Realitas nikah sirri: studi empiris masyarakat di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh :

AHMAD ZULFAHMI NIM : 105043101292

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H / 2010 M


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD ZULFAHMI NIM. 105043101292

Di bawah Bimbingan

Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA NIP. 1957 0312 1985 031003

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H / 2010 M


(3)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya pergunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 13 Desember 2010


(4)

i

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur penulis hanturkan

kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, serta yang

telah memberikan hidayah dan ‘inayat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW, manusia mulia lagi dimuliakan Rabb-Nya, rasul yang menjadi suri tauladan bagi seluruh umat, dalam membuka gerbang jalan ilmu pengetahuan. Begitupun juga semoga seluruh keluarga, sahabat, serta seluruh umat yang mengikuti jejak kebenaran dan kebaikannya senantiasa tercurahkan keselamatan sampai tiba hari pembalasan kelak.

Dengan tetesan keringat, basuhan air mata, serta beribu-ribu do’a, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Realitas Nikah Sirri (Studi Empiris Masyarakat di Wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat)”. Penulisan skripsi ini guna memenuhi dan melengkapi persayaratan untuk mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebagai hamba yang lemah dan penuh salah, penulis menyadari dan memaklumi, bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian,


(5)

ii

pelbagai pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil. Ucapan terimakasih ini penulis persembahkan kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta para pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA sebagai ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum beserta Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulllah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA yang telah tulus ikhlas membantu dan membimbing dengan penuh kesabaran, sehingga penyelesaian skripsi ini berjalan baik.

4. Seluruh Dosen dan Civitas Akademi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Pimpinan dan seluruh pegawai Perustakaan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

iii

7. Bapak Drs. H. Abd. Rachman selaku Kepala KUA Kecamatan Kebon Jeruk dan seluruh staff Kelurahan Kebon Jeruk, yang telah memberikan waktu dan kesempatan kepada penulis dalam mengadakan penelitian dan memperoleh informasi.

8. Warga Kebon Jeruk (Ita, Karumi, dan Sari) beserta tokoh masyarakat Kebon Jeruk (H. Urwah Salim) Dan Amil sekaligus tokoh masyarakat (H. Zarkasih) yang telah bersedia untuk memberikan informasinya dalam penelitian yang penulis lakukan.

9. Teman-teman yang telah mensupport penulis dalam menyusun skripsi ini yaitu Firman, Ibnu, Boy, Hasan, Amarullah Beserta Tim Hadro ISPAM, Fadly dan Dian Sari yang telah sabar menemani dalam proses penyelesaian skripsi ini. 10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah turut

serta membantu dalam penyusunan skripsi ini dari tahap awal hingga akhir. Dengan segenap ketulusan dan keikhlasan dari hati yang paling dalam atas jasa dan bantuan semua pihak, penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang berlipat dan menjadikannya sebagai amal ibadah yang tidak akan pernah berhenti mengalir pahalanya hingga akhir hayat.


(7)

iv

Jakarta, 30 November M Muharram 1431 H


(8)

v

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi... 8

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika penulisan... 13

BAB II TINJAUAN TEORITIS... 15

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan... 15

B. Pengertian Nikah Sirri ... 28

C. Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Nikah Sirri 1) Nikah Sirri Menurut Hukum Islam ... 29

2) Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.... 38

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 44

A. Letak Geografis Wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat ... 44


(9)

vi

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 53

A. Profil Informan Masyarakat Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat ... 53

B. Sekilas Tentang Masyarakat Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat Terkait Pernikahan Sirri ... 54

C. Faktor yang menyebabkan pernikahan sirri di Wilayah Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat... 61

D. Akibat Hukum Yang Ditimbulkan Dari Pernikahan Sirri ... 65

E. Analisa Tentang Realitas Nikah Sirri... 67

BAB V PENUTUP ... 70

A. Kesimpulan... 70

B. Saran-saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA... 73 LAMPIRAN


(10)

1

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia adalah mahluk “Zoon Politicon” artinya manusia selalu bersama manusia lainnya dalam pergaulan hidup dan kemudian bermasyarakat atau yang biasa disebut adalah makhluk sosial. Hidup bersama dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa bagi manusia dan hanya manusia yang memiliki kelainan saja yang ingin hidup mengasingkan diri dari orang lain. Salah satu bentuk hidup bersama yang terkecil adalah keluarga. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang terbentuk karena perkawinan

Perkawinan merupakan aspek penting dalam ajaran Islam. Di dalam Al-Qur’an dijumpai tidak kurang dari delapan puluh ayat yang berbicara soal perkawinan, baik yang memakai kata nikah(berhimpun) maupun yang memakai kata Zawwaja (berpasangan).1 Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani jalan yang menghantarkan manusia baik laki-laki maupun perempuan menuju kehidupan yang bahagia dunia akhirat sesuai dengan ridha Illahi. Karena memang pada dasarnya tujuan

1

Kamal Mukhtar,Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. ke-1, hal. 1


(11)

daripada perkawinan adalah menciptakan keluarga yangsakinah, mawaddahdan rahmah.

Allah sangat menganjurkan manusia untuk menikah karena pernikahan tersebut akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia. Di antaranya, Allah akan melapangkan rizki yang baik dan halal untuk hidup berumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al-Nahl (16): 72.











) .

ﻞ ﺤ ّﻨ ﻟ ا

/

16

…:

72

(

Artinya:“Dan Allah Menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagi mu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizki dari yang baik-baik”. (QS. Al-Nahl (16): ...72

Proses pernikahan manusia akan menghasilkan regenerasi yang tumbuh dan berkembang, sehingga dalam kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Sebaliknya tanpa pernikahan generasi akan berhenti, kehidupan manusia akan terputus dan duniapun akan berhenti, sepi, dan tidak berarti.2

Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan maha

2

Chaeruddin,Perkawinan, Eksiklopedi Tematis DUNIA ISLAM, (Jakarta, PT. Lehtiar baru Van Hoeve, t.t), Jilid-1, h. 65


(12)

esa). pernikahan adalah aqad atau ikatan yang menghalalkan seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami isteri”.

Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah “Mitsaqan galizan” (Perjanjian yang kuat) …… “dan mereka (Istri-istrimu) telah mengambil dari kamu

perjanjian yang kuat” (Surah Annisa’ ayat: 21), istilah ini pun digunakan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada BAB II pasal 2 yang berbunyi“Perkawinan

menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah”.

Untuk menciptakan ikatan yangmitsaqan galizan seperti yang dimaksud di atas selain harus memenuhi memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) nya yakni pencatatan pada tiap-tiap perkawinan dengan tujuan untuk menjalin ketertiban dan kepastian hukum. Namun dalam prakteknya, tak dapat dipungkiri bahwa sampai sekarang masih sering terjadi pernikahan-pernikahan yang bermasalah biasanya masalah tersebut cacat atau kekurangan rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh hukum islam dan hukum Positif. salah satu pernikahan yang bermasalah itu adalah apa yang dikenal dengan pernikahan Sirri atau nikah dibawah tangan. Biasanya sesuatu yang sengaja disembunyikan mengandung atau menyimpan masalah, masalah itu mungkin ada pada diri orang melakukan perkawinan. Mungkin pula pada ketentuan hukum yang mereka tidak penuhi.


(13)

Dalam menegakkan supremasi hukum perlu kiranya membangun image (pandangan) yang positif terhadap efektifitas hukum itu sendiri. Untuk itulah perwujudan hukum yang baik sangat tergantung pada tiga pilar hukum, yaitu: 1) Aparat Hukum

2) Peraturan Hukum Yang Jelas

3) Kesadaran Hukum masyarakat3

Dilihat dari tiga pilar di atas, penulis tertarik untuk meneliti kesadaran hukum dari salah satu aspeknya. Emile Durkheim mengemukakan dalam buku Law In Society, yaitu situasi dimana norma sosial dasar yang memberikan sistem yang berbeda dengan kebiasaan yang terdahulu, atau dimana mereka bukannya tidak mengerti dengan jelas terhadap peraturan atau norma-norma yang ada.4

Di Indonesia perkawinan yang tidak bermasalah adalah perkawinan yang dilakukan menurut perundang-undangan yang berlaku. Bagi orang islam perkawinan yang tidak bermasalah itu adalah perkawinan yang diselenggarakan menurut hukum islam seperti yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta dicatat menurut ayat (2) pada pasal yang sama. Sesuai dengan sunah Rasulullah SAW diumumkan melalui walimah supaya diketahui orang banyak. Pernikahan yang diatas ketentuan

3

Bustanul Arifin,Kompilasi fiqih dalam Bahasa Undang-undang, (Bandung, CV. Diponegoro, 1985), h. 28.

