengakar dengan budaya masyarakat, sama dengan golongan di atas yang tidak memahami jiwa dan cita-cita Islam yang
sebenarnya. Yang diinginkannya adalah pembaharuan yang tetap berada di bawah naungan Islam. Pembaharuan hukum Islam, menurutnya bukan berarti
ijtihad semata, karena ijtihad lebih ditekankan pada bidang pemikiran dan bersifat ilmiah, sedangkan pembaharuan harus meliputi bidang pemikiran
sikap mental dan sikap bertindak yakni ilmu, iman dan amal.
43
Dalam metode ijtihad yang ditempuh oleh Yūsuf al-Qardhāwī dalam
berfatwa ini ditegaskan atas beberapa prinsip sebagai berikut:
44
1 Tidak fanatik dan tidak taqlid.
2 Mempermudah, tidak mempersulit
.
3
Berbicara dengan bahasa aktual.
4
Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
5
Bersikap moderat: antara memperlonggar dan memperkuat.
43
Yūsuf al-Qaradāwī, Umat Islam Menyongsong Abad 21 Ummatuna Baina Qarnain, alih bahasa Yogi P. Izza, Solo: Intermedia, 2001, h. 327.
44
Yūsuf al-Qaradāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer Fatawa Mu‟asirah, alih bahasa As‟ad Yasin Jakarta: Gema Insani Press, 1996, h: 21
65
6
Memberikan hak fatwa berupa keterangan dan penjelasan.
3. Wahbah al-Zuhaili
a. Riwayat Hidup
Wahbah al-Zuhaili lahir di Desa Dir Athiah, Damaskus, Syiria, pada tahun 1932 M, terlahir dari pasangan H. Mustafa dan Hj. Fatimah binti Mustafa
Sadah. Wahbah Zuhaili mulai belajar al-Quran dan Ibtidaiyah di kampungnya. Menamatkan pendidikan ibtidaiyah di Damaskus pada tahun 1946 M. Wahbah
Zuhaili lalu melanjutkan pendidikannya di kuliah syariah dan tamat pada tahun 1952 M. Dia sangat suka belajar, sehingga ketika pindah ke Kairo
Mesir, dia mengikuti beberapa kuliah secara bersamaan. Yaitu di fakultas Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar dan fakultas Hukum Universitas Ain
Syams.
45
Wahbah Zuhaili memperoleh ijazah takhasus pengajaran Bahasa Arab di al-Azhar pada tahun 1956, kemudian memperoleh ijazah Licence Lc bidang
hukum di Universitas Ain Syams pada tahun 1957. Magister Syariah dari fakultas Hukum Universitas Kairo didapatnya pada tahun 1959. Sedangkan
gelar Doktor diperoleh pada tahun 1963. Setelah memperoleh ijazah Doktor, Wahbah Zuhaili menjadi staf pengajar
pada fakultas Syariah, Universitas Damaskus pada tahun 1963, kemudian
45
Sayyid Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum, Teheran: Wizanah al Tsiqafah wa al-Insyaq al-Islam, th. 1993, cet. I., h. 684-685
66
menjadi asisten dosen pada tahun 1969, dan menjadi profesor pada tahun 1975. Sebagai guru besar, Wahbah Zuhaili juga menjadi dosen tamu di
sejumlah Universitas di Negara-negara Arab, seperti pada fakultas Syariah dan Hukum, serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas Benghazi Libya,
Univeresitas Khurtum, Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya berada di Sudan.46
Wahbah Zuhaili sangat produktif dalam menulis, mulai dari artikel dan makalah, sampai kitab besar yang terdiri dari 16 jilid. Badi al-Lahlam
menyebutkan sebanyak 199 karya tulis Wahbah Zuhaili selain jurnal. Diantara karya-karya terpenting Wahbah Zuhaili adalah al-Fiqh al-Islam
wa adillatuhu, at-Tafsir al-Munir, al-Fiqh al-Islam fi Uslubih al-Jadid, Nazariyat adh-Dharurah asy-Syariyah, Ushul al-Fiqh al-Islami, as-Zharaiah
fi as-Siyasah asy-Syariah, al- Alaqat ad-Dualiyah fi al-Islam, Kitab karyanya yang membuat Wahbah Zuhaili menjadi terkenal dan
banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran fikih kontemporer adalah al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Kitab ini berisi fikih perbandingan, terutama
madzhab-madzhab fikih yang masih hidup dan diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia.
47
46
Muhammad Khoirudin, Kumpulan Biografi Ulama Kontemporer, Bandung: Pustaka Ilmu, 2003.
