Penyelesaian perkara syiqaq : analisis putusan pengadilan agama sumber Cirebon nomor 011s/pdt.g/2009/pa,sbr

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD TAQIYUDDIN AL QISTHY NIM: 106044101425

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Program Strata Satu (S 1) pada Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 17 Juni 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 19550505191982031012

Panitia Ujian Munaqasah

1. Ketua : Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM(………….)

NIP. 19550505191982031012

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………….)

NIP. 197202241998031003

3. Pembimbing I : Drs.H.Sayed Usman, SH, MH (………….)

NIP. 195607031983031002

4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………….) NIP.197202241998031003

5. Penguji I : Dr. H. Umar Al Haddad, M.Ag (………….)

NIP.196809041994011001

6. Penguji II : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH (………….) NIP. 196911211994031001


(3)

Nomor:0118/Pdt.G/2009/PA.SBR) Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD TAQIYUDDIN AL QISTHY NIM. 106044101425

Di bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Drs.H. Sayed Usman, SH, M.H Kamarusdiana, S.Ag, M.H

NIP.150 216 755 NIP.197202241998031003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGAM STUDI AL-AHWAL AL-SAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(4)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD TAQIYUDDIN Al QISTHY NIM: 106044101425

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Sarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juni 2010


(6)

serta kekuatan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai bagian dari tugas akademis di konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya, tabi’in dan tabi’at hingga sampailah kepada kita yang mengikuti risalahnya sampai akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “ Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR)”

akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan penulis. Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam mensukseskan harapan penulis.

Sebagai bahan yang berharga ini perkenankan penulis menuangkan dalam bentuk ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta yang banyak memberikan nasihat-nasihat yang berharga demi meningkatkan kualitas spiritual dan intelektual kepada mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum.


(7)

3. Kamarusdiana, S.Ag,MH. Sekertaris Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah yang banyak membantu dengan tulus ikhlas kepada penulis selama proses perkuliahan selama empat tahun ini dan membantu memudahkan mahasiswa secara birokrasi dan administrasi kampus.

4. Drs.H.Sayed Usman,SH, MH dan Kamarusdiana, S.Ag, MH selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan kariernya masing-masing dalam memberikan masukan maupun nasihat dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama di bangku kuliah. 6. Drs.Oon Syahroni, SH Ketua Pengadilan Agama Sumber beserta seluruh staf

jajarannya baik Panitera, Panitera Muda Hukum, dan hakim-hakim wa bil khusus kepada Bapak Drs.Ahmad Sodikin dan Drs. Bahruddin yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai demi terselesaikan penelitian ini. Di samping itu juga membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Rasa Ta’zhim & terima kasih yang mendalam kepada ayahanda Drs.Mujahidin dan Ibunda tercinta Ety Herawati, A.md.Pd., yang telah memberikan banyak motivasi dan beaya pendidikan selama ini sampai ke jenjang Perguruan Tinggi


(8)

studi dan juga atas perjuangan mereka yang telah mendidik dan mengajarkan arti kehidupan. Penulis persembahkan skripsi ini.

8. Adik-adikku tercinta, Ahmad Khotibul Umam dan Zaki Mahmud yang memberikan support kepada penulis selama kuliah di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Para Ustadz Madrasah Mu’allimin Muhammadiyyah Yogyakarta dan teman-teman seperjuangan yang kini telah menjadi alumni yang telah memberikan dukungan doa demi selesainya studi di kampus tercinta ini.

11. Sahabat-sahabat seperjuangan di kelas PA B angkatan 2006 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah bersama-sama berjuang dalam menuntut ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di Fakultas Syariah dan Hukum yang tercinta dan atas persahabatan yang selama ini dibangun tak akan tergantikan kapan dan di manapun itu tetap akan dikenang tak terlupakan oleh penulis.

12. Teman-teman Pengurus Badan Eksekutif Jurusan Peradilan Agama (BEMJ PA) yang banyak memberikan pengajaran organsisasi selama penulis kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum tercinta.

Semoga amal yang telah diberikan kepada penulis dapat dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda. Demi kesempurnaan skripsi ini di masa


(9)

د

kita semuanya. Fastabiqul khoirot

Jakarta, 2 Juni 2010 Penulis


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Review Studi Terdahulu... 14

F. Kerangka Teori... 16

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum ... 25

B. Macam-macam Perceraian ... 35

C. Alasan-alasan Perceraian ... 43

D. Perbedaan Cerai Gugat dengan Cerai Talak ... 46

BAB III SYIQAQ DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pengertian Syiqaq dan Landasan Hukum ... 48

B. Perbedaan Syiqaq dengan Nusyuz ... 51

C. Syarat-syarat dan Tugas Hakam... 55

D. Kedudukan Keluarga dalam Perkara Syiqaq ... 59

BAB IV PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ DI PENGADILAN AGAMA SUMBER, CIREBON A. Faktor-Faktor Terjadinya Syiqaq di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon ... 63

B. Proses Pemeriksaan Perceraian dengan Alasan Syiqaq di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon ... 64


(11)

vi BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 86 B. Saran-saran... 88

DAFTAR PUSTAKA... 90 LAMPIRAN

Profil Pengadilan Agama Sumber

Laporan Wawancara dengan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Sumber Laporan Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Sumber

Putusan Pengadilan Agama Sumber Nomor: 0118/PDt.G/2009/PA.SBR Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Pengadilan Agama Sumber Laporan Perceraian Pada Pengadilan Agama Sumber Pada Tahun 2009


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan implementasi dari naluri sifat manusia, Allah secara tegas mengintrodusir ciptaan-Nya dalam Al Qur’an dengan berpasang-pasangan, dan berjodoh-jodoh. Untuk terwujudnya hidup berpasang-pasangan tersebut, maka perlu aturan yang disebut hukum perkawinan.1

Filosofi dasar perkawinan adalah upaya menciptakan kehidupan suami isteri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina rumah tangga sakinah, mawadah, dan rahmah. Setiap suami isteri tentu saja mendambakan kehidupan rumah tangga yang langgeng sepanjang hayat di kandung badan.2

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat sakral dalam perjalanan kehidupan umat manusia. Dikatakan sakral karena dalam akad pernikahan yang dilangsungkan tersebut pihak suami mengucapkan akad nikah dimana dia dengan suka rela telah menyatakan qobul dari ucapan ijab wali calon isteri. Sebab dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 disebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam

1Baharudin Ahmad , Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Historis Metodologis (Jakarta :

Gaung Persada Press, 2008), h.4.


(13)

adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.3

Diadakan akad nikah adalah untuk selama-lamanya sampai suami isteri tersebut meninggal dunia karena yang diinginkan oleh Islam adalah langgengnya kehidupan perkawinan. Suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik agar anak-anak bisa menjadi generasi yang berkualitas. Oleh karena itu, ikatan antara suami isteri adalah ikatan yang paling suci dan teramat kokoh4.

Namun, dalam kenyataan harus diakui memang tidak mudah untuk membina suatu perkawinan yang bahagia, bahkan sering terlihat dalam berbagai informasi baik dari media cetak maupun elektronik terdapat berbagai kasus perceraian yang mengakibatkan perkawinan mereka kandas di tengah jalan. Bukannya kebahagiaan atau ketentraman yang diperoleh di dalam rumah tangga, tetapi yang terjadi adalah pertengkaran yang sengit antara suami isteri tersebut.

Dengan melihat hal itu, kehidupan rumah tangga ibarat seseorang yang mendaki gunung yang tinggi. Dimana pendaki gunung tersebut harus melewati berbagai rintangan yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Cara yang dilakukan oleh pendaki tersebut berbeda satu dengan yang lainnya dalam

3

Zainal Abidin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Cet.3(Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1993), h.307.

4

Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah Kajian Hukum Islam Kontemporer (Bandung : Angkasa, 2005), h. 162.


(14)

menghadapi serta menanganinya. Ada yang berhasil mendaki sampai puncak tertinggi dan ada pula yang berjatuhan di tengah perjalanan. Demikian juga keadaan setiap manusia yang sedang menjalani kehidupan rumah tangga, tidak berbeda dari pendaki gunung yang tinggi yang penuh dengan berbagai macam rintangan.

Dalam kenyataan menunjukkan bahwa hubungan suami isteri tidak selamanya dapat dipelihara secara harmonis, kadang-kadang suami isteri itu gagal dalam mendirikan rumah tangganya karena menemui beberapa masalah yang tidak dapat diatasi. Meskipun suami isteri sedang terbakar api kemarahan dan kebencian, tetapi pengakhiran dan penyelesaian persoalan harus dilakukan secara baik dan benar, sebagaimana ketentuan ajaran agama dan hukum yang berlaku. Upaya mengakhirkan kemelut berkepanjangan dapat diselesaikan melalui alternatif talak (perceraian).

Walaupun dengan pedoman tersebut Rasulullah SAW memperingatkan secara bijak bahwa tindakan itu tidaklah diinginkan, kecuali dalam situasi yang sangat darurat dimana sudah tidak ada harapan lagi untuk dipertahankan pernikahan mereka, sehingga solusi terakhir yang harus diambil kedua belah pihak yaitu perceraian demi menghindari kemudharatan yang diderita oleh pihak suami atau isteri yang mengalami percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangganya.5

Untuk mengatasi kasus perceraian antara suami isteri yang beragama Islam, maka masing-masing pihak diberi hak oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

5

Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), h.23.


