Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Tanaman Agroforestri Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di Purwakarta, Jawa Barat

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
DI BAWAH TEGAKAN TANAMAN AGROFORESTRI JABON
(Anthocephalus cadamba Miq.) DI PURWAKARTA JAWA BARAT

LIA FAUZIAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Fungi
Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Tanaman Agroforestri Jabon
(Anthocephalus cadamba Miq.) di Purwakarta, Jawa Barat adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Lia Fauziah
NIM E44090052

ABSTRAK
LIA FAUZIAH. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan
Tanaman Agroforestri Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di Purwakarta, Jawa
Barat. Dibimbing oleh SRI WILARSO BUDI R.
Anthocephalus cadamba merupakan salah satu jenis tanaman dari famili
Rubiaceae yang dapat bersimbiosis dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA).
Adanya FMA sangat penting bagi ketersediaan unsur hara seperti P, K, Mg, Fe,
dan Mn untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis keanekaragaman spora FMA dari bawah tegakan tanaman
agroforestri jabon serta status FMA pada berbagai pola penanaman tanaman
jabon. Isolasi spora dari sampel tanah dilakukan dengan metode tuang basah.
Spora hasil isolasi secara morfologi diidentifikasi dengan melihat reaksi spora
terhadap larutan Melzer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kimia tanah

pada ketiga pola penanaman jabon tidak memberikan pengaruh secara nyata
terhadap persentase kolonisasi akar FMA. Terdapat tiga genus FMA yang
ditemukan pada lokasi pengamatan, yaitu Glomus sp., Acalauspora sp., dan
Scutellospora sp. Berdasarkan analisis statistik, pola penanaman tumpangsari
jabon dengan tanaman timun memiliki nilai pertumbuhan tertinggi baik diameter
maupun tinggi pada berbagai pola penanaman jabon.
Kata kunci: fungi mikoriza arbuskula, jabon, kolonisasi akar, pola penanaman

ABSTRACT
LIA FAUZIAH. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi under Stand of Jabon
(Anthocephalus cadamba Miq.) Agroforestry Plants in Purwakarta, West Java.
Supervised by SRI WILARSO BUDI R.
Anthocephalus cadamba is a one of tree species from Rubiaceae family
that may symbiotic with arbuscular mycorrhizal fungi (AMF). The presence of
AMF is very important for the soil nutrient existence, such as P, K, Mg, Fe, and
also Mn to increase the growth of plants. The purpose of this research is to
identify the diversity of AMF spores under stand of jabon agroforestry plants and
to analyze the AMF status on various jabon planting patterns. Spores isolation
was taken from soil sample using wet sieving method and decanthing method.
Spores from the isolation morfologically identified by observing spores reaction

through Melzer’s liquid. The result of this research indicated that soil chemical
characteristic on three planting patterns of jabon do not give any concrete effects
to the percentage of AMF’s root colonization. There are three genus of AMF
found on the research location consist of Glomus sp., Acalauspora sp., and
Scutellospora sp. Based on statistical analysis result, the jabon intercropping
planting patterns which combining cucumber plants resulting the highest value of
both diameter and height growth on various jabon planting patterns.
Keyword: arbuscular mycorrhizal fungi, planting pattern, root colonization

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
DI BAWAH TEGAKAN TANAMAN AGROFORESTRI JABON
(Anthocephalus cadamba Miq.) DI PURWAKARTA JAWA BARAT

LIA FAUZIAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan
Tanaman Agroforestri Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di
Purwakarta, Jawa Barat
Nama
: Lia Fauziah
NIM
: E44090052

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS
Pembimbing


Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi yang dilaksanakan sejak bulan November 2012, dengan judul
Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Tanaman
Agroforestri Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di Purwakarta, Jawa Barat.
Dalam penelitian ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih dan
penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan arahan dan
bimbingannya sehingga dapat terselesaikannya penyusunan skripsi ini dengan
lancar, terutama kepada Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS selaku dosen pembimbing
serta ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS yang telah banyak memberikan saran
dalam penulisan skripsi. Ayah, ibu, adik, serta seluruh keluarga yang telah
memberi doa dan dukungannya. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima

kasih kepada bapak Dr Ir Prijanto Pamoengkas, MScFTrop selaku kepala
Laboratorium Silvikultur yang telah memberikan izin dalam penggunaan
Laboratorium Silvikultur, beserta Ibu Puja dan Bi Ita sebagai staf Laboratorium
Silvikutur serta seluruh staf Laboratorium Bioteknologi PAU IPB. Kepada temanteman satu bimbingan Tria dan Tina, terimakasih atas segala semangat dan
kebersamaannya selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi.
Terimakasih juga kepada Terry, Rian, Dewi, Devi, Destia, Erfan, Khalid, Ikbal
dan Jamal serta seluruh teman-teman Silvikultur 46 dan semua pihak yang tidak
bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk
penyempurnaan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu dan masyarakat.

