Dinamika Sporulasi Genus Fungi Mikoriza Arbuskula Hasil Penangkaran Dari Bawah Tegakan Hutan Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.)

DINAMIKA SPORULASI GENUS FUNGI MIKORIZA
ARBUSKULA HASIL PENANGKARAN DARI BAWAH
TEGAKAN HUTAN TANAMAN JABON
(Anthocephalus cadamba Roxb Miq.)

ERFAN HANDANI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dinamika Sporulasi
Genus Fungi Mikoriza Arbuskula Hasil Penangkaran dari Bawah Tegakan Hutan
Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Erfan Handani
NIM. E44090011

ABSTRAK
ERFAN HANDANI. Dinamika Sporulasi Genus Fungi Mikoriza Arbuskula Hasil
Penangkaran dari Bawah Tegakan Hutan Tanaman Jabon (Anthocephalus
cadamba Roxb Miq.). Dibimbing oleh IRDIKA MANSUR dan SRI WILARSO
BUDI R.
Lahan yang terdegradasi umumnya tidak produktif sehingga perlu upaya
untuk perbaikan lahan, salah satunya yaitu dengan membangun hutan tanaman.
Hutan tanaman yang banyak dikembangkan adalah hutan tanaman jabon
(Anthocephalus cadamba Roxb Miq.). Upaya untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman jabon selain pupuk yaitu dengan penggunaan fungi mikoriza arbuskula
(FMA). Informasi mengenai keanekaragaman dan sporulasi genus FMA pada

jabon masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian mengenai dinamika sporulasi
genus FMA pada hutan tanaman jabon perlu dilakukan. Metode penelitian ini
dilakukan dengan pengambilan sampel tanah dari rizosfer jabon dan penangkaran
pada media pot kultur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan spora
bulan November sampai Desember meningkat dan bulan Desember sampai
Januari menurun pada Sorgum bicolor dan Pueraria javanica. Genus FMA yang
ditemukan yaitu Glomus, Acaulospora dan Scutellospora dengan genus yang
dominan yaitu Glomus. Jenis tanaman inang yang efektif untuk penangkaran
FMA yaitu Sorgum bicolor.
Kata kunci: dinamika sporulasi, fungi mikoriza arbuskula, jabon, Pueraria
javanica, Sorgum bicolor

ABSTRACT
ERFAN HANDANI. Sporulation Dynamics Genus Arbuscular Mycorrhizal Fungi
of Under Jabon Stand Plant Forest (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.).
Supervised by IRDIKA MANSUR and SRI WILARSO BUDI R.
The degraded land generally is not productive so land reparation is needed,
one of them is establishing forest plant. Developed many forest plants are planted
forests jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.). Arbuscular myccorhizal fungi
(AMF) could increase jabon growth besides fertilizing. Information about AMF

diversity and sporulation genus in jabon is still limited. Therefore, the study of
AMF sporulation genus dynamics of jabon forest plants needs to be done. The
method of this research is picking by sampling the soil from jabon rizosfer and
culture pot media. The results showed that the spores density in November until
Desember were increased and Desember until January were decreased on Sorgum
bicolor and Pueraria javanica. AMF genus that found was Glomus, Acaulospora,
and Scutellospora with main genus was Glomus. Effective types of host plants for
trapping AMF is Sorgum bicolor.
Keywords: AMF, jabon, Pueraria javanica, Sorgum bicolor, sporulation
dynamics

DINAMIKA SPORULASI GENUS FUNGI MIKORIZA
ARBUSKULA HASIL PENANGKARAN DARI BAWAH
TEGAKAN HUTAN TANAMAN JABON
(Anthocephalus cadamba Roxb Miq)1
Oleh :
Erfan Handani2, Irdika Mansur3 dan Sri Wilarso Budi R4
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB
ABSTRAK
Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan yang sifatnya

sementara maupun tetap dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi. Lahan
kritis merupakan salah satu bentuk lahan terdegradasi (Dariah et al. 2004). Menurut
Dariah et al. (2004), penyebab utama degradasi lahan di Indonesia adalah erosi air
sebagai akibat curah hujan dengan jumlah dan intensitas yang tinggi terutama di
Indonesia Bagian Barat. Lahan yang terdegradasi umumnya menjadi tidak produktif
sehingga perlu upaya untuk perbaikan lahan. Salah satu upaya untuk memperbaiki lahan
yang terdegradasi dapat dengan dibangunnya hutan tanaman agar lahan menjadi
produktif. Dalam membangun hutan tanaman perlu adanya pertimbangan tentang jenis
tanaman cepat tumbuh (fast growing species) salah satunya yaitu Jabon (Anthocephalus
cadamba Roxb Miq). Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman jabon yaitu dengan pemberian pupuk. Namun pemupukan dalam areal yang luas
memerlukan biaya yang cukup besar sehingga diperlukan alternatif lain. Penggunaan
fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan
penggunaan pupuk buatan (Nusantara 2011). Hampir kurang dari 15% penelitian yang
mempelajari keanekaragaman FMA pada suatu tegakan (Mansur et al. 2002). Informasi
mengenai keanekaragaman dan sporulasi FMA pada jabon masih terbatas. Oleh karena
itu, penelitian mengenai dinamika sporulasi FMA pada pohon jabon perlu dilakukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan spora bulan November‒Desember
meningkat dan Desember‒Januari menurun pada Sorgum serta P. javanica. Pada
penelitian ini, infeksi akar lebih besar pada P. javanica dibanding Sorgum. Genus FMA

yang ditemukan yaitu Glomus, Acaulospora dan Scutellospora dengan genus spora yang
dominan yaitu Glomus.

Kata kunci : FMA, jabon, mikoriza, Pueraria javanica, Sorgum
PENDAHULUAN
Degradasi lahan adalah proses
penurunan produktivitas lahan yang
sifatnya sementara maupun tetap
dicirikan dengan penurunan sifat fisik,
kimia dan biologi. Lahan kritis
merupakan salah satu bentuk lahan
terdegradasi (Dariah et al. 2004).
1

Menurut Dariah et al. (2004), penyebab
utama degradasi lahan di Indonesia
adalah erosi air sebagai akibat curah
hujan dengan jumlah dan intensitas
yang tinggi terutama di Indonesia
Bagian Barat. Lahan yang terdegradasi

umumnya menjadi tidak produktif
sehingga perlu upaya untuk perbaikan

Makalah ini disampaikan dalam seminar hasil penelitian pada Hari Rabu, 19 Juni 2013 di ruang ABT 2
Mahasiswa Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB (E44090011)
3
Dosen Pembimbing Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB (Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc)
4
Dosen Pembimbing Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB (Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS)
2

lahan. Salah satu upaya untuk
memperbaiki lahan yang terdegradasi
dapat dengan dibangunnya hutan
tanaman agar lahan menjadi produktif.
Dalam membangun hutan tanaman
perlu adanya pertimbangan tentang
jenis tanaman cepat tumbuh (fast
growing species) salah satunya yaitu
Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb

Miq). Hutan tanaman yang banyak
dikembangkan belakangan ini yaitu
hutan
tanaman
jabon.
Jabon
(Anthocephalus cadamba Roxb Miq)
merupakan jenis pohon pionir asli
Indonesia yang memiliki penyebaran
alami yang luas dari Aceh sampai
Papua (Mansur 2010). Selain itu, jabon
dikembangkan karena memiliki nilai
komersial yang tinggi. Salah satu upaya
yang
dapat
dilakukan
untuk
meningkatkan pertumbuhan tanaman
jabon yaitu dengan pemberian pupuk.
Namun pemupukan dalam areal yang

luas memerlukan biaya yang cukup
besar sehingga diperlukan alternatif
lain.
Penggunaan fungi mikoriza
arbuskula (FMA) merupakan alternatif
yang
lebih
baik
dibandingkan
penggunaan pupuk buatan (Nusantara
2011). Penggunaan FMA tidak
membutuhkan biaya yang besar karena
teknologi produksinya murah, dapat
diproduksi dengan mudah di lapangan,
pemberian cukup sekali seumur hidup
tanaman, tidak menimbulkan polusi
dan tidak merusak struktur tanah
(Mansur 2003).
Fungi mikoriza arbuskula dapat
ditemukan hampir pada semua

ekosistem, termasuk pada lahan masam
(Kartika 2006) dan alkalin (Swasono
2006). Dalam hal ini termasuk juga di
dalamnya ekosistem jabon. Menurut
Smith dan Read (2008), FMA dapat
berasosiasi dengan hampir 90% jenis
tanamanMenurut Mansur et al. (2002)
kurang dari 15% yang mempelajari

keanekaragaman FMA pada suatu
ekosistem atau tegakan. Sejauh ini,
informasi mengenai keanekaragaman
dan sporulasi genus FMA pada jabon
masih terbatas. Keanekaragaman spora
FMA selalu berubah dengan perubahan
waktu pengamatan, jenis inang dan
tingkat salinitas (Delvian 2003). Oleh
karena itu, penelitian mengenai
dinamika sporulasi genus FMA pada
pohon jabon perlu dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keanekaragaman FMA di
rizosfir pohon Jabon, dinamika
sporulasi FMA, serta menguji jenis
tanaman inang yang efektif untuk
penangkaran FMA dari rizosfir jabon.
Hasil penelitian ini diharapkan
mampu
menambah
pengetahuan
mengenai dinamika sporulasi FMA
berdasarkan interval waktu, serta
genus-genus spora indigenous yang
dapat dikembangkan sebagai sumber
inokulum
untuk
meningkatkan
pertumbuhan Jabon.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan
selama 3 bulan (November 2012 ‒
Januari 2013). Lokasi pengambilan
sampel tanah dilakukan di Desa
Sukaresmi Kecamatan Mega Mendung
Kabupaten Bogor dan Desa Pamijahan
Gunung Bunder Kabupaten Bogor.
Penangkaran mikoriza dilakukan di
rumah kaca Departemen Silvikultur,
Laboratorium Silvikultur Fakultas
Kehutanan IPB, sedangkan untuk
mengidentifikasi FMA dilakukan di
Laboratorium Bioteknologi Hutan,
PPSHB IPB dan Laboratorium
Mikrobiologi Tanah Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sumber Daya
Hutan Bogor. Analisis tanah dilakukan
di Laboratorium Tanah SEAMEO
BIOTROP.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sampel tanah dari
sekitar perakaran Jabon di Desa
Sukaresmi Kecamatan Mega Mendung
Kabupaten Bogor dan Desa Pamijahan
Gunung Bunder Kabupaten Bogor,
kantong plastik, benih P. javanica,
benih
Sorgum,
zeolit,
pupuk
Terabuster, Sunclin. Sementara itu
untuk ekstraksi dan identifikasi spora
FMA dibutuhkan larutan glukosa 60%,
larutan Melzer’s sebagai bahan
pewarna spora. Untuk pewarnaan akar
dibutuhkan bahan-bahan kimia seperti
KOH 10%, HCL 2%, larutan Trypan
Blue 0.05% (campuran lactic acid 40
ml, glyceryn 40 ml dan aquades 20 ml).
Alat-alat yang digunakan untuk
pengambilan sampel tanah dan akar
tanaman adalah cangkul, spidol dan
kertas
label.
Sedangkan
untuk
pengamatan di laboratorium adalah
saringan spora (saringan bertingkat dua
yaitu 710 µm, dan 45 µm), sentrifuse,
pipet plastik, pinset spora, kaca
preparat, pipet, timbangan analitik,
gunting akar, mikroskop dissecting dan
binokuler, cover glass, Petri dish,
sprayer dan pot plastik berdiameter 20
cm.
Prosedur Penelitian
Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel tanah
dilakukan
di
Desa
Sukaresmi
Kecamatan Mega Mendung Kabupaten
Bogor (3 sampel tanah) dan Desa
Pamijahan Gunung Bunder Kabupaten
Bogor (3 sampel tanah). Masingmasing daerah tersebut diambil sampel
tanah dari 3 plot, dengan memilih 1
pohon
Jabon
yang
memiliki
pertumbuhan paling baik dari tiap
plotnya. Penentuan plot dibuat dengan
metode
Purposive
sampling
berdasarkan umur tegakan. Ukuran plot
yang dibuat yaitu 20 x 20m. Pemilihan

jabon dilihat berdasarkan diameter dan
tinggi terbesar diantara pohon jabon
yang ada dalam plot.
Pengambilan sampel tanah dari
lapangan diambil sebanyak ± 500 gram
pada zona rizosfir dengan kedalaman
5-20 cm secara komposit dari 3 titik
sekitar perakaran Jabon dengan
mengikuti akar jabon, sehingga tanah
yang diambil benar-benar dari rizosfir
jabon.
Persiapan Tanaman Inang
Tanaman inang yang digunakan
untuk trapping yaitu benih P. javanica
dan Sorgum. Benih-benih P. javanica
terlebih dahulu direndam dalam larutan
Sunclin sebanyak satu sendok makan
selama 5-10 menit, kemudian dibilas
dengan air sampai tidak berbau dan
direndam air hangat selama 10 menit
untuk
mematahkan
dormansinya.
Setelah itu, benih P. javanica dapat
langsung ditanam.
Penangkaran Mikoriza (Trapping)
Teknik
penangkaran
yang
digunakan mengikuti metode Brundrett
et al. (1994) dengan menggunakan potpot kecil. Menurut Invam (2010) kultur
paling tidak berumur 4 bulan untuk
dapat dipanen dan diamati sporanya.
Media tanam yang digunakan berupa
sampel tanah sebanyak 100 gram
(masing-masing 50 gram untuk tiap
tanaman inang) dan batuan zeolit
sebanyak 150 gram. Zeolit yang akan
digunakan sebagai media trapping,
dicuci
terlebih
dahulu
untuk
memisahkan kotoran yang ada pada
zeolit. Media trapping dibuat dengan
cara pot berdiameter 20 cm diisi
dengan zeolit hingga setengah volume
pot, kemudian disi dengan sampel
tanah, dan terakhir ditutup kembali
dengan zeolit, sehingga media akan
tersusun atas zeolit - sampel tanah –
zeolit (Delvian 2006).