(15)

Agama untuk mengajukan permohonan cerai talak bagi suami dan begitu pula bagi isteri diberi hak yang sama untuk mengajukan cerai gugat kepada Pengadilan Agama. Tentunya mereka harus mempunyai alasan yang kuat mengapa perceraian tersebut bisa terjadi.

Perceraian tidak dapat terjadi kecuali dengan sebab-sebab yang dapat dipertanggung jawabkan seperti yang telah diatur dalam kitab-kitab fiqih dan peraturan perundang-undangan. Tujuan dari aturan tersebut agar melindungi kehormatan suami dan istri, sehingga ucapan talak tidak sembarang dilontarkan oleh suami pada isterinya, akan tetapi dia harus mengajukan permohonan talak di depan sidang Pengadilan Agama.6

Dari salah satu sebab perceraian dalam kitab fiqih adalah syiqaq yaitu perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri. Dimana keduanya memang saling bertengkar hebat sehingga perkawinan mereka hampir berujung retak. Oleh karena itu, Allah memberikan solusi yang sangat bijak agar menunjuk seorang hakam yaitu juru penengah, pendamai dari keluarga suami dan satu orang hakam dari keluarga isteri. Dipilih hakam dari pihak keluarga karena biasanya mereka mengetahui keadaan yang terjadi dalam rumah tangga suami isteri yang sedang cekcok tersebut. Diharapkan orang yang ditunjuk sebagai hakam ini bisa menasehati suami isteri yang sedang bertengkar hebat tersebut, sehingga mereka bisa rukun

6

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2004), h.233-234.


(16)

kembali perkawinannya dan mengurungkan niatnya untuk bercerai di depan sidang Pengadilan Agama.

Dari pengamatan yang penulis perhatikan ternyata kasus Perceraian dengan alasan syiqaq bisa dikatakan tergolong banyak terjadi di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon, Jawa Barat apabila dihitung secara kuantitatif selama tahun 2009 mencapai 1.538 perkara.7 Sempat terlintas dalam benak penulis sebenarnya faktor-faktor apa saja yang mendorong para pihak mengajukan perceraian dengan alasan syiqaq, lalu setelah surat permohonan atau gugatan cerai tersebut diterima oleh Pengadilan Agama dan ditunjuk Majelis Hakim yang memeriksa perkara perceraian dengan alasan syiqaq. Maka, bagaimana tata cara Majelis Hakim dalam memeriksa perkara tersebut. Sejumlah pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong rasa ingin tahu penulis dan ini menarik untuk diteliti lebih lanjut, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon No: 0118/ Pdt.G/2009/PA.SBR)”.

B.Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada kasus gugatan perceraian yang diajukan oleh isteri dengan alasan syiqaq yang pada mulanya disebabkan oleh kecemburuan suami kepada isterinya,

7


(17)

sehingga menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, kemudian diajukan ke Pengadilan Agama Sumber, Cirebon dengan khusus menitikberatkan terhadap putusan No: 0118/ Pdt.G/2009/PA.SBR.

Dari data yang penulis ketahui di Pengadilan Agama Sumber, perceraian yang masuk dalam kategori syiqaq ini termasuk banyak, terbukti selama tahun 2009 perkara syiqaq yang telah diputus mencapai 1.538 perkara.8 Di samping itu, sebagaimana dirilis oleh situs resmi Badan Peradilan Agama (Badilag), Badilag.net dicantumkan bahwa sepanjang tahun 2009 dari seluruh Pengadilan Agama yang tersebar di wilayah Indonesia ternyata Pengadilan Agama Sumber termasuk urutan kelima sebagai Pengadilan yang mendapat rating yang tinggi dalam menerima dan memutus perkara perceraian.9

2. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan tersebut, maka penulis merincinya dengan membuat beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya syiqaq di antara para pihak yang berperkara selama tahun 2009 di Pengadilan Agama Sumber ? 2. Bagaimana tata cara pemeriksaan kasus syiqaq yang diselesaikan oleh Majelis

Hakim Pengadilan Agama Sumber, Cirebon ?

3. Bagaimana pertimbangan hukum dan amar putusan yang digunakan oleh

8

Ibid.

9

Anonim, “Data Perkara Terbesar Pengadilan Agama Tahun 2009”, artikel diakses pada

20Mei 2010 dari http://


(18)

Majelis Hakim tersebut dalam putusan perkara nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA. SBR?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama, khususnya dalam ruang lingkup perkara perceraian dengan alasan syiqaq di Pengadilan Agama Sumber. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya syiqaq.

2. Memperoleh pengetahuan tentang tata cara pemeriksaan kasus syiqaq yang diselesaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Sumber, Cirebon. 3. Mengetahui pertimbangan hukum dan amar putusan yang digunakan oleh

Majelis Hakim dalam putusan perkara nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA. SBR. 2. Manfaat Penelitian

Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat di antaranya sebagai berikut:

a. Secara teoritis menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum yang secara spesifik membahas tentang proses berjalannya suatu perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan harapan akan menunjang kemampuan mahasiswa mengenai hukum formil dan pengetahuan beracara di lingkungan Peradilan Agama.


(19)

b. Secara praktis sebagai bahan rekomendasi bagi para advokat dan hakim

Pengadilan Agama untuk dijadikan referensi dalam menghadapi kasus perceraian dengan alasan syiqaq.

c. Memberikan pengetahuan secara mendalam mengenai pertimbangan Majelis Hakim pada putusan dalam memutus perceraian dengan alasan syiqaq.

D.Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa metode antara lain:

1. Pendekatan Penelitian

Dari segi metode penelitian hukum, dengan melihat objek pembahasan ini tertuju pada penelitian suatu putusan Pengadilan, maka kajian ini termasuk pada penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10

Dalam kaitannya dengan penelitian hukum normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yang bisa membantu penulis dalam menganalisis putusan Pengadilan, yakni: pendekatan perundang-undangan (statute approach),

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat


(20)

pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan analitis (analytical approach).11

Maksud masing-masing pendekatan tersebut secara operasional adalah

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan ini digunakan untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang digunakan oleh majelis hakim Pengadilan Agama Sumber sebagai dasar hukum dalam pertimbangan hukum dan amar putusan yang dijatuhkan.

b. Pendekatan konseptual (conceptual approach), dilakukan berkenaan dengan konsep perceraian dalam hukum Islam termasuk juga doktrin fiqih dalam kaitannya dengan persoalan syiqaq, dan asas-asas yang terdapat dalam hukum acara Peradilan Agama termasuk pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan syiqaq yang menjadi lex specialis (aturan khusus) dari ketentuan perceraian pada umumnya.

c. Pendekatan analitis (analytical approach), dilakukan untuk mengetahui pengertian hukum, asas hukum, dan kaidah hukum yang tersimpan dalam putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber khususnya perkara syiqaq yang sejatinya merupakan upaya positivisasi hukum Islam terkait dengan hukum keluarga.

11

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.3 (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h.300.


(21)

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian setelah penulis melihat data yang dibutuhkan dalam judul skripsi ini, maka termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang atau perilaku yang diteliti.12 Dalam hal ini karena termasuk pendekatan normatif, maka jenis penelitian ini bisa disebut sebagai penelitian kepustakaan.

3. Sumber Data

Sebagai suatu penelitian hukum normatif yang hanya ditujukan pada putusan Pengadilan Agama Sumber, maka jenis data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah berupa bahan-bahan hukum.13 Dalam hal ini, baik yang bersumber dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.14

Adapun bahan-bahan hukum dimaksud adalah: a. Bahan hukum Primer

Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Di antara yang termasuk kategori tersebut adalah peraturan perundang-undangan dan

12

Sudarman Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h.51.

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3 (Jakarta: UI Press, 1986), h.51.

14


(22)

putusan hakim.15 Dari penjelasan tersebut jika dikaitkan dengan objek pembahasan ini, maka bahan hukum primer itu terdiri dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di samping itu berupa putusan cerai dengan alasan syiqaq dengan nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA. SBR yang diperoleh dari Pengadilan Agama Sumber, Cirebon.

b. Bahan Hukum Sekunder

Dari penelitian ini sebagai pelengkap data dalam mencari jawaban dari permasalahan yang disebutkan sebelumnya, maka diperlukan bahan hukum sekunder baik berupa kitab-kitab fikih yang merupakan hasil karya para ahli dalam bidang hukum Islam,16 jurnal-jurnal hukum, kamus hukum,17 dan hasil interview (wawancara) dalam bentuk tertulis.18

Dalam hal ini penulis melakukan interview (wawancara) terstruktur terhadap panitera muda hukum sebagai pejabat peradilan yang membuat laporan tertulis berupa data-data perkara di Pengadilan yang didokumentasi

15

Ibid.

16

Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h.52.

17

Peter Mahmud, Penelitian Hukum, h.155.

18


(23)

setiap tahun. Di samping itu, penulis juga melakukan wawancara kepada salah satu hakim Pengadilan Agama Sumber yang memeriksa perkara ini, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Mengumpulkan berbagai referensi baik berupa buku-buku, jurnal-jurnal hukum, dan kitab-kitab fikih yang khusus berbicara tentang penyelesaian perkara syiqaq lalu dihubungkan dengan putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR dan peraturan perundang-undangan yang mengatur syiqaq khususnya pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo 116 (f) Kompilasi Hukum Islam. Dari data tersebut diolah sedemikian rupa, sehingga akan terlihat dengan jelas sebagai jawaban atas rumusan masalah yang dikaji. b. Interview atau wawancara, yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih


(24)

diwawancara.19 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara terstruktur dengan pihak-pihak yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini yaitu panitera muda hukum dan hakim yang memeriksa perkara syiqaq ini. Dengan tujuan agar memperoleh data yang lengkap sebagai alat dalam membantu menemukan jawaban atas permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini.