Bogor, Oktober 2013
Lia Fauziah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iv


DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

iv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Tempat

2

Alat

2

Bahan
Prosedur Analisis Data
Pengambilan Sampel Tanah dari bawah
tegakan Anthocephalus cadamba

Pemisahan Akar dan Tanah
Clearing (Penjernihan) dan Staining (Pewarnaan)
Persentase Kolonisasi Akar FMA
Isolasi Spora
Identifikasi Spora FMA
Pengamatan
Rancangan Penelitian
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Fisik dan Kimia Tanah di Purwakarta, Jawa Barat
Persentase Kolonisasi Akar
Kepadatan Spora
Keragaman Spora
Identifikasi dan Karakterisasi Spora FMA
Kelimpahan dan Frekuensi Spora
Pertumbuhan Tanaman Jabon
Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam
Pertumbuhan Diameter
Pertumbuhan Tinggi


3
3
3
3
3
3
4
4
4
5
5
5
5
7
9
10
10
12
13
14

15
15

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

20
21

DAFTAR TABEL
1 Kondisi fisik tanah di Purwakarta, Jawa Barat
2 Karakteristik kimia tanah di Purwakarta, Jawa Barat
3 Hasil analisis regresi antara sifat kimia tanah dengan nilai kolonisasi
akar
4 Keragaman spora di Purwakarta, Jawa Barat
5 Pertumbuhan jabon di Purwakarta, Jawa Barat
6 Hasil sidik ragam setiap parameter
7 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pola penanaman terhadap diameter
8 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pola penanaman terhadap tinggi

5
6
8
10
14
14
15
15

DAFTAR GAMBAR
1 Persentase kolonisasi akar pada berbagai pola penanaman
2 Infeksi FMA pada contoh akar tegakan tanaman Jabon di Purwakarta,
Jawa Barat
3 Kepadatan spora pada berbagai pola penanaman
4 Spora Glomus sp.
5 Spora Acalauspora sp.
6 Spora Scutellospora sp.
7 Kelimpahan genus spora FMA pada berbagai pola penanaman di
Purwakarta, Jawa Barat
8 Frekuensi genus spora FMA pada berbagai pola penanaman di
Purwakarta, Jawa Barat

7
8
9
11
11
12
12
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kriteria sifat penilaian kimia tanah
2 Penentuan tingkat kolonisasi dan kategori kolonisasi

20
20

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah merupakan suatu sistem kehidupan yang kompleks yang
mengandung berbagai jenis organisme dengan beragam fungsi untuk menjalankan
berbagai proses vital bagi kehidupan terestrial. Mikroba bersama-sama fauna
tanah melaksanakan berbagai metabolisme yang secara umum disebut aktivitas
biologi tanah. Dalam kaitannya dengan tanaman, mikroorganisme sangat berperan
dalam membantu pertumbuhan tanaman melalui penyediaan hara
(mikroorganisme penambat N dan pelarut P), membantu penyerapan hara (fungi
mikoriza arbuskula), dan dapat memacu pertumbuhan tanaman (penghasil
hormon). Masing-masing biota tanah tersebut memiliki peran yang besar dalam
ekosistem, terutama terkait dengan aliran energi dan siklus unsur hara sebagai
akibat dari aktivitas utama organisme hidup (Ahemad et al. 2009). Perannya yang
penting dalam perombakan bahan organik dan siklus hara menempatkan
organisme tanah sebagai faktor sentral dalam memelihara kesuburan dan
produktivitas tanah.
Sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi akan bersimbiosis dengan fungi
dalam tanah untuk meningkatkan penyerapan unsur hara dan menjaga kelembaban
perakaran. Simbiosis ini dinamakan mikoriza dan bermanfaat untuk meningkatkan
penyerapan fosfor (Ulfa et al. 2011). FMA merupakan salah satu tipe asosiasi
mikoriza dengan akar tanaman. Kehadiran fungi mikoriza arbuskula (FMA)
penting bagi ketahanan suatu ekosistem, stabilitas tanaman dan pemeliharaan serta
keragaman tumbuhan dan meningkatkan produktivitas tanaman (Moriera et al.
2007). FMA dapat ditemukan hampir pada semua ekosistem di dunia, bahkan
lebih dari dua per tiga spesies tanaman yang ada di dunia membentuk simbiosis
dengan fungi ini (Fitter dan Merryweather 1992). Salah satu jenis tanaman
kehutanan yang dapat berasosiasi dengan FMA, yaitu jabon (Anthocephalus
cadamba).
Dalam simbiosis tersebut, fungi membantu menyerap dan
mentranslokasikan unsur hara terutama fosfor dari tanah ke dalam akar tanaman,
sedangkan fungi memperoleh karbohidrat dari tanaman sebagai hasil fotosintesis
untuk pertumbuhannya. Telah banyak diketahui bahwa FMA merupakan salah
satu agen hayati yang berasosiasi dengan akar dari tumbuhan hidup terutama
untuk transfer hara (Brundrett 2004). Interaksi simbiosis mutualisme yang erat
antara tumbuhan dengan FMA memungkinkan adanya peranan yang sangat besar
dari tumbuhan dalam menentukan struktur keanekaragaman dan fungsi FMA
dalam komunitas alami tersebut. Sebaliknya, keanekaragaman FMA merupakan
faktor penentu dalam terpeliharanya keanekaragaman tumbuhan dalam komunitas
alaminya.
Namun demikian, penelitian mengenai status dan keanekaragaman FMA
di bawah tegakan tanaman jabon belum pernah dilakukan. Potensi FMA dalam
ekosistem diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman
serta efisiensi pemupukan, sehingga penelitian mengenai keanekaragaman FMA
di bawah tegakan tanaman tanaman jabon perlu dilakukan. Untuk mempelajari
potensi suatu organisme, hal pertama yang harus diketahui adalah keberadaan dan

2

keberagaman dari organisme tersebut. Isolasi jenis-jenis FMA di bawah tegakan
jabon merupakan studi awal yang penting dan diperlukan untuk dapat
mengidentifikasi dan memetakan jenis-jenis FMA dominan dan spesifik yang ada.
Kegiatan ini sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang
keanekaragaman jenis-jenis FMA sebagai sumber material penting untuk
memperoleh isolat FMA yang potensial dan efektif, serta mampu beradaptasi pada
kondisi lahan yang terbatas pada tanaman jabon.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi keanekaragaman spora FMA hasil isolasi dari bawah
tegakan tanaman agroforestri jabon (Anthocephalus cadamba).
2. Menganalisis status FMA pada berbagai pola penanaman tanaman jabon
(Anthocephalus cadamba).

Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah diperolehnya informasi tentang
status dan keanekaragaman spora FMA dari bawah tegakan jabon dengan
berbagai pola penanaman di Purwakarta, Jawa Barat serta bertambahnya
pengetahuan mengenai genus-genus spora indigenous yang dapat dikembangkan
sebagai sumber inokulum untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas
tanaman jabon.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai dengan
Februari 2013 kemudian dilanjutkan pada bulan Juni 2013 sampai dengan Juli
2013. Lokasi pengambilan sampel tanah dan akar dilakukan di Purwakarta, Jawa
Barat, sedangkan penelitian mulai dari perhitungan kolonisasi akar hingga
pengidentifikasian FMA dilakukan di Laboratorium Silvikultur Departemen
Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Bioteknologi PAU IPB, serta
Laboratorium Mikrobiologi Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber
Daya Hutan Bogor.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol film, oven, gelas
preparat, cover glass, gelas ukur, gelas kaca, tabung reaksi, saringan bertingkat
berukuran 250 µm, 125 µm, dan 63 µm, sentrifius, timbangan o-hauss, sudip,

3

pipet, plastik, gunting, mikroskop stereo, mikroskop cahaya, cawan petri, kamera
digital, label, alat tulis, software minitab 16 dan SAS 9.1.3 portable.

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akar jabon, tanah sampel,
alkohol, aquades, KOH 2.5%, HCL 0.1 N, trypan blue, gliserin 50%, larutan
glukosa 60%, dan larutan Melzer.

Prosedur Penelitian dan Analisis Data
Pengambilan Sampel Tanah dari bawah tegakan Anthocephalus cadamba
Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit dari bawah tegakan
tanaman agroforestri jabon berumur tujuh bulan di daerah Purwakarta, Jawa Barat.
Pengambilan sampel diambil di tiga lokasi, yaitu tegakan jabon dengan
tumpangsari timun, tumpangsari jagung, dan tumpangsari singkong. Dari masingmasing lokasi diambil tiga plot dan dari masing-masing plot diambil tiga pohon.
Contoh tanah diambil dari empat arah sisi yang berbeda di masing-masing bawah
tegakan setiap tanaman jabon dan kemudian dikompositkan, sehingga setiap
lokasi akan didapatkan sembilan sampel rizosfer tanah untuk ekstraksi FMA dan
analisis sifat tanah, sebanyak ± 150 gram dengan kedalaman 0–20 cm.
Pengambilan contoh tanah komposit ditujukan untuk mendapatkan gambaran
umum (unbiased estimation) mikoriza di suatu areal atau petak tanah yang relatif
homogen.
Clearing (Penjernihan) dan Staining (Pewarnaan)
Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman dilakukan melalui teknik
pewarnaan akar (staining), yang dilakukan dengan metode Brundrett et al. (1996).
Akar yang telah direndam dengan larutan alkohol dicuci terlebih dahulu dengan
air mengalir, kemudian akar yang telah dicuci dimasukkan kedalam gelas kaca
yang telah berisi larutan KOH 2.5% hingga seluruh akar terendam. Setelah itu
dipanaskan dalam oven ± 90 °C selama 40 menit. Setelah dipanaskan di dalam
oven maka dapat dilihat warna akar dalam larutan KOH 2.5% tersebut, apabila
warna larutan belum bening maka ditambahkan H2O2 kemudian kocok hingga
warna larutan tersebut menjadi bening. Setelah warna larutan telah bening, maka
buang larutan H2O2, kemudian dicuci dengan air mengalir dan akar yang telah
dicuci dimasukkan kembali ke dalam gelas kaca yang telah berisi HCl 0.1 N
sampai seluruh akar terendam selama ± 10 menit. Setelah perendaman tersebut,
HCl 0.1 N diganti dengan trypan blue dan dimasukkan ke dalam oven untuk
dipanaskan ± 90 °C selama 40 menit. Akar yang telah dipanaskan lalu dicuci
kembali dan dimasukkan ke dalam gelas kaca yang akan diberi gliserin 50%
hingga seluruh akar terendam di dalamnya.
Persentase Kolonisasi Akar FMA
Akar jabon yang telah dilakukan clearing dan staining dipotong-potong
sekitar 1 cm dan diletakkan di atas preparat kaca. Masing-masing preparat kaca

4

berisi 15 akar jabon yang telah dipotong-potong sebanyak 2 ulangan pada setiap
sampel akar, sehingga terdapat 54 sampel akar jabon yang siap untuk diamati di
bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 10 x 10. Pengamatan dilakukan
untuk mengetahui persentase kolonisasi akar oleh FMA. Bidang pandang yang
terinfeksi ditunjukan dengan adanya tanda-tanda seperti hifa, arbuskula maupun
vesikula. Persentase akar terinfeksi dihitung dengan rumus Giovannetti dan
Moose (1980), sebagai berikut:
∑ bidang pandang yang terinfeksi
%Terinfeksi =

