Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba) di Madiun, Jawa Timur

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
DI BAWAH TEGAKAN JABON (Anthocephalus cadamba)
DI MADIUN, JAWA TIMUR

AGUSTINA PUSPITA DEWI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Keanekaragaman
Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba)
di Madiun, Jawa Timur” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Agustina Puspita Dewi
NIM E44090079

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
AGUSTINA PUSPITA DEWI. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula
di Bawah Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba) di Madiun, Jawa Timur.
Dibimbing oleh SRI WILARSO BUDI R.
Tanaman dapat tumbuh dengan baik apabila didukung dengan keberadaan
mikroba tanah, salah satunya Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). FMA
merupakan simbiosis mutualisme antara fungi dengan perakaran tanaman.
FMA dapat bersimbiosis hampir dengan 90% tanaman tingkat tinggi salah
satunya adalah jabon (Anthocephalus cadamba). Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi keanekaragaman FMA di bawah tegakan jabon. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pewarnaan akar dan metode tuang

basah. Pengawetan spora untuk tahap identifikasi genus dilakukan dengan
menggunakan polyvinil alcohol lactid acid glyserol (PVLG). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sifat kimia tanah tidak berpengaruh terhadap tingkat
kolonisasi akar pada masing-masing lokasi penelitian. Keanekaragaman genus
di bawah tegakan jabon pada lokasi tanah kering Durenan dan tanah kering
Sudimoroharjo yaitu Glomus, Acalauspora dan Enterospora, sedangkan bekas
sawah Sudimoroharjo hanya ditemukan 2 genus yaitu Glomus dan
Acalauspora. Glomus memiliki tingkat penyebaran yang cukup luas dan
mendominasi di lokasi penelitian.
Kata kunci: fungi mikoriza arbuskula, genus, jabon, keanekaragaman,
pertumbuhan
ABSTRACT
AGUSTINA PUSPITA DEWI. Diversity of Arbucular Mycorrhyzal Fungi
Under Jabon (Anthocephalus cadamba) Stands in Madiun, Jawa Timur.
Supervised by SRI WILARSO BUDI R.
Plants can grow well when it was supported by the available of soil
microbes, one of them was arbuscular mycorrhyzal fungi (AMF). AMF was
symbiotic mutualism that it was between fungi and roots. AMF could be
symbiotic almost 90% of the high levels of plants, one of them was jabon
(Anthocephalus cadamba). The research purposes to identify the diversity of

AMF under the jabon stands. The methods which used in this research was the
root coloring and decanthing methods. Preservation of spores to identify genus
carried on by using polyvinil alcohol lactid acid glyserol (PVLG). The result
of this research showed that the chemical content of soil didn’t have effect to
the differences of root colonization on each research location. The various
genus under jabon stands which are located in Durenan dry land and
Sudimoroharjo dry land, such as Glomus, Acalauspora dan Enterospora,
meanwhile Sudimoroharjo former rice fields could only be found 2 genus,
such as Glomus and Acalauspora. Glomus had very wide spreading and
dominate in the research location.
Key word: arbuscular mycorrhizal fungi, diversity, growth, genus, jabon

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
DI BAWAH TEGAKAN JABON (Anthocephalus cadamba)
DI MADIUN, JAWA TIMUR

AGUSTINA PUSPITA DEWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan
Jabon (Anthocephalus cadamba) di Madiun, Jawa Timur
Nama
: Agustina Puspita Dewi
NIM
: E44090079

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

ludul Skripsi: Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan
labon (AnthocephaJus cat;famba) di Madiun, Jawa Timur
Agustina Puspita Dewi
Nama
E44090079
NIM

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS
Pembimbing




Tanggal Lulus:

'.\

Oセ

BG ャヲ Il ャ G@ GBZ@

G セ セ セ ヲ セn オイィ・ョゥ@

,-

Wijayanto, MS
Ketua Departemen

fO7 JAN 2014


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wata’ala
yang telah memberikan segala nikmat sehingga karya almiah ini berhasil
diselesaikan. Judul penelitian ini yaitu Keanekaragaman Fungi Mikoriza
Arbuskula di Bawah Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba) Madiun,
JawaTimur.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Dr Ir Sri Wilarso
Budi R, MS selaku dosen pembimbing atas arahan dan bimbingannya. Selain
itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada kepada ayah, ibu, kakak,
dan adik atas segala bantuan dan kasih sayangnya. Terimakasih juga kepada
Singgih, Dewi, Devi, Erfan, Jamal, Memet, Yuli, Dina, Lia, Tria, bang Haqqy
dan teman-teman Sivikultur 46 atas kebersamaan dan bantuan kepada penulis
selama melakukan penelitian maupun dalam penyusunan skripsi. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
selama penelitian dan penyusunan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
pengetahuan dan masyarakat.

Bogor, Januari 2014


Agustina Puspita Dewi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan

1

METODOLOGI

2

Waktu dan Lokasi Penelitian

2

Alat dan Bahan

2


Metode Penelitian

2

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Sifat fisik dan kimia tanah di Madiun, Jawa Timur

4

Persentase kolonisasi akar

6

Kepadatan spora

9


Keragaman spora

10

Kelimpahan dan frekuensi relatif

12

Pertumbuhan jabon

14

SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Kondisi sifat fisik tanah di Madiun, Jawa Timur
Kondisi sifat kimia tanah di Madiun, Jawa Timur
Hasil analisis regresi sifat kimia tanah dengan tingkat persen kolonisasi
Keragaman genus FMA di bawah tegakan jabon Madiun
Rata-rata diameter dan tinggi jabon

4
5
8
10
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Persen kolonisasi akar
Infeksi pada akar tanaman jabon di Madiun, Jawa Timur
Kepadatan spora
Morfologi Glomus
Morfologi Enterospora
Morfologi Acalauspora
Kelimpahan relatif
Frekuensi relatif

6
7
9
11
11
12
13
13

DAFTAR LAMPIRAN
9 Karakteristik sifat fisik kimia tanah
10 Kriteria penilaian kolonisasi FMA