4

Adam podgorecki,Law in Society, (London, D van Nostrand Company, Inc, 1974), Cet-1, h. 200.


(14)

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebiasaan tersebut diatas dapat dikategorikan sebagai pernikahan rahasia yang menyimpan masalah. Masalah ini tidak juga akan berimbas pada status pernikahan itu sendiri.

Nikah sirri adalah pernikahan yang sah menurut agama tetapi “cacat” menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia karena pernikahannya tidak dicatatkan oleh (Pegawai Pencatat Nikah) PPN secara resmi. Oleh karena itu Pemerintah memberikan solusi bagi Umat Islam yang telah melakukan pernikahannya tanpa atau belum dicatatkan secara resmi untuk segera melegitmasi pernikahannya dengan yang disebut dengan itsbat nikah.

Akan tetapi di Indonesia pada masa sekarang ini sedang ramai diperbincangkan tentang nikah sirri setelah pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan baru tentang masalah nikah sirri, karena dalam Peraturan-peraturan-peraturan baru tersebut ditegaskan bahwa bagi siapa saja yang melakukan nikah sirri baik yang menikahkan maupun yang di nikahkan akan mendapatkan sanksi pidana.

Oleh karena itu peraturan-peraturan baru itu membuat para pelaku nikah sirri merasa terdesak dan dirugikan dengan adanya peraturan-peraturan baru tersebut sehingga mereka menolak dengan berbagai macam alasan yang membenarkan perbuatan mereka.

Kemudian seiring dikeluarkannnya peraturan-peraturan baru oleh Pemerintah tentang nikah sirri banyak sekali pro dan kontra di dalam masyarakat, karena bagi kelompok yang tidak setuju dengan praktik nikah sirri itu sangat setuju sekali dengan peraturan-peraturan baru tersebut, namun


(15)

sebaliknya bagi kelompok yang melakukan nikah sirri sangat tidak setuju dengan peraturan-peraturan baru tersebut.

Berdasarkan kenyataan itulah, mendorong penulis untuk membahas dan mencari kejelasan mengenai “REALITAS NIKAH SIRRI (Studi Empiris Pada Masyarakat

Kel. Kebon Jeruk Jak-Bar)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Karena luasnya masalah pembahasan mengenai nikah sirri maka pada pembahasan skripsi ini penulis membatasi hanya menyangkut realitas nikah sirri yang terjadi pada masyarakat di wilayah kelurahan kebon Jeruk Jakarta Barat. Adapun masyarakat yang penulis batasi dalam penelitian ini adalah khusus pada warga masyarakat yang melakukan nikah sirri, Amil, tokoh masyarakat dan kepala KUA.

2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah pokok yang akan diteliti dan diuraikan dalam skripsi ini adalah:

1) Bagaimana pandangan masyarakat di wilayah kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat terhadap pernikahan sirri?

2) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat di wilayah kelurahan Kebon jeruk melakukan nikah sirri?


(16)

3) Apa akibat Hukum yang timbul dari nikah sirri di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini yaitu

a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat di wilayah Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat.

b. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat di wilayah kelurahan Kebon jeruk Jakarta Barat melakukan nikah sirri.

c. Untuk mengetahui apa akibat hukum yang timbul dari nikah sirri di wilayah Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat.

2. Manfaat Penelitian

a. Bagi Masyarakat

Memberikan serta menambah wawasan tentang nikah sirri bagi masyarakat Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat.

b. Bagi Penulis

Menambah wawasan tentang Pengembangan dan pengaktualisasian dalam konteks hukum perkawinan tentang praktik nikah sirri.


(17)

c. Bagi Pihak Lain

Dapat digunakan sebagai informasi dan sumber ilmu serta memberikan gambaran tentang praktik nikah sirri yang terjadi pada masyarakat Kelurahan Kebon Jeruk.

D. Studi Review Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul proposal, diantaranya adalah sebagai berikut:

No

Nama penulis / judul / Tahun

Substansi Keterangan

1

Siti Jubaedah, Praktek Nikah Sirri ditinjau dari Hukum Islam dan UU No.1 Th 1974 (Studi Kasus Desa Lengkong Karya), 2006. Fakultas

Syari’ah dan Hukum.

Berisikan bahwasanya nikah sirri tidak mempunyai kekuatan hukum, bila ditinjau dari UU No.1 Th 1974. Tetapi mempunyai keabsahan menurut hukum Islam.

Praktek nikah sirri dilihat dari hukum Islam dan UU No.1 Th 1974, serta perbandingannya.

2

Syarif Hidayatullah, Hukum Pengulangan Nikah Sirri, Perspektik Hukum Islam dan

Skripsi ini menjelaskan pengulangan Nikah Sirri yang oleh masyarakat Kedoya menurut hukum

Mengulas hukum pengulangan akad yang disebabkan oleh Nikah Sirri menurut Hukum Islam


(18)

Hukum Positif. (studi Kasus masyarakat Kedoya Kebon Jeruk Jak-Bar), 2006. Fakultas

Syari’ah dan Hukum.

Islam dan hukum positif. dan Hukum Positif.

3

Hafizh, Perkawinan di Bawah Tangan dan Pengaruh Terhadap Sengketa Pengadilan Agama Jak-Bar, 2005.

Fakultas Syari’ah dan Hukum.

Disni membahas perkawinan di bawah tangan berdampak pada sengketa pengadilan Agama, diantaranya menuntut hak-hak isteri dan anak ketika perceraian terjadi.

Perkawinan di bawah tangan dapat menimbulkan persengketaan dikarenakan tidak adanyan bukti-bukti akta surat pernikahan yang menguatkan dalam menuntut hak di pengadilan Agama.

4

A. Syaadzali, mahalnya Biaya Pernikahan Sebagai Faktor Pemicu Nikah di Bawah Tangan (studi kasus di KUA Kec. Benda Tangerang),

2006. Fakultas Syari’ah

dan Hukum

Skripsi ini mengulas, dengan mahalnya biaya pernikahan sebagai faktor seseorang melakukan nikah si bawah tangan.

Disini hanya membahas dengan mahalnya biaya sebagai pemicu seseorang melakukan nikah di bawah tangan, tidak ada perbandingan hukumnya.


(19)

Berbeda dengan skripsi-skripsi terdahulu, skripsi ini lebih berfokus pada pembahasan mengenai praktek nikah sirri yang terjadi pada masyarakat dari aspek sosiologisnya, selain itu dalam skripsi ini lebih menonjolkan aspek empirisnya dibandingkan aspek normatifnya.

Dari perbedaan tersebut, Penulis merasa yakin bahwa skripsi ini tidak hanya bersifat normatif saja, akan tetapi lebih bersifat empiris. Namun, daripada itu titik perbedaan yang penulis dapatkan dari karya tulis lain merupakan data yang akan mendukung konsep pemikiran dari skripsi ini.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam rangka memperoleh data yang akurat dan valid maka diperlukan metode yang representatif. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan umum yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif. Karena, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang berusaha memahami gejala tingkah laku manusia menurut sudut pandang subjek penelitian, dan memungkinkan peneliti memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, memfokuskan pada proses-proses yang terjadi dalam individu, serta lingkungannya sebagai satu kesatuan. Hal ini penting agar dapat diperoleh gambaran utuh dari penghayatan subjek terhadap keadaan yang dialaminya. Metode kualitatif


(20)

merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.5

2. Subyek Penelitian

Subjek atau responden dan narasumber yang dilibatkan dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Subyek penelitian adalah warga masyarakat yang mempunyai pengalaman pribadi terkait dengan praktek nikah sirri.

b. Subyek penelitian bertempat tinggal di wilayah kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat.

Jumlah subyek penelitian ini sebanyak 6 orang, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu serta kesulitan peneliti dalam memperoleh kasus dan informan yang banyak diantara warga masyarakat Kebon Jeruk yang mempunyai pengalaman pribadi terkait praktek nikah sirri, dan pemilihan narasumber dalam penelitian ini didasarkan atas tujuan tertentu.

3. Jenis Data dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang digunakan adalah:

a. Data primer diperoleh melalui survey lapangan dan observasi.

b. Data skunder didapat dari studi pustaka yaitu pengumpulan data dengan cara membaca dan mempelajari bukuliterature dan teori dibangku kuliah

5

Lexy. J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 3


(21)

serta sumber lainya yang relevan dengan penelitian ini, seperti jurnal yang terkait dengan penelitian, surat kabar, majalah dan sumber tertulis lainya. 4. Teknik Pengumpulan Data

Agar di dalam penelitian ini penulis mendapatkan hasil yang sesuai dengan variable yang akan diteliti, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

Wawancara, Penulis menggunakan teknik wawancara untuk

memperoleh informasi yang berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan data-data tentang Realitas Nikah Sirri Pada Masyarakat Kel. Kebon Jeruk Jak-Bar.