∑ keseluruhan bidang pandang

x 100%

Isolasi Spora
Isolasi spora FMA dilakukan dengan menggunakan metoda tuang basah
menurut Gerdermann dan Nickolson (1963) yang dimodifikasi, dilanjutkan
dengan metode sentrifugasi menurut Brundrett et al. (1996). Tanah ditimbang
terlebih dahulu sebanyak 10 gram tiap sampel tanah. Kemudian tanah tersebut
dimasukkan ke dalam gelas ukur dengan ditambah 2/3 air. Lalu diaduk rata
menggunakan sudip dan didiamkan ± 1 menit. Tanah tersebut kemudian
diletakkan di atas saringan spora tiga tingkat dengan diameter lubang masingmasing saringan sebesar 250 µm, 125 µm, dan 63 µm. Masing-masing sampel
tanah dihancurkan terlebih dahulu yang kemudian akan dialirkan dengan air ke
dalam saringan spora tiga bertingkat tersebut sampai 3 kali ulangan. Tanah yang
menempel pada saringan yang berukuran 125 µm dan 63 µm dikumpulkan dalam
tabung gelas secara terpisah.
Tanah-tanah dari kedua saringan bertingkat tersebut dimasukkan ke dalam
tabung sentrifius, dan di dalamnya dituangkan larutan glukosa 60% hingga terisi
2/3 isi tabung. Selanjutnya tanah dan larutan glukosa 60% tersebut dikocok
hingga rata dan dimasukkan ke dalam sentrifius. Sentrifugasi dilakukan dengan
kecepatan 3000 rpm selama ± 1 menit. Supernatan disedot lalu disaring pada
saringan berukuran 63 µm. Lalu dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan
larutan gula yang masih tertinggal. Spora yang menempel pada saringan
dipindahkan ke dalam cawan petri untuk diidentifikasi jenis dan dihitung
jumlahnya di bawah mikroskop stereo.
Identifikasi Spora FMA
Spora diidentifikasi dengan pengamatan morfologi spora dan preparat slide
spora yang telah diwarnai terlebih dahulu dengan larutan Melzer. Berdasarkan
keberadaan struktur spora, FMA ditentukan genusnya (INVAM 2013).
Pengamatan
Peubah yang diamati dalam penelitian ini ialah (1) kepadatan spora, (2)
keragaman spora, (3) kelimpahan relatif, dan (4) frekuensi spora. Masing-masing
peubah dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kepadatan spora =

Jumlah spora
10 gram tanah

5

Kekayaan spora = Jumlah genus pada 10 gram tanah
Kelimpahan relatif =

Frekuensi =

Jumlah genus
x 100%
total spora

jumlah sampel ditemukan spora
x 100%
total sampel

Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap untuk mengetahui pengaruh kombinasi pola penanaman jabon dengan
tanaman pertanian (tumpangsari timun, tumpangsari jagung, dan tumpangsari
singkong) terhadap respon parameter yang diamati, seperti diameter dan tinggi di
lokasi tersebut. Pada masing-masing lokasi terdiri dari 3 plot dan masing-masing
plot terdiri dari 3 anak contoh, sehingga jumlah unit sampel sebanyak 3 x 3 x 3 =
27 satuan percobaan.
Analisis Data
Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam
sesuai dengan rancangan yang digunakan pada taraf kepercayaan 95%. Apabila F
hitung > F tabel maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan
Sumertajaya 2002). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software
SAS 9.1.3 portable dan minitab 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Fisik dan Sifat Kimia Tanah di Purwakarta, Jawa Barat
Pertumbuhan tanaman tidak hanya bergantung pada tersedianya unsur hara
yang cukup dan seimbang, tetapi juga harus ditunjang oleh keadaan fisik dan
kimia tanah yang baik. Data mengenai kondisi fisik tanah dan sifat kimia tanah
pada berbagai pola penanaman di Purwakarta, Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel
1 dan 2.
Tabel 1 Kondisi fisik tanah di Purwakarta, Jawa Barat
Pola penanaman
Kedalaman Kelas lahan
Kondisi tanah
Ts. Timun
0–20
Sedang
Bekas sawah
Ts. Jagung
0–20
Sedang
Bekas sawah
Ts. singkong
0–20
Miskin
Bekas sawah

Tekstur
Liat
Liat
Liat

Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong:
tumpangsari singkong+jabon.

Kesesuaian menyeluruh suatu tanah sebagai medium pertumbuhan
tanaman tidak hanya tergantung pada keberadaan dan jumlah nutrisi kimia dan
adanya toksisitas, tetapi juga atas keadaan dan mobilitas air dan udara dan atas

6

sifat-sifat mekanis tanah serta rejim temperaturnya (Hillel 1980). Singkatnya,
untuk kesuburan kimia, tanah harus memiliki kesuburan fisik. Jika ditinjau dari
kondisi fisik tanah, lahan di ketiga lokasi memiliki tekstur tanah yang sama, yaitu
liat dengan kondisi tanah bekas sawah. Tanah liat merupakan jenis tanah yang
sulit menyerap air, sehingga dalam keadaan kering butiran tanah tersebut akan
terpecah-pecah sangat keras. Pola penanaman jabon dengan tumpangsari singkong
tergolong ke dalam kelas lahan yang miskin, sedangkan pola penanaman jabon
secara tumpangsari baik dengan jagung maupun dengan timun tergolong ke dalam
kelas sedang.
Tabel 2 Karakteristik kimia tanah di Purwakarta, Jawa Barat
Pola
Kedalaman
C-org
N-tot
P tersedia
penanaman
(cm)
(%)
(%)
(ppm)
Ts. Timun
0–20
0.51
0.08
0.91
Ts. Jagung
0–20
0.51
0.08
0.91
Ts. Singkong
0–20
0.52
0.08
0.33

pH
5.0
5.0
5.1

Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong:
tumpangsari singkong+jabon.