5. Teknik Analisis Data

Metode analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Data kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.

Untuk memperjelas analisis data tersebut, maka penulis menggunakan dua teori yang relevan yaitu teori strukturalis fungsional sebagai pisau analisis untuk melihat faktor-faktor penyebab terjadinya syiqaq selama tahun 2009 di Pengadilan Agama Sumber dan teori konkretisasi hukum yang digagas oleh Hans Kelsen lalu dikembangkan oleh Hans Nawiasky sebagai pijakan teori dalam menganalisis pertimbangan hukum dan amar putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR.

19

Asep Syamsul M.Romli, Jurnalistik Praktis, Cet.3 (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2001), h.23.


(25)

6. Teknik Penulisan

Adapun untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”

E.Review Studi Terdahulu

Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh penulis. Ternyata setelah penulis membaca beberapa skripsi tersebut ditemukan pembahasan yang berbeda dengan judul skripsi yang akan penulis ajukan, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak akan timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan 2 buah skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, diantaranya sebagai berikut:

1. Judul: “Hakam Menurut Imam Mazhab dan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta peranannya dalam menyelesaikan sengketa perceraian (Studi Kasus Pengadilan Agama Jakarta Utara)” yang ditulis oleh Budi Setiawan/ PF/PMH/2006.

Skripsi ini membahas seputar tentang pengertian Hakam, syarat-syarat menjadi Hakam, kemudian membahas perdamaian (hakam) di masa Sahabat dan perdamaian pada sengketa perceraian di masa sekarang. Selain itu, dalam skripsi ini memuat juga mengenai pandangan Imam Mazhab dan Undang-Undang


(26)

Peradilan Agama terhadap Hakam, serta bentuk dan upaya Hakam dalam mendamaikan.

Juga peranan Hakam di Pengadilan Agama Jakarta Utara yang terdiri dari sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Utara, jenis perkara yang ditangani Hakam, serta peranan Hakam dalam sengketa perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.

Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat ialah pada skripsi ini lebih menekankan pada pembahasan Hakam ditinjau dari pendapat Fukoha dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan judul yang penulis angkat membahas tentang penyelesaian perceraian dengan alasan syiqaq (Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/ Pdt.G/2009/PA.SBR).

2. Judul: “Kedudukan dan Kewenangan Hakam Dalam Penyelesaian Masalah Syiqaq Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Kasus di BP 4 Ciputat)”yang ditulis oleh Hidayati Hanubun/ PH/PMH/2008.

Skripsi ini membahas seputar pandangan hukum positif dan hukum Islam tentang pengertian Hakam dan fungsinya, kedudukan dan kewenangan BP 4 sebagai Hakam dalam masalah syiqaq. Selain itu dalam skripsi ini membahas efektifitas BP 4 sebagai Hakam dalam penyelesaian masalah syiqaq.

Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang penulis angkat ialah pada skripsi ini lebih menekankan pada pembahasan bagaimana peranan BP 4 dalam memberi nasihat supaya penyelesaian antara suami isteri yang sedang cekcok,


(27)

sedangkan skripsi penulis akan menbahas tentang faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya syiqaq diantara para pihak yang berperkara, bagaimana proses pemeriksaan kasus syiqaq yang diselesaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Sumber, Cirebon; dan pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim tersebut.

F. Kerangka Teori

Dalam pembahasan yang akan diteliti selanjutnya jelas berkaitan erat dengan masalah sosial yang mempengaruhi jumlah perceraian dengan alasan syiqaq antara para pihak yang berperkara di mana mereka bertempat tinggal baik di desa maupun kota sekitar wilayah dalam yurisdiksi Pengadilan Agama Sumber, Cirebon.

Dari hasil temuan berupa data-data yang diperoleh dari laporan maupun hasil wawancara pribadi dengan Panitera Muda Hukum dan hakim Pengadilan Agama Sumber terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya syiqaq selama tahun 2009, maka selanjutnya penulis akan menggunakan salah satu teori dalam sosiologi yang relevan untuk menganalisis faktor-faktor tersebut, yakni teori fungsional struktural. Penjelasan mengenai teori tersebut akan dipaparkan pada pembahasan berikut ini.

Teori Fungsional Struktural

Fungsional struktural adalah salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari


(28)

bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian-bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan yang lain.20

Selanjutnya perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada bagian lain. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi, sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsinya dengan baik.21

Karena yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini berkaitan dengan isi putusan Pengadilan Agama yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka menurut hemat penulis sebagaimana dikemukakan oleh Cik Hasan Bisri untuk menjelaskan putusan Pengadilan dapat digunakan teori yang relevan, yakni teori konkretisasi hukum (stufenbau theory) yang digagas oleh Hans Kelsen kemudian dikembangkan selanjutnya oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky.22

Dari teori tersebut dipakai sebagai pijakan analisis penulis nantinya terhadap putusan Pengadilan Agama Sumber nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR yang bisa dikatakan mempunyai kontribusi dalam upaya proses penerapan hukum Islam yang berkaitan dengan bidang Perkawinan, sehingga hukum Islam yang tertera dalam Al Qur’an, Sunnah Nabi, dan ijtihad Ulama dalam kitab-kitab fiqih dapat terus

20

Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta : Prestasi Pustakaraya, 2007), h.48.

21

Ibid.

22

Cik Hasan Basri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2004), h.209-210.


(29)

dilanjutkan dan diimplementasikan oleh masyarakat sepanjang masa di seluruh tempat terlebih di Negara Indonesia yang notabene mempunyai warga Negara yang mayoritas beragama Islam.

Agar menjadi jelas dalam pembahasan selanjutnya, maka berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai teori tersebut.

Teori Stufenbau Hans Kelsen

Salah satu teori yang masih dipakai sampai sekarang darinya adalah teori Jenjang (Stufenbautheorieder normen) yang sering disingkat teori stufenbau yang digagas oleh Hans Kelsen dan kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky. Kelsen mengemukakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang–jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti , suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm).23

23

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan I Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan Lainnya (Yogyakarta : Kanisius, 2007), h.41.


(30)

Sebagai norma yang tertinggi, grundnorm tersebut harus diterima secara aksiomatis (kenyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa perlu pembuktian lebih lanjut.24

Teori Kelsen di atas memang masih bersifat umum karena tidak ditujukan khusus kepada norma hukum. Artinya, norma apapun (agama, kesusilaan, sopan santun, dan hukum) mengalami lapisan-lapisan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Dalam perkembangan selanjutnya, teori itu dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky, dengan teorinya Die Stufenordnung der Rechtnormen atau Die Lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsordnung. Berbeda dengan Kelsen, teori Nawiasky lebih bersifat khusus, karena ia sudah menerapkannya terhadap norma hukum sebagai aturan-aturan yang yang dikeluarkan oleh Negara.25

Nawiasky membagi norma hukum dalam empat kelompok norma, yaitu : (1) Staatsfundamental norm, (2) Staatsgrund gesetz, (3) Formulle Gesetze, dan (4) verordnungen dan Autonome Satzungen. Dari pembagian di atas jelas terdapat perbedaan istilah antara Nawiasky dengan Kelsen terutama yang berkaitan dengan norma dasar Negara. Kalau Nawiasky menyebut norma dasar Negara dengan istilah Staatsfundamental norm, bukan grundnorm atau Staatsgrundnorm seperti pendapat Kelsen, dengan pertimbangan apabila dipakai Grundnorm itu mempunyai kecenderungan bahwa norma dasar Negara tidak berubah atau bersifat tetap,

24

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta : PT Gramedia Utama, 1995), h.223.

25


(31)

sedangkan di dalam suatu Negara norma dasar itu negara itu dapat berubah sewaktu-waktu oleh adanya suatu pemberontakan, kudeta, dan sebagainya.26

Di dalam sistem norma hukum Negara Indonesia, Pancasila merupakan norma fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, dan kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, serta hukum dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), Undang-undang (formel gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (verordnung & Autoneme Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom lainnya.27

Dari teori peringkat hukum yang tersusun dari rechtidee (cita hukum/hukum abstrak), norma antara, dan norma konkret tersebut, apabila ditarik untuk melembagakan hukum Islam, maka yang menjadi cita hukum adalah nilai-nilai Islam yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadits Nabi. Norma abstrak ini bersifat universal dan tidak boleh dilakukan perubahan sedikitpun oleh manusia. Norma antara adalah asas-asas hukum Islam dan pengaturannya sebagaimana dikembangkan oleh ahli hukum Islam.28 Norma antara ini merupakan asas-asas hukum yang dihasilkan oleh

26

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, h.47-48.

27

Ibid., h.57.

28

Samsul Bahri, ed.,Membumikan Syariat Islam Strategi Positivisasi Hukum Islam Melalui Yurisprudensi (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2007), h.51.


