Pengertian Nikah Sirri Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Nikah Sirri

19 Artinya : “Hai pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yng mampu serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan akan memeliharanya dari godaan-godaan syahwat dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah berpuasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang”. H.R. Al- Bukhari. Dari ayat dan hadist diatas, dapat penulis simpulkan di sini antara lain : 1. Nikah merupakan suatu perintah agama. 2. Nikah dihukumkan wajib bagi orang yang mampu lahir bathin. 3. Nikah untuk menjaga dirinya dari perbuatan yang dilarang Allah SWT.

B. Pengertian Nikah Sirri

Nikah sirri berasal dari kata sirriyyun yang berarti secara rahasia atau secara sembunyi-sembunyi. Jadi perkawinan sirri adalah perkawinan yang dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, itu dimaksudkan bahwa perkawinan itu dilakukan semata-mata untuk menghindari berlakunya hukum negara yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam prakteknya perkawinan sirri ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam di Indonesia, yang memenuhi baik rukun- 19 Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail, Shohih al-Bukhari, Semarang, Toha Putra tt, Juz 6, h. 117 rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. 20 Menurut A. Zuhdi, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan diluar pengetahuan petugas resmi PPNKepala KUA, karenanya pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami istri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah 21 . H. masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nikah sirri adalah nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syari’at islam saja namun karena terbentur PP no. 10 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil jo. PP No. 45 1990, pernikahan tersebut dilakukan secara diam-diam, dan dirahasiakan untuk menghindari hukuman disiplin. Dilihat dari kata-katanya, sirri itu berarti sembunyi-sembunyi atau tidak terbuka. Jadi nikah sirri bisa bararti nikah sesuai dengan ketentuan Agama, tetapi tidak dicatat didalam pencatatan administrasi pemerintah KUA dan lain-lain , atau nikah sesuai dengan ketentuan agama islam dan dicatat oleh pencatat nikah, tetapi tidak dipublikasikan dalam bentuk walimah.

C. Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Nikah Sirri

20 Ramulya Idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1947, Jakarta, Bumi Aksara, 1996, h. 239 21 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk. Bandung : Al-Bayan,1994, cet. 1, h. 22 1. Nikah Sirri Menurut Hukum Islam Dalam Hukum Islam Nikah Sirri bukan masalah baru, sebab dalam kitab Al- Muwatha karya Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri berasal dari ucapan Umar Ibnu al- Khattab r.a : ِﻪ ﱠﻻ ، : ِّﺮ ِﺠ ِﻓِﻪ 22 Artinya : “Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang menikah tanpa saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata : ini nikah sirri, aku tidak membolehkannya, seandainya kamu melakukannya pasti aku rajam” Pengertian nikah sirri dalam persepsi Umar tersebut adalah bahwa syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria Umar dapat dipandang sebagai nikah sirri. 23 Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat- syarat pada saksi itu sendiri. Mengenai saksi ini Para Imam Mazhab Abu Hanifah, Syafi’I dan Maliki telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, 22 Abi Abdillah Malik bin Anas Al-Asbahi, Muwatha Imam Malik, Kairo : Al-Maktabah Al- Islamiyah, 1967, juz 2. H. 179 23 Mahful M. dan Herry Mohammad, Fenomena Nikah Sirri, Jakarta : IKAPI, 1996, cet. 1. H. 31 bahkan Syafi’I berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah, dan tidak sah pernikahan tanpa dihadiri saksi. Berdasarkan dalil : ِﻠ ِﻦ ِﻟ ﺎ ٍﺪ ِﻌ ِﻦ ِﺮ ٍﺮ ِﺪ ِﻦ ِﻦ ِﻢ ِﻌ ِﺪ ِﻦ ٍﺮ ﺎ : ﺎ ِﻟ ِّﻲ ِﺷٍﺪ 24 Artinya : “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cakap”. Menurut Jumhur Ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi-saksi tidak sah. Jika ketika ijab qabul tidak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain, pernikahannya tidak sah. 25 Beberapa syarat yang harus ada pada seseorang yang menjadi saksi adalah : berakal sehat, dewasa, dan mendengar omongan kedua belah pihak yang berakad, serta memahami bahwa ucapan-ucapannya itu maksudnya adalah ijab qabul pernikahan. Bila para saksi itu buta, maka hendaklah merekabisa mendengarkan suaranya dan mengenal betul suara tersebut adalah suaranya kedua orang yang berakad. Jika yang menjadi saksi itu anak-anak, atau orang gila, atau orang yang sedang mabuk, maka nikahnya tidak sah, sebab mereka dipandang tidak ada. 26 24 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, juz 5, h. 19 25 Sayid Sabiq, Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 6, Bandung, PT Alma’arif, 1973, cet . 