Karakterisasi Simplisia, Isolasi serta Analisis Komponen Minyak Atsiri Lada Hitam dan Lada Putih (Piper nigrum L.) Secara GC-MS

(1)

SKRIPSI

KARAKTERISASI SIMPLISIA, ISOLASI SERTA ANALISIS KOMPONEN MINYAK ATSIRI LADA HITAM DAN LADA PUTIH (Piper nigrum L.)

SECARA GC-MS

Oleh:

DESSY MURNIATY NIM 081524053

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

KARAKTERISASI SIMPLISIA, ISOLASI SERTA ANALISIS KOMPONEN MINYAK ATSIRI LADA HITAM DAN LADA PUTIH (Piper nigrum L.)

SECARA GC-MS

Diajukan Oleh: DESSY MURNIATY

NIM 081524053

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Medan, Desember 2010

Pembimbing I, Dekan,

(Drs. Panal Sitorus, M.Si., Apt.) (Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.) NIP: 195310301980031002 NIP: 195311281983031002

Pembimbing II,

(Prof.Dr.rer.nat.Effendy De Lux Putra,SU.,Apt.) NIP: 195306191983031001


(3)

Karakterisasi Simplisia, Isolasi serta Analisis Komponen Minyak Atsiri Lada Hitam dan Lada Putih (Piper nigrum L.)

Secara GC-MS Abstrak

Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap dengan komposisi yang berbeda–beda sesuai sumber penghasilnya dan terdiri dari campuran zat yang memiliki sifat fisika kimia berbeda-beda. Lada (Piper nigrum L.) famili Piperaceae adalah salah satu tanaman yang mengandung minyak atsiri dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.

Penelitian yang dilakukan meliputi karakterisasi simplisia, isolasi minyak atsiri dengan cara destilasi air dan analisis komponen minyak atsiri lada hitam dan lada putih (Piper nigrum L.) secara Gas Cromatography-Mass Spectrophotometry (GC-MS).

Hasil karakterisasi simplisia lada hitam diperoleh kadar air 8,595%; kadar sari yang larut dalam air 7,388%; kadar sari yang larut dalam etanol 11,415%; kadar abu total 5,013%; kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,41%; hasil penetapan kadar minyak atsiri dengan alat Stahl diperoleh kadar minyak atsiri lada hitam sebesar 1,085 % v/b. Serta hasil karakterisasi simplisia lada putih diperoleh kadar air 7,318%; kadar sari yang larut dalam air 2,883%; kadar sari yang larut dalam etanol 10,271%; kadar abu total 5,983%; kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,52%; dan hasil penetapan kadar minyak atsiri dengan alat Stahl diperoleh kadar minyak atsiri lada putih sebesar 1,75 % v/b. Hasil penetapan indeks bias minyak atsiri lada hitam diperoleh sebesar 1,484 dan lada putih sebesar 1,485. Bobot jenis minyak atsiri lada hitam adalah sebesar 0,8669 dan lada putih 0,8671.

Hasil analisis GC-MS minyak atsiri yang diperoleh dari lada hitam menunjukkan 6 komponen dengan konsentrasi paling tinggi yaitu: beta-pinene (34,92%); alpha-beta-pinene (34,57%); camphene (8,57%); delta-3-carene (7,60%); beta-phellandrene (7,36%) dan alpha-thujene (6,99%).

Hasil analisis GC-MS minyak atsiri yang diperoleh dari lada putih menunjukkan 5 komponen dengan konsentrasi paling tinggi yaitu: alpha-thujene (60,51%); sabinene (15,14%); alpha-pinene (10,88%); delta-3-carene (7,02%); dan camphene (6,45%).


(4)

Characteristic Simplicia, Isolation also Analyzed Volatile Oil Component Black Pepper and White Pepper (Piper nigrum L.)

By GC-MS Abstract

Volatile oil represents the essential oil with the different composition with chemical physics different. Pepper (Piper nigrum L.) of the family Piperaceae is one part of species that contain volatile oil and a lot of exploited by human.

The purpose of this research include simplex characteritation, isolation of volatile oil was accomplished by water distillation and analyzed volatile oil components of black pepper and white pepper (Piper nigrum L.) by Gas Cromatography-Mass Spectrophotometry (GC-MS).

The result of simplex characteritation from peel of black pepper obtained water value 8,595%, water soluable extract value 7,388%, ethanol soluble extract value 11,415%, total ash value 5,013%, acid insoluble ash value 0,41%, the volatile oil content of black pepper 1,085% v/b. And the result of simplex characteritation from peel of white pepper obtained water value 7,318%, water soluable extract value 2,883%, ethanol soluble extract value 10,271%, total ash value 5,983%, acid insoluble ash value 0,52%, the volatile oil content of white pepper 1,75% v/b. The refractive index volatile oil of black pepper is 1,484 and white pepper is 1,485. Specific gravity of black papper is 0,8669 and white pepper is 0,8671.

The result of GC-MS analyzed of volatile oil from black pepper obtained 6 components, the major components are: beta-pinene (34,92%); alpha-pinene (34,57%); camphene (8,57%); delta-3-carene (7,60%); beta-phellandrene (7,36%) and alpha-thujene (6,99%).

The result of GC-MS analyzed of volatile oil from white pepper obtained 5 components, the major components are: alpha-thujene (60,51%); sabinene (15,14%); alpha-pinene (10,88%); delta-3-carene (7,02%); and camphene (6,45%).


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABCTRACT ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Uraian Tumbuhan Lada ... 5

2.1.1. Lada Secara Umum………. 5

2.1.2. Deskripsi Tumbuhan……… 5

2.1.3. Biji Lada……….. 6

2.1.4.Sistematika Tumbuhan………. 6


(6)

2.2. Minyak Atsiri………... 7

2.2.1.Keberadaan Minyak Atsiri pada Tumbuhan………. 7

2.2.2.Komposisi Kimia Minyak Atsiri………... 8

2.2.3. Sifat Fisikokimia Minyak Atsiri ... 9

2.2.3.1. Sifat Fisika Minyak Atsiri... 9

2.2.3.2. Sifat Kimia Minyak Atsiri... 10

2.3.Cara Isolasi Minyak Atsiri... 11

2.3.1. Metode Penyulingan... 11

2.3.2. Metode Pengepresan……… 12

2.3.3. Ekstraksi dengan Pelarut Menguap………. 13

2.3.4. Ekstraksi dengan Lemak Padat……… 13

2.4. Kromatografi Gas………. 14

2.4.1. Gas Pembawa... 15

2.4.2. Sistem Injeksi... 16

2.4.3. Kolom... 16

2.4.4. Fase Diam... 17

2.4.5. Suhu... 18

2.4.6. Detektor... 19

2.5. Spektrometri Massa (MS)... 20

BABA III METODOLOGI PERCOBAAN ... 20

3.1. Alat – alat ... 20

3.2. Bahan – bahan ... 20

3.3. Penyiapan Sampel ... 20


(7)

3.3.2. Identifikasi Tanaman ... 21

3.3.3. Pengolahan Sampel ... 21

3.4. Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 21

3.4.1. Pemeriksaan Makroskopik Simplisia ... 21

3.4.2. Pemeriksaan Mikroskopik Serbuk Simplisia ... 22

3.4.3. Penetapan Kadar Air ... 23

3.4.4. Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air ... 24

3.4.5. Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol ... 25

3.4.6. Penetapan Kadar Abu Total ... 25

3.4.7 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam ... 26

3.4.8 Penetapan Kadar Minyak Atsiri ... 26

3.5. Isolasi Minyak Atsiri ... 26

3.6. Identifikasi Minyak Atsiri ... 26

3.6.1 Penetapan Parameter Fisika ... 27

3.6.1.1. Penentuan Indeks Bias... 27

3.6.1.2. Penentuan Bobot Jenis... 27

3.6.2 Analisis Komponen Minyak Atsiri ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 29

4.1 Identifikasi Tanaman ... 29

4.2 Karakteristik Simplisia Lada Hitam dan Lada Putih... 29

4.3 Penentuan Indeks Bias dan Bobot Jenis Minyak Atsiri Hasil Isolasi ... 31

4.4 Analisis Minyak Atsiri dengan GC-MS ... 32

4.4.1. Analisis Simplisia Lada Hitam ... 33


(8)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Karakterisasi Simplisia Lada Hitam dan Lada Putih ... 13 Tabel 2. Hasil Penentuan Indeks Bias dan Bobot Jenis Minyak Atsiri ... 14 Tabel 3. Waktu Tambat dan Konsentrasi Komponen Minyak Atsiri

Simplisia Lada Hitam Hasil Analisis GC-MS ... 15

Tabel 4. Waktu Tambat dan Konsentrasi Komponen Minyak Atsiri


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kromatogram GC-MS Minyak Atsiri Hasil Destilasi Air dari

Simplisia Lada Hitam ... 16

Gambar 2. Rumus Bangun Alpha-Thujene ... 17

Gambar 3. Rumus Bangun Alpha-Pinene ... 18

Gambar 4. Rumus Bangun Delta-3-Carene... 19

Gambar 5. Rumus Bangun Camphene ... 19

Gambar 6. Rumus Bangun Beta-Phellandrene ... 20

Gambar 7. Rumus Bangun Beta-Pinene ... 21

Gambar 8. Kromatogram GC-MS Minyak Atsiri Hasil Destilasi Air dari Simplisia Lada Putih ... 22

Gambar 9. Rumus Bangun Alpha-Thujene ... 24

Gambar 10. Rumus Bangun Alpha-Pinene ... 25

Gambar 11. Rumus Bangun Camphene ... 25

Gambar 12. Rumus Bangun Sabinene ... 26

Gambar 13. Rumus Bangun Delta-3-Carene ... 27

Gambar 14. Pohon Lada ... 33

Gambar 15. Buah Lada Muda ... 33

Gambar 16. Buah Lada Tua ... 34

Gambar 17. Lada Hitam ... 34

Gambar 18. Lada Putih ... 35

Gambar 19. Serbuk Simplisia Lada Hitam ... 35

Gambar 20. Serbuk Simplisia Lada Putih... 36


(11)

Gambar 22. Mikroskopik Serbuk Simplisia Lada Putih ... 37

Gambar 23. Alat Penetapan Kadar Air ... 38

Gambar 24. Alat Stahl ... 38

Gambar 25. Alat Destilasi Air ... 39

Gambar 26. Alat Refraktometer Abbe... 39

Gambar 27. Alat Piknometer ... 40

Gambar 28. Alat GC-MS ... 40

Gambar 29. Spektrum Massa dengan Waktu Tambat (Rt) 6.361 menit ... 58

Gambar 30. Spektrum Massa dengan Waktu Tambat (Rt) 6.555 menit ... 58

Gambar 31. Spektrum Massa dengan Waktu Tambat (Rt) 6.768 menit ... 59

Gambar 32. Spektrum Massa dengan Waktu Tambat (Rt) 6.948 menit ... 59

Gambar 33. Spektrum Massa dengan Waktu Tambat (Rt) 7.364 menit ... 60

Gambar 34. Spektrum Massa dengan Waktu Tambat (Rt) 7.538 menit ... 60

Gambar 35. Spektrum Massa dengan Waktu Tambat (Rt) 6.921 menit ... 61

Gambar 36. Spektrum Massa dengan Waktu Tambat (Rt) 7.007 menit ... 61

Gambar 37. Spektrum Massa dengan Waktu Tambat (Rt) 7.399 menit ... 62

Gambar 38. Spektrum Massa dengan Waktu Tambat (Rt) 7.882 menit ... 62


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman ... 32

Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Makroskopik Tanaman Lada ... 33

Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Simplisia ... 37

Lampiran 4. Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian ... 38

Lampiran 5. Penetapan Kadar Air ... 41

Lampiran 6. Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Air... 43

Lampiran 7. Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Etanol ... 45

Lampiran 8. Penetapan Kadar Abu Total ... 47

Lampiran 9. Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut Dalam Asam ... 49

Lampiran 10. Penetapan Kadar Minyak atsiri ... 51

Lampiran 11. Penetapan Bobot Jenis Minyak Atsiri ... 53

Lampiran 12. Penetapan Indeks Bias Minyak Atsiri ... 55

Lampiran 13. Flowsheet Isolasi Minyak Atsiri Lada Hitam ... 56

Lampiran 14. Flowsheet Isolasi Minyak Atsiri Lada Putih ... 57

Lampiran 15. Spektrum Massa Minyak Atsiri Lada Hitam ... 58

Lampiran 16. Spektrum Massa Minyak Atsiri Lada Putih ... 61

Lampiran 17. Pola Fragmentasi Komponen Minyak Atsiri dari Lada Hitam dan Lada Putih ... 64


(13)

Karakterisasi Simplisia, Isolasi serta Analisis Komponen Minyak Atsiri Lada Hitam dan Lada Putih (Piper nigrum L.)