Pemeliharaan Tanaman Inang
Pemeliharaan yang dilakukan
adalah penyiraman, pemupukan dan
pengendalian terhadap hama penyakit.
Penyiraman dilakukan sebanyak satu
kali sehari di pagi hari. Pemupukan
dilakukan satu kali pada awal
penanaman dengan menggunakan
pupuk Terabuster dengan dosis 100 ml
per
tanaman
untuk
membantu
pertumbuhan
tanaman
inang.
Pengendalian hama dan penyakit
dilakukan
dengan
membebaskan
tanaman
dari
serangga
dan
membersihkan bagian dasar tanaman
dari dedaunan yang masuk ke dalam
pot.
Pengamatan Spora dan Infeksi Akar
Pengamatan spora dilakukan
dengan mengambil sampel tanah hasil
trapping
pada
tanaman
inang.
Pengambilan sampel tanah untuk
pengamatan, dilakukan dengan cara
memisahkan zeolit bagian atas dari
media penangkaran, kemudian tanah
yang ada pada bagian tengah diambil
sebanyak 10 gram disertai dengan
pengambilan
akarnya.
Kegiatan
pengambilan
sampel
tanah
ini
dilakukan secara periodik dengan
interval waktu 1 bulan yang dimulai
pada November 2012 - Januari 2013.
Pengamatan infeksi akar dapat
dilihat dengan cara pewarnaan akar.
Pewarnaan akar dilakukan dengan
metode Phyllip dan Hyman (1970.
Langkah awal dalam pewarnaan akar
yaitu dengan mengambil akar serabut
pada samping kiri dan samping kanan
dari batang pokok. Akar yang akan
diamati dicuci dengan air mengalir
hingga kotoran dan tanah yang
menempel hilang. Akar kemudian
direndam dalam larutan KOH 10%
sampai akar berwarna putih atau
kuning bening selama ± 48 jam. Akar
tersebut kemudian dibilas dengan air

bersih
agar
KOH-nya
hilang.
Selanjutnya, akar direndam dalam
larutan HCL 2% selama ± 24 jam dan
dibilas dengan air bersih agar HCL-nya
hilang. Perendaman selanjutnya yaitu
dengan larutan staining trypan blue
0.05% sampai akar berwarna biru ± 24
jam.
Sedangkan untuk pengamatan
akar, dilakukan dengan memotong akar
yang telah diwarnai sepanjang 1 cm,
kemudian akar ditata di atas preparat
dan ditutup dengan cover glass, jumlah
akar tiap preparat sebanyak 10 potong.
Infeksi akar dapat dilihat melalui
adanya vesikula, arbuskula, hifa
maupun spora yang menginfeksi akar.
Perhitungan infeksi akar menggunakan
rumus sebagai berikut :
Akar
terinfeksi
(%)

∑bidang pandang
terinfeksi
=
X 100%
∑bidang pandang
total

Perhitungan Spora
Perhitungan spora dilakukan
untuk mengetahui kepadatan spora.
Kepadatan spora adalah banyaknya
spora tiap sampel tanah yang dianalisis.
Kepadatan spora dihitung dengan
rumus :
Kepadatan spora = jumlah spora / berat
tanah yang dianalisis
Sehingga untuk menghitung kepadatan
spora pada analisis sampel tanah
sebanyak 10 gram adalah : Kepadatan
spora = jumlah spora / 10 gram
Ekstraksi dan Identifikasi Spora
Ekstraksi
spora
dilakukan
dengan mengikuti teknik tuang saring
dari Pacioni (1992). Langkah kerjanya,
sampel tanah dari hasil trapping
diambil
sebanyak
50
gram
dicampurkan dengan 400-500 ml air
dan diaduk sampai butiran-butiran
tanahnya hancur. Selanjutnya disaring

dengan saringan bertingkat ukuran 710
µm dan 45 µm secara berurutan dari
atas ke bawah. Saringan bagiaan atas
disemprot dengan air kran untuk
memudahkan bahan saringan lolos.
Selanjutnya saringan paling atas
dilepas dan pada saringan kedua tersisa
sejumlah tanah yang tertinggal yang
kemudian dipindahkan ke dalam
tabung
sentrifuse.
Kemudian
dilanjutkan dengan metode sentrifugasi
(Brundrett et al. 1996) yaitu hasil
saringan tanah dimasukkan ke dalam
tabung sentrifuse ditambahkan larutan
glukosa 60% sebanyak 2/3 isi tabung
dan di sentrifuse selama 3-5 menit
dengan kecepatan 2500 rpm. Cairan
yang agak bening dibagian tengah
tabung merupakan peralihan antara
larutan gula dengan air yang
merupakan kumpulan partikel-partikel
yang mengandung spora FMA. Cairan
tersebut selanjutnya dituangkan ke
dalam saringan ukuran 45µm dan
dicuci dengan air mengalir untuk
menghilangkan glukosa. Endapan yang
tersisa dalam saringan dituangkan ke
dalam Petri dish dan diamati di bawah
mikroskop binokuler untuk perhitungan
kepadatan spora dan pembuatan
preparat spora. Preparat spora dibuat
untuk melakukan identifikasi spora
FMA yang ditemukan.
Preparat
spora
dibuat
menggunakan bahan pewarna Melzer’s
untuk membantu dalam mempercepat
identifikasi spora sampai tingkatan
genus. Spora-spora FMA yang
diperoleh dari isolasi diletakkan dalam
larutan Melzer’s. Selanjutnya sporaspora tersebut dipecahkan secara hatihati dengan cara menekan kaca
penutup preparat menggunakan ujung
lidi. Perubahan warna spora dalam
larutan Melzer’s adalah salah satu
indikator untuk menentukan genus
spora yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepadatan spora
Isolasi tanah pada rizosfer jabon
dari dua lokasi pengambilan sampel
menghasilkan beberapa spora FMA.
Nilai kepadatan spora FMA bervariasi
dan berfluktuasi pada setiap tanaman
dalam setiap pengambilan sampel
tanah. Setiap tanaman mempunyai pola
fluktuasi
yang
berbeda
yang
menunjukkan tidak adanya suatu
kecenderungan
tertentu
terhadap
perbedaan
waktu
pengamatan.
Fluktuasi kepadatan spora pada
tanaman Sorgum dan P. javanica
dalam tiga kali pengamatan dapat
dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1 Fluktuasi kepadatan spora
FMA per 50 gram tanah
pada
tanaman
inang
Sorgum yang diperoleh dari
tiga kali pengamatan

Gambar 2 Fluktuasi kepadatan spora
FMA per 50 gram tanah
pada tanaman inang P.
javanica yang diperoleh
dari tiga kali pengamatan
Gambar 1 dan Gambar 2
menunjukkan bahwa kepadatan spora
pada masing-masing tanaman inang
terdapat perbedaan. Kepadatan spora
Gunung Bunder pada tanaman inang
Sorgum, bulan November sebanyak
193 spora/50 gram tanah, bulan
Desember kepadatan spora sebanyak
295 spora/50 gram tanah dan bulan
Januari kepadatan spora sebanyak 9
spora/50 gram tanah. Sedangkan
kepadatan spora Mega Mendung pada
tanaman
inang
Sorgum,
bulan
November sebanyak 148 spora/50 gram
tanah, bulan Desember sebanyak 87
spora/50 gram tanah dan bulan Januari
6 spora/50 gram tanah. Hasil ini jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan
kepadatan spora hasil pemerangkapan
Rainiyati (2007) 2-57 spora/50 gram
tanah pada rizosfer pisang. Kepadatan
spora Gunung Bunder pada tanaman
inang P. javanica, bulan November
sebanyak 128 spora/50 gram tanah,
bulan Desember sebanyak 253 spora/50
gram dan bulan Januari sebanyak 26
spora/50 gram tanah. Sedangkan
kepadatan spora Mega Mendung pada
tanaman inang P. javanica, bulan

November sebanyak 72 spora/50 gram
tanah, bulan Desember sebanyak 55
spora/50 gram tanah dan bulan Januari
sebanyak 12 spora/50 gram tanah.
Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan
penelitian Karepesina (2007) yang
menemukan 24-40 spora/50 gram tanah
dari bawah tegakan jati ambon di lokasi
Salahutu. Pada gambar 1 dan 2 terlihat
bahwa kepadatan spora Gunung
Bunder, pada tanaman inang Sorgum
dan P. javanica bulan Desember
mengalami
peningkatan
dan
mengalami penurunan pada bulan
Januari. Menurut Delvian (2003)
bahwa adanya perubahan kepadatan
spora dalam setiap pengamatan
menunjukkan bahwa setiap jenis FMA
membentuk spora pada saat yang
berbeda, tergantung fenologi dan
responnya terhadap tanaman inang.
Berbeda dengan kepadatan spora Mega
Mendung, pada tanaman inang Sorgum
dan P. javanica mengalami penurunan
pada bulan Desember dan Januari. Hal
ini dikarenakan perbedaan jenis tanah,
lingkungan tumbuh (suhu, cahaya, dan
kelembapan), dan ketinggian tempat di
Gunung Bunder dan Mega Mendung
sebagai salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap penyebaran jenis
FMA dan kepadatan spora. Menurut
Rainiyati (2007) bahwa perbedaan
kepadatan
spora
kemungkinan
dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan
(jenis tanah, hara tanaman, ketinggian
tempat, cahaya). Selain itu, Corryanti et
al. (2008) menyatakan bahwa adanya
perbedaan keanekaragaman dan jumlah
spora ditentukan oleh lingkungan dan
tata kelola lahan serta tipe lahan.
Perbedaan fluktuasi kepadatan
spora pada tanaman inang Sorgum dan
P. javanica dapat dilihat pada Gambar
3.