18
18

PENDAHULUAN
Latar belakang
Tanah sebagai tempat tumbuh tanaman memiliki komponen yang penting
bagi kelangsungan hidup suatu tanaman maupun makhluk hidup yang berada di
dalamnya. Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan
antara lingkungan abiotik dan biotik, sehingga dapat menghasilkan suatu wilayah
yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis mikroba. Suatu
tanaman akan tumbuh baik apabila didukung dengan keberadaan mikroba tanah,
salah satunya adalah mikoriza. Mikoriza merupakan simbiosis mutualisme antara
fungi (mykes) dengan perakaran (rhiza) tumbuhan (Setiadi 1992). Hubungan
interaksi antara tanaman dan fungi ini merupakan bagian penting dalam
ekosistem. Mikoriza memiliki dua kelompok yaitu ektomikoriza dan
endomikoriza.
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan salah satu tipe fungi yang
berasal dari golongan endomikoriza. FMA juga tergolong salah satu tipe fungi
pembentuk mikoriza yang memiliki tingkat penyebaran tinggi karena fungi ini
dapat ditemukan hampir pada semua ekosistem, termasuk pada lahan masam
(Kartika 2006). Fungi ini memiliki kemampuan untuk bersimbiosis dengan
hampir 90% jenis tanaman spesies tingkat tinggi yang dapat tumbuh pada
berbagai tipe habitat dan iklim (Ervayenri 1998). Salah satu tanaman yang mampu
bersimbiosis dengan FMA adalah jabon. FMA memiliki jumlah populasi dan
komposisi jenis FMA sangat beragam dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman
dan faktor lingkungan sepeti pH tanah, kelembapan tanah, kandungan air dan
kandungan fosfor.
Potensi dari adanya simbiosis FMA dengan tanaman merupakan hal
penting untuk dimanfaatkan bagi kepentingan budidaya tanaman jabon pada lahan
kritis. Hal ini mengingat bahwa FMA dapat memberikan manfaat bagi tanaman
diantaranya penyerapan unsur hara terutama fosfor, meningkatkan resistensi
tanaman terhadap faktor lingkungan yang ekstrim, kandungan logam berat dan
unsur toksik yang terkandung di dalam tanah.
Meskipun telah diketahui peranan FMA, namun studi mengenai
keanekaragaman FMA di bawah tegakan jabon masih jarang dilakukan. Menurut
Sastrahidayat (2011), hampir 70% kegiatan penelitian FMA diarahkan pada
manfaatnya dalam pertumbuhan tanaman dan kurang dari 15% yang mempelajari
keanekaragaman pada suatu tegakan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui keanekaragaman FMA di bawah tegakan jabon di Madiun,
Jawa Timur.

Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman fungi mikoriza
arbuskula di bawah tegakan jabon di Madiun, Jawa Timur. Selain itu, penelitian
ini juga bertujuan mengidentifikasi keberadaan fungi mikoriza arbuskula di bawah
tegakan jabon di Madiun, Jawa timur.

2

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan (November 2012 sampai dengan
April 2013). Pengambilan contoh tanah dan akar tanaman dilakukan di bawah
tegakan jabon di Madiun, Jawa Timur yang tersebar di 3 (tiga) daerah yaitu tanah
kering Durenan, tanah kering Sudimoroharjo, bekas sawah Sudimoroharjo.
Pengamatan analisis akar dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur Departemen
Silvikultur Fakultas Kehutanan, IPB sedangkan tahap mengidentifikasi spora
FMA dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan PPSHB IPB.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gunting, kantong plastik,
mikroskop binokuler, mikroskop stereo, tabung sentrifugasi, sentrifugasi, pinset
spora, cawan petri, botol film, gelas objek, cover glass, saringan bertingkat
berukuran 250µm, 125µm dan 63µm, oven, label, timbangan ohause, minitab 16,
kamera dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akar
jabon, contoh tanah, aquades, KOH 2.5%, HCl 0.1, trypan blue 0.02%, alkohol,
gliserin 50%, air, glukosa 60% dan polyvinil alcohol lactid acid glyserol (PVLG).

Metode Penelitian
Pelaksanaan kegiatan penelitian dimulai dengan pengambilan contoh tanah
dan akar, penjernihan dan pewarnaan akar, isolasi dan identifikasi spora FMA.
Kegiatan penelitian ini menggunakan metode pewarnaan akar dan metode tuang
basah.

Pengambilan contoh tanah dan akar
Pengambilan contoh tanah dan akar dilakukan dari bawah tegakan jabon di
Madiun. Pengambilan contoh tanah diambil di tiga lokasi yaitu tegakan jabon di
tanah kering Durenan, tanah kering Sudimoroharjo dan bekas sawah
Sudimoroharjo, dengan ketinggian tempat ketiga lokasi ini yaitu 700 mdpl. Setiap
lokasi ini terdiri dari 3 plot, masing-masing plot diwakili oleh tiga tanaman pohon
jabon yang dipilih secara acak.
Teknik pengambilan contoh tanah dan akar diambil dari zona rizosfer
perakaran di bawah pohon jabon yang telah di pilih secara acak. Tanah diambil
dari bawah pohon jabon dengan empat sisi yang berbeda. Pengambilan tanah ini
dilakukan secara komposit pada kedalaman tanah 20 cm. Contoh tanah yang telah
diambil pada lokasi penelitian sebanyak 100 gram kemudian dimasukkan ke
dalam kantong plastik berbeda untuk siap dianalisis di laboratorium.

3

Penjernihan dan pewarnaan akar
Pengamatan kolonisasi akar FMA pada akar tanaman dilakukan melalui
metode pewarnaan akar (Brundrett et al. 1996). Metode ini dilakukan dalam
beberapa tahap. Tahap pertama, diawali dengan akar yang telah dipisahkan dari
tanah dicuci sampai bersih. Tahap kedua, akar direndam dalam larutan KOH 2.5%
lalu dipanaskan dalam oven dengan suhu 90ºC selama 30-40 menit sehingga akar
berwarna kuning bersih. Tahap ketiga, akar dibilas dan direndam kembali dengan
HCL 0.1 selama 10 menit. Tahap keempat yaitu akar yang sudah dibersihkan dari
HCL 0.1 diberi cairan trypan blue kemudian dipanaskan dalam oven. Tahap
terakhir, akar yang telah dipanaskan dalam oven dibilas dan direndam dalam
larutan alkohol 50%.
Pengamatan akar yang terinfeksi dilakukan dengan mengambil serabut
akar halus sepanjang 1 cm, lalu diletakkan pada gelas objek yang ditutup dengan
cover glass. Setelah itu, akar yang sudah di preparat diamati dengan mikroskop
binokuler. Jumlah akar halus dalam 1 preparat yang diamati berjumlah 15 potong
akar. Persen infeksi mikoriza dihitung dengan rumus Giovanneti dan Moose
(1980):