Berdasarkan hasil analisis kimia tanah (Tabel 2) dapat dilihat bahwa
kandungan C-organik, N-total, dan P-tersedia di ketiga pola penanaman tergolong
pada kelas sangat rendah, sedangkan derajat kemasaman tanah atau pH ketiga
pola penanaman tersebut tergolong ke dalam pH masam, yaitu antar 4.5–5.5
(Hardjowigeno 1995). Penggolongan kriteria penilaian sifat kimia tanah dapat
dilihat pada Lampiran 1. Faktor pembatas bagi pertumbuhan jabon dari ketiga
lokasi penanaman ini adalah rendahnya unsur P dan tanah yang tergolong masam.
Dengan demikian, tanah pada ketiga lokasi tersebut dapat diketahui
memiliki karakteristik fisik dan kimia yang tergolong rendah, sehingga tingkat
kesuburan tanahnya rendah dan kurang menguntungkan untuk pertumbuhan
tanaman. Namun, tanaman jabon dengan berbagai pola penanaman dengan
tanaman pertanian (Tabel 1) tetap dapat tumbuh di kondisi tanah yang kering. Hal
itu dimungkinkan karena adanya simbiosis antara tanaman jabon tersebut dengan
mikoriza. Jaringan hifa eksternal FMA yang menginfeksi akar tanaman akan
memperluas bidang serapan akar terhadap air dan unsur hara. Serapan air yang
lebih besar oleh tanaman bermikoriza juga akan membawa unsur hara seperti N, P,
dan K sehingga serapan hara oleh tanaman akan meningkat. Dari beberapa
penelitian dapat diketahui bahwa simbiosis FMA dipengaruhi oleh level P,
sumber P, pH, efektifitas isolat FMA, dan kebergantungan tanaman inang
terhadap mikoriza (Setiadi 1995).
Mikoriza yang berasosiasi dengan akar tanaman secara efektif dapat
meningkatkan penyerapan unsur makro dan beberapa unsur hara mikro. Selain itu,
akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara baik dalam bentuk terikat
maupun yang tidak tersedia untuk tanaman. Fosfat adalah unsur hara utama yang
dapat diserap oleh tanaman bermikoriza dan juga unsur-unsur mikro seperti Cu,
Zn, Bo. Sebagai contoh, De la Cruz et al. (1988), menunjukkan bahwa FMA dapat
menggantikan kira-kira 50% kebutuhan fosfat, 40% nitrogen, dan 25% kalium
pada anakan Leucaena leucocephala.

7

Persentase Kolonisasi Akar
Hasil pengamatan kolonisasi akar di bawah mikroskop dari masing-masing
contoh tanah memiliki persentase yang berbeda-beda. Persentase kolonisasi akar
pada masing-masing pola penanaman tegakan jabon dengan tanaman pertanian
dapat dilihat pada Gambar 1.

Kolonisasi akar (%)

s = sedang, t = tinggi
100
75

66.67 t
54.81t

50

35.93 s

25
0

Ts. Timun

Ts. Jagung

Ts. Singkong

Pola penanaman

Gambar 1 Persentase kolonisasi akar pada berbagai pola penanaman (Ts. Timun:
tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts.
Singkong: tumpangsari singkong+jabon)
Fungsi yang paling menonjol dari FMA dibandingkan dengan tipe-tipe
fungi mikoriza lainnya, adalah kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90%
jenis-jenis tanaman, sehingga FMA berperan penting dalam mempertahankan
stabilitas keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar
tanaman ke akar tanaman yang lain yang berdekatan melalui struktur yang disebut
dengan “bridge hypha” (Allen and Allen 1992). Kolonisasi akar yang terjadi di
tegakan tanaman jabon pada berbagai pola penanaman di Purwakarta didapatkan
hasil yang bervariasi dari tingkat infeksi akar terendah, yaitu pada tumpangsari
jagung sebesar 35.93% hingga tertinggi, yaitu pada tumpangsari timun sebesar
66.67%. Klasifikasi banyaknya infeksi akar FMA digolongkan ke dalam lima
kelas infeksi berdasarkan pengelompokkan dari The Institute of Mycorrhizal
Research and Development USDA Forest Service, Athena, Gregoria, dapat dilihat
pada Lampiran 2. Pada ketersediaan hara yang rendah (Tabel 1), hifa dapat
menyerap hara dari tanah yang tidak dapat diserap oleh akar sehingga pengaruh
FMA terhadap serapan hara di sekitar jabon akan tinggi. Khususnya untuk
ketersediaan P yang rendah akan menjaga kolonisasi akar tetap tinggi dan
meningkatkan manfaat dari transfer P ke inang, sedangkan unsur-unsur lain yang
tinggi akan meningkatkan ketersediaan fotosintat yang penting untuk
pembentukan spora. Selain itu, kolonisasi FMA pada tanaman berhubungan
dengan situasi tanaman inang sebagai responnya terhadap kondisi lingkungan.
Karakteristik perakaran timun yang memiliki akar tunggang dengan jangkauan
bulu-bulu akarnya yang hanya dapat menembus hingga kedalaman 30–60 cm dari
permukaan tanah mengakibatkan terjadinya kebergantungan perakaran timun yang
tinggi terhadap FMA untuk mendapatkan unsur hara dan air yang dibutuhkan