Gambar 3 Fluktuasi kepadatan spora
FMA per 50 gram tanah
pada
tanaman
inang
Sorgum dan P. javanica
yang diperoleh dari tiga
kali pengamatan
Gambar 3 menunjukkan bahwa
tanaman inang Sorgum menghasilkan
kepadatan spora yang lebih tinggi
dibandingkan dengan P. javanica. Hal
ini dikarenakan Sorgum memiliki
sistem perakaran yang baik untuk
pembentukan mikoriza, selain itu
Sorgum merupakan salah satu tanaman
serelia yang mengandung karbonhidrat
cukup tinggi (Sirappa 2003). Selain itu,
gambar 3 menunjukkan bahwa Sorgum
lebih efektif untuk pemerangkapan
spora dibandingkan P. javanica.
Menurut Patriyasari (2006) jumlah
spora tidak hanya dipengaruhi oleh satu
faktor saja, tetapi juga dipengaruhi oleh
akumulasi dari beberapa faktor,
diantaranya mikoriza itu sendiri,
varietas tanaman inang dan kondisi
lingkungan, seperti cahaya dan suhu,
karena cahaya matahari berperan dalam
pembentukan karbohidrat melalui
asimilasi karbon yang selanjutnya
FMA akan menggunakan karbon
tersebut sebagai sumber energi bagi
pertumbuhannya. Hasil penelitian
Delvian (2003) menunjukkan bahwa
keanekaragaman spora FMA selalu
berubah dengan perubahan waktu

pengamatan, jenis inang dan tingkat
salinitas. Hasil penelitian ini lebih
komprehensif karena data diperoleh
dari tiga kali pengamatan dan
menunjukkan
adanya
perubahan
kepadatan
spora
pada
setiap
pengamatan. Selama ini informasi
tentang keanekaragaman FMA pada
suatu ekosistem atau tegakan diperoleh
hanya dari satu kali pengamatan,
seperti yang dilakukan oleh Purwanto
(1999) pada ekosistem hutan pantai dan
Maryadi (2002) pada tegakan jati.
Perbedaan kepadatan spora pada tiga
kali pengamatan menginformasikan
bahwa keanekaragaman FMA pada
suatu lokasi tergantung pada jenis
FMA yang bersporulasi pada saat
tersebut. Hal ini sesuai dengan Delvian
(2003) bahwa adanya perubahan
kepadatan
spora
dalam
setiap
pengamatan
menunjukkan
bahwa
setiap jenis FMA membentuk spora
pada saat yang berbeda, tergantung
fenologi dan responnya terhadap
tanaman inang.
Persen Kolonisasi Akar
Infeksi akar dicirikan oleh
adanya asosiasi antara FMA dengan
akar yang membentuk struktur-struktur
yang dihasilkan oleh FMA seperti hifa,
vesikula, arbuskula maupun spora. Hifa
adalah salah satu struktur dari FMA
berbentuk benang-benang halus yang
berfungsi sebagai penyerap unsur hara
dari luar. Vesikula menurut Abbott &
Robson (1982), berbentuk globosa dan
berasal dari menggelembungnya hifa
internal dari FMA. Vesikula ditemukan
baik di dalam maupun di luar lapisan
kortek parenkim dan tidak semua FMA
membentuk vesikula dalam akar
inangnya. Arbuskula adalah unit
kolonisasi yang telah mencapai sel
korteks yang lebih dalam letaknya dan
menembus
dinding
sel
serta
membentuk sistem percabangan hifa

yang kompleks, tampak seperti pohon
kecil yang mempunyai cabang-cabang
(Gunawan 1993), struktur ini berperan
sebagai tempat pertukaran unsur hara
dan karbon (Hudson 1989). Adanya
satu atau lebih struktur FMA tersebut,
maka dapat dikatakan terjadi infeksi
oleh FMA. Hasil pengamatan infeksi
akar hanya ditemukan struktur hifa dan
vesikula saja sedangkan struktur
arbuskula tidak ditemukan. Hal ini
dikarenakan siklus hidup dari arbuskula
relatif pendek yakni berkisar 4-6 hari
dan setelah itu arbuskula akan
mengalami
degenerasi
kemudian
dicerna oleh sel tanaman inang
(Srivastava et al., 1996 dalam Hapsoh,
2008). Struktur hifa dan vesikula dapat
dilihat pada Gambar 4.

Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa telah terjadi asosiasi antara
FMA dengan akar tanaman inang.
Namun, persentase infeksi akar pada
tiap tanaman inang berbeda-beda.
Adapun persentase infeksi akar dapat
dilihat pada Tabel 1.

a
b

Gambar

4

Kolonisasi
akar
dihitung
berdasarkan jumlah bidang pandang
terinfeksi terhadap total bidang
pandang yang diamati. Tingkat infeksi
pada akar diklasifikasikan menurut The
Instate of Mycorrhizal Research and
Development, USDA Forest Service,
Athena Georgia (Setiadi 1992) sebagai
berikut :
1. Kelas 1, bila infeksinya 0% ‒
5%, sangat rendah
2. Kelas 2, bila infeksinya 6% ‒
25%, rendah
3. Kelas 3, bila infeksinya 26% ‒
50%, sedang
4. Kelas 4, bila infeksinya 51% ‒
75%, tinggi
5. Kelas 5, bila infeksinya 76% ‒
100%, sangat tinggi

Infeksi FMA yang
ditemukan pada akar P.
javanica berupa hifa (a)
dan vesikula (b) dengan
perbesaran 40 x

Tabel 1 Persentase infeksi akar pada tanaman inang Sorgum dan P. javanica
bulan November ‒ Januari
Persen infeksi akar (%)
No
1
2

Lokasi
Gunung
Bunder
Mega
Mendung

Sorgum
P. javanica
November Desember Januari November Desember Januari
35s

50.56t

41.11s

52.22t

66.67t

58.33t

47.78s

47.78s

38.34s

34.44s

46.11s

54.44t

Keterangan : s = sedang, t = tinggi,
huruf di belakang angka
menunjukkan
tingkat
infeksi FMA pada akar