Secara GC-MS Abstrak

Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap dengan komposisi yang berbeda–beda sesuai sumber penghasilnya dan terdiri dari campuran zat yang memiliki sifat fisika kimia berbeda-beda. Lada (Piper nigrum L.) famili Piperaceae adalah salah satu tanaman yang mengandung minyak atsiri dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.

Penelitian yang dilakukan meliputi karakterisasi simplisia, isolasi minyak atsiri dengan cara destilasi air dan analisis komponen minyak atsiri lada hitam dan lada putih (Piper nigrum L.) secara Gas Cromatography-Mass Spectrophotometry (GC-MS).

Hasil karakterisasi simplisia lada hitam diperoleh kadar air 8,595%; kadar sari yang larut dalam air 7,388%; kadar sari yang larut dalam etanol 11,415%; kadar abu total 5,013%; kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,41%; hasil penetapan kadar minyak atsiri dengan alat Stahl diperoleh kadar minyak atsiri lada hitam sebesar 1,085 % v/b. Serta hasil karakterisasi simplisia lada putih diperoleh kadar air 7,318%; kadar sari yang larut dalam air 2,883%; kadar sari yang larut dalam etanol 10,271%; kadar abu total 5,983%; kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,52%; dan hasil penetapan kadar minyak atsiri dengan alat Stahl diperoleh kadar minyak atsiri lada putih sebesar 1,75 % v/b. Hasil penetapan indeks bias minyak atsiri lada hitam diperoleh sebesar 1,484 dan lada putih sebesar 1,485. Bobot jenis minyak atsiri lada hitam adalah sebesar 0,8669 dan lada putih 0,8671.

Hasil analisis GC-MS minyak atsiri yang diperoleh dari lada hitam menunjukkan 6 komponen dengan konsentrasi paling tinggi yaitu: beta-pinene (34,92%); alpha-beta-pinene (34,57%); camphene (8,57%); delta-3-carene (7,60%); beta-phellandrene (7,36%) dan alpha-thujene (6,99%).

Hasil analisis GC-MS minyak atsiri yang diperoleh dari lada putih menunjukkan 5 komponen dengan konsentrasi paling tinggi yaitu: alpha-thujene (60,51%); sabinene (15,14%); alpha-pinene (10,88%); delta-3-carene (7,02%); dan camphene (6,45%).


(14)

Characteristic Simplicia, Isolation also Analyzed Volatile Oil Component Black Pepper and White Pepper (Piper nigrum L.)

By GC-MS Abstract

Volatile oil represents the essential oil with the different composition with chemical physics different. Pepper (Piper nigrum L.) of the family Piperaceae is one part of species that contain volatile oil and a lot of exploited by human.

The purpose of this research include simplex characteritation, isolation of volatile oil was accomplished by water distillation and analyzed volatile oil components of black pepper and white pepper (Piper nigrum L.) by Gas Cromatography-Mass Spectrophotometry (GC-MS).

The result of simplex characteritation from peel of black pepper obtained water value 8,595%, water soluable extract value 7,388%, ethanol soluble extract value 11,415%, total ash value 5,013%, acid insoluble ash value 0,41%, the volatile oil content of black pepper 1,085% v/b. And the result of simplex characteritation from peel of white pepper obtained water value 7,318%, water soluable extract value 2,883%, ethanol soluble extract value 10,271%, total ash value 5,983%, acid insoluble ash value 0,52%, the volatile oil content of white pepper 1,75% v/b. The refractive index volatile oil of black pepper is 1,484 and white pepper is 1,485. Specific gravity of black papper is 0,8669 and white pepper is 0,8671.

The result of GC-MS analyzed of volatile oil from black pepper obtained 6 components, the major components are: beta-pinene (34,92%); alpha-pinene (34,57%); camphene (8,57%); delta-3-carene (7,60%); beta-phellandrene (7,36%) and alpha-thujene (6,99%).

The result of GC-MS analyzed of volatile oil from white pepper obtained 5 components, the major components are: alpha-thujene (60,51%); sabinene (15,14%); alpha-pinene (10,88%); delta-3-carene (7,02%); and camphene (6,45%).


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Minyak atsiri yang juga disebut minyak eteris merupakan minyak yang mudah menguap dengan komposisi yang berbeda-beda sesuai sumber penghasilnya. Minyak atsiri bukan merupakan zat kimia tunggal murni, melainkan merupakan campuran zat-zat yang memiliki sifat fisika kimia berbeda-beda. Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut minyak atsiri, misalnya dalam bahasa Inggris disebut essential oils, ethereal oils dan volatile oils. Dalam bahasa Indonesia ada yang menyebutnya minyak terbang, bahkan ada pula yang menyebutnya minyak kabur (Lutony & Rahmayani, 1994).

Penggunaan minyak atsiri sangat luas dan spesifik, khususnya dalam berbagai bidang industri, misalnya untuk pembuatan kosmetik (sabun, pasta gigi, sampo, lotion dan parfum), dalam industri makanan digunakan sebagai bahan penyedap atau penambah cita rasa (flovouring agent), dalam industri farmasi atau obat–obatan digunakan sebagai antibakteri, dalam industri parfum sebagai pewangi, juga digunakan sebagai insektisida. Oleh karena itu, tidak heran jika minyak atsiri banyak diburu oleh berbagai negara dan menjadi komoditi perdagangan utama dunia selama bertahun-tahun (Lutony dan Rahmayati, 2000).

Biji lada merupakan bahan yang sudah dikenal lama, tanamannya banyak ditanam di Negara India, Arab dan Ceylon. Dengan berkembangnya sejarah, tanaman lada masuk ke Indonesia yang hingga saat ini masih berpusat di Sumatera Selatan (Jambi, Lampung dan pulau Bangka). Tanaman lada (Piper


(16)

nigrum L.) termasuk suku Piperaceae. Dari tanaman lada ini, bijinya digemari dan merupakan komoditi ekspor. Dua sifat biji lada yang khas, yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas menyebabkan biji lada banyak sekali dipergunakan sebagai bahan penyedap atau peningkat rasa makanan. Aroma biji lada adalah akibat adanya minyak atsiri yang terdapat dalam biji lada tersebut. Di samping penggunaan sebagai bahan penyedap, biji lada juga banyak dimanfaatkan dalam obat-obatan modern maupun tradisional, antara lain sebagai stimulan pengeluaran keringat, obat untuk mengeluarkan angin serta peningkat selera makan (Lenny & Herlina, 1991).

Isolasi minyak atsiri dapat dilakukan dengan berbagai macam metode seperti penyulingan, pengepresan, ekstraksi dengan pelarut menguap, ekstraksi dengan lemak padat. Namun, sebagian besar minyak atsiri diperoleh melalui metode penyulingan air yang dikenal juga dengan hidrodestilasi (Lutony & Rahmayati, 1994).

Meskipun proses isolasi minyak atsiri melalui metode penyulingan merupakan model tertua, tetapi hingga kini masih banyak dilakukan oleh para perajin minyak atsiri di berbagai negara, khususnya negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia (Lutony & Rahmayati, 1994).

Berdasarkan pertimbangan di atas, penulis ingin meneliti komponen minyak atsiri dari lada hitam dan lada putih dengan mengkarakterisasi simplisia, isolasi secara destilasi air (Water distilation) dan penetapan kadar minyak atsiri menggunakan alat stahl. Selanjutnya komponen minyak atsiri dianalisis secara GC-MS. Lada diambil dari Desa Aek Bingke Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal.


(17)

(18)

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil perumusan masalah yaitu:

1. Apakah karakterisasi simplisia lada hitam dan lada putih yang diteliti memenuhi persyaratan yang ada di MMI?

2. Apakah ada perbedaan karakterisasi simplisia dan komponen minyak atsiri dari simplisia lada hitam dengan komponen minyak atsiri simplisia lada putih?

1.3. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka dibuat hipotesis yaitu: 1. Simplisia lada hitam dan lada putih yang diteliti memenuhi persyaratan

yang terdapat dalam MMI.

2. Ada perbedaan karakterisasi simplisia dan komponen penyusun minyak atsiri dari simplisia lada hitam dengan komponen minyak atsiri simplisia lada putih.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk meningkatkan pemanfaatan lada hitam dan lada putih dengan cara karakterisasi simplisia, isolasi dan analisis komponen minyak atsiri.

2. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan karakterisasi dan analisa komponen dari simplisia lada hitam dan lada putih.


(19)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai komponen minyak atsiri yang terdapat dalam simplisia lada hitam dan lada putih sehingga dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan untuk dapat mengembangkan penelitian bahan alam penghasil minyak atsiri yang terdapat di Indonesia.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Tumbuhan Lada 2.1.1. Lada secara Umum

Genus Piper ditemukan oleh Linnaeus dan memiliki banyak spesies. Sekitar 600 – 2.000 spesies di antaranya tersebar di daerah tropis. Dari jumlah

tersebut, terdapat beberapa spesies yang telah dibudidayakan (Rukmana, 2003).

2.1.2. Deskripsi Tumbuhan

Lada merupakan tanaman rempah yang sudah lama ditanam di Indonesia. Tanaman ini berasal dari Ghats-Malabar India dan di negara asalnya terdapat tidak kurang dari 600 jenis varietas, sementara itu di Indonesia terdapat tidak kurang dari 40 varietas. Adapun varietas lada yang banyak dikembangkan di Indonesia antara lain: Jambi, Lampung, Bulok Belantung, Muntok atau Bangka. Di alam sendiri mungkin sudah terjadi evaluasi perkayaan plasma nutfah lada sebagai akibat mutasi alami yang mungkin saja dapat timbul dalam upaya penyesuaian diri (aklimatisasi) dengan keadaan lingkungan daerah penanamannya. Secara umum syarat tanaman lada minimal mempunyai :

1. Elevasi (ketinggian) berkisar dari 10–500 m dpl, 2. Curah hujan di atas 2.000 mm per tahun,

3. Suhu berkisar antara 25º - 26,5º C

4. Ketinggian air tanah relatif dalam (air tanah 0,5 M di bawah tanah) sedangkan untuk tanah gambut tidak ditolerir oleh tanaman lada.


