PERADILAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB III DIMENSI PERADILAN AGAMA

A. PERADILAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

1. Pengertian Peradilan Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per” dan dengan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari qadha, yang berarti memutuskan, melaksanakan, menyelesaikan. Dan adapula yang menyatakan bahwa, umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan. 1 Dalam literatur-literatur fikih Islam, peradilan disebut qadha, artinya menyelesaikan, seperti Firman Allah SWT: ☺ . Artinya: “Manakalah Zaid telah menyelesaikan keperluan dari zainab”. Q.S. Al-Ahzab: 37. Ada juga yang berarti menunaikan, seperti Firman Allah SWT: . 1 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, h.1. 33 Artinya: “Apabila shalat telah ditunaikan maka berteberanlah kepelosok bumi”. Q.S. Al-Jumu’ah: 10. Kata peradilan menurut istilah ahli fikih adalah: 1. Lembaga Hukum tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan 2. Perkataan yang harus dituruti, yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan sesuatu hukum, karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, di mana hukum Islam itu syariat, telah ada sebelum manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada. 2 Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia merupakan satu kebutuhan hidup bermasyarakat. Pemerintahan tidak dapat berdiri tanpa adanya peradilan, karena peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa di antara para penduduk. 3 2 Ibid, h.2. 3 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, h.3. Peradilan adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Di dalam peradilan itu terkandung menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar, menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. 4 2. Unsur- Unsur Peradilan a. Hakim Qadhi Qhadi adalah orang yang diangkat oleh Kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang perdata, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan. Sudah jelas bahwa Nabi sendiri menunjuk beberapa penggantinya untuk menjadi hakim. 5 b. Hukum Hukum yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Hukum ini adakala dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim berkata “Saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang”. Putusan tersebut dinamakan qadha ilzam atau qadha isthiqaq. 4 Ibid, h.3. 5 Ibid, h.39. Dalam pada itu ada yang berpendapat bahwa qadha ilzam ini ialah menetapkan sesuatu dengan dasar yang menyakinkan, seperti berhaknya sesorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha isthiqaq, ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari ijtihad, seperti halnya sesorang tetangga mengajukan hak syuf’ah. 6 c. Mahkum Bihi Di dalam qadha ilzam dan qadha isthiqaq ialah sesuatu yang diharuskan oleh qadhi hakim supaya si tergugat memenuhinya. Di dalam qadha ‘ut-tarki, ialah menolak gugatan. Ringkasnya, mahkum bihi adalah suatu haq. Maka haq ini adakala dipandang hak yang murni bagi Allah atau hamba, adakala hak yang dipersekutukan antara keduanya tetapi salah satunya lebih berat. Diharuskan hak yang merupakan mahkum bihi, dikenal oleh kedua belah pihak. 7 d. Mahkum ‘Alaihi Si Terhukum Mahkum ‘Alaihi adalah orang yang dijatuhkan hukum atasnya. Dalam hak-hak syara’, adalah orang yang diminta untuk memenuhi sesuatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya, baik dia orang yang 6 Ibid, h.39-40. 7 Ibid, h.40. tergugat ataupun bukan. Mahkum ‘alaihi ini boleh seorang saja dan boleh juga banyak. 8 e. Mahkum Lahu Si Pemegang Perkara Mahkum Lahu adalah orang yang menggugat sesuatu hak. Baik hak itu hak yang murni baginya atau sesuatu yang terdapat padanya dua hak, akan tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini, haruslah ia memajukan gugatan, meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak sendiri ataupun dengan perantaraan wakilnya. Dan di dalam memutuskan perkara, boleh dia sendiri yang menghadiri sidang pengadilan ataupun wakilnya. 9 f. Sumber Hukum Putusan Dari keterangan-keterangan ini nyatalah, bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima. Oleh karena itu pula sesuatu yang bukan merupakan suatu peristiwa atau kejadian, dan hal-hal itu yang masuk kedalam bidang ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang peradilan. 10 3. Macam- Macam Dakwaan Gugatan Hukum Acara Peradilan Islam a. Dalil Pokok Gugatan 8 Ibid, h.40. 9 Ibid, h.41. 10 Ibid, h.41. Dalil pokok bagi masalah dakwaan, sebagaimana firman Allah SWT: Artinya: “Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum mengadili di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Q.S. An-Nur: 48. b. Pengertian Dakwaan Dakwaan dalam pengertian bahasa ialah thalab permintaan dan tamanna pengharapan. Dalam pengertian istilah, gugatan ialah pengaduan yang dapat diterima hakim, yang dimaksudkan untuk menuntut suatu hak pada pihak yang lain. Oleh karenanya syahadat kesaksian dan iqrar pengakuan tidak dimasukkan ke dalam katagori dakwa. Oleh sebab itu masuk ke dalam pengertian dakwa, dakwa da’it ta’arudhi mendakwa, mengapa orang menggugatnya, dan da’wa tath’in niza’ mendakwa, mengapa orang yang tidak jadi meneruskan dakwaanya. Mengingat hal ini, maka da’wa daf’it ta’arudhi harus diterima oleh hakim, sedang da’wa qath’in niza’i tidak dapat diterima oleh hakim, karena si penggugat sebagaimana mempunyai hak untuk menggugat, dan mempunyai juga hak untuk mencabut gugatannya. Hakim tidak dapat memaksa si penggugat harus meneruskan gugatannya. 