Pada tiap tanaman memiliki
persentase infeksi yang berbeda-beda,
hal ini kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan faktor yang mempengaruhi
infeksi mikoriza terhadap tanaman,

antara lain yaitu kebergantungan
tanaman terhadap mikoriza, efektifitas
isolat maupun kondisi nutrisi terutama
unsur P (Setiadi 1995). Selain itu,
perbedaan tempat asal pengambilan
tanah juga mempengaruhi terhadap
variasi infeksi akar oleh FMA. Hal ini
dipertegas oleh Fitter & Merryweather
(1992) bahwa variasi infeksi akar
tumbuhan oleh FMA di alam berbeda
dengan berbedanya tempat dan waktu.
Persentase infeksi akar pada
tanaman inang Sorgum Gunung
Bunder bulan November - Januari
sebesar 35% - 50.56% dengan kriteria
infeksi akar sedang-tinggi. Pada
tanaman inang P. javanica persentase
infeksi akar bulan November - Januari
sebesar 52.22% - 66.67% dengan
kriteria infeksi akar tinggi. Sedangkan
persentase infeksi akar pada tanaman
inang Sorgum Mega Mendung bulan
November - Januari sebesar 38.34% 47.78% dengan kriteria infeksi akar
sedang. Pada tanaman inang P.
javanica persentase infeksi akar bulan
November - Januari sebesar 34.44% 54.44% dengan kriteria infeksi akar
sedang-tinggi. Secara umum, infeksi
akar pada Sorgum dan P. javanica
meningkat pada bulan Desember dan
menurun pada bulan Januari. Hal ini
dikarenakan pada bulan Desember
spora sedang berkecambah sehingga
infeksi meningkat. Laju kolonisasi
akar, selain ditentukan oleh respon
tanaman inang dan lingkungan tumbuh,
ditentukan juga oleh dormansi, tingkat
kematangan atau umur spora, dan
kerapatan inokulum (Abbot & Gazey
1994). Dormansi merupakan waktu
yang diperlukan oleh spora untuk
berkecambah
dan
kemudian
mengkolonisasi akar, adanya dormansi
spora
dengan
demikian
dapat
menurunkan laju kolonisasi akar
(Gemma & Koske 1988).

Dalam penelitian ini, persen
kolonisasi akar lebih besar pada P.
javanica dibandingkan dengan Sorgum
karena memiliki sedikit bulu akar
sehingga
akan
berupaya
untuk
memperluas eksploitasi akar dengan
mikoriza.
Simanungkalit
(1998)
menyatakan bahwa sistem perakaran
seperti serabut yang memiliki rambut
akar yang banyak umumnya dianggap
kurang bergantung pada infeksi
mikoriza dibanding tanaman dengan
sistem perakaran yang kasar dan
memiliki sedikit atau tanpa rambut
akar. Persen kolonisasi akar tidak
berhubungan erat dengan kepadatan
spora. Hal ini terlihat pada masingmasing lokasi, infeksi akar yang
meningkat tidak selalu diikuti dengan
meningkatnya kepadatan spora. Hal ini
sesuai dengan Tuheteru (2003) bahwa
antara infeksi akar dan jumlah spora
yang dihasilkan tidak memiliki korelasi
yang erat, sehingga spora yang banyak
belum tentu persentase infeksi akar
akan tinggi pula.
Identifikasi dan Karakterisasi Spora
FMA
Hasil identifikasi tipe spora atas
dasar karakteristik morfologi dan
respon terhadap reaksi Melzer’s
menunjukkan bahwa ditemukan tiga
genus yaitu Glomus, Scutellospora dan
Acaulospora. Penelitian ini sampai
pada tingkat genus saja, sehingga untuk
menentukan genus FMA, diperlukan
larutan Melzer’s. Hasil identifikasi
spora FMA dapat dilihat pada Gambar
5.

a

b
80 µm

c

Germination
wall

Gambar 5 Spora yang ditemukan pada
rizosfer jabon antara lain
Glomus (a), Scutellospora
(b) dan Acaulospora (c)
Karakteristik morfologi yang
ditemukan
pada
penelitian
ini,
umumnya spora Glomus berbentuk
bulat hingga bulat lonjong berwarna
kuning muda, kuning kemerahan,
coklat dan hitam, permukaan relatif
halus, dinding spora tipis. Hal ini
sesuai dengan Puspitasari et al (2012),
spora Glomus rata-rata memiliki bentuk
bulat sampai bulat lonjong, memiliki
dinding spora mulai dari kuning bening
sampai coklat kemerahan, permukaan
dinding spora relatif halus dan
memiliki dinding spora tipis. Selain
Glomus, genus lain yang ditemukan

yaitu Acaulospora dan Scutellospora.
Acaulospora yang ditemukan memiliki
karakteristik spora bulat, berwarna
kuning kemerahan, dinding spora
relatif tebal dan ketika bereaksi dengan
larutan Melzer’s, bagian tengah spora
berubah
warna
menjadi
merah
kecoklatan. Menurut Hall (1984) dalam
Patriyasari,
spora
Acaulospora
memiliki bentuk bulat lonjong, dinding
spora yang relatif tebal dan berwarna
orange
kemerahan.
Sedangkan
Scutellospora
yang
ditemukan
memiliki karakteristik spora bulat,
berwarna kuning muda hingga kuning
kemerahan, dinding spora relatif tebal
berwarna coklat dan ketika bereaksi
dengan larutan Melzer’s warna spora
menjadi coklat tua hingga merah coklat
seluruhnya. Menurut INVAM (2008),
spora Scutellospora bereaksi dengan
larutan Melzer’s secara menyeluruh.
Warna sporanya merah coklat ketika
bereaksi dengan larutan Melzer’s.
Hasil identifikasi spora yang
diperoleh dari setiap pengamatan
menunjukkan
bahwa
terjadinya
perubahan tipe spora yang terbentuk,
dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Dinamika genus FMA yang diperoleh pada setiap lokasi dalam tiga kali
pengamatan
No

Lokasi

1

Plot 1
Gunung
Bunder

2

P. javanica

Sorgum
November
Acaulospora
sp-1

Desember
Acaulospora
sp-3

Januari
Glomus
sp-2
Glomus
sp-4

November
Glomus sp-4

Desember
Glomus
sp-7

Plot 2
Gunung
Bunder
Plot 3
Gunung
Bunder

Acaulospora
sp-2

Glomus
sp-2

Glomus
sp-2

Glomus sp-2

Glomus
sp-4

Januari
Glomus
sp-2
Glomus
sp-7
Glomus
sp-10
Glomus
sp-2

Glomus sp-1

Glomus
sp-6

Scutellospora
sp-1

Glomus
sp-7

Glomus
sp-7

4

Plot 1
Mega
Mendung

Glomus sp-2

Glomus
sp-2

Glomus sp-5

Glomus
sp-2

Glomus
sp-2

5

Plot 2
Mega
Mendung

Glomus sp-3

Glomus
sp-2

Scutellospora
sp-2
Glomus
sp-2
Glomus
sp-2
Glomus
sp-9
Glomus
sp-2

Glomus sp-2

Glomus
sp-2

6

Plot 3
Mega
Mendung

Glomus sp-4

Glomus
sp-4

Acaulospora
sp-1
Glomus
sp-2

Glomus sp-5

Glomus
sp-8

Glomus
sp-6
Glomus
sp-7
Glomus
sp-6

3

Tabel 2 menunjukkan bahwa
terdapat 10 tipe spora FMA yang
termasuk dalam genus Glomus, 2 tipe
spora
termasuk
dalam
genus
Scutellospora dan 3 tipe spora
termasuk dalam genus Acaulospora
pada dua lokasi pengambilan sampel
tanah yang berbeda. Terlihat bahwa
dinamika spora pada setiap pengamatan
berbeda-beda,
tipe
spora
yang
ditemukan cenderung hanya satu kali
dalam tiga kali pengamatan. Tipe spora
yang paling dominan ditemukan pada
masing-masing lokasi adalah Glomus
sp. Menurut INVAM (2008), Glomus
adalah jenis yang paling dominan
(52.3%), diikuti Acaulospora (20.9%),
Scutellospora (16.9%), Gigaspora
(4.7%),
Entrophospora
(2.3%),
Arcaheospora (1.7%) dan Paraglomus
(1.2%). Penyebaran genus Glomus di
alam tergolong sangat tinggi sehingga

pada pengamatan ini tipe spora Glomus
selalu ditemukan. Ragupathy dan
Mahadevan (1991) dalam Delvian
(2006) mempelajari FMA pada hutan
pantai juga menyimpulkan bahwa
Glomus adalah jenis FMA yang paling
dominan penyebarannya, dari 25
spesies dari 37 spesies yang ditemukan
adalah tipe Glomus. Jumlah tipe spora
yang diperoleh dari setiap lokasi
berbeda, baik antar lokasi dalam waktu
pengamatan yang sama maupun dalam
lokasi yang sama dengan waktu
pengamatan yang berbeda. Secara
umum, dalam tiga kali pengamatan
jumlah tipe spora pada lokasi Plot 1
Gunung Bunder lebih banyak daripada
lima lokasi lainnya.
Frekuensi perubahan tipe spora
yang terdapat pada suatu lokasi antar
waktu pengamatan sangat bervariasi.
Terlihat pada lokasi plot 1 Gunung