(21)

Buah merupakan produksi pokok daripada hasil tanaman lada. Buah lada mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:

Bentuk dan warna buah: buah lada berbentuk bulat, berbiji keras dan berkulit buah yang lunak. Kulit buah yang masih muda berwarna hijau, sedangkan yang tua berwarna kuning. Dan apabila buah sudah masak berwarna merah, berlendir dengan rasa manis. Maka buah lada disukai burungburung berkicau. Sesudah dikeringkan lada itu berwarna hitam. Kedudukan buah: buah lada merupakan buah duduk, yang melekat pada malai. Besar kulit dan bijinya 4-6 mm. Sedangkan besarnya biji 3-4 mm. Berat 100 biji kurang lebih 38 gr atau rata-rata 4,5 gr. Keadaan kulit buah: kulit buah atau pericarp terdiri dari 3 bagian, ialah: a. Epicarp = kulit luar

b. Mesocarp = kulit tengah c. Endocarp = kulit dalam

Biji: di dalam kulit ini terdapat biji-biji yang merupakan produk dari lada, biji-biji ini juga mempunyai lapisan kulit yang keras (Sutarno dan Agus Andoko, 2005).

2.1.4. Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan lada adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Piperales Suku : Piperaceae Marga : Piper


(22)

2.1.5. Kandungan Kimia

Kandungan kimia dari buah lada adalah minyak atsiri mengandung felandren, dipenten, kariopilen, enthoksilin, limonen, alkaloida piperina dan kavisina.

2.2. Minyak Atsiri

Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap (volatile oil), minyak eteris (ethereal oil), atau minyak esensial (essential oil). Dalam keadaan segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak berwarna, namun pada penyimpanan lama warnanya berubah menjadi lebih gelap karena oksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus terlindung dari pengaruh cahaya, diisi penuh, ditutup rapat serta disimpan di tempat yang kering dan gelap (Gunawan & Mulyani, 2004).

2.2.1. Keberadaan Minyak Atsiri pada Tumbuhan

Dalam tumbuhan, minyak atsiri terdapat dalam berbagai jaringan, seperti di dalam rambut kelenjar (pada suku Labiatae), di dalam sel-sel parenkim (pada suku Zingiberaceae dan Piperaceae), di dalam saluran minyak (pada suku Umbelliferae), di dalam rongga-rongga skizogen dan lisigen (pada suku Myrtaceae, Pinaceae dan Rutaceae), terkandung di dalam semua jaringan (pada suku Coniferae).

Pada tumbuhan, minyak atsiri berperan sebagai pengusir serangga pemakan daun. Sebaliknya minyak atsiri dapat berfungsi sebagai penarik serangga guna membantu proses penyerbukan dan sebagai cadangan makanan (Gunawan & Mulyani, 2004).


(23)

Pada umumnya perbedaan komposisi minyak atsiri disebabkan perbedaan jenis tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panen, metode ekstraksi yang digunakan dan cara penyimpanan minyak (Ketaren, 1985).

Minyak atsiri biasanya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O), serta beberapa persenyawaan kimia yang mengandung unsur Nitrogen (N) dan Belerang (S). Pada umumnya komponen kimia minyak atsiri dibagi menjadi dua golongan yaitu :

a. Golongan Hidrokarbon (Terpen)

Persenyawaan yang termasuk golongan ini terbentuk dari unsur Karbon (C) dan Hidrogen (H). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak atsiri sebagian besar terdiri dari monoterpen (2 unit isopren) dan sesquiterpen (3 unit isopren).

b. Golongan Hidrokarbon Teroksigenasi (Terpenoid)

Komponen kimia dari golongan persenyawaan ini terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dalam golongan ini adalah persenyawaan alkohol, aldehid, keton, ester, eter dan peroksid. Ikatan karbon yang terdapat dalam molekulnya dapat terdiri dari ikatan tunggal, ikatan rangkap dua dan ikatan rangkap tiga. Golongan hidrokarbon teroksigenasi merupakan senyawa yang penting dalam minyak atsiri karena umumnya mempunyai aroma yang lebih wangi (Ketaren, 1985).


(24)

Analisa sifat fisikokimia dilakukan untuk mendeteksi pemalsuan, mengevaluasi mutu dan kemurnian minyak serta mengidentifikasi jenis dan kegunaan minyak atsiri.

2.2.3.1. Sifat Fisika Minyak Atsiri

Masing-masing minyak atsiri mempunyai konstituen kimia yang berbeda, tetapi dari segi fisikanya banyak yang sama. Minyak atsiri yang baru diekstraksi (masih segar) umumnya tidak berwarna atau berwarna kekuning-kuningan. Sifat-sifat fisika minyak atsiri, yaitu 1) bau yang karakteristik, 2) mempunyai indeks bias yang tinggi, 3) bersifat optis aktif dan 4) mempunyai sudut putar optik (optical rotation) yang spesifik. Parameter yang dapat digunakan untuk tetapan fisika minyak atsitri antara lain :

a. Bobot Jenis

Bobot jenis adalah perbandingan bobot zat di udara pada suhu 250

b. Indeks Bias

C terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Penentuan bobot jenis menggunakan alat piknometer. Bobot jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan kemurnian minyak atsiri (Guenther, 1987).

Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya dalam udara dan kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Jika cahaya melewati media kurang padat ke media lebih padat, maka sinar akan membelok atau “membias” dari garis normal. Penentuan indeks bias menggunakan alat refraktometer. Indeks bias berguna untuk identifikasi suatu zat dan deteksi ketidakmurnian (Guenther, 1987).


(25)

Setiap jenis minyak atsiri mempunyai kemampuan memutar bidang polarisasi cahaya ke arah kiri atau kanan. Besarnya pemutaran bidang polarisasi ditentukan oleh jenis minyak atsiri, suhu dan panjang gelombang cahaya yang digunakan. Penentuan putaran optik menggunakan alat polarimeter (Ketaren, 1985).

2.2.3.2. Sifat Kimia Minyak Atsiri

Minyak atsiri mempunyai sifat kimia yang khas, dimana perubahan sifat kimia minyak atsiri merupakan ciri dari kerusakan minyak yang mengakibatkan perubahan sifat kimia minyak, misalnya oleh proses oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi (resinifikasi).

a. Oksidasi

Reaksi oksidasi pada minyak atsiri terutama terjadi pada ikatan rangkap dalam terpen. Peroksida yang bersifat labil akan berisomerisasi dengan adanya air, sehingga membentuk senyawa aldehid, asam organik dan keton yang menyebabkan perubahan bau yang tidak dikehendaki (Ketaren, 1985).

b. Hidrolisis

Proses hirolisis terjadi dalam minyak atsiri yang mengandung ester. Proses hidrolisis ester merupakan proses pemisahan gugus OR dalam molekul ester sehingga terbentuk asam bebas dan alkohol. Ester akan terhidrolisis secara sempurna dengan adanya air dan asam sebagai katalisator (Ketaren, 1985).

c. Resinifikasi (polimerisasi)

Beberapa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin, yang merupakan senyawa polimer. Resin ini dapat terbentuk selama proses pengolahan (ekstraksi) minyak yang mempergunakan tekanan dan suhu tinggi serta selama


(26)

penyimpanan. Resinifikasi menyebabkan minyak atsiri memadat dan berwarna gelap (cokelat) (Ketaren, 1985).

2.3. Cara Isolasi Minyak Atsiri

Isolasi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1) penyulingan (distillation), 2) pengepresan (pressing), 3) ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction), 4) ekstraksi dengan lemak padat, 5) ecuelle.

2.3.1. Metode Penyulingan

a. Penyulingan dengan air (water distillation)

Pada metode ini, bahan tumbuhan direbus dalam air mendidih dalam satu wadah. Minyak atsiri akan dibawa oleh uap air yang kemudian didinginkan dengan mengalirkannya melalui pendingin. Hasil sulingan adalah minyak atsiri yang belum murni. Perlakuan ini sesuai untuk minyak atsiri yang tidak rusak oleh pemanasan (Guenther, 1987).

b. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation)

Bahan tumbuhan yang akan disuling dengan metode penyulingan air dan uap ditempatkan dalam suatu tempat yang bagian bawah dan tengah berlobang-lobang yang ditopang di atas dasar alat penyulingan. Ketel diisi dengan air sampai permukaan air berada tidak jauh di bawah saringan, uap air akan naik bersama minyak atsiri kemudian dialirkan melalui pendingin. Hasil sulingannya adalah minyak atsiri yang belum murni (Guenther, 1987).


(27)

Pada metode ini bahan tumbuhan dialiri uap panas dengan tekanan tinggi. Uap air selanjutnya dialirkan melalui pendingin dan hasil sulingan adalah minyak atsiri yang belum murni. Cara ini baik digunakan untuk bahan tumbuhan yang mempunyai titik didih yang tinggi (Guenther, 1987).

2.3.2. Metode Pengepresan

Ekstraksi minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnya dilakukan terhadap bahan berupa biji, buah, atau kulit buah yang memiliki kandungan minyak atsiri yang cukup tinggi. Akibat tekanan pengepresan, maka sel-sel yang mengandung minyak atsiri akan pecah dan minyak atsiri akan mengalir ke permukaan bahan. (Ketaren, 1985).

2.3.3. Ekstraksi dengan Pelarut Menguap

Prinsipnya adalah melarutkan minyak atsiri dalam pelarut organik yang mudah menguap. Ekstraksi dengan pelarut organik pada umumnya digunakan mengekstraksi minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan uap dan air, terutama untuk mengekstraksi minyak atsiri yang berasal dari bunga misalnya bunga cempaka, melati, mawar dan kenanga. Pelarut yang umum digunakan adalah petroleum eter, karbon tetra klorida dan sebagainya (Ketaren, 1985).

2.3.4. Ekstraksi dengan Lemak Padat

Proses ini umumnya digunakan untuk mengekstraksi bunga-bungaan, untuk mendapatkan mutu dan rendeman minyak atsiri yang tinggi. Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu enfleurasi dan maserasi.


(28)

Pada proses ini, absorbsi minyak atsiri oleh lemak digunakan pada suhu rendah (keadaan dingin) sehingga minyak terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh panas. Metode ini digunakan untuk mengekstraksi beberapa jenis minyak bunga yang masih melanjutkan kegiatan fisiologisnya dan memproduksi minyak setelah bunga dipetik. Hasilnya disebut ekstrait (Ketaren, 1985).

b. Maserasi (Maceration)

Pada cara ini absorbsi minyak atsiri oleh lemak dalam keadaan panas pada suhu 80o

2.3.5. Ecuelle

C selama 1,5 jam. Cara ini dilakukan terhadap bahan tumbuhan yang bila dilakukan penyulingan atau enfleurasi akan menghasilkan minyak atsiri dengan rendeman yang rendah. Setelah selesai pemanasan, campuran disaring panas-panas, jika perlu kelebihan lemak pada ampas disiram dengan air panas. Kemudian dilakukan penyulingan untuk memperoleh minyak atsiri (Ketaren, 1985).