8

tanaman tersebut dalam proses pertumbuhan baik untuk tanaman timun maupun
untuk tanaman tumpangsarinya, yaitu jabon.
Terjadinya asosiasi antara FMA dengan tanaman dapat diketahui dengan
keberadaan infeksi yang terjadi pada akar, yaitu dengan adanya struktur-struktur
yang dihasilkan oleh FMA antara lain, yaitu hifa, arbuskula, dan vesikula. Hifa
adalah salah satu struktur dari FMA berbentuk seperti benang-benang halus yang
berfungsi sebagai penyerap unsur hara dari luar. Menurut INVAM (2013)
arbuskula adalah struktur yang berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit
antara fungi dan tanaman. Vesikula berfungsi sebagai organ reproduktif atau
tempat penyimpanan makanan yang berbentuk lonjong dan berasal dari
menggelembungnya hifa internal FMA. Dengan adanya satu atau lebih struktur
FMA tersebut, maka dapat dikatakan telah terjadi asosiasi oleh FMA terhadap
tanaman inangnya, dalam hal ini yaitu tanaman jabon. Untuk lebih jelasnya
bentuk-bentuk struktur kolonisasi akar yang ditemukan dari hasil pengamatan
dapat dilihat pada Gambar 2.

A

B

C

Gambar 2 Infeksi FMA pada contoh akar tegakan tanaman jabon di Purwakarta,
Jawa Barat (A: vesikula, B: hifa, dan C: arbuskula)
Adanya perbedaan tingkat kolonisasi pada masing-masing pola
penanaman diakibatkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi
mikoriza terhadap tanaman, yaitu seperti kebergantungan tanaman terhadap
mikoriza, efektivitas isolat, maupun kondisi nutrisi terutama unsur P (Setiadi
1995). Oleh karena itu, diperlukan suatu regresi linier untuk mengetahui
hubungan antara tingkat kolonisasi akar dengan sifat kimia tanah pada berbagai
pola penanaman tumpangsari.
Tabel 3 Hasil analisis regresi antara sifat kimia tanah dengan nilai kolonisasi akar
Sifat kimia tanah
C-org
P-tersedia
pH

Persamaan
Nilai kolonisasi akar = - 128 + (351*C-org), R2 = 1.7%
Nilai kolonisasi akar = 56.8 - (6.1*P tersedia), R2 = 1.7%
Nilai kolonisasi akar = - 124 + (35*pH),
R2 = 1.7%

Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong:
tumpangsari singkong+jabon.

Berdasarkan hasil regresi linear, pada Tabel 3 terlihat bahwa nilai R2 dari
sifat kimia tanah yang diuji tidak mencapai selang kepercayaan 95% (α=5%). Hal

9

ini menunjukkan bahwa sifat kimia tanah tidak berpengaruh nyata terhadap
persentase kolonisasi akar FMA pada berbagai pola penanaman tanaman jabon di
Purwakarta, Jawa Barat. Untuk nilai N-total dalam tanah tampaknya tidak
berhubungan dengan tingkat kolonisasi akar di bawah tegakan jabon, yaitu adanya
peningkatan kolonisasi akar tidak diikuti oleh peningkatan maupun penurunan
kandungan N-total. Tidak adanya penyebaran data secara normal mengenai
kandungan N-total di ketiga pola penanaman merupakan salah satu faktor tidak
dapat diketahuinya hubungan regresi linier antara kandungan N-total dengan
tingkat kolonisasi akar di bawah tegakan tanaman jabon tersebut.

Kepadatan Spora

Jumlah spora per
10 gram

Kepadatan spora merupakan jumlah seluruh spora yang ditemukan pada
masing-masing contoh tanah. Jumlah spora FMA yang dijumpai pada masingmasing pola penanaman per 10 gram sampel tanah dapat dilihat pada Gambar 3.
80
60

58.00

51.00
32.00

40
20
0

Ts. Timun

Ts. Jagung

Ts. Singkong

Pola penanaman

Gambar 3 Kepadatan spora pada berbagai pola penanaman (Ts. Timun:
tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon;
Ts. Singkong: tumpangsari singkong+jabon)
Kepadatan spora pada ketiga pola penanaman memiliki persentase yang
berbeda-beda. Kepadatan spora didapat dari jumlah spora yang ditemukan dibagi
dengan tanah sebanyak 10 gram per sampel tanah. Kepadatan spora pada masingmasing pola penanaman, yaitu tumpangsari timun 51 spora/10 gram tanah,
tumpangsari jagung 32 spora/10 gram tanah, dan tumpangsari singkong 58
spora/10 gram tanah. Jumlah FMA tergolong banyak jika dalam 50 gram tanah
terdapat 5–100 spora berukuran besar atau 50–500 spora berukuran kecil
(Brundrett et al. 1996). Berdasarkan itu, kepadatan spora per 10 gram dengan
berbagai pola penanaman di Purwakarta tergolong banyak.
Pada diagram tersebut dapat diketahui bahwa kepadatan spora tertinggi
terdapat pada pola penanaman tumpangsari singkong. Hal ini disebabkan lahan
tumpangsari singkong termasuk ke dalam kelas lahan miskin yang mengalami
cekaman kekeringan lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi dikedua lahan
lainnya. Ukuran hifa yang sangat halus pada bulu-bulu akar memungkinkan hifa
dapat menyusup kepori-pori tanah yang paling halus, sehingga hifa menyerap air
pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Kilham 1994). Di samping itu,
sesuai dengan pernyataan Delvian (2006) bahwa kondisi kering akan merangsang

10

pembentukan spora yang banyak sebagai respon alami dari FMA serta upaya
untuk mempertahankan keberadaannya di alam.
Secara deskriptif dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa besarnya
persentase kolonisasi akar tidak berbanding lurus dengan kepadatan spora, yaitu
tingginya persentase kolonisasi akar tidak selalu memperbesar kepadatan spora.
Hal ini sesuai dengan Tuheteru (2003) bahwa antara infeksi akar dan jumlah spora
yang dihasilkan tidak memiliki korelasi yang erat, sehingga spora yang banyak
belum tentu persentase infeksi akar akan tinggi pula. Persentase kolonisasi akar
adalah faktor yang bebas dari jumlah spora yang ada di tanah, disebabkan setiap
jenis FMA mempunyai pola kolonisasi yang berbeda (Delvian 2003).

Keragaman Spora
Keragaman spora merupakan kekayaan jenis spora dari hasil identifikasi
hingga tingkat genus dari berbagai pola penanaman jabon di Purwakarta, Jawa
Barat. Pengamatan spora yang ditemukan di lapangan memiliki tipe dan
karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakteristik ditemukan pada bentuk spora,
permukaan spora, tangkai spora (hypal attachment), dinding spora, dan warna
spora (INVAM 2008). Hasil isolasi, pengamatan, dan identifikasi yang dilakukan
terdapat 3 genus spora FMA, yaitu Glomus, Acaulospora, dan Scutellospora dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Keragaman spora di bawah tegakan jabon
Pola penanaman
Nilai keragaman FMA
Ts. Timun
2
Ts. Jagung
2
Ts. Singkong
3

Jenis spora FMA
Glomus dan Scutellospora
Glomus dan Acaulospora
Glomus, Acalauspora, dan
Scutellospora

Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong:
tumpangsari singkong+jabon.

Nilai keragaman FMA (Tabel 4) pada pola penanaman tumpangsari
singkong memiliki nilai keragaman tertinggi dengan tiga genus, yaitu Glomus sp.,
Acalauspora sp., dan Scutellospora sp.. Genus Glomus terdapat pada ketiga jenis
pola penanaman jabon, sedangkan genus Acalauspora terdapat pada pola
penanaman tumpangsari jagung dan singkong, dan genus Scutellospora yang juga
ditemukan pada dua jenis pola penanaman, yaitu tumpangsari timun dan singkong.
Hal ini menunjukkan kemampuan simbiosis dan adaptasi Glomus terhadap
kondisi setempat (Delvian 2006).
Identifikasi dan Karakterisasi Spora FMA
Glomus sp. merupakan genus mikoriza dari famili Glomaceae. Glomus
adalah genus yang memiliki keberagaman jenis tertinggi dari yang lain. Beberapa
ciri khas genus ini, yaitu seperti spora berbentuk globos sub globos, avoid, dan

11

obovoid dengan ukuran spora rata-rata 85–259 μm, jumlah, biasanya terdapat
dudukan hifa (subtending hyphae) lurus berbentuk silinder, dan permukaan spora
halus dan tidak memiliki ornamentasi. Spora Glomus yang belum dewasa
memiliki reaksi warna Melzer yang lemah,dan tidak terjadi pada spora yang lebih
tua (INVAM 2013). Jenis-jenis Glomus sp. yang ditemukan dalam pengamatan
dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Spora Glomus sp. (A–E: Glomus sp. tanpa subtending hyphae, F:
Glomus sp. secara utuh, dan G–I: Glomus sp. dengan subtending
hyphae
Acaulospora sp. adalah genus mikoriza yang termasuk dalam famili
Acaulosporaceae. Genus ini memiliki beberapa ciri khas, seperti spora berbentuk
bulat hingga agak bulat dengan ukuran rata-rata 175–279 µm, dinding spora
terdiri dari dinding luar berwarna cokelat, biasanya terdapat cicantrix (location of
hyphal attachment) dan lapisan dinding dalam yang tipis, terdapat perhiasan
berupa lubang-lubang halus pada permukaan spora. Lapisan luar tidak bereaksi
dengan larutan Melzer, tetapi lapisan dalam bereaksi dengan larutan Melzer
(INVAM 2013). Jenis-jenis Acalauspora sp. yang ditemukan dalam pengamatan
dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Spora Acalauspora sp. (A: Acaulospora sp. dengan cicantix dan B–C:
Acaulospora sp. tanpa cicantix)

12

Scutellospora sp. adalah genus mikoriza dari famili Gigasporaceae. Genus
ini memiliki beberapa ciri khas, seperti spora berbentuk bulat hingga agak bulat
dengan ukuran rata-rata 130–165 µm, berwarna kuning dengan perisai (shield),
dan dinding spora terdiri dari dinding luar tebal berwarna cokelat. Terdapat
perhiasan berupa lubang-lubang halus pada permukaan spora. Bereaksi terhadap
larutan Melzer (INVAM 2013). Jenis-jenis Scutellospora sp. yang ditemukan
dalam pengamatan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Spora Scutellospora sp.
Kelimpahan dan Frekuensi Spora
Kelimpahan dan frekuensi spora berkaitan dengan penyebaran spora per
genus pada lokasi tempat pengambilan contoh tanah. Persentase kelimpahan spora
di Purwakarta, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 7, sedangkan frekuensi
spora pada berbagai pola penanaman di Purwakarta, Jawa Barat dapat dilihat pada
Gambar 8.
100

