Disparitas putusan perkara waris: studi perbandingan putus pengadilan agama nomor. 1397/ Pdt.G/2008/PA. JT dan putusan pengadilan Tinggi Agama nomor.50/Pdt.G/2009/PTA.JK

(1)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Review Studi ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Hukum Kewarisan Dalam Perspektif Fikih ... 14

B. Hukum Kewarisan Dalam Perspektif Undang-undang ... 38

C. Konsep Keadilan Dalam Kewarisan ... 49

BAB III ANALISIS GUGATAN KEWARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN A. Landasan Yuridis, Hukum Formil dan Hukum Materil ... 57

B. Analisis dan Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta... 64


(2)

v

Jakarta ... 79 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 94 B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA ... 98 LAMPIRAN

1. Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1397/ Pdt.G/2008/PA.JT

2. Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 50/Pdt.G/2009/PTA.JK

3. Surat izin untuk melaksanakan wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta

4. Hasil wawancara dengan hakim pada Pengadilan tingkat pertama 5. Hasil wawancara dengan hakim pada Pengadilan tingkat banding


(3)

A. Latar Belakang Masalah

Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan, setelah muwarits wafat, kepada para penerima warisan dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’. Terjadinya proses pewarisan ini tentu setelah memenuhi hak-hak yang terkait dengan harta peninggalan si mayit.1

Pada masa jahiliyah (sebelum Islam), bangsa Arab telah mengenal sistem waris. Meskipun demikian, mereka tidak memberikan harta waris tersebut kepada wanita maupun anak-anak yang dianggap tidak cakap dalam berperang dan tidak dapat meraih pampasan perang. Tetapi, mereka hanya akan memberikan harta waris kepada laki-laki dewasa, kerabat orang yang meninggal, dan orang lain yang bukan kerabat orang yang meninggal, karena suatu perjanjian atau adopsi.2

Inilah yang berbeda dengan hukum waris dalam Islam. Allah SWT telah menetapkan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan lebih berhak

      

1

Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004) Cet.1, h. 1 

2

Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 20


(4)

Suatu fakta yang tidak dapat di pungkiri bahwa kelahiran hukum waris disamping bukan sekedar untuk merespon problem hukum dizaman jahiliyah yang telah disebutkan diatas, tetapi hukum waris juga dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkrit dan realistis sehingga menutup kemungkinan akan adanya multi interpretasi. Hal ini diakui oleh para ahli hukum sebagai suatu keistimewaan tersendiri, karena dari sekian banyak ayat-ayat tentang hukum (ayat ahkam) dalam al-Quran yang menurut Abdul Wahhab Khallaf berjumlah 228, tidak ada satu aspek hukumpun yang secara teknis diyakini sebagai model hukum yang canggih dan lengkap selain daripada hukum waris tersebut.3 Hukum waris ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menegakan hukum Islam yang sesuai dengan ketentuan yang seharusnya tanpa adanya diskriminasi terhadap satu golongan, yang dipertegas dengan firman Allah SWT dalam al-Quran Surat An-nisa (4:7) mengenai proyeksi dari hukum kewarisan Islam. Kandungan ayat tersebut mengindikasikan bahwa yang menjadi ahli waris adalah seluruh anggota keluarga baik laki-laki maupun perempuan dan menjelaskan tentang pembagian hak dari masing-masing ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang meninggal dunia.

      

3

Elfid Nurfitri Mubarok, Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan Dengan Saudara Kandung, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 3


(5)

Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam pola regulasi masyarakat. Oleh karena itu, agar hukum Islam bisa berintegrasi ke dalam sistem hukum negara, maka legalisasi hukum Islam menjadi manifestasi modernisasi Islam yang terpenting. Dengan demikian diharapkan persoalan intern hukum Islam dapat terpecahkan.

Salah satu karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang lebih positif bagi kehidupan beragamanya dan sebagai bukti atas kebangkitan umat Islam Indonesia, memperoleh momentum puncaknya yaitu dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991. Legalisasi hukum Islam tersebut merupakan penjabaran dan aplikasi syariah yang menampilkan corak khas ke-Indonesia-an, meskipun hanya berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) yang hanya bersifat fakultatif yang kekuatan hukumnya tidak begitu mengikat dan memaksa, namun diharapkan akan menjadi satu jenjang dalam berijtihad menemukan hukum dan sebagai batu loncatan untuk meraih keberhasilan yang lebih baik dimasa yang akan datang.4

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hukum materil yang harus dijalankan di Pengadilan Agama, tetapi KHI bukanlah bersifat mutlak seperti wahyu Tuhan, sehingga para hakim mempunyai peluang untuk memberikan beberapa pertimbangan dan berijtihad untuk menemukan hukum melalui perkara-perkara yang

      

4

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992), Cet. 1, h.6


(6)

penggunaan KHI itu sendiri. Salah satunya adalah dalam hal kewarisan. Perbedaan bentuk putusan inilah yang dapat menimbulkan penerapan hukum yang berbeda pula.

Dalam hal kewarisan sering menimbulkan sengketa, baik dalam jumlah pembagiannya, atau karena keterlambatan pembagian harta warisan tersebut, sehingga mengakibatkan harta peninggalan dikuasai oleh salah satu dari ahli warisnya, yang kemudian menimbulkan kecurigan akan penguasaan seluruh harta peninggalan. Oleh sebab itu mengenai harta peniggalan ini harus disegerakan dalam pembagiannya.

Mengenai perkara yang menjadi fokus kajian dalam skripsi ini adalah tentang besarnya bagian harta waris yang diperoleh anak laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam al-Qur’an surat An-nisa (4) ayat 11 yang kemudian ditransformasi kedalam KHI pasal 176, dewasa ini banyak menimbulkan multi interpretasi dikalangan ahli hukum termasuk hakim dalam menafsirkan ayat tersebut secara kontekstual. Sehingga, dalam memutus perkara pembagian hak waris anak laki-laki dan perempuan tidak lagi merujuk kepada ketentuan yang telah disyariatkan dalam al-Quran dan KHI pasal 176. Dengan terjadinya hal seperti itulah kemudian timbul kekhawatiran akan hilangnya ilmu faridh sejalan dengan perkembangan zaman. Artinya, eksistensi dari ilmu faraidh tersebut tidak lagi dipakai dan lebih kasarnya lagi akan ditinggalkan oleh penganutnya yakni umat Islam itu sendiri.


(7)

mempelajari dan mengajarkan al-Quran. Hal ini menunjukan bahwa ilmu faraidh merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam mengatur kehidupan umat dan mewujudkan keadilan dalam masyarakat.

Berdasarkan dari uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji apakah pembagian waris khususnya dalam pembagian hak waris anak yang terdapat dalam KHI pasal 176 digunakan secara mutlak? karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa dengan lahirnya KHI ini diharapkan dapat menjaga dan mengamalkan hukum Islam sebagaimana mestinya menurut ketentuan syara. Kemudian bagaimana pertimbangan hakim yang menangani perkara tersebut dikaitkan dengan konsep keadilan dalam pembagian waris? Dan apa faktor yang dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada kemudian berpindah ke aturan hukum yang lain? Berangkat dari keingintahuan penulis inilah maka penulis ingin meneliti dan menguraikan kedalam bentuk penulisan skripsi, dengan judul: “DISPARITAS PUTUSAN PERKARA WARIS” (Studi Perbandinagan Putusan Pengadilan Agama Nomor 1397/Pdt.G/2008/PA.JT dan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 50/Pdt.G/2009/PTA.JK)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah


(8)

analisis perbandingan putusan hakim Pengadilan Agama tingkat pertama, dalam hal ini Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan tingkat banding yaitu Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi pembahasan yang melebar dan tidak ada ujung pangkalnya, sehingga apa yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini bisa tercapai dan terarah dengan baik.

2. Perumusan Masalah

Menurut teori baik dalam al-Quran maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176 disebutkan bahwa besar bagian harta waris bagi anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (baca: dua banding satu). Akan tetapi dalam praktek penyelesaian perkara tersebut terdapat putusan yang berbeda, sehingga menimbulkan penerapan hukum yang berbeda pula, yaitu 1:1 (baca: satu banding satu). Maka berdasarkan rumusan masalah diatas, penulis merincinya dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Apakah pembagian harta waris 2:1 (baca: dua banding satu) yang terdapat dalam KHI pasal 176 digunakan secara mutlak sebagai dasar hukum di Pengadilan Agama?

b. Bagaimana pertimbangan hakim yang menangani perkara kewarisan anak laki-laki dan perempuan dikaitkan dengan konsep keadilan?


(9)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan:

1. Untuk mengetahui apakah isi dari pasal 176 KHI dipergunakan secara mutlak sebagai dasar hukum.

2. Untuk mengetahui konsep keadilan dalam pembagian harta warisan, menurut teori keadilan dalam islam, teori kesetaraan gender, dan pandangan hakim tentang konsep keadilan tersebut.

3. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum yang menjadi pertimbangan hakim dalam putusan perkara kewarisan yang dimaksud.

4. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini para pihak yang concern menkaji hukum kewarisan Islam.

5. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam hal kewarisan dan memberikan informasi kepada masyarakat bahwa terkadang ada putusan Pengadilan yang berbeda dari ketentuan asalnya, namun bukan berarti menyalahi aturan yang telah ditetapkan Allah SWT.

6. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan penelitian serupa di masa yang akan datang.

D. Metode Penelitian


(10)

normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.5

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach).6 Pendekatan kasus ini bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.

3. Sumber data

Data yang digunakan terdiri dari data primer, sekunder, dan tersier.7 Data primer terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang

      

5

Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hokum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295

6

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295 dan 302

7

Johnmy Ibrahim membagi sumber data pada penelitian yuridis normative menjadi 3 (tiga) macam, yakni sumber primer, sekunder, dan tersier. Di mana sumber primer merupakan bahan hukum yang diurut berdasar hierarki perundang-undangan, sumber sekunder adalah bahan dan data yang didapatkan dari buku-buku, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengna topik penelitian. Adapun sumber tersier merupakan bahan hukum yang member i petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan juga sekunder. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295-296, lihat juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HUkum, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 144-146


(11)

Data sekunder yang digunakan sebagai sumber data pada skripsi ini antara lain:

a. Salinan putusan mengenai perkara waris dari Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.

b. Hasil wawancara

c. Buku, literatur, jurnal dan hasil tulisan lainnya yang mengkaji seputar kewarisan.

Data tersier yang digunakan berupa kamus hukum. 4. Alat Pengumpul Data

Untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan, digunakan alat pengumpul data sebagai berikut;

a. Menganalisis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur, dan putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tentang pembagian waris antara anak laki-laki dan perempuan.

b. Inventarisasi dokumen, baik bahan primer berupa peraturan perundang-undangan terkait, maupun bahan skunder berupa buku, literatur, jurnal, dan tulisan lainnya yang mengkaji seputar kewarisan, serta bahan tersier berupa kamus hukum.


(12)

5. Analisa data

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel, diurai dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab masalah yang telah dirumuskan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis komparatif.

Penelitian komparatif ini akan dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan terhadap suatu ide, kritik terhadap orang, dan dapat juga membandingkan kesamaan pandangan, perubahan-perubahan pandangan orang terhadap kasus, peristiwa atau terhadap ide-ide.8

Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, kedua putusan pengadilan tersebut akan dianalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikannya kemudian menghubungkan putusan itu dengan hasil wawancara dengan pihak yang menangani perkara, dalam hal ini yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang obyektif logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan data penulis dalam penelitian ini.

      

8

Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h.236

10 


(13)

2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam (Studi di RT.04/05 Kelurahan Bojongkulur Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor)”.

Dalam skripsi ini menguraikan dengan jelas sistem pembagian waris dalam al-Quran dan letak keadilannya dengan sistem pembagian 2:1 yang menitik beratkan terhadap respon masyarakat khususnya perempuan terhadap ketentuan syariat yang menetapkan pembagian waris antara anak laki-laki dan perempuan itu 2:1.

2. M. Sahlan, “Pemikiran Muhammad Syahrur Tentang Sistem Pembagian Harta Waris”.

Skripsi ini membahas tentang metode-metode yang digunakan oleh Muhammad Syahrur dalam menafsirkan ayat-ayat tentang waris, dan konsep keadilan dalam system pembagian waris itu.

Perbedaan antara skripsi yang sudah ada di fakultas syariah dan hukum dengan skripsi yang ditulis oleh penulis adalah:

a. Dalam skripsi terdahulu tentang “Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam (Studi di RT.04/05 Kelurahan Bojongkulur Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor)”, membahas tentang respon masyarakat atas ketentuan syariat dalam pembagian waris 2:1 karena hasil dari laporan para hakim banyak masyarakat yang lebih memilih pembagian waris dengan system sama rata. Sedangkan dalam skripsi

11 


(14)

Pengadilan Tinggi Agama, bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama mengenai perkara kewarisan anak laki-laki dan perempuan dikaitkan dengan konsep keadilan, kemudian apa faktor yang dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada berpindah ke aturan hukum yang lain?

b. Perbedaan skripsi yang kedua dengan skripsi yang ditulis oleh penulis sangat menonjol sekali karena skripsi terdahulu ini membahas tentang pemikiran salah seorang tokoh mengenai system pembagian waris, sedangkan skripsi penulis membahas tentang analisis putusan hakim mengenai perkara hak waris anak antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian skripsi yang kedua ini memberikan kontribusi kepada penulis untuk mengungkapkan pendapat tokoh mengenai sistem pembagian waris dalam persfektif fikih. F. Sistematika Penulisan

BAB I: Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian, metode penelitian, studi review, dan sistematika penulisan.

BAB II: Tinjauan Teoretis. Pada bab ini penulis mencoba memberikan gambaran mengenai kewarisan dalam persfektif fikih (pengertian hukum waris, sumber hukum waris, syarat-syarat, rukun dan sebab-sebab kewarisan serta asas-asas

12 


(15)

13 

 

dilihat dari teori keadilan menurut Islam, dan keadilan dalam kesetaraan gender. BAB III: Analisis gugatan perkara kewarisan anak laki-laki dan perempuan, yang mencakup landasan yuridis; hukum formil dan hukum materil, analisis dan pertimbangan hakim dalam menangani gugatan perkara kewarisan di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, serta telaah kritis terhadap perkara tersebut yang mencakup persamaan dan perbedaan serta perbandingan antara teori dan prakteknya di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.


(16)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Kewarisan Menurut Persfektif Fikih

1. Pengertian Kewarisan

Kewarisan Islam dikenal pula dengan sebutan Ilmu Faraidh, yaitu hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha mereka menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia.9 Kata al-Faraidh adalah bentuk jamak dari al-Faridlah yang bermakna al-Mafrudlah atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.10 Dalam salah satu buku disebutkan bahwa kata Faridlah itu diambil dari kata Fardlu. Fardlu dalam istilah ulama fikih mawaris ialah bagian yang telah ditetapkan oleh syara.11

2. Sumber Hukum Waris

Sumber hukum waris adalah al-Quran, as-Sunnah Nabi SAW, dan ijma para ulama. Ijtihad atau qiyas di dalam ilmu faraidh tidak mempunyai ruang gerak, kecuali jika ia sudah menjadi ijma para ulama.12

a. al-Quran

       9

 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 35 10

Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h. 11

11

Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. 1, h. 18 12

Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h.14


(17)

Allah SWT menetapkan hak kewarisan dalam al-Quran dengan angka yang pasti yaitu 1/2; 1/4; 1/8; 1/3; 2/3 dan 1/6 serta menyebutkan pula orang yang memperoleh harta warisan menurut angka-angka tersebut. Dalam al-Quran setidaknya ada 3 ayat yang memuat tentang hukum waris. Ketiga ayat tersebut terdapat dalam surat an-Nisa.

Ayat pertama, berbicara tentang kewarisan anak laki-laki dan perempuan serta ayah dan ibu (al-furu’ dan al-ushul), seperti yangg termaktub dalam firman Allah SWT.

⌧ ☯

⌧ ☺

☺ ⌧

⌧ ⌧

⌧ ☺

Artinya: “Allah SWT mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta, dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal memiliki beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah, Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. an-Nisa 4:11)


(18)

Kandungan ayat diatas dapat diuraikan sebagai beriku:

1. Jika Pewaris meninggalkan seorang atau beberapa orang anak laki-laki mereka mewarisi seluruh harta peninggalan si mayit.

2. Apabila Pewaris meninggalkan satu orang anak perempuan (tidak mewarisi bersama dengan saudara laki-laki), bagian harta warisnya yaitu separuh.

3. Bila anak perempuan tersebut dua orang atau lebih (tidak mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki), bagian harta waris mereka adalah dua per tiga. 4. Jika si mayit meninggalkan anak laki-laki dan perempuan, yaitu dengan

ketentuan anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan.

5. Hak kewarisan ibu-bapak masing-masing 1/6 jika Pewaris mempunyai anak. Jika tidak mempunyai anak, ibu bapak yang mewarisi, dengan bagian ibu mendapat 1/3.

6. Hak waris ibu bersama-sama dengan beberapa saudara Pewaris adalah 1/6, Untuk persoalan bagian ayah pada poin 5 dan 6 bagian ayah tidak diatur dengan tegas, maka dalam hal ini oleh para mufassir ditafsirkan bahwa bagian ayah adalah ashobah.13 Ayat kedua, menjelaskan mengenai kewarisan untuk suami-istri, anak-anak ibu (saudara-saudara seibu bagi si mayit) laki-laki maupun perempuan. Terdapat dalam firman Allah SWT surat an-Nisa (4:12)

⌧ ☺

      

13

Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 115


(19)

☺ ☺

⌧ ☺

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).14 (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”. (QS. An-Nisa 4:12)

Kandungan ayat diatas dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Hak kewarisan suami-istri

Suami mendapat 1/2 bagian bila istrinya tidak meniggalkan anak; dan mendapat 1/4 bila istri meninggalkan anak. Istri mendapat 1/4 bila suami tidak meninggalkan anak; dan mendapat 1/8 bila suami meninggalkan anak.

      

14

Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.


(20)

2. Hak saudara-saudara bila pewaris adalah kalalah.15

Bila saudara (laki-laki atau perempuan) hanya seorang menerima sebanyak 1/6. Bila saudara lebih dari seorang, maka mereka bersama mendapat 1/3.

Ayat ketiga, menjelaskan kewarisan saudara laki-laki atau perempuan, sebagaimana firman Allah SWT.