5. Teknis Analisis Data

Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara dan kepustakaan yang diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifikasi data, yaitu usaha menggolong-golongkan data berdasarkan katagori tertentu. Setelah data-data yang ada diklasifikasi lalu diadakan analisis data, dalam hal ini data yang dikumpulkan penulis adalah kualitatif, maka teknik analisis data yang digunakan adalahcontent analysis atau biasa yang disebut analisis isi.


(22)

Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa disebut editing.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangka outline dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas terurai dalam penjelasan berikut :

BAB I :Pendahuluan

Menerangkan latar belakang masalah, pembatasan-perumusan masalah, tujuan-manfaat penelitian, studi pendahuluan, metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II :Tinjauan Teoritis

Menguraikan pengertian dan dasar hukum pernikahan, pengertian nikah sirri, tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap nikah sirri.

BAB III :Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Bab ini menerangkan tentang letak geografis Kel. Kebon Jeruk, kondisi Masyarakat Kel. Kebon Jeruk.

BAB IV :Hasil Penelitian

Dalam bab ini penulis menganalisis tentang profil informan masyarakat kelurahan kebon jeruk jakarta barat, sekilas tentang masyarakat kel. kebon jeruk jakarta barat terkait pernikahan sirri, faktor-faktor nikah sirri di wilayah kel.


(23)

kebon jeruk jakarta barat, akibat hukum yang ditimbulkan dari pernikahan sirri, analisa tentang realitas nikah sirri.

BAB V : PENUTUP

Menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran yang menjadi penutup dari pembahasan skripsi ini.


(24)

15

A. Pengertian dan Dasar Hukum Nikah

1. Pengertian Hukum

Secara etimologis kata “hukum” berasal dari bahasa Arab yang berarti “memutuskan” atau “menetapkan” dan “menyelesaikan”. Kata “hukum” dan kata lain yang berakar pada kata tersebut terdapat dalam 88 tempat dalam Al-Qur’an, tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. kata hukum itu telah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.1

Dalam memberikan arti secara definitive kepada kata “hukum” itu terdapat beda rumusan yang begitu luas, termasuk dalam konteks siapa pembuat hukum itu, apakah pembuat hukum (syar’i)nya Allah SWT, ataukah sekelompok manusia yang disepakati seperti DPR dan lainnya. Meskipun demikian dalam arti yang sederhana bahwa dalam konteks si pembuat hukum sekelompok manusia, maka dapat dikatakan bahwa hukum adalah : “Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan

1

A. Basiq Djalil,Pernikahan Lint as Agama dalam Perspekt if Fikih dan Kompilasi Hukum Islam,(Jakart a: Qalbun Salim, 2005), Hal. 9


(25)

diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.”2

Sedang dalam konteks pembuat hukumnya (syar’i) Allah, maka hukum itu adalah :

Artinya: “Firman Allah Ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan orang mukalaf, yang mengandung tuntutan atau membolehkan memilih atau adanya (suatu hukum) karena adanya yang lain.”3

2. Pengertian Hukum Islam

Istilah “hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia bagaikan terjemahan Al-Fiqh Al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari Al-Syari’ah Al-Islamiyah. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan nama Islamic Law. Dalam Al-Qur’an maupun Al’Sunah, istilah hukum Al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah syari’at yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syari’ah dan fiqh.4

2

Amir Syarifuddin.Ushul Fiqh, (Jakart a: PT Logos Wacana Ilmu, 2000), Hal. 281

3

A. Basiq Djalil,Ilmu Ushul fiqh,(Semarang: Toha Put ra, 1982), Hal. 19

4


(26)

A. Pengertian syari’ah

secara etimologis syariah berarti “jalan ketempat pengairan” atau “tempat lalu air sungai”. 5 menurut para ahli defenisi syari’ah adalah: segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlak. Dengan demikian “syari’ah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah”.

Walaupun pada mulanya syari’ah itu diartikan “agama” sebagaimana yang disinggung dalam surah al-Syura: 13 diatas, namun kemudian dikhususkan penggunanya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku universal, sedangkan syari’ah berlaku untuk masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian syari’ah lebih khusus dari agama.6

B. pengertian fiqh

kata “Fiqh” secara etimologis berarti “paham yang mendalam.” Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti faham yang menyampaikan ilmu zhahir pada ilmu batin, karena itulah

5

A. Basiq Djalil,Ilmu Ushul fiqh,(Semarang: Toha Put ra, 1982), Hal. 20

6


(27)

Al-Tarmizi menyebutkan, “Fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.7

Secara defenitif, fiqh berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang

bersifat amaliah yang digali dan ditentukan dalil-dalil yang tafsili.8

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa, syari’ahlah adalah segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlaq. Dengan kata lain syari’ah itu adalah nama bagi hukum yang bersifat amaliah. Sedangkan fiqih ialah ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali ditemukan dalil-dalil yang tafsili.

Untuk lebih memperjelas dapat kita angkat beberapa pokok perbedaan antara syari’at dengan fiqih, yakni:

 Syari’at berpendapat dalam al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Kalau kita berbicara tentang syari’at yang dimaksud adalh Firman Allah atau Sunnah rasul. Fiqih terdapat dalam kitab-kitab fiqh, kalau berbicara tentang fiqih, maka yang dimaksud adalah pemahaman manusia, dalam hal ini adalah ahli hukum Islam (Mujtahid) yang memenuhi syarat-syarat berijtihad.

7

A. Basiq Djalil,Ilmu Ushul fiqh,(Semarang: Toha Put ra, 1982), Hal. 22

8


(28)

 Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup lebih luas dari fiqh. Sedangkan fiqh bersifat instrumental, lingkupnya terbatas pada apa yang biasanya disebut perbuatan hukum.

 Syari’at adalah ciptaan Tuhan dan Rasulnya, karena itu berlaku abadi. Sedangkan fiqh adalah karya manusia yang dapat berubah dari masa ke masa atau sesuai zamannya.

 Syari’at hanya satu, dan fiqh beragam (lebih dari satu), sesuai jumlah aliran hukum yang disebut mazhab.

 Syari’at menunjukkan kesatuan dalam islam. Sedangkan fiqh menunjukkan keragamannya, sesuai dengan jumlah aliran-aliran hukum atau mazhab-mazhab yang terdapat dalam Islam.

Dari penjelasan di atas, menggambarkan kepada kita bahwa syari’at dan fiqh hubungannya sangat erat sekali, bias dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan, karena fiqh adalah hasil dari pemahaman dari syari’at, sedangkan syari’at adalah landasan pemahaman fiqh. Dan untuk memahaminya harus melalui ilmu fiqh.

Kalau ibarat hukum islam yang kategori syari’at disebutkan Islamic law, sedangkan kategori fiqh disebut Islamic of yurisprudence. Tetapi di


(29)

Indonesia namanya hanya satu yakni hukum islam. Tidak ada istilah Indonesia yang membedakannya.9

Istilah “ahkam” bentuk jamak dari “hukum”. Adapun arti “al-hukmu” adalah: menetapkan suatu hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima ketetapan. Pada dasarnya “ahkamul khamsah” erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Menurut Syari’at Islam perbuatan manusia dapat dihukumkan kepada ketetapan yang lima (ahkamul khamsah).

Menurut imam syafi’I susunan kaidah buruk baik itu ada lima, yaitu yang terkenal dengan istilah “al-khamsah” (lima golongan hukum). Seluruh perbuatan manusia dapat dimasukkan dalam satu golongan hukum yang lima tersebut dan hukum itu adalah:

1. fardh (diharuskan) atau wajib (mesti dikerjakan, ia mendapatkan pahala, sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan hukuman. Contoh, shalat 5 kali dalam sehari, puasa di bulan ramadhan dan sebagainya.

2. sunnah (sudah menjadi adat), mustahab (disukai) atau mandub (dianjurkan) dengan ketentuan kalau perintah sunnah itu dikerjakan, ia dapat pahala; sebaliknya jika tidak dikerjakan tidak berdosa. Contoh shalat hari raya, member sedekah dan sebagainya.

9


(30)

3. Mubah ja’iz, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Kalau ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa, kalau dikerjakanpun tidak berpahala dan tidak berdosa. Contoh, melakukan gerak badan di pagi hari.

4. makruh (tercela) dengan ketentuan kalau perintah larangan dihentikan mendapat pujian, sebaliknya jika dilanggar hanya dicela tidak sampai dihukum. Contoh masuk rumah orang dengan tidak mengucapkan salam.