Bunder, dari tiga kali pengamatan
ditemukan tipe spora Acaulospora sp-1
pada
pengamatan
pertama
dan
Acaulospora sp-3 pada pengamatan
kedua. Sedangkan pada pengamatan
ketiga, tipe spora yang ditemukan yaitu
Glomus sp-2 dan Glomus sp-4 dengan
tanaman
inang
Sorgum.
Pada
pengamatan pertama dengan tanaman
inang P. javanica tipe spora yang
ditemukan yaitu Glomus sp-4, Glomus
sp-7 pada pengamatan kedua dan
Glomus sp-2, Glomus sp-7, Glomus sp10 pada pengamatan ketiga. Tipe spora
yang dapat ditemukan pada setiap
waktu pengamatan yaitu Glomus sp-2

dan ada yang hanya ditemukan dalam
satu
kali
pengamatan
yaitu
Acaulospora sp-1, Acaulospora sp-2,
Acaulospora sp-3, Glomus sp-1,
Glomus sp-3, Glomus sp-5, Glomus sp6, Glomus sp-8, Scutellospora sp-1 dan
Scutellospora sp-2.
Analisis Tanah
Kondisi
lingkungan
sangat
mempengaruhi keberadaan spora FMA
didalam tanah, seperti kondisi fisik dan
kimia tanah. Hasil analisis tanah pada
kedua lokasi pengambilan sampel
ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil analisis tanah
No

Lokasi

Ph

P

K

C Org

Tekstur

1
2
3
4

Plot 1 Gunung Bunder
Plot 2 Gunung Bunder
Plot 3 Gunung Bunder
Mega Mendung

4.8
4.6
4.7
5.5

4.73
10.34
7.39
3.14

0.55
1.48
0.50
1.53

1.16
1.62
1.2
3.82

Liat
Liat
Liat
Lempung berpasir

Tekstur tanah pada Desa
Gunung Bunder yaitu liat sedangkan
tekstur tanah pada Desa Mega
Mendung yaitu lempung berpasir.
Analisis tanah pada Desa Mega
Mendung hanya satu, karena kondisi
umur tegakan yang sama sehingga
sampel tanah dari tiga plot pengamatan
dikompositkan
untuk
kemudian
dianalisis.
Hasil
analisis
tanah
menunjukkan bahwa kedua lokasi
memiliki pH berkisar antara 4.6-5.5,
menurut Hardjowigeno (2010) kriteria
pH pada kedua lokasi pengamatan
tergolong masam. Menurut Lembaga
Penelitian Tanah (1983), pada plot 1
Gunung Bunder nilai hara P tergolong
rendah (4.4 ‒ 6.6) dan nilai K tergolong
tinggi. Plot 2 Gunung Bunder nilai hara
P tergolong rendah (4.4 ‒ 11.00) dan
nilai K tergolong sangat tinggi (> 1.0).
Sedangkan pada plot 3 Gunung

Bunder, nilai hara P tergolong rendah
dan nilai K tergolong sedang (0.3 ‒
0.5). Kandungan C-organik dan K pada
Desa Mega Mendung lebih tinggi
dibandingkan Desa Gunung Bunder
yaitu sebesar 3.82% dan 1.53 Me/100g.
Kriteria sifat kimia tanah menurut
Hardjowigeno (2010), nilai C-organik
dan K di Desa Mega Mendung
tergolong tinggi dan sangat tinggi.
Sedangkan di Desa Gunung Bunder
nilai C-organik pada tiga lokasi
tergolong rendah yaitu 1.00 ‒ 2.00.
Perkembangan
FMA
dipengaruhi oleh bahan organik untuk
proses perkembangan hidupnya. Bahan
organik merupakan salah satu sumber P
yang jumlahnya melimpah di alam dan
dilaporkan
berpengaruh
terhadap
kehidupan FMA (Nusantara 2011).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
perkembangan
Glomus
sangat

13

mendominasi dibandingkan dengan
genus
lainnya.
Selain
karena
penyebarannya yang luas, keberadaan
Glomus berkaitan dengan tekstur tanah
pada masing-masing lokasi. Tekstur
tanah pada Gunung Bunder yaitu liat,
penyebaran Glomus pada lokasi ini
mendominasi karena sesuai dengan
penyebaran spora Glomus. Hal ini
sesuai dengan Baon (1998) dalam
Hapsoh (2008) bahwa tanah yang
didominasi oleh fraksi liat (clay)
merupakan kondisi yang sesuai untuk
perkembangan
spora
Glomus.
Sedangkan pada Mega Mendung
dengan tekstur tanah lempung berpasir,
didominasi juga oleh Glomus meskipun
ditemukan juga genus lain yaitu
Acaulospora. Jika dilihat nilai pH
lokasi pengamatan berkisar antara 4.6 ‒
5.5, individu yang ditemukan tidak
hanya Glomus tetapi juga Acaulospora
dan Scutellospora. Perkembangan
FMA optimum pada pH 5.6 ‒ 7 untuk
Glomus sp, 4 ‒ 6 untuk Gigaspora sp
dan 4 ‒ 5 Acaulospora sp (Setiadi
1992; Gunawan 1993; Hepper 1984
dalam Tuheteru 2003). Penelitian ini
menunjukkan bahwa Glomus mampu
berkembang pada berbagai kondisi
fisik dan kimia tanah.
Ketersediaan hara berkaitan
dengan keberadaan spora, pada Mega
Mendung kepadatan spora cenderung
lebih sedikit dibandingkan Gunung
Bunder baik pada tanaman inang
Sorgum
maupun
P.
javanica.
Kepadatan spora cenderung tinggi pada
plot 2 Gunung Bunder, karena kadar P
yang rendah dapat meningkatkan
perkembangan FMA. Perkembangan
FMA dibatasi oleh ketersediaan hara
unsur P, sampai batas tertentu
peningkatan
kadar
P
dapat
meningkatkan perkembangan FMA,
namun pada kadar yang semakin tinggi

justru berpengaruh negatif terhadap
FMA (Feldmann et al. 2009). Apabila
dilihat dari sifat fisik tanahnya,
diketahui bahwa tanah Mega Mendung
bertekstur lempung berpasir. Tanah
lempung memiliki aerasi yang buruk
sehingga konsentrasi oksigen pada
tanah akan berkurang. Setiadi (1992)
penurunan konsentrasi oksigen dapat
menghambat perkecambahan spora
FMA dan kolonisasi akar.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Keanekaragaman FMA pada
rizosfir
jabon
yang
berhasil
diidentifikasi terdapat 3 genus yaitu
Glomus,
Acaulospora
dan
Scutellospora. Keanekaragaman tipe
spora
FMA
dipengaruhi
oleh
lingkungan, salah satunya sifat tanah
dari masing-masing sampel, tipe spora
yang ditemukan paling dominan adalah
Glomus.
Pembentukan
spora
(sporulasi) FMA memberikan respon
yang berbeda terhadap perbedaan
waktu pengamatan. Sporulasi FMA
lebih berkaitan dengan respon tanaman
inang dan ketersediaan unsur hara pada
media tumbuh. Tanaman inang yang
efektif untuk pemerangkapan spora
pada penelitian ini yaitu Sorgum sp
karena dari tiga kali pengamatan,
kepadatan spora yang dihasilkan lebih
tinggi dibandingkan P. javanica.
Saran
Data keanekaragaman FMA
dari penelitian ini menunjukkan masih
terjadi perubahan tipe spora FMA yang
diperoleh dalam tiga kali pengamatan,
sehingga
belum
menggambarkan
keanekaragaman FMA total yang ada.
Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengamatan dengan areal yang lebih