1 , h. 87 26 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Bandung : CV Pustaka Setia, 1996, cet. Ke-1, h. 101 Ibnu Qudamah membedakan antara saksi dan pengumuman. Menurutnya saksi termasuk rukun nikah yang harus ada wajib ketika melakukan akad nikah, sedangkan pengumuman adalah hal lain diluar akad nikah, yang hukumnya hanya sunah. Fungsi saksi dalam pernikahan oleh Ibnu qadamah disebut lebih rinci, yakni ada dua : pertama ; untuk menghindari adanya tuduhan zina, dan kedua ; untuk menghindari adanya fitnah, sebab dengan adanya saksi akan menyebarluaskan berita tentang sudah terjadinya pernikahan antar pasangan. Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri rahasia tidak boleh. 27 Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi dan keduanya diamanati untuk merasahasiakan pernikahan, apakah hal ini dianggap nikah sirri atau tidak? Imam Abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa hal itu bukan nikah sirri. Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah sirri dan dibatalkan. 28 Perbedaan pendapat ini disebabkan, apakah kedudukan saksi dalam pernikahan merupakan hukum syara’ , ataukah dengan saksi itu dimaksudkan untuk menutup jalan perselisihan dan pengingakaran? 27 Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Semarang : CV. Asy-syifa’, cet. Ke-1, 1990, h. 383 28 Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, h. 383 Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’, maka mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi adalah untuk menguatkan pernikahan, maka mereka menganggap saksi sebagai syarat kelengkapan. Jumhur ulama mengatakan jika para saksi dipesan oleh pihak yang mengadakan aqad nikah agar merahasiakan dan tidak memberitahukannya kepada orang ramai, maka pernikahannya tetap sah, namun Imam Malik memandang pernikahan tersebut batal. 29 Alasan yang digunakan Jumhur Ulama adalah 30 : a Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda : ِﻦ ﱠﻠ ِﻪ ﱠﻠ : ِﺘ ِﻜ ِﺑ ِﺮ ِّﻴٍﺔ . Artinya : “Pelacur yaitu perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya tanpa saksi”. b Dari Aisyah, Rasulullah bersabda : 29 Sayid Sabiq., h. 79 30 Sayid sabiq., h. 79 ﱠﻠ ﻰ ِﻪ ﱠﻠ . 31 Artinya : “A’isyah r.a meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil”. c Dari Abu Zubair Al- Makkiy, Umar bin Khattab menerima pengaduan adanya pernikahan yang disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu jawabnya : ini kawin gelap, dan aku tidak membenarkannya, dan andaikan saat itu aku hadir tentu akan kurajam. HR. Malik, dalam kitab Al- Muwatha. Imam Malik, Ibnu Abi Laila dan Al- Batta menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib, baginya fungsi saksi adalah untuk mengumumkan, yaitu cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Menurut golongan ini, jika waktu ijab qabul tidak dihadiri para saksi, tetapi sebelum mereka bercampur sebagai suami istri kemudian dipersaksikan maka pernikahannya tidak batal sah. Akan tetapi jika suami istri sudah bercampur tetapi belum dipersaksikan maka pernikahannya batal, meskipun pada waktu ijab qabul dihadiri oleh para saksi. 32 31 Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nayl al-Authar VI, Misr : Mustafa I’Babi I’Halabi wa Auladuh, t.t, h. 256 32 Sayid Sabiq, h. 79 Alasan golongan yaitu bahwa jual beli yang didalamnya disebut soal mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur’an, yakni surat Al- Baqarah : 282, bukan merupakan syarat yang wajib dipenuhi dalam jual beli. Sedangkan soal pernikahan Allah tidak menyebut dalam Al- Qur’an adanya syarat mempersaksikan. Karena itu tentulah lebih baik jika dalam pernikahan ini masalah mempersaksikan tidak termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan saja guna memperjelas keturunan. Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-lai tetapi dipesan agar mereka merahasiakannya? Jawabnya : keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi istrinya berhak atas maharnya yang telah diterimanya, sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum. 33 Menurut ajaran Islam, nikah tidak boleh secara sembunyi-sembunyi, tetapi harus dipublikasikan, diwalimahkan, dan disebarluaskan kepada keluarga dan tetangga. Bahkan beliau menganjurkan agar melaksanakan walimah walaupun hanya seekor kambing. 34 Diriwayatkan dalam sebuah hadist : 33 Sayid Sabiq, h. 187 34 K.H. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta : Gema Insani Press, 1999, cet. 1, h. 54 ﺎ ﺎ ﺎ : ﻰ ﻰ ﺎ ﺎ ﻲ ﻰ . 35 Artinya : “Telah meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Abdah, telah meriwayatkan kepada kami Hammad bin Zaid, telah meriwayatkan kepada kami Tsabit bin Bunani, dari Anas bin Malik, ia berkata : Sesungguhnya Nabi saw melihat ‘Abdurrahman bin Auf membawa benda kekuning-kuningan, lalu nabi bertanya : ada apa gerangan ? kenapa kamu melakukan ini ?” Lalu ia berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan dengan maskawin sekeping emas” Lalu rasulullah saw bersabda : “Semoga Allah SWT. Memberikan berkah kepadamu dan adakah walimah walau dengan menyembelih hewan kambng”. HR. Ibnu Majah Dasar lain yang mengharuskan adanya persyaratan I’lan aqad pernikahan harus diumumkan, yaitu hadist Nabi : ﺎ ﺎ ﺎ : ﻰ ﺎ . 36 Artinya : “Telah kami meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Mani’, telah meriwayatkan kepada kami Husyaim, telah memberitahukan kepada kami Abu Baljin, dari Muhammad bin Hathib Al-Jumahiy, berkata : Rasulullah saw, bersabda, “Sesungguhnya pembeda antara halal pernikahan dan haram perzinahan adalah permainan rebana dan nyanyi- nyanyian dalam pernikahan. HR. At-Tirmizi 35 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al- Qarwain, Sunan Ibnu Majah, Beirut : Dar Al- Fikr, Juz 2, h. 559 36 Abi Isa Muhammad bin Isa Ibn Saurah, Sunan At-Tirmizi, Beirut : Dar Al-Fikr, 1994, Juz 2, Jilid 3, h. 398 Hadist tersebut dapat diketahui bahwa unsur yang menjadi pembatas boleh atau tidaknya pernikahan adalah ada atau tidaknya unsure merahasiakan maka tergolong kelompok pernikahan yang tidak boleh haram, maka agar pernikahan tersebut sah harus diumumkan kepada khalayak ramai i’lan. Pengumuman tersebut berguna untuk menghindari akan tuduhan orang lain atau keraguan orang lain. 37 Hikmah yang dapat kita peroleh dari publikasi nikah itu adalah agar terhindar dari fitnah dan buruk sangka orang lain kepada yang bersangkutan, sekaligus menutup adanya kemungkinan yang besangkutan khususnya istri diminati oleh orang lain. Dari pembahasan diatas tampak, bahwa pada prinsipnya Imam Syafi’I, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah. Hanya saja Imam Malik terlihat lebih menekankan fungsi saksi, yakni sebagai sarana pengumuman dari pada hanya sekedar hadirnya pada waktu akad nikah. Dalam masalah saksi yang dipesan untuk merahasiakan, juga terdapat perbedaan pendapat : Jumhur Ulama membolehkan pernikahan tersebut, asalkan saksi itu hadir pada saat ijab dan qabul berlangsung. 37 Syamsuddin As-Sarakhsy, Al-Mabsuth, Libanon : Darulqutub al-ilmiyah, jilid 5, h. 31 Akan tetapi, Ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa pernikahan tersebut batal, karena menurut Maliki fungsi saksi adalah sebagai I’lan yaitu pengumuman nikah. Karena itu kehadiran saksi pada waktu ijab dan qabul tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan saja. Oleh karena itu, saksi tersebut boleh hadir ketika ijab dan qabul berlangsung atau sesudahnya, dan sebelum terjadi ad-dukhul pergaulan suami istri. Agar pernikahan tidak menimbulkan fitnah maka sebaiknya diumumkan kepada orang lain. Akad pernikahan adalah suatu batas dimana hubungan seorang laki- laki dengan seorang perempuan yang semula haram menjadi halal. Demikian juga akad pernikahan merupakan ikatan baru yang menambah ikatan-ikatan dalam masyarakat. karena itu akad pernikahan akan lebih sempurna jika tidak hanya disaksikan oleh dua orang, melainkan juga oleh masyarakat luas. 38 2. Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Perkawinan No. Tahun 1974 Undang-undang di Indonesia yang membahas tentang perkawinan adalah undang-undang No. 1 tahun 1974. Yang merupakan undang-undang yang bersifat nasional unifikasi. Artinya ada satu undang-undang yang berlaku diseluruh Indonesia Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah nikah sirri dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. 38 A. Zuhdi Muhdlor, cet. 2, h. 64 Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi pernikahan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan. Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 1974, dan pelaksanaanya secara efektif mulai berlaku pada tanggal 1 oktober 1975 pasal 67 UUP No. 1 74 jo pasal 49 PP No. 9 75. Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, sah tidaknya suatu pernikahan ditentukan oleh hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. 