(32)

ijtihad para Ulama untuk merealisasikan nilai-nilai dalam norma abstrak berdasarkan situasi dan kondisi sosial budaya manusia yang bersangkutan. Sedangkan yang menjadi norma konkret adalah semua hasil penerapannya dalam masyarakat dan penegakannya melalui Pengadilan. (dalam bentuk living law dan hukum positif).29

Menurut Rifyal Ka’bah sebagaimana dikutip oleh Samsul Bahri, sebelum menjadi hukum positif, hukum Islam membutuhkan formulasi dalam bentuk kode-kode hukum Islam (dalam bentuk bahasa hukum umum) yang siap pakai dengan kebutuhan penyelenggaraan hidup berbangsa dan bermasyarakat.30

Menurut Jimly As Shiddiqi sebagaimana dikutip oleh Samsul Bahri, dalam pembentukan hukum dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu dengan melalui prosedur legislasi dan melalui yurisprudensi.31

Pada pembahasan ini akan lebih ditekankan pada positivisasi hukum Islam melalui yurisprudensi karena erat kaitannya dengan putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber perkara nomor : 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Dalam mengupayakan positivisasi hukum Islam yang dilakukan melalui yurisprudensi, maka hakim akan melakukan ijtihad untuk menemukan asas dan kaidah hukum dalam norma yang terkandung dalam Al Qur’an melalui fiqh yang merupakan norma antara, agar bisa diterapkan dalam kasus konkret. Di samping itu,

29

Ibid., h.52.

30

Ibid.

31


(33)

untuk dapat merealisasikan asas norma dalam Al Qur’an pada kasus konkret hakim harus mengerti dan tidak boleh menyimpang dari maqashid al-syari’ah, yaitu tujuan tujuan umum dari norma yang dikandung dalam Al Qur’an yang tidak lain adalah ruh ajaran agama demi kemaslahatan manusia.32

Menurut Padmo Wahjono, norma abstrak hukum Islam berbentuk nilai-nilai yang dikandung dalam kitab suci Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Karena berisi nilai-nilai Al Qur’an, maka norma abstrak dalam sistem hukum Islam bersifat universal, abadi, dan tidak dapat diubah oleh manusia. Norma antara dalam sistem hukum Islam berupa asas-asas dan kaidah pengaturan yang dihasilkan oleh kreasi manusia yang terikat dengan situasi, kondisi, ruang, dan waktu. Norma antara ini adalah karya ilmiah para Ulama, pakar/ ilmuwan Islam (fuqaha), termasuk Kompilasi Hukum Islam (KHI).33

Sedangkan norma konkret hukum Islam adalah semua hasil penerapan dan pelayanan hukum kreasi manusia (yang bersumber dari norma abstrak melalui norma antara) serta penegakan hukum di Pengadilan.34

Kesejajaran hubungan stufenbau theorie dalam positivisasi hukum Islam dapat digambarkan sebagai berikut:

32

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.304.

33

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar, Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h.150.

34


(34)

Norma Hukum Konkret:

Pedoman di dalam penjelasan pasal 28,

Hukum konkret harus berdimensi demokratis,kemanu- siaan dan keadilan sosial

Norma Hukum Indonesia

Teori Stufenbau Hukum Islam

Keterangan:

=garis kesejajaran =garis hubungan

transformasi

Sumber: buku Samsul Bahri,Membumikan Syariat Islam, h.132 Staats- fundamental norm Norma Hukum Antara: UUD 1945 menciptakan pokok pikiran dalam

pasal-pasal. Aturan untuk penyelenggaraan aturan pokok Norma konkret: semua hasil penerapan dan penegakan di Pengadilan Norma Hukum Antara:

Asas dan kaidah pengaturan hasil karya manusia Norma Hukum

Abtrak atau Cita Hukum/ Rechtsidee Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945/ Pancasila, mewujudkan cita hukum yang menguasai hukum dasar Negara (tertulis/tidak tertulis) Autoneme Setzung Staats- grundnorm dan Formeel gesetz Norma Abstrak Nilai-nilai dalam Al Qur’an


(35)

G.Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut:

Bab Pertama : memuat Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Manfaat dan Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu, Kerangka Teori, dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua : memuat Pengertian tentang Perceraian dan Dasar Hukum, Macam-macam Perceraian, Alasan-alasan Perceraian, dan Perbedaan Cerai Gugat dengan Cerai Talak.

Bab Ketiga : memuat Pengertian Syiqaq dan Landasan Hukum, Perbedaan Syiqaq dengan Nusyuz, Syarat-syarat dan Tugas Hakam, Kedudukan Keluarga dalam Perkara Syiqaq.

BabKeempat: memuat Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Syiqaq di Pengadilan Agama Sumber, Proses Pemeriksaan Perceraian dengan Alasan Syiqaq di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon, Duduk Perkara dan pertimbangan hukum, putusan hakim Pengadilan Agama Sumber, dan Analisis Penulis.

Bab Kelima : Merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan skripsi yang berisi Kesimpulan dan Saran-saran.


(36)

BAB II

KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A.Pengertian dan Landasan Hukum

Perceraian terambil dari kata “cerai” dan dalam bahasa Arab sering disebut dengan “thalaq” (ق ). Thalaq secara etimologis sebagaimana tertera dalam kitab Lisan al ‘Arab karangan Ibnu Manzur berarti لﺎ ْر ْﻟاو ﻟا” , artinya “melepaskan atau meninggalkan”.1 Menurut terminologis thalaq didefinisikan oleh beberapa Ulama dengan redaksi yang berbeda sebagaimana akan disebutkan di bawah ini:

Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqh Al Sunnah” memberikan definisi thalaq ialah

ﺔ ﺟْوﺰﻟا

ﺔ ﺎ ﻌْﻟا

ءﺎﻬْإو

جاوﺰﻟا

ﺔﻄ ار

.

2

Artinya: “melepaskan ikatan perkawinan atau menyelesaikan hubungan perkawinan.”

Sedangkan Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya “Al Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu” memberikan definisi thalaq sebagai berikut

ْﻘ

ْوأ

حﺎﻜ ﻟا

ﻄﻟا

ﻆْ

حﺎﻜ ﻟا

و

ق

ﻮْ

.

3

1

Imam Al ‘Allamah ibn Manzur, Lisan al ‘Arab (Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h.630.

2

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 2 (Beirut: Dar Al Fikr, 1983), h.206.

3

Wahbah Zuhailiy, AlFiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX (Damaskus: Dar Al Fikr, 2007), h.6873.


(37)

Thalaq ialah “melepaskan ikatan pernikahan atau melepaskan tali akad nikah dengan lafaz At-Thalaq dan semisalnya.”

Menurut Abdurrahman Al Jaziry dalam kitabnya “Al Fiqh ‘Ala Mazahib Al Arba’ah” thalaq didefinisikan sebagai berikut:

ﻄﻟا

صْﻮ ْ

ﻆْ

نﺎ ْﻘ

ْوأ

حﺎﻜ ﻟا

ﺔﻟازإ

ق

.

4

Thalaq ialah “menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi melepaskan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.”

Jadi, beberapa definisi yang dibuat oleh Ulama di atas meskipun berbeda-beda redaksinya, tetapi sebenarnya mempunyai substansi yang sama di mana talak ialah salah satu bentuk putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena sebab-sebab tertentu yang memang sudah tidak dapat diteruskan lagi ikatan pernikahan mereka demi menghilangkan kesengsaraan yang diderita. Dalam kitab-kitab fiqh benar bahwa talak itu merupakan hak mutlak suami dan dia dapat menggunakannya di mana saja dan kapan saja, tanpa harus minta izin terlebih dahulu. Berbeda dengan khulu’ dimana perceraian dengan kehendak isteri karena dia merasa khawatir tidak dapat menegakkan ketentuan Allah yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya, sehingga isteri harus memberikan ‘iwadh kepada suaminya.

Talak disyari’atkan berdasarkan Kitab Al Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Di bawah ini akan disebutkan perinciannya:

4

Abdurrahman Al Jaziri, AlFiqh ‘Ala al-Madzahib Al Arba’ah (Mesir: Dar Al Haisam, t.th), h.964.


(38)

Adapun Al Qur’an mengatur talak dalam surat Al Baqarah ayat 229 yang berbunyi:

)

ةﺮﻘ ﻟا

/

2

:

229

(

Artinya:

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik..”(Al Baqarah/2:229).

Dalam surat yang lain juga Allah juga berfirman yang berbunyi:

)

ق ﻄﻟا

/

65

:

1

(

Artinya:

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”.(Ath Thalaq/65:1).

Adapun Sunnah didasarkan atas sabda Nabi Saw yang menyatakan:

ْا

و

ﺗأﺮْ ا

أ

ﺎ ﻬْ

ﻟا

-ٌ ﺋﺎ

هو

-ﻟا

لﻮ ر

ﺪْﻬ

ρ

لﺄﺴ

ﻟا

لﻮ ر

ρ

ﻚﻟذ

ْ

?

لﺎﻘ

:

"

ﻬْﻌﺟاﺮ ْ

ْﺮ

,

ﺮﻬْﻄﺗ

ﺎﻬْﻜﺴْ ْﻟ

,

,

ﺮﻬْﻄﺗ

,

ﺪْﻌ

ﻚﺴْ أ

ءﺎﺷ

ْنإ

,

ْنأ

ﺪْﻌ

ءﺎﺷ

ْنإو

,

ﺎﻬﻟ

ﻖ ﻄﺗ

ْنأ

ﻟا

ﺮ أ

ﻟا

ةﺪﻌْﻟا

ﻚْ

ءﺎﺴ ﻟا

.

)

ْ

ٌﻖ

(

.

5 5

Imam Hafiz Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il Al Bukhari, Shohih Bukhari (Jordan: Baitul Afkar Al Dauliyyah, 2008), h.612. Lihat juga Muhammad ibn Ismail al Amir AsShan’ni, Subul As-Salam Al Musholah ila Bulugh Al Maram, Juz 3(Kairo: Dar Ibn Al Jauzi, 1428 H), h.156.


(39)

Artinya:

“Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Abdullah bin Umar telah menceritakan isterinya ketika haid di zaman Rasulullah SAW masih hidup, lalu Umar bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu, maka Rasulullah SAW menjawab: “Perintahkan ia untuk merujuknya kemudian agar dia pegang isterinya sampai waktu suci, kemudian dia berhaid lalu suci lagi, kemudian jika ia mau, ia tetap boleh pegang isterinya setelah itu. Tetapi, jika ia mau mentalak sebelum ia mencampurinya, maka yang demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk mentalak isteri-isteri.” (Muttafaq ‘alaih).

ْا

-ﺎ ﻬْ

ﻟا

ر

-لﺎ

:

ﻟا

لﻮ ر

لﺎ

ρ

:

ﻟا

ﺪْ

لﺎ ْﻟا

ْأ

قﺎ ﻄﻟا

.

)

اور

دواد

ﻮ أ

,

ْ ﺟﺎ

ْاو

,

آﺎ ْﻟا

و

,

ﻟﺎ ْرإ

ﺗﺎ

ﻮ أ

ﺟرو

)

.

6

Artinya:

“Dari Ibnu Umar semoga Allah Swt meridhoi keduanya berkata: Rasulullah SAW bersabda: perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT ialah talak.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Hakim, serta dikuatkan oleh Abu Hatim).

Ijma’. Semua orang telah sepakat mengenai kebolehan talak, secara rasional juga dikuatkan, karena apabila pernikahan tetap dipertahankan dengan rusaknya keadaan hubungan antara suami isteri, maka itu mengakibatkan kerusakan dan menimbulkan kesengsaraan semata dengan mengharuskan suami memberi nafkah dan tempat tinggal bagi isteri yang akan dicerai.7

Putusnya perkawinan di mana salah satu dari macam-macamnya berupa talak telah diatur secara panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh. Bagi Indonesia meskipun bukan Negara Islam, tetapi penduduknya yang mayoritas beragama Islam memerlukan suatu produk perundang-undangan yang dapat mengatur semua

6

Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Jordan: Baitul Afkar Al Dauliyyah, 2004), h.219.

7


(40)

kelompok umat Islam di Indonesia, sehingga dalam melaksanakan hukum Islam terutama salah satunya yang berkaitan dengan perkawinan sudah mempunyai unifikasi hukum yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Aturan talak yang tadinya hanya diatur dalam kitab fiqh sekarang telah mengalami transformasi ke dalam produk perundang-undangan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 38 UU Nomor 1/1974 yang menjelaskan bentuk putusnya perkawinan dengan rumusan:“Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan Pengadilan.”

Pasal ini dipertegas kembali dengan bunyi yang sama dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 113 dan kemudian diuraikan dalam pasal 114 dengan rumusan: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.”

Pengertian talak dalam Pasal 114 ini ini dijelaskan dalam Pasal 117. Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.

1. Hukum Talak

Para Ahli Fiqh berbeda pendapat mengenai hukum talak ini. Secara garis besar akan diuraikan sebagai berikut:

Menurut Jumhur Ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) bahwa talak itu boleh, paling utama tidak melaksanakannya karena di dalamnya


(41)

memutuskan kasih sayang kecuali karena alasan.8 Sedangkan menurut Hanafiyyah bahwa terjadinya talak itu mubah (dibolehkan)9 berdasarkan kemutlakan ayat-ayat Al Qur’an seperti Firman Allah Swt:

..

)

ق ﻄﻟا

/

65

:

1

(

Artinya :

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”.(Ath Thalaq/65:1).

Kemudian dalam surat yang lain Firman Allah yang berbunyi:

)

ةﺮﻘ ﻟا

/

2

:

236

(

Artinya:

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu..”(Al Baqarah/2:236).

Alasan yang lain juga didasarkan atas Nabi Saw yang mentalaq Hafsah demikian juga yang dilakukan oleh sahabat Nabi, Hasan bin Ali R.A memperbanyak nikah dan talak di Kufah.

8

Ibid., h.6879.

9


(42)

Menurut Ibnu ‘Abidin talak itu dibenci oleh Allah, tetapi tidak menafikan hukumnya menjadi halal, meskipun demikian halalnya talak itu mengandung makruh.

Akan tetapi, pendapat yang paling tepat di antara pendapat itu ialah pendapat yang mengatakan bahwa suami dilarang menjatuhkan talak, kecuali karena darurat (terpaksa).10

Mereka beralasan bahwa menjatuhkan talak berarti mengkufuri nikmat Allah, sebab pernikahan itu termasuk nikmat Allah atas hamba-Nya.11

Di antara darurat yang dibolehkan tadi yaitu bila suami meragukan perilaku isterinya atau sudah tidak punya rasa cinta dengannya.

Talak hukumnya bisa berubah menjadi wajib, haram, mubah, dan sunah ketika berhadapan dengan suatu kondisi tertentu. Sebagaimana pendapat Hanabilah sebagai berikut:12

Talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan isteri dalam hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak isteri serta menunaikan kewajibannya sebagai suami seperti suami tidak mendatangi isteri. Talaq wajib terjadi pada kasus syiqaq jika kedua hakam berpendapat bahwa talak itulah satu-satunya jalan untuk mengakhiri perpecahan suami isteri yang sudah berat.

10

Ahmad Ghundur, At Thalaq fi Syari’at Islamiyyah Wa Al Qonun (Mesir: Dar Al Ma’arif,

t.th), h.37-38.

11

Ibid.,h.38. lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz 2, h.207.

12


(43)

Talak menjadi haram tatkala dijatuhkan tanpa alasan yang jelas karena dapat merugikan pihak suami dan isteri dan melenyapkan kemaslahatan suami isteri. Talak yang demikian bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

ﻚﻟﺎ

ْ

ْ ﻳ

ﺎ ﺛﺪ

لﺎ

م

ص

ﷲا

لْﻮ ر

نأ

ْ أ

ْ

يزﺎ ﻟا

ْ ﻳ

ْ

وﺮْ

ْ

:

ر

و

را

.

)

اور

ﻟا

ﺮ و

آﺎ

أ

إ

ﺟﺎ

اور

ﺮ ﺁ

دﺎ ﺈ

،يرﺪ ﻟا

ﺪ ﻌ

سﺎ

(

13

Artinya:

Yahya Berkata kepada kami dari Malik dari ‘Amr ibn Yahya Al Maziy dari ayahnya bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas kemudharatan.”(HR.Hakim dan lainnya dari Sa’id AlKhudri, dengan sanad yang lain H.R.Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas).

Talak menjadi mubah bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu, sedangkan manfaatnya bisa dirasakan nantinya.14

Talak disunnahkan jika isteri rusak akhlaknya, berbuat zina atau melanggar larangan-larangan agama dan meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti salat, puasa, dan sebagainya sementara suami tidak mampu memaksanya agar dia menjalankan kewajibannya tersebut, atau isteri kurang rasa malunya.15

13

Imam Malik Ibn Anas, AlMuwattha’(Beirut: Dar Al Kitab Al’Arabi, 2004M), h.315. Lihat juga Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, h.252.

14

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h.201.

15


(44)

2. Rukun dan Syarat Talak

Rukun talak sebagaimana dikemukakan oleh Malikiyyah ada empat di antaranya akan dijelaskan secara garis besarnya di bawah ini.

a. Orang yang berhak menjatuhkannya yaitu suami atau penggantinya atau walinya jika dia masih kecil. Supaya sah talaknya suami yang menjatuhkan talak disyaratkan harus: 1. Berakal, 2. Baligh, dan 3. Atas kemauan sendiri.16 b. Perempuan yang ditalak ( ﻘﺔﻄ ﻟا)

Adapun persyaratannya yaitu:

1) Perempuan yang ditalak itu berada di bawah kekuasaan laki-laki yang mentalak yaitu isteri yang masih terikat dalam tali perkawinan dengannya. Demikian juga isteri yang menjalin masa iddah talak raj’I karena statusnya dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami.

2) Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah.17

c. Shighat Talak

Shighat talak ialah lafaz yang menunjukkan atas terputusnya ikatan pernikahan baik berbentuk sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran)18.

16

Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala al-Madzahib Al Arba’ah, h.216-217.

17

Ibid., h.218.

18


(45)

Yang dimaksud dengan sharih itu adalah ucapan yang secara jelas digunakan untuk ucapan talak, sedangkan yang dimaksud dengan lafaz kinayah atau sindiran adalah lafaz atau ucapan yang sebenarnya tidak digunakan untuk talak tetapi dapat dipakai untuk menceraikan isteri.19

Syaratnya menurut Ulama untuk ucapan kinayah harus diiringi dengan niat, sehingga dapat dipandang jatuh talaqnya, sedangkan ucapan shorih tidak perlu dengan adanya niat, sehingga dengan keluarnya ucapan itu jatuh talak meskipun dia tidak meniatkan apa-apa atau meniatkan selain dari talak. Khusus untuk ucapan shorih dipersyaratkan orang yang mengucapkan talak itu harus mengerti apa yang dikatakannya.20

d. Qashdu (sengaja), artinya dengan ucapan talak itu memang ditujukan hanya untuk talak bukan maksud yang lain.21 Imam Nawawi secara khusus dibicarakan dalam Kitabnya “Minhaj Al Thalibin” dimana menyebutkan antara niat dengan Qashdu terdapat perbedaan yaitu kalau niat itu kesengajaan hati, sedangkan Qashd berarti tekad atau kehendak untuk berbuat.22

19

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. ke-2(Jakarta:Kencana Pranada Media Group, 2006), h.209.

20Ibid. 21

Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke.2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.204.

22

Imam Abu Zakaria Yahya Ibn Syarif An Nawawi Al Dimasyqi, Raudhatal Thalibin, Juz 6 (Beirut: Dar Al Kutub al Ilmiyyah, t.th), h.50.


(46)

B.Macam-Macam Perceraian

Di dalam kitab fiqh putusnya perkawinan disebut dengan istilah “furqoh”. Di antara macam-macam bentuk furqoh diantaranya berupa: talak, khulu’, dan fasakh. Setelah pembahasan secara umum mengenai talak pada sub bab terdahulu, maka berikut ini akan dijelaskan secara umum mengenai khulu’ dan fasakh, sehingga akan terihat perbedaannya nanti.

1. Khulu’

Khulu’ secara etimologis berarti ﺔﻟازﺈْﻟاو عﺰ ﻟا yang artinya perselisihan dan menghilangkan. Sedangkan secara terminologis Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan khulu’ adalah perceraian antara suami isteri dengan suatu ‘iwadh (tebusan) dengan lafaz ٌقﺎ atau ٌ ْ seperti perkataan suami kepada isteri: ﻚ ْﻘ atau ﻚ ْﻌﻟﺎ maka ia menerima.23

Menurut Hanabilah khulu’ ialah perceraian suami atas isterinya dengan ‘iwadh dimana suami menerima ‘iwadh tersebut dari isterinya atau selainnya dengan lafaz-lafaz tertentu, maka khulu’ menurut mereka harus melalui perantara ‘iwadh.24

23

Wahbah Zuhailiy, AlFiqhAlIslamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7008.

24


(47)

a. Hukum Khulu’

Khulu’ itu perceraian dengan kehendak isteri. Hukumnya boleh atau mubah menurut Jumhur Ulama25, karena kebutuan manusia kepadanya dengan terjadinya syiqaq, perselisihan, dan tidak adanya kesesuaian antara suami isteri, terkadang isteri membenci suaminya dengan tidak suka hidup bersamanya karena sebab-sebab yang bersifat fisik jasmani atau perangai atau keagamaannya atau takut tidak bisa melaksanakan hak Allah dalam mentaati, maka Islam mensyari’atkan kepadanya dalam menghadapi talak yang khusus dengan suami sebagai keikhlasan dari suami isteri untuk menolak kesulitan dan menghilangkan kemudaratan.26

Adapun dasar kebolehannya terdapat dalam Al Qur’an dan juga terihat dalam hadis Nabi. Dari Kitab Allah termaktub pada surat Al Baqarah ayat 229 yang berbunyi:

)

ةﺮﻘ ﻟا

/

2

:

229

(

Artinya :

“…Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya..”(Al Baqarah/2:229).

25

Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd al Qurthubi. Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid, Juz 2 (Beirut: Dar Ihya’ Turats al ‘Arabi, 1996), h.67.

26


(48)

Sebagai dasar hukum dari hadis, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas:

سﺎ

ْا

ْ

ﺎ ﻬْ

ﻟا

-ﻟا

ْ ﺗأ

ْ

ْ

ﺎﺛ

ةأﺮْ ا

نأ

ρ

ْ ﻟﺎﻘ

:

ﺎﻳ

ﻟا

لﻮ ر

!

ﻳد

ﺎﻟو

ْ

أ

ْ

ْ

ﺎﺛ

,

ﺮْﻜْﻟا

ﺮْآأ

ﻜﻟو

ا

مﺎ ْ ﺈْﻟ

,

ﻟا

لﻮ ر

لﺎ

ρ

"

ﻘﻳﺪ

ْ

ﻳدﺮﺗأ

?

"

,

ْ ﻟﺎ

:

ْ ﻌ

.

ﻟا

لﻮ ر

لﺎ

ρ

"

ﺔﻘﻳﺪ ْﻟا

ْا

,

ﺔﻘ ْﻄﺗ

ﺎﻬْﻘ و

.

)

ور

يرﺎ ْﻟا

ا

(

.

27

Artinya:

Dari Ibnu Abbas R.A bahwa Isteri Tsabit bin Qais datang mengadu kepada Nabi Saw dan berkata: “Ya Rasul Allah Tsabit bin Qais itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya. Cuma saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam. Rasul Allah Saw berkata: “Maukah kamu mengembalikan kebunnya ? “ Si Isteri menjawab: “ Ya mau “. Nabi berkatakepada Tsabit: “Terimalah kebun dan ceraikanlah dia satu kali cerai.(HR.Bukhari).

b. Rukun Khulu’

Rukun Khulu’ menurut Jumhur selain Hanafiah diantaranya ada 5 yaitu:

Pertama, Suami. Syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk khulu’ seperti apa yang berlaku dalam talaq yaitu seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu akil baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri, serta dengan kesengajaan.28

27

Imam Bukhari, Shohih Bukhari, h.615, lihat juga Hafiz Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al ‘Asqalani. Bulugh al MaramMin jam’I AdilatiAl Ahkam (Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h.182. Lihat juga Muhammad ibn Ali ibn Muhammad As Syaukani, Nail Al Author Juz 5(Maktabah al Iman, t.th), h.271.

28


(49)

Kedua, Isteri yang dikhulu’. Di antara persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: a. Ia berada dalam wilayah suami dalam arti isterinya atau yang telah diceraikan, tetapi masih dalam masa iddah raj’i, b. Ia dipandang telah dapat bertindak atas harta karena dalam rukun khulu’ ini isteri harus menyerahkan harta. Dengan demikian isteri adalah orang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah pengampuan, dan sudah cerdas bertindak atas harta.29

Ketiga, adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau ‘iwadh. Tentang ‘iwadh dimasukkan sebagai salah satu rukun khulu’ memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan Ulama. Menurut Jumhur Ulama memasukkan ‘iwadh sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya khulu’. Namun, pendapat yang berbeda satu riwayat dari Ahmad dan Malik yang mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh.30 Tetapi Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengambil pendapat Jumhur yang mengharuskan adanya ‘iwadh dalam khulu’. Mengenai ‘iwadh itu dalam bentuk sesuatu yang berharga dan dapat dinilai Ulama menyepakatinya.31

Keempat, Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami dalam ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau ‘iwadh. Yang dimaksud shighat di sini ialah lafaz khulu’ atau apa yang semakna dengannya seperti

29

Ibid.

30

Ibid.

31


(50)

kata-kataءا ْﺮﻹا،ةءرﺎ ﻟا ،ءاﺪﻟا ،ءاﺪْﻹاbaik berbentuk shorih (jelas) atau kinayah (samar), maka tidak sah tanpa lafaz seperti annikah dan at-thalaq.32

c. Perbedaan antara Khulu’ dengan Talak

Dalam literatur fiqh memang bab Khulu’ ditempatkan dalam ruang lingkup pembahasan talak, sehingga ketentuan yang berlaku dalam talak sebagian besarnya berlaku juga untuk khulu’. Namun demikian, ada perbedaan antara khulu’ dengan talak yakni:

1) Dalam hal waktu dijatuhkannya di mana khulu’ boleh terjadi pada waktu yang tidak boleh terjadi talak, sehingga boleh terjadi ketika isteri sedang haid, nifas, atau dalam keadaan suci yang telah digauli.33

2) Dari segi siapa yang berkehendak untuk putusnya perkawinan, maka dapat dibedakan bahwa khulu’ diajukan atas kehendak isteri dengan menyerahkan ‘iwadh kepada suaminya. Sedangkan talak diajukan atas kehendak suami dengan alasan tertentu dan dinyatakan dengan ucapan tertentu.34

2. Fasakh a. Definisi

32

Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7014.

33

Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-2,h.225.

34

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h.197.


(51)

Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti rusak dan membatalkan ( ﻀْﻘوٌﺪﺴ).35 Kalau dikaitkan kata ini dengan akad nikah maka berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri.36

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara istilah pengertian fasakh ialah pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.37 Definisi fasakh tersebut nampaknya sudah disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga tidak persis sama dengan definisi yang ditemukan dalam literatur fiqh. Hal itu terbukti dengan disebutkannya sebuah institusi Pengadilan Agama. Ini pertanda bahwa aturan fiqh sudah diakomodir ke dalam hukum Islam di Indonesia yang dirumuskan dalam Peraturan Perundang-undangan seperti terlihat dalam Undang-Undang Perkawinan yang di dalamnya mengatur tentang batalnya perkawinan dalam tujuh Pasal (Pasal 22-28 UU Nomor 1 Tahun 1974) dan khusus fasakh ini (bentuk kedua) diakomodir ke dalam KHI yaitu Pasal 70.

b. Macam-Macam

35

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Krapyak, 1984), h. 1133.

36

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 2,h.268.

37

Tim redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (PT Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, 2005), h.314.


(52)

Dalam kitab fiqh fasakh secara garis besar dibagi menjadi dua macam ditinjau dari segi alasan terjadinya fasakh, yaitu:

Pertama, perkawinan yang sudah berlangsung beberapa waktu dan baru diketahui di kemudian hari ternyata tidak terpenuhi persyaratan yang ditentukan dalam akad nikah, baik pada rukun maupun syaratnya; atau terdapat halangan (mawani’) yang tidak membolehkan terjadinya perkawinan.38

Contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam akad perkawinan:39

a. Setelah akad nikah ternyata isterinya adalah saudara sesusuan atau ada hubungan nasab, musaharah (perkawinan). Maka, perkawinan seperti ini harus dibatalkan oleh hakim karena memang diharamkan oleh Islam.

b. Suami isteri masih kecil diakadkan oleh selain ayah atau kakeknya,

kemudian setelah dia dewasa maka ia berhak memilih untuk meneruskan ikatan perkawinannya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini disebut dengan khiyar baligh.

Kedua, Fasakh yang terjadi karena pada diri suami atau isteri terdapat sesuatu yang menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan, sebab kalau

38

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia., h.243.

39


(53)

diteruskan akan menyebabkan kerusakan pada suami atau isteri atau keduanya sekaligus. Bentuk fasakh ini disebut sebagai khiyar fasakh dalam kitab fiqh.40

Di antara penyebab terjadinya fasakh yaitu:41 a. Karena ketidak mampuan memberi nafkah, b. Karena cacat atau penyakit,

c. Karena syiqaq atau buruknya pergaulan antara suami isteri, d. Karena ghaib,

e. Karena dipenjara, f. Karena riddah

Adapun setelah melihat uraian fasakh di atas, maka pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, dengan pertimbangan kemaslahatan yang ingin dicapai oleh suami isteri tersebut dan menghilangkan kemudharatan yang dideritanya42 karena sebagaimana kaidah fiqhiyyah menyatakan: 43لاﺰﻳرﺮﻀﻟا artinya “Kemudaratan itu wajib dihilangkan.”

c. Perbedaan antara Talak dengan Fasakh

40

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.244.

41

Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7040.

42

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.244.

43

Jalaluddin Abdurrahman As Suyuti. Al Asybah wa Nazhair fi qawaid wa Furu’ Fiqh Syafi’iyyah (Beirut: Dar AlKutubAl Ilmiyyah, t.th), h.83. Lihat juga Abdul Aziz Muhammad Azzam.


(54)

Menurut pendapat Hanafiah, talak itu mengakhiri pernikahan dan menetapkan hak-hak yang terdahulu dari mahar dan semisalnya, dan dikurangi tiga kali kesempatan talak yang dimiliki oleh suami atas isterinya, serta talak tidak terjadi, kecuali dalam akad yang benar. Sedangkan fasakh itu membatalkan akad dari asalnya atau dilarang meneruskan pernikahan itu, dan tidak mengurangi bilangan talak, serta pada umumnya terjadi pada akad yang fasid (rusak).44

Imam Malik menambahkan perbedaan tersebut jika dilihat dari sebab yang menyebabkan perceraian, maka apabila dari kehendak Syara’ bukan dari suami itu disebut fasakh contohnya nikah yang diharamkan karena sepersusuan atau nikah dalam masa iddah.45

C. Alasan-alasan Perceraian

Setelah diuraikan pada sebelumnya mengenai bentuk-bentuk perceraian baik berupa talak, khulu’, dan fasakh dalam perspektif fikih, maka kini penulis perlu mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya yang diatur dalam UU Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksanaan dari UUP, dan diperinci dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Bentuk putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 38 UUP jo 113 KHI dengan rumusan:

44

Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7041.

45


(55)

“Perkawinan dapat putus karena: a.Kematian, b. perceraian, dan c. Atas keputusan Pengadilan.”

Selain sebab kematian yang dapat memutuskan ikatan pernikahan antara suami isteri dikenal pula istilah talak, khulu’, dan fasakh sebagaimana dijelaskan dalam kitab fiqh. Talak dan khulu’ termasuk dalam kelompok perceraian, sedangkan fasakh sama maksudnya dengan perceraian atas putusan Pengadilan. Disamping itu juga gugatan perceraian dimasukkan dalam kelompok perceraian (Pasal 114 KHI).46

Ada yang menarik jika dikomparasikan antara aturan fiqh dengan UU Perkawinan diantaranya dalam fiqh mazhab manapun tidak diatur tentang keharusan perceraian di Pengadilan. Misalnya: dalam khulu’ tidak perlu diajukan kepada hakim (qodhi) menurut pendapat Hanabilah47 begitu pula dengan talak yang menjadi hak mutlak seorang suami bebas digunakannya dimana dan kapan saja semaunya dia.

Namun demikian, aturan dalam fiqh tersebut diperbaharui oleh para Ulama Indonesia dengan berani berijtihad bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan dengan pertimbangan kemaslahatan, sehingga pihak isteri tidak mengalami penderitaan akibat ditalak oleh suaminya kapan saja dan diamana saja semaunya sendiri. Ini adalah sebuah prestasi besar yang patut diapresiasi oleh umat Islam sebagai penghargaan atas gagasan yang dihasilkan oleh pakar hukum Islam di Indonesia, sehingga hal itu terlihat dalam pasal 39 UU Perkawinan yang berbunyi:

46

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.227.

47


(56)

1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.

Adapun alasan-alasan perceraian yang dimaksud dalam ayat (2) Pasal 39 UUP di atas diperinci lebih lanjut dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu ada enam alasan sebagai syarat diajukannya perceraian, yaitu sebagai berikut:48

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 19 PP ini diulangi dalam KHI pada Pasal 116 dengan rumusan yang sama, dengan ditambahkan dua anak ayatnya, yaitu:49

a. Suami melanggar taklik talak.

48

Abdurahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-2. h.249. Lihat juga Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet ke-.6 (Jakarta: PT Raja Garafindo Persada, 2003), h.275.

49


(57)

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Dengan adanya aturan di atas mengharuskan bagi setiap perkara perceraian baik berupa cerai talak, khulu’, maupun cerai gugat didasarkan atas salah satu dari alasan-alasan yang disebutkan di atas kepada Pengadilan Agama yang tata cara mengajukan, memeriksa, dan menyelesaikan gugatan perceraian oleh Pengadilan, diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 20 sampai dengan 36.

D. Perbedaan Cerai Gugat dengan Cerai Talak

Dalam praktek di Pengadilan Agama dikenal dua istilah perceraian yaitu cerai talak dan cerai gugat.

Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara cerai gugat tidak banyak berbeda dengan cerai talak. Namun, dari sudut yang lain terdapat beberapa perbedaan di antaranya sebagai berikut:

1. Cerai talak adalah perceraian atas kehendak suami karena menurut hukum Islam suami memiliki kekuasaan memegang tali perkawinan, oleh karena itu suami yang berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak di depan sidang Pengadilan.50 Berbeda dengan cerai gugat dimana pengajuannya atas kehendak isteri dan isteri tidak memiliki hak untuk menceraikan suami. Oleh

50

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.202.


(58)

karena itu, ia harus mengajukan gugatan untuk bercerai kepada Pengadilan, dan hakim yang akan memutuskan perkawinan dengan kekuasaannya.51

2. Cerai talak itu atas permohonan suami, meskipun berbentuk permohonan tetapi pada hakekatnya adalah contensius, karena di dalamnya mengandung unsur sengketa antara suami sebagai pemohon melawan isteri sebagai termohon. Putusan Pengadilan hanya bersifat deklaratoir, sehingga tidak berkekuatan

eksekutorial. Berbeda dengan cerai gugat yang berbentuk gugatan murni bersifat

contensius yaitu adanya sengketa antara isteri kedudukannya sebagai penggugat melawan suami sebagai tergugat.52 Putusan Pengadilan bisa bersifat condemnatoir

yang otomatis mempunyai kekuatan eksekutorial.53

3. Permohonan cerai talak diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman termohon (isteri)54, sedangkan gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat (isteri).55

51

Ibid., h.203.

52

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), h.252.

53

Ibid., h.201.

54

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h.205.

55


(59)

BAB III

SYIQAQ DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Landasan Hukum

Syiqaq secara bahasa merupakan bentuk mashdar (gerund) dari kata kerja (verb) ﻖﺷ yang berarti perselisihan (عاﺰ ﻟا) kebalikan dari kata دﺎ ﺗﻹا 1 Sedangkan secara terminologis menurut Dr. Wahbah Zuhaily

ﺔ اﺮﻜْﻟا

ْﻌﻄﻟا

ﺪْﻳﺪ ﻟا

عاﺰ ﻟا

ﻮه

قﺎﻘ ﻟا

. 2

“Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dengan sebab mencemarkan kehormatan.”

Beliau juga mengemukakan syiqaq sebagai perceraian karena dharar (bahaya). Bentuk-bentuk dharar yang dilakukan oleh suami kepada isterinya bisa berbentuk perkataan maupun perbuatan, seperti mencaci dengan kata-kata kotor, mencela kehormatan, memukul dengan melukai, menganjurkan atas perbuatan yang diharamkan Allah Swt, suami berpaling, berpisah ranjang tanpa ada sebab yang membolehkannya.3

1

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Krapyak, 1984), h.785.

2

Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh al Islamiy Wa adillatuhu, Juz IX,h.7060.

3


(60)

Menurut Imam Malik dan Ahmad kalau isteri mendapat perlakuan kasar dari suaminya, maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian ke hadapan hakim agar perkawinannya diputus karena perceraian.4

Dari penjelasan Ulama di atas syiqaq dapat dipahami sebagai peristiwa cekcok suami isteri yang sudah mencapai batas klimaks, sehingga perkawinan mereka diambang kehancuran tak ada harapan untuk dipersatukan kembali setelah melalui usaha perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan ternyata tidak berhasil, maka jalan terakhir untuk menghilangkan mudharat adalah dengan perceraian.

Allah SWT dengan tegas memberikan solusi yang bijak untuk mengatasi masalah syiqaq tersebut seperti yang tertera dalam surat Annisa’ ayat 35 yang menyatakan:

☺ ☯

☺ ⌧

)

ءﺂﺴﻨﻟا

/

4

:

35

(

Artinya :

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(An Nisa’/4:35).


(61)

Selain dasar hukum dari ayat Al Qur’an, syiqaq juga diatur dalam tiga peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Pasal 19 f PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 76 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan dalam Pasal 116 f Kompilasi Hukum Islam (KHI).5

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, makna syiqaq

dirumuskan dalam penjelasan Pasal 76 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang definisinya adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri. Menurut M.Yahya Harahap definisi tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam surat Annisa’ ayat 35 di atas dan sekaligus sama maknanya serta hakekatnya dengan rumusan Pasal 19 f PP No.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 KHI yang berbunyi: ”antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.6

Gugatan perceraian dapat diajukan oleh pihak suami atau pihak isteri dengan alasan yang telah ditentukan oleh peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Secara lengkap alasan yang dijadikan dasar gugat perceraian dapat dijumpai dalam Pasal 116 KHI dimana sifatnya boleh alternatif artinya salah satu alasan saja yang

5 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama,

(Ba nd ung : CV. Mandar Maju, 2008), h.349.


(62)

dimasukkan dalam gugatan perceraian dibolehkan, tentunya disesuaikan dengan fakta yang mengiringinya dalam konkreto.7 Misalnya: isteri menggugat cerai suaminya dengan mencantumkan salah satu alasan saja dalam surat gugatan yaitu: di antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.(Point f Pasal 116 KHI).

B.Perbedaan Syiqaq dengan Nusyuz

Sebelum dikemukakan mengenai perbedaan antara syiqaq dengan nusyuz, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu mengenai apa itu nusyuz, sehingga lebih mudah dipahami perbedaannya.

Kata Nusyuz merupakan bentuk jamak (plural) dari ٌﺰْ yang secara etimologi berarti ٌعﺎ ﺗْرإ (meninggi atau terangkat).8 Nusyuz bisa terjadi pada diri isteri atau suami. Pembahasan pertama dimulai dari nusyuz yang dilakukan oleh isteri. Secara definitif nusyuz adalah kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.9 Allah memberikan solusi dalam menghadapi persoalan nusyuz ini yang ditegaskan pada surat An- Nisa’ ayat 34 yang berbunyi:

..

7Ibid., h. 233.

8

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia, h.1517.


(1)

(2)

A.Sejarah Singkat Kantor Pengadilan Agama Sumber Kabupaten Cirebon

Pengadilan Agama Sumber didirikan berdasarkan ketetapan Raja No.24 Tahun 1882 (Stbl.152 tahun 1882) yang diubah dan disempurnakan dengan stbl.116 dan 610 tahun 1937 Kabupaten Cirebon dan Kota Madya Cirebon adalah merupakan satu wilayah hukum Pengadilan Agama yaitu Pengadilan Agama Cirebon, pada tahun 1979 Pemerintah Kabupaten Cirebon dibentuk dan pada tahun 1986 pembentukan Pengadilan Agama Sumber berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 207 tahun 1986, tanggal 22 Juli 1986, yang diresmikan oleh Bupati Kepala Daerah tingkat II Cirebon tepatnya pada tanggal 23 Maret 1988.

Visi Pengadilan Agama Sumber adalah terciptanya citra, wibawa, dan kemandirian Pengadilan Agama Sumber dalam melaksanakan tugas pokok peradilan kewenangan sebagai peradilan Negara menjadi ketertiban dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.

Sedangkan misinya salah satunya yangs angat penting adalah pemberdayaan peran, kedudukan, dan kewenangan peradilan agama sebagai peradilan Negara dan sebagai lembaga penegak hukum agar lebih mampu melayani pencari keadilan serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.

Gedung balai sidang Pengadilan Agama Sumber terletak di jalan Sunan Malik Ibrahim No.11 komplek perkantoran Kabupaten Cirebon, dibangun di atas tanah seluas 1005 meter persegi dengan luas bangunan 250 meter persegi, dengan biaya Rp 50.000.000,00. Pada tahun 1989 diadakan penambahan ruang kantor Pengadilan Agama dengan swadaya sebesar Rp 12.000.000,- dan kemudian dilengkapai dengan daftar isian proyek tahun 1995 sebesar Rp 15.362.000 untuk pengerasan jalan dan halaman seluas 46 meter persegi.

Jadi luas keseluruhannya Gedung kantor Pengadilan Agama Sumber mencapai 370 meter persegi yang terdiri dari :

a. Ruang kerja karyawan 147,5 m persegi meliputi : 1. Ketua 15 meter persegi 2. Panitera 12,5 meter persegi 3. Kepaniteraan 50 meter persegi

4. Hakim 30 meter persegi 5. Panitera Pengganti 15 meter persegi


(3)

b. Gedung 28 meter persegi

c. Koridor, jalan, Ruang Tamu, dan Ruang Kamar Kecil kalau dirata-ratakan untuk setiap karyawan kurang lebih 2,5 meter persegi dengan demikian kondisi seperti ini masih belum memadai.

Dengan demikian, sarana perkantoran Pengadilan Agama Sumber sampai tahun 2005 mempunyai beberapa ruang sebagai penunjang bagi terlaksananya suatu Pengadilan.

Adapun bangunan atau ruang tersebut adalah : 1. Ruang Ketua Pengadilan

2. Ruang Para Hakim

3. Ruang Kepaniteraan Tata Usaha 4. Ruang Arsip

5. Ruang Sidang 6. Ruang Tunggu

7. Ruang Doktik/ Ruang syara’ 8. Ruang Panitera

9. Ruang Kepaniteraan Perkara 10.Ruang Pendaftaran

11.Ruang Perpustakaan 12.Ruang Saran Tikrai 13.Ruang sarana MCK 14.Ruang Tempat Ibadah. B. Tugas Pokok dan Fungsi

a. Tugas Pokok

Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Peradilan Agama mempunyai tugas pokok sebagaimana tercantum dalam pasal 49, yaitu : menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.


(4)

b. Fungsi

Pengadilan agama mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan salah satu kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shodaqoh,dan ekonomi syari’ah bagi yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No.KMA/004/SK/1992 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 303 tahun 1990. Bertitik tolak dari keadaan tersebut lembaga Peradilan agama dapat memberikan pelayanan yang memuaskan terhadap masyarakat dan memperoleh keadilan yang seadil-adilnya.

C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sumber

Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sumber sampai tahun 2010 adalah sebagai berikut:

1. Ketua Pengadilan : Drs. Oon Syahroni, SH

2. Wakil Ketua :

3. Panitera/Sekretaris : Drs. Ahmad

4. Wakil Panitera : Drs. Ahmad Sahaimansur, SH 5. Wakil Sekretaris : Nurmansyah, S.Ag

6. Panitera Muda Permohonan : Hidayat, SH 7. Panitera Muda Gugatan : Drs. Juju

8. Panitera Muda Hukum : Drs. Ahmad Shodikin 9. Kepala Urusan Kepegawaian : Rohmah, SH

10.Kepala Urusan Keuangan : Indah Kurniawati 11.Kepala Urusan Umum : Adi Priyono, SH

Adapun kelompok fungional Pengadilan Agama Sumber sampai tahun 2010 adalah : 1. Panitera Pengganti : Drs. Barunah

Drs. Ahmad Sodikin Drs. M. Jalaludin


(5)

Amin Duljamin, SH Zaenal Hasan

Haris Abdullah,Sm, HK.

2. Juru Sita pengganti : Nurmansyah, S.Ag Oha Toha

Nawafi Ujang Dodo Robani

Maman Rohaman Ahmad Syifa, B.A Salim

3. Hakim PA Sumber : M.M. Sami’un, S.Ag Drs.Mujahidin

Drs. Didi Nurwahyudi

Drs.H.Amin Mansur, SH, MH Drs.U. Nurdin

Drs.H.Hamzah Dra.Syamsiah, MH Drs. Bubun

Drs. Suheily Drs.

D. Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Sumber


(6)

1. Luas Wilayah Kabupaten Cirebon kurang lebih 987.20 Km 2. Jumlah Penduduk 1.647.341 orang dengan rincian :

a.Penduduk Muslim 1.640.785 orang b. Penduduk Non Muslim 6.556 orang 3. Jumlah Kecamatan :

a) 23 Kecamatan b) 6 Perwakilan