14

beragam dan periode pengamatan yang
lebih panjang. Dengan demikian,
diharapkan data dan informasi tentang
dinamika sporulasi
FMA
yang
diperoleh lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott LK & Robson AD. 1982. The
Role of VA mycorrhizae fungi in
agriculture and the selection of
fungi for inoculation. Aust. J.
Agric. Res. 33: 389-395.
Abbott LK dan Gazey C. 1994. An
ecological view of the formation
of VA mycorrhizas. Plant and
Soil 159 : 69-78
Baon JB. 1998. Peranan Mikoriza VA
Pada Kopi dan Kakao. Makalah
disampaikan dalam workshop
aplikasi fungi mikoriza arbuskula
pada
tanaman
pertanian,
perkebunan dan kehutanan. Bogor
Bertham YH. 2006. Pemanfaatan
CMA dan Bradyrhizobium Dalam
Meningkatkan
Produktivitas
Kedelai Pada Sistem Agroforestri
Kayu Bawang (Scorodocarpus
borneensis, Burm. F) di Ultisol.
[Disertasi].
Bogor: Sekolah
PascaSarjana, IPB.
Brundrett MC, N. Melville and L.
Peterson.
1994.
Practical
Methods in Mycorrhiza Research.
Mycologue Publications. Ontario,
Canada. 161p.
Brundrett MC, N. Bougher, B Dells,
T. Grove, and N. Malajczuk.
1996.
Working
with
Mycorrhizas in Forestry and
Agriculture. ACIAR, Canberra.
374p.
Corryanti
J,
Soedarsono
B,
Radjagukguk dan Widyastuti SM.
2008. Fungi mikoriza arbuskula
di
hutan
jati.

http://www.rimbawan.com/APHI0
611/KUMPULAN_TULISAN/200
8/Februari/untuk
BULETINAPHI_ mikoriza (10 Mei 2008).
11p.
Dariah A, Rachman A dan Kurnia U.
2004. Erosi dan degradasi lahan
kering di Indonesia. Hlm 1-8.
Dalam Kurnia U, Rachman A dan
Dariah A (Eds).
Teknologi
Konservasi Tanah pada Lahan
Berlereng. Pusat Penelitian dan
Pengembangan
Tanah
dan
Agroklimat. Bogor.
Delvian.
2003.
Keanekaragaman
cendawan mikoriza arbuskula
(CMA) di hutan pantai dan potensi
pemanfaatannya (Studi kasus di
hutan cagar alam Leuweung
Sancang Kabupaten Garut, Jawa
Barat).
[disertasi].
Bogor :
Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Delvian. 2006. Peranan Ekologi dan
Agronomi Cendawan Mikoriza
Arbuskula. USU Repositor :
Sumatera Utara
Feldman F, Hutter I, Schneider C.
2009. Best production practice of
arbuscular mycorrhizal inoculum.
Soil Biol 18: 319‒335
Fitter AH & Merryweather JW. 1992.
Why are some plants more
mycorrhizal thn others? An
ecological enquiry? in : Read DJ,
Lewis DH, Fitter AH, dan
Alexander IJ (Eds). Mycorrhizas
in
ecosystems.
C.A.B.
International: 26-36
Gemma JN, Koske RE. 1988. The
influence of root pruning on the
water relations net photosynthesis,
and growth of young “Golden
Delicious” apple trees. J Am Soc
Hortic Sci 109:827‒831.

15

Gunawan AW.
1993.
Mikoriza
Arbuskula.
Pusat
Antar
Universitas Ilmu Hayat. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Hall IR. 1984. Taxonomy of VA
mycorrhizal fungi.
In: VA
mycorrhizal (ed.) C.L. Powell and
D.J. Bagyaraj. CRC. Press. Boca
Raton Florida USA. P. 57‒94.
Hapsoh. 2008. Pemanfaatan fungi
Mikoriza
Arbuskula
Pada
Budidaya Kedelai Di Lahan
Kering. Pidato Pengukuhan Guru
Besar
Fakultas
Pertanian
Universitas
Sumatera
Utara.
Medan
Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah.
CV
Akademika
Pressindo.
Jakarta. 288 hal.
INVAM. 2010. Classification of
Glomeromycota
[terhubung
berkala].
http://invam.caf.wvu.edu/ [20 Mei
2013].
INVAM
[International
Culture
Collection
of
(Vesicular)
Arbuscular Mycorrhizal Fungi].
2008.
Reference Cultures Of
Species (vesicular) arbuscular
mycorrhizal
fungi.
File://D:/draft%202/species%20IN
VAM2.htm
Karagiannidis N, Velemis D. 2000.
Mycorrhizal status in an orchard
area in western Macedonia
(Greece).
Agrochimica
44:151‒159.
Karepesina S. 2007. Keanekaragaman
fungi mikoriza arbuskula dari
bawah tegakan jati ambon
(Tectona grandis Linn. f.) dan
potensi pemanfaatannya. [Tesis].
Bogor: Sekolah PascaSarjana IPB
Kartika E.
2006.
Tanggap
pertumbuhan, serapan hara dan
karakter morfofisiologi terhadap

cekaman kekeringan pada bibit
kelapa sawit yang bersimbiosis
dengan CMA. [Disertasi]. IPB.
188 hal.
Lembaga Penelitian Tanah.
1983.
Sistem Klasifikasi Tanah Definisi
dan
Kriteria,
Istilah
serta
Perubahan-perubahan
terhadap
TOR Tipe A 1981. Lembaga
Penelitian Tanah. Bogor
Mansur I, Setiadi Y dan Primaturi R.
2002.
Status of research on
mycorrhiza arbuscula associated
with tropical tree species. Paper
presented
at
the
Fourth
International
Wood
Science
Symposium (4th IWSS) LIPI-JSPS
Core University program in the
Field of Wood Science.
2-3
September 2002. Research Center
for Physics Indonesian Institute of
Science, Serpong, Tangerang,
Indonesia.
Mansur I. 2003. Gambaran umum
cendawan mikoriza arbuskula
(CMA).
Tidak dipublikasikan.
Makalah pada “Teknikal Asistensi
dalam
Penelitian
Mikoriza”.
Fakultas Pertanian Universitas
Haluoleo. Kendari.
Mansur I, Tuheteru DF. 2010. Kayu
Jabon.
Jakarta:
Penebar
Swadaya
Maryadi F.
2002.
Status dan
keragaman CMA di bawah tegakan
klonal Jati (Tectona grandis L.f)
pada umur 4-7 tahun di kebun
benih klonal Padangan [skripsi].
Fakultas
Kehutanan
Institut
Pertanian Bogor. 53 hal.
Nusantara AD. 2011. Pengembangan
produksi inokulan fungi mikoriza
arbuskula berbasis bahan alami
dan
pemanfaatannya
untuk
produksi bibit Jati (Tectona