47
wahbah Zuhaili, Fiqh IslamWa Adillatuha, Penerjemah Abdul Hayyi al-Kattani, dkk Jakarta: Gema Insani, 2011
67
b. Ijtihad Wahbah Zuhaili
Ijtihad kontemporer menjadi suatu kebutuhan primer terutama pada era
globalisasi dengan
dinamika problematika
keumatan dan
perkembangan teknologi yang cukup pesat. Hampir semua ulama kontemporer menyatakan akan wajibnya berijtihad bagi siapa saja yang
telah mampu dan memenuhi kriteria untuk berijtihad. Bagi Wahbah Zuhali, tuntutan perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan di masa
ini mengharuskan kita untuk menggunakan ijtihad sebagai instrumen pengambilan hukum. Menurut Yusuf Qardhawi, dalam bukunya al-Ijtihâd
al- Mu‟âshir bain al-Indhibath wa al-Infirâth, ijtihad kontemporer bukan
hanya jaiz boleh akan tetapi lebih kepada fardhu kifayah bagi setiap muslim. Beliau mengkritisi model ijtihad Intiqâi elektis yaitu pilihan
terhadap pendapat ulama fiqh terdahulu yang lebih kuat atau utama dari pendapat-pendapat para ulama lainnya tentang fatwa atau hukum sesuatu.
Beliau mengatakan hal semacam ini bukanlah proses ijtihad yang diinginkan, akan tetapi ini sebuah taklid buta karena hanya mengambil
perkataan seorang yang tidak ma‟shum suci tanpa suatu alasan. Beliau lantas menganjurkan untuk menggunakan model ijtihad Insyâî
konstruktif yaitu penemuan hukum baru terhadap suatu masalah, yang belum pernah difatwakan. Termasuk dalam kategori Ijtihad Insyâî
mengkaji kembali permasalahan-permasalahan lama, hingga menemukan pendapat baru. Ada rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh setiap
68
mujtahid dalam berijtihad di era kontemporer. Di antara rambu-rambu itu, seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Bu‟ud dalam bukunya , Ijtihad, baina
haqaiq al-tarikh wa mutathalibat al-waqi, adalah sebagai berikut: Pertama, fikih nashiy dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Yaitu
penguasaan yang mendalam terhadap al-Quran dan Sunah, dan menghindari sedapat mungkin terjadi kesalahan dalam pemahaman. Oleh
karena itu beberapa kaidah dalam memahami teks harus dimiliki oleh seorang mujtahid, diantaranya; a memiliki kapabilitas dalam pengetahuan
bahasa Arab, b mengetahui sebab turunnya sebuah ayat atau hadis asbab al-nuzul wa al-wurud, c mengetahui tujuan atau maksud dari turunnya
ayat tersebut maqashid al- Syari‟ah.
Kedua, fikih realitas al- waqa‟iy Hal kedua yang harus dilakukan oleh
mujtahid setelah memahami teks al-Quran dan Sunah adalah memahami realita atau yang sering diistilahkan dengan fiqh al-
waqi‟, yaitu pemahaman yang integral terhadap sebuah obyek atau realitas yang
dihadapi oleh manusia dalam ranah hidupnya. Adapun hal-hal yang mencakup fiqh al-
waqi‟ adalah: a Memahami dan mengetahui pengaruh- pengaruh alami yang muncul di lingkungan sekitarnya, terutama kondisi
geografis wilayah tertentu dimana mujtahid tersebut hidup dan tinggal. b Mengetahui kondisi sosial kemasyarakatan dan transformasinya dalam
berbagai bentuk yang memiliki keterikatan sosial dengan manusia, baik dalam ranah agama, budaya, ekonomi, politik atau militer. c Mempelajari
69
kondisi psikologi manusia sekitarnya. Karena antara realitas dan sisi dalam kemanusiaan individu manusia memiliki keterikatan yang kuat,
keduanya tidak bisa dipisahkan. Ketiga, ijtihad kolektif jama‟iy. ijtihad kontemporer hanya bisa
dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif ijtihâd jamâ‟îy, kecuali ketika keadaan benar-benar mendesak. Kebutuhan ijtihad kolektif didasari
oleh realita dan problematika masyarakat yang komplikatif, yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja, walaupun orang
tersebut memilki kapabilitas. Maka, keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu,
mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Dengan ijtihad kolektif, aktifitas musyawarah syûrâ dapat terwujud. Problem solving Solusi
masalah akhirnya dapat ditemukan. Yusuf Qardhawi mengingatkan kepada para ulama agar tidak
tergelincir dalam melakukan ijtihad kontemporer. Diantara penyebabnya adalah: 1. Melupakan atau melalaikan nushush Al-Quran dan Hadits serta
hukum-hukum yang telah disepakati 2. Pemahaman yang dangkal dan penyim
pangan terhadap nushush. 3. Berpaling dari ijma‟ yang pasti. 4. Qiyas analogi tidak pada tempatnya. 5. Terhanyut kedalam apa yang
70
terjadi di masa kini. 6. Berlebih-lebihan dalam mengasumsi maslahat walaupun diikuti dengan adanya nushush.
48
4. Syaikh Ali Jumu‟ah
a. Riwayat Hidup
Nama lengkap beliau adalah Ali Jumah Muhammad Abdul Wahhab lahir 3 Maret 1952 di Bani Suwayf, Mesir. Sejak 28 September 2003
beliau menjabat sebagai Mufti Republik Arab Mesir. b.
Latar Belakang Syaikh Ali Jumah mulai menghafal Al-Quran pada usia sepuluh
tahun. Meskipun beliau tidak masuk sekolah agama, beliau telah mempelajari kutubu sittah serta fiqih Maliki usai lulus dari bangku SMA.