⌧ ⌧

⌧ ⌧

☯ ⌧

☯ ⌧

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisa 4:176)

Ayat diatas, Allah SWT menyebutkan bagian warisan untuk saudara laki-laki dan saudara perempuan yang tidak seibu, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jika yang mewarisi laki-laki semua, mereka mewarisi secara bersama-sama tanpa ketentuan bagian yang tetap.

      

15

Kalalah di definisikan sebagai seseorang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak dan ayah. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 41


(21)

2. Jika yang mewarisi saudara perempuan seorang, maka dsia mendapat 1/2. Sedangkan bila ahli waris dua orang saudara perempuan atau lebih mendapat 2/3.

3. Apabila bergabung saudara laki-laki dan saudara perempuan, mereka mewarisi dengan ketetapan laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.

b. Sunnah Nabi SAW

Ada beberapa hadits yang menerangkan tentang pembagian harta waris, antara lain: Ibnu Abas r.a meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:

ﻴ ﺎ ﺳإ

ﻰﺳﻮ

ﺎﻨ ﺪ

ﷲا

ﻲ ر

سﺎ

ﻦ ا

ﻪﻴ أ

سوﺎﻃ

ﻦ ا

ﺎﻨ ﺪ

ﻴهو

ﺎﻨ ﺪ

ﺎ ﻬﻨ

:

لﺎ

و

ﻪﻴ

ﷲا

ﻲ ﻨ ا

)

ر

ﻰ وﻷ

ﻮﻬ

ﺎﻬ هﺄ

ﺋاﺮﻔ ا

اﻮ أ

ﺮآذ

(

16

Artinya: “Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya yang lebih utama adalah orang laki-laki”. (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun yang lebih utama adalah yang lebih dekat.

Bila kita gabungkan antara hadits diatas dengan ayat-ayat al-Quran yang telah diuraikan sebelumnya, jelaslah bagi kita bahwa dalil-dalil tersebut telah mencakup seluruh hukum waris. Hadits tersebut juga memberikan penjelasan bagi ahli waris, jika harta waris masih tersisa setelah dibagikan menurut ketentuan bagian tetap, maka sisanya dibagikan kepada ashabah nasabiyyah (kerabat yang terikat dalam hubungan

      

16

ﺪ ﻦ ﻴ ﺎ ﺳإ ﻮ أ ﷲاﺪ يرﺎﺨ ا ﻲﻔ ﺠ ا ، ﻴ يرﺎﺨ ا ; ﺎﺠ ا ﻴ ا

ﺮ ﺘﺨ ا ، ) راد ﻦ ا ﺮﻴ آ ، ﺔ ﺎ ﻴ ا

-توﺮﻴ : 1407 – 1987 ( ‚ دﺪﻋ ءاﺰﺟﻷا : 6   ‚ ص . 2483  


(22)

nasab yang lebih dekat). Setelah itu baru beralih kepada ashabah sababiyyah (kerabat yang disebabkan jasa-jasanya dalam membebaskan budak).17

Ashabah sababiyyah juga disebsutkan dalam hadits rasulullah SAW:

ﻲ ر

ﻦ ا

مﺎ ه

ﺎﻨ ﺪ

ﺎﻨ ﺪ

لﺎ

ﺎ ﻬﻨ

ﷲا

:

نأ

ﺔ ﺋﺎ

تدارأ

ﻪﻴ

ﷲا

ﻲ ﻨ ا

لﺎ

ءﻻﻮ ا

نﻮﻃﺮﺘ

ﻬ إ

و

ﻪﻴ

ﷲا

ﻲ ﻨ

ةﺮ ﺮ

يﺮﺘ

و

)

ﺘ أ

ءﻻﻮ ا

ﺎ ﺈ

ﺎﻬ ﺮﺘ ا

(

18

Artinya: “Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak.” (HR Mutafaq‘alaih)

Dengan kata lain, semua dalil-dalil diatas telah menjelaskan pembagian harta waris secara fardh (bagian tetap) dan ta’shib (bagian lunak).

c. Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara yang bersifat praktis (‘amaly).

Ijma’ merupakan suatu dalil yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil Nash (al-Quran dan Hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Quran dan Hadits, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum syara.19

      

17

Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h.19

18 ﺪ ﺤ ﻴﻋﺎ ﺳإ ﻮ أ ﷲاﺪ ﻋ يرﺎﺨ ا ﻲﻔ ا ، ﺢﻴﺤ يرﺎﺨ ا ; ﺎ ا ﺢﻴﺤ ا ﺮ ﺘﺨ ا ، ) راد ﻦ ا ﺮﻴﺜآ ، ﺔ ﺎ ﻴ ا

-توﺮﻴ : 1407 – 1987 ( ‚ دﺪﻋ ءاﺰﺟﻷا : 6   ‚ ص . 2476   19

Muhammad Abu Zahrah, Usul Fikih. Penerjemah Saefullah Ma’sum, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) Cet.11, h. 307-308


(23)

Dalam hal kewarisan para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraidh dan tidak ada seorang pun yang menyalahi ijma’ tersebut. diantara masalah-masalah yang berhubungan dengan faraid telah diputuskan melalui kesepakatan atau ijma’ mereka:20

a. Masalah-masalah saudara mewarisi bersama kakek, yang dalam al-Quran maupun hadits tidak dijelaskan.

b. Status cucu yang ayahnya terlebih dahulu meninggal dunia dari pada kakek yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama-sama saudara-saudara ayah (paman si cucu).

3. Rukun, Syarat, dan Sebab-sebab Mewariskan

a. Rukun waris

Menurut bahasa rukun adalah sesuatu yang dianggap kuat dan dijadikan sandaran. Menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Dengan demikian, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris.

Rukun-rukun untuk mewarisi ada 3:

1. Al-muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki atau mati hukmi.21

      

20

Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris al-Faraidl, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), Cet.1, h. 6

21

Mati hakiki (sebenarnya) ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud padanya. kematian ini dapat disaksikan oleh panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Mati hukmi (yuridis) ialah suatu kematian yang disebabkan oleh adanya vonis hakim.


(24)

2. Al-warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.

3. Al-mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama faraidh menyebutnya dengan mirats atau irits. Adapun yang termasuk dalam kategori warisan adalah harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak perdata, hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.

Jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, misalnya orang yang meningal dunia mempunyai harta tetapi tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi tidak mempunyai harta warisan, maka waris-mewarisi tidak bisa dilakukan, karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris.

b. Syarat waris

Lafal syuruth (syarat-syarat) adalah bentuk jamak dari syarath. Menurut bahasa, syarat berarti tanda. Sedangkan syarat menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak ada hukum.

Syarat –syarat waris sebagai berikut:

1. Matinya orang yang mewariskan, baik mati hakiki (sejati), mati hukmi (menurut keputusan hakim), maupun mati taqdiri (menurut perkiraan yang kuat).

      

Lihat Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 54


(25)

2. Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki atau hukmi, setelah kematian muwarits. Adapun cara mengetahui hidup tidaknya ahli waris setelah kematian muwarits, harus dilakukan pengujian, pendeteksian, dan kesaksian dua orang yang adil. Contoh dari hidupnya ahli waris secara hukmi adalah anak yang berada dalam kandungan. Ia dapat mewarisi harta si mayit jika keberadaannya benar-benar terbukti disaat kematian muwarits, meskipun si janin belum ditiupkan ruh kedalam dirinya, dengan satu syarat bahwasanya ia benar-benar hidup ketika lahirnya nanti.

3. Tidak ada penghalang-penghalang mewarisi.22

c. Sebab-sebab Waris

Sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang menerima harta warisan yang berlaku dalam syariat Islam ada 3, yaitu:

1. Kekerabatan

Kekerabatan adalah hubungan darah yang mengikat para warits dengan muwarits. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 6.23

⌫ ☺

 

Artinya: “…dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim       

22

Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung: Rafika aditama, 2002), Cet. 1, h. 4 23

Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 21


(26)

dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baikkepada saudara-saudaramu (seagama)”. (QS. Al-Ahzab 33:16)

Pada tahap pertama seorang anak menemukan hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya. Hubungan keibuan ini berlaku secara alamiah dan tidak ada seorangpun yang dapat membantah hal ini karena si anak jelas terlahir dari rahim ibunya. Pada tahap selanjutnya seseorang mencari hubungan kerabat dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan. Hubungan kerabat berlaku pula dengan laki-laki itu. Selanjutnya laki-laki itu disebut ayahnya. Maka hubungan keayahan berlaku secara hukum.

Sejatinya seseorang baru dapat dikatakan penyebab kehamilan dan melahirkannya seorang ibu adalah bila sperma si laki-laki bertemu dengan ovum si ibu atau dalam kitab fikih disebut ‘uluq. Hasil pertemuan dua bibit itu menyebabkan pembuahan dan menghasilakan janin dalam rahim si ibu. Ini merupakan penyebab hakiki dari hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan ayahnya. Dalam hubungan kekearabatan diatas, yanag dapat dijadiakn sebagai mazhinnah-nya adalah akad nikah yang sah.24 Dengan demikian hubungan kekerabatan berlaku antara seorang anak dengan laki-laki sebagai ayahnya, bila anak tersebut lahir dari hasil perkawinan yang sah.