16

grandis L.f). [Disertasi]. Bogor:
Sekolah PascaSarjana IPB
Pacioni G. 1992. Wet sieving and
decanting techniques for the
extraction of spores of VA
mycorrhizal fungi. Hal : 317-322.
Di dalam : Norris, J.R., D.J. Read
and A.K. Varma (Eds). Methods
in Microbiology.
Vol. 24.
Academic Press Inc. San Diego.
Patriyasari T.
2006.
Efektivitas
Cendawan Mikoriza Arbuskula
(CMA) terhadap pertumbuhan dan
produktivitas Dactylon cynodon
(L.) Pers yang diberi level salinitas
berbeda.
[Skripsi].
Bogor :
Institut Pertanian Bogor
Phillips J.M. and D.S. Hayman. 1970.
Improved procedures for clearing
roots and staining parasitic and
vesicular-arbuscular mycorrhizae
fungi for rapid assessment of
infection. Trans. Brit. Mycol.
Soc. 55:158‒161.
Purwanto A. 1999. Studi hubungan
salinitas
dengan
kelimpahan
cendawan mikoriza arbuskula
(CMA) pada lahan hutan pantai
dan hutan mangrove di cagar alam
Leuweung Sancang, Kabupaten
Garut, Jawa Barat. [skripsi].
Bogor : Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. 33 hal.
Puspitasari et al. 2012. Eksplorasi
Vesicular Arbuscular Mycorrhiza
(VAM) Indigenous pada Lahan
Jagung di Desa Torjun, Sampang
Madura. Jurnal Sains dan Seni
ITS Vol. 1. ISSN: 2301-928X
Ragupathy S & Mahadevan A. 1991.
VAM distribution influenced by
salinity gradient in coastal tropical
forest. Di dalam : Soerjanegara I
& Supriyanto, editor. Proceeding
of second Asian Conference on

Mycorrhiza. Bogor : BIOTROP
Special Publication.
No. 42.
SEAMEO BIOTROP. Hlm 91‒97
Rainiyati.
2007.
Status dan
Keanekaragaman
Cendawan
Mikoriza
Arbuskula
(CMA)
Pisang Raja Nangka dan Potensi
Pemanfaatannya
untuk
Peningkatan Produksi Pisang Asal
Kultur Jaringan di Kabupaten
Merangin, Jambi.
[disertasi].
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
140p. (tidak dipublikasikan)
Setiadi Y.
1992.
Mikoriza dan
Pertumbuhan
Tanaman.
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas IPB. Bogor
Setiadi Y.
1995.
The Practical
Application
of
Arbuscular
Mycorrizhae
Fungi
for
Reforestation
in
Indonesia.
[Thesis]. Kent: Reseacrh School
of Biosciences, University of Kent.
Simanungkalit
RDM.
2000.
Pemanfaatan
jamur
mikoriza
arbuskular sebagai pupuk hayati
untuk memberlanjutkan produksi
pertanian.
Makalah “Seminar
Sehari”, Peranan Mikoriza Dalam
Pertanian yang Berkelanjutan.
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Smith SE & DJ Read.
1997.
Mycorrhizal symbiosis. Second
edition.
Academic
Press.
Harcourt Brace & Company
Publisher. London. Hal 32-79
Smith SE & DJ Read.
2008.
Mycorrhizal Symbiosis.
Third
edition : Academic Press. Elsevier
Ltd.
New York, London,
Burlington, San Diego. 768 p.
Srivastava, D., R. Kapoor, S.K.
Srivastava and K.G Mukerji.
1996.
Vesicular Arbuscular

17

Mycorrhiza – an overview. Dalam:
Mukerji, K.G (Ed). Concepts in
Mycorrhizal Research.
Kluwer
Academic Publishers. Netherlands
Swasono DH. 2006. Peranan Mikoriza
Arbuskular dalam Mekanisme
Adaptasi
Beberapa
Varietas
Bawang
Merah
Terhadap
Cekaman Kekeringan Di Tanah
Pasir Pantai. [Disertasi]. Bogor:
Sekolah Pasaca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Tawaraya K, Watanabe S, Yoshida E,
Wagatsuma T. 1996. Effect of
onion root exudates on the hypal
growth of Gigaspora margarita.
Mycorrhiza 6:57-59
Tuheteru FD. 2003. Aplikasi Asam
Humat Terhadap Sporulasi CMA
Dari Bawah Tegakan Alami
Sengon [Skripsi].
Bogor:
Program
Sarjana,
Institut
Pertanian Bogor

DINAMIKA SPORULASI GENUS FUNGI MIKORIZA
ARBUSKULA HASIL PENANGKARAN DARI BAWAH
TEGAKAN HUTAN TANAMAN JABON
(Anthocephalus cadamba Roxb Miq.)

ERFAN HANDANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Dinamika Sporulasi Genus Fungi Mikoriza Arbuskula Hasil
Penangkaran Dari Bawah Tegakan Hutan Tanaman Jabon
(Anthocephalus cadamba Roxb Miq.)
Nama
: Erfan Handani
NIM
: E44090011

Disetujui oleh

Dr Ir Irdika Mansur, MForSc
Pembimbing I

Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridho-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Dinamika
Sporulasi Genus Fungi Mikoriza Arbuskula Hasil Penangkaran dari Bawah
Tegakan Hutan Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.)”. Penelitian
ini merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Irdika Mansur,
MForSc dan Bapak Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam pelaksanaan dan
penyelesaian skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, serta seluruh keluarga atas doa dan semangatnya. Selain itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada seluruh staf Laboratorium Silvikultur, Bapak Dr Ir
Yadi Setiadi, MSc, Ibu Nana, beserta staf Laboratorium Bioteknologi Hutan
PPSHB IPB, Bapak Dr Ir Maman Turjaman, DEA, Bapak Sugeng beserta staf
Laboratorium Mikrobiologi Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber
Daya Hutan Bogor dan staf Laboratorium Tanah SEAMEO BIOTROP. Terima
kasih juga kepada Bapak Faisal Danu Tuheteru SHut MSi, Ibu Ir Husna Faad,
MP, Bapak Ir Suheri, Jinwon Seo Bachelor of Agriculture MSi, teman-teman satu
bimbingan (Dewi, Destia, Azzam dan Panji), Agustina, Devi, Artha, Memet serta
teman-teman Silvikultur 46 yang telah memberi semangat dan dukungannya
kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca dan semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2013

Erfan Handani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Pengambilan Sampel Tanah
Persiapan Tanaman Inang
Penangkaran Mikoriza (Trapping)
Pemeliharaan Tanaman Inang
Pengamatan Spora dan Infeksi Akar
Perhitungan Spora
Ekstraksi dan Identifikasi Spora
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Pengambilan Sampel Tanah
Kepadatan Spora
Persentase Kolonisasi Akar
Identifikasi dan Karakterisasi Spora FMA
Analisis Tanah
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

iv
iv
iv
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
4
4
4
5
5
5
7
8
11
12
12
12
13
15
16

DAFTAR TABEL
1 Persentase infeksi akar pada tanaman inang S. bicolor dan P. javanica
bulan November 2012 sampai dengan Januari 2013
2 Dinamika genus FMA yang diperoleh pada setiap lokasi dalam tiga kali
pengamatan

8
11

DAFTAR GAMBAR
1 Sampel tanah yang diambil dari rizosfer jabon dan pohon jabon yang
memiliki pertumbuhan paling baik dari plot pengamatan
2 Media tumbuh berupa zeolit, tanah, zeolit dan penangkaran mikoriza
serta penanaman benih tanaman inang
3 Fluktuasi kepadatan spora FMA per 50 gram tanah pada tanaman inang
S. bicolor dan P. jav