Isolasi Spora FMA
Teknik isolasi spora FMA yang digunakan adalah teknik penyaringan
basah Genderman and Nickolson (1963) yang telah dimodifikasi dan dilanjutkan
teknik sentrifugasi Brundrett et al (1996). Metode ini dilakukan dengan beberapa
tahap. Tahap pertama, contoh tanah yang akan diamati diambil 10 gram lalu
dicampur dengan 2/3 air dan diaduk hingga merata. Tahap kedua, tanah yang telah
diaduk lalu dituangkan ke dalam saringan bertingkat ukuran 250µm, 125µm, dan
63µm dengan air yang mengalir. Tahap ketiga, tanah yang tersisa dalam saringan
bertingkat dimasukan kembali ke dalam gelas ukur kemudian penyaringan diulang
sebanyak 3 kali. Tahap keempat, setelah penyaringan selesai tanah yang tersisa
pada saringan berukuran 125µm dan 63µm dipindahkan dalam tabung
sentrifugasi. Tahap kelima, 2/3 tabung sentrifugasi diisi dengan larutan glukosa
60%, kemudian dikocok dan dimasukan tabung sentrifugasi ke dalam sentrifugasi
(kecepatan 2500 rpm) selama 1 menit. Tahap keenam, supernatan yang terdapat
dalam tabung sentrifugasi dimasukan kedalam saringan bertingkat ukuran 63µ m
dan dibilas dengan air yang mengalir. Tahap ketujuh, spora yang terkumpul dalam
saringan dimasukan dalam cawan petri dan siap diamati dengan mikroskop stereo.

Identifikasi Spora FMA
Spora FMA yang telah diperoleh lalu dibuat preparat spora dengan
menggunakan polyvinil alcohol lactid acid glyserol (PVLG). Setelah itu spora
FMA siap diidentifikasi berdasarkan tingkat genus (INVAM 2013).

4
Pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah (1) kepadatan spora,
(2) keragaman spora, (3) kelimpahan relatif dan (4) frekuensi relatif spora.
Masing-masing parameter dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Shi et al. 2007):
Kepadatan spora (spora) = jumlah spora
10gram tanah
Keragaman spora (spora) = jumlah genus pada 10gram tanah
Kelimpahan relatif genus FMA (%) = jumlah genus x 100%
total spora
Frekuensi relatif genus FMA (%) = jumlah contoh ditemukan genus
total contoh

x 100%

Analisis data
Analisis data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan analisis
secara deskriptif, selain itu analisis regresi dengan menggunakan minitab 16
dilakukan untuk menggambarkan hubungan antara sifat kimia tanah dengan
tingkat kolonisasi akar FMA. Pengujian perbedaan nilai tengah dua populasi juga
dilakukan untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan diameter dan tinggi rata-rata
pada lokasi penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat fisik dan kimia tanah di Madiun, Jawa Timur
Kondisi fisik dan kimia pada tanah merupakan gambaran yang
menunjukkan kesuburan suatu lahan. Tersedianya unsur hara yang cukup serta
kondisi fisik dan kimia tanah yang mendukung akan mempengaruhi pertumbuhan
tanaman pada lahan tersebut. Kondisi fisik dan kimia tanah pada lokasi penelitian
di Madiun, Jawa Timur ini tersaji pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Kondisi sifat fisik tanah di Madiun, Jawa Timur
Lokasi
Tanah kering Durenan
Tanah kering Sudimoroharjo
Bekas sawah Sudimoroharjo

Kondisi tanah
Bekas singkong
Bekas alang-alang
Bekas sawah

Tekstur
Lempung liat berpasir
Liat
Liat

5
Sifat fisik tanah yang diukur pada lokasi Madiun, Jawa Timur yaitu
kondisi tanah dan tekstur tanah (Tabel 1). Tanah yang terdapat pada lokasi tanah
kering Durenan memiliki tekstur lempung liat berpasir. Karakteristik dari tekstur
tanah lempung liat berpasir ini yaitu pori makro yang terbentuk dalam tanah lebih
banyak sehingga jumlah air yang diikat lebih sedikit. Tanah yang memiliki tekstur
lempung ini akan membuat akar-akar tanaman sulit menembus tanah, hal ini akan
menghambat perkembangan akar. Kondisi fisik di lokasi tanah kering
Sudimoroharjo dan bekas sawah Sudimoroharjo memiliki tekstur liat.
Karakteristik tekstur liat adalah tanah cenderung lengket dalam keadaan basah dan
kuat menyatu antara butiran tanah yang satu dengan yang lainnya.
Tanah yang memiliki tekstur liat sulit untuk menyerap air, sehingga akan
mengganggu pertumbuhan tanaman. Tanaman jabon yang ditanam pada lokasi
penelitian memiliki kondisi tanah yang berbeda-beda. Lokasi tanah kering
Durenan merupakan jabon yang ditanam pada kondisi tanah bekas singkong,
tanah kering Sudimoroharjo merupakan jabon yang ditanam pada kondisi tanah
bekas alang-alang dan bekas sawah Sudimoroharjo merupakan jabon yang di
tanam pada kondisi tanah bekas sawah.
Tabel 2 Kondisi kimia tanah di Madiun, Jawa Timur
pH
Lokasi
Tanah kering Durenan
Tanah kering Sudimoroharjo
Bekas sawah Sudimoroharjo
C= karbon; N=nitrogen; P=fosfor.

H₂O

KCL

4.70
5.50
6.40

4.00
4.60
5.40

C
(%)
0.66
1.21
0.92

Unsur hara
N
C/N
(%)
0.06
11.00
0.11
11.00
0.09
10.00

P
(ppm)
6.20
6.90
3.80

Sifat kimia tanah yang diukur pada lokasi penelitian antara lain pH,
karbon, nitrogen, nisbah C/N dan fosfor. Hasil analisis kimia tanah (Tabel 2)
memperlihatkan bahwa, lokasi tanah kering Durenan mempunyai pH H₂O sangat
masam dan pH KCl yang bersifat masam. Tanah kering Sudimoroharjo memiliki
pH H₂O masam dan pH KCl netral, sedangkan bekas sawah Sudimoroharjo
mempunyai pH H₂O agak masam dan pH KCl netral. Kandungan seperti C dan N
pada lokasi tanah kering Durenan dan bekas sawah Sudimoroharjo termasuk ke
dalam kriteria sangat rendah, selain itu kandungan C dan N pada tanah kering
Sudimoroharjo termasuk kriteria rendah. Nisbah C/N di lokasi tanah
kering Durenan dan tanah kering Sudimoroharjo termasuk kriteria sedang,
berbeda dengan lokasi bekas sawah Sudimoroharjo yang memiliki kriteria nisbah
C/N yang rendah. Kandungan fosfor yang tersedia pada tiga lokasi penelitian
termasuk kriteria yang sangat rendah karena memiliki nilai kandungan fosfor
tersedia kurang 10 (Hardjowigeno 2010). Penggolongan kriteria sifat kimia tanah
ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Berdasarkan kriteria hasil analisis kimia tanah yang didapatkan
menunjukkan bahwa, tiga lokasi penelitian termasuk lahan yang kurang subur
untuk mendukung pertumbuhan tanaman diatasnya. Reaksi tanah (pH)
menggambarkan tingkat ketersediaan unsur hara, dapat dilihat bahwa pH H₂O