Glomus
Acalauspora
Scutellospora

95.95

Kelimpahan relatif (%)

85.26

75

66.01

50
26.80

25
14.74

0.00

4.05

7.19

0.00

0

Ts. Timun

Ts. Jagung

Ts. Singkong

Pola penanaman

Gambar 7 Kelimpahan genus spora FMA pada berbagai pola penanaman di
Purwakarta, Jawa Barat (Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts.
Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari
singkong+jabon

13

100

Glomus
Acalauspora
Scutellospora

94.44

Frekuensi spora (%)

83.33
72.22

75

50

22.22

25
11.11
0.00

5.56

0.00

5.56

0

Ts. Timun

Ts. Jagung

Ts. Singkong

Pola penanaman

Gambar 8 Frekuensi genus spora FMA pada berbagai pola penanaman di
Purwakarta, Jawa Barat (Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts.
Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong: tumpangsari
singkong+jabon)
Nilai kelimpahan relatif (Gambar 7) dan frekuensi spora (Gambar 8)
berbanding lurus dengan nilai keragaman spora, yaitu genus yang paling dominan
pada pada tumpangsari timun, tumpangsari jagung, dan tumpangsari singkong
adalah genus Glomus dengan nilai kelimpahan relatif masing-masing sebesar
95.95%, 85.26%, dan 66.01% serta nilai frekuensi atau penyebaran spora masingmasing sebesar 94.44%, 83.33%, dan 72.22. Dominannya Glomus ini sesuai
dengan pernyataan Bagyaraj (1991) yang melaporkan bahwa genus Glomus
memiliki penyebaran yang lebih luas daripada genus lain. Pada berbagai laporan
penelitian, Glomus juga merupakan genus yang dominan ditemukan diberbagai
tanaman kehutanan, seperti di jati ambon (Karepesina 2007) dan
Dipterocarpaceae (Prasetia 2011).
Pertumbuhan Tanaman Jabon
Fungi mikoriza arbuskula merupakan simbion obligat, sehingga semua
faktor yang mempengaruhi tanaman inang juga akan mempengaruhi kondisi FMA
di sekitar inang tersebut. Adanya faktor keanekaragaman FMA yang dipengaruhi
oleh kondisi tanaman inang, maka perlu diketahui mengenai pertumbuhan
tanaman inangnya, yaitu jabon. Data mengenai pertumbuhan tegakan tanaman
jabon di ketiga pola penanaman dapat dilihat pada Tabel 5.

14

Tabel 5 Pertumbuhan jabon di Purwakarta, Jawa Barat
Pola penanaman

Ts. Timun
Ts. Jagung
Ts. Singkong

Ukuran Umur
DBH Tinggi total
plot (bulan) rata-rata rata-rata
(ha)
(cm)
(m)
0.02
7
3.93
2.01
0.02
7
5.14
2.88
0.02
7
2.45
1.29

Volume Volume
pohon per ha
(m3)
(m3)
0.0028 4.24
0.0012 1.72
0.0003 0.50

Ts. Timun: tumpangsari timun+jabon; Ts. Jagung: tumpangsari jagung+jabon; Ts. Singkong:
tumpangsari singkong+jabon.

Tanaman jabon merupakan jenis tanaman yang dapat tumbuh hampir
diberbagai kondisi tanah mulai dari tanah kering sampai tanah-tanah yang kadangkadang tergenang. Jenis perakaran lateral yang dimiliki jabon menjadikan
tanaman jabon salah satu tanaman yang dapat bersimbiosis dengan FMA. Dengan
demikian, maka aplikasi FMA tidak terbatas untuk pola tanaman monokultur saja,
tetapi dapat diintegrasikan dalam suatu unit manajemen pola tanaman campuran
seperti agroforestri (tumpangsari, alley cropping, sistem lorong), agrosilvapastura,
dan pola tanaman campuran lainnya.
Berdasarkan Tabel 5, ketiga pola penanaman tersebut memiliki umur
jabon yang sama dengan ukuran plot masing-masing sebesar 0.02 ha. Pola
penanaman tumpangsari jagung memiliki dbh dan tinggi total jabon terbesar,
sehingga volume tegakan tanaman jabon baik volume per ha maupun volume per
plot dengan tumpangsari jagung memiliki nilai paling besar dibandingkan dengan
kedua tumpangsari lainnya. Hal itu dikarenakan tanaman jagung merupakan
tanaman pertanian dengan umur relatif pendek dan jenis perakaran serabut yang
baik, sehingga memiliki daya adaptasi yang tinggi di lahan dengan kondisi yang
kering serta miskin hara.

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam
Asosiasi antara jabon dengan FMA akan mempengaruhi pertumbuhan
jabon di berbagai pola penanaman yang ada. Pertambahan diameter dan tinggi
pohon merupakan indikator morfologi yang dapat diduga untuk mengetahui
kualitas tegakan suatu jenis tanaman, dalam hal ini yaitu tegakan tanaman jabon
pada berbagai pola penanaman yang ada. Peranan dari FMA terhadap tanaman
inang khususnya dalam hal ini tanaman jabon tidak hanya dilihat dari kemampuan
FMA tersebut dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman inang, tetapi juga
perlunya mengetahui tingkat ketergantungan tanaman itu sendiri terhadap FMA.
Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh pola penanaman terhadap diameter dan
tinggi jabon dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil sidik ragam setiap parameter
Parameter
Fhitung
Diameter
88.19
Tinggi
27.46
* = berbeda nyata menurut uji taraf 5%.

Pr > F