Metode ini digunakan untuk mengisolasi minyak atsiri yang terdapat pada buah-buahan seperti jeruk dengan cara menembus lapisan epidermis sampai ke dalam jaringan yang mengandung minyak atsiri. Buah-buahan digelindingkan di atas papan yang permukaannya bergerigi runcing untuk melukai kulit buah. Kemudian tetesan minyak yang keluar dikumpulkan dalam suatu wadah (Claus, 1970).

2.4. Kromatografi Gas

Kromatografi gas digunakan untuk memisahkan komponen campuran kimia dalam suatu bahan, berdasarkan perbedaan polaritas campuran komponen-komponen sampel. Fase gerak akan membawa campuran sampel menuju kolom


(29)

fasa diam. Campuran dalam fase gerak akan berinteraksi dengan fase diam. Setiap komponen yang terdapat dalam campuran berinteraksi dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda dimana interaksi komponen sampel dengan fase diam dengan waktu yang paling singkat akan keluar pertama dari kolom dan yang paling lama akan keluar paling akhir (Eaton, 1998).

Waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan di kolom disebut waktu tambat (waktu retensi, retention time, Rt) yang diukur mulai saat penyuntikan sampel sampai saat elusi terjadi (dihasilkan puncak atau peak) (Gritter, dkk., 1991).

Menurut Eaton (1989), hal yang mempengaruhi waktu retensi (Rt) yaitu :

1. Sifat senyawa sampel, semakin sama kepolaran molekul sampel dengan kolom fasa diam dan makin kurang keatsiriannya maka akan tertahan lebih lama di kolom dan sebaliknya.

2. Sifat adsorben, semakin sama kepolaran maka senyawa akan semakin lama tertahan dan sebaliknya.

3. Konsentrasi adsorben, semakin banyak adsorben maka senyawa semakin lama tertahan dan sebaliknya.

4. Temperatur kolom, semakin rendah temperatur maka senyawa semakin lama tertahan dan sebaliknya.

5. Aliran gas pembawa, semakin lemah aliran gas maka senyawa semakin lama tertahan dan sebaliknya.

6. Panjang kolom, semakin panjang kolom, akan menahan senyawa lebih lama dan sebaliknya.


(30)

Bagian utama dari kromatografi gas adalah gas pembawa, sistem injeksi, kolom, fase diam, suhu, dan detektor.

2.4.1. Gas Pembawa

Gas pembawa harus memenuhi persyaratan antara lain harus inert, murni, dan mudah diperoleh. Pemilihan gas pembawa tergantung pada detektor yang dipakai. Keuntungannya adalah karena semua gas ini harus tidak reaktif, dapat dibeli dalam keadaan murni dan kering yang dapat dikemas dalam tangki bertekanan tinggi. Gas pembawa yang sering dipakai adalah Helium (He), Argon (Ar), Nitrogen (N2), Hidrogen (H2), dan Karbon dioksida (CO2

2.4.2. Sistem Injeksi

) (Agusta, 2000).

Cuplikan dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik (injection port), biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet (rubber septum). Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri, terpisah dari kolom, dan biasanya pada suhu 10-15o

2.4.3. Kolom

C lebih tinggi dari suhu kolom. Jadi seluruh cuplikan diuapkan segera setelah disuntikkan dan dibawa ke kolom (Gritter, dkk., 1991).

Kolom dapat dibuat dari tembaga, baja nirkarat (stainless steel), aluminium, dan kaca yang berbentuk lurus, lengkung, melingkar. Ada dua macam kolom, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler (Agusta, 2000; MCNair dan Bonelli, 1988).

Kolom kemas adalah pipa yang terbuat dari logam, kaca atau plastik yang berisi penyangga padat yang inert. Fase diam, baik berwujud padat maupun cair, diserap atau terikat secara kimia pada permukaan penyangga padat tersebut.


(31)

Kolom kemas (packed column) mempunyai diameter 0,5 cm dan panjang sampai 5-10 meter m (Agusta, 2000).

Kolom kapiler kini lebih banyak digunakan untuk menganalisis komponen minyak atsiri. Hal ini disebabkan oleh kelebihan kolom tersebut yang memberikan hasil analisis dengan daya pisah yang tinggi dan sekaligus memiliki sensitivitas yang tinggi. Bahan kolom biasanya dari gelas baja tahan karat atau silika. Fase diam bersifat sebagai cairan berupa lapisan film dilapiskan pada dinding kolom bagian dalam. Keuntungan kolom kapiler adalah jumlah sampel yang dibutuhkan sedikit dan pemisahan lebih sempurna. Kolom kapiler biasanya mempunyai diameter 0,1 mm dan mencapai panjang 30 m (Agusta, 2000).

2.4.4. Fase Diam

Fase diam dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu nonpolar, sedikit polar, semi polar, polar dan sangat polar. Berdasarkan kepolaran minyak atsiri yang non polar sampai sedikit polar, maka untuk keperluan analisis sebaiknya digunakan kolom fase diam yang bersifat sedikit polar, misalnya SE-52 dan SE-54 (Agusta, 2000).

2.4.5. Suhu

Tekanan uap sangat tergantung pada suhu, maka suhu merupakan faktor utama dalam GC. Pada GC-MS terdapat tiga pengendali suhu yang berbeda, yaitu : suhu injektor, suhu kolom, suhu detektor.

Suhu injektor

Suhu pada injektor harus cukup panas untuk menguapkan cuplikan sedemikian cepat. Tapi sebaliknya, suhu harus cukup rendah untuk mencegah


(32)

peruraian atau penataan ulang kimiawi (rearrangement) akibat panas (McNair dan Bonelli, 1988).

Suhu Kolom

Pemisahan dapat dilakukan pada suhu tetap (isotermal), atau pada suhu yang berubah secara terkendali (suhu diprogram, temperature programming). GC isotermal paling baik dilakukan pada analisis rutin atau jika kita mengetahui agak banyak mengenai sifat sampel yang akan dipisahkan. Pilihan awal yang baik adalah suhu beberapa derajat di bawah titik didih komponen utama sampel. Pada GC suhu diprogram, suhu dinaikkan mulai dari suhu tertentu sampai suhu tertentu yang lain dengan laju yang diketahui dan terkendali dalam waktu tertentu. Penaikkan suhu dapat secara linear dengan laju yang kita tentukan, bertahap, isotermal yang diikuti dengan peningkatan secara linear, linear diikuti dengan isotermal, atau multilinear (laju berbeda saat berlainan) (Gritter, dkk., 1991).

Suhu Detektor

Detektor harus cukup panas sehingga cuplikan dan air atau hasil samping yang terbentuk pada proses pengionan tidak mengembun (McNair dan Bonelli, 1988).

2.4.6. Detektor

Menurut McNair dan Bonelli (1988) ada dua detektor yang populer yaitu detektor hantar-termal (thermal conductivity detector) dan detektor pengion nyala (flame ionization detector).

a. Detektor hantar-termal (Thermal Conductivity Detector , TCD)

Detektor ini menggunakan kawat pijar wolfram yang dipanaskan dengan dialiri arus listrik yang tetap. Gas pembawa mengalir terus menerus melewati


(33)

kawat pijar yang panas itu dan suhu dibuat dengan laju tetap. Bila molekul cuplikan yang bercampur dengan gas pembawa melewati kawat pijar meningkat. Perubahan tahanan ini mudah diukur dengan jembatan Wheatstone dan sinyalnya ditangkap oleh perekam dan tampak sebagai suatu puncak. Prinsip kerjanya didasarkan pada kenyataan bahwa kemampuan suatu gas menghantar panas dari kawat pijar merupakan fungsi bobot molekul gas tersebut.

b. Detektor pengion nyala (Flame Ionization Detector , FID)

Hidrogen dan udara digunakan untuk menghasilkan nyala. Suatu elektroda pengumpul yang bertegangan arus searah ditempatkan diatas nyala dan mengukur hantaran nyala. Dengan hidrogen murni, hantaran sangat rendah, tetapi ketika senyawa organik dibakar, hantaran naik dan arus yang mengalir dapat diperkuat ke perekam.

Jenis detektor lain adalah Flame Photometric Detector (FPD) yang digunakan untuk indikasi selektif dari fosfor dan sulfur. Nitrogen Phosphorous Detector (NPD) yang digunakan untuk senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen dan fosfor. Electron Capture Detector (ECD) yang digunakan untuk senyawa-senyawa organik kelompok elektrofilik (elektro negatif), seperti halogen, peroksida dan nitro. Mass Spectrometric Detector (MSD) yaitu merupakan sambungan langsung dari suatu spektrometer massa dengan suatu kolom dalam kromatografi gas kapiler.

2.5. Spektrometri Massa (MS)

Pada spektrometri massa EI-MS molekul senyawa organik (sampel) ditembak dengan berkas elektron dan menghasilkan ion bermuatan positif yang mempunyai energi yang tinggi karena lepasnya elektron dari molekul yang dapat


(34)

pecah menjadi ion positif yang lebih kecil (ion fragmen). Spektrum massa merupakan grafik antara limpahan relatif lawan perbandingan massa/muatan (m/z, m/e) (Sastrohamidjojo, 1985).

Keuntungan utama spektrometri massa sebagai metode analisis yaitu metode ini lebih sensitif dan spesifik untuk identifikasi senyawa yang tidak diketahui atau untuk menetapkan keberadaan senyawa tertentu. Hal ini disebabkan adanya pola fragmentasi yang khas sehingga dapat memberikan informasi mengenai bobot molekul dan rumus molekul. Puncak ion molekul penting dikenali karena memberikan bobot molekul senyawa yang diperiksa. Puncak paling kuat (tertinggi) pada spektrum, disebut puncak dasar (base peak), dinyatakan dengan nilai 100% dan kekuatan puncak lain, termasuk puncak ion molekulnya dinyatakan sebagai persentase puncak dasar tersebut (Silverstein, 1984).


(35)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian meliputi penyiapan sampel, karakterisasi simplisia, isolasi dan analisis komponen minyak atsiri dari simplisia lada hitam dan lada putih secara GC-MS.

2.1. Alat-alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian adalah alat-alat gelas laboratorium, neraca kasar (ohaus), neraca listrik (mettler Toledo), seperangkat alat Stahl, seperangkat alat destilasi air, oven, mikroskop, Gas Chromatography-Mass Spectrometer (GC-MS) model Shimadzu QP 2010 S.

2.2. Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah lada hitam dan lada putih, natrium sulfat anhidrat (E. Merck), toluen (E. Merck), kloroform (E. Merck), etanol 96 %, air suling dan n-heksan (E. Merck).

2.3. Penyiapan Sampel

Penyiapan sampel meliputi pengambilan sampel, identifikasi tanaman, serta pengolahan sampel.

2.3.1. Pengambilan Sampel

Sampel buah lada (Piperis nigri fructus) diambil dari Desa Aek Bingke Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu secara sengaja tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain.


(36)

2.3.2. Identifikasi Tanaman

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor. Hasil identifikasi sampel dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 32.

2.3.3. Pengolahan Sampel

Sampel yang digunakan adalah buah lada (Piperis nigri fructus). Buah dibersihkan dari kotoran dengan cara dicuci, disortasi lalu ditiriskan dan ditimbang. Selanjutnya buah lada yang belum masak dijadikan sebagai lada hitam dan buah lada yang telah tua dijadikan sebagai lada putih.