6
pada tiga lokasi penelitian memiliki rentang kandungan pH agak masam hingga
sangat masam, pH tanah yang berkisar masam ini tidak dapat memberikan
ketersediaan unsur hara tanah yang cukup untuk tanaman.
Meskipun demikian, pada kondisi tanah yang kurang menguntungkan
seperti ini justru dimanfaatkan mikroba tanah untuk membantu pertumbuhan
tanaman melalui penyediaan dan penyerapan unsur hara penting bagi tanaman
seperti nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K). Tiga unsur hara penting tersebut
seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba tanah, salah satunya yaitu mikroba
pelarut fosfor. Tanah yang memiliki ketersediaan fosfor yang rendah akan dibantu
penyerapannya oleh mikroba pelarut fosfor. Mikroba ini akan melepaskan ikatan
P dari mineral liat tanah dan kemudian menyediakannya bagi tanaman. Mikroba
tanah bermanfaat untuk melarutkan unsur hara, membantu penyerapan unsur hara,
dan merangsang pertumbuhan tanaman (Prihastuti 2011).

Persentase Kolonisasi Akar
Kolonisasi akar FMA merupakan struktur yang ditemukan pada akar
tanaman seperti vesikula, hifa eksternal dan arbuskula. Penghitungan dilakukan
dengan cara menghitung banyaknya bagian akar yang terinfeksi oleh FMA. Hasil
pengamatan persen kolonisasi pada akar disajikan pada Gambar 1.

% kolonisasi akar

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

81.85
70.56
60.00

Tanah kering Durenan

Tanah kering Sudimoroharjo

Bekas sawah Sudimoroharjo

Lokasi pengambilan sampel

Gambar 1 Persen kolonisasi akar FMA pada lokasi pengambilan sampel
Berdasarkan hasil pengamatan kolonisasi akar (Gambar 1)
memperlihatkan bahwa adanya asosiasi antara FMA dengan akar tanaman jabon
yang membentuk hifa di dalam sel akar. FMA mampu menginfeksi akar pada
tanaman jabon pada masing-masing lokasi penelitian dengan ketinggian 700
mdpl. Kriteria tingkat kolonisasi akar menurut Setiadi et al. (1992) (Lampiran 2)
bahwa, rata-rata persen kolonisasi akar FMA pada lokasi tanah kering Durenan
sebesar 70.56% termasuk kriteria tinggi, tanah kering Sudimoroharjo terinfeksi
sebesar 81.85% termasuk kriteria sangat tinggi dan bekas sawah Sudimoroharjo
memiliki persen kolonisasi akar FMA sebesar 60.00% termasuk kriteria tinggi.
Kolonisasi akar FMA pada lokasi tanah kering terlihat memiliki persen infeksi di
atas 70.00%, hal ini sesuai dengan pendapat Prihastuti (2007) yang menyatakan
bahwa, tanah kering banyak mengandung FMA yang diindikasikan dengan
tingginya tingkat infeksi akar yaitu mencapai 70.50%–90.33%. Selain itu, lokasi

7
bekas sawah Sudimoroharjo masih menunjukkan bahwa FMA dapat bersimbiosis
dengan akar tanaman, hal ini sesuai dengan pendapat Solaiman dan Hirata (1995)
yang menyatakan bahwa, pada tanah yang tergenang atau sawah FMA masih
dapat berkembang dengan baik bahkan pada lingkungan yang sangat miskin unsur
hara dan pada lingkungan yang tercemar limbah berbahaya FMA masih
memperlihatkan eksistensinya.
Kondisi tanah dengan kandungan hara terutama unsur fosfor yang rendah
akan menyebabkan meningkatnya kolonisasi FMA pada akar tanaman, pada
dasarnya FMA diperlukan tanaman untuk menyerap fosfor. Pulungan (2013)
menyatakan bahwa, ketersediaan fosfor yang tinggi di tanah secara langsung
menurunkan aktivitas FMA sehingga keberadaan FMA mengalami pengurangan,
sebaliknya rendahnya unsur fosfor tersedia di tanah meningkatkan terbentuknya
FMA pada tanaman karena pada kondisi tanah yang seperti ini, tumbuhan
cenderung memanfaatkan FMA sebagai salah satu cara untuk mendapatkan unsur
hara dalam tanah. Akar yang terinfeksi FMA dapat menyerap unsur hara dengan
menggunakan hifa dari FMA untuk menyerap seluruh hara tanah dan air. FMA
pada akar tanaman akan menambah luas permukaan absorbsi unsur hara dan air,
dengan bertambahnya luas permukaan akar maka dapat meningkatkan penyerapan
unsur hara dan mineral dari dalam tanah.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa tanaman jabon
merupakan tumbuhan yang respontif terhadap FMA. Hal ini dapat dilihat dari
besarnya persentase kolonisasi FMA pada akar jabon lebih dari 50.00% yang
tergolong tinggi hingga sangat tinggi. Beberapa struktur FMA yang ditemukan
dalam akar tanaman jabon dapat dilihat pada Gambar 2.

Hifa
eksternal

vesikula

A

B

Gambar 2 Infeksi akar pada tanaman jabon di Madiun, Jawa Timur (perbesaran
400x): struktur akar dengan vesikula (A), dan struktur akar dengan
hifa eksternal (B)
Struktur FMA yang ditemukan pada akar jabon yang telah diwarnai adalah
vesikula (Gambar 2A) dan hifa eksternal (Gambar 2B), arbuskula tidak dapat
ditemukan pada semua contoh akar. Menurut Mosse (1981) dalam Muliawan
(1995) keberadaan arbuskula dalam akar relatif singkat yaitu berkisar antara 1−3
hari, namun dengan adanya satu atau lebih struktur FMA tersebut maka dapat
dikatakan telah terjadi asosiasi oleh FMA terhadap tanaman inangnya.