11 c. Pengertian Mudda’i dan Mudda’a ‘Alaihi 1 Mudda’i penggugat, ialah orang yang menghendaki menuntut dengan pengaduannya supaya diambil sesuatu dari tangan selanjutnya, atau menetapkan suatu hak dalam tanggung jawab orang lain. Ada yang mengatakan bahwa mudda’i, ialah orang yang menuntut atas selainnya untuk dirinya, baik yang dituntut itu benda, ataupun hutang, atau corak yang lain. 2 Mudda’a ‘alaihi tergugat ialah orang yang disandarkan kepadanya suatu tuntutan hak yang dihadapkan atasnya. Mudda’a ‘alaihi tergugat adalah pihak yang harus menjawab gugatan. Hakim dapat memaksanya untuk menjawab atau mengemukakan keterangan yang diperlukan terhadap gugatan yang dihadapkan kepada dirinya oleh si penggugat. 12 d. Rukun Dakwaan 11 Ibid, h.105. 12 Ibid, h.106. Rukun pokok dari pengaduan atau gugatan, ialah menyandarkan sesautu hak kepada diri si penggugat, seperti dia mengatakan “Saya mempunyai suatu hak yang sedang berada di tangan si tergugat”, atau mengatakan bahwa yang diwakilinya mempunyai sesuatu di tangan si tergugat, apabila penggugat itu bertindak sebagai wakil. Jelasnya dakwaan ialah ucapan si penggugat atau wakilnya orang yang berakal dan mumayyiz, yaitu si Fulan berhutang kepadaku sejumlah uang, atau hakku ada padanya, atau aku telah menyelesaikan haknya, atau dia telah membebaskan aku dari haknya. Apabila ini semua telah diucapkan, maka sempurnalah rukun dakwa. 13 e. Syarat- Syarat Sah Dakwaan 1 Pendakwa penggugat itu orang yang berakal sehat, demikian juga mudda’a ‘alahi tergugat. Oleh karenanya, tidaklah diterima gugatan yang dihadapkan kepada orang-orang yang tidak berakal, karena dia tidak dapat memberi jawaban didengar jawabnya atas gugatan yang dihadapkan kepadanya. 13 Ibid, h.107. 2 Mudda’a mudda’a bihi, yakni objek perkara, harus diketahui karena sulit menyelesaikan sesuatu perkara yang tidak dikenal oleh pihak yang bersangkutan. 14 f. Hukum Dakwaan dan Hal-Hal Yang Berpautan Dengan Dakwaan. Mudda’a ‘alaihi, wajib menjawab gugatan yang dihadapkan kepadanya karena menghilangkan persengketaan dan pertengkeran adalah suatu hal yang wajib. Hal ini tidak dapat diselesaikan tanpa ada jawaban dari mudda’a ‘alaihi. Jelasnya, apabila gugatan telah dipandang hakim memenuhi prosedur yang benar, barulah hakim menghadapkan pertanyaan kepada pihak yang tergugat dan menanyakan pendapatnya. Apakah dia membenarkan gugatan itu, ataukah tidak. Apabila mudda’a ‘alaihi dinyatakan harus menjawab, maka dia dapat membenarkan gugatan, dapat menolak dan dapat berdiam diri. Jika dia menolak membantah maka jika mudda’i mempunyai bayyinah bukti, hendaklah dia mengemukakan bayyinahnya membuktikan kebenaran dakwaannya. 15 g. Hujjah-Hujjah Mudda’i dan Mudda’a ‘Alaihi Bukti dimintakan kepada mudda’i, sedang sumpah pada umumnya dalam banyak hal dikenakan atas mudda’a ‘ alaihi. Hal ini adalah logis 14 Ibid, h.108. 15 Ibid, h.111. mantiqi, karena mudda’i mendakwa sesuatu yang tersembunyi yang berlawanan dengan kenyataan, yang berada di tangan yang lain. untuk membuktikan kebenarannya, perlulah ia mengemukakan bukti. Sumpah, walaupun dikuatkan dengan asma Allah SWT namun tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan mudda’a ‘alaihi, tetapi dapat dijadikan hujjah untuknya karena benda yang diperkarakan itu berada di tangan mudda’i. 16 h. Pertentangan Dua Dakwa Gugatan Tentang Hak Milik Pertentangan dua dakwa tentang hak milik, ialah pertentangan dua bukti. Jalan yang harus ditempuh bila terjadi yang demikian, ialah mencari dalil yang rajih kuat dari antara dua dalil dan menggunakannya, jika mungkin dilakukan. Jika tidak dapat ditarjihkan dikuatkan salah satunya, kita ambil kedua-duanya seberapa dapat untuk membenarkan kedua-dua dakwaan itu. 17 i. Pertentangan Gugatan Tentang Jumlah Milik Apabila pihak penjual berbeda pendapat dengan pihak pembeli, tentang jumlah barang yang diperjual belikan, maka mungkin mereka berbeda pendapat tentang harga dan mungkin tentang benda yang diperjual belikan. 16 Ibid, h.112. 17 Ibid, h.117. Kalau tentang harga, maka dapat tentang jumlah harga, dan dapat tentang jenisnya, ataupun tentang waktunya. Tapi jika tentang jumlah harga, seperti si penjual berkata “Saya jual ini dengan harga Rp. 2000,- sedang pihak pembeli mengatakan Rp. 1000,- maka jika barang yang diperselisihkan tentang harganya itu masih ada, hendaklah keduanya bersumpah, lalu barang itu dikembalikan kepada penjual. Dalam keadaan ini kedua-duanya menjadi mudda’i dan mudda’a ‘alaihi. Kalau sudah diserahkan diterimakan, maka pernyataan pembeli diterima dengan sumpahnya. 18

B. Kewenangan Relatif dan Absolut Peradilan Agama