Pengolahan lada hitam dilakukan dengan cara buah lada yang belum masak dikeringkan di lemari pengering pada suhu tidak lebih dari 40o

Pengolahan lada putih dilakukan dengan cara buah lada yang telah tua ditandai dengan buah berwarna jingga sampai merah, direndam dalam karung goni selama 7 hari sampai 14 hari dalam air hingga kulitnya mengelupas. Kemudian dicuci bersih dan dikeringkan di lemari pengering pada suhu tidak lebih dari 40

C hingga berwana hitam kecoklatan.

o

Selanjutnya lada hitam dan lada putih di sortasi kering yaitu memisahkan benda-benda asing atau pengotoran-pengotoran jika ada. Setelah itu ditimbang, kemudian disimpan pada wadah plastik kedap udara untuk mencegah pengaruh lembab dan pengotoran lain. Selanjutnya simplisia dihaluskan menggunakan blender menjadi serbuk simplisia ketika akan digunakan saat penelitian.


(37)

2.4. Pemeriksaan Karakteristik Simplisia 2.4.1. Pemeriksaan Makroskopik Simplisia

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk luar dari simplisia buah lada. Gambar dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 33-36.

2.4.2. Pemeriksaan Mikroskopik Serbuk Simplisia

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia. Serbuk simplisia ditaburkan di atas kaca objek, lalu diteteskan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati dibawah mikroskop. Untuk melihat minyak atsiri serbuk simplisia diletakkan di atas kaca objek yang telah ditetesi sudan III. Gambar dapat dilihat pada lampiran 3 halaman 37.

2.4.3. Penetapan Kadar Air a. Penjenuhan Toluen

Sebanyak 200 ml toluen dimasukkan kedalam labu alas bulat, lalu ditambahkan 2 ml air suling, kemudian alat dipasang dan dilakukan destilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama ± 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,5 ml.

b. Penetapan Kadar Air Simplisia

Kemudian kedalam labu tersebut dimasukkan 5 gram serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, lalu dipanaskan hati–hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume


(38)

air dibaca dengan ketelitian 0,5 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kadar air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992). Gambar dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 38.

2.4.4. Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air – kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 1050

2.4.5. Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96 % dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 1050

2.4.6. Penetapan Kadar Abu Total

C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

Sebanyak 2 gram serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan–lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan


(39)

pada suhu 500 - 6000

2.4.7. Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam

C selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995; WHO, 1992)

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu didihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dan dipijarkan sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

2.4.8. Penetapan Kadar Minyak Atsiri

Penetapan kadar minyak atsiri dilakukan dengan menggunakan alat Stahl. Caranya : sebanyak 15 gram simplisia yang telah diserbukkan dimasukkan kedalam labu alas bulat berleher pendek, lalu ditambahkan air suling sebanyak 300 ml. Labu diletakkan diatas pemanas listrik, lalu dihubungkan dengan pendingin dan alat penampung berskala. Buret diisi dengan air sampai penuh, selanjutnya dilakukan destilasi. Setelah penyulingan selesai, biarkan tidak kurang dari 15 menit, catat volume minyak atsiri pada buret. Hitung kadar minyak atsiri dalam % v/b (Depkes RI, 1995). Gambar dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 38.

2.5. Isolasi Minyak Atsiri

Isolasi minyak atsiri dilakukan dengan metode penyulingan air (water distillation). Penyulingan dilakukan dengan menggunkan alat destilasi air.

Caranya: 200 g sampel yang telah dirajang dimasukkan dalam labu alas datar berleher panjang 2 liter ditambahkan akuades sampai sampel terendam. Kemudian


(40)

dirangkai alat destilasi air. Destilasi dilakukan selama 4 jam. Minyak atsiri yang diperoleh ditampung dalam corong pisah setelah itu dipisahkan antara minyak dan air. Kemudian minyak atsiri yang diperoleh ditambahkan natrium sulfat anhidrat, dikocok dan didiamkan selama 1 hari. Minyak atsiri dipipet dan disimpan dalam botol berwarna gelap (Ketaren, 1985). Gambar dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 39.

2.6. Identifikasi Minyak Atsiri 2.6.1. Penetapan Parameter Fisika 2.6.1.1. Penentuan Indeks Bias

Penentuan indeks bias dilakukan menggunakan alat Refraktometer Abbe. Caranya: Alat Refraktometer Abbe dihidupkan. Prisma atas dan prisma bawah dipisahkan dengan membuka klem dan dibersihkan dengan mengoleskan kapas yang telah dibasahi dengan alkohol. Cuplikan minyak diteteskan ke prisma bawah lalu ditutup. Melalui teleskop dapat dilihat adanya bidang terang dan bidang gelap lalu skrup pemutar prisma diputar sedemikian rupa, sehingga bidang terang dan gelap terbagi atas dua bagian yang sama secara vertikal. Dengan melihat skala dapat dibaca indeks biasnya. Gambar dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 39.

2.6.1.2. Penentuan Bobot Jenis

Penentuan bobot jenis dilakukan dengan menggunakan alat Piknometer. Caranya: Piknometer kosong ditimbang dengan seksama, lalu diisi dengan air suling dan ditimbang. Kemudian piknometer dikosongkan dan dibilas beberapa kali dengan alkohol dan dikeringkan dengan bantuan hairdryer. Piknometer diisi dengan minyak selanjutnya dilakukan seperti pengerjaan pada air suling. Hasil bobot minyak atsiri diperoleh dengan mengurangkan bobot piknometer yang diisi


(41)

minyak atsiri dengan bobot piknometer kosong. Bobot jenis minyak atsiri adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot minyak atsiri dengan bobot air suling dalam piknometer (Depkes RI, 1995). Gambar dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 40.

2.6.2. Analisis Komponen Minyak Atsiri

Penentuan komponen minyak atsiri yang diperoleh dari simplisia lada hitam dan lada putih dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU dengan menggunakan seperangkat alat Gas Chromatography-Mass Spectrometer (GC-MS) model Shimadzu QP 2010S.

Kondisi analisis adalah jenis kolom kapiler Rtx-5MS, dengan panjang kolom 30 m, diameter kolom 0,25 mm, suhu injektor 220oC, gas pembawa He dengan laju alir 0,5 ml/menit. Suhu kolom terprogram (temperature programming) dengan suhu awal 70oC selama 5 menit, lalu dinaikan perlahan-lahan dengan rate kenaikan 5,0oC/menit sampai mencapai suhu akhir 280o

Cara identifikasi komponen minyak atsiri adalah dengan membandingkan spektrum massa dan komponen minyak atsiri yang diperoleh (Unkwonn) dengan data Library yang memiliki tingkat kemiripan (Similarity Indeks) tertinggi. Gambar dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 40.

C yang dipertahankan.


(42)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Identifikasi Tanaman

Hasil identifikasi yang dilakukan di Pusat Penelitian Biologi–LIPI Bogor terhadap tumbuhan buah lada yang diteliti adalah jenis Piper nigrum L. dari suku Piperaceae. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 32.

3.2. Karakteristik Simplisia Lada Hitam dan Lada Putih

Hasil pemeriksaan makroskopik untuk simplisia lada hitam dicirikan dengan berbentuk hampir bulat, warna coklat kelabu sampai hitam kecoklatan, garis tengah lebih kurang 2,5 mm sampai 6mm; permukaan berkeriput kasar, dalam serupa jala; pada ujung buah terdapat sisa dari kepala putik yang tidak bertangkai. Lada putih dicirikan dengan berbentuk hampir bulat, warna putih gading, permukaan rata, garis tengah lebih kurang 2 mm sampai 5 mm.

Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk lada hitam adalah perisperm dengan butir pati, parenkim dengan minyak atsiri, sel batu dari hipodermis, dan sel batu dari endokrap. Hasil pemeriksaan mikroskopik lada putih adalah parenkim dengan minyak atsiri, sel batu dari endocarp, perisperm dengan butir pati.


(43)

Tabel 1. Hasil Karakterisasi Simplisia Lada Hitam dan Lada Putih

No Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia

Kadar yang diperoleh (%)

Syarat Menurut MMI (%) Lada Hitam Lada Putih

1. Penetapan kadar air 8,595 7,318 Tidak lebih dari 10 2. Penetapan kadar sari yang

larut dalam air

7,388 2,883 Tidak kurang dari 2,5 3. Penetapan kadar sari yang

larut dalam etanol

11,415 10,271 Tidak kurang dari 8 4. Penetapan kadar abu total 5,013 5,983 Tidak lebih

dari 6 5. Penetapan kadar abu yang

tidak larut dalam asam

0,41 0,52 Tidak lebih dari 1 6. Penetapan kadar minyak

atsiri

1,085 1,75 Tidak kurang dari 1 % Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 41-52.

Kadar air dalam simplisia menunjukkan jumlah air yang terkandung dalam simplisia yang digunakan, dari hasil penelitian diperoleh kadar air simplisia lada hitam 8,595 % dan lada putih 7,318 %. Kadar air simplisia berhubungan dengan proses pengeringan, kadar air ditentukan untuk mengetahui bahwa simplisia yang digunakan tidak ditumbuhi jamur dan aman digunakan.

Pengeringan merupakan suatu usaha untuk menurunkan kadar air bahan sampai tingkat yang diinginkan. Dengan kadar air yang cukup aman maka simplisia tidak mudah rusak dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Apabila simplisia yang dihasilkan tidak cukup kering maka akan terjadi pertumbuhan jamur dan jasad renik lainnya. Simplisia dinilai cukup aman bila mempunyai kadar air kurang dari 10% (Syukur dan Hermani, 2001).

Penetapan kadar sari simplisia menyatakan jumlah zat kimia yang tersari dalam air dan dalam etanol. Simplisia lada hitam dan lada putih kadar sari yang larut dalam etanol lebih tinggi daripada sari yang larut dalam air, hal ini berarti


(44)

senyawa kimia yang tersari dalam etanol lebih besar daripada yang tersari dalam air.

Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui jumlah material yang tersisa setelah pembakaran, dari hasil penelitian diketahui bahwa kadar abu total pada simplisia lada hitam 5,013 % dan lada putih 5,983 %, kadar abu lebih tinggi pada simplisia lada putih. Kadar abu tidak larut dalam asam adalah kadar abu yang berasal dari luar, dari hasil penelitian kadar abu tidak larut asam simplisia lada putih lebih tinggi daripada simplisia lada hitam.

Abu total terbagi dua yang pertama abu fisiologis adalah abu yang berasal dari jaringan tumbuhan itu sendiri dan abu non fisiologis adalah sisa setelah pembakaran yang berasal dari bahan–bahan dari luar (seperti pasir dan tanah) yang terdapat pada permukaan simplisia. Kadar abu tidak larut asam untuk menentukan jumlah silika, khususnya pasir yang ada pada simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO, 1992).

Penetapan kadar minyak atsiri dengan menggunakan alat Stahl diketahui bahwa minyak atsiri lada hitam 1,085 % sementara pada minyak atsiri lada putih 1,75 %, dari hasil ini diketahui bahwa minyak atsiri lebih banyak terdapat pada lada putih dibandingkan lada hitam. Hal ini terjadi karena usia pemanenan buah yang berbeda.

3.3. Penentuan Indeks Bias dan Bobot Jenis Minyak Atsiri Hasil Isolasi

Hasil penentuan indeks bias dan bobot jenis minyak atsiri hasil isolasi dapat dilihat pada Tabel 2.


(45)

Tabel 2. Hasil Penentuan Indeks Bias dan Bobot Jenis Minyak Atsiri

Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 53-55.