Kemudian beliau masuk fakultas teknik atau fakultas perdagangan. Beliau memilih Fakultas perdagangan karena bidang ini yang akan
memungkinkan dia untuk mengisi waktu luang ketika melanjutkan studi agama.
Setelah lulus dari perguruan tinggi, Sheikh Ali Jumah terdaftar di Universitas al-Azhar. Setelah menyelesaikan gelar sarjana kuliah Dirasat
Islamiyyah wal Arabiyyah Universitas al-Azhar pada tahun 1979, Sheikh Ali Jumah terdaftar dalam program magister dalam Ushulul Fiqih kuliah
Syariah wal Qanun Universitas al-Azhar. Beliau memperoleh gelar
48
http:www.as-salafiyyah.com wahbah-zuhaili-dan-ijtihad-kontemporer.html. Diakses tanggal 24 januari 2014
71
magister pada tahun 1985 dengan nilai mumtaz. Diikuti dengan gelar doktor dalam Ushulul Fiqih Kuliah Syariah wal Qanun Universitas al-
Azhar tahuan 1988 M dengan nilai Syaraf Ula. Selain studi resminya, Sheikh Ali Jumah juga belajar kepada banyak
syekh dan ahli ilmu-ilmu syariah. Diantaranya ulama hadits Maroko dan Syekh Abdullah bin Siddiq al-Ghumari. Sehingga mereka menganggap
Syekh Ali Jumah adalah salah satu mahasiswa yang paling berhasil. Selain itu Syeikh Ali Jumah juga belajar pada: Sheikh Abd al-Fattah
Abu Ghuda, Sheikh Muhammad Abu Nur Zuhayr, Sheikh Jad al-Rabb Ramadan Goma, Sheikh al-Husayni Yusif al-Shaykh, Sheikh Muhammad
Yasin al-Fadani, Sheikh Abd al-Jalil al-Qarnishawi al-Maliki, Sheikh al- Azhar Sheikh Jad al-Haqq Ali Jadd al-Haq, Sheikh Abd al-Aziz al-Zayat,
Sheikh Ahmed Muhammad Mursi al-Naqshibandi, Sheikh Muhammad Zaki Ibrahim, and Sheikh Muhammad Hafidh al-Tijani.
Sebelum diangkat menjadi Grand Mufti Republik Arab Mesir, beliau menjadi rujukan dalamManahij Fiqhiyyah di Universitas al-Azhar. Di
pertengahan 1990 Sheikh Ali Jumah mencetuskan kembali tradisi lama yaitu memberi pelajaran agama di masjid al-Azhar, yang mana pelajaran
ini terbuka untuk umum sehingga orang-orang yang ingin lebih mendalami tentang agama, bisa mengikuti pelajaran ini. Kuliah umum ini
terletak di ruangan dekat masjid al-Azhar.
72
Pada tahun 2003 Sheikh Ali ditunjuk sebagai Grand Mufti Mesir. Sejak menjabat sebagai Grand Mufti Republik Arab Mesir, beliau
membuat Dar al-Ifta menjadi sebuah institusi modern dengan dewan fatwa dan sistem checks and balances . Sheikh Ali Jumah juga
menambahkan aspek teknologi untuk institusi tersebut dengan mengembangkan sebuah website canggih dancall center dimana orang
semakin mudah untuk meminta fatwa tanpa harus datang ke institusi tersebut.
Sheikh Ali adalah seorang penulis yang produktif tentang isu-isu Islam dan ia menulis kolom mingguan di surat kabar al-Ahram Mesir di
mana ia membahas masalah-masalah kontemporer. c.
Pendidikan 1.
Beliau mendapat gelar Bachelor of Commerce dari Universitas Ain Syams tahun 1973 M.
2. Beliau juga mendapat gelar sarjana kuliah Dirasat Islamiyyah wal
Arabiyyah Universitas al-Azhar tahun 1979 M. 3.
Magister dalam Ushulul Fiqih kuliah Syariah wal Qanun Universitas al-Azhar tahun 1985 M dengan nilai mumtaz.
4. Mendapat gelar doktor dalam Ushulul Fiqih Kuliah Syariah wal
Qanun Universitas al-Azhar tahuan 1988 M dengan nilai Syaraf Ula. d.
Karya-karya 1.
al-Hukm al-Shar‟i inda al-Ushuliyyin 2.
Atsr Dhihab al-Mahal fi al-Hukm
73
3. al-Madkhal li-Darasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah
4. Alaqah Ushul al-Fiqh bi al Falasifah
5. al-Nashkh inda al-Ushuliyyin
6. al-Ijma inda al-Ushuliyyin
7. Aliyat al-Ijtihad
8. al-Imam al-Bukhari
9. al-Imam al-Syafi‟i wa Madrasatuhu al-Fiqhiyyah
10. al-Awamir wa al-Nawahi
49
49
http:www.muslimedianews.com biografi-ulama-sunni-syaikh-ali-jumah.html. Diakses pada tanggal 24 januari 2014
74
BAB IV HUKUM PRAKTEK JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI