Putusan verstek pengadilan agama depok dalam perkara cerai gugat : analisa putusan pengadilan agama depok perkara no. 1227/pdt.g/2008/pa.dpk

(1)

PUTUSAN VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK

DALAM PERKARA CERAI GUGAT

(AnalisaPutusan Pengadilan Agama Depok Perkara No. 1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk.)

Oleh :

Ahmad Afandi NIM : 106044101380

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk.) SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH :

Ahmad Afandi NIM : 106044101380

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Drs. Heldi, M.Pd.

NIP:197210161998031004 NIP:196304141993031002

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 Juni 2010

Ahmad Afandi NIM: 106044101380


(4)

Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program Ahwal Syakhshiyah (Peradilan Agama)

Jakarta, 21 Juni 2010 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 19550505198231012

PANITIA UJIAN 1. Ketua

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA (……….) NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris

Kamarusdiana, S.Ag, MH (……….)

NIP. 197407252001121003 3. Pembimbing Skripsi I

Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. (……….)

NIP. 197210161998031004 4. Pembimbing Skripsi II

Drs. Heldi, M.Pd. (……….) NIP. 196304141993031002

5. Penguji I

Dr. Asmawi, M.Ag. (……….)

NIP.197210101997032088 6. Penguji II

Kamarusdiana, S.Ag, MH (……….)


(5)

KATA PENGANTAR

ِﺑ

ْﺴ

ِﻢ

ِﷲا

ﱠﺮﻟا

ْﺣ

َﻤ

ِﻦ

ﱠﺮﻟا

ِﺣ

ْﻴﻢ

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhingga banyaknya. Demikian pula tak luput penulis ucapkan shalawat beriring salam kepada imamnya para nabi dan rasul, imamnya para orang-orang yan bertakwa yaitu Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Pertkara Cerai Gugat” sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy). Dalam proses penyelesaian skripsi ini, banyak sekali hikmah dan manfaat yang penulis petik dan menjadi kesan tersendiri bagi penulis. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan terima ksih yang setinggi-tingginya kepada para pihak yang telah memberikan bantuan, dan bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada kedua orang tua penulis yang selalu mencurahkan kasih sayang tiada hentinya semoga amal keduanya mendapat balasan yang setimpal disisi Allah SWT. Amin

Ucapan terima kasih penulis disampaikan kepada bapak :

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum sekaligus dosen penasehat akademik Jurusan Peradilan Agama kelas A angkatan 2006.


(6)

Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. dan Bapak Drs. Heldi, M.Pd. sebagai

pembimbing penulis yang sudah berkenan memberikan waktu dan arahannya dalam rangka menyelesaikan karya ini.

4. Pengadilan Agama Depok, khususnya para staf-staf, penulis ucapkan terima

kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk memperoleh data-data dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengamalkan ilmunya

kepada penulis semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat. Dan seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Untuk seluruh teman-teman penulis, yakni teman-teman seperjuangan yang

telah mewarnai sehari-hari penulis dengan hal-hal positif terutama teman-teman peradian agama angkatan 2006 yang memberikan kesan tersendiri bagi penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

yang telah memberikan bantuannya. Tidak ada balasan dari penulis kecuali do’a semoga Allah SWT membalas amal budi baik sekalian. Amin

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Jakarta, 21 Juni 2010

Penulis


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Studi Terdahulu ... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK A. Pengertian Verstek ... 14

B. Syarat- Syarat Acara Verstek ... 18

C. Penerapan Terhadap Acara Verstek ... 20

D. Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek Serta Proses Pemeriksaaanya... 25

BAB III DIMENSI PERADILAN AGAMA A. Peradilan Agama Dalam Perspektif Hukum Islam ……….. 33

B. Kewenangan Relatif dan Absolut Peradilan Agama ... 43


(9)

v

A. Sistem Pembuktian Perkara Verstek ... 65

B. Analisis Pertimbangan Hukum Bagi Hakim Dalam

Memutuskan Perkara ... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran-Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah penikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah1. Selain itu, baik Undang- undang Perkawinan ataupun Kompilasi Hukum Islam telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa2. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tersirat dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21. Namun, bahtera rumah tangga sering kali dihadapkan oleh masalah yang kemudian berujung kepada perceraian.

Perceraian yang hadir ditengah-tengah kehidupan memang tanpa diundang dan tidak diinginkan, sama halnya dengan hidup dan mati, nasib dan rezeki manusia, tiada orang yang tau, manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan, sama halnya dengan “perceraian” itu sendiri. Namun demikian, perceraian bukanlah suatu perkara yang mudah, dan ia tidak pernah dipermudahkan dan digalakkan oleh agama Islam. Lebih- lebih sebuah hadis menjelaskan bahwa meskipun talak itu halal, tetapi sesungguhnya perbuatan itu

1

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h.114.

2

Nuruddin, Amiur, dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.180.


(11)

dibenci oleh Allah SWT3. Dalam Islam, perceraian hanya dibenarkan, jika kedua pasangan suami istri telah berusaha bersungguh-sungguh untuk mendapatkan bantuan dan nasihat yang diperlukan, sehingga tiada lagi ruang bagi kedua belah pihak mengatasi permasalahan mereka untuk berdamai. Jika semua usaha-usaha ini telah mereka laksanakan, namun rumah tangga mereka masih tidak dapat diselamatkan, maka Islam membenarkan pasangan tersebut bercerai.

Perceraian dalam Hukum Perdata ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu4. Perceraian yang sering kali terjadi dalam hubungan perkawinan pasti akan menimbulkan akibat yang fatal. Hal ini disebabkan karena kedua belah pihak akan dihadapkan pada maslah baru yang lebih menantang dikemudian hari. Selain kepada yang melakukannya (baik suami atau istri), juga kepada sang anak, baik dalam hak dan kewajiban yang ditimbulkannya. Mulai dari hak pemeliharaan anak yang belum mencapai usia 12 (dua belas) tahun yang mencangkup biaya pendidikan, pengasuhan dan perwaliannya.

Dalam masyarakat kita, perceraian masih banyak terjadi karena merupakan jalan yang legal formal untuk mengatasi konflik perkawinan, dibawah payung Hukum Indonesia dan Hukum Islam yang telah diformalkan (Kompilasi Hukum Islam) yang diakibatkan oleh perilaku suami atau istri. Karenanya proses beracara yang mendukungnya mengharuskan jalan

3

Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.10.

4


(12)

penyelesaian yang tuntas, dan diselesaikan dengan tanpa menimbulkan akibat hukum yang panjang dikemudian hari.

Hukum Islam memberikan jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’, sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya denga jalan talak5. Dengan kata lain di Indonesia, perceraian terjadi diakibatkan atas kemauan suami dengan cara menjatuhkan Cerai Talak ataupun atas pengajuan istri yang sering dikenal Gugat Cerai (Cerai Talak diatur dalam Bab IV, Bagian Kedua, Paragraf 2, Pasal 66 dan Cerai Gugat diatur dalam Paragraf 3, Pasal 73 UU RI No: 3 tahun 2006)6. Sebab lain yang dapat mengakibatkannya adalah karena putusan pengadilan.

Dengan adanya pengajuan perkara ke Pengadilan yang dilakukan oleh suami ataupun istri telah menandai bahwa perceraian itu tanpa membedakan jenis kelamin dan hak hukum warga negara dapat diajukan oleh masing- masing pihak. Oleh karena itu keduanya juga harus memudahkan proses jalan perkara dengan cara mematuhi aturan hukum dan hadir di persidangan, sehingga pencapaian keadilan dapat terpenuhi dan perkara dapat diselesaikan berdasarkan aturan hukum.

Selain kehadiran kedua belah pihak yang berperkara, hal lain yang sangat berperan penting dalam pesidangan adalah posisi hakim sebagai pihak yang akan

5

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), ed. 1, cet. Ke1, h.220.

6

Mahkamah Agung RI, Undang- undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Jakarta, 2006), h. 66 dan 69.


(13)

memutuskan perkara, juga sebagai pihak yang akan mendamaikan kedua belah pihak. Asas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntunan ajaran moral Islam7. Posisi hakim dalam persidangan sangatlah penting sekali, hakim diharuskan mendengarkan kedua belah pihak (Pasal 121 HIR/124 RBg), ketika kedua belah pihak yang dipanggil dimuka sidang, mendapat perlakuan sama sehingga keputusan yang dihasilkan berdasarkan hukum yang tepat.

Masalah perceraian menurut aturan Hukum Indonesia sebagaimana dalam Pasal 28 UU RI No: 1 tahun 1974, harus dan hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Oleh karenanya perceraian mensyaratkan adanya proses beracara yang dapat tuntas perkaranya. Jadi, selama proses persidangan baik penggugat dan tergugat harus hadir ke hadapan meja persidangan dan mengikutinya setelah meperoleh surat pemanggilan dari Pengadilan. Antara penggugat dan tergugat memiliki kepentingan masing- masing. Karenanya jika salah seorang penggugat atau tergugat tidak hadir setelah adanya pemanggilan secara resmi, maka pihak Pengadilan yang menangani menyelesaikannya. Namun, sering kali ketidak hadiran dilakukan oleh tergugat, baik pelakunya sendiri atau dengan cara mewakilkan dengan kuasa hukumnya, baik disengaja atau tidak disengaja, akan menghasilkan keputusan tersendiri oleh

7

M. Yahya Harahap, Kedudukan Dan Kewenangan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), ed.Ke2, cet. Ke3, h.215.


(14)

Pengadilan. Dalam hal ketidak hadiran tergugat inilah putusan yang dikeluarkan oleh hakim disebut dengan putusan verstek.

Maksud utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak menaati tata tertib beracara, sehingga proses pemerikasaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan8. Ada beberapa syarat tentang putusan verstek, diantaranya :

a.Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut

b.Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain serta tidak pula ketidak hadirannya itu karena alasan yang sah

c.Tergugat tidak mengajukan tangkisan atau eksepsi mengenai kewenangan d.Penggugat mohon keputusan

Maka dalam hal ini Peradilan Agama sebagai badan hukum menegakkan keadilan dituntut agar dapat benar-benar teliti dalam pelaksaaannya. Artinya hakim itu setelah mengetahui hak-hak seseorang secara objektif kemudian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Allah atau hukum syara’ (Al-Quran)9.

Memang acara verstek ini sangatlah merugikan kepentingan tergugat, karena tanpa hadir dan tanpa pembelaan, putusan dijatuhkan. Akan tetapi, kerugian itu wajar diberikan kepada tergugat, disebabkan sikap dan perbuatan

8

M. Yahya harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), cet. 4, h.383.

9

Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind-Hill, Co., 1985), Cet. I, h.20.


(15)

tergugat yang tidak menaati tata tertib beracara di Pengadilan yang tentunya setelah dipanggil secara patut. Putusan yang dijatuhkan dengan verstek tidak boleh dijalankan sebelum lewat 14 hari sesudah pemberitahuan, seperti yang tersebut dalam Pasal 149 R.Bg (Pasal 128 HIR/152 R.Bg)10

Masalah lain verstek dalam perkara perceraian, adalah pada permasalahan pembuktian. Dimana Hukum Acara itu dapat dibagi dalam Hukum Acara Materil dan Hukum Acara Formil, peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam bagian yang pertama yang dapat juga dimasukkan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Materil11. Berdasarkan UU RI No: 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa “Hukum Acara berlaku pada Pengadilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”12. Jadi bila ditinjau dari peraturan perundang-undangan Peradilan Agama, juga Peradilan Agama sebenarnya tidak dapat mempraktekkan vestek itu, sebab tidak mempunyai verstekprocedure13. Maka jelaslah ketentuan putusan verstek perkara perceraian di Peradilan Agama

10

M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), ed. Ke1, cet. Ke2, h.21.

11

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, h.176.

12

Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-2, h.54.

13

Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h.51.


(16)

menginduk ke Hukum Acara Pengadilan Umum, yang mana pembuktian tidak terdapat ketentuan khusus dalam Undang-undang tersebut.

Menurut abdurrachman, bagi perkara-perkara yang tergugatnya tidak datang, hakim harus waspada untuk sebelum mengambil keputusan mengenai pokok perkaranya, meneliti lebih dahulu apakah gugatan tersebut tidak melanggar hukum atau didukung oleh fakta yang digunakan sebagai dasar gugatan. Sebagai contoh: A menggugat B supaya keluar dari rumah yang ditempatinya. Rumah tersebut bukan milik A pribadi, tetapi milik C saudara A. Gugat hanya atas alasan bahwa A selaku saudara C berkewajiban juga menjaga kepentingasn C tetapi A tidak menjadi kuasa C. Permohonan gugat yang demikian itu tidak mempunyai dasar hukum dan harus “tidak dapat diterima” juga dalam tergugat tidak datang menghadap14. Bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Soepomo, menurutnya pembuktian tidaklah diperlukan dalam putusan verstek yakni ketika tergugat tidak datang, dan baru diadakan sesudah ada perlawanan..

Ditinjau dari pendapat kedua yang secara tidak langsung menjelaskan tidak perlu dibuktikan, maka dalam hal perkara perceraian bisa saja terjadi pemufakatan kedua belah pihak dan kebohongan atau sandiwara dalam proses beracara di Pengadilan. Kemudian apakah praktek di lingkungan Pengadilan Agama menggunakan pembuktian ataupun tidak dalam putusan verstek perceraian? Mengingat, jika diajukannya perkara ke Pengadilan, antara

14


(17)

Penggugat dan Tergugat memilki kepentingan masing-masing. Berangkat dari permasalahan diatas, penulis pikir hal ini perlu dikaji, mengingat di zaman sekarang semakin banyak terdapat faktor penyebab terjadinya perceraian dengan pelbagai macam problematika sosial yang tentunya akan berujung pada Pengadilan.

Berkenaan dengan berbagai macam hal yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam persoalan ini dengan meneliti dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Depok dengan judul “PUTUSAN VERSTEK PENGADILAN AGAMA DEPOK DALAM PERKARA CERAI GUGAT” (Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No. 1227/Pdt.G/2008/PA.Dpk.).

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk lebih terarahnya penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi pembahasan tersebut pada landasan hukum proses pembuktian dalam perkara yang diputus dengan tidak hadirnya tergugat (verstek), yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Depok dalam perkara cerai gugat.

2. Perumusan Masalah

Secara teoritis, putusan verstek menurut Pasal 125 HIR dan Pasal 149 R.Bg tidak diatur secara tekstual tentang pembuktian, akan tetapi Pengadilan Agama Depok masih mempergunakan bukti tersebut.


(18)

Untuk lebih mempertajam pembahasan skripsi ini, maka dibuat pertanyaan masalah sebagai berikut:

a. Praktek perundang-undangan yang mana yang mengatur verstek?

b. Apa landasan hukum bagi hakim dalam proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang diputus verstek?

c. Bagaimana analisa putusan perkara verstek No. 1227 /Pdt.G/ 2008/ PA. Dpk.?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian penulis dalam masalah ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang mengatur verstek tersebut.

b. Untuk mengetahui landasan hukum yang dipergunakan oleh hakim dalam proses pembuktian perkara cerai gugat yang diputus verstek.

c. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan verstek tersebut. 2. Manfaat Penelitian

a. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan penulis agar lebih memahami hal-hal seputar perkara verstek dalam tataran teoritis maupun praktis.

b. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu konstribusi besar keilmuwan bagi yang berminat


(19)

untuk mengkaji aspek-aspek yang berhubungan dengan dinamika perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama hal seputar verstek dan proses pembuktian dalam cerai gugat.

D. Tinjauan Studi Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul proposal, di antaranya adalah sebagai berikut:

NO NAMA/ NIM JUDUL SKRIPSI PEMBAHASAN

1. Eko Muryono Putusan verstek di Pengadilan Agama dalam perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Pusat).

Dalam skripsi tersebut lebih fokus membahas kepada tinjauan Hukum Islam dan atau Kompilasi Hukum Islam terhadap putusan verstek di Pengadilan Agama.

2. Agus Sudianto/ 101044122131

Penyelesaian perkara perceraian yang diputus verstek di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Skripsi tersebut hanya memaparkan secara global tentang proses serta teknis persidangan


(20)

Setelah melakukan analisa dari kedua skripsi diatas, penulis rasa bahwa pembahasannya berbeda dengan judul penulis: “Putusan Verstek Pengadilan

Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat” Di sini penulis mencoba

menerangkan secara komprehensif tentang proses pembuktian sebelum terjadi putusan verstek yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Agama Depok, serta penulis menjelaskan landasan hukum pembuktian yang dipergunakan dalam perkara Cerai Gugat. Karena tidak lain putusan verstek Pengadilan Agama akan memberikan akibat hukum bagi masing- masing pihak.

E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian.

Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis menggunakan pendekatan empiris, yaitu suatu pendekatan penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan kondisi yang dilihat di lapangan secara apa adanya. Pendekatan empiris ini diharapkan dapat menggali data dan informasi semaksimal mungkin tentang perkara verstek dan proses penyelesaiannya sehingga diharapkan akan menemukan sebuah hasil yang relevan dengan wacana-wacana yang berkembang selama ini.


(21)

a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan.15 Dalam hal ini diperoleh dari hasil wawancara penulis kepada Hakim Pengadilan Agama Depok.

b. Data Sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari bahan pustaka, dengan cara mencari data-data, keterangan, informasi yang relevan dengan konsep penelitian serta mengkaji literatur lainnya

3. Instumen Pengumpul Data

a. Wawancara. Dalam penelitian ini, penulis menyusun konsep wawancara, dengan cara menyusun berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan ‘perkara verstek’ serta landasan hukum dalam proses pembuktiannya. b. Observasi, dimana penulis mengadakan pengamatan secara langsung di

Pengadilan Agama Depok serta mengumpulkan data-data dan informasi yang terkait erat dengan penelitian ini.

4. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu tehnik menganalisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang telah didapatkan dari hasil wawancara, kemudian menganalisis dengan content analysist (analisa isi).

F. Sistematika Penulisan

15

Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.36.


(22)

Bab pertama ini merupakan Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Masalah, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka Terdahulu, Sistematika Penulisan

Bab kedua menjelaskan Tinjauan Umum Tentang Putusan Verstek, diantaranya: Pengertian Verstek, Syarat-Syarat Acara Verstek, Penerapan Terhadap Acara Verstek, Upaya Hukum Terhadap Verstek Serta Proses Pemeriksaannya. Bab Kedua

Bab ketiga ini menjelaskan tentang Dimensi Peradilan Agama, yang berisikan tentang: Peradilan Agama Dalam Perspektif Hukum Islam, Bentuk Perceraian di Pengadilan Agama, Tata Cara Pemeriksaan Perceraian yang meliputi Cerai Talak dan Cerai Gugat.

Bab keempat berisikan tentang Proses Penyelesaian Perkara Verstek, dengan menguraikan tentang Sistem Pembuktian Perkara Verstek, dan Analisa Pertimbangan Hukum bagi Hakim Dalam Memutuskan Perkara tersebut.

Bab kelima yaitu uraian tentang penutup, yang berisi kesimpulan dan implikasi dari keseluruhan pembahasan yang telah diteliti. Dan saran yang dapat mendukung kesempurnaan skripsi ini.


(23)

TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK

A. Pengertian Verstek

Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan patut. Pihak yang tidak hadir mungkin Penggugat dan mungkin juga Tergugat. Ketidakhadiran salah satu pihak tersebut menimbulkan masalah dalam pemeriksaan perkara, yaitu perkara itu ditunda atau diteruskan pemeriksaannya dengan konsekuensi yuridis.1

Pihak penggugat yang tidak hadir, maka perkaranya digugurkan dan diperkenankan untuk mengajukan gugatannya sekali lagi setelah ia terlebih dahulu membayar biaya perkara yang baru. Namun jikalau pada hari sidang pertama yang telah ditentukan tergugat tidak hadir ataupun tidak menyuruh wakilnya untuk datang menghadiri persidangan, sedangkan ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatan diputuskan dengan verstek.2

1

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h.86.

2

R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), h.33.


(24)

Putusan verstek adalah menyatakan bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum acara harus datang. Verstek ini hanya dapat dinyatakan, jikalau tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.3

Berdasarkan Pasal 126 HIR, didalam hal kejadian tersebut diatas, Pengadilan Negeri sebelum menjatuhkan sesuatu putusan (gugurnya gugatan ataupun verstek), dapat juga memanggil sekali lagi pihak yang tidak datang itu. Ini bisa saja terjadi jikalau misalnya Hakim memandang perkaranya terlalu penting buat diputus begitu saja diluar persidangan baik digugurkan maupun verstek. Ketentuan pasal ini sangat bijak sana terutama bagi pihak yang digugat, lebih-lebih jika rakyat kecil yang tidak berpengetahuan dan tempat tinggalnya jauh.4

Mengenai pengertian verstek, sangat erat kaitannya dengan fungsi beracara di pengadilan, dan hal tersebut tidak terlepas dari penjatuhan putusan atas perkara yang disengketakan, yang memberi wewenang pada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat. Persoalan verstek tidak terlepas dari ketentuan Pasal 124 HIR (Pasal 148 R.Bg) dan Pasal 125 HIR (Pasal 149 R.Bg).

1. Pasal 124 HIR:5

3

Ibid, h.33.

4

M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.26-27.

5


(25)

Apabila pada hari yang telah ditentukan penggugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatannya dinyatakan gugur dan ia dihukum membayar biaya perkara tetapi ia berhak untuk mengajukan gugatan sekali lagi, setelah ia membayar lebih dahulu biaya tersebut. Berdasarkan pasal 124 HIR, hakim berwenang menjatuhkan putusan diluar hadir atau tanpa hadir penggugat dengan syarat:6

a. Bila penggugat tidak hadir pada sidang yang telah ditentukan tanpa alasan yang sah

b. Maka dalam peristiwa seperti itu, hakim berwenang memutus perkara tanpa hadirnya penggugat yang disebut putusan verstek, yang memuat diktum: 1) membebaskan tergugat dari perkara tersebut,

2) menghukum penggugat membayar biaya perkara,

c. Terhadap putusan verstek itu, penggugat tidak dapat mengajukan perlawaan (verzet) maupun upaya banding dan kasasi, sehingga terhadap putusan tertutup upaya hukum,

d. Upaya yang dapat dilakukan penggugat adalah mengajukan kembali gugatan itu sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara.

2. Pasal 125 Ayat (1) HIR:7

Apabila pada hari yang telah ditentukan, tegugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia

6

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), cet. 4, h.382.

7


(26)

telah dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi Pengadilan bahwa gugatan tersebut melawan hak atau tidak beralasan.

Menurut M. Yahya Harahap bahwa berdasarkan pasal tersebut diatas, kepada hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan diluar atau tanpa hadirnya tergugat, dengan syarat:8

a. Apabila tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa alasan yang sah (default without reason)

b.Dalam hal seperti itu, hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisi diktum: 1) mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian, atau

2) menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak mempunyai dasar hukum.

Jika gugatan tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan, maka gugatan akan dinyatakan tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika gugatan itu tidak beralasan, yaitu apabila tidak diajukan peistiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan, maka gugatan akan ditolak. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak gugatan di luar pokok perkara, sedang penolakan merupakan putusan setelah dipertimbang mengenai pokok perkara. Pada putusan tidak diterima, dikemudian hari penggugat masih dapat mengajukan lagi tuntutannya, tetapi didalam praktek sekarang ini tidak jarang putusan tidak dapat diterima

8


(27)

dimintakan banding, sedang dalam hal penolakan tidak terbuka kesempatan untuk mengajukan gugatan tersebut untuk kedua kalinya pada hakim yang sama (ne bis in idem).9

Jadi putusan verstek tidak berarti selalu dikabulkannya gugatan penggugat. Pada hakeketnya lembaga verstek itu untuk merealisir asas audi et alteram partem, jadi kepentingan tergugatpun harus diperhatikan, sehingga seharusnya secara ex officio hakim mempelajari isi gugatan. Tetapi di dalam praktek sering gugatan pengguat dikabulkan dalam putusan verstek tanpa mempelajari gugatan lebih dahulu.

Menurut Gemala Dewi bahwa putusan verstek hanya menilai secara formil gugatan dan belum menilai secara materiil kebenaran dalil-dalil gugat10. Disamping itu Abdulkadir Muhammad menyimpulkan bahwa dalam putusan verstek tidak selalu mengalahkan Tergugat, mungkin juga mengalahkan Penggugat11.

B. Syarat-Syarat Acara Verstek

Syarat acara verstek terhadap penggugat terdapat dalam bagian pengguguran gugatan berdasarkan Pasal 124 HIR. Sedang yang akan dibicarakan dalam uraian ini adalah verstek terhadap tergugat.

9

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogykarta: Liberty, 1988), h.85.

10

Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h.152.

11


(28)

Menurut Yahaya Harahap12 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, secara garis besar syarat sahnya penerapan acara verstek kepada tegugat, merujuk kepada ketentuan Pasal 125 HIR ayat (1) atau 78 Rv. Bertitik tolak dari pasal tersebut, dapat dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut 2. Tidak hadir tanpa alasan yang sah

3. Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi

Pasal 125 ayat (1) HIR menentukan, bahwa untuk putusan verstek yang mengabulkan gugatan diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut:13

1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan

2. Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap 3. Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil dengan patut

4. Petitum tidak melawan hak 5. Petitum beralasan

Syarat-syarat tersebut diatas harus satu persatu diperiksa dengan seksama, baru apabila benar-benar persyaratan itu kesemuanya terpenuhi, putusan verstek dijatuhkan dengan mengabulkan gugatan. Apabila syarat 1 , 2 , dan 3 dipenuhi, akan tetapi petitumnya ternyata melawan hak atau tidak

12

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.383.

13

Retno Wulan Susanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), h.26.


(29)

beralasan, maka meskipun mereka diputus dengan verstek, gugat ditolak. Namun apabila syarat 1 , 2, dan 3 terpenuhi, akan tetapi ternyata ada kesalahan formil dalam gugatan, misalnya gugatan dianjurkan oleh orang yang tidak berhak, kuasa yang menandatangani surat gugat teryata tidak memliki surat kuasa khusus dari pihak penggugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.14

Erfaniah Zuhriah15 mengemukakan putusan verstek yang diatur dalam pasal 125 HIR dan 196-197 HIR, pasal 148-153 R.Bg. dan 207-208 R.Bg UU Nomor 20 Tahun 1947 dan SEMA Nomor 9 Tahun 1946. Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarta-syarat, yaitu:

1. Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut

2. Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain serta tidak tenyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan yang sah

3. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan 4. Penggugat hadir di persidangan, dan

5. Penggugat mohon keputusan

C. Penerapan Acara Verstek

14

Ibid, h.26.

15

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang: Uin-Malang Press, 2008), h.275.


(30)

Pada satu sisi, undang-undang mendudukan kehadiran tergugat disidang sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan sepenuhnya, apakah tergugat mempergunakan hak itu untuk membela kepentingannya. Di sisi lain, undang-undang tidak memaksakan penerapan acara verstek secara imperatif. Hakim tidak mesti menjatuhkan putusan verstek terhadap tergugat yang tidak hadir memenuhi panggilan. Penerapannya bersifat fakultatif. Kepada hakim diberi kebebasan untuk menerapkannya atau tidak. Sifat penerapan yang fakultatif tersebut, diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai acuan.16

1. Ketidakhadiran Tergugat pada Sidang Pertama, Lansung Memberi Wewenang Kepada Hakim Menjatuhkan Putusan Verstek

Seperti telah dijelaskan diatas, apabila tergugat telah dipanggil secara patut namun tidak datang menghadiri sidang pertama tanpa alasan yang sah, hakim langsung dapat menerapkan acara verstek, dengan jalan menjatuhkan putusan verstek. Tindakan itu dapat dilakukan berdasarkan jabatan atau ex officio, meskipun tidak ada permintaan dari pihak penggugat.17

Akan tetapi, berdasarkan pertimbangan prinsip fair trial sesuai dengan

audi alteram partem, jika tergugat tidak hadir memenuhi pemeriksaan sidang pertama maka kurang layak langsung menghukumnya dengan putusan verstek. Oleh karena itu, hakim yang bijaksana, tidak gegabah secara emosional

16

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 388-389.

17


(31)

langsung menerapkan acara verstek., tetapi memberi kesempatan lagi kepada tergugat untuk hadir di persidangan dengan jalan mengundurkan pemeriksaan.18

2. Mengundurkan Sidang dan Memanggil Tergugat Sekali Lagi

Jika hakim tidak langsung menjatuhkan keputusan verstek pada sidang pertama:19

• Hakim memerintahkan pengunduran sidang;

• Berbarengan dengan itu, memerintahkan juru sita memanggil tergugat untuk kali yang kedua, supaya datang mengahadiri persidagan pada tanggal yang ditentukan.

Sistem atau cara yang demikian diatur dalam Pasal 126 HIR. Ditegaskan, apabila tergugat tidak datang menghadiri panggilan sidang pertama, hakim tidak mesti langsung menerapkan acara verstek, tetapi ia dapat memerintahkan, supaya pihak yang tidak hadir (tergugat) dipanggil buat kedua kalinya, agar menghadap pada persidangan yang akan datang. Sedangkan kepada pihak yang datang, tidak perlu dipanggil lagi, cukup diberitahukan kepada persidangan itu mengenai pengunduran sidang dimaksud.20

18

Ibid, h.389.

19

Ibid, h.389.

20


(32)

Ditinjau dari segi kepatutan dihubungkan dengan tujuan perwujudan

fair trial, sangat beralasan menerapkan ketentuan Pasal 126 HIR. Penerapan tersebut bertujuan memberi kesadaran dan kesempatan yang wajar kepada tergugat untuk membela hak dan kepentingnya dalam pemeriksaan persidangan yang dihadirinya atau kuasanya.21

3. Batas Toleransi Pengunduran

Ditinjau dari Pasal 126 HIR tidak mengatur batas toleransi atau batas kebolehan pengunduran sidang apabila tergugat tidak menaati panggilan. Pasal itu hanya mengatakan Pengadilan Negeri atau hakim dapat memerintahkan pengunduran, namun tidak menentukan pembatasan berapa kali pengunduran dapat dilakukan.22

Jika semata-mata bertitik tolak dari ketentuan Pasal 126 HIR tersebut, hukum memang membenarkan pengunduran yang tidak terbatas. Akan tetapi. Penerapan seperti itu, dapat dianggap:23

• Bercorak anarkis dan sewenang–wenang terhadap penggugat,

• Juga sangat bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang digariskan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun

21

Ibid, h.389.

22

Ibid, h.390.

23


(33)

1999, dan sekarang pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004.

Bahkan penerapan seperti itu, bertentangan dengan asas impersialitas dan perlakuan yang sama (equal treatment). Tindakan mengundurkan persidangan beberapa kali, apalagi tanpa batas terhadap ketidakhadiran tergugat, dapat ditafsirkan sebagai perlakuan keberpihakan kepada tergugat pada satu sisi, dan mengabaikan kepentingan penggugat pada sisi lain.24

Memperhatikan uraian diatas, perlu ditegakkan batasan yang bersifat toleran berdasarkan kelayakan yang beradab dan manusiawi, dalam kerangka melindungi kepentingan kedua belah pihak yang berperkara. Berdasarkan kelayakan tersebut, batas toleransi pengunduran yang dapat dibenarkan hukum dan moral:25

• minimal dua kali; • maksimal tiga kali.

Sebenarnya memberi toleransi beberapa kali pengunduran, secara moral dianggap terlampau memanjakan dan mengandung sikap parsialitas kepada tergugat. Oleh karena itu, batas maksimal pengunduran yang dapat dibenarkan:26

• hanya sampai tiga kali saja;

24

Ibid, h.390.

25

Ibid, h.390.

26


(34)

• dengan demikian apabila pengunduran dan pemanggilan sudah sampai tiga kali, tetapi tergugat tidak datang menghadiri sidang tanpa alasan yang sah, hakim wajib menjatuhkan putusan verstek.

Bertitik tolak dari patokan pembatasan tersebut, sifat fakultatif yang digariskan Pasal 125 ayat (1) jo. Pasal 126 HIR, diubah menjadi imperatif sehingga hakim wajib menjatuhkan putusan verstek, apabila pada pengunduran yang ketiga, tergugat tetap tidak datang mengahadiri sidang tanpa alasan yang sah. Hakim yang tidak berani menerapkan acara verstek dalam kasus yang demikian, dianggap tidak peka menjawab panggilan rasa keadilan.27

D. Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek Serta Proses Pemeriksaannya 1. Verzet

Verzet adalah perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama), yang diajukan oleh Tergugat dengan diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu yang diajukan ke pengadilan yang memutus itu juga.

Perkara yang diputus dengan verstek, dianggap secara formal dan material sudah selesai diadili selengkapnya. Jadi tergugat yang kalah, tidak boleh lagi mengajukan perkara tersebut kembali (seperti dalam perkara yang diputus dengan digugurkan), kecuali mengajukan perlawanan yang disebut

27


(35)

dengan istilah “verzet”. Sesudah menggunakan upaya hukum verzet, jika masih perlu, tergugat dapat menggunakan upaya hukum banding.28

Berapa banyak kekeliruan yang terjadi dalam praktek peradilan terhadap upaya yang dilakukan pencari keadilan terhadap putusan verstek. Sering terjadi permintaan banding terhadap putusan verstek. Artinya, putusan verstek langsung diminta banding. Padahal menurut ketentuan Pasal 128 dan 129 HIR atau Pasal 153 R.Bg sudah menandaskan, upaya hukum yang tepat untuk itu hanya verzet.29

Perlawanan (verzet) dihubungkan dengan putusan verstek mengandung arti:

a. Tergugat berusaha melawan putusan verstek/tergugat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek.

b. Tujuannya, agar terhadap putusan itu di lakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh sesuai dengan proses pemeriksaan kontradiktor dengan permohonan agar putusan verstek di batalkan serta sekaligus memiliki agar gugatan penggugat ditolak.

Karena adanya perlawanan ini, kedudukan penggugat menjadi pihak yang terlawan (geopposeerde), sedangkan pihak tergugat menjadi pelawan (opposant). Bilamana perlawanan tersebut dapat diterima, berdasarkan Pasal

28

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h.102.

29

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, ( Sinar Grafika, 2005), h.95-96.


(36)

129 Ayat (4) HIR/ 153 Ayat 5 R.Bg maka pelaksanaan putusan verstek menjadi terhenti, kecuali ada perintah untuk tetap melaksanakan putusan verstek meskipun ada pelawanan. Dalam proses pemeriksaaan perlawanan semacam ini, pihak terlawan/penggugat asal dibebani pembuktian lebih dulu. Dengan demikian, melalui tindakan perlawanan ini tidak menutup kemungkinan pihak pelawan/tergugat asal yang semula dikalahkan dalam putusan verstek, ternyata kemudian menjadi pemenang dalam putusan perlawanan.30

2. Proses Pemeriksaan Perlawanan

Mengenai proses pemeriksaan perlawanan atau verzet, perlu dijelaskan beberapa landasan hukum yang harus ditegakkan.

a. Perlawanan diajukan kepada Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan verstek

Kewenangan menerima dan memeriksa perlawanan, jatuh menjadi yuridiksi Pengadilan Agama semula yang menjatuhkan putusan verstek. Dengan demikian, agar permintaan perlawanan memenuhi syarat formil:31 • Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya

• Disampaikan kepada Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan

verstek sesuai dengan batas tenggang waktu yang ditentukan pasal 129 ayat (2) HIR

30

Henny Mono, Praktik Berperkara Perdata, (Malang: Bayumedia, 2007), Cet. 1., h.137.

31


(37)

• Perlawanan ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak lain, selain daripada penggugat semula.

Penegasan mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Agama yang semula menjatuhkan putusan verstek , digariskan dalam pasal 129 ayat (3) HIR.

b. Perlawanan terhadap verstek, bukan perkara baru

Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan gugatan atau perkara baru, akan tetapi tiada lain merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru dan tidak benar. Sehubungan dengan itu, putusan MA No. 307K/Sip/1975 memperingatkan, bahwa verzet terhadap verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru. Sedemikian rupa eratnya kaitan antara perlawanan dengan gugatan semula, menyebabkan komposisi perlawanan (opposant) sama persis dengan tergugat asal dan terlawan (geopposeorde) adalah penggugat asal. Demikian penegasan putusan MA 494K/Pdt/1983 yang mengatakan dalam proses verzet atau

verstek, pelawannya berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat.32

c. Perlawanan mengakibatkan putusan verstek mentah kembali

32


(38)

Apabila diajukan verzet terhadap putusan verstek, dengan sendirinya menurut hukum:33

• Putusan verstek menjadi mentah kembali • Eksistensinya dianggap tidak pernah ada

• Oleh karena itu, jika terhadapnya diajukan perlawanan, putusan

verstek tidak dapat dieksekusi, meskipun putusan itu mencamtumkan amar dapat dilaksanakan lebih dahulu

Berarti eksistensi putusan verset dapat dikonstruksi sebagai berikut; • Selama tenggang waktu verzet masih belum terlampaui, eksistensi

putusan verstek bersifat relatif atau semu. Secara formil putusan

verstek memang ada, tapi secara materiil, belum memiliki kekuatan eksekutorial selama belum dilampaui tenggang waktu mengajukan

verzet belum dilampaui.

• Eksistensinya lenyap atau mentah, apabila dalam tenggang waktu yang dibenarkan undang-undang diajukan verzet.

Dalam hal terhadap putusan verstek diajukan verzet dapat timbul akibat sebagai berikut:34

1) Eksistensinya akan lenyap secara mutlak, apabila perlawanan dikabulkan. Jika perlawanan dikabulkan dengan sendirinya putusan

verstek dibacakan sehingga putusan itu mutlak lenyap. Yang muncul

33

Ibid, h.408.

34


(39)

menjadi dasar penyelesaian perkara adalah putusan perlawanan atau putusan verzet.

2) Eksistensi putusan verstek mutlak menjadi dasar penyelesaian perkara, apabila perlawanan yang diajukan tergugat ditolak. Apabila Pengadilan Agama menolak perlawanan, putusan verstek tetap dipertahankan sehingga eksistensinya absolut menjadi landasan penyelesaian perkara.

3) Eksistensinya absolut apabila terhadapnya tidak diajukan verzet. Kalau terhadapnya tidak diajukan perlawanan atau tenggang waktu mengajukan perlawanan telah dilampaui, putusan verstek demi hukum menjadi absolut, sehingga

• Terhadapnya tertutup segala upaya hukum, dan • Pada putusan melekat kekuatan eksekutorial. d. Pemeriksaan perlawanan (verzet)

1) Pemeriksaan Berdasarkan Gugatan Semula

Berdasarkan putusan MA No. 938K/Pdt/1986. Dalam putusan tersebut terdapat pertimbangan yang disadur sebagai berikut:35

• Substansi verzet terhadap putusan verstek, harus ditujukan kepada isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan terlawan/penggugat asal

35


(40)

• Verzet yang hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran pelawan/tergugat asal menghadiri persidangan tidak relevan

• Oleh karena itu, putusan verzet yang hanya mempertimbangkan masalah sah atau tidak ketidakhadiran tergugat atau memenuhi panggilan sidang adalah keliru

• Sehubungan dengan itu, sekiranya pelawan hanya mengajukan alasan verzet tentang masalah keabsahan atas ketidakhadiran tergugat memenuhi panggilan, Pengadilan Agama yang memeriksa verzet harus memeriksa kembali gugatan semula, karena dengan adanya verzet, putusan verstek mentah kembali, dan perkara harus diperiksa sejak semula.

2) Proses Pemeriksaan dengan Acara Biasa

Ketentuan itu diatur dalam pasal 129 ayat (3) HIR yang berbunyi:36

Surat perlawanan itu dimaksud dan diperiksa dengan cara yang biasa, yang diatur untuk perkara perdata.

Dari pasal diatas posisi para pihak tidak berubah dari status semula. Pelawan tetap sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat. Oleh karena itu, sistem beban wajib bukti yang digariskan Pasal 163, 186 KUHPerdata tetap ditegakkan sebagaimana mestinya. Bertitik tolak dari ketentuan pasal dimaksud, pada prinsipnya beban

36


(41)

wajib untuk membuktikan dalil gugatan dibebankan kepada terlawan dalam kedudukan sebagai penggugat. Sebaliknya kepada pelawan dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil bantahannya dalam kedudukannya sebagai tergugat. Sebaliknya kepada pelawan dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil bantahannya dalam kedudukan sebagai tergugat. Tidak boleh dibalik dengan cara meletakkan terlebih dahulu beban wajib bukti kepada pelawan. Penerapan yang demikian melanggar tata tertib beracara yang digariskan sistem hukum pembuktian.37

3) Surat perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil gugatan Berdasarkan Pasal 129 (3) HIR perlawanan diajukan dan diperiksa dengan acara biasa yang berlaku untuk perkara perdata. Dengan begitu, kedudukan pelawan sama dengan tergugat. Berarti surat perlawanan yang diajukan dan disampaikan kepada Pengadilan Agama, pada hakikatnya sama dengan surat jawaban yang digariskan Pasal 121 (2) HIR, 142 HIR Rv. Kualitas surat perlawanan sebagai jawaban dalam proses verstek dianggap sebagai jawaban pada sidang pertama.38

37

Ibid, h.409-410.

38


(42)

A. PERADILAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

1. Pengertian Peradilan

Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per” dan dengan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari qadha, yang berarti memutuskan, melaksanakan, menyelesaikan. Dan adapula yang menyatakan bahwa, umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.1

Dalam literatur-literatur fikih Islam, peradilan disebut qadha, artinya menyelesaikan, seperti Firman Allah SWT:

.

Artinya: “Manakalah Zaid telah menyelesaikan keperluan dari zainab”. (Q.S. Al-Ahzab: 37).

Ada juga yang berarti menunaikan, seperti Firman Allah SWT:

.

1


(43)

Artinya: “Apabila shalat telah ditunaikan maka berteberanlah kepelosok bumi”. (Q.S. Al-Jumu’ah: 10).

Kata peradilan menurut istilah ahli fikih adalah:

1. Lembaga Hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan)

2. Perkataan yang harus dituruti, yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.

Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan sesuatu hukum, karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, di mana hukum Islam itu (syariat), telah ada sebelum manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.2

Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia merupakan satu kebutuhan hidup bermasyarakat. Pemerintahan tidak dapat berdiri tanpa adanya peradilan, karena peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa di antara para penduduk. 3

2

Ibid, h.2.

3

Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h.3.


(44)

Peradilan adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Di dalam peradilan itu terkandung menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar, menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan.4

2. Unsur- Unsur Peradilan

a. Hakim (Qadhi)

Qhadi adalah orang yang diangkat oleh Kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang perdata, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan. Sudah jelas bahwa Nabi sendiri menunjuk beberapa penggantinya untuk menjadi hakim.5

b. Hukum

Hukum yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Hukum ini adakala dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim berkata “Saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang”. Putusan tersebut dinamakan qadha ilzam atau qadha isthiqaq.

4

Ibid, h.3.

5


(45)

Dalam pada itu ada yang berpendapat bahwa qadha ilzam ini ialah menetapkan sesuatu dengan dasar yang menyakinkan, seperti berhaknya sesorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha isthiqaq, ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari

ijtihad, seperti halnya sesorang tetangga mengajukan hak syuf’ah. 6

c. Mahkum Bihi

Di dalam qadha ilzam dan qadha isthiqaq ialah sesuatu yang diharuskan oleh qadhi (hakim) supaya si tergugat memenuhinya. Di dalam

qadha ‘ut-tarki, ialah menolak gugatan. Ringkasnya, mahkum bihi adalah suatu haq. Maka haq ini adakala dipandang hak yang murni bagi Allah atau hamba, adakala hak yang dipersekutukan antara keduanya tetapi salah satunya lebih berat. Diharuskan hak yang merupakan mahkum bihi, dikenal oleh kedua belah pihak.7

d. Mahkum ‘Alaihi (Si Terhukum)

Mahkum ‘Alaihi adalah orang yang dijatuhkan hukum atasnya. Dalam hak-hak syara’, adalah orang yang diminta untuk memenuhi sesuatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya, baik dia orang yang

6

Ibid, h.39-40.

7


(46)

tergugat ataupun bukan. Mahkum ‘alaihi ini boleh seorang saja dan boleh juga banyak.8

e. Mahkum Lahu (Si Pemegang Perkara)

Mahkum Lahu adalah orang yang menggugat sesuatu hak. Baik hak itu hak yang murni baginya atau sesuatu yang terdapat padanya dua hak, akan tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini, haruslah ia memajukan gugatan, meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak sendiri ataupun dengan perantaraan wakilnya. Dan di dalam memutuskan perkara, boleh dia sendiri yang menghadiri sidang pengadilan ataupun wakilnya.9 f. Sumber Hukum (Putusan)

Dari keterangan-keterangan ini nyatalah, bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima. Oleh karena itu pula sesuatu yang bukan merupakan suatu peristiwa atau kejadian, dan hal-hal itu yang masuk kedalam bidang ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang peradilan.10

3. Macam- Macam Dakwaan (Gugatan) Hukum Acara Peradilan Islam

a. Dalil Pokok Gugatan

8

Ibid, h.40.

9

Ibid, h.41.

10


(47)

Dalil pokok bagi masalah dakwaan, sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. (Q.S. An-Nur: 48).

b. Pengertian Dakwaan

Dakwaan dalam pengertian bahasa ialah thalab (permintaan) dan

tamanna (pengharapan). Dalam pengertian istilah, gugatan ialah pengaduan yang dapat diterima hakim, yang dimaksudkan untuk menuntut suatu hak pada pihak yang lain. Oleh karenanya syahadat (kesaksian dan

iqrar (pengakuan) tidak dimasukkan ke dalam katagori dakwa. Oleh sebab itu masuk ke dalam pengertian dakwa, dakwa da’it ta’arudhi (mendakwa, mengapa orang menggugatnya), dan da’wa tath’in niza’ (mendakwa, mengapa orang yang tidak jadi meneruskan dakwaanya).

Mengingat hal ini, maka da’wa daf’it ta’arudhi harus diterima oleh hakim, sedang da’wa qath’in niza’i tidak dapat diterima oleh hakim,


(48)

karena si penggugat sebagaimana mempunyai hak untuk menggugat, dan mempunyai juga hak untuk mencabut gugatannya. Hakim tidak dapat memaksa si penggugat harus meneruskan gugatannya.11

c. Pengertian Mudda’i dan Mudda’a ‘Alaihi

1) Mudda’i (penggugat), ialah orang yang menghendaki (menuntut) dengan pengaduannya supaya diambil sesuatu dari tangan selanjutnya, atau menetapkan suatu hak dalam tanggung jawab orang lain. Ada yang mengatakan bahwa mudda’i, ialah orang yang menuntut atas selainnya untuk dirinya, baik yang dituntut itu benda, ataupun hutang, atau corak yang lain.

2) Mudda’a ‘alaihi (tergugat) ialah orang yang disandarkan kepadanya suatu tuntutan hak yang dihadapkan atasnya. Mudda’a ‘alaihi

(tergugat) adalah pihak yang harus menjawab gugatan. Hakim dapat memaksanya untuk menjawab atau mengemukakan keterangan yang diperlukan terhadap gugatan yang dihadapkan kepada dirinya oleh si penggugat.12

d. Rukun Dakwaan

11

Ibid, h.105.

12


(49)

Rukun (pokok dari pengaduan atau gugatan), ialah menyandarkan sesautu hak kepada diri si penggugat, seperti dia mengatakan “Saya mempunyai suatu hak yang sedang berada di tangan si tergugat”, atau mengatakan bahwa yang diwakilinya mempunyai sesuatu di tangan si tergugat, apabila penggugat itu bertindak sebagai wakil.

Jelasnya dakwaan ialah ucapan si penggugat atau wakilnya (orang yang berakal dan mumayyiz), yaitu si Fulan berhutang kepadaku sejumlah uang, atau hakku ada padanya, atau aku telah menyelesaikan haknya, atau dia telah membebaskan aku dari haknya. Apabila ini semua telah diucapkan, maka sempurnalah rukun dakwa.13

e. Syarat- Syarat Sah Dakwaan

1) Pendakwa (penggugat) itu orang yang berakal sehat, demikian juga

mudda’a ‘alahi (tergugat). Oleh karenanya, tidaklah diterima gugatan yang dihadapkan kepada orang-orang yang tidak berakal, karena dia tidak dapat memberi jawaban (didengar jawabnya) atas gugatan yang dihadapkan kepadanya.

13


(50)

2) Mudda’a (mudda’a bihi, yakni objek perkara), harus diketahui karena sulit menyelesaikan sesuatu perkara yang tidak dikenal oleh pihak yang bersangkutan.14

f. Hukum Dakwaan dan Hal-Hal Yang Berpautan Dengan Dakwaan.

Mudda’a ‘alaihi, wajib menjawab gugatan yang dihadapkan kepadanya karena menghilangkan persengketaan dan pertengkeran adalah suatu hal yang wajib. Hal ini tidak dapat diselesaikan tanpa ada jawaban dari mudda’a ‘alaihi. Jelasnya, apabila gugatan telah dipandang hakim memenuhi prosedur yang benar, barulah hakim menghadapkan pertanyaan kepada pihak yang tergugat dan menanyakan pendapatnya. Apakah dia membenarkan gugatan itu, ataukah tidak.

Apabila mudda’a ‘alaihi dinyatakan harus menjawab, maka dia dapat membenarkan gugatan, dapat menolak dan dapat berdiam diri. Jika dia menolak (membantah) maka jika mudda’i mempunyai bayyinah

(bukti), hendaklah dia mengemukakan bayyinahnya (membuktikan kebenaran dakwaannya).15

g. Hujjah-Hujjah Mudda’i dan Mudda’a ‘Alaihi

Bukti dimintakan kepada mudda’i, sedang sumpah pada umumnya dalam banyak hal dikenakan atas mudda’a ‘ alaihi. Hal ini adalah logis

14

Ibid, h.108. 15


(51)

(mantiqi), karena mudda’i mendakwa sesuatu yang tersembunyi yang berlawanan dengan kenyataan, yang berada di tangan yang lain. untuk membuktikan kebenarannya, perlulah ia mengemukakan bukti. Sumpah, walaupun dikuatkan dengan asma Allah SWT namun tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan mudda’a ‘alaihi, tetapi dapat dijadikan hujjah

untuknya karena benda yang diperkarakan itu berada di tangan mudda’i.16 h. Pertentangan Dua Dakwa (Gugatan) Tentang Hak Milik

Pertentangan dua dakwa tentang hak milik, ialah pertentangan dua bukti. Jalan yang harus ditempuh bila terjadi yang demikian, ialah mencari dalil yang rajih (kuat) dari antara dua dalil dan menggunakannya, jika mungkin dilakukan. Jika tidak dapat ditarjihkan (dikuatkan salah satunya), kita ambil kedua-duanya seberapa dapat untuk membenarkan kedua-dua dakwaan itu.17

i. Pertentangan Gugatan Tentang Jumlah Milik

Apabila pihak penjual berbeda pendapat dengan pihak pembeli, tentang jumlah barang yang diperjual belikan, maka mungkin mereka berbeda pendapat tentang harga dan mungkin tentang benda yang diperjual belikan.

16

Ibid, h.112.

17


(52)

Kalau tentang harga, maka dapat tentang jumlah harga, dan dapat tentang jenisnya, ataupun tentang waktunya. Tapi jika tentang jumlah harga, seperti si penjual berkata “Saya jual ini dengan harga Rp. 2000,- sedang pihak pembeli mengatakan Rp. 1000,- maka jika barang yang diperselisihkan tentang harganya itu masih ada, hendaklah keduanya bersumpah, lalu barang itu dikembalikan kepada penjual. Dalam keadaan ini kedua-duanya menjadi mudda’i dan mudda’a ‘alaihi. Kalau sudah diserahkan (diterimakan), maka pernyataan pembeli diterima dengan sumpahnya.18

B. Kewenangan Relatif dan Absolut Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari bahasa Belanda “competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan “wewenang”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna. Berbicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Relatif” dan “Kekuasaan Absolut”, sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang tempat mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang mejadi kekuasaan Pengadilan.19

18

Ibid, h.117-118.

19

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), Ed. 2., Cet. 10., h.25.


(53)

1. Kompetensi Relatif

Kekuasaan Relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan. Misalnya, antara Pengadilan Negeri Bogor dengan Pengadilan Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja.20

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama berbunyi:

“Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota”.

Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi:21

Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama berada di ibukota kabupaten dan kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.

Dengan berdasar atas pasal ini, tiap pengadilan agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti dikabupaten Gresik dan kabupaten Sumenep

20

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di indonesia, h.138.

21

Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ( Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Jakarta, 2006), h.28.


(54)

kepulauan terdapat dua buah Pengadilan Agama, karena kondisi tarnsportasi.22

Guna mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonan yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan juga berhubungan dengan hak eksepsi tergugat. Menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum (tentang tempat mengajukan gugatan), apabila tergugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (penggugat dan tergugat) memilih untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.23

Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegas dinyatakan lain. Pengadilan negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut di samping boleh pula menolaknya. Namun dalam praktik, Pengadilan Negeri sejak semula sudah tidak berkenan menerima gugatan/permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya gugatan atau pemohonan itu diajukan.24

22

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.196.

23

HIR Pasal 118 Ayat 4, yang berbunyi: “Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu”.

24


(55)

Ketentuan umum Peradilan Umum tersebut berlaku juga untuk Peradilan Agama sebagaimana ditunjuk oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di masa lalu sebelum Peradilan Agama mempunyai kekuasaan absolut yang seragam di seluruh Indonesia (sebelum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989) Peradilan Agama tidak dapat menerima ketentuan umum Peradilan Umum di atas, sebab suatu jenis perkara misalnya menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Sumatera belum tentu menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Jawa, seperti mengenai kewarisan.25

2. Kompetensi Absolut

Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya. Misalnya, Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agama lah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.26

25

Ibid, h.139.

26


(56)

Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan bahwa kewenangan mutlak (kompetensi absolut) peradilan meliputi bidang-bidang perdata tertentu seperti tercantum dalam Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan berdasarkan atas asas personalitas keislaman yang telah diperluas.27

Dalam bidang-bidang yang menyangkut hukum keluarga, menurut Prof. Bustanul Arifin,28 Peradilan Agama dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-orang yang beragama Islam, seperti terdapat di beberapa negara lain (family court). Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang menangani perkara-perkara di bidang hukum keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda dengan peradilan umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh para hakim, panitera, dan sekretaris harus disesuaikan dengan tugas-tugas yang diemban Peradilan Agama.

Selanjutnya ditegaskan bahwa Peradilan Agama sebagai peradilan keluarga haruslah dimaksudkan tidak sebagai peradilan biasa. Maknanya, hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman secara tradisional dan kaku dalam menyelesaikan sengketa keluarga yang diajukan kepadanya. Namun Peradilan Agama haruslah menempuh cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan rohani dan sosial bagi para keluarga yang menjadi pencari keadilan.

27

Ibid, h.27.

28

Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.94.


(57)

Disamping itu, Peradilan Agama harus pula diarahkan sebagai lembaga preventif bagi kemungkinan-kemungkinan timbulnya keretakan keluarga yang akan menjurus kepada sengketa-sengketa keluarga. Demikian pula pada saat pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, harus dijaga suasananya benar-benar manusiawi dan kekeluargaan29.

Kompetensi absolut Peradilan Agama disebut dalam Pasal 49 dan 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi:30

Pasal 49

“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan; b. kewarisan; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infak;

29

Sulaikin Lubis, Dkk., Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h.111.

30

Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, h.20.


(58)

h. shadaqah; dan i. ekonomi syariah

Sesuai dengan kompetensi absolut Pengadilan Agama yaitu perkara bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Sedekah dan Ekonomi Syariah.

Dalam penjelasan Pasal I angka 37, mengenai perubahan bunyi Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, pada poin (i) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah meliputi:31

a. Bank syariah; b. Asuransi syariah; c. Reasuransi syariah; d. Reksa dana syariah;

e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; f. Sekuritas syariah;

g. Pembiayaan syariah; h. Pegadaian syariah;

i. Dana pensiun lembaga keuangan syariah; j. Bisnis syariah; dan

k. Lembaga keuangan mikro syariah.

31


(59)

Dari penjelasan di atas dapat kita lihat ada 11 macam perkara yang termasuk bidang ekonomi syariah ini. Dalam hal ini yang menarik adalah perluasan terhadap pengertian “orang-orang” yang meliputi juga lembaga ekonomi yang berupa bank ataupun perusahaan asuransi yang berbentuk badan hukum. Pada bagian awal dari penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, disebutkan bahwa lembaga keuangan bank sebagai badan hukum disini dimasukkan sebagai para pihak yang tunduk pada ketentuan hukum Islam.32

Ekonomi syariah cakupannya sangat luas, tercakup dalam lembaga keuangan; baik lembaga keuangan bank maupun non bank yang mendasarkan pengelolaan operasionalnya menggunakan prinsip syariah. Prinsip syariah dalam hukum perbankan diartikan sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana, pembiayaan kegiatan usaha, dan kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.33

C. Sumber Hukum Peradilan Agama

Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus

32

Ibid, h.118.

33

Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet. Ke- 1, h.347.


(60)

dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, Pertama, Sumber Hukum Materiil; Kedua, Sumber Hukum Formil yang sering disebut Hukum Acara.34

1. Hukum Materiil Peradilan Agama35

Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fikih, yang sudah barang tentu rentan terhadap perbedaan. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang telah lama dijajah oleh bangsa asing yang bukan hanya berpengaruh terhadap politik pemerintahan dan ekonomi, tetapi juga terhadap agama. Pengaruh terhadap agama dimulai dengan pemetaan daerah hukum adat oleh Van Vollenhoven sampai dengan teori Receptie Snouck Hurgronje. Sehingga dalam perjalanan sejarah, Peradilan Agama mengalami pasang surut, terutama eksistensinya telah pernah hampir musnah sama sekali. Hal ini bisa dilihat pada zaman VOC, di mana hukum kekeluargaan diakui dan terkumpul dalam peraturan yang disebut compendium frijer. Kemudian dengan lahirnya Stbl. 1882 No. 152 untuk Jawa dan Madura dan Stbl. 1937 No. 116 dan 610 mengenai Kerapatan

Qadhi di wilayah Kalimantan Selatan dan Timur yang mengeluarkan hukum waris kewenangan Peradilan Agama di wilayah Jawa dan Madura. Namun demikian, kepentingan hukum merupakan kepentingan masyarakat itu sendiri.

34

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.147.

35

Abdul Basir, Mimbar Hukum (Jurnal Dua Bulanan) Aktualitas Hukum Islam, No. 64 Tahun XV 2004, Mei-Juni, h.107-109.


(61)

Apalagi bagi kaum muslimin yang taat sebagaimana ketentuan Al-Qur’an surah al-Baqarah: 108 yang memerintahkan agar memeluk Islam secara kallaf, utuh, dan menyeluruh. Maka melaksanakan hukum Islam menjadi sebagian dari pengalaman agamanya. Oleh karea itu, de facto hukum Islam masih menjadi pilihan hukum umat Islam di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan masalah kewarisan dengan mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.

Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Sistem Hukum Positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama masa lalu yang karena dari segi sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang sama, maka untuk mengeleminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya kesamaan di sisi lain, telah dikeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak, dan rujuk. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.

Dalam surat biro peradilan tersebut di atas dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukan 13 kitab-kitab ini, yakni: (1) Al-Bajuri; (2) Fatkhul Mu’in; (3) Syarqawi ‘Alat Tahrir’; (4) Qalyubi Wa


(62)

Umairah/Al-Mahalli; (5) Fatkhul Wahhab; (6) Tuhfah; (7) Targhib Al-Mustaq; (8) Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya; (9) Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah; (10) Syamsuri li Fara’id; (11) Bughyat Musytarsyidin; (12) Al-Fqih Ala Madzahib Al-Arba’ah; dan (13) Muqhni Al-Muhtaj.

Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung di dalamnya belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang yang disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Bagi yang berpendapat hukum positif adalah hukum yang tertulis, hukum yang menjadi pedoman Peradilan Agama masih dianggap bahwa hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif. Hal ini dilegalisasi oleh ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami, dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Untuk menjembatani dua aliran tentang hukum positif, maka sejak tanggal 02 Januari 1974 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, meskipun kelahirannya diwarnai dan dirundung berbagai masalah. Ketentuan ini disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, merupakan titik tolak awal pergeseran bagian hukum Islam menjadi hukum tertulis. Namun bagian lain dari hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf masih di luar hukum tertulis, sehingga masih banyak terjadinya perbedaan putusan oleh Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama, karena pengambilan dasar


(63)

hukumnya dari kitab fikih yang berbeda, meskipun kitab-kitab rujukan telah dibingkai dalam 13 kitab fikih sebagaimana tersebut di atas.

Walaupun Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya menagtur Peradilan Agama disahkan sejak tanggal 17 Desember 1970, namun secara riil Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan tersebut baru berjalan setelah adanya Skb. Mahkamah Agung dan Menteri Agama No. 01, 02, 03 dan 04 Tahun 1983 dan kemudian dikukuhkan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan hukum materiilnya masih tetap menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan sebagian tercantum dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pada sisi lain negara-negara Islam juga memberlakukan hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangannya. India pada masa Raja Al-Rijeb membuat dan memperlakukan hukum Islam sebagai undang-undang yang terkenal dengan Fatwa Alamfiri. Turki Utsmani dengan nama Majallah al-Ahkam al-Adliyah. Sudan pada tahun 1983 mengodifikasi hukum Islam.

Atas dasar itu semua dan untuk mewujudkan kepastian hukum sekaligus mewujudkan hukum Islam setidak-tidaknya di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis, maka Indonesia


(64)

merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dengan SKB tersebut dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama, melakukan lokakarya dan hasil pengkajian, penelaahan kitab kemudian ditambah dengan studi banding ke negara-negara Islam lainnya, yakni Maroko, Turki, dan Mesir dan setelah semua data yang terkumpul menjadi naskah kompilasi diajukan oleh Menteri Agama kepada presiden tanggal 14 Maret 1988 dengan Surat No. MA/123/1988 tentang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara di lingkungan Peradilan Agama.

Untuk menjadikan Kompilasi sebagai undang-undang memerlukan proses yang terlalu panjang, sedangkan kebutuhan hukum sudah sangat mendesak. Oleh karena itu, pemerintah mengambil jalan pintas yaitu dengan menggunakan instrumen hukum Instruksi Presiden, maka lahirlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 19 Juni 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusannya No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 yang pada pokoknya mengajak jajaran Departemen Agama dan instasi pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan sekaigus menggunakan Kompilasi Hukum Islam, yang berisi hukum Perkawinan,


(65)

Kewarisan, dan Perwakafan sebagai pedoman masalah-masalah hukum Islam yang terjadi..

Demi untuk efektif dan tegaknya hukum Islam perlu segera Kompilasi Hukum Islam yang berlakunya berdasarkan Instruksi Presiden ditingkatkan menjadi undang-undang sebagaimana hukum perdata lainnya. Hal ini sesuai dengan napas dan semangat Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kemerdekaan umat beragama untuk melaksanakan syariat agamanya.

2. Hukum Formil Peradilan Agama36

Meskipun lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura telah dibentuk oleh Pemerintah Belanda dengan Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl. 1937 NO. 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian setelah kemerdekaan RI, pemerintah membentuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957, tetapi dalam peraturan tersebut tidak disinggug sama sekali tentang hukum acara yang harus digunakan oleh hakim dalam memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena tidak ada ketentuan resmi tentang hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka para hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama mengambil inti sari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fikih yang dalam

36

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 4-8.


(66)

penerapannya berbeda antara satu Pengadilan Agama dengan pengadilan Agama lain.

Ketentuan mengenai hukum acara di Pengadilan Agama tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentag Peraturan Pelaksanaannya, ini pun baru sebagian kecil saja yang diatur dalam kedua peraturan ini. Ketentuan tentang hukum acara di lingkungan Peradilan Agama baru disebut secara tegas sejak diterbitkan Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ini selain diatur tentang susunan dan kekuasaan peradilan Agama, di dalamnya juga diatur tentang hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama. Hukum acara yang dimaksud diletakkan pada ketentuan Bab IV yang terdiri dari 37 pasal. Tidak semua ketentuan tentang hukum acara Peradilan Agama dimuat secara lengkap dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 54 dikemukakan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.


(67)

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 20 Maret 2006 telah diamandemen pasal-pasalnya dengan UU NO. 3 Tahun 2006.37

Oleh karena hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa, Madura.

Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa, Madura, maka kedua aturan hukum acara ini diberlakukan juga di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut. Misalnya, pembebanan biaya perkara yang harus dibayar oleh pemohon/penggugat pembuktian dengan alasan syikak, gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan zina (li’an), dan beberapa ketentuan lain yang diatur secara khusus.

Dengan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peadilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan Peradilam Umum, kecuali hal-hal yang telah disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut. Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk Peradilan Agama adalah sebagai berikut.

a. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)

37


(1)

80

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung: PT Intermasa, 1982.

Sugono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.


(2)

Hari/Tanggal : Jum’at, 16 Juni 2010

1. Di dalam pasal 149 R.Bg dan Pasal 125 HIR mengatur tentang verstek, akan tetapi apakah proses pembuktian diatur di dalamnya?

Jawab :

• Tidak mengatur tentang adanya pembuktian, hanya mengatur verstek. • Pasal tersebut hanya mengatur tentang ketidakhadiran tergugat.

2. Apa landasan hukum bagi hakim untuk memakai proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang diputus verstek?

• Setiap perkara yang disidangkan harus ada pembuktiannya, karena merupakan syarat formil.

• Pasal 125 HIR tentang verstek memang tidak mengatur pembuktian. Namun pembuktian tersebut diatur dala Pasal 164 HIR, yang diantara adalah surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

3. Bagi hakim, apa manfaat dari proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang dijatuhkan putusan verstek?

• Menguatkan dalil-dalil gugatan penggugat. • Menghasilkan kepastian hukum.

• Agar menghindari terjadinya penyelundupan hukum, seperti ada beberapa hal yang belum terkuak (masih disembunyikan).

4. Apakah boleh acara verstek dalm perkara cerai gugat tidak memakai pembuktian? Jawab :


(3)

HASIL WAWANCARA

DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DEPOK Tentang,

“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat”

Nama Hakim : Drs. Sarnoto, MH.

Tempat : Pengadilan Agama Depok Hari/Tanggal : Jum’at, 18 Juni 2010

1. Di dalam pasal 149 R.Bg dan Pasal 125 HIR mengatur tentang verstek, akan tetapi apakah proses pembuktian diatur di dalamnya?

Jawab :

• Secara tekstual memang tidak mengatur tentang pembuktian, tapi tidak berarti pembuktian tidak boleh dipergunakan terlebih-lebih dalam perkara perceraian.

2. Apa landasan hukum bagi hakim untuk memakai proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang diputus verstek?

Jawab :

• Bahwa Pasal 125 HIR yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah produk belanda, sedangkan Pengadilan Agama adalah Pengadilan untuk menyelesaikan perkara antara umat Islam. Untuk itu dijalankan berdasarkan syariat Islam, yaitu bukti dibebankan bagi penggugat agar menguatkan gugatannya.

• Kehati-hatian sebelum menjatuhkan putusan, karena perceraian merupakan hal yang tidak bisa dianggap mudah. Dalam perceraian tidak boleh ada yang ditutupi tentang alsannya mengajukan gugatan.

3. Bagi hakim, apa manfaat dari proses pembuktian dalam perkara cerai gugat yang dijatuhkan putusan verstek?

Jawab :

• Agar tidak ada hal-hal yang disembunyikan oleh penggugat, dengan ini bisa terhindar atau tidak terjadi pemufakatan perceraian antara kedua belah pihak. • Menjalankan syariat Islam yaitu “Bukti itu bagi penggugat dan sumpah bagi

tergugat”.


(4)

(5)

HASIL WAWANCARA

DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DEPOK Tentang,

“Putusan Verstek Pengadilan Agama Depok Dalam Perkara Cerai Gugat”

Nama Hakim : Drs. Sarnoto, MH.

Tempat : Pengadilan Agama Depok

Hari/Tanggal : Jum’at, 23 April 2010

1. Apa pendapat Bapak/Ibu tentang putusan verstek?

Putusan verstek adalah putusan Pengadilan yang dijatuhkan dengan tidak pernah dihadiri oleh tergugat setelah tergugat dipanggil secara resmi dan patut.

2. Apakah putusan verstek dikenal dalam hukum Islam? Dalam kaidah hukum Islam dikenal;

ْﻦ

د

ا

آ

ْﻦ

ﻜﱠـ

مﺎ

ْا

ْﺴ

ْ

ــ

ْ

ْﺐ

ـﻬ

ـ

ﱠﻖ

ـﻪ

3. Praktek perundang-undangan yang mana yang mengatur verstek? R.Bg. Pasal 149 dan HIR Pasal 125.

4. Bagaimana pendapat hakim, jika ketidakhadiran tergugat tersebut karena kesalahan dalam proses pemanggilan, seperti hal adanya keterlambatan dalam pemanggilan? Kalau ada kesalahan pemanggilan, berarti panggilan tersebut tidak sah atau bahkan belum sampai kepada pihak yang harus dipanggil, oleh karena harus diperintahkan untuk dipanggil lagi.

5. Sengketa apa saja yang dapat diputus secara verstek?

Setiap Perkara Perdata Contentiosa dapat diputus secara verstek.

6. Apakah dalam hal putusan verstek tersebut mengharuskan adanya pembuktian?

Pada dasarnya tidak mengharuskan adanya pembuktian, namun demikian dalam perkara perceraian biasanya Majelis Hakim tetap menghadirkan keterangan dua orang saksi sebelum menjatuhkan putusan.

7. Dalam perkara perceraian, bagaimana hakim dapat membuktikan kebenaran dail-dalil gugatan penggugat, sementara tergugat tidak hadir?

Dengan ketidakhadiran tergugat, dapat saja Majelis Hakim menganggap tergugat telah melepaskan hak jawabnya dan dianggap mengakui seluruh dalil gugatan penggugat.


(6)

9. Bagaimana pendapat hakim tentang hak-hak penggugat dan tergugat, jika terjadi putusan verstek?

Kalau penggugat tidak terima dengan putusan verstek, maka ia dapat melakukan Upaya Banding. Sedangkan kalau tergugat yang tidak bisa menerima/keberatan atas adanya putusan verstek, maka ia dapat melakukan perlawanan atas putusan verstek tersebut (verzet).

10.Apakah verzet dapat memenuhi hak tergugat?

- Secara formal, sepanjang verzet masih dilakukan dalam tenggang waktu yang dibenarkan menurut undang-undang dan pemeriksaan perkara kembali dibuka, bisa saja dianggap hak-hak tergugat telah terpenuhi.

- Sedangkan mengenai substansi yang menyangkut hak-hak tergugat, sangat tergantug dari hasil pembuktian.

Jum’at, 23 April 2010