15
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nikah
1. Pengertian Hukum Secara etimologis kata “hukum” berasal dari bahasa Arab yang berarti
“memutuskan” atau “menetapkan” dan “menyelesaikan”. Kata “hukum” dan kata lain yang berakar pada kata tersebut terdapat dalam 88 tempat dalam Al-
Qur’an, tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. kata hukum itu telah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.
1
Dalam memberikan arti secara definitive kepada kata “hukum” itu terdapat beda rumusan yang begitu luas, termasuk dalam konteks siapa pembuat
hukum itu, apakah pembuat hukum syar’inya Allah SWT, ataukah sekelompok manusia yang disepakati seperti DPR dan lainnya. Meskipun
demikian dalam arti yang sederhana bahwa dalam konteks si pembuat hukum sekelompok manusia, maka dapat dikatakan bahwa hukum adalah :
“Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan
1
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lint as Agama dalam Perspekt if Fikih dan Kompilasi Hukum
Islam, Jakart a: Qalbun Salim, 2005, Hal. 9
diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.”
2
Sedang dalam konteks pembuat hukumnya syar’i Allah, maka hukum itu adalah :
Artinya: “Firman Allah Ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan orang mukalaf, yang mengandung tuntutan atau membolehkan memilih atau adanya
suatu hukum karena adanya yang lain.”
3
2. Pengertian Hukum Islam Istilah “hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia bagaikan
terjemahan Al-Fiqh Al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari Al-Syari’ah Al-Islamiyah. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan nama
Islamic Law. Dalam Al-Qur’an maupun Al’Sunah, istilah hukum Al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah syari’at yang dalam penjabarannya
kemudian lahir istilah fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syari’ah
dan fiqh.
4
2
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh, Jakart a: PT Logos Wacana Ilmu, 2000, Hal. 281
3
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh, Semarang: Toha Put ra, 1982, Hal. 19
4
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakart a: PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 3
A. Pengertian syari’ah secara etimologis syariah berarti “jalan ketempat pengairan” atau
“tempat lalu air sungai”.
5
menurut para ahli defenisi syari’ah adalah: segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang
mengenai akhlak. Dengan demikian “syari’ah itu adalah nama bagi hukum- hukum yang bersifat amaliah”.
Walaupun pada mulanya syari’ah itu diartikan “agama” sebagaimana yang disinggung dalam surah al-Syura: 13 diatas, namun kemudian
dikhususkan penggunanya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku universal,
sedangkan syari’ah berlaku untuk masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian syari’ah lebih khusus dari agama.
6
B. pengertian fiqh kata “Fiqh” secara etimologis berarti “paham yang mendalam.” Bila
“paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti faham yang menyampaikan ilmu zhahir pada ilmu batin, karena itulah
5
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh, Semarang: Toha Put ra, 1982, Hal. 20
6
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh, Semarang: Toha Put ra, 1982, Hal. 21
Al-Tarmizi menyebutkan, “Fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.
7
Secara defenitif, fiqh berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditentukan dalil-dalil yang tafsili.
8
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa, syari’ahlah adalah segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang
mengenai akhlaq. Dengan kata lain syari’ah itu adalah nama bagi hukum- hukum yang bersifat amaliah. Sedangkan fiqih ialah ilmu tentang hukum-
hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali ditemukan dalil-dalil yang tafsili.
Untuk lebih memperjelas dapat kita angkat beberapa pokok perbedaan antara syari’at dengan fiqih, yakni:
Syari’at berpendapat dalam al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Kalau kita
berbicara tentang syari’at yang dimaksud adalh Firman Allah atau Sunnah rasul. Fiqih terdapat dalam kitab-kitab fiqh, kalau berbicara tentang fiqih,
maka yang dimaksud adalah pemahaman manusia, dalam hal ini adalah ahli hukum Islam Mujtahid yang memenuhi syarat-syarat berijtihad.
7
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh, Semarang: Toha Put ra, 1982, Hal. 22
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakart a: PT Logos Wacana Ilmu, 2000, Hal. 2
Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup lebih luas dari
fiqh. Sedangkan fiqh bersifat instrumental, lingkupnya terbatas pada apa yang biasanya disebut perbuatan hukum.
Syari’at adalah ciptaan Tuhan dan Rasulnya, karena itu berlaku abadi.
Sedangkan fiqh adalah karya manusia yang dapat berubah dari masa ke masa atau sesuai zamannya.
Syari’at hanya satu, dan fiqh beragam lebih dari satu, sesuai jumlah
aliran hukum yang disebut mazhab.
Syari’at menunjukkan kesatuan dalam islam. Sedangkan fiqh menunjukkan keragamannya, sesuai dengan jumlah aliran-aliran hukum
atau mazhab-mazhab yang terdapat dalam Islam. Dari penjelasan di atas, menggambarkan kepada kita bahwa syari’at
dan fiqh hubungannya sangat erat sekali, bias dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan, karena fiqh adalah hasil dari pemahaman dari syari’at, sedangkan
syari’at adalah landasan pemahaman fiqh. Dan untuk memahaminya harus melalui ilmu fiqh.
Kalau ibarat hukum islam yang kategori syari’at disebutkan Islamic law, sedangkan kategori fiqh disebut Islamic of yurisprudence. Tetapi di
Indonesia namanya hanya satu yakni hukum islam. Tidak ada istilah Indonesia yang membedakannya.
9
Istilah “ahkam” bentuk jamak dari “hukum”. Adapun arti “al-hukmu” adalah: menetapkan suatu hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya
ketentuan atau lima ketetapan. Pada dasarnya “ahkamul khamsah” erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Menurut Syari’at Islam perbuatan
manusia dapat dihukumkan kepada ketetapan yang lima ahkamul khamsah. Menurut imam syafi’I susunan kaidah buruk baik itu ada lima, yaitu yang
terkenal dengan istilah “al-khamsah” lima golongan hukum. Seluruh perbuatan manusia dapat dimasukkan dalam satu golongan hukum yang lima
tersebut dan hukum itu adalah: 1. fardh diharuskan atau wajib mesti dikerjakan, ia mendapatkan pahala,
sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan hukuman. Contoh, shalat 5 kali dalam sehari, puasa di bulan ramadhan dan sebagainya.
2. sunnah sudah menjadi adat, mustahab disukai atau mandub dianjurkan dengan ketentuan kalau perintah sunnah itu dikerjakan, ia dapat pahala;
sebaliknya jika tidak dikerjakan tidak berdosa. Contoh shalat hari raya, member sedekah dan sebagainya.
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakart a: PT Logos Wacana Ilmu, 2000, Hal. 30
3. Mubah ja’iz, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Kalau ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa, kalau dikerjakanpun
tidak berpahala dan tidak berdosa. Contoh, melakukan gerak badan di pagi hari.
4. makruh tercela dengan ketentuan kalau perintah larangan dihentikan mendapat pujian, sebaliknya jika dilanggar hanya dicela tidak sampai
dihukum. Contoh masuk rumah orang dengan tidak mengucapkan salam. 5. haram, yaitu larangan keras dengan pengertian kalau dikerjakan kita
berdosa atau dikenakan hukuman dan jika ditinggalkan kita mendapat pahala. Contoh mencuri, menipu dan sebagainya.
3. Pengertian Nikah Nikah ialah akad yang menghalalkan kedua belah pihak suami dan
istri menikmati pihak satunya, pernikahan sangat penting dalam kehidupan manusia, karena hanyan dengan pernikahan pergaulan hidup manusia baik
secara individu maupun kelompok menjadi terhormat dan halal. Hal ini sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara
makhluk-makhluk tuhan yang lain. Dengan melaksanakan pernikahan, manusia diharapkan dapat memperoleh keturunan yang dapat melanjutkan
kehidupan berikutnya.
Pernikahan atau perkawinan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan, untuk memenuhi naluri hidup umat manusia, juga untuk melangsungkan
kehidupan dengan jenisnya, mewujudkan ketentraman hidup, dan menumbuhkan serta memupukkan rasa kasih sayang dalam hidup
bermasyarakat. Perkawinan dapat saja berlangsung tanpa adanya kebutuhan biologis semata, kemungkinan hidup bersama antara seorang laki-laki dan
perempuan, dilakukan tanpa berhubungan suami isteri. Hal ini biasa terjadi karena kekuatan untuk melakukan hubungan badan tidak selalu ada pada
seseorang dan tidak merupakan syarat untuk bersama. Ini terbukti dan kenyataan bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang
sudah lanjut usia, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan “ In extreme” yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia.
10
Nikah kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.
11
Menurut Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, “perkawinan adalah akad antara calon suami dengan calon isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang
10
Wirjono projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung, 1981. H. 7
11
Ramulya idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1947, Jakarta, Bumi Aksara, 1996, h. 1
diatur syari’at”.
12
Menurut Sayuti Thalib, SH Berpendapat “Perkawinan itu ialah perjanijan suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan
perempuan”.
13
M. Idris Ramulyo, SH, berpendapat “Perkawinan menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yabg kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram,
bahagia dan kekal.
14
Wirjono Projodikoro, SH, berpendapat bahwa hidup bersama sangat penting dalam masyarakat dan mempunyai akibat yang
penting pula. Oleh karena itu diperlukan suatu peraturan untuk hidup bersama antara seorang laki-laki dengan perempuan yang memenuhi syarat-syarat
dalam peraturan tersebut.