Dari hasil penelitian nilai bobot jenis dari lada hitam yaitu 1,484 dan lada putih 1,485. Sementara nilai indeks bias lada hitam 0,8669 dan lada putih 0,8671. Hal ini berarti bahwa parameter indeks bias dan bobot jenis dari lada hitam dan lada putih sesuai dengan angka yang tercantum dalam literatur yang ada.

3.4. Analisis Minyak Atsiri dengan GC – MS 3.4.1. Analisis Simplisia Lada Hitam

Hasil analisis GC-MS minyak atsiri dari simplisia dari lada hitam diperoleh dengan cara destilasi air diperoleh 6 puncak, seperti yang tampak pada gambar 1, dan data fragmentasinya terlihat pada tabel 3.

Gambar 1. Kromatogram GC-MS Minyak Atsiri Hasil Destilasi Air dari Simplisia Lada Hitam

NO Parameter

Sampel Hasil berdasarkan literatur

Lada Hitam Lada Putih

1. Bobot Jenis 0,8669 0,8671 0,870–0,890 2. Indeks Bias 1,484 1,485 1,4800-1,5020


(46)

Tabel 3. Waktu Tambat dan Konsentrasi Komponen Minyak Atsiri Simplisia Lada Hitam Hasil Analisis GC-MS

No Nama komponen Waktu tambat (menit)

Rumus molekul

Berat molekul

Kadar (%)

1 alpha –Thujene 6.361 C10H16 136 6.99

2 ALPHA – Pinene 6.555 C10H16 136 34.57

3 DELTA 3 – Caren 6.768 C10H16 136 7.60

4 Camphene 6.948 C10H16 136 8.57

5 beta – Phelandrene 7.364 C10H16 136 7.36

6 Beta-pinene 7.538 C10H16 136 34.92

Fragmentasi hasil spektrometri massa komponen minyak atsiri dari lada hitam adalah sebagai berikut :

1. Puncak dengan waktu tambat 6.361 menit mempunyai M+ 136 diikuti fragmen m/z 121, 105, 93, 77, 65, 43, 40. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai alpha-Thujene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 96% dan rumus molekul C10H16

2. Puncak dengan waktu tambat 6.555 menit mempunyai M

. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 15 halaman 58.

+

136 diikuti fragmen m/z 121, 105, 93, 77, 67, 53, 39, 37. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai alpha-pinene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 98% dan rumus molekul C10H16

3. Puncak dengan waktu tambat 6.768 menit mempunyai M

. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 15 halaman 58.

+

136 diikuti fragmen m/z 121, 105, 93, 79, 67, 43, 41, 38. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai delta.3-carene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 96% dan


(47)

rumus molekul C10H16

4. Puncak dengan waktu tambat 6.948 menit mempunyai M

. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 15 halaman 59.

+

136 diikuti fragmen m/z 121, 107, 93, 79, 67, 53, 41, 27. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai camphene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 97% dan rumus molekul C10H16

5. Puncak dengan waktu tambat 7.364 menit mempunyai M

. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 15 halaman 59.

+

136 diikuti fragmen m/z 121, 107, 93, 77, 65, 43, 39, 27. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai beta-phelandrene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 94% dan rumus molekul C10H16

6. Puncak dengan waktu tambat 7.538 menit mempunyai M

. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 15 halaman 60.

+

136 diikuti fragmen m/z 121, 107, 93, 77, 69, 53, 41, 27. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai beta-pinene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 97% dan rumus molekul C10H16

Analisis spektrum massa komponen minyak atsiri dari lada hitam adalah sebagai berikut:

. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 15 halaman 60.


(48)

Dengan membandingkan spektrum massa unknown dengan data library yang memiliki tingkat similarity index tertinggi (96%) maka senyawa dapat disimpulkan sebagai alpha-Thujene (C10H16) dengan rumus bangun seperti gambar 2.

Gambar 2. Rumus bangun alpha-Thujene

Spektrum massa unknown memberikan puncak ion molekul M+ 136 yang merupakan berat molekul dari C10H16. Pelepasan CH3• dari puncak ion molekul C10H16 menghasilkan fragmen [C9H13]+ dengan m/z 121. Pelepasan C2H4 menghasilkan fragmen [C7H9]+ dengan m/z 93. Pelepasan C4H2 menghasilkan fragmen [C3H7]+

2. Puncak dengan waktu tambat (Rt) 6.555 menit

dengan m/z 43. Pola fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 17 halaman 64.

Dengan membandingkan spektrum massa unknown dengan data library yang memiliki tingkat similarity index tertinggi (98%) maka senyawa tersebut dapat disimpulkan sebagai alpha-pinene (C10H16

) dengan rumus bangun seperti gambar 3.

Gambar 3. Rumus bangun alpha-pinene Me

Me Me


(49)

Spektrum massa unknown memberikan puncak ion molekul M+ 136 yang merupakan berat molekul dari C10H16. Pelepasan CH3• dari puncak ion molekul C10H16 menghasilkan fragmen [C9H13]+ dengan m/z 121. Pelepasan C2H4 menghasilkan fragmen [C7H9]+ dengan m/z 93. Pelepasan C2H2 menghasilkan fragmen [C5H7]+ dengan m/z 67. Pelepasan C2H3 menghasilkan fragmen [C3H4]+

3. Puncak dengan waktu tambat (Rt) 6.768 menit

dengan m/z 40. Pola fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 17 halaman 64.

Dengan membandingkan spektrum massa unknown dengan data library yang memiliki tingkat similarity index tertinggi (96%) maka senyawa tersebut dapat disimpulkan sebagai delta-3-carene (C10H16) dengan rumus bangun seperti gambar 4.

Gambar 4. Rumus bangun dari senyawa delta-3-carene

Spektrum massa unknown memberikan puncak ion molekul M+ 136 yang merupakan berat molekul dari C10H16. Pelepasan CH3• dari puncak ion molekul C10H16 menghasilkan fragmen [C9H13]+ dengan m/z 121. Pelepasan C2H4 menghasilkan fragmen [C7H9]+ dengan m/z 93. Pelepasan C2H2 menghasilkan fragmen [C5H7]+ dengan m/z 67. Pelepasan C2H2 menghasilkan fragmen [C3H5]+

4. Puncak dengan waktu tambat (Rt) 6.948 menit

dengan m/z 41. Pola fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 17 halaman 64.

Me Me


(50)

Dengan membandingkan spektrum massa unknown dengan data library yang memiliki tingkat similarity index tertinggi (97%) maka senyawa tersebut dapat disimpulkan sebagai camphene (C10H16) dengan rumus bangun seperti gambar 5.

Gambar 5. Rumus bangun dari senyawa camphene

Spektrum massa unknown memberikan puncak ion molekul M+ 136 yang merupakan berat molekul dari C10H16. Pelepasan CH3• dari puncak ion molekul C10H16 menghasilkan fragmen [C9H13]+ dengan m/z 121. Pelepasan CH2 menghasilkan fragmen [C8H11]+ dengan m/z 107. Pelepasan CH2 menghasilkan fragmen [C7H9]+ dengan m/z 93. Pelepasan CH2 menghasilkan fragmen [C6H7]+ dengan m/z 79. Pelepasan C2H2 menghasilkan fragmen [C4H5]+ dengan m/z 53. Pelepasan C2H2 menghasilkan fragmen [C2H5]+

5. Puncak dengan waktu tambat (Rt) 7.364 menit

dengan m/z 27. Pola fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 17 halaman 65.

Dengan membandingkan spektrum massa unknown dengan data library yang memiliki tingkat similarity index tertinggi (97%) maka senyawa dapat disimpulkan sebagai beta-phellandrene (C10H16) dengan rumus bangun seperti gambar 6.

Me Me


(51)

Gambar 6. Rumus bangun beta-phellandrene

Spektrum massa unknown memberikan puncak ion molekul M+ 136 yang merupakan berat molekul dari C10H16. Pelepasan CH3• dari puncak ion molekul C10H16 menghasilkan fragmen [C9H13]+ dengan m/z 121. Pelepasan CH2 menghasilkan fragmen [C8H11]+ dengan m/z 107. Pelepasan CH2 menghasilkan fragmen [C7H9]+ dengan m/z 93. Pelepasan C4H2 menghasilkan fragmen [C3H7]+

6. Puncak dengan waktu tambat (Rt) 7.538 menit

dengan m/z 43. Pola fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 17 halaman 65.

Dengan membandingkan spektrum massa unknown dengan data library yang memiliki tingkat similarity index tertinggi (96%) maka senyawa tersebut dapat disimpulkan sebagai beta-pinene (C10H16

) dengan rumus bangun seperti gambar 7.

Gambar 7. Rumus bangun dari senyawa beta-pinene

Spektrum massa unknown memberikan puncak ion molekul M+ 136 yang merupakan berat molekul dari C10H16. Pelepasan CH3• dari puncak ion molekul

Pr-i


(52)

C10H16 menghasilkan fragmen [C9H13]+ dengan m/z 121. Pelepasan CH2 menghasilkan fragmen [C8H11]+ dengan m/z 107. Pelepasan CH2 menghasilkan fragmen [C7H9]+ dengan m/z 93. Pelepasan C4H2 menghasilkan fragmen [C3H7]+

3.4.2 Analisis Minyak Atsiri Lada Putih

dengan m/z 43. Pola fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 17 halaman 66.

Hasil analisis GC-MS minyak atsiri dari simplisia lada putih yang diperoleh dengan cara destilasi air diperoleh 5 puncak, seperti yang tampak pada gambar 8, dan data fragmentasinya terlihat pada table 4.

Gambar 8. Kromatogram GC-MS Minyak Atsiri Hasil Destilasi Air dari Simplisia Lada Putih


(53)

Tabel 4. Waktu Tambat dan Konsentrasi Komponen Minyak Atsiri Simplisia Lada Putih Hasil Analisis GC-MS

No Nama komponen Waktu tambat (menit)

Rumus molekul

Berat molekul

Kadar (%)

1 alpha –Thujene 6.921 C10H16 136 60.51

2 alpha – pinen 7.007 C10H16 136 10.88

3 Champene 7.399 C10H16 136 6.45

4 Sabinene 7.882 C10H16 136 15.14

5 Delta 3 – Carene 8.082 C10H16 136 7.02

Pola fragmentasi komponen minyak atsiri lada putih selengkapnya dapat dilihat pada lampiran

Fragmentasi hasil spektrometri massa komponen minyak atsiri dari lada putih adalah sebagai berikut :

1. Puncak dengan waktu tambat 6.921 menit mempunyai M+ 136 diikuti fragmen m/z 121, 105, 93, 77, 65, 43, 39, 27. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai alpha-thujene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 96% dan rumus molekul C10H16

2. Puncak dengan waktu tambat 7.007 menit mempunyai M

. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 61. +

136 diikuti fragmen m/z 121, 105, 93, 77, 67, 53, 39, 37. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai alpha-pinene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 98% dan rumus molekul C10H16

3. Puncak dengan waktu tambat 7.399 menit mempunyai M

. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 61. +

136 diikuti fragmen m/z 121, 107, 93, 79, 67, 53, 41, 27. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai camphene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 97% dan rumus molekul C10H16. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 62.


(54)

4. Puncak dengan waktu tambat 7.882 menit mempunyai M+ 136 diikuti fragmen m/z 121, 105, 93, 77, 69, 43, 39. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai sabinene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 96% dan rumus molekul C10H16

5. Puncak dengan waktu tambat 8.082 menit mempunyai M

. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 62. +

136 diikuti fragmen m/z 121, 105, 93, 79, 67, 43, 41, 38. Berdasarkan perbandingan antara spektrum MS unknown dengan data library, maka senyawa ini disimpulkan sebagai delta.3-carene dengan tingkat kemiripan (similarity index) = 96% dan rumus molekul C10H16

Analisis spektrum massa komponen minyak atsiri dari lada hitam adalah sebagai berikut:

. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 63.

1. Puncak dengan waktu tambat (Rt) menit 6.921

Dengan membandingkan spektrum massa unknown dengan data library yang memiliki tingkat similarity index tertinggi (96%) maka senyawa dapat disimpulkan sebagai alpha-Thujene (C10H16) dengan rumus bangun seperti gambar 9.

Gambar 9. Rumus bangun alpha-Thujene

Spektrum massa unknown memberikan puncak ion molekul M+ 136 yang merupakan berat molekul dari C10H16. Pelepasan CH3• dari puncak ion molekul


(55)

C10H16 menghasilkan fragmen [C9H13]+ dengan m/z 121. Pelepasan C2H4 menghasilkan fragmen [C7H9]+ dengan m/z 93. Pelepasan C4H2 menghasilkan fragmen [C3H7]+

2. Puncak dengan waktu tambat (Rt) 7.007 menit

dengan m/z 43. Pola fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 17 halaman 64.

Dengan membandingkan spektrum massa unknown dengan data library yang memiliki tingkat similarity index tertinggi (98%) maka senyawa tersebut dapat disimpulkan sebagai alpha-pinene (C10H16

) dengan rumus bangun seperti gambar 10.

Gambar 10. Rumus bangun alpha-pinene

Spektrum massa unknown memberikan puncak ion molekul M+ 136 yang merupakan berat molekul dari C10H16. Pelepasan CH3• dari puncak ion molekul C10H16 menghasilkan fragmen [C9H13]+ dengan m/z 121. Pelepasan C2H4 menghasilkan fragmen [C7H9]+ dengan m/z 93. Pelepasan C2H2 menghasilkan fragmen [C5H7]+ dengan m/z 67. Pelepasan C2H3 menghasilkan fragmen [C3H4]+

3. Puncak dengan waktu tambat (Rt) 7.399 menit

dengan m/z 40. Pola fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 17 halaman 64.

Dengan membandingkan spektrum massa unknown dengan data library yang memiliki tingkat similarity index tertinggi (97%) maka senyawa tersebut

Me Me


(1)

2.

Alpha-Pinene

C HC

C H2

CH C H C CH2

CH3 H3C

H3C

C

10

H

16

Exact Mass: 136.13

Mol. Wt.: 136.23

m/e: 136.13 (100.0%), 137.13 (11.0%)

C, 88.16; H, 11.84

ALPHA PINENE

CH3+

C

HC C H2

CH C: H C CH2

H3C

H3C

C

9

H

13••

Exact Mass: 121.1

Mol. Wt.: 121.2

m/e: 121.10 (100.0%), 122.11 (9.9%)

C, 89.19; H, 10.81

CH3+ Exact Mass: 15.02

Mol. Wt.: 15.03 m/e: 15.02 (100.0%), 16.03 (1.1%)

C, 79.89; H, 20.11

C: C

C H2

CH C H C CH2

CH3

H3C

CH3+

C

9

H

13••

Exact Mass: 121.1

Mol. Wt.: 121.2

m/e: 121.10 (100.0%), 122.11 (9.9%)

C, 89.19; H, 10.81

C

9

H

13••

Exact Mass: 121.1

Mol. Wt.: 121.2

m/e: 121.10 (100.0%), 122.11 (9.9%)

C, 89.19; H, 10.81

C9H13•• Exact Mass: 121.1

Mol. Wt.: 121.2

m/e: 121.10 (100.0%), 122.11 (9.9%) C, 89.19; H, 10.81

H

CH4

CH4

Exact Mass: 16.03 Mol. Wt.: 16.04 m/e: 16.03 (100.0%), 17.03 (1.1%)

C, 74.87; H, 25.13

:C C

C H2

CH C H C CH2

CH3

C8H9••

Exact Mass: 105.07 Mol. Wt.: 105.16 m/e: 105.07 (100.0%), 106.07 (8.7%)

C, 91.37; H, 8.63

::C C H2

CH C

:HC

CH2

CH3

C7H9•••••• Exact Mass: 93.07

Mol. Wt.: 93.15

m/e: 93.07 (100.0%), 94.07 (7.6%) C, 90.26; H, 9.74

C::

C•••• Exact Mass: 12 Mol. Wt.: 12.01 m/e: 12.00 (100.0%), 13.00 (1.1%)

C, 100.00

::C C H2

C:

C:

:HC

CH2

CH4

CH4 Exact Mass: 16.03

Mol. Wt.: 16.04 m/e: 16.03 (100.0%), 17.03 (1.1%)

C, 74.87; H, 25.13

C

6

H

5••••••••••

Exact Mass: 77.04

Mol. Wt.: 77.1

m/e: 77.04 (100.0%), 78.04 (6.5%)

C, 93.46; H, 6.54

:C

C:

C2••••

Exact Mass: 24 Mol. Wt.: 24.02 m/e: 24.00 (100.0%), 25.00 (2.2%)

C, 100.00

::C

CH2:

CH::

CH2

C4H5••••••••••

Exact Mass: 53.04 Mol. Wt.: 53.08 m/e: 53.04 (100.0%), 54.04 (4.3%)

C, 90.51; H, 9.49

CH

2

::

CH2••••

Exact Mass: 14.02 Mol. Wt.: 14.03 m/e: 14.02 (100.0%), 15.02 (1.1%)

C, 85.63; H, 14.37 H: C

HC CH

C3H3••

Exact Mass: 39.02 Mol. Wt.: 39.06 m/e: 39.02 (100.0%), 40.03

(3.3%) C, 92.26; H, 7.74


(2)

3.

Delta-3-Carene

C HC H2C

C H

CH2

C CH3

H3C

CH3

C10H16 Exact Mass: 136.13

Mol. Wt.: 136.23

m/e: 136.13 (100.0%), 137.13 (11.0%) C, 88.16; H, 11.84

DELTA-3-CARENE

C: HC H2C

C H

CH2

C H3C

CH3

H

C9H13••

Exact Mass: 121.1 Mol. Wt.: 121.2 m/e: 121.10 (100.0%), 122.11 (9.9%)

C, 89.19; H, 10.81

CH3+

CH3+

Exact Mass: 15.02 Mol. Wt.: 15.03 m/e: 15.02 (100.0%), 16.03 (1.1%)

C, 79.89; H, 20.11

H :C

HC H2C

C H

CH2

C

CH3 C8H9••

Exact Mass: 105.07 Mol. Wt.: 105.16 m/e: 105.07 (100.0%), 106.07

(8.7%) C, 91.37; H, 8.63

CH4

CH4 Exact Mass: 16.03

Mol. Wt.: 16.04 m/e: 16.03 (100.0%), 17.03 (1.1%)

C, 74.87; H, 25.13

C::

C••••

Exact Mass: 12 Mol. Wt.: 12.01 m/e: 12.00 (100.0%), 13.00 (1.1%)

C, 100.00

HC H2C

C H

CH2

: C

C H2

C7H9•• Exact Mass: 93.07

Mol. Wt.: 93.15 m/e: 93.07 (100.0%), 94.07 (7.6%)

C, 90.26; H, 9.74 H HC

H2C

C H

CH CH2

: C

C

6

H

7••

Exact Mass: 79.05

Mol. Wt.: 79.12

m/e: 79.05 (100.0%), 80.06 (6.6%)

C, 91.08; H, 8.92

::CH2

CH2••••

Exact Mass: 14.02 Mol. Wt.: 14.03 m/e: 14.02 (100.0%), 15.02 (1.1%)

C, 85.63; H, 14.37

::HC H2C

C H

CH CH2:

C::

C••••

Exact Mass: 12 Mol. Wt.: 12.01 m/e: 12.00 (100.0%), 13.00 (1.1%)

C, 100.00

C5H7•••••• Exact Mass: 67.05

Mol. Wt.: 67.11 m/e: 67.05 (100.0%), 68.06 (5.5%)

C, 89.49; H, 10.51

H2C

CH CH2:

C3H5•• Exact Mass: 41.04

Mol. Wt.: 41.07

m/e: 41.04 (100.0%), 42.04 (3.2%) C, 87.73; H, 12.27

H3C

CH CH3

C3H7

Exact Mass: 43.05 Mol. Wt.: 43.09 m/e: 43.05 (100.0%), 44.06 (3.3%)

C, 83.63; H, 16.37

C

HC CH C3H2

Exact Mass: 38.02 Mol. Wt.: 38.05 m/e: 38.02 (100.0%), 39.02 (3.3%)

C, 94.70; H, 5.30

HC

CH

C2H2

Exact Mass: 26.02 Mol. Wt.: 26.04 m/e: 26.02 (100.0%), 27.02 (2.2%)

C, 92.26; H, 7.74

:C

C:

C2••••

Exact Mass: 24 Mol. Wt.: 24.02 m/e: 24.00 (100.0%), 25.00 (2.2%)

C, 100.00

3HC

CH2:

C2H5••

Exact Mass: 29.04 Mol. Wt.: 29.06 m/e: 29.04 (100.0%), 30.04 (2.2%)


(3)

4.

Camphene

H2C

H2C C H

C C H C

CH2

CH2

CH3

CH3

C

10

H

16

Exact Mass: 136.13

Mol. Wt.: 136.23

m/e: 136.13 (100.0%), 137.13 (11.0%)

C, 88.16; H, 11.84

CAMPHENE

H2C

H2C C H

C C: H C

CH2

CH2 CH2

C9H13•• Exact Mass: 121.1

Mol. Wt.: 121.2

m/e: 121.10 (100.0%), 122.11 (9.9%) C, 89.19; H, 10.81

+CH3

CH3+

Exact Mass: 15.02 Mol. Wt.: 15.03 m/e: 15.02 (100.0%), 16.03 (1.1%)

C, 79.89; H, 20.11 H H2C

H2C C H

C C: H C

CH2

CH2

H

C

8

H

11••

Exact Mass: 107.09

Mol. Wt.: 107.17

m/e: 107.09 (100.0%), 108.09

(8.8%)

C, 89.65; H, 10.35

::CH2

CH2••••

Exact Mass: 14.02 Mol. Wt.: 14.03 m/e: 14.02 (100.0%), 15.02 (1.1%)

C, 85.63; H, 14.37

H2C

H2C C H

C:: CH H C

CH2

C7H9•••• Exact Mass: 93.07

Mol. Wt.: 93.15 m/e: 93.07 (100.0%), 94.07 (7.6%)

C, 90.26; H, 9.74

::CH2

CH2••••

Exact Mass: 14.02 Mol. Wt.: 14.03 m/e: 14.02 (100.0%), 15.02 (1.1%)

C, 85.63; H, 14.37

H2C

H2C

C H:

C:: CH H: C

C6H7•••••••• Exact Mass: 79.05

Mol. Wt.: 79.12 m/e: 79.05 (100.0%), 80.06 (6.6%)

C, 91.08; H, 8.92

::CH2

CH2••••

Exact Mass: 14.02 Mol. Wt.: 14.03 m/e: 14.02 (100.0%), 15.02 (1.1%)

C, 85.63; H, 14.37

H2C

CH CH::

CH:: H: C

C::::

C•••••••• Exact Mass: 12 Mol. Wt.: 12.01 m/e: 12.00 (100.0%), 13.00 (1.1%)

C, 100.00

C5H7•••••••••• Exact Mass: 67.05

Mol. Wt.: 67.11 m/e: 67.05 (100.0%), 68.06

(5.5%) C, 89.49; H, 10.51

H

H2C

CH::

CH:: H: C

C4H5••••••••••

Exact Mass: 53.04 Mol. Wt.: 53.08 m/e: 53.04 (100.0%),

54.04 (4.3%) C, 90.51; H, 9.49

::CH2

CH2••••

Exact Mass: 14.02 Mol. Wt.: 14.03 m/e: 14.02 (100.0%), 15.02 (1.1%)

C, 85.63; H, 14.37

H3C CH::

H: C

C3H5••••••

Exact Mass: 41.04 Mol. Wt.: 41.07 m/e: 41.04 (100.0%), 42.04 (3.2%)

C, 87.73; H, 12.27

C::::

C•••••••• Exact Mass: 12 Mol. Wt.: 12.01 m/e: 12.00 (100.0%), 13.00 (1.1%)

C, 100.00

CH:: :H2C

C2H3••••••

Exact Mass: 27.02 Mol. Wt.: 27.05 m/e: 27.02 (100.0%), 28.03 (2.2%)

C, 88.82; H, 11.18

::CH2

CH2••••

Exact Mass: 14.02 Mol. Wt.: 14.03 m/e: 14.02 (100.0%), 15.02 (1.1%)


(4)

5.