39 Dari ketentuan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasannya itu Prof. Hazairin, S.H menafsirkan bahwa dengan demikian hukum yang berlaku menurut UU No. 1 1974 pertama-tama adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi masing-masing pemeluk-pemeluknya. Jadi bagi orang 39 Hazairin, Tinjauan Mengenai UUP No. 1 1974, Jakarta : PT Tinta Mas Indonesia, 1986, h. 5 Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya sendiri. 40 Pihak yang melangsungkan pernikahan harus tunduk dan telah memenuhi berbagai ketentuan serta persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum agama dan kepercayaanya masing-masing. Maka dengan sendirinya perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak berdasarkan hukum masing- masing agamanya dan kepercayaanya itu adalah tidak sah. Dilihat dari segi teori hukum yang menyatakan bahwa perbuatan hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. 41 Sebaliknya suau tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum Dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang secara otomatis melahirkan akibat-akibat hukum serta diperlukan adanya kepastian hukum, maka pasal 2 ayat 2 menegaskan : “Tiap-tiap pekawinan harus dicatatkan menurut Undang-undang yang berlaku”. 40 Hazairin, Tinjauan Mengenai UUP No. 1 1974, Jakarta : PT Tinta Mas Indonesia, 1986, ., h. 6 41 Soedjono Dirojosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994, Cet. Ke-4, h. 126 Rumusan tersebut menegaskan bahwa dalam memenuhi jaminan kepastian hukum, perkawinan harus dicatat sesuai dengan Undang-undang yang berlaku guna memenuhi persyaratan administratif Dalam Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaanya ditetapkan bahwa suatu perkawinan baru dapat dilaksanakan apabila telah dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Selain ketentuan tersebut diatas perkawinan pun memiliki syarat- syarat materil maupun formil 42 yang harus dilaksanakan oleh warga Negara di Indoesia yang ingin melaksanakan pernikahan. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi calon mempelai ; sedangkan syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum pada saat dilangsungkannya pernikahan. a. Syarat-syarat materil, diantaranya : 1 pasal 6 ayat 1 ; harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai. 2 pasal 7 ayat 2 ; usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun. 3 pasal 9 ; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain. 42 Asmin SH, Status Perkawinan Antar Agama, Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 11974, Jakarta : PT Dian Rakyat, 1986, Cet. Ke-1, h.22 4 pasal 11 UU No. 11974 dan PP No. 91975 ; mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu : a. 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian b. 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia masih berdatang bulan c. 90 hari, bila putus karena perceraian, tapi tidak berdatang bulan Waktu tunggu sampai melahirkan, bila si janda dalam keadaan hamil d. Tidak ada waktu tunggu, bila belum pernah terjadi hubungan kelamin e. Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap baku suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian. Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan ketidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya suatu perkawinan. b. Syarat-syarat formil meliputi : 1 Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan 2 Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan 3 Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaanya masing-masing 4 Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan Pengumuman dalam pernikahan wajib dilakukan, baik kepada sahabat maupun anggota keluarga lainnya. Caranya dapat dilakukan menurut kehendak yang bersangkutan. 43 Dalam hukum positif, pengumuman tentang pemberitahuan hendak nikah dilakukan oleh pegawai pencatat nikah apabila ia telah meneliti apakah syarat-syarat pernikahan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan pernikahan. 44 Dari uraian tersebut, jika mengacu pada hukum islam, pernikahan siri boleh saja dilakukan jika pernikahannya menghadirkan wali dan saksi walaupun setelah akad tidak diumumkan kepada masyarakat umum, tetapi apabila dihubungkan dengan undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pernikahan sirri belum memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum berupa akta nikah, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang perkawinan diantaranya tidak adanya unsur tatacara pencatatan nikah. 43 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974, Cet. 1, h. 76 44 Asmin SH, h. 24 44

BAB III KONDISI OBYEKTIF WILAYAH PENELITIAN