5. haram, yaitu larangan keras dengan pengertian kalau dikerjakan kita berdosa atau dikenakan hukuman dan jika ditinggalkan kita mendapat pahala. Contoh mencuri, menipu dan sebagainya.

3. Pengertian Nikah

Nikah ialah akad yang menghalalkan kedua belah pihak (suami dan istri) menikmati pihak satunya, pernikahan sangat penting dalam kehidupan manusia, karena hanyan dengan pernikahan pergaulan hidup manusia baik secara individu maupun kelompok menjadi terhormat dan halal. Hal ini sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara makhluk-makhluk tuhan yang lain. Dengan melaksanakan pernikahan, manusia diharapkan dapat memperoleh keturunan yang dapat melanjutkan kehidupan berikutnya.


(31)

Pernikahan atau perkawinan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan, untuk memenuhi naluri hidup umat manusia, juga untuk melangsungkan kehidupan dengan jenisnya, mewujudkan ketentraman hidup, dan menumbuhkan serta memupukkan rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat. Perkawinan dapat saja berlangsung tanpa adanya kebutuhan biologis semata, kemungkinan hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan, dilakukan tanpa berhubungan suami isteri. Hal ini biasa terjadi karena kekuatan untuk melakukan hubungan badan tidak selalu ada pada seseorang dan tidak merupakan syarat untuk bersama. Ini terbukti dan kenyataan bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang sudah lanjut usia, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan“ In extreme”

yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia.10

Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.11

Menurut Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, “perkawinan adalah akad antara calon suami dengan calon isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang

10

Wirjono projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung, Sumur Bandung, 1981). H. 7

11

Ramulya idris,Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1947, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), h. 1


(32)

diatur syari’at”.12 Menurut Sayuti Thalib, SH Berpendapat “Perkawinan itu ialah perjanijan suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan perempuan”.13 M. Idris Ramulyo, SH, berpendapat “Perkawinan menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yabg kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram, bahagia dan kekal.14 Wirjono Projodikoro, SH, berpendapat bahwa hidup bersama sangat penting dalam masyarakat dan mempunyai akibat yang penting pula. Oleh karena itu diperlukan suatu peraturan untuk hidup bersama antara seorang laki-laki dengan perempuan yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan tersebut.15

Prof. Subekti, SH juga menyatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Kitab Undang-undang hukum perdata sendiri tidak memberikan definisi secara jelas tentang perkawinan. Hanya dalam pasal 26 kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa Undang-undang

12

Mahmud Yunus,Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta, PT. Hidakarya Agung, 1996), cet-15, h. 1

13

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi umat Islam), (Jakarta, UI Press, 1974), Cet-1, h. 47

14

M. Idris Ramulyo,Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam,(Ja karta, Ind. Hill Co, 1985), Cet-4, h. 147

15


(33)

memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja. Hal ini berarti bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata dan syarat serta peraturan agama dikesampingkan.16

Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir, perkawinan dalam agama Islam disebut “Nikah” yaitu melakukan akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhoi Allah SWT.17

Kebanyakan Ulama Fiqh mendefinisikan nikah sedikit berbeda, walaupun lebih banyak kemiripan:18

-ِﻣ

ِﻔِﺔ

:

ِﻔ

ِﻣ

ِﺔ

Artinya:“Sebagian Ulama Hanafiyah : nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang

secara sadar (sengaja)”.

-ِﻣ

ِﺐ

ِﻠ

ِﻜِﺔ

:

ِﺔ

ﱡﺬ

ِﺑ

ِﻣٍﺔ

16

Subekti.Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, PT. Intermasa, 1980), Cet-XV, h. 23 17

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,(Yogyakarta, UI Press, 2000), Cet-9, h.10 18

Abdurrahman Al-Jaziri,al-Fiqh ‘ala al- Mazahib al- Arbaah, (Beirut Libanon, Dar al- Fikr, 1990), juz- 4.


(34)

Artinya:“Sebagian mazhab Malikiyah : nikah adalah sebuah ungkapan atau

bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksud untuk meraih

kenikmatan (seksual) semata”.

-ِﻋ

ِﻓ ﺎ

ِﻌِﺔ

:

ِﺑ

ِﻣ

ٍﺊِﺑ

ِﻆ

ٍﺞ

Artinya: “Menurut ulama Syafi’iyah : nikah dirumuskan dengan akad yang menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan

lafal “Inkah” atau “Tazwij” atau yang semakna dengan keduanya”.

-ِﻋ

ِﺑ ﺎ

ِﺔ

:

ِﺑ

ِﻆ

ٍﺞ ﻳ

ِﺔ

ِﻻ

ِﺘ

Artinya: “Ulama Hanabilah : nikah adalah akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata “Inkah” atau “Tazwij” guna mendapatkan kesenangan”.

Dari beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa nikah adalah akad antara pria dan wanita yang diikat melalui suatu perjanjian suci, kuat dan kokoh untuk salin memiliki dan bersenang-senang dan menghalalkan pergaulan suami isteri dalam rangka membentuk keluarga atau rumah tangga, dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau dengan kata lain yang semakna dengan kata tersebut.

Dengan melakukan perkawinan, seseorang muslim berarti telah mengikuti dan menghormati sunnah Rasul-nya, dan dengan perkawinan pula maka membuat terang keturunan, sehingga tidak aka nada orang-orang yang tidak jelas asal usulnya. Di samping itu perkawinan diharapkan dapat


(35)

melahirkan rasa kasih sayang sesame anggota keluarga dan menjauhkan perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama.

Islam memandang perkawinan sebagai fase pertama keluarga, karena keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan sesama jenisnya untuk melakukan kebaikan dan melarang kemunkaran, meninggikan derajat manusia dan mewujudkan fungsi manusia sebagai khalifah dimuka bumi berdasarkan Ayat-ayat al- Quran :







ð











.



)

م و ّﺮ ﻟ ا

/

30

:

21

(

Artinya :“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia Menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. QS. Al- Ruum (30): 21

1. Dasar-dasar Hukum Nikah

Dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan nikah adalah:


(36)





















.

)

ء ﺎ ﺴ ّﻨ ﻟ ا

/

4

:

3

(

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu

mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

QS. An-Nisa (3): 3

b. Surat An-Nur Ayat 32

















.

)

ر ﻮ ّﻨ ﻟ ا

/

24

:

32

(

Artinya :“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba-hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas

(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. QS. An-Nuur (24): 32 c. Hadist dari‘Alqomah


(37)

)

(

19

Artinya :“Hai pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yng mampu serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan akan memeliharanya dari godaan-godaan syahwat dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah berpuasa, karena dengan

puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang”.

(H.R. Al- Bukhari).

Dari ayat dan hadist diatas, dapat penulis simpulkan di sini antara lain :

1. Nikah merupakan suatu perintah agama.

2. Nikah dihukumkan wajib bagi orang yang mampu lahir bathin.

3. Nikah untuk menjaga dirinya dari perbuatan yang dilarang Allah SWT.

B. Pengertian Nikah Sirri

Nikah sirri berasal dari kata sirriyyun yang berarti secara rahasia atau secara sembunyi-sembunyi. Jadi perkawinan sirri adalah perkawinan yang dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, itu dimaksudkan bahwa perkawinan itu dilakukan semata-mata untuk menghindari berlakunya hukum negara yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam prakteknya perkawinan sirri ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam di Indonesia, yang memenuhi baik

rukun-19

Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail,Shohih al-Bukhari,(Semarang, Toha Putra tt), Juz 6, h. 117


(38)

rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.20

Menurut A. Zuhdi, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan diluar pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), karenanya pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami istri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah21.

H. masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nikah sirri adalah nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syari’at islam saja namun karena terbentur PP no. 10 / 1983 (tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil) jo. PP No. 45 / 1990, pernikahan tersebut dilakukan secara diam-diam, dan dirahasiakan untuk menghindari hukuman disiplin.

Dilihat dari kata-katanya, sirri itu berarti sembunyi-sembunyi atau tidak terbuka. Jadi nikah sirri bisa bararti nikah sesuai dengan ketentuan Agama, tetapi tidak dicatat didalam pencatatan administrasi pemerintah (KUA dan lain-lain) , atau nikah sesuai dengan ketentuan agama islam dan dicatat oleh pencatat nikah, tetapi tidak dipublikasikan dalam bentuk walimah.

C. Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Nikah Sirri

20

Ramulya Idris,Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1947, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), h. 239

21

A. Zuhdi Muhdlor,Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk). (Bandung : Al-Bayan,1994), cet. 1, h. 22


(39)

1. Nikah Sirri Menurut Hukum Islam

Dalam Hukum Islam Nikah Sirri bukan masalah baru, sebab dalam kitab Al- Muwatha karya Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri berasal dari ucapan Umar Ibnu al- Khattab r.a :

ِﻪ

ﱠﻻ

،

:

ِّﺮ

ِﺠ

ِﻓِﻪ

22

Artinya :“Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang menikah tanpa saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata : ini nikah sirri, aku tidak membolehkannya, seandainya kamu melakukannya pasti aku

rajam”

Pengertian nikah sirri dalam persepsi Umar tersebut adalah bahwa syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria Umar dapat dipandang sebagai nikah sirri.23

Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri.

Mengenai saksi ini Para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafi’I dan Maliki) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, 22

Abi Abdillah Malik bin Anas Al-Asbahi, Muwatha Imam Malik, (Kairo : Maktabah Al-Islamiyah, 1967), juz 2. H. 179

23

Mahful M. dan Herry Mohammad,Fenomena Nikah Sirri,(Jakarta : IKAPI, 1996), cet. 1. H. 31


(40)

bahkan Syafi’I berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah, dan tidak sah pernikahan tanpa dihadiri saksi. Berdasarkan dalil :

ِﻠ

ِﻦ

ِﻟ ﺎ

ٍﺪ

ِﻌ

ِﻦ

ِﺮ

ٍﺮ

ِﺪ

ِﻦ

ِﻦ

ِﻢ

ِﻌ

ِﺪ

ِﻦ

ٍﺮ

:

ِﻟ

ِّﻲ

ِﺷٍﺪ

24

Artinya :“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cakap”.

Menurut Jumhur Ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi-saksi tidak sah. Jika ketika ijab qabul tidak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain, pernikahannya tidak sah.25

Beberapa syarat yang harus ada pada seseorang yang menjadi saksi adalah : berakal sehat, dewasa, dan mendengar omongan kedua belah pihak yang berakad, serta memahami bahwa ucapan-ucapannya itu maksudnya adalah ijab qabul pernikahan. Bila para saksi itu buta, maka hendaklah merekabisa mendengarkan suaranya dan mengenal betul suara tersebut adalah suaranya kedua orang yang berakad.

Jika yang menjadi saksi itu anak-anak, atau orang gila, atau orang yang sedang mabuk, maka nikahnya tidak sah, sebab mereka dipandang tidak ada.26

24

Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i,Al-Umm, juz 5, h. 19 25

Sayid Sabiq,Sabiq, Sayyid,Fikih Sunnah 6,(Bandung, PT Alma’arif, 1973), cet . 1,h. 87 26

Slamet Abidin dan Aminuddin,Fiqh Munakahat, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1996), cet. Ke-1, h. 101


(41)

Ibnu Qudamah membedakan antara saksi dan pengumuman. Menurutnya saksi termasuk rukun nikah yang harus ada (wajib) ketika melakukan akad nikah, sedangkan pengumuman adalah hal lain diluar akad nikah, yang hukumnya hanya sunah.

Fungsi saksi dalam pernikahan oleh Ibnu qadamah disebut lebih rinci, yakni ada dua : pertama ; untuk menghindari adanya tuduhan zina, dan kedua ; untuk menghindari adanya fitnah, sebab dengan adanya saksi akan menyebarluaskan berita tentang sudah terjadinya pernikahan antar pasangan.

Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri (rahasia) tidak boleh.27 Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi dan keduanya diamanati untuk merasahasiakan pernikahan, apakah hal ini dianggap nikah sirri atau tidak?

Imam Abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa hal itu bukan nikah sirri. Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah sirri dan dibatalkan.28

Perbedaan pendapat ini disebabkan, apakah kedudukan saksi dalam pernikahan merupakan hukum syara’ , ataukah dengan saksi itu dimaksudkan untuk menutup jalan perselisihan dan pengingakaran?

27

Ibnu Rusd,Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, (Semarang : CV. Asy-syifa’), cet. Ke-1, 1990, h. 383

28


(42)

Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’, maka mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi adalah untuk menguatkan pernikahan, maka mereka menganggap saksi sebagai syarat kelengkapan.

Jumhur ulama mengatakan jika para saksi dipesan oleh pihak yang mengadakan aqad nikah agar merahasiakan dan tidak memberitahukannya kepada orang ramai, maka pernikahannya tetap sah, namun Imam Malik memandang pernikahan tersebut batal.29

Alasan yang digunakan Jumhur Ulama adalah30 :

a) Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda :

ِﻦ

ﱠﻠ

ِﻪ

ﱠﻠ

:

ِﺘ

ِﻜ

ِﺑ

ِﺮ

ِّﻴٍﺔ

) .

(

Artinya :“Pelacur yaitu perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya

tanpa saksi”.

b) Dari Aisyah, Rasulullah bersabda :

29

Sayid Sabiq., h. 79 30


(43)

ﱠﻠ

ِﻪ

ﱠﻠ

.

)

(

31

Artinya : “A’isyah r.a meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda “Tidak

sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil”.

c) Dari Abu Zubair Al- Makkiy, Umar bin Khattab menerima pengaduan adanya pernikahan yang disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu jawabnya : ini kawin gelap, dan aku tidak membenarkannya, dan andaikan saat itu aku hadir tentu akan kurajam. (HR. Malik, dalam kitab Al- Muwatha).

Imam Malik, Ibnu Abi Laila dan Al- Batta menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib, baginya fungsi saksi adalah untuk mengumumkan, yaitu cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Menurut golongan ini, jika waktu ijab qabul tidak dihadiri para saksi, tetapi sebelum mereka bercampur sebagai suami istri kemudian dipersaksikan maka pernikahannya tidak batal (sah). Akan tetapi jika suami istri sudah bercampur tetapi belum dipersaksikan maka pernikahannya batal, meskipun pada waktu ijab qabul dihadiri oleh para saksi.32

31

Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani,Nayl al-Authar VI, (Misr : Mustafa

I’Babi I’Halabi wa Auladuh, t.t), h. 256 32


(44)

Alasan golongan yaitu bahwa jual beli yang didalamnya disebut soal mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur’an, yakni surat Al- Baqarah : 282, bukan merupakan syarat yang wajib dipenuhi dalam jual beli. Sedangkan soal pernikahan Allah tidak menyebut dalam Al- Qur’an adanya syarat mempersaksikan. Karena itu tentulah lebih baik jika dalam pernikahan ini masalah mempersaksikan tidak termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan saja guna memperjelas keturunan.

Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-lai tetapi dipesan agar mereka merahasiakannya?

Jawabnya : keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi istrinya berhak atas maharnya yang telah diterimanya, sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum.33

Menurut ajaran Islam, nikah tidak boleh secara sembunyi-sembunyi, tetapi harus dipublikasikan, diwalimahkan, dan disebarluaskan kepada keluarga dan tetangga. Bahkan beliau menganjurkan agar melaksanakan walimah walaupun hanya seekor kambing.34

Diriwayatkan dalam sebuah hadist :

33

Sayid Sabiq, h. 187 34

K.H. Miftah Faridl,150 Masalah Nikah dan Keluarga,(Jakarta : Gema Insani Press, 1999), cet. 1, h. 54


(45)

:

.

35

Artinya :“Telah meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Abdah, telah

meriwayatkan kepada kami Hammad bin Zaid, telah meriwayatkan kepada kami Tsabit bin Bunani, dari Anas bin Malik, ia berkata : Sesungguhnya Nabi saw melihat

‘Abdurrahman bin Auf membawa benda kekuning-kuningan, lalu nabi bertanya : ada apa gerangan ? kenapa kamu

melakukan ini ?” Lalu ia berkata : “Wahai Rasulullah,

sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan

dengan maskawin sekeping emas” Lalu rasulullah saw bersabda : “Semoga Allah SWT. Memberikan berkah

kepadamu dan adakah walimah walau dengan menyembelih

hewan kambng”. (HR. Ibnu Majah)

Dasar lain yang mengharuskan adanya persyaratan I’lan (aqad pernikahan harus diumumkan), yaitu hadist Nabi :

:

.

)

(

36

Artinya :“Telah kami meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Mani’, telah meriwayatkan kepada kami Husyaim, telah memberitahukan kepada

kami Abu Baljin, dari Muhammad bin Hathib Al-Jumahiy, berkata : Rasulullah saw, bersabda,“Sesungguhnya pembeda antara halal (pernikahan) dan haram (perzinahan) adalah permainan rebana dan nyanyi-nyanyian dalam pernikahan. (HR. At-Tirmizi)

35

Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al- Qarwain, Sunan Ibnu Majah, (Beirut : Dar Al-Fikr), Juz 2, h. 559

36

Abi Isa Muhammad bin Isa Ibn Saurah,Sunan At-Tirmizi, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1994), Juz 2, Jilid 3, h. 398


(46)

Hadist tersebut dapat diketahui bahwa unsur yang menjadi pembatas boleh atau tidaknya pernikahan adalah ada atau tidaknya unsure merahasiakan maka tergolong kelompok pernikahan yang tidak boleh (haram), maka agar pernikahan tersebut sah harus diumumkan kepada khalayak ramai (i’lan). Pengumuman tersebut berguna untuk menghindari akan tuduhan orang lain atau keraguan orang lain.37

Hikmah yang dapat kita peroleh dari publikasi nikah itu adalah agar terhindar dari fitnah dan buruk sangka orang lain kepada yang bersangkutan, sekaligus menutup adanya kemungkinan yang besangkutan (khususnya istri) diminati oleh orang lain.

Dari pembahasan diatas tampak, bahwa pada prinsipnya Imam Syafi’I, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah. Hanya saja Imam Malik terlihat lebih menekankan fungsi saksi, yakni sebagai sarana pengumuman dari pada hanya sekedar hadirnya pada waktu akad nikah.

Dalam masalah saksi yang dipesan untuk merahasiakan, juga terdapat perbedaan pendapat : Jumhur Ulama membolehkan pernikahan tersebut, asalkan saksi itu hadir pada saat ijab dan qabul berlangsung.

37


(47)

Akan tetapi, Ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa pernikahan tersebut batal, karena menurut Maliki fungsi saksi adalah sebagai I’lan yaitu pengumuman nikah. Karena itu kehadiran saksi pada waktu ijab dan qabul tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan saja. Oleh karena itu, saksi tersebut boleh hadir ketika ijab dan qabul berlangsung atau sesudahnya, dan sebelum terjadi ad-dukhul (pergaulan suami istri). Agar pernikahan tidak menimbulkan fitnah maka sebaiknya diumumkan kepada orang lain.

Akad pernikahan adalah suatu batas dimana hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang semula haram menjadi halal. Demikian juga akad pernikahan merupakan ikatan baru yang menambah ikatan-ikatan dalam masyarakat. karena itu akad pernikahan akan lebih sempurna jika tidak hanya disaksikan oleh dua orang, melainkan juga oleh masyarakat luas.38

2. Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Perkawinan No. Tahun 1974

Undang-undang di Indonesia yang membahas tentang perkawinan adalah undang-undang No. 1 tahun 1974. Yang merupakan undang-undang yang bersifat nasional (unifikasi). Artinya ada satu undang-undang yang berlaku diseluruh Indonesia

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah nikah sirri dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan.

38


(48)

Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi pernikahan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan.

Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 1974, dan pelaksanaanya secara efektif mulai berlaku pada tanggal 1 oktober 1975 (pasal 67 UUP No. 1 /74 jo pasal 49 PP No. 9 /75).

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, sah tidaknya suatu pernikahan ditentukan oleh hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.

Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.39

Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) beserta penjelasannya itu Prof. Hazairin, S.H menafsirkan bahwa dengan demikian hukum yang berlaku menurut UU No. 1 / 1974 pertama-tama adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi masing-masing pemeluk-pemeluknya. Jadi bagi orang

39

Hazairin,Tinjauan Mengenai UUP No. 1 / 1974,(Jakarta : PT Tinta Mas Indonesia, 1986), h. 5


(49)

Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya sendiri.40

Pihak yang melangsungkan pernikahan harus tunduk dan telah memenuhi berbagai ketentuan serta persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum agama dan kepercayaanya masing-masing. Maka dengan sendirinya perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu adalah tidak sah.

Dilihat dari segi teori hukum yang menyatakan bahwa perbuatan hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.41 Sebaliknya suau tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum Dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum.

Karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang secara otomatis melahirkan akibat-akibat hukum serta diperlukan adanya kepastian hukum, maka pasal 2 ayat (2) menegaskan : “Tiap-tiap pekawinan harus dicatatkan menurut Undang-undang yang berlaku”.

40

Hazairin, Tinjauan Mengenai UUP No. 1 / 1974,(Jakarta : PT Tinta Mas Indonesia, 1986), .,h. 6

41

Soedjono Dirojosisworo,Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. Ke-4, h. 126


(50)

Rumusan tersebut menegaskan bahwa dalam memenuhi jaminan kepastian hukum, perkawinan harus dicatat sesuai dengan Undang-undang yang berlaku guna memenuhi persyaratan administratif

Dalam Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaanya ditetapkan bahwa suatu perkawinan baru dapat dilaksanakan apabila telah dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

Selain ketentuan tersebut diatas perkawinan pun memiliki syarat-syarat materil maupun formil42 yang harus dilaksanakan oleh warga Negara di Indoesia yang ingin melaksanakan pernikahan.

Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi calon mempelai ; sedangkan syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum pada saat dilangsungkannya pernikahan.

a. Syarat-syarat materil, diantaranya :

1) pasal 6 ayat (1) ; harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai. 2) pasal 7 ayat (2) ; usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan

wanita sudah mencapai 16 tahun.

3) pasal 9 ; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.

42

Asmin SH,Status Perkawinan Antar Agama, (Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1/1974),(Jakarta : PT Dian Rakyat, 1986), Cet. Ke-1, h.22


(51)

4) pasal 11 UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975 ; mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu :

a. 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian

b. 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia masih berdatang bulan

c. 90 hari, bila putus karena perceraian, tapi tidak berdatang bulan Waktu tunggu sampai melahirkan, bila si janda dalam keadaan hamil

d. Tidak ada waktu tunggu, bila belum pernah terjadi hubungan kelamin

e. Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap baku suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian.

Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan ketidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya suatu perkawinan.

b. Syarat-syarat formil meliputi :

1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan


(52)

3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaanya masing-masing

4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan

Pengumuman dalam pernikahan wajib dilakukan, baik kepada sahabat maupun anggota keluarga lainnya. Caranya dapat dilakukan menurut kehendak yang bersangkutan.43 Dalam hukum positif, pengumuman tentang pemberitahuan hendak nikah dilakukan oleh pegawai pencatat nikah apabila ia telah meneliti apakah syarat-syarat pernikahan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan pernikahan.44

Dari uraian tersebut, jika mengacu pada hukum islam, pernikahan siri boleh saja dilakukan jika pernikahannya menghadirkan wali dan saksi walaupun setelah akad tidak diumumkan kepada masyarakat umum, tetapi apabila dihubungkan dengan undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pernikahan sirri belum memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum berupa akta nikah, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang perkawinan diantaranya tidak adanya unsur tatacara pencatatan nikah.

43

Sayuti Thalib,Hukum Kekeluargaan Indonesia,(Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974), Cet. 1, h. 76

44


(53)

44

A. Letak Geografis Wilayah Kebon Jeruk Jakarta Barat

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor : 1746 tahun 1987 tanggal 10 September 1987, luas wilayah Kelurahan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat adalah : 262,36 Ha, kemudian dengan adanya Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 1815 tahun 1989 tanggal 29 Desember, yang merupakan perubahan dari Sk. Gubernur KDKI Jakarta nomor : 1746, tentang perubahan batas wilayah Kelurahan diwilayah Kotamadya Jakarta Selatan, Kotamadya Jakarta Barat dan Kotamadya Jakarta Utara, maka untuk Kelurahan Kebon Jeruk, luas wilayah bertambah : 106,78 Ha. Sehingga luas keseluruhan menjadi : 369,15 Ha, dan sekaligus terjadi perubahan-perubahan, batas wilayah Kelurahan Kebon Jeruk sebagai berikut :

Sebelah Utara : Tol Jakarta Merak, Kel. Kedoya Selt, Kel. Duri Kepa dan Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat

Sebelah Timur : Jl. Budhi Raya, Kel. Kemanggisan dan Kecamatan Palmerah Jakarta Barat

Sebelah Selatan : Jl. Anggrek, Jl. H. Domang, Jl. E. Kel. Sukabumi Utara dan Kel. Kelapa Dua


(54)

Sebelah Barat : Kali Pesanggrahan Kel. Serengseng, dan Meruya Utara Kecamatan Kembangan

Kelurahan Kebon Jeruk memiliki 13 Rw dan 132 Rt, adapun luas tanah di kelurahan Kebon Jeruk terbagi atas:

Tabel 1

Pembagian Luas Tanah: Berdasarkan Status Tanah

No Keterangan Luas

1 Milik Adat 258,81 Ha

2 Girik Partikelir 68,42 Ha

3 Kavling 30,11 Ha

4 Kartu Sewa - Ha

5 Garapan 11,81 Ha

Sumber data: Monografi Kelurahan Kebon Jeruk

B. Kondisi Masyarakat Wilayah Kebon Jeruk Jakarta Barat

Dalam pemerintahan, Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat dipimpin oleh satu orang Lurah yang dibantu oleh beberapa orang staff yang berjumlah 17 (sebelas) orang di tingkat Kelurahan. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut


(55)

Tabel 2

Karyawan Kantor Kelurahan kebon Jeruk menurut Golongan/Pangkat

No Jabatan Golongan/Pangkat Jumlah

1 LURAH III D 1

2 WAKIL LURAH III C 1

3 SEKRETARIS KELURAHAN III C 1

4 KASUBSIE PEMERINTAHAN III C 1

5

KASUBSIE PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

III B 1

6 STAFF PRASARANA UMUM II C 2

7 STAFF PEMERINTAHAN II A 2

8

STAFF PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

I D 2

9 KASUBSIE KEBERSIHAN I D 1

10 KASUBSIE DUKCAPIL III B 1

11 PKB III B 2

12 PKB III B 2

JUMLAH 17

Sumber data: Laporan Kelurahan Kebon Jeruk bulan Agustus 2010, hal. 20 Wilayah Kelurahan Kebon Jeruk sama halnya dengan Kelurahan lainnya, dalam hal kependudukan, tiap tahun jumlah penduduk di Kelurahan Kebon Jeruk


(56)

terus bertambah, begitu juga dengan pembangunan fisik kian berkembang, mengikuti arus perubahan dan perkembangan zaman. Data yang telah penulis peroleh dari buku laporan Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat memperlihatkan gambaran sebagai berikut:

1. Kondisi Penduduk.

Tabel 3

Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan RW

No Rukun

Warga (RW)

Laki-laki Perempuan Laki-laki +Perempuan

1 01 1599 1530 3129

2 02 1949 1779 3727

3 03 2339 2119 4458

4 04 1668 1759 3425

5 05 2546 2428 4974

6 06 726 670 1393

7 07 1905 1299 3194

8 08 849 808 1655

9 09 947 889 1830

10 010 2218 2879 5097

11 011 1169 1499 2668

12 012 849 849 1698

13 013 597 509 1094

Jumlah 19.783 19.516 39.299


(57)

Berdasarkan data statistik yang bersumber dari data laporan Kelurahan Kebon Jeruk, saat ini jumlah penduduk Kelurahan Kebon Jeruk berjumlah 39.299 jiwa. Penduduk laki-laki berjumlah 19.783 orang (50.34%) dan perempuan berjumlah 19.516 orang (49.66%)

Tabel 4

Penduduk Kelurahan Kebon Jeruk Menurut Kelompok Umur dan jenis Kelamin

No Kelompok

Umur Laki-laki Perempuan

Laki-laki + Perempuan

1 0-4 2135 2782 4917

2 5-9 2074 1977 4051

3 10-14 2023 1817 3840

4 15-19 1660 1628 3288

5 20-24 1527 1462 2988

6 25-29 1291 1386 2677

7 30-34 1135 1304 2435

8 35-39 1405 1263 2666

9 40-44 1233 1008 2241

10 45-49 1185 992 2175

11 50-54 1076 894 1968

12 55-59 1027 869 1897

13 60-64 883 781 1662

14 65-69 501 576 1077

15 70-74 227 323 550

16 75 keatas 181 201 390

Jumlah 19.779 19.512 39.299

Sumber data: Laporan Kelurahan Kebon Jeruk bulan Agustus 2010, hal 6 Berdasarkan tabel di atas penduduk sebagian besar didominasi warga yang berusia 20 tahun ke atas berjumlah 22.726 orang (57.83%). Hal ini, menunjukkan bahwa penduduk Kelurahan Kebon Jeruk tersebut sudah termasuk memasuki usia produktif.


(58)

2. Kondisi Ekonomi.

Mata pencaharian merupakan aktifitas penduduk untuk memperoleh nafkah secara maksimal. Setiap aktifitas penduduk dalam memperoleh nafkahnya mempunyai mata pencaharian yang berbeda-beda. Lingkungan geografis meliputi iklim, tanah, dan sumber-sumber mineral yang terkandung di dalamnya akan mempengaruhi sifat mata pencaharian penduduknya. Sedangkan tingkat kebudayaan akan mempengaruhi kegiatan penduduk dalam usahanya. Begitu pula mata pencaharian penduduk di wilayah Kebon Jeruk berbeda-beda.

Berdasarkan dari buku monografi Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat Tahun 2009, kondisi ekonomi dan mata pencaharian penduduk dapat kita lihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 5

Mata Pencaharian

No Keterangan Jumlah

1 Tani 159

3 Buruh 2.750

4 Pedagang 3.890

5 Karyawan Swasta 8.879

6 PNS 4.015

7 ABRI 368

8 Pensiunan 1.512

9 Swasta Lainnya 6.989

10 Lain-lain 10.739


(59)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa perekonomian penduduk di Kelurahan Kebon Jeruk sebagian besar bekerja pada sektor swasta.

3. Kondisi Sosial Keagamaan

Secara obyektif agama yang dianut di wilayah Kebon Jeruk beraneka ragam yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan aliran kepercayaan lainnya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa mayoritas penduduk Kelurahan Kebon Jeruk beragama Islam.

Dari segi sosial keagamaan, masyarakat Kebon Jeruk cukup ramah dan bersahaja. Kepedulian mereka terhadap sesama sangatlah tinggi. Pada saat merayakan Maulid, tahlilan dan kegiatan keagamaan lainnya, mereka biasanya bergotong-royong dengan saling membawa berbagai jenis makanan atau bahan pokok makanan seperti beras, minyak dan lain sebagainya. Kepedulian mereka juga tampak disaat musibah datang, seperti banjir, meninggalnya seorang warga, dan lain-lain. Mereka beramai-ramai membantu korban musibah tersebut dengan mengumpulkan uang secara kolektif tanpa adanya batasan materi. Bantuan yamg mereka tujukan kepada semua yang membutuhkan tanpa melihat status sosial dan agama.

Pembinaan bidang keagamaan di kelurahan ini dapat berjalan dengan baik karena ditopang oleh banyaknya tempat pendidikan, tempat ibadah dan fasilitas lainnya yang cukup memadai.


(60)

Dari sumber yang didapatkan diketahui bahwa sarana peribadatan kebon jeruk berjumlah 549 buah, dengan rincian masjid 4 buah, mushalla 65 buah, dan majlis ta’lim 480 buah.

Tidak dapat dipungkiri, dalam hal keagamaan masyarakat Kebon Jeruk ialah masyarakat yang agamis. Banyaknya masjid, mushalla, dan majlis ta’lim

menjadi wadah tersendiri atas kegiatan keagamaan mereka. Daerah yang memiliki banyak kyai, ustadz, dan ustadzah, maupun guru ngaji ini menjadikannya kental dengan nuansa Islam.

4. Kondisi Pendidikan

Salah satu penunjang keberhasilan tujuan pembangunan nasional adalah dari sektor pendidikan dan sumber daya manusia. Dimana dengan majunya tingkat dan mutu pendidikan serta sumber daya manusia akan mempengaruhi suasana pembangunan. Begitu pula di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk tingkat pendidikan dan sumber daya manusia akan mempengaruhi suasana pembangunan.


(61)

Tabel 5

Tingkat Pendidikan Formal Penduduk Kel. Kebon Jeruk

NO KATEGORI JUMLAH PERSENTASE

(%) 1 2 3 4 5 6 7 SD SLTP SLTA AKADEMI S1 S2 S3 9.543 11.874 12.248 1.564 4.010 54 8 24,28 30,21 31,16 3,98 10,21 0,14 0,02

Jumlah 39.301 100

Sumber data: Monografi Kelurahan Kebon Jeruk

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta barat sudah cukup tinggi dan memadai sehingga sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan terutama di bidang hukum. Pembangunan di bidang hukum dikatakan berhasil apabila tercipta suasana baru yaitu penduduk yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi. Kesadaran hukum akan melekat di hati masyarakat apabila masyarakat memiliki pendidikan formal dan informal yang cukup baik. Karena tingkat pendidikan yang cukup tinggi dan memadai, seharusnya warga di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk sudah tidak ada lagi yang melakukan pernikahan sirri.