8
Perbedaan persen kolonisasi akar FMA pada masing-masing lokasi
penelitian ini diduga adanya pengaruh dari sifat kimia tanah. Oleh karena itu,
untuk melihat hubungan kolerasi dan pengaruh sifat kimia tanah terhadap tingkat
kolonisasi akar pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis regresi antara sifat kimia tanah dengan tingkat kolonisasi
akar
Bahan organik
Persamaan regresi linear (NKA)
C-organik
50.70 + (21.60*C)
R² = 29.50%
Pr>F = 0.63
N-organik
55.20 + (180*N)
R² = 17.20%
Pr>F = 0.78
P-tersedia
34.90 + (6.37*P)
R² = 89.70%
Pr>F = 0.22
NKA = nilai kolonisasi akar; C-organik= karbon; N-organik= nitrogen; P-tersedia=
fosfor; R²= determinasi keeratan; Pr= nilai P regression pada analysis of variance.

Hasil analisis regresi sifat kimia tanah dengan tingkat kolonisasi akar
(Tabel 3) memperlihatkan bahwa persamaan regresi linear antara kandungan
karbon dengan nilai kolonisasi akar menghasilkan koefesien determinasi ( R²)
sebesar 29.50% yang artinya tingkat kolonisasi akar sebesar 29.50% ditentukan
oleh kandungan karbon, dan sisanya 70.50% ditentukan oleh variabel lain.
Menurut Sugiono (2011) koefesien determinasi (R²) sebesar 29.50% memiliki
tingkat hubungan yang rendah artinya kandungan karbon memiliki tingkat
hubungan yang rendah terhadap kolonisasi akar FMA. Persamaan regresi linear
kandungan nitrogen dengan nilai kolonisasi akar menghasilkan koefesien
determinasi (R²) sebesar 17.20% yang artinya tingkat kolonisasi akar sebesar
17.20% ditentukan oleh nitrogen, dan sisanya 82.80% ditentukan oleh variabel
lain. Menurut Sugiono (2011) koefesien determinasi (R²) sebesar 17.20%
memiliki tingkat hubungan yang rendah artinya kandungan nitrogen memiliki
tingkat hubungan yang rendah terhadap kolonisasi akar FMA. Persamaan regresi
linear kandungan fosfor dengan nilai kolonisasi akar menghasilkan koefesien
determinasi (R²) sebesar 89.70% yang artinya tingkat kolonisasi akar sebesar
89.70% ditentukan oleh kandungan fosfor, dan sisanya 10.30% ditentukan oleh
variabel lain. Menurut Sugiono (2011) koefesien determinasi (R²) yang dihasilkan
sebesar 89.70% memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat artinya kandungan
fosfor memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat terhadap kolonisasi akar
FMA. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut (analysis of variance) terlihat bahwa
P regression pada ketiga variable (karbon, nitrogen dan fosfor) memiliki nilai
lebih besar dari 0.05 maka disimpulkan bahwa kandungan karbon, nitrogen, dan
fosfor tidak berpengaruh terhadap tingkat persen kolonisasi akar FMA. Oleh
karena itu, terdapat variabel lain (faktor lain) yang mempengaruhi tingkat persen
kolonisasi akar, menurut Setadi (1992) faktor lain yang dapat mempengaruhi
tingkat persen kolonisasi FMA adalah kepekaan inang terhadap infeksi, faktor
iklim (cahaya) dan kandungan air dalam tanah.
Asosiasi FMA secara alamiah akan berbeda antara satu ekosistem dengan
ekosistem lainnya dan asosiasi akan efektif pada kondisi perakaran dan
lingkungan yang paling sesuai. Oleh sebab itu, maka efektivitas asosiasi FMA
pada tanaman inang akan bervariasi pada masing-masing ekosistem. Perbedaan ini

9
dapat terjadi karena dipengaruhi salah satunya oleh kepekaan tanaman inang
terhadap FMA (Corryanti 2007).

Kepadatan spora

Jumlah spora/10g tanah

Kepadatan spora merupakan jumlah spora yang ditemukan pada saat
pengamatan. Perhitungan kepadatan spora berdasarkan jumlah spora yang
ditemukan pada 10 gram tanah dengan menggunakan metode tuang basah.
Kepadatan spora pada masing masing lokasi disajikan pada Gambar 3.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

73.00

35.00

Tanah kering Durenan

Tanah kering Sudimoroharjo

43.00

Bekas sawah Sudimoroharjo

Lokasi pengambilan sampel

Gambar 3 Kepadatan spora FMA pada lokasi pengambilan sampel
Bedasarkan Gambar 3 terlihat bahwa kepadatan spora yang ditemukan tiap
lokasi terlihat berbeda-beda. Tanah kering Durenan memiliki kepadatan spora
sebesar 73.00 spora/10gram tanah, tanah kering Sudimoroharjo sebesar 35.00
spora/10 gram tanah, dan bekas sawah Sudimoroharjo sebesar 43.00 spora/10
gram tanah. Hasbi (2005) menyatakan bahwa kepadatan spora pada tanaman
budidaya tergolong rendah apabila hanya ditemukan 1.00−6.00 spora dalam
50gram tanah, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kepadatan spora pada lokasi
penelitian ini tergolong tinggi. Kepadatan spora tertinggi terlihat berada pada
lokasi tanah kering Durenan, hal ini dapat disebabkan pertumbuhan akar pada
tanaman jabon yang berumur 24 bulan di lokasi ini sudah mulai menurun,
kemampuan akar untuk menembus tanah agar memperoleh air dan unsur hara
menjadi berkurang. Pada kondisi seperti ini, akan membuat produksi spora FMA
semakin meningkat. Menurut Suhardi (1989), perkembangan spora biasanya
terjadi karena reaksi terhadap pertumbuhan akar, tetapi produksi spora akan
semakin banyak setelah tanaman inang menjadi dewasa bahkan mendekati tua.
Secara keseluruhan terlihat bahwa suatu lokasi memiliki persen infeksi
akar FMA yang tinggi juga mendapatkan kepadatan spora yang tinggi, meskipun
demikian tidak terdapat kolerasi yang tetap antara kolonisasi akar dengan
kepadatan spora. Prihastuti et al. (2010) menyatakan bahwa tidak ada kolerasi
antara jumlah spora dengan kolonisasi akar. Kolonisasi akar oleh FMA tidak
ditentukan oleh jumlah spora yang terdapat pada tanah, tetapi ditentukan oleh

10
kemampuan FMA untuk menginfeksi tanaman inang dan respon tanaman inang
terhadap infeksi FMA.