15
Prof. Subekti, SH juga menyatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama. Kitab Undang-undang hukum perdata sendiri tidak memberikan definisi secara jelas tentang perkawinan. Hanya dalam pasal 26
kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa Undang-undang
12
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, PT. Hidakarya Agung, 1996, cet-15, h. 1
13
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia berlaku bagi umat Islam, Jakarta, UI Press, 1974, Cet-1, h. 47
14
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Ja karta, Ind. Hill Co, 1985, Cet-4, h. 147
15
Wirjono Projodikoro. Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 9
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja. Hal ini berarti bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata dan syarat serta peraturan agama dikesampingkan.
16
Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir, perkawinan dalam agama Islam disebut “Nikah” yaitu melakukan akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka
rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan
cara yang diridhoi Allah SWT.
17
Kebanyakan Ulama Fiqh mendefinisikan nikah sedikit berbeda, walaupun lebih banyak kemiripan:
18
- ِﻣ
ِﻔِﺔ :
ِﻔ ِﻣ
ِﺔ
Artinya: “Sebagian Ulama Hanafiyah : nikah adalah akad yang memberikan
faedah mengakibatkan kepemilikan untuk bersenang-senang
secara sadar sengaja”.
- ِﻣ
ِﺐ ِﻠ
ِﻜِﺔ :
ﻰ ِﺔ
ﱡﺬ ِﺑ
ِﻣٍﺔ
16
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa, 1980, Cet-XV, h. 23
17
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UI Press, 2000, Cet-9, h.10
18
Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al- Mazahib al- Arbaah, Beirut Libanon, Dar al- Fikr, 1990, juz- 4.
Artinya: “Sebagian mazhab Malikiyah : nikah adalah sebuah ungkapan atau
bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksud untuk meraih kenikmatan seksual semata”.
- ِﻋ
ِﻓ ﺎ ِﻌِﺔ
: ِﺑ
ِﻣ ٍﺊِﺑ
ِﻆ ٍﺞ
ﺎ
Artinya: “Menurut ulama Syafi’iyah : nikah dirumuskan dengan akad yang
menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan
lafal “Inkah” atau “Tazwij” atau yang semakna dengan keduanya”.
- ِﻋ
ِﺑ ﺎ ِﺔ
: ِﺑ
ِﻆ ٍﺞ ﻳ
ﻰ ِﺔ
ِﻻ ِﺘ
Artinya: “Ulama Hanabilah : nikah adalah akad yang dilakukan dengan
menggunakan kata “Inkah” atau “Tazwij” guna mendapatkan kesenangan”.
Dari beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa nikah adalah akad antara pria dan wanita yang diikat melalui suatu
perjanjian suci, kuat dan kokoh untuk salin memiliki dan bersenang-senang dan menghalalkan pergaulan suami isteri dalam rangka membentuk keluarga
atau rumah tangga, dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau dengan kata lain yang semakna dengan kata tersebut.
Dengan melakukan perkawinan, seseorang muslim berarti telah mengikuti dan menghormati sunnah Rasul-nya, dan dengan perkawinan pula
maka membuat terang keturunan, sehingga tidak aka nada orang-orang yang tidak jelas asal usulnya. Di samping itu perkawinan diharapkan dapat
melahirkan rasa kasih sayang sesame anggota keluarga dan menjauhkan perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama.
Islam memandang perkawinan sebagai fase pertama keluarga, karena keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan sesama jenisnya untuk melakukan kebaikan dan melarang kemunkaran, meninggikan derajat manusia dan mewujudkan fungsi
manusia sebagai khalifah dimuka bumi berdasarkan Ayat-ayat al- Quran :
ð
.
م و ّﺮ ﻟ ا 30
: 21
Artinya :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia Menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. QS. Al- Ruum 30: 21
1. Dasar-dasar Hukum Nikah Dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan nikah adalah:
a. Surat An-Nisa ayat 3
. ء ﺎ ﺴ ّﻨ ﻟ ا
4 :
3
Artinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yang
yatim bilamana
kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka kawinilah
seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
QS. An-Nisa 3: 3
b. Surat An-Nur Ayat 32
.
ر ﻮ ّﻨ ﻟ ا 24
: 32
Artinya :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-
hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas pemberian- Nya lagi Maha Mengetahui”. QS. An-Nuur 24: 32
c. Hadist dari‘Alqomah
19
Artinya : “Hai pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yng mampu
serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan
mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan akan memeliharanya dari godaan-godaan syahwat dan barang siapa
yang tidak mampu menikah, hendaklah berpuasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang”.
H.R. Al- Bukhari.
Dari ayat dan hadist diatas, dapat penulis simpulkan di sini antara lain : 1. Nikah merupakan suatu perintah agama.
2. Nikah dihukumkan wajib bagi orang yang mampu lahir bathin. 3. Nikah untuk menjaga dirinya dari perbuatan yang dilarang Allah SWT.
B. Pengertian Nikah Sirri