(62)

53

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Profil Informan Masyarakat Kebon Jeruk

Data untuk tulisan ini bersumber dari wawancara yang penulis lakukan kepada beberapa informan yang penulis dapatkan di wilayah Kebon Jeruk. informan yang dimaksud adalah warga masyarakat Kebon Jeruk yang mempunyai pengalaman pribadi terkait dalam hal nikah sirri. Dari sekian banyak warga di wilayah Kebon Jeruk penulis mengambil sampel hanya 6 orang yang penulis bagi menjadi empat kategori, 3 orang adalah pelaku pernikahan, 1 orang tokoh masyarakat, 1 orang Amil, dan 1 orang aparatur hukum yaitu Kepala KUA. 6 orang informan yang penulis wawancarai yaitu:

a. Drs. H. Abdul Rachman, selaku Aparatur Hukum yaitu Kepala KUA. b. al-Ustadz H. Urwah Salim, selaku Tokoh Masyarakat.

c. al-Ustadz H. Zarkasih, selaku Amil sekaligus Tokoh Masyarakat.

d. Ita (inisial), Karumi (inisial), Sari (inisial), selaku pelaku praktek pernikahan sirri.

Sebagai tahap awal, penulis mengajukan pertanyaan yang berkenaan dengan karakteristik informan, karena menurut pengamatan penulis identitas informan khususnya yang berkaitan dengan pendidikan dan status dapat mempengaruhi pola pikir informan dalam memandang praktek nikah sirri. Kemudian tahap selanjutnya adalah mengajukan pertanyaan yang berkenaan


(1)

Wawancara dengan Responden V

Wawancara ini dilakukan pada tanggal 15 November 2010, pukul 08.30 WIB, bertempat di kediaman informan di jl. Anggrek kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat. Wawancara ini dilakukan terhadap Ust. H. Urwah Salim, sebagai tokoh masyarakat di wilayah ini

Ahmad Zulfahmi (Az) : Apa yang Anda ketahui mengenai hakikat pernikahan? Urwah Salim (Us) : Untuk mengikuti sunah Rasul.

Az : Apa yang Anda Ketahui mengenai tujuan dari pernikahan? Us :Menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.

Az : Apa yang Anda ketahui mengenai rukun dan syarat sebuah pernikahan? Us : Ada calon pengantin laki-laki dan perempuan, dua orang saksi, ijab qabul,

wali dan mahar.

Az : Bagaimana pandangan Anda terhadap Undang-undang pernikahan saat ini? Apakah sudah sesuai dengan syari’at Islam atau belum?

Us : Sudah sesuai..

Az : Apakah Anda mengetahui perihal tentang praktek nikah sirri pada masyarakat di wilayah Kebon Jeruk?

Us : Kalo denger-denger saja si pernah, tapi kalo lihat secara langsung belum pernah.

Az : Bagaimana pandangan Anda terhadap praktek nikah sirri, Alasannya?

Us : Sebenarnya setiap pernikahan itu dikatakan sah apabila proses pelaksanaannya sesuai dengan syari’at Islam dan resmi menurut


(2)

Undang-undang Perkawinan. Dan menurut Saya nikah sirri itu sah tapi sebaiknya jangan dilakukan karena dibandingkan dengan mashlahatnya mudharatnya lebih banyak, karena kita hidup didunia bukan hanya diatur oleh Syari’at Islam tetapi juga diatur dalam Aturan-aturan Di Negara ini.

Az : Apakah nikah sirri itu ada dasarnya dalam Agama? Us : Tidak ada.

Az : Menurut Anda faktor apa saja yang dapat membuat seseorang melakukan nikah sirri itu?

Us : Kalo yang saya tahu karena faktor ekonomi. Atau karena ingin nikah lagi agar tidak diketahui isterinya.

Az : Bagaimana dampak dan pengaruh sosial bagi kehidupan rumah tangga pada masyarakat akibat nikah sirri?

Us : Ya bisa menjadi omongan masyarakat, bisa menimbulkan fitnah dan dapat merusak hubungan keluarga.

Az : Menurut Anda bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat Kebon Jeruk Tentang perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan di Indonesia? Us : Menurut saya sudah cukup tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat

Kebon Jeruk tentang perkawinan, karena sekalipun ada yang melakukan tapi sangat jarang sekali saya mendengar orang yang melakukan pernikahan seperti itu.

Az : Bagaimana pemahaman masyarakat Kebon Jeruk tentang perkawinan Islam?


(3)

Us : Sepertinya sudah banyak yang mengerti.

Az : Bagaimana peranan Anda dalam mengantisipasi terjadinya praktek nikah sirri?

Us : Saya hanya sebagai guru ngaji di wilayah ini dan yang hanya bisa saya lakukan ya sebagai pemberi nasihat agar kalo bisa jangan nikah sirri.

Az : Bagaimana sikap dan pandangan masyarakat luas sekitar wilayah Kebon Jeruk terhadap praktek nikah sirri pada pasangan yang sudah melakukannya? Us : Biasa-biasa saja habis mau bagaimana lagi sudah terlanjur terjadi.

Az : Bagaimana tanggapan para Ulama mengenai nikah sirri?

Us : Boleh-boleh saja asal sesuai dengan syari’at Islam tapi kalo bisa jangan. Az : Saran apa yang dapat Anda berikan untuk warga masyarakat Kebon Jeruk di

sini?

Us : Usahakan melakukan pernikahan yang sah menurut agama Islam dan resmi menurut Undang-undang Perkawinan.

Jakarta, 12 Oktober 2009


(4)

Wawancara dengan Informan VI

Wawancara ini dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2010, pukul 13.45 WIB, bertempat di kantor informan KUA Kebon Jeruk Jakarta Barat. Wawancara ini dilakukan terhadap Drs. H. Abd. Rachman, sebagai Kepala KUA di wilayah Kebon Jeruk Jakarta Barat..

Ahmad Zulfahmi (Az): Apa yang Anda ketahui mengenai hakikat pernikahan? Abd. Rachman (Ar) : untuk mengikuti sunah Rasul.

Az : Apa yang Anda Ketahui mengenai tujuan dari pernikahan? Ar : Untuk mencapai suatu ketetangan.

Az : Bagaimana pandangan Anda terhadap Undang-undang pernikahan saat ini? Apakah sudah sesuai dengan syari’at Islam atau belum?

Ar : Sudah sesuai, sebab Undang-undang tersebut mampu melindungi hak-hak perempuan dan anak.

Az : Bagaimana pandangan Anda terhadap praktek nikah sirri? Mengapa?

Ar : Menurut saya nikah sirri itu tidak sah dan tidak diperbolehkan, karena pernikahan tersebut tidak resmi dan merupakan suatu pelanggaran terhadap Undang-undang Perkawinan dan dapat dikenakan sanksi Pidana.

Az : Menurut pendapat Anda faktor apa seseorang melakukan praktek nikah sirri? Ar : Yang saya tahu salah satu faktornya mereka hanya ingin melampiaskan

hasratnya atau hanya ingin bersenang-senang.

Az : Berapakah jumlah kasus praktek nikah sirri yang bapak ketahui di wilayah Kebon Jeruk?


(5)

Ar : Tidak tahu, karena saya tidak pernah mendengar apalagi melihat secara langsung dan jika saya tahu maka mereka akan saya laporkan.

Az : Bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat Kebon Jeruk tentang pernikahan?

Ar : Tingkat kesadaran hukum masyarakat di wilayah Kebon Jeruk sudah cukup tinggi mengenai pernikahan.

Az : Apa saja dampak yang timbul diakibatkan karena praktek nikah sirri? Positif dan negatif.

Ar : Untuk masalah negatifnya banyak sekali dan yang paling dirugikan itu adalah dari pihak perempuan dan anak, dan untuk yang positifnya saya kira tidak ada.

Az : Apakah masyarakat di wilayah Kebon Jeruk sudah mengetahui tata cara pernikahan dan prosedur-prosedur yang benar?

Ar : Ya, mereka sudah tahu.

Az : Bagaimana proses pernikahan bagi pasangan yang melakukan nikah sirri? Ar : setahu saya sama aja dengan pernikahan yang resmi hanya saja tidak dicatat

saja oleh pihak KUA.

Az : Saran apa yang dapat Anda berikan bagi masyarakat khususnya di wilayah Kebon Jeruk?

Ar : Sebaiknya masyarakat melakukan pernikahan yang sah menurut hukum Islam dan hukum Positif.


(6)

Az : Apakah ada sanksi hukum bagi mereka yang melakukan nikah sirri? Bagaimana dan apa alasannya?

Ar : Sudah jelas ada sanksi hukumnya bahkan sekarang dikenakan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan praktek nikah sirri, karena sudah jelas itu melanggar Undang-undang perkawinan.

Az : Langkah-langkah apa saja yang sudah dilakukan pihak KUA dalam menghadapi kasus pernikahan sirri di wilayah Kebon Jeruk?

Ar : Yang sudah berjalan kami melakukan program penuluhan di wilayah sekitar Kecamatan Kebon Jeruk mengenai pernikahan sebanyak 2x dalam sebulan, dan mengadakan program nikah gratis selama 1 tahun sekali.

Jakarta, 30 September 2009