Beta-Phellandrene

H2C

C C H

CH CH H2

C

H2C

CH H3C

CH3

C

10

H

16

Exact Mass: 136.13

Mol. Wt.: 136.23

m/e: 136.13 (100.0%), 137.13 (11.0%)

C, 88.16; H, 11.84

H2C

C C H

CH CH H2

C

H2C

CH: H3C

C9H13••

Exact Mass: 121.1 Mol. Wt.: 121.2 m/e: 121.10 (100.0%), 122.11 (9.9%)

C, 89.19; H, 10.81

CH3

CH3 Exact Mass: 15.02

Mol. Wt.: 15.03 m/e: 15.02 (100.0%), 16.03 (1.1%)

C, 79.89; H, 20.11

H2C

C C H

CH C H2

C

H2C

CH:

C8H9•• Exact Mass: 105.07

Mol. Wt.: 105.16 m/e: 105.07 (100.0%), 106.07 (8.7%)

C, 91.37; H, 8.63

CH4

CH4 Exact Mass: 16.03

Mol. Wt.: 16.04 m/e: 16.03 (100.0%), 17.03 (1.1%)

C, 74.87; H, 25.13

H2C

C C H

CH CH: H2

C

H2C

C7H9•• Exact Mass: 93.07

Mol. Wt.: 93.15 m/e: 93.07 (100.0%), 94.07 (7.6%)

C, 90.26; H, 9.74

C::::

C••••••••

Exact Mass: 12 Mol. Wt.: 12.01 m/e: 12.00 (100.0%), 13.00 (1.1%)

C, 100.00 C

C C H

CH CH: H2

C

C6H5•• Exact Mass: 77.04

Mol. Wt.: 77.1 m/e: 77.04 (100.0%), 78.04 (6.5%)

C, 93.46; H, 6.54

CH4

CH

4

Exact Mass: 16.03

Mol. Wt.: 16.04

m/e: 16.03 (100.0%), 17.03 (1.1%)

C, 74.87; H, 25.13

CH4 Exact Mass: 16.03

Mol. Wt.: 16.04 m/e: 16.03 (100.0%), 17.03 (1.1%)

C, 74.87; H, 25.13

H3C

:H2C

CH CH: H2

C C5H9

••••

Exact Mass: 69.07 Mol. Wt.: 69.12 m/e: 69.07 (100.0%), 70.07 (5.4%)

C, 86.88; H, 13.12

:C

C:

C2•••• Exact Mass: 24 Mol. Wt.: 24.02 m/e: 24.00 (100.0%), 25.00 (2.2%)

C, 100.00

H: C

HC CH

C3H3•• Exact Mass: 39.02

Mol. Wt.: 39.06 m/e: 39.02 (100.0%), 40.03 (3.3%)

C, 92.26; H, 7.74

3HC

CH3

C2H6 Exact Mass: 30.05

Mol. Wt.: 30.07 m/e: 30.05 (100.0%), 31.05 (2.2%)

C, 79.89; H, 20.11


(5)

6.

Beta-pinene

C HC H2C

C H

CH2

C CH3

H3C

CH3

C10H16 Exact Mass: 136.13

Mol. Wt.: 136.23

m/e: 136.13 (100.0%), 137.13 (11.0%) C, 88.16; H, 11.84

DELTA-3-CARENE

C: HC H2C

C H

CH2

C H3C

CH3

H

C9H13••

Exact Mass: 121.1 Mol. Wt.: 121.2 m/e: 121.10 (100.0%), 122.11 (9.9%)

C, 89.19; H, 10.81

CH3+

CH3+ Exact Mass: 15.02

Mol. Wt.: 15.03 m/e: 15.02 (100.0%), 16.03 (1.1%)

C, 79.89; H, 20.11

H :C

HC H2C

C H

CH2

C

CH3 C8H9••

Exact Mass: 105.07 Mol. Wt.: 105.16 m/e: 105.07 (100.0%), 106.07

(8.7%) C, 91.37; H, 8.63

CH4

CH4 Exact Mass: 16.03

Mol. Wt.: 16.04 m/e: 16.03 (100.0%), 17.03 (1.1%)

C, 74.87; H, 25.13

C::

C•••• Exact Mass: 12 Mol. Wt.: 12.01 m/e: 12.00 (100.0%), 13.00 (1.1%)

C, 100.00

HC H2C

C H

CH2

: C

C H2

C7H9•• Exact Mass: 93.07

Mol. Wt.: 93.15 m/e: 93.07 (100.0%), 94.07 (7.6%)

C, 90.26; H, 9.74

H HC

H2C

C H

CH CH2

: C

C

6

H

7••

Exact Mass: 79.05

Mol. Wt.: 79.12

m/e: 79.05 (100.0%), 80.06 (6.6%)

C, 91.08; H, 8.92

::CH2

CH2••••

Exact Mass: 14.02 Mol. Wt.: 14.03 m/e: 14.02 (100.0%), 15.02 (1.1%)

C, 85.63; H, 14.37

::HC H2C

C H

CH CH2:

C::

C•••• Exact Mass: 12 Mol. Wt.: 12.01 m/e: 12.00 (100.0%), 13.00 (1.1%)

C, 100.00

C5H7•••••• Exact Mass: 67.05

Mol. Wt.: 67.11

m/e: 67.05 (100.0%), 68.06 (5.5%) C, 89.49; H, 10.51

H2C

CH CH2:

C3H5•• Exact Mass: 41.04

Mol. Wt.: 41.07

m/e: 41.04 (100.0%), 42.04 (3.2%) C, 87.73; H, 12.27

H3C

CH CH3

C3H7 Exact Mass: 43.05

Mol. Wt.: 43.09 m/e: 43.05 (100.0%), 44.06 (3.3%)

C, 83.63; H, 16.37 C

HC CH C3H2

Exact Mass: 38.02 Mol. Wt.: 38.05 m/e: 38.02 (100.0%), 39.02 (3.3%)

C, 94.70; H, 5.30

HC

CH

C2H2 Exact Mass: 26.02

Mol. Wt.: 26.04 m/e: 26.02 (100.0%), 27.02 (2.2%)

C, 92.26; H, 7.74

:C

C:

C2••••

Exact Mass: 24 Mol. Wt.: 24.02 m/e: 24.00 (100.0%), 25.00 (2.2%)

C, 100.00

3HC

CH2:

C2H5••

Exact Mass: 29.04 Mol. Wt.: 29.06 m/e: 29.04 (100.0%), 30.04 (2.2%)


(6)

7.

Sabinene

H

2

C

HC

C

CH

2

CH

2

C

CH

CH

3

H

3

C

CH

2

C

10

H

16

Exact Mass: 136.13

Mol. Wt.: 136.23

m/e: 136.13 (100.0%), 137.13

(11.0%)

C, 88.16; H, 11.84

SABINENE

H

2

C

HC

C

CH

2

CH

2

C

CH:

H

2

C

CH

2

C9H13••

Exact Mass: 121.1 Mol. Wt.: 121.2

m/e: 121.10 (100.0%), 122.11 (9.9%) C, 89.19; H, 10.81

CH3+

CH3+

Exact Mass: 15.02 Mol. Wt.: 15.03 m/e: 15.02 (100.0%), 16.03 (1.1%)

C, 79.89; H, 20.11

H

H

2

C

HC

C

CH

2

CH

2

C

CH

2

CH

2

:

::CH2

CH2•••• Exact Mass: 14.02

Mol. Wt.: 14.03 m/e: 14.02 (100.0%), 15.02 (1.1%)

C, 85.63; H, 14.37

C8H11•• Exact Mass: 107.09

Mol. Wt.: 107.17 m/e: 107.09 (100.0%), 108.09

(8.8%) C, 89.65; H, 10.35

H

2

C

HC

C

C

CH

2

:

C

CH

2

C

7

H

9••

Exact Mass: 93.07

Mol. Wt.: 93.15

m/e: 93.07 (100.0%),

94.07 (7.6%)

C, 90.26; H, 9.74

CH2••••

Exact Mass: 14.02 Mol. Wt.: 14.03 m/e: 14.02 (100.0%), 15.02 (1.1%)

C, 85.63; H, 14.37

::CH2

H

H

2

C

C

C

C::

C::

CH

2

C

6

H

5••••••••

Exact Mass: 77.04

Mol. Wt.: 77.1

m/e: 77.04 (100.0%), 78.04 (6.5%)

C, 93.46; H, 6.54

CH4

CH4 Exact Mass: 16.03

Mol. Wt.: 16.04

m/e: 16.03 (100.0%), 17.03 (1.1%) C, 74.87; H, 25.13

H

C::::

C•••••••• Exact Mass: 12 Mol. Wt.: 12.01 m/e: 12.00 (100.0%), 13.00 (1.1%)

C, 100.00

H

2

C

C

C:

C::

CH

2 C5H5•••••• Exact Mass: 65.04

Mol. Wt.: 65.09

m/e: 65.04 (100.0%), 66.04 (5.4%) C, 92.26; H, 7.74

C

C

H

2

C

C3H2

Exact Mass: 38.02 Mol. Wt.: 38.05 m/e: 38.02 (100.0%), 39.02 (3.3%)

C, 94.70; H, 5.30

H

2

C

HC

C:

H

C3H3••

Exact Mass: 39.02 Mol. Wt.: 39.06 m/e: 39.02 (100.0%), 40.03 (3.3%)

C, 92.26; H, 7.74

H

2HC

CH:

C2H3••

Exact Mass: 27.02 Mol. Wt.: 27.05 m/e: 27.02 (100.0%), 28.03 (2.2%)

C, 88.82; H, 11.18

2HC

CH:

C2H3•• Exact Mass: 27.02

Mol. Wt.: 27.05 m/e: 27.02 (100.0%), 28.03 (2.2%)