      

24

Mazhinnah merupakan istilah yang digunakan di kalangan ulama ushul fikih untuk menyatakan sesuatu hal yang nyata yang dijadikan pengganti sebab hakiki yang tidak nyata. Lihat    Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h.176


(27)

Jumhur ulama berpendapat bahwa akad perkawinan yang sah belum menjamin hubungan kekerabatan yang sah. Oleh karena itu, untuk sahnya hubungan kekerabatan disamping akad nikah yang sah harus disyaratkan pula bahwa diantara suami istri diduga kuat telah terjadi hubungan kelamin yang secara memungkinkan, seperti telah tidur sekamar. Ulama hanafiyah mempunyai pendapat yang berbeda. Munurut mereka, dengan adanya akad nikah yang sah sudah cukup untuk menetapkan hubungan kekerabatan antara anak dan ayah.25

Bila diperhatikan pendapat dua kelompok ulama tersebut diatas, nyatalah bahwa jumhur ulama berpikir lebih praktis dan mendasarkan pendapatnya kepada kenyataan alamiah, sementara kelompok hanafiyah lebih bersifat teoritis dan hanya berpegang pada yuridis formal semata. Namun meskipun demikian, kedua kelompok itu sepakat tentang sebab hakiki adanya hubungan kerabat disebabkan hubungan kelamin yang menghasilkan pembuahan. Selanjutnya, karena yang demikian itu tidak bersifat nyata, maka harus diganti dengan mazhinnah-nya dan mereka sepakat bahwa mazhinnah yang dapat dijadikan alasan hukum adalah akad nikah yang sah.26

Selain kelahiran yang disebabkan dari hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang terikat dalam akad nikah yang sah, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, ada pula kelahiran yang disebabkan dari hubungan kelamin yang tidak terikat dalam akad nikah yang sah. Perbuatan hubungan kelamin dalam bentuk biasa disebut hubungan kelamin shubhat.

      

25

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004) Cet.1, h. 176 26


(28)

Syubhat ada dua macam. Pertama, yaitu syubhat perbuatan. Seperti hubungan kelamin yang terjadi antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing meyakini pasangan yang digaulinya itu adalah pasangan yang sah dan ternyata dikemudian hari sebaliknya. Kedua, syubhat hukum. Seperti seseorang melakukan hubungan kelamin dalam akad nikah yang sah, kemudian kenyataan pernikahan tersebut tidak sah, umpamanya karena keduanya adalah dua orang yang bersaudara. Kelahiran yang disebabkan hubungan kelamin karena syubhat, baik syubhat perbuatan maupun syubhat hukum, menyebabkan hubungan kekerabatan dengan laki-laki yang membuahinya secara syubhat tersebut dan selanjutnya berlaku pula hubungan kewarisan antara keduanya.27

Disamping adanya hubungan kekerabatan yang disebabkan oleh kelahiran yang nyata, hukum Islam membenarkan adanya hubungan kekerabatan atas dasar pembuktian melalui pengakuan.28 Pengakuan ini dilakukan oleh seorang laki-laki yang menyatakan bahwa seorang anak adalah anaknya secara sah. Hal ini dapat terjadi bila seorang laki-laki secara yakin mengetahui bahwa dia mempunyai anak di suatu tempat berdasarkan tanda-tanda yang dikenalnya dan umur keduanya pun pantas untuk hubungan ayah dan anak, sedangkan dia tidak mengetahui yang mana anaknya itu. Dilain pihak di tempat itu ada seorang anak yang juga tidak mengetahui yang mana ayahnya dan anak itu pun tidak membantah pengakuan itu.

      

27

Ibid, h. 181 28


(29)

Untuk sahnya pembuktian kekerabatan secara pengakuan ini para ulama mengemukakan beberapa syarat sebagai berikut:

a. Si anak tidak diketahui ayahnya.

b. Dari segi umur itu pantas menjadi anaknya. c. Pengakuan itu tidak disangkal oleh anaknya.

Bila telah terpenuhi ketentuan tersebut, maka si anak yang diakui menjadi anak yang sah dari yang member pengakuan. Terkait dengan pengakuan tersebut adalah segala akibat hukum, termasuk hak kewarisan atas anak tersebut.

Orang-orang yang mendapat harta warisan dengan jalan kekerabatan ada 3, yaitu:29

a. Ashhabul furudl, yaitu ahli waris yang mendapat bagian tertentu dari harta peninggalan. Mereka semua ada 12 orang, terdiri dari empat orang lelaki dan delapan orang wanita yaitu:30

1) Dari pihak laki-laki: Suami, ayah, kakek sejati (kakek yang bukan diperantarai oleh ibu seperti ayah dari ayah), saudara laki-laki seibu

2) Dari pihak perempuan: Isteri, ibu, nenek sejati (nenek yang diperantarai oleh kekek yang tidak sejati seperti ibu atau ibu dari ayah), anak perempuan sekandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara

      

29

Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet.1, h.43 30

Muhammad Hasbi Ash Shidiqy, Fiqh Mawris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. 3, h. 60


(30)

perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu.

b. Ashabah ushubah nasabiyyah, yaitu ahli waris yang tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mengambil sisa harta peninggalan sesudah diberikan bagian-bagian ashhabulfurudl.

c. Dzawil arham, yaitu ahli waris yang tidak masuk kedalam ashhabul furudl dan ashabah.

2. Perkawinan

Disamping hak kewarisan berlaku atas dasar kekerabatan, hak kewarisan juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan, dengan arti bahwa suami adalah ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri pun merupakan ahli waris bagi suaminya yang meninggal.

Bagian pertama dari ayat 12 Surat an-Nisa (4) menyatakan hak kewarisan bagi suami–istri. Dalam ayat tersebut terdpat kata azwaj. Penggunaan kata azwaj yang secara leksikal berarti pasangan (suami-istri), menunjukan dengan gamblang hubungan kewarisan antara suami dan istri.31 Hubungan kewarisan seperti ini disebabkan adanya hubungan hukum antara suami dan istri.

Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan;

      

31


(31)

Pertama, antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah. Mengenai akad nikah yang sah ditetapkan dalam Undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1: “Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya”.32

Kedua, bahwa suami dan istri masih terkait dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal dunia. Ketentuan ini berlaku pula bila salah satu meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan si istri masih berada dalam masa iddah karena istri yang sedang menjalani masa iddah talak raj’i masih berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin.

3. Karena hubungan wala’

Yakni yang disebabkan adanya pembebasan budak. Adapun yang dimaksud dengan wala’u al-‘ataqah adalah ‘ushubah.33 Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya dengan membebaskan budak melalui pencabutan hak mewalikan dan hak mengurusi harta bendanya, baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tatawwu’ yaitu melaksanakan anjuran

      

32

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk wetboek; Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007), h. 538

33

Adapun yang dimaksud dengan ‘ushubah adalah hubungn antara pemilik budak dan budak, seperti hubungn anatara orang tua dengan anaknya.


(32)

syariat atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini, bentuk pembebasan mengakibatkan pada penetapan hak wala’.34

Sebagaimana sabda rasulullah SAW dalam perkara Barirah r.a, yaitu:

مﺎ ه

ﺎﻨ ﺪ

ﺎﻨ ﺪ

ﺎ ﻬﻨ

ﷲا

ﻲ ر

ﻦ ا

لﺎ

:

نأ

ﺔ ﺋﺎ

تدارأ

ﻪﻴ

ﷲا

ﻲ ﻨ ا

لﺎ

ءﻻﻮ ا

نﻮﻃﺮﺘ

ﻬ إ

و

ﻪﻴ

ﷲا

ﻲ ﻨ

ةﺮ ﺮ

يﺮﺘ

و

)

ﺘ أ

ءﻻﻮ ا

ﺎ ﺈ

ﺎﻬ ﺮﺘ ا

(

35

Dari Abdullah bin Musalamah dari al-Lais dari Ibnu Syihab dari Urwah bahwasanya aisyah r.a… kemudian kepada perempuan itu Rasulullah SAW bersabda: “Merdekakanlah maka sesungguhnya hak wala’ itu untuk orang yang memerdekakan…”

4. Karena Agama

Agama merupakan sebab seseorang saling mewarisi satu sama lain. Apabila Pewaris meninggalkan anak atau siapapun yang menurut pertalian darah atau perkawinan dia merupakan ahli waris tetapi dia tidak beragama Islam, maka dia tidak berhak menerima warisan, begitu pula sebaliknya. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

صﻰ ّﻨ اّناﺪ زﻦ ﺔ ﺎﺳأﻦ

.

اﺮ ﺎﻜ اﻻوﺮ ﺎﻜ ا اثﺮ ﻻلﺎ م

36  

Artinya: “Usamah bin Zaid ra. bahwa Nabi SAW bersabda: “Orang Islam tidak menerima pusaka dari orang kafir, dan orang kafir tidak akan menerima pusaka dari orang Islam.” (HR. Bukhari)

d. Asas-asas Kewarisan

      

34

Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h.40

35 ﺪ ﺤ ﻴﻋﺎ ﺳإ ﻮ أ ﷲاﺪ ﻋ يرﺎﺨ ا ﻲﻔ ا ، ﺢﻴﺤ يرﺎﺨ ا ; ﺎ ا ﺢﻴﺤ ا ﺮ ﺘﺨ ا ، ) راد ﻦ ا ﺮﻴﺜآ ، ﺔ ﺎ ﻴ ا

-توﺮﻴ : 1407 – 1987 ( ‚ دﺪﻋ ءاﺰﺟﻷا : 6   ‚ ص . 2476   36

Maftuh Hanan, Mutiara Hadits; Shahih Bukhary. (Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986), h. 292


(33)

Sebagai hukum agama yang bersumber dari wahyu Allah SWT, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas. Asas-asas ini dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan Islam yang bersumber dari akal manusia.

Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas tersebut adalah sebagai berikut:

a. Asas Ijbari

Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Pengertian wali mujbir dalam terminologi fikih munakahat mengandung arti bahwa wali dapat mengawinkan anak gadisnya di luar kehendak anaknya dan tanpa memerlukan persetujuan dari anak yang hendak dikawinkannya itu. Begitu pula kata jabari. Dalam terminologi ilmu kalam mengandung arti paksaan, dengan arti semua perebuatan yang dilakukan oleh seorang hamba, bukanlah atas kehendak dari hamba tersebut, melainkan atas kehendak dan kekuasaan Allah SWT, sebagaimana yang berlaku menurut aliran kalam jabariyah.37

Dengan demikian peralihan harta secara ijbari adalah peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya. Asas ini memberikan pengertian bahwa apabila pewaris meninggal dunia, maka segala haknya akan berpindah secara langsung kepada ahli warisnya.       

37


(34)

Perpindahan tersebut tidak semata-mata atas keinginan dan kehendak ahli waris, melainkan pembagiannya telah ditentukan mengenai besar kecilnya, sehingga tidak ada otoritas bagi manusia untuk memberikan bagiannya dengan lebih atau menguranginya apalagi meniadakannya.38

Adanya unsur ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak memberatkan orang yang akan menerima waris. Kewajiban ahli waris adalah menolong membayarkan utang Pewaris dengan harta warisannya, bila Pewaris tidak meninggalkan harta, maka ahli waris wajib melunasi utang Pewaris dengan hartanya sendiri. Hal demikian wajib dilaksanakan oleh setiap muslim, karena Allah SWT tidak akan menerima amal ibadah orang yang masih mempunyai utang semasa hidupnya. Sebagaimana dalam kitab bukhari dijelaskan:

ا

ﺔ ﺳ

ﺪﻴ

ﻰ أ

ﻦ ا

ﺪ ﺰ

ﻮ ا

ﺎﻨ ﺪ

ﻰ ﻨ ا

نأ

ﻪﻨ

ﷲا

ﻰ ر

عﻮآﻷ

ﻰ أ

ﻪﻴ

اﻮ ﺎ

ﻦ د

ﻪﻴ

ه

لﺎ

ﺎﻬﻴ

ﻰ ﻴ

ةزﺎﻨﺠ

ﻰ أ

ﺳو

ﻪﻴ

ﷲا

ﻪﻨ د

ةدﺎﺘ

ﻮ أ

لﺎ

ﻜ ﺎ

اﻮ

لﺎ

اﻮ ﺎ

ﻦ د

ﻪﻴ

ه

لﺎ

ىﺮ أ

ةزﺎﻨﺠ

ﷲا

لﻮﺳرﺎ

39

Artinya: Dari Abu Asim dari Yazid Ibnu Abi Abid dari Salamah bin al-Uku’i ra. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mendatangi jenazah untuk menshalatkannya. Beliau bertanya: “Apakah mayit ini mempunyai utang?” Kemudian para sahabat menjawab, “Tidak”. Kemudian rasul menshalatkannya. Setelah itu dihadapkan kepada beliau mayat yang lain, beliau bertanya: “Apakah dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab: “Ya”, Rasulullah berkata: “Shalatkanlah mayat lain yang menjadi saudaramu”. Kemudian berkata Abu Qatadah: “Saya yang       

38

Baidlowi, Ketentuan Hak Waris Saudara Dalam Konteks Hukum Islam, (Mimbar Hukum, 1999) Cet.10, h. 12

39 ﺪ ﺤ ﻴﻋﺎ ﺳإ ﻮ أ ﷲاﺪ ﻋ يرﺎﺨ ا ، يرﺎﺨ ا ، )

رﻮﻨ اﺔآﺮﺷ ﺎﻴﺳ (دﺪﻋ ءاﺰﺟﻷا : ‚ ص : ٩  


(35)

akan menanggung semua utang mayat ini ya Rasulullah”. Kemudian Rasul bersedia menshalatkannya mayat yang masih mempunyai tanggungan itu.

Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari: 1. Segi Peralihan Harta

Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Oleh karena itu, kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan harta, karena pada peralihan harta berarti beralih dengan sendirinya, sedangkan pada pengalihan tampak usaha seseorang untuk mengalihkan. Asas ijbari dalam peralihan harta dapat dilihat dalam firman Allah SWT Surat an-Nisa (4):7. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan si pewaris, disadari atau tidak, telah terdapat hak ahli waris dengan tidak perlu pewaris menjanjikan akan memberikan sebelum ia meninggal, begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya.

2. Segi Jumlah Pembagian

Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa bagian ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah SWT, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu, maka maksudnya ialah sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa.


(36)

Bentuk ijbari dari segi penerima peralihan harta berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukan orang lain dan mengeluarkan orang yang berhak.

b. Asas Bilateral

Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti bahwa seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki maupun dari pihak garis keturunan perempuan.40 Asas ini secara nyata dapat dilihat dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 7, 11, 12 dan176.

Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa baik seorang laki-laki maupun seorang perempuan berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar dari kewarisan bilateral. Kemudian dalam ayat-ayat yang lainnya dikemukakan bahwa kewarisan itu beralih kebawah (anak-anak), keatas (ayah-ibu) dan kesamping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga (garis laki-laki dan garis perempuan).

c. Asas Individual

Hukum kewarisan Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, yang berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan       

40

Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam: di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya), Cet. 1, h. 120 


(37)

ahli waris yang lain.41 Hal ini dapat kita pelajari dalam al-Quran Surat an-Nisa ayat 11:42

1. Bahwa anak laki-laki mendapat dua kali dari bagian anak perempuan.

2. Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih bagiannya dua per tiga dari harta peninggalan.

3. Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka bagiannya separuh dari harta peninggalan.

Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang dalam istilah ushul fikih disebut ahliyat al wujub.43 Dalam pengertian ini setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu dan berhak pula berbuat demikian.44

Pembagian secara individual merupakan ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi yang berat di akhirat atas pelanggarannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat 13 dan 14.

      

41

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 21  42

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1981), Cet. 1 hal. 23

43

Ahliyyah wujub adalah kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan padanya hak dan kewajiban. Lihat Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2005), Cet. 1, h.3

44


(38)

 

Artinya: 13. “Hukum-hukum tersebut itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. 14. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. (Q.S an-Nisa (4):13 dan 14)

Jika telah terlaksana pembagian secara terpisah untuk setiap ahli waris, maka unutk seterusnya ahli waris memiliki hak penuh untuk berbuat dan bertindak atas harta yang didapatnya itu. Walaupun dibalik kebebasan menggunakan harta tersebut berlaku ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak, yang dalam ushul fikih disebut ahliyat al-‘ada’.45

d. Asas Keadilan Berimbang

Kata adil merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari kata al-adlu. Dalam al-Quran kata al-adlu atau turunannya disebutkan lebih dari 28 kali. Sebagian diantaranya diturunkan Allah SWT dalam bentuk kalimat perintah dan sebagian lainnya dalam bentuk kalimat berita. Kata al-adlu dikemukakan dalm konteks yang berbeda dan arah yang berbeda pula, sehingga memberikan definisi yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan penggunaannya. Dalam hubungannya       

45

Ahliyyah al-ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hokum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun negative. Lihat Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2005), Cet. 1, h. 2


(39)

dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan, kata tersebut dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas dasar pengertian diatas, maka asas keadilan dalam pembagian harta warisan menurut Islam secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan. Artinya pria dan wanita mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan.46

Bila ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan dan kebutuhan.47

Secara umum, dapat dikatakan bahwa pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria memikul tanggung jawab ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita. Sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa (4):34.

☺ ☺ ⌧

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

      

46

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet.1, h. 24 

47


(40)

(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (Q.S an-Nisa 4:34)

Bila dihubungkan jumlah bagian yang diteriama dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti disebutkan diatas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang akan dirasakan pria sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun pada mulanya pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterimanya akan diberikan kepada wanita dalam konsep Islam.

e. Asas Semata Akibat Kematian

Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Dengan demikian hukum kewarisan hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata (kewarisan ab intestato).48

B. Hukum Waris Dalam Persfektif Undang-undang

1. Faraidh Sebelum Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Ketaatan umat Islam berpedoman kepada ajaran agama yang merupakan tolak ukur dari kadar keimanan, begitupun dalam menjalankan ajaran agama mengenai kewarisan. Bila kita berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah SWT, maka kita akan mendapat pahala dan pujian dari Allah SWT (an-Nisa 4:13). Sebaliknya,

      

48

Ab intestateo adalah adanya suatu tata cara pewarisan yang diatur berdasarkan Undang-undang. Apabila pewaris tidak menyatakan dengan tegas kehendaknya (dalam hal pewarisan) pada suatu testamen, maka ahli waris diatur berdasarkan Undang-undang. Lihat M.Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), Cet. 1, h.10


(41)

bila kita menyimpang dari petunjuk Allah tersebut, maka kita akan mendapat celaan dan ancaman dari Allah SWT (an-Nisa 4:14).

Meskipun kewarisan merupakan ajaran agama, namun tidak semua umat Islam mengetahuinya secara baik, sebagaimana mereka mengetahui ajaran agama yang berkenaan dengan ibadat shalat, puasa, dan yang lainnya. Alasannya, Pertama, karena kematian yang menimbulkan adanya kewarisan dalam suatu keluarga merupakan suatu yang jarang terjadi. Kedua, tidak semua orang yang mati itu meninggalkan harta yang patut menjadi urusan. Ketiga, ajaran tentang kewarisan itu membicarakan angka-angka yang bersifat matematis yang tidak semua orang tertarik kepadanya. Apapun alasan yang dikemukakan diatas, tetap saja urusan kewarisan harus diselesaikan dengan merujuk kepada ajaran agama.

Bila kematian yang menimbulkan kewarisan terjadi dalam suatu keluarga dan diantara anggota keluarganya ada yang mengetahui pembagian harta waris menurut ajaran Islam, maka keluarga tersebut dapat mengurus sendiri pembagian harta peningggalan itu. Seandainya tidak ada yang memahami cara menyelesaikan pembagian harta wairsan itu, mereka dapat meminta petunjuk kepada orang lain yang memahami hal tersebut. Cara seperti ini disebut istifta.

Akan tetapi, karena obyek kewarisan ini adalah harta benda yang sering menimbulkan ketidakpuasan dari sebagian anggota keluarga dengan jumlah bagian yang diterima sesuai dengan ajaran agama dan juga disebabkan oleh keserakahan serta rasa egois, maka hal ini tidak cukup hanya dengan meminta petunjuk tetapi juga meminta untuk diselesaikan. Cara seperti ini disebut tahkim.


(42)

Jika urusannya meningkat pada suatu persengketaan yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, maka hal ini memerlukan penyelesaian pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk memaksakan keputusannya. Inilah yang dinamakan lembaga qadha atau peradilan. Dengan demikian lembaga peradilan adalah lembaga terakhir dalam penyelesaian perkara waris.

Peradilan yang menjalankan ajaran agama yang telah ditetapkan oleh pemerintah hindia belanda pada tahun 1882 melalui Stbl. No.152 Tahun 1882, tentang pendirian Peristeraad (yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama) untuk pulau Jawa dan Madura. Dalam stbl. Ini ditetapkan bahwa salah satu wewenang absolutnya adalah kewarisan.49

Dimasukannya kewarisan dalam wewenanang Peristeraad pada waktu itu agaknya mengikuti pendapat pakar hukum belanda W. Van Den Berg dengan teorinya yang popular yaitu receptie in complexu yang berarti menerima ajaran agama secara menyeluru. Maksudnya bila seseorang telah memeluk agama Islam, maka dia akan menjalankan semua ajarannya termasuk kewarisan. Kemudian muncul teori lainnya yang mematahkan teori dari W. Van Den Berg itu yaitu teorie receptie yang dikemukakan oleh Snock Hurgronje dan C. Van Vollenhoven. Teori tersebut berarti bahwa umat Islam menjalankan hukum agama sejauh telah terserap ke dalam adatnya.50 Teori receptie ini telah mempengaruhi pemerintah hindia belanda untuk       

49

A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, h. 98 50

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Prenadia Group,2006), Cet. 1, edisi 1, h. 49


(43)

mengubah kebijaksanaannya tentang Raad Agama, dengan mengeluarkan aturan baru dalam Stbl. No.116-610 Tahun 1937. Dalam Stbl. ini ditetapkan urusan kewarisan tidak lagi menjadi wewenang Peristeraad.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1957 Tentang pembentukan Mahkamah Syariah (Peradilan Agama) dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk seluruh Indonesia, di luar Jawa, Madura dan Kalimantan selatan-timur. Dalam peraturan pemerintah itu ditetapkan bahwa salah satu wewenang Peradilan Agama adalah kewarisan.51

Keragaman nama dan wewenang Peradilan Agama telah berakhir semenjak tahun 1989 dengan keluarnya Undang-undang No.7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 49 ayat 1 dari Undang-undang ini menetapkan:52 “Peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama anatara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah.”

Hukum kewarisan yang dinyatakan sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia pada saat ini belum berbentuk hukum perundang-undangan, tetapi baru dalam bentuk kitab fikih BAB faraidh. Hal ini berarti bahwa para hakim di

      

51

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 324 52

Roihan dan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 7, h. 252. Lihat juga Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama; Undang-undang No.7-Th 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 30


(44)

Pengadilan Agama dalam memberikan pertimbangan pada saat menetapkan keputusan merujuk pada kitab fikih tersebut.

Meskipun fikih itu bersumber dari al-Quran dan Hadits, namun fikih itu beragam sesuai dengan perkembangan aliran pikiran tertentu yang kemudian disebut madzhab.

Fikih yang berkembang di Indonesia pada umumnya adalah mengikuti madzhab imam syafi’i, tanpa menutup adanya madzhab lain, meskipun kecil. Madzhab imam syafi’i kemudian dikembangkan oleh pengikutnya dalam suatu wacana yang hasilnya juga beragam pendapat. Beragam pendapat dalam sebuah wacana tidak menjadi masalah. Namun bila putusan pengadilan yang merujuk pada fikih yang berbeda menghasilakan penetapan yang berbeda mengenai suatu kasus yang sama, barulah itu menimbulkan masalah.

Hal itulah yang mendorong pemuka negara kita mengumpulakan kitab fikih yang menjadi rujukan Peradilan Agama yang beragam itu dan merumuskannya dalam satu bentuk kesatuan. Setelah melalui proses panjang, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia bersama menteri agama, dengan melibatkan ulama, pakar fikih, ahli hukum dan pemuka masyarakat lainnya berhasil mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.53

2. Faraidh Setelah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)

      

53


(45)

Hukum kewarisan dalam KHI merupakan hasil kaji ulang dan ijtihad baru melalui pendekatan dengan hukum adat dan hukum barat serta norma-norma hukum lainnya, sesuai dengan petunjuk syariat Islam, sehingga dapat membawa pembaharuan hukum kewarisan di Indonesia yang:54

a. Selaras dengan tata kehidupan umat Islam di Indonesia,

b. Mampu memenuhi tuntutan zaman yang modern sesuai dengan teori ilmu hukum, administrasi dan manajemen,

c. Dapat menjalankan fungsinya sebagai pengatur untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat, sebagai pengayom untuk melindungi kebenaran dan keadilan, serta sebagai pemberi arah bagi kehidupan yang maju dan mandiri dibawah naungan dan ridla Allah SWT.

Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat 23 pasal yang mengatur tentang kewarisan, mulai dari pasal 171 sampai dengan pasal 193. Yang dimaksud dengan hukum kewarisan menurut KHI pasal 171 (a) adalah “Hukum yang mengaturtentang pemindahan hak pemilikan harata peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”.55

Pasal 171 tentang ketentuan umum, yaitu menjelaskan tentang hukum kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab fikih dengan rumusan yang

      

54

Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet. 1, h. 30

55

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992) , Cet. 1, h. 155


(46)

berbeda. Membicarakan tentang pewaris dan syaratnya, ahli waris dan syaratnya. Hal ini serupa dengan yang dibicarakan dalam fikih sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Begitu juga anak pasal selanjutnya telah sejalan dengan fikih.

Pasal 172 menjelaskan tentang identitas keislaman seseorang dalam hal yang bersifat administratif. Walaupun tidak ada dalam fikih tapi tidak menyalahi substansi fikih itu.

Pasal 173 menjelaskan tentang halangan kewarisan yang format dan substansinya sedikit berbeda dengan fikih, dengan rumusan:

Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:56

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Dalam anak pasal (a) dinyatakan pembunuh sebagai penghalang kewarisan telah sejalan dengan fikih. Namun, dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi memfitnah sebagai halangan kewarisan, jelas tidak sejalan dengan fikih madzhab manapun. Dalam fikih hanya pembunuhan yang disengaja yang dapat menjadi penghalang, sedangkan yang tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Fikih       

56


(47)

beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam al-Quran dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti hadits Nabi SAW. Dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan, penganiayaan atau memfitnah meskipun hal tersebut merupakan kejahatan namun tidak dapat menghilangkan hak yang pasti, apalagi jika sebelum meninggal Pewaris telah memaafkannya. Oleh karena itu, pasal ini masih perlu dipertanyakan.

Pasal 174 menjelaskan tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan telah sejalan dengan fikih.

Pasal 175 menjelaskan tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum dibagikannya harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fikih.

Pasal i76 menjelaskan tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat al-Quran dan rumusannya dalam fikih.

Pasal 177 menjelaskan tentang bagian ayah. Dirumuskan sebagai berikut: “Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak; bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian”.57

Walaupun pasal ini telah mengalami perubahan, tetapi tidak mengubah secara substansial. Dijelaskan bahwa ayah menerima seperenam dalam keadaan pewaris meninggalkan anak, hal ini jelas sesuai dengan al-Quran, dan rumusannya dalam fikih. Tetapi menetapkan ayah menerima bagian sepertiga dalam keadaan tidak ada       

57


(48)

anak, tidak terdapat dalam al-Quran dan tidak tersebut dalam kitab fikih manapun, termasuk syi’ah.

Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai furudh, itupun dalam kasus tertentu seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima sepertiga harta sebagaimana yang lazim berlaku dalam mzhab jumhur ahlu sunah, namun bukan sepertiga untuk ayah sebagaimana yang disebutkan dalam kompilasi. Hal tersebut merupakan ijtihad baru yang bertujuan untuk melindungi jangan sampai bagian ayah lebih kecil dari bagian ibu, tapi sekurang-kurangnya sama besar. Apabila al-Quran dan fikih yang dijadikan ukuran, maka pasal ini jelas salah secara substansial. Karena bunyi pasal ini terdapat kekeliruan yang sangat signifikan, maka berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor MA/Kumdil/148/VI/K/1994 tanggal 28 Juni 1994, (SURAT EDARAN No. 2 Tahun 1994 Tentang Pengertian Pasal 177 KHI), pasal ini berbunyi: “Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam”.58 Berdasarkan bunyi pasal 177 yang telah direvisi ini, maka bagian ayah ada 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Menerima ashobah, yakni bila pewaris tidak meninggalkan anak.

b. Menerima sepertiga bagian, yakni apabila pewaris tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan suami dan ibu.

c. Menerima seperenam bagian, yakni apabila pewaris meninggalkan anak.       

58

Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet. 1, h. 114


(49)

Pasal 178 menjelaskan tentang bagian ibu dalam tiga kemungkinannya dan pasal 179-180 membahas tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah sesuai dengan al-Quran dan rumusannya dalam fikih.

Pasal 181 membahas tentang bagian saudara seibu. Pasal 182 tentang bagian saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya, semuanya telah sejalan dengan al-Quran dan fikih.

Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk atas dasar kerelaan bersama. Secara formal, hal tersebut tidak dijelaskan dalam fikih, akan tetapi pembagian seperti itu dapat diterima dengan menggunakan pendekatan pemahaman takharuj yang dibenarkan dalam mazhab hanafi.

Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk mengurus hak warisnya. Meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab fikih, namun karen telah sejalan dengan kehendak al-Quran surat an-Nisa ayat 5, maka pasal ini dapat diterima.

Pasal 185 mengenai ahli waris pengganti, dirumuskan sebagai berikut:59

(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka

kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang disebut dalam pasal 173.

      

59

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992), Cet. 1, h.158


(50)

(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Anak pasal (1) secara tersurat mengakui adanya ahli waris pengganti, yang merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Perkara ini dikatakan baru karena di timur tengah pun belum ada Negara yang mngatur hal ini, sehingga mereka mereka perlu menampungnya dalam lembaga wasiat wajibah. Anak pasal ini amat bijaksana dengan menggunakan kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperative. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui, namun dalam keadaan tertentu bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukannya ahli waris pengganti.

Anak pasal (2) menghilangkan kejanggalan penerimaan adanya ahli waris pengganti dengan tetap menganut asas perimbangan laki-laki dan perempuan. tanpa anak pasal ini sulit untuk dilaksanakannya penggantian ahli waris karena ahli waris pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan system barat yang menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan anak perempuan.

Pasal-pasal selanjutnya yaitu pasal 186-193 telah sesuai dengan yang dirumuskan dalam fikih. Meskipun ada beberapa pasal yang tidak diatur dalam fikih karena menyangkut masalah administratif, namun hal tersebut sesuai dengan prinsip kemaslahatan, maka pasal-pasal itu dapat diterima.

Secara umum pasal demi pasal yang berkenaan dengan kewarisan dalam KHI tersebut sudah sejalan dengan apa-apa yang dijelaskan dalam kitab fikih, namun tidak


(51)

dapat dipungkiri ada beberapa hal krusial dan beberapa perbedaan disana-sini yang menempatkan hukum kewarisan Islam dalam bentuk yang baru.

C. Konsep Keadilan Dalam Pembagian Harta Waris

1. Konsep Keadilan Menurut Hukum Islam

Mengenai jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan perempuan terdapat dua bentuk. Pertama, laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan; seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat seperenam dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung. Begitu pula saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam keadaan pewaris adalah seseorang yang tidak memiliki ahli waris langsung. Kedua, laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat dari bagian yang didapat oleh perempuan; seperti anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan, saudara laki-laki-laki-laki mendapat dua kali bagian saudara perempuan dan dalam kasus yang terpisah duda mendapat dua kali bagian yang diperoleh janda.

Bila ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh antara laki-laki dan perempuan yaitu 2:1 (baca: dua banding satu), memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan dan kebutuhan. Oleh karena itu, bentuk keadilan dalam kewarisan bukan terletak pada jenis kelamin, melainkan terletak pada substansinya. Substansi yang dimaksud dapat terlihat dalam Surat an-Nisa (4:11, 12, dan 176).


(52)

Pada Surat an-Nisa (4) ayat 11 dinyatakan bahwa anak laki-laki mendapat bagian lebih besar dari perempuan. Demikian pula ayah mendapat bagian lebih banyak dari ibu apabila tidak ada anak. Dalam Surat an-Nisa (4) ayat 12, suami dan istri mendapat bagian yang berbeda. Demikian pula dalam Surat an-Nisa (4) ayat 176 saudara laki-laki mendapat bagian lebih banyak dari saudara permpuan. Terjadinya perolehan bagian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, mufassirin memberikan komentar. Menurut al-Maragi, terjadinya perbedaan bagian yang diperoleh oleh ahli waris laki-laki dan perempuan mempunyai hikmah tersendiri yaitu laki-laki mencari nafkah untuk diri dan keluarganya, sementara perempuan hanya membutuhkan nafkah untuk dirinya, dan bahkan apabila perempuan telah menikah, maka nafkahnya ditanggung oleh laki-laki yang menjadi suaminya. Dari kenyataan ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan material dalam kedudukan ekonomi antara laki-laki dan perempuan bila dilihat dari fungsinya.60

Syariat Islam telah membedakan pembagian harta waris antara laki-laki dan perempuan dalam perkara kewarisan 2:1 (baca dua banding satu) karena ada beberapa hikmah yang tersembumyi:

a. Bahwa perempuan itu biaya hidup dan keperluannya telah terpenuhi, sebab nafkahnya menjadi kewajiban anaknya atau bapaknya, saudara laki-laki atau kerabat lainnya.

      

60

Eli Nurmalia, Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 27


(53)

b. Permpuan tidak dibebani untuk memberikan nafkah pada keluarga, kerabat serta orang lain yang menjadi kewajibannya untuk memberikan nafkah kepadanya.

c. Nafkah laki-laki lebih banyak (dari perempuan) dan kewajiban yang berkaitan dengan harta lebih besar, maka keperluannya terhadap harta tertentu lebih besar dari pada keperluan perempuan.

d. Laki-laki (berkewajiban) memberikan maskawin kepada istrinya dan dia juga dibebani untuk memberikan biaya, tempat tinggal dan ongkos makan serta pakian kepada istri dan anak-anaknya. Selain itu masalah lain yang juga dibebankan kepada laki-laki oleh syariat Islam yang mulia, berdasarkan perintah Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.

 

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath-Thalak 65:7)

Dari pandangan yang singkat ini, jelaslah bahwa Allah begitu bijaksana dalam membedakan bagian laki-laki dan perempuan dalam kewarisan. Apabila nafkah atas seseorang itu lebih banyak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya lebih besar, maka menurut keadilan dalam pandangan Islam, dibenarkan jika bagiannya lebih


(1)

BAB IV

PENUTUP

A.

Kesimpulan

1.

Hukum kewarisan yang terdapat dalam pasal 171 huruf a KHI adalah “Hukum

yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa

besar bagiannya”.

2.

Besar bagian masing-masing ahli waris laki-laki dan perempuan dengan porsi

2:1 (baca: dua banding satu) yang terdapat pada pasal 176 KHI tidak

digunakan secara mutlak. Karena, dalam prakteknya di Pengadilan, ketentuan

KHI hanya dipergunakan sebagai rujukan bagi hakim dalam mengambil

putusan sesuai dengan jalannya persidangan. Sehingga, pembagian harta

warisan lebih bersifat fleksibel dan kasuistik.

3.

Bila dikaitkan dengan konsep keadilan, pembagian harta waris anak laki-laki

dua kali lebih besar dari anak perempuan adalah adil menurut hukum

sepanjang tidak ada ahli waris yang keberatan dengan ketentuan tersebut.

4.

Konsep keadilan menurut pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah

yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan

dan kebutuhan. Karena menurut ketentuan hukum hal tersebut disesuaikan

dengan kodrat, fungsi, dan tugas yang dibebankan kepadanya, tetapi antara

keduanya harus saling meridhoi.


(2)

5.

Faktor yang dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada menjadi suatu

aturan hokum baru mengenai kewarisan adalah adanya kesepakatan, hibah

yang dapat diperhitungkan sebagai warisan, alasan hukum, waktu dan tempat.

6.

Oleh karena bagian dengan porsi 2:1 (baca: dua banding satu) merupakan

aturan (rule) yang harus dipatuhi dan sebagai hukum asal dari pembagian

harta waris laki-laki dengan perempuan, maka hal tersebut harus lebih dulu

dilaksanakan. Kemudian, bila dalam prakteknya ada kesepakatan antar ahli

waris, atau ada yang merasa keberatan dengan ketentuan tersebut, maka

sebelum diputus dengan ketentuan yang keluar dari aturan yang semestinya,

maka harus dibuktikan dengan pembuktian yang jelas.

Kesimpulan diatas merupakan jawaban dari rumusan permasalahan yang

menjadi latar belakang penulisan skripsi ini. Meskipun dalam prosesnya banyak

kendala yang dihadapi, tetapi secara umum penulis merasa cukup puas dengan hasil

yang diperoleh, karena permasalahan yang selama ini menjadi pertanyaan bagi

penulis telah terjawab dengan penelitian ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan dalam berbentuk skripsi ini dapat

bermanfaat, khususnya bagi penulis, umumnya bagi siapa saja yang ingin

mempelajari ilmu, terutama ilmu hukum untuk merubah meneruskan reformasi

hukum Islam di negeri ini.


(3)

B.

Saran

1.

Diharapkan KHI dapat menjadi sumber hukum yang bersifat imperative bagi

Peradilan Agama, sehingga dapat meredam perbedaan pendapat terhadap

suatu putusan sesuai dengan tujuan awal dari pembentukan KHI itu sendiri.

2.

Hendaknya hakim Pengadilan Agama memiliki interpretasi yang sejalan

dalam mengimplementasikan suatu aturan hukum terutama dalam mengenai

ketentuan besar bagian masing-masing ahli waris, sehingga tidak

menimbulkan disparitasnya putusan Pengadilan yang berakibat pada

ketidakpastiannya hukum.

3.

Ketentuan mengenai kewarisan dalam KHI ini hendaknya disosialisasikan

oleh para praktisi hukum kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat

mengetahui akibat hukum dari timbulnya kewarisan.

4.

Sebaiknya untuk menyelesaikan perkara kewarisan hendaknya masyarakat

menggunakan jalan kekeluargaan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk

membawanya ke Pengadilan, agar silaturahmi antar keluarga tetap terjaga.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Abdurrahman,

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

, Jakarta: CV Akademika

Pressindo, 1992.

Abta, Asyhari dan Abd. Syakur, Djunaidi.

Ilmu Waris al-Faraidl,

Surabaya:

Pustaka Hikmah Perdana, 2005.

Abu Zahrah, Muhammad.

Usul Fikih.

Penerjemah Saefullah Ma’sum, dkk,

Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

يرﺎﺨ ا

ﺪ ﺤ

ﻴﻋﺎ ﺳإ

ﻮ أ

ﷲاﺪ ﻋ

.

يرﺎﺨ ا

،

رﻮﻨ ا

ﺔآﺮﺷ

ﺎﻴﺳ

دﺪﻋ

ءاﺰﺟﻷا

:

٢

Al-Fikri, Syarudin. “Menengok Riwayat Hukum Waris Dalam Islam”, Arikel

diakses pada 08 Agustus 2010 dari

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-Islam/Islam-digest/10/04/19/112001-menengok-riwayat-hukum-waris-dalam-Islam.

ﻲﻔ ا

ﺪ ﺤ

ﻴﻋﺎ ﺳإ

ﻮ أ

ﷲاﺪ ﻋ

يرﺎﺨ ا

.

ﺢﻴﺤ

يرﺎﺨ ا

;

ﺎ ا

ﺢﻴﺤ ا

ﺮ ﺘﺨ ا

،

راد

ﻦ ا

ﺮﻴﺜآ

،

ﺔ ﺎ ﻴ ا

-توﺮﻴ

:

1407

1987

دﺪﻋ

ءاﺰﺟﻷا

:

6

Arikunto, Suharsimi.

Prosedur Pesnelitian

,

Jakarta: PT. Rinika Cipta, 1996.

Arman, Ayu. “Menyoal Keadilan Hak Waris Perempuan”, artikel diakses pada 08

Agustus 2010 dari

http:/mycompilation.blogspot.com/2010/07/menyoal-keadilan-hak-waris-perempuan.html.

Arto, Mukti.

Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam,

Solo: Balqis

Queen, 2009.

Ash-Shiddieqy, Hasbi.

Fiqhul Mawaris

, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

 

Asy-Syabuniy, Muhammad Ali.

Hukum Waris Islam

;

al-Mawarits Fi Syar’iyati

Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab Wa Sunnah,

Surabaya: al-Ikhlas, 1995.

Baidlowi.

Ketentuan Hak Waris Saudara Dalam Konteks Hukum Islam,

Jakarta:

Mimbar Hukum, 1999.

Bisri, Cik Hasan.

Peradilan Agama di Indonesia,

Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2000.

 

Djalil, A. Basiq.

Peradilan Islam,

2007.


(5)

Ghazali, Syaikh Muhammad.

Tafsir Tematik Dalam al-Quran

, Jakarta: Gaya

Media Pratama, 2004.

Hanan, Maftuh.

Mutiara Hadits; Shahih Bukhary.

Gresik: CV Bintang Pelajar,

1986

Harahap, Yahya.

Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama;

Undang-undang No.7-Th 1989,

Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.

 

Hazairin.

Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadits,

Jakarta: PT

Tinta Mas, 1982.

Hejazziey, Djawahir.

Pedoman Penulisan Skripsi,

Jakarta: fakultas Syariah dan

Hukum, 2007.

Ibrahim, Johny.

Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif

, Jakarta:

Bayumedia, 2008.

Jumantoro, Totok dan Munir Amin, Samsul.

Kamus Ilmu Ushul Fikih,

, Jakarta:

Sinar Grafika Offset,2005.

Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir,

Hukum Waris

, Jakarta: CV

Kuwais Media Kreasindo, 2004.

M. Manulang, E. Fernando.

Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum

Kodrat dan Anatomi Nilai,

Jakarta: Kompas, 2007.

Manan, Abdul.

Penerapan Hukum Acara Perdata,

.

Martokusumo, Sudikno.

Hukum Acara Perdata Indonesia,

Yogyakarta: Liberty

Press, 1985.

Marwan, M dan P, Jimmy.

Kamus Hukum; Dictionary of Law Complete Edition,

Surabaya: Reality Publisher, 2009.

Marzuki, Peter Mahmud.

Penelitian Hukum,

Jakarta: Kencana, 2007.

Mubarok, Elfindi Nurfitri.

Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan

Dengan Saudara Kandung,

Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Nasuhi, Hamid. Dkk.

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Skripsi, Tesis, dan

Disertasi,

Jakarta: CeQda, 2007.

Nurmalia, Eli.

Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam

Hukum Kewarisan Islam,

Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,


(6)

Oeripkartawinata, Iskandar dan Sutantio, Retno Wulan.

Hukum Acara Perdata ;

Dalam Teori Dan Praktek,

Bandung: Mandar Maju, 2005.

Quraish Shihab, M.

Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran,

Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Ramulyo, Idris.

Perbandingan Hukum Kewarisan Islam: di Pengadilan Agama

dan Kewarisan Menurut Undang-undang Hukum Perdata (BW) di

Pengadilan Negeri

, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya.

Rasyid, A. dan Raihan.

Hukum Acara Peradilan Agama,

Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2000.

Rasyid, Chatib dan Syaifudin.

Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek

Pada Peradilan Agama,

Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2009.

Salman, Otje.

Hukum Waris Islam,

Bandung: Rafika aditama, 2002.

Syarifudin, Amir.

Hukum Kewarisan Islam,

Jakarta: Kencana Press, 2004.

Thalib, Sayuti.

Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,

Jakarta: Sinar Grafika,

1993.

Tjitrosudibio, R. dan Subekti, R

Kitab Undang-undang Hukum Perdata:

Burgerlijk Wetboek Dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria

Dan Undang-undang Perkawinan,

Jakarta: Pradnya Paramita, 2007.

Wawancara Pribadi dengan Abdillah. Jakarta, 02 Agustus 2010.

Wawancara Pribadi dengan Mukti Arto. Jakarta, 05 Agustus 2010.


Dokumen yang terkait

Pelimpahan hak asuh anak kepada bapak (studi kasus putusan pengadilan agama Jakarta perkara nomor 1829/Pdp.G/2008/PAJT)

1 40 92

Putusan verstek pengadilan agama depok dalam perkara cerai gugat : analisa putusan pengadilan agama depok perkara no. 1227/pdt.g/2008/pa.dpk

4 21 94

Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/Pa.Bks.)

0 12 73

HAK SUAMI SEBAGAI AHLI WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Perkara Gugat Waris Di Pengadilan Agama Kota Cirebon Nomor : 753/Pdt.G/2011/PA.Cn.)

1 6 104

Cerai Gugat Karena Suami Pengguna Narkoba (Analisis Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 0154/Pdt.G/2013/Pa)

4 71 86

Perceraian akibat suami riddah: analisis koperatif putusan penagdilan agama bogor perkara Nomor 49/Pdt.G/2010/PA.BGR. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 378/Pdt.G/2009/PA.JP

0 3 62

Penyelesaian Harta Bersama Dalam Perceraian (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara No: 126/Pdt.G/2013/PTA.JK)

2 18 0

Penerapan Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama)

0 12 172

Urgensi izin isteri secara lisan dan tertulis dalam poligami (analisis putusan pengandilan agama rangkasbitung perkara No. 0390/pdt.G/2013/PA.Rks )

0 6 73

Murtad Sebagai Penghalang Hadhanah (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1700/Pdt. G/2010/PAJT)

1 29 206