Keragaman Spora FMA
Keragaman spora FMA merupakan hasil identifikasi sampai pada tingkat
genus, dengan melihat karakteristik morfologi dari spora yang telah diawetkan
dengan polyvinil alcohol lactid acid glyserol (PVLG). Identifikasi spora FMA
yang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Keragaman genus FMA di bawah tegakan jabon Madiun, Jawa Timur
Lokasi
Nilai keragaman genus FMA
Tanah kering Durenan

3 (Acaulospora,Enterospora dan Glomus)

Tanah kering Sudimoroharjo

3 (Acaulospora,Enterospora dan Glomus)

Bekas sawah Sudimoroharjo

2 (Acaulospora dan Glomus)

Tabel 4 memperlihatkan bahwa keragaman genus FMA paling tertinggi
terdapat pada lokasi tanah kering Durenan dan tanah kering Sudimoroharjo
dengan ditemukannya 3 genus spora seperti Acaulospora, Enterospora dan
Glomus. Genus spora FMA paling sedikit terdapat pada bekas sawah
Sudimoroharjo yaitu sebanyak 2 genus spora FMA yaitu Acaulospora dan
Glomus.
Genus Glomus
Genus Glomus merupakan genus yang penyebarannya paling
mendominasi pada lokasi penelitian yaitu lokasi tanah kering Sudimoroharjo,
tanah kering Durenan dan bekas sawah Sudimoroharjo. Genus ini berasal dari
famili Glomaceae. genus Glomus memiliki ciri khas yaitu terdapat hypal
attachment, berbentuk globos−sub globos, ovoid dan obovoid, berwarna hyaline
sampai kuning, merah kecoklatan, coklat, dan hitam, dinding spora terdiri lebih
dari satu lapis, berukuran antara 20−80 µm (INVAM 2013). Genus ini dapat
berkembang pada pH kurang dari 5.00 hingga netral, dan pada tekstur tanah
lempung liat berpasir hingga liat. Ciri morfologi dari genus Glomus ini dapat
dilihat pada Gambar 4.

11

A

B

Gambar 4 Morfologi genus Glomus yang ditemukan pada tanaman jabon dengan
perbesaran 400 x: spora Glomus berbentuk utuh (A), dan spora Glomus
yang pecah (B)
Genus Enterospora
Genus Enterospora ini hanya ditemukan pada lokasi tanah kering Durenan
dan tanah kering Sudimoroharjo. Genus ini berasal dari famili Acaulosporaceae.
Morfologi dari genus ini dapat dilihat pada Gambar 5.

A

B

Gambar 5 Morfologi genus Enterospora yang ditemukan pada tanaman jabon
dengan perbesaran 400 x: spora Enterospora yang utuh (A), dan spora
Enterospora dengan tekstur permukaan koyak (B)
Berdasarkan Gambar 5 genus ini memiliki spora yang berbentuk bulat,
warna spora cenderung coklat hingga kecoklatan, berukuran antara 65−300 µ m
memiliki 2−3 dinding spora, warna dinding terluar terlihat gelap (INVAM 2013).
Genus ini dapat ditemukan pada pH kurang dari 5.00. Genus ini juga dapat
ditemukan pada tekstur tanah lempung liat berpasir dan liat.
Genus Acaulospora
Genus Acalauspora merupakan genus yang dapat ditemukan pada tiga
lokasi penelitian, namun genus ini tidak mendominasi pada lokasi penelitian.
Genus ini termasuk ke dalam famili Acaulosporaceae. Genus ini memiliki
beberapa ciri antara lain berbentuk globos hingga elips, berwarna bening, kuning,
ataupun merah kekuningan, memiliki 2−3 dinding spora, berukuran antara 40−300
µ m, terdapat substending hypa (INVAM 2013). Genus ini lebih beradaptasi pada
kondisi tanah masam dengan pH kurang 5.00 namun dapat ditemukan juga pada

12
pH yang netral. Genus ini dapat ditemukan pada tekstur tanah lempung liat
berpasir dan liat. Morfologi genus ini dapat dilihat pada Gambar 6.

A

B

Gambar 6 Morfologi genus Acaulospora yang ditemukan pada tanaman jabon
dengan perbesaran 400 x: spora Acaulospora yang utuh (A), dan
spora Acaulospora yang pecah (B)
Berdasarkan hasil pengamatan bentuk spora, jumlah dan genus yang
ditemukan pada masing-masing contoh tanah bervariasi. Keadaan ini
menunjukkan adanya keanekaragaman FMA yang terdapat pada masing-masing
hamparan tanah. Menurut Agustin (2011) bahwa, adanya keanekaragaman genus
ini dapat disebabkan perbedaan lingkungan tumbuh, tanaman inang dan juga
pengelolaan lahan.

Kelimpahan Relatif dan Frekuensi Genus FMA
Keberadaan genus-genus FMA pada masing-masing lokasi penelitan
menunjukkan bahwa adanya interaksi spora FMA dengan kondisi lingkungan
penelitian. Penyebaran genus FMA dapat dilihat berdasarkan data kelimpahan dan
frekuensi relatif pada lokasi penelitian yang tersaji pada Gambar 7 dan 8.
Kelimpahan relatif (Gambar 7) dan frekuensi relatif (Gambar 8)
menunjukkan bahwa sebaran Glomus memiliki tingkat penyebaran tertinggi di
masing-masing lokasi. Kelimpahan relatif Glomus di tanah kering Durenan
sebesar 93.15%, tanah kering Sudimoroharjo 80.00%, dan kelimpahan relatif
Glomus pada lokasi bekas sawah Sudimoroharjo sebesar 97.67%, selain itu
frekuensi relatif pada masing-masing lokasi penelitian juga menunjukkan bahwa
genus Glomus memiliki penyebaran yang mendominasi. Glomus pada lokasi tanah
kering Durenan memiliki nilai frekuensi relatif sebesar 82.35%, tanah kering
Sudimoroharjo memiliki frekuensi relatif sebesar 75.00% dan bekas sawah
Sudimoroharjo memiliki frekuensi relatif sebesar 94.44%. Glomus merupakan
genus yang mendominasi lahan pertanian, dan mempunyai ketahanan lebih tinggi
terhadap tekanan lingkungan dibandingkan dengan genus lainnya (Irmawati
2001). Shi et al. (2007) menambahkan pula bahwa Glomus mempunyai tingkat
adaptasi yang cukup tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan dan memiliki
sebaran yang luas.

13

100

97.67
93.15

Kelimpahan relatif (%)

90

Glomus

80.00

80
70

Acalauspora

60

Enterospora

50
40

30
20
10

8.57

5.48

11.43
2.33

1.37

0.00

0
Tanah kering Durenan

Tanah kering Sudimoroharjo

Bekas sawah Sudimoroharjo

Lokasi pengambilan sampel

Gambar 7 Kelimpahan relatif genus-genus FMA yang ditemukan pada lokasi
pengambilan sampel

100
90

94.44

Glomus

82.35

Frekuensi relatif (%)

80

75.00

Acalauspora

70
60

Enterospora

50
40
30
18.75

20
10

11.76
5.88

6.25

5.56
0.00

0
Tanah kering Durenan

Tanah kering Sudimoroharjo

Bekas sawah Sudimoroharjo

Lokasi pengambilan sampel

Gambar 8 Frekuensi relatif genus-genus FMA yang ditemukan pada lokasi
pengambilan sampel

14
Pertumbuhan Jabon
Keberagaman jumlah populasi dan komposisi genus FMA yang ditemukan
pada lokasi penelitian salah satunya dipengaruhi oleh tanaman inangnya.
Tanaman inang yang digunakan pada penelitian ini adalah jabon. Menurut
Numahara (1993) bahwa, suatu individu tanaman dapat berasosiasi dengan satu
atau lebih tanaman. Hal ini dikarenakan karakteristik biologis utama dari FMA
yaitu obligat, yang artinya setiap tahap siklus hidup FMA memerlukan tanaman
hidup (Dewi 2007). Keberadaan FMA pada tanaman inang ini tentunya akan
memberikan pengaruh untuk tanaman inangnya, walaupun pengaruhnya tidak
tampak nyata. Oleh karena itu, diperlukan analisis statistik mengenai diameter dan
tinggi jabon pada masing-masing lokasi untuk melihat perbedaan pertumbuhan
tanaman jabon di masing-masing lokasi. Rekapitulasi hasil perhitungan perbedaan
nilai tengah dua populasi diameter dan tinggi rata-rata jabon dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5 Rata-rata diameter dan tinggi jabon
Parameter
Diameter (cm)
Tinggi (m)

Lokasi
TKD24
10.15a
7.95a

BSS17
10.71a
7.73a

TKS17
6.96b
4.73b

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada uji beda nilai tengah pada taraf 5% ; TKD24= tegakan jabon berumur 24 bulan
di lokasi tanah kering durenan; BSS17= tegakan jabon berumur 17 bulan di lokasi bekas
sawah Sudimoroharjo; TKS17= tegakan jabon berumur 17 bulan di lokasi tanah kering
Sudimoroharjo.

Berdasarkan Tabel 5 pertumbuhan jabon pada lokasi tanah kering
Sudimoroharjo berbeda nyata dengan pertumbuhan jabon pada lokasi bekas sawah
Sudimoroharjo dan tanah kering Durenan. Sedangkan pertumbuhan jabon yang
berumur 24 bulan pada lokasi tanah kering Durenan tidak berbeda nyata dengan
pertumbuhan jabon yang berumur 17 bulan di lokasi bekas sawah Sudimoroharjo.
Pertumbuhan jabon umur 17 bulan pada lokasi tanah kering
Sudimoroharjo ini memberikan respon pertumbuhan yang paling rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan jabon yang berumur 17 bulan di lokasi bekas
sawah Sudimoroharjo. Kondisi tanah pada lokasi tanah kering Sudimoroharjo
merupakan lahan bekas alang-alang yang ditanami pohon jabon. Lahan bekas
alang-alang pada umumnya adalah tanah mineral masam, miskin hara dan bahan
organik, kandungan Al tinggi. Masalah yang terjadi pada lahan alang-alang yaitu
persediaan air bawah tanah yang kurang tersedia karena tanahnya padat, infiltrasi
air hujan rendah, sehingga walaupun curah hujan tinggi tetapi cadangan air bawah
tanah ini tetap sangat terbatas. Selain itu, tanaman alang-alang ini memiliki sifat
allelopati, sehingga tanaman yang tumbuh di dekatnya akan sulit berkompetisi
untuk mendapatkan air, unsur hara dan cahaya matahari (Friday et al. 1999). Hal
ini dapat disebabkan faktor yang mengganggu pertumbuhan jabon yang berumur
17 bulan pada lokasi tanah kering Sudimoroharjo, karena lahan alang-alang

15
memiliki sifat yang kurang baik sehingga kurang menguntungkan jika diusahakan
untuk tanaman budidaya.
Keterbatasan air tanah bukan merupakan faktor pembatas bagi FMA,
tetapi dengan kondisi tanah seperti ini merupakan masalah untuk pertumbuhan
jabon. Pada kondisi seperti ini tanaman yang terinfeksi FMA mampu bertahan
pada kondisi stress air yang hebat, dan lingkungan yang kurang menguntungkan.
Hal ini disebabkan jaringan hifa eksternal akan memperluas permukaan serapan
air dan mampu menyusup ke pori kapiler sehingga serapan air untuk tanaman
inang meningkat (Dewi 2007).
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa penanaman tanaman
jabon pada masing-masing lokasi memiliki jumlah populasi dan komposisi FMA
yang berbeda-beda. Keanekaragaman genus tertinggi ditemukan pada lokasi tanah
kering Durenan dan tanah kering Sudimoroharjo yaitu dengan ditemukannya 3
genus FMA. Keanekaragaman genus terendah terdapat pada lokasi bekas sawah
Sudimoroharjo karena hanya ditemukan 2 genus FMA. Enterospora hanya
ditemukan pada lokasi Durenan dan tanah kering, sedangkan Glomus dan
Acaulospora dapat ditemukan pada tiga lokasi penelitian.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian di bawah tegakan jabon di Madiun disimpulkan bahwa
persen kolonisasi FMA pada lokasi penelitian tergolong tinggi hingga sangat tinggi,
hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadinya simbiosis mutualisme antara FMA
pada tanaman jabon. Sifat kimia tanah pada lokasi penelitian tidak berpengaruh
terhadap perbedaan tingkat persen kolonisasi FMA pada masing-masing lokasi.
Lokasi tanah kering Durenan dan tanah kering Sudimoroharjo ditemukan 3 genus
FMA yaitu Glomus, Acaulospora, dan Enterospora, sedangkan di bekas sawah
Sudimoroharjo hanya ditemukan 2 genus FMA yaitu Glomus dan Acaulospora.
Glomus merupakan genus yang paling mendominasi pada ketiga lokasi penelitian
karena memiliki nilai kelimpahan dan frekuensi relatif tertinggi pada masing-masing
lokasi. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pada tiga lokasi penelitian
ditemukannya jumlah populasi dan komposisi FMA yang berbeda-beda, hal ini dapat
disimpulkan bahwa terdapat keanekaragaman FMA pada lokasi penelitian.

Saran
Kegiatan pengujian lebih lanjut FMA di bawah tegakan jabon berupa
eksplorasi terhadap genus indegenous perlu dilakukan untuk mendapatkan genus
indegenous yang lebih efektif untuk mendukung produktivitas tegakan jabon. Selain
itu, perlunya pengaplikasian pupuk hayati pada lahan kritis seperti pada tanah kering
untuk membantu pertumbuhan jabon di lahan yang kurang menguntungkan, sehingga
pertumbuhan jabon dapat lebih optimal.

16

DAFTAR PUSTAKA
Agustin W. 2011. Inokulasi fungi mikoriza arbuskula untuk meningkatkan
produktivitas dan mutu benih cabai (Capsicum annuum L) serta efesiensi
penggunaan pupuk P [tesis]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, IPB.
Brundrett MC, Bougher N, Dells B, Grove T, dan Malajozuk N. 1996. Working
With Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Canberra (AU): Centre for
International Agricultural Research.
Dewi IR. 2007. Peran, prospek dan kendala dalam pemanfaatan endomikoriza
[skripsi]. Bandung (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran.
Ervayenri. 1998. Studi keanekaragaman dan potensi inokulum cendawan mikoriza
arbuskula (CMA) di lahan gambut (studi kasus di Kabupaten Bengkalis,
Provinsi Riau) [tesis]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, IPB.
Friday, Kathleen S, Elmo Drilling M, Dennis P, Garrity. 1999. Imperata
Grtassland Rehabilition Using Agroforestry and Assisted Natural
Regeneration. Bogor (ID): ICRAF-SEA.
Giovannetti M, Mosse B. 1980. An evaluation of techniques for measuring
vesicular arbuscular mycorrhizal infection in roots. New Phytologist 84:489
-500.
Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo.
Hasbi R. 2005. Studi diversitas cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada
berbagai tanaman budidaya di Lahan Gambut Pontianak. Jurnal Agrosains 2
1:46-51.
[INVAM] International Culture Collection of Vesicular Arbuscular Mycorrhizal
Fungi. 2013. Reference culture of spesies vesicular arbuscula mycorrhizal
fungi [Internet]. [diunduh pada 2013 Apr 21]. Tersedia pada:
http://invam.caf.edu/Myco-info/Taxonomy/classification.htm.
Kartika E. 2006. Tanggap pertumbuhan, serapan hara dan karakter morfofisiologi
terhadap cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis
dengan CMA [disertasi]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, IPB.
Muliawan J. 1995. Mikoriza arbuskula pada rhizosfer beberapa kultivar rambutan
di Jakarta, Bogor, dan Tanggerang [skripsi]. Bogor (ID): Fakutas MIPA,
IPB.
Nuhamara ST. 1993. Mikoriza sebagai suatu model parasitisme. Technical Note
5(1):1-15.
Prihastuti. 2007. Isolasi dan karakterisasi mikoriza vesikular-arbuskular di lahan
kering masam, Lampung Tengah. Berkala Penelitian Hayati 12:99-106.
_______. 2011. Struktur komunitas mikroba tanah dan implikasinya dalam
mewujudkan sistem pertanian. El Hayah 4(1):174-181.
Prihastuti, Sudaryono, Handayanto E. 2010. Keanekaragaman jenis mikoriza
vesicular arbuskular dan potensinya dalam pengelolaan kesuburan lahan
ultisol. Di dalam: Prihastuti, Sudaryono, Handayanto, editor. Seminar
Nasional Biologi. [24-25 Sept 2010, Yogyakarta]. Yogyakarta (ID): Fakultas
Biologi, Universitas Gadjah Mada.

17
Pulungan AS. Infeksi fungi mikoriza infeksi fungi mikoriza arbuskula pada akar
tanaman tebu (Saccharum officinarum L). Jurnal Biosains Unimed 1(1):4346
Sastrahidayat IR. 2011. Rekayasa Pupuk Hayati Mikoriza. Malang (ID):
Universitas Brawijaya.
Setiadi Y. 1992. Mengenal Mikoriza, Rhizobium, dan Aktinorizal untuk Tanaman
Kehutanan. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, IPB.
Shi ZY, Zhang L, Feng G, Tian CY, Christie P. 2007. Diversity of arbuscular
mycorrhizal fungi associated with desert ephemerals in plant communities
of junggar basin, North West China. Journal Applied Soil Ecology (35):1020.
Sieverding E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhizal Management in Tropocal
Agrosystem. Germany (DE): Technical Coorporation.
Solaiman MZ, Hirata H. 1995. Effect of indigenous arbuscular mycorrhizal fungi
in paddy fields on rice growth and NPK nutrition under different water
regimes. Soil Science and Plant Nutrition 41(3):505-514.
Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): Penerbit Alfabeta.
Suhardi. 1989. Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Yogyakarta (ID):
Universitas Gajah Mada.
Zarei M, Hempel S, Wubet T, Schafer T, Savaghebi G, Jouzani GS, Nekouei MK,
Buscot F. 2010. Molecular diversity of arbuscular mycorrhizal fungi in
relation to soil chemical properties and heavy metal contamination. Jurnal
Environmental Pollution 158:2757-2765.

18

LAMPIRAN
Lampiran 1 Karakteristik sifat fisik tanah*
Sangat
Sifat tanah rendah
Rendah
Sedang
C (%)
< 1.00
1.00-2.00
2.01-3.00
N (%)
< 0.10
0.10-0.20
0.21-0.50
C/N
25.00
>60.00

Netral
6.60-7.50

Agak alkalis
7.60-8.50

4.10-6.00

6.1-6.5

Keterangan
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi

Alkalis
>8.50

>6.50

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Agustus 1991 dari ayah Karmin
dan ibu Nuraeni Amalia. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Tahun
2009 penulis lulus dari SMA Bina Bangsa Sejahtera dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta
Mandiri IPB (UTM-IPB) dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif berorganisasi di himpunan
profesi Tree Grower Community (TGC) pada tahun 2010/2011 dan 2011/2012
sebagai staff project division. Kepanitiaan yang diikuti yaitu Save Mangrove for
Our Earth tahun 2010, TGC in action tahun 2011, Seminar Jabon tahun 2011 dan
TGC in Action pada tahun 2012. Pada bulan Juli tahun 2011 penulis
melaksanakan Praktik Pengelolaan Ekosistem Hutan (PPEH) di lokasi
Papandayan-Sancang Timur, pada bulan Juni sampai dengan Juli tahun 2012
penulis melaksanakan Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di lokasi Hutan
Pendidikan Gunung walat (HPGW) Sukabumi, Bandung dan Cianjur serta pada
bulan Juni sampai dengan Agustus tahun 2013 penulis melaksanakan Praktik
Kerja Profesi (PKP) di Rumpin Seed Source and Nursery Center.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul “Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah
Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba) Madiun, Jawa Timur” di bawah
bimbingan Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS.