Kajian Brusellosis Pada Sapi Dan Kambing Potong Yang Dilalulintaskan Di Penyebrangan Merak Banten

(1)

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI

DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN

DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN

ARUM KUSNILA DEWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Brusellosis pada Sapi dan Kambing Potong yang Dilalulintaskan di Penyeberangan Merak Banten adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Arum Kusnila Dewi NIM B251064024


(3)

ABSTRACT

ARUM KUSNILA DEWI. Study on Brucellosis to Cattle and Sheep that will be transported at Merak Port Banten. Under direction of FACHRIYAN H. PASARIBU and EKO S. PRIBADI.

A hundred and seventy three samples of cattle sera and 62 samples of sheep sera were examined with RBT, CFT and I-ELISA method. No sera were positive which were examined using RBT method. Meanwhile, 33 cattle sera and 21 sheep sera was positive which were examined using CFT. Using I-ELISA method, there is only one cattle sera was positive. This research result showed that CFT method is more sensitive and specific than RBT method. I-ELISA method is more specific than CFT method. Using SDS-PAGE, proteins have molecule massa of 175,150, 100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15, 10 kDa (A) dan 225, 150, 100, 75-50, 50, 50-35, 35, 25, 10 kDa (B). Protein character was being influenced by natural infection and vaccination program at the region that an animals come from. The research designed to compare sensitivity and specificity of RBT, CFT and I-ELISA method using to detect cattle and sheep brucellosis at Merak Port Quarantine Station.


(4)

RINGKASAN

ARUM KUSNILA DEWI. Kajian Brusellosis pada Sapi dan Kambing Potong yang Dilalulintaskan di Penyeberangan Merak Banten. Dibimbing oleh FACHRIYAN H. PASARIBU dan EKO S. PRIBADI.

Brusellosis adalah penyakit menular yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti pengantar susu, petugas laboratorium, dokter hewan, inseminator, peternak, pemuliaan sapi dan lain-lain.

Penyakit yang disebabkan olehinfeksi B. melitensis disebut undulant fever atau Malta fever. Sedangkan yang disebabkan oleh infeksi B. abortus disebut Bang’s. Keduanya merupakan zoonosis. Penyakit ini dapat terjadi pada hewan domestik (kambing, babi, sapi anjing dan lain-lain) dan manusia, menyebar di seluruh dunia terutama pada negara berkembang.

Metode pemeriksaan dengan RBT, CFT, I-ELISA dan SDS-PAGE, Jumlah contoh diperoleh secara bertingkat (multiple state). Ukuran contoh untuk deteksi penyakit secara selektif dalam populasi hewan. Data hasil pemeriksaan dianalisa dengan menggunakan metode statistika deskriptif.

Hasil Pemeriksaan sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan Banten. Tidak diperoleh hasil positif ketika diperiksa menggunakan metode RBT. Sebanyak 33 dan 21 contoh serum sapi dan kambing potong memberikan hasil positif ketika diperiksa dengan metode CFT positif. Hanya satu contoh serum sapi yang positif ketika diperiksa dengan I-ELISA. Metode SDS-PAGE diperoleh data bahwa protein yang ada di dalam serum-serum contoh memiliki berat molekul 175,150, 100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15, 10 kda (a) dan 225, 150, 100, 75-50, 50, 50-50-35, 50-35, 25, 10 kda (b). Kata Kunci: Brusellosis, sapi, kambing, RBT, CFT, I-ELISA


(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(6)

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI

DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN

DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN

ARUM KUSNILA DEWI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

Judul Tesis : Kajian Brusellosis pada Sapi

dan Kambing Potong yang Dilalulintaskan di Penyeberangan Merak Banten

Nama : Arum Kusnila Dewi NIM : B251064024

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Drh. Fachriyan H. Pasaribu Dr. Drh. Eko S. Pribadi, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. Drh. Denny W. Lukman, MSi Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 13 Januari 2009 Tanggal Lulus :


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2008 ini ialah brusellosis, dengan mengambil judul ”Kajian Brusellosis pada Sapi dan Kambing Potong yang Dilalulintaskan di Penyeberangan Merak Banten”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan Dr. Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan arahan dalam penelitian dan penulisan tesis. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA, Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si, Drh. Rahmat Hidayat, M.Si, Drh. Bambang Haryanto, MM., Drh. Mulyanto, MM., Drh. Basir Nainggolan, Ir. Indra Wilson, MBA, Roselyna Syaferina, A.Md, dan keluarga besarku yang telah memberi dukungan dan motivasi. Siti Nurlina, A.Md yang telah membantu selama pengumpulan dan pemeriksaan contoh. Penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf BKP Kelas II Cilegon dan teman sejawat Badan Karantina Pertanian. Ucapan terima kasih kepada Suami tercinta , Aar dan Puan (buah hati tersayang), ayah dan ibu, mertua, kak nah, mbak maya, bu mel, bu muji serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2009

Arum Kusnila Dewi


(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : drh. Usamah Afiff, M.Sc.


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rumbia Lampung Tengah pada tanggal 5 Juni 1977 dari ayah Drs. H. Achmad Sjukur dan ibu Hj. Kurniati. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Tanjung Karang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Fakultas kedokteran Hewan.

Tahun 1999 Penulis lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan sebagai Sarjana Kedokteran Hewan dan pada tahun yang sama melanjutkan Program Pendidikan Dokter Hewan. Tahun 2001 penulis lulus sebagai Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan melanjutkan studi S2 pada tahun 2007 di Kampus yang sama atas beasiswa dari Badan Karantina Pertanian.

Penulis menikah dengan drh. Rahmat Hidayat Harahap, M.Si pada tahun 2002 dan telah dikarunia 2 (dua) orang anak, yaitu Abdurrahman Arladira Harahap (2003) dan Puan Queenara Arladira (2006).

Penulis sekarang bekerja di Badan Karantina Pertanian yang ditugaskan di Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon-Banten.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1 PENDAHULUAN ... ... 1

1.1. Permasalahan ... 2

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Manfaat Penelitian ... 3

1.4. Hipotesis ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Etiologi ... 4

2.2. Sifat Morfologi B. abortus ... 4

2.3. Patogenesis ... 5

2.4. Reaksi Tanggap Kebal terhadap B. abortus ... 7

2.5. Gejala Penyakit ... 8

2.5.1. Gejala Penyakit Pada Ternak ... 8

2.5.2. Gejala Penyakit Pada Manusia ... 8

2.6. Diagnosa Serologik terhadap Brucellosis ... 9

3 METODE PENELITIAN ... 11

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

3.1.1. Tempat ... 11

3.1.2. Waktu Penelitian ... 11

3.2. Rancangan Penelitian ... 12

3.2.1. Bahan dan Alat ... 12

3.2.2. Pemeriksaan Serologik ... 13

3.3. Analisis ... 16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

4.1. Hasil ... 17

4.2. Pembahasan ... 21

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

5.1. Kesimpulan ... 27

5.2. Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Karakter dari beberapa spesies Brucella ... 5 2 Spesies Brucella, inang dan gejala klinis infeksi yang diakibatkannya ... 6 3 Jadwal kegiatan penelitian ... 11 4 Hasil positif dari pemeriksaan serologik serum sapi dan kambing potong menggunakan tiga metode uji ... 17 5 Interprestasi serial dan paralel dari hasil pemeriksaan serologik terhadap serum sapi dan kambing potong ... ... 18 6 Karakter protein Ig G serum sapi dan kambing potong positif CFT

dan I-ELISA ... ... 20


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Karakter protein hasil elektroforesis terhadap serum sapi potong yang positif CFT dan I-ELISA... ... 19 2 Karakter protein hasil elektroforesis terhadap serum kambing potong yang positif CFT.. ... 19


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tabel data lalulintas sapi dan kambing di pelabuhan penyeberangan

Merak tahun 2001-2008 ... 31

2 Prosedur Pemeriksaan ... 31

1. Metode Rose Bengal Test (RBT) ... 31

2. Complement Fixation Test (CFT) ... 31

Tabel metode uji spesifisitas serum (CFT) ... ... 35

3. Enzym Linked Immuno Assay (I-ELISA) ... 35

4. Elektroforesis Metode SDS Page ... 39

Tabel persiapan pembuatan gel ... 40

3 Tabel hasil positif RBT, CFT Dan I-ELISA serum sapi potong dari Kabupaten di Jawa Timur ... 42

4 Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum sapi potong dari Kabupaten di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta ... 42

5 Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum sapi potong dari Kabupaten di Jawa Barat ... 43

6 Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum sapi potong dari Jakarta.. ... 43

7 Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum sapi potong dari Kabupaten di Banten ... 43

8 Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum kambing potong dari Kabupaten di Jawa Timur ... 43

9 Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum kambing potong dari Kabupaten di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta ... 44

10 Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum kambing potong dari Kabupaten di Jawa Barat ... 44

11 Tabel hasil positif RBT, CFT dan ELISA serum kambing potong dari Jakarta ... 44

12 Tabel hasil positif RBT, CFT dan ELISA serum kambing potong dari Kabupaten di Banten ... 44

13 Laporan hasil pengujian laboratorium terhadap brusellosis di FKH IPB ... 45

14 Laporan hasil pengujian laboratorium terhadap brusellosis di BBUSKP ... 46


(15)

15 Laporan hasil pengujian laboratorium terhadap brusellosis di


(16)

1. PENDAHULUAN

Brusellosis adalah penyakit menular yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti pengantar susu, petugas laboratorium, dokter hewan, inseminator, peternak, pemuliaan sapi dan lain-lain. Infeksi terjadi melalui kontak langsung dengan hewan, eksreta hewan dan produk hewan. Namun, kontak yang tidak berkaitan dengan pekerjaan biasanya karena minum susu mentah atau produk susu, atau ketika sedang menangani daging di rumah tangga. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi B. melitensis disebut undulant fever atau Malta fever. Sedangkan yang disebabkan oleh infeksi B. abortus disebut Bang’s. Keduanya merupakan zoonosis. Penyakit ini dapat terjadi pada hewan domestik (kambing, babi, sapi anjing dan lain-lain) dan manusia, menyebar di seluruh dunia terutama pada negara berkembang (CDC 2007).

Brusellosis pada ternak umur dewasa, terjadi tidak kurang dari 3% melalui perkawinan. Namun pada tenak berumur muda lebih tahan dan lebih sering bebas dari infeksi. Proses perjalanan penyakit yang disebabkan oleh B. abortus pada sapi dan B. militensis pada kambing dimulai dengan masuknya kuman ke dalam tubuh melalui penetrasi selaput lendir mata, membran mukosa saluran reproduksi, saluran pencernaan, mulut, kulit dan saluran pernapasan (Hirsh et al. 2004). Sumber utama penularan B. abortus pada sapi adalah melalui cairan uterus, jaringan plasenta, janin, kolostrum dan susu dari sapi penderita (Quinn et al. 2006).

B. abortus bersifat fakultatif intraseluler anerobik yang mampu hidup dan berkembang baik dalam sel fagosit (makrofag). Hal ini dikarenakan kemampuan menghambat efek bakterisidal dari makrofag, sehingga B. abortus mampu hidup dalam sel tersebut. B. abortus juga dapat menyebabkan kemajiran, anomali alat reproduksi, kematian dini anak ternak yang belum dewasa (sapi, kambing dan domba) dan keguguran pada kelompok ternak (sapi, kambing dan domba).

Pemeriksaan terhadap sapi impor sangat penting dilakukan, seperti sapi potong ras Brahman dari Australia yang dibongkar melalui pelabuhan Cigading Banten tujuan feedlot di Banten. Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas II Cilegon melakukan tindak karantina dan uji tapis terhadap Brucella dengan


(17)

metode RBT. Masa penggemukan kurang lebih tiga bulan, setelah itu dibawa ke Rumah Potong Hewan (RPH) di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

1.1. Permasalahan

Pemeriksaan terhadap sapi dan kambing impor asal Australia yang masuk melalui pelabuhan Panjang Lampung dan Tanjung Priok Jakarta dilakukan terhadap kelengkapan dokumen persyaratan, masa karantina dan pemeriksaan terhadap bruselosis. Pemeriksaan terinfeksi atau tidaknya terhadap Brucella dilakukan dengan hanya menggunakan metode Rose Bengal Test (RBT) sebagai uji penapisan. Demikian juga halnya dengan sapi dan kambing lokal dari pulau Jawa yang akan dikirim ke pulau Sumatera melalui penyeberangan Merak. Hanya saja, Surat Keterangan dan Kesehatan Hewan (SKKH) daerah asal ternak tersebut belum semuanya menyatakan telah melakukan pemeriksaan terhadap Brucella, atau menyertakan hasil laboratorium yang menyatakan bebas Brusellosis. Oleh karena itu, BKP Kelas II Cilegon di penyeberangan Merak tetap melakukan pemeriksaan dokumen, fisik dan RBT.

Pemeriksaan serologik rutin menggunakan metode RBT di BKP Kelas II Cilegon terhadap serum sapi dan kambing masih banyak ditemukan hasil dubius, yaitu terjadi aglutinasi halus cairan keruh berwarna merah jambu. Semua hasil yang memiliki hasil dubius dilanjutkan pemeriksaan Complement Fixation Test (CFT) sebagai metode Gold standard di laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET). Hasil CFT yang positif dilanjutkan pemeriksaannya menggunakan metode Indirect Enzym Linked Immuno Assay (I-ELISA) di Balai Besar Metode Standar Karantina Pertanian (BBUSKP). Hasil pemeriksaan menggunakan I-ELISA akan bernilai positif jika diperoleh hasil positif secara kwalitatif (perubahan warna) dan kwantitatif sehingga metode ini dapat digunakan sebagai uji konfirmasi terhadap RBT dan CFT. Hasil positif secara kwantitatif diperoleh jika nilai α lebih kecil dari Optical Density (OD). Sedangkan nilai α merupakan hasil perkalian 0,6 dengan OD positif. OD positif diperoleh dari pengukuran serum kontrol positif pada panjang gelombang 450 nm dan 630 nm (bikromatik) atau 450 nm (monokromatik).


(18)

Pemeriksaan Brusellosis dengan metode yang cepat, tepat dan akurat sangat diperlukan karena tingginya volume pengiriman tenak sapi dan kambing yang melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. membandingkan sensitifitas RBT dengan CFT,

2. membandingkan spesifisitas I-ELISA dengan CFT, dan

3. melakukan karakterisasi immunoglobulin (Ig )dari serum yang positif CFT.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan, seperti petunjuk pelaksana teknis dan keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian, terhadap kegiatan lalu-lintas antar pulau/daerah, ekspor dan impor ternak yang rentan terhadap Brusellosis.

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini adalah : H0 : CFT lebih sensitif dari RBT dan

CFT lebih spesifik dari Indirect I-ELISA monoclonal. H1 : CFT tidak sensitif dari RBT dan

CFT tidak spesifik dari Indirect I-ELISA monoclonal.


(19)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Etiologi

Brusellosis disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella. Bakteri ini bersifat Gram negatif, intraseluler, non-motil, tidak membentuk spora, berbentuk kokobasil. Koloni bakteri yang tumbuh pada agar darah, berbentuk bundar dengan diameter 2-4 μm. Bakteri ini menghasilkan katalase dan oksidase, mereduksi nitrat dan menghidrolisis urea. Di dalam tubuh inang bersifat patogen fakultatif intraseluler anaerobik (Ghaffar 2005). Taksonomi dari B. abortus ini adalah :

Kingdom : Proteobacteria Class : Rhodospirilli Order : Rhizobiales Family : Brucellaceae Genus : Brucella

2.2. Sifat Morfologi B. abortus

B. abortus biotipe 2 dan B. ovis tumbuh lamban di agar darah atau serum secara aerob. Koloni B. abortus, B. suis dan B. militensis berbentuk halus, kecil, glistening, bluish dan translusen setelah di inkubasi selama 3–5 hari pada suhu 37 o

C di media agar darah. B. abortus biotipe 2 dan B. ovis memerlukan 5–10% karbon dioksida (CO2) untuk pertumbuhannya. B. abortus memproduksi H2S (Quinn et al.2006).

Sel B. abortus terdiri dari membran sitoplasma dan dinding sel. Dinding sel terdiri dari bagian peptidoglikan, protein dan membran luar. Membran luar merupakan bagian paling luar dari bagian bakteri dan merupakan struktur pertama yang berhubungan dengan sistem pertahanan tubuh inang. Membran luar terdiri dari lipoprotein dan lippopolisakarida (LPS). Struktur LPS terdiri dari rantai khas O-polisakarida, inti polisakarida dan lipid A. Rantai O polisakarida B. abortus galur halus terdiri dari cabang linier hopolimer dari α(1,2)-N-formyl perosamine. Sedangkan inti terdiri dari manosa, glukosa, quinovasamin dan 3-dioksi-2-oktulosonat. LPS B. abortus galur kasar tidak mengandung perosamin dan quinovasamin (Moreno et al.1984). Protein dinding sel dari setiap galur B. abortus sebagian besar mempunyai kesamaan dalam komposisi asam amino


(20)

kecuali pada asam amino methionin, isoleusin, tirosin dan histidin. Karakter beberapa spesies Brucella terpapar pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Karakter dari beberapa spesies Brucella Spesies

Brucella

Bio-type

CO2 Produksi H2S

Aktifitas Urease

Thionin ( 20μg/ml)

Basic Fuchsin (20μg/ml)

B. abortus 7 v v + V v

B. melitensis 3 - - v + +

B. suis 5 - v + + v

B. ovis 1 + - - + -

B. canis 1 - - + + -

Sumber: Quinn et al.(2006). Keterangan : + : positif, - : negatif, v : hasil reaksi relatif pada biotipe yang berbeda

2.3. Patogenesis

Brusellosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari genus Brucella. Brucella sp. dapat menyerang berbagai ternak, diantaranya sapi, domba, kambing dan babi. Brusellosis bersifat zoonosis sehingga dapat menyerang manusia. Sumber penularan penyakit ini adalah cairan genital, semen dan susu segar dari hewan penderita. Dijelaskan juga bahwa padang rumput, pakan dan air yang tercemar merupakan sarana utama penyebarannya. Pada sapi dewasa yang sudah matang kelamin, terutama sapi bunting, sangat peka terhadap infeksi B. abortus. Sementara, sapi dara dan tidak bunting banyak yang tahan terhadap infeksi ini.

Abortus spontan pada hewan terjadi karena pada kotiledon uterus dihasilkan gula eritritol yang merupakan sumber energi yang sangat baik untuk pertumbuhan B. abortus sehingga terjadi infeksi di fetus dan plasenta (Misra et al. 1976). Hal lain yang menyebabkan abortus adalah kurangnya tanggap kebal terhadap Brucella di dalam cairan amnion.

Spesies Brucella dan inangnya serta gejala klinis pada hewan dan manusia yang terinfeksi dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.


(21)

Tabel 2. Spesies Brucella, inang dan gejala klinis infeksi yang diakibatkannya

Organisme Inang Hewan dan manusia

B. abortus Sapi: terjadi abortus dan orkhitis

Domba, kambing dan babi: terjadi abortus sporadik. Kuda: terjadi bursitis. Manusia: terjadi demam sistemik dan intermittent

B. melitensis Kambing atau Domba: terjadi abortus, orkhitis dan arthritis

Sapi : terjadi abortus sporadik dan penurunan produksi dan kualitas susu. Manusia : terjadi demam sistemik. B. suis Babi (B. suis biotipe

1–3): terjadi abortus, orkhitis, arthritis, spondilitis dan infertil

Manusia: terjadi demam sistemik dan intermittent

B. canis Anjing (B. canis biotipe 1–3): terjadi abortus, epididimitis, disco spondilitis dan mandul pada anjing betina

Manusia: terjadi demam sistemik dan intermittent

B. ovis Domba: terjadi abortus, epididimitis

B. neotomae Rodensia

Sumber: Quinn et al.(2006).

Bakteri dapat masuk dalam tubuh melalui penetrasi membran mukosa saluran pencernaan, mulut, saluran reproduksi dan selaput lendir mata (Plommet dan Frensterbank 1988). Setelah berhasil menembus mukosa, bakteri akan terbawa ke dalam sistem peredaran limfatik dan bersarang di dalam kelenjar pertahanan terdekat dengan lokasi masuknya, mengaktifkan komplemen sebagai sistem alternatif yang menghambat kematian sel. Setelah bakteri bereplikasi di dalam retikulo endoplasma, Brucella dilepaskan dengan bantuan hemolisin dan menginduksi nekrosa sel (Nassir 2007). Bakteri ini mempunyai kemampuan yang unik untuk bertahan dari sel fagosit dan non fagosit kemudian bertahan di lingkungan intraseluler dengan menghindari sistem kebal dengan cara yang berbeda. Bakteri akan terlepas dari limfonodus dan menyebabkan septicaemia, jika Brucella tidak hancur atau tetap berada di dalam limfonodus. Kuman akan pindah ke organ lympho-reticular yang lain, seperti limpa, sumsum tulang, hati dan testes, untuk selanjutnya menghasilkan granuloma atau abses. Hal inilah yang menyebabkan brusellosis bersifat sistemik dan dapat melibatkan hampir seluruh organ (Nassir 2007). Kuman yang berhasil lolos dari sistem pertahanan tubuh ini


(22)

selanjutnya akan tersebar ke jaringan tubuh lainnya, seperti kelenjar ambing, melalui sistem peredaran darah.

B. abortus dapat ditemukan juga dalam uterus sapi bunting, kelenjar ambing, testis, glandula asesori dan kelenjar pertahanan. B. abortus banyak terdapat di uterus terinfeksi pada sapi yang sedang bunting. Hal ini dikarenakan kotiledon menghasilkan gula alkohol, yang disebut eritritolyang menjadi sumber energi bagi B. abortus (Misra et al. 1976). Endotoksin yang dihasilkan menyebabkan terjadinya plasentitis dan endometritis yang mengakibatkan abortus (Enright 1990). Kuman akan terbawa bersama cairan uterus, plasenta dan janinnya saat melahirkan yang merupakan bahan potensial dalam penularan penyakit. Selain itu, B. abortus juga banyak dijumpai di dalam kolustrum atau susu serta pada semen sapi jantan.

Terdapat empat tipe Brucella yang diketahui dapat menginfeksi manusia yaitu B. abortus (sapi), B. suis (babi), B. melitensis (domba/kambing) dan B. canis (anjing). B. abortus dan B. canis menyebabkan infeksi febrile supuratif yang ringan sedangkan B. suis menyebabkan infeksi supuratif yang lebih parah yang dapat merusak organ lymfo-retikular dan ginjal. B. melitensis adalah spesies yang paling infeksius dan menyebabkan Brusellosis yang paling parah dan akut (Ghaffar 2005).

2.4. Reaksi tanggap kebal terhadap B. abortus

Sel B. abortus seperti halnya bakteri Gram negatif lainnya terdiri dari membran sitoplasma dan dinding sel. Dinding sel terdiri dari peptidoglikan, protein dan membran luar. Membran luar terdiri dari lipoprotein dan lipopolisakarida (LPS) (Verstreate et al. 1982). Komponen-komponen tersebut memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menimbulkan tanggap kebal pada induk semang. Membran luar berfungsi sebagai pelindung antara bagian bakteri dengan lingkungan dan merupakan struktur pertama yang berinteraksi dengan sistem tanggap kebal induk semang pada awal penyakit. LPS dinding sel merupakan faktor virulensi yang bertanggung jawab atas penghambatan efek bakterisidal dalam sel makrofag (Frenchick et al. 1985; Moreno et al.1984).

Bakteri B. abortus memiliki beberapa mekanisme untuk menghindari sistem tanggap kebal inang. Salah satu komponen sel yang berperan dalam


(23)

pertahanan intraseluler adalah LPS. Hal ini dikarenakan LPS B. abortus mengandung komponen 5-guanosin monofosfat. Dengan adanya kemampuan tersebut, hampir 15–30% bakteri ini mampu bertahan di dalam sel fagosit polymorphnuclear atau mononuclear (Canning et al. 1986; Nassir et al. 2006).

Proliferasi limfosit terlacak 1-2 minggu setelah infeksi yang merupakan reaksi tanggal kebal terhadap protein membran luar bakteri. Sedangkan antibodi yang dihasilkan sangat beragam, tergantung dari sifat antigenitas fraksi-fraksi protein dinding sel B. abortus. Fraksi protein yang paling bersifat antigenik diharapkan mampu merangsang timbulnya antibodi spesifik sedini mungkin (Belantti 1993). Fraksi-fraksi protein yang dilacak dengan menggunakan teknik elektroforesis terdiri dari porin: 88-94 kDa, protein: 35-40 kDa, protein: 25-30 kDa dan lipoprotein: 8 kDa (Gomez dan Moriyon 1986). Protein-protein dengan berat molekul 35-40 kDa dan 25-30 kDa yang dimiliki B. abortus merupakan protein yang bersifat antigenik (Verstreate et al. 1982).

2.5. Gejala Penyakit

2.5.1. Gejala Penyakit Pada Ternak

Sapi, kambing, domba, anjing dan jenis hewan lain yang terinfeksi B. abortus memiliki resiko yang tinggi terhadap aborsi, kelemahan, arthritis, retensi plasenta dan endometritis. Brusellosis akan mempengaruhi organ-organ yang kaya akan gula eritritol, seperti organ ambing, uterus, epididimis dan lainnya. Organisme ini akan terlokalisasi pada organ-organ tersebut dan menyebabkan infertil, kemajiran atau steril dan abortus (Ghaffar 2005).

B. abotus dan B. melitensis dapat juga menyerang sapi jantan yang mengakibatkan infeksi pada vesikel seminalis, ampullae, testikel dan epididimidis (Anonim 2007). B. abortus menyebabkan abortus pada sapi. B. melitensis menyebabkan abortus pada trimester terakhir pada kambing dan domba. B. ovis dapat menyebabkan aborsi, placentitis, dan kematian neonatal pada sapi. Masalah pada fertilitas seperti orkhitis, epididymitis dan dapat ditemukannya organisme di dalam semen (Ocholi et al. 2005; Davis dan Danelle2007).

2.5.2. Gejala Penyakit pada Manusia

Gejala klinis sangat beragam meliputi granuloma hepatitis, artritis, spondilitis, anemia, leukopenia, thrombositopenia, meningitis, uveitis, neuritis


(24)

optikal dan endokarditis. Gejala demam adalah gejala yang biasa terjadi pada Brusellosis. Demam intermitten terjadi pada 60% pasien, baik dalam kondisi akut ataupun kronis. Sedangkan demam undulant terjadi pada 60% pasien kondisi subakut. Demam yang tidak diketahui penyebabnya fever unknown origin (FUO) dapat dicurigai sebagai permulaan Brusellosis pada area endemik rendah. Gejala lain dapat terjadi pada saluran pencernaan, seperti sakit perut, konstipasi, diare; dan pada saluran pernafasan, seperti batuk dan sesak napas (dyspnea) (Nassir 2007).

2.6. Diagnosa Serologik terhadap Brusellosis

Diagnosa serologik terhadap Brusellosis dapat dilakukan dengan menggunakan metode RBT maupun CFT. Metode CFT tidak dapat membedakan antibodi yang dihasilkan karena penggunaan vaksin B. abortus, atau karena infeksi alami (Holman 1983). Reaksi silang RBT dengan CFT dapat diatasi dengan memodifikasi Antigen (Ag) Brucella yang dilarutkan dalam larutan penyangga pH 3,65.

Metode I-ELISA digunakan untuk meningkatkan kekhususan metode serologik dan mengetahui apakah antibodi yang dihasilkan dan terlacak dikarenakan kasus infeksi alami atau hasil vaksinasi. Metode I-ELISA untuk diagnosa Brusellosis pada sapi telah umum digunakan di Indonesia.. Kit indirect I-ELISA B. abortus memiliki tiga jenis antigen terkonjugasi (conjugated antigen), yaitu polyclonal conjugated antibody, monoclonal conjugated antibody dan competitive dengan sLPS, dan monoclonal antibody (Rojas and Alonso 1997). Indirect dan competitive I-ELISA mampu mengevaluasi metode serologik konvensional, seperti Rivanol agglutinasi, RBT, CFT dan Radial Immunodiffusion. Selain itu, metode ini mampu juga mengevaluasi apakah antibodi yang terlacak adalah antibodi karena reaksi atas vaksinasi dengan vaksin Strain 19 atau karena infeksi alami (Moreno et al. 1997).

Elektroforesis sering digunakan untuk mengkarakterisasi protein antigen berdasarkan berat molekulnya (BM). Sedangkan untuk mengetahui titik isoelektrik antigen digunakan Isoelectric focusing (IEF). Ada dua metode elektroforesis yang sering digunakan, yaitu elektroforesis satu dimensi sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan


(25)

elektroforesis dua dimensi Isoelectric focusing SDS-PAGE (IEF-SDS-PAGE). Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) merupakan metode baku untuk menentukan BM protein, struktur subunit dan kemurnian protein.

Melalui teknik PAGE, protein dipisahkan menggunakan matrik tiga dimensi yang dialiri listrik. Matrik yang digunakan mempunyai dua fungsi, yaitu (i) memisahkan protein sesuai ukuran dan bentuk dan (ii) memisahkan protein berdasarkan muatan listrik. Hal ini memerlukan pH buffer yang sesuai (Fedik 2003). Poliakrilamid adalah matrik pilihan untuk memisahkan protein yang mempunyai BM antara 500-250.000 Dalton. Pori-pori pada matrik dibentuk oleh rantai cross-lingking linear polyacrylamide dengan bis acrylamide. Ukuran pori-pori berkurang sesuai dengan campuran dengan bis acrylamide. Dengan pembuatan atau pemilihan total konsentrasi yang tepat akan menentukan pula ukuran yang tepat terhadap ukuran protein yang diinginkan. Jadi semakin tinggi total konsentrasi gel pengumpul (stacking gel) mengakibatkan akan menghalangi pergerakan protein di dalam gel. Begitu juga halnya bila terlalu rendah total konsentrasi gel pemisah (separating gel) akan mengakibatkan pergerakan protein menjadi terlalu cepat bergerak melalui gel yang mengakibatkan didapatkan protein spesifik rendah dan tidak sesuai dengan protein yang diinginkan (Fedik 2003).


(26)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

3.1.1. Tempat

Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium BBALITVET dan Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPHK FKH IPB). Pengujian I-ELISA dilaksanakan di BBUSKP. Penggunaan SDS-PAGE dilaksanakan di Bagian Mikrobiologi Medik IPHK FKH IPB.

3.1.2. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan dilakukan sejak bulan Januari sampai dengan Oktober 2008. Rangkaian kegiatan penelitian diuraikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Jadwal kegiatan penelitian

No Uraian Waktu Tempat

1 Pengumpulan data sekunder

Januari - Juni 2008 SKH Kelas II Merak

2 Pengumpulan serum Januari - Juni 2008 SKH Kelas II Merak 3 Pengujian RBT

(sesaat pengumpulan)

Januari - Juni 2008 Juni - Juli 2008

SKH Kelas II Merak BKPKelas II Cilegon 4 Pengujian CFT Maret - Juli 2008 Bagian Mikrobiologi Medik

Departemen IPHK FKH IPB dan BBALITVET

5 Pengujian I-ELISA Januari - Juli 2008 Laboratorium BBUSKP 6 Pengujian SDS-PAGE Oktober 2008 Bagian Mikrobiologi Medik

Departemen IPHK FKH IPB


(27)

3.2. Rancangan Penelitian

Contoh serum diperoleh dari sapi dan kambing potong yang berasal dari kabupaten-kabupaten di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Jakarta dan Banten yang dilalulintaskan melalui BKP Kelas II Cilegon. Sapi dan kambing potong berasal dari daerah yang tidak dilakukan vaksin, pemeliharaan dan pengelolaan kesehatan dilakukan secara konvensional. Jumlah contoh diperoleh secara bertingkat (multiple state), sesuai frekwensi pengeluaran dan populasi per alat angkut. Ukuran contoh untuk deteksi penyakit, dilakukan secara selektif dalam populasi hewan (Thrusfield 2005).

n = [ 1- (1-a)1/D ] [ N- (D-1)/2 ]

untuk : N= Populasi ; a= Konfidensi; n= besaran contoh; D= prevalensi (asumsi sebesar 5%) Tingkat selang kepercayaan sebesar 95%.

3.2.1. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah reagen RBT (BBALITVET), komplemen (konsentrasi 10%), hemolisin (dengan pengenceran 1:100), hemolisin (dengan pengenceran 1:150), sel darah merah (Red Blood Cell, RBC) domba (konsentrasi 4%), koagulan Na sitrat (Sigma) (konsentrasi 3,85%), NaCl (Oshaka) (konsentrasi 0,95 %), Kits indirect I-ELISA (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect), serum kontrol positif (BBALITVET), buffer perosidase substrate (PS) (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect), washing buffer (W) (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect), contoh diluent (SD) (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect), larutan dan gel pengumpul (stacking gel) (konsentrasi 4%) (Sigma Chemical), gel pemisah (separating gel) (konsentrasi 12%) (Sigma Chemical), running buffer (Promega) (konsentrasi 2,76%), phosphat Buffer Saline PBS (Promega), larutan penyangga contoh (Promega) (konsentrasi 25%), larutan pemucat (Promega) (kosentrasi 25%), larutan pewarna coomasie blue (Sigma Chemical) (konsentrasi 0,1%), dan marker protein antibodi mamalia (Promega).

Alat yang digunakan adalah cawan metode RBT (WHO hemagglutination tray), pengaduk sucihama, singlechannel pipet 10-100 μl (Wiegthex), spuit 3ml (Trumo) yang sucihama, tabung kecil 1,5 ml (Eppendorf), tabung 10 ml (Pyrex),


(28)

pipet 1-10 ml (Pyrex), multichannel mikropipet 0,1-1 μl, 10-200μl dan 100-1000 μl (Wiegthex), sentrifus (Hamle) dengan kecepatan 2500-5000 putaran per menit dan spuit 1 ml dan 3ml yang sucihama multichannel mikro pipet 10-100 μl, shaking (Biotek), penangas air (Biotek) dan (Memmert), ELISA reader (Biotek ELX 808), elektroforesis (Sigma), dan lempeng kaca (Parmacia-Biotek).

3.2.2. Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik serum sapi dan kambing potong yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan RBT, CFT dan I-ELISA.

1. RBT

RBT adalahreaksi pengikatan antigen yang telah dilemahkan dan diwarnai dengan antibodi dari contoh serum. Pengikatan antigen permukaan dengan antibodi menyebabkan terjadinya aglutinasi. Bila tidak terjadi aglutinasi, ini memiliki arti tidak ada antibodi dalam contoh serum tersebut.

Pengambilan contoh serum dari sapi dan kambing potong sebanyak 235 contoh serum, masing-masing dilakukan menggunakan spuit 3 ml (Trumo) yang sucihama. Serum dikemas dalam tabung kecil (Eppendorf) dan diberi label yang jelas. Sebanyak 25 μl contoh serum sapi dan kambing potong diambil menggunakan singlechannel pipet 10-100 μl (Wiegthex) dan dicampurkan dengan 25 μl reagen RBT (BBALITVET) di dalam sumur cawan (WHO hemagglutination tray). Larutan dicampur hingga rata menggunakan pengaduk yang sucihama. Reaksi aglutinasi diamati setelah 4-5 menit. Hasil dinilai positif (+++) jika terjadi agglutinasi sempurna, cairan jernih dan tampak jelas. Hasil dinilai positif (++) jika terjadi agglutinasi berupa pasir halus, cairan agak jernih dan batas cukup jelas. Sedangkan RBT dinilai positif (+) jika terjadi aglutinasi berupa pasir halus, cairan tidak jernih dan batas cukup jelas.

2. CFT

CFT merupakan reaksi pengikatan komplemen untuk mengukur kadar antibodi serum ataupun antigen. Prinsip reaksi ini adalah adanya kompleks antigen dan antibodi yang homolog, menarik komplemen untuk berikatan dengan bagian Fc dari antibodi sehingga melisiskan RBC. Reaksi pengikatan komplemen terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah reaksi pengikatan sejumlah


(29)

komplemen menggunakan komplemen (dengan konsentrasi 10%) untuk memperoleh komplek antigen dan antibodi. Tahap kedua adalah penghancuran eritrosit yang telah dilapisi hemolisin (sistem indikator) dengan menggunakan hemolisin (dengan pengenceran 1:100) dan hemolisin (dengan pengenceran 1:150). Reaksi komplemen dan hemolisis dilakukan dalam tabung reaksi 10ml (Pyrex).

Domba yang akan diambil darahnya disuntik antigen B. abortus dalam jangka waktu dua minggu sebelum pengambilan darah. Sehingga, darah domba yang diperoleh nantinya adalah darah domba yang telah mengandung antibodi terhadap B. abortus. Pengambilan darah domba dilakukan menggunakan spuit yang berisi antikoagulan Na sitrat (Sigma) (konsentrasi 3,85%) dengan perbandingan 0,5 ml antikoagulan untuk 3ml darah domba. Darah disentrifugasi dengan kecepatan 2500-5000 putaran per menit. Selanjutnya dicuci menggunakan NaCl berkonsentrasi 0,95 % untuk memperolehsel darah merah. Sistem indikator atau hemolisin terdiri dari RBC domba (konsentrasi 4%) yang mengandung antibodi terhadap B. abortus. Titrasi hemolisin dilakukan dengan menggunakan tabung reaksi sebanyak dua belas tabung yang disusun menjadi dua baris (A dan B). Baris A diberi nomor ganjil, yaitu 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 dan baris B diberi nomor genap, yaitu 2, 4, 6, 8, 10 dan 12. Baris A dan baris B merupakan gambaran titrasi hemolisin. Larutan dari ke enam tabung dihomogenkan dengan cara menggoyang rak tabung reaksi, kemudian diinkubasikan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 37 oC. Sebanyak 0,25 ml komplemen 10% ditambahkan ke masing-masing tabung, diikuti dengan menambahkan 0,25 ml RBC domba 4%.Tabung reaksi disusun kembali menjadi satu baris dengan nomor yang berurutan (1-12), larutan dihomogenkan dan diinkubasikan kembali selama 30 menit pada suhu 37 oC. Adanya antigen dan antibodi yang homolog akan ditandai dengan adanya pengendapan eritrosit dari sistem indikator yang berarti terjadi reaksi pengikatan komplemen.

Sebaliknya, tidak adanya kesesuaian antara antigen dan antibodi akan ditandai dengan lisisnya eritrosit dari sistem indikator (reaksi komplemen negatif). Tabung reaksi sebanyak enam buah disusun dalam satu baris dan diberi nomor berurut dari 1 sampai 6. Larutan dihomogenkan dengan cara menggoyang rak


(30)

tabung reaksi, kemudian diinkubasikan dalam penangas air selama 10 menit 37oC. Pada reaksi pengikatan komplemen dilakukan titrasi serum yang diuji. Pengenceran serum mengakibatkan perubahan reaksi pada masing-masing tabung, yaitu dari pengendapan (reaksi positif) sampai lisisnya eritrosit (reaksi negatif). Adanya antigen dan antibodi yang homolog, ditandai dengan pengendapan eritrosit dari sistem indikator (reaksi pengikatan komplemen positif). Hasil CFT positif dengan titer 150 IU.

3. I-ELISA

ELISA adalah merupakan pemeriksaan serologik yang menggunakan dengan enzim untuk mendeteksi ikatan antigen dan antibodi. Enzim semula tidak berwarna ketika penambahan substrat (chromogen, peroxidase dan lain-lainnya). Namun, bila enzim mengikat komplek antigen-antibodi, maka enzim akan mengubah substrat menjadi produk yang berwarna (adanya ikatan antigen-antibodi).

I-ELISA dapat melacak keberadaan antigen atau antibodi dalam contoh serum. Contoh serum sapi dan kambing potong diinaktifkan dalam penangas air pada suhu 53 oC selama lima menit. Kemudian serum dilarutkan dengan contoh diluent (SD) dengan perbandingan 1:200. Serum dimasukkan ke dalam sumur dengan volume 100 μl menggunakan multichannel mikropipet 10-100μl. Diinkubasi selama satu jam pada suhu 37 oC. Setelah masa inkubasi dicapai, dilakukan pencucian sebanyak empat kali dengan washing buffer dengan perbandingan 1:10. Setelah pencucian, ditambahkan konjugat sebanyak 100 μl dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 oC. Setelah masa inkubasi dicapai, dilakukan pencucian sebanyak empat kali dengan washing buffer atau washing revelation, selanjutnnya dilakukan penambahan buffer perosidase substrate (PS) sebanyak 100 μl dan agar tercampur sempurna maka dilakukan pengocokan dengan menggunakan shaker (Biotek). Diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 o

C. Setelah masa inkubasi dicapai, ditambahkan stop solution sebanyak 50 μl dan dilakukan pengadukan.

Pengukuran dilakukan menggunakan ELISA reader dengan sinar bicromatic pada panjang gelombang 450 nm dan 630 nm, atau monocromatic pada 450 nm. I-ELISA positif, jika nilai alfa (α) lebih kecil dari OD. Nilai α


(31)

adalah hasil perkalian 0,6 dengan OD positif. OD positif diperoleh dari pengukuran serum kontrol positif pada panjang gelombang 450 nm dan 630 nm (bikromatik) atau 450 nm (monokromatik).

4. SDS - PAGE

Serum sapi dan kambing potong yang CFT positif dikarakterisasi menggunakan teknik ekektroforesis SDS-PAGE. Contoh dilarutkan dengan larutan penyanggah contoh berkonsentrasi 25% dengan perbandingan 1:10. Campuran ini selanjutnya dipanaskan pada suhu 60 oC selama lima menit dalam penangas air. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam sumur gel elektroforesis yang terdiri dari gel pemisah berkonsentrasi 12% dan gel pengumpul berkonsentrasi 4%.

Contoh serum sapi dan kambing potong sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam masing-masing sumur. Kemudian, perangkat elektroforesis dijalankan dengan arus 50 mA dan daya 100 volt selama kurang lebih tiga jam. Elektroforesis berakhir apabila running buffer berkonsentrasi 2,76% telah mencapai batas 0,5 cm dari bagian bawah gel. Setelah elektroforesis berakhir, gel diangkat dari lempeng kaca dan dicuci dengan phosfat buffer saline (PBS) pada pH 7.

Gel diirendam dalam pewarna coomasie blue 0,1%. Pewarnaan gel dilakukan selama 1-3 jam pada suhu 25 oC sambil diagitasi secara perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan cara merendam gel dalam larutan pemucat 25% yang terdiri dari methanol dan asam asetat. Gel akan berwarna bening dan pita-pita protein yang telah terbentuk terlihat jelas. Marker protein antibodi mamalia memiliki ukuran berat molekul berurutan 225, 175, 150, 100, 75, 50, 35, 25, 15,10 kDa. Berat molekul protein diukur dari mobilitas relatif protein yang disesuaikan dengan marker (Promega) dan membandingkan jarak migrasi molekul protein dari garis awal separating gel sampai ujung stracking gel.

3.3. Analisis

Data hasil pemeriksaan RBT, CFT, I-ELISA dan SDS-PAGE dianalisa dengan menggunakan metode statistika deskriptif.


(32)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan Banten diperiksa secara serologik terhadap terhadap B. abortus. Tidak diperoleh hasil positif ketika diperiksa menggunakan metode RBT. Sebanyak 33 dan dan 21 contoh serum sapi dan kambing potong memberikan hasil positif ketika diperiksa dengan metode CFT positif. Hanya satu contoh serum sapi yang positif ketika diperiksa dengan I-ELISA (Tabel 4).

Prevalensi dari contoh serum sapi potong pada pemeriksaan CFT dan I-ELISA dari terpapar yang tinggi hingga rendah, yaitu dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur dan Jakarta adalah sebesar 33,3%, 20,8%, 18,3%, 16,1% dan 0 (Tabel 4). Prevalensi dari contoh serum kambing potong pada pemeriksaan CFT dari terpapar yang tinggi hingga rendah, yaitu dari Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, Banten, Jawa Barat dan Jakarta adalah sebesar 44%, 35,7%, 26,7%, 25% dan 0 (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil positif dari pemeriksaan serologik serum sapi dan kambing potong menggunakan tiga metode uji

No Asal ternak Contoh Teknik pemeriksaan

RBT (%) CFT (%) I-I-ELISA

(%) Ternak sapi potong

1 Jawa Timur 31 0 5 (16,1%) 0

2 Jawa Tengah dan DIY 60 0 11 (18,3%) 0

3 Jawa Barat 72 0 15 (20,8%) 1 (1,4%)

4 Jakarta 4 0 0 0

5 Banten 6 0 2 (33,3%) 0

Jumlah 172 33 (19,2%)

Ternak kambing potong

1 Jawa Timur 14 0 5 (35,7%) 0

2 Jawa Tengah dan DIY 25 0 11 (44%) 0

3 Jawa Barat 4 0 1 (25%) 0

4 Jakarta 4 0 0 0

5 Banten 15 0 4 (26,7%) 0

Jumlah 62 21 (33,9%)

Keterangan; RBT: Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test, I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay


(33)

Sensitifitas RBT terhadap CFT dan I-ELISA terhadap CFT secara interpretasi paralel dari serum sapi dan kambing potong adalah sebesar 19,10% dan 33,87%. Sedangkan sensitifitas RBT terhadap CFT secara interpretasi serial dari serum sapi dan kambing potong sebesar 0%. Namun sensitifitas secara interpretasi serial, I-ELISA terhadap CFT dari serum sapi dan kambing potong sebesar 0,58% dan 0% (Tabel 5). Spesifisitas RBT terhadap CFT dan I-ELISA terhadap CFT secara interpretasi paralel dari serum sapi dan kambing potong adalah sebesar 80,92% dan 66,13%. Sedangkan spesifisitas RBT terhadap CFT dan I-ELISA terhadap CFT secara interpretasi serial dari serum sapi sebesar 100% dan 99,42%. Namun, spesifisitas RBT terhadap CFT dan I-ELISA terhadap CFT secara interpretasi serial pada serum kambing potong sebesar 100% (Tabel 5).

Tabel 5. Interprestasi serial dan paralel dari hasil pemeriksaan serologik terhadap serum sapi dan kambing potong

No RBT CFT Ternak sapi potong Ternak kambing potong

1 + + 0 0

2 + - 0 0

3 - + 33 21

4 - - 140 41

Jumlah contoh serum 173 62

Sensitifitas

Interpretasi Paralel (P) 33/173 =19,10% 21/62 = 33,87% Interpretasi Serial (S) 0/173 = 0% 0/62 = 0%

Spesifisitas

(P) 140/173 = 80,92% 41/62 = 66,13%

(S) 173/173 = 100% 62/62 = 100%

No I-I-ELISA

CFT Ternak sapi potong Ternak kambing potong

1 + + 1 0

2 + - 0 0

3 - + 32 21

4 - - 140 41

Jumlah contoh serum 173 62

Kepekaan

(P) 33/173 =19,10% 21/62 = 33,87%

(S) 1/172 = 0,58% 0/62 = 0%

Spesifisitas

(P) 140/173 = 80,92% 41/62 = 66,13%

(S) 172/173 = 99,42% 62/62 = 100%


(34)

Hasil SDS-PAGE terhadap serum yang memberikan hasil positif pada pemeriksaan CFT dan I-ELISA terpapar pada Gambar 1, Gambar 2 dan Tabel 6 berikut ini. Dari hasil tersebut diperoleh data bahwa protein yang ada di dalam serum-serum contoh memiliki berat molekul 175,150, 100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15, 10 kDa (A) dan 225, 150, 100, 75-50, 50, 50-35, 35, 25, 10 kDa (B).

Keterangan:

M: Marker; K: Serum Kontrol B. abortus Positif; Sa 1-3: Serum Sapi asal Banyuwangi, Wonosobo, dan Cilegon; Sb 1-3: Serum Sapi asal Bekasi, Kebumen, dan Ngawi; Nsa: Serum Sapi

B. abortus Negatif

Gambar 1. Karakter protein hasil elektroforesis terhadap serum sapi potong yang positif CFT dan I-ELISA

Keterangan:

M: Marker; K: Sumur Serum Kontrol B.abortus Positif; Ka1-3: Serum Kambing asal Purworejo, Majalengka, Cilegon; Kb 1-3: Serum Kambing asal Bayuwangi, Cilegon,

Wonosobo; NKa: Serum Kambing asal B. abortus Negatif

Gambar 2. Karakter protein hasil elektroforesis terhadap serum kambing potong yang positif CFT


(35)

Tabel 6. Karakter protein Ig G serum sapi dan kambing potong positif CFT dan

I-ELISA

No Asal Ternak Contoh Karakter Protein

Marker 225, 175, 150, 100, 75, 50, 35, 25, 15,10 kDa Ternak Sapi Potong

1 Jawa Timur 2

(Banyuwangi) 175, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15,10 kDa (A)

(Ngawi) 225, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 35, 25, 10 kDa (B)

2 Jawa Tengah dan DIY

2

(Wonosobo) 175, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15,10 kDa (A)

(Kebumen) 225, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 35, 25,10 kDa (B)

3 Jawa Barat 1

(Bekasi) 225, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 35, 25,10 kDa (B)

4 Banten 1

(Cilegon) 175, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15,10 kDa (A)

Ternak Kambing Potong 1 Jawa Timur 1

(Banyuwangi) 225, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 35, 25, 10 kDa (B)

2 Jawa Tengah dan DIY

2 (Purworejo) 175, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15,10 kDa

(A)

(Wonosobo) 225, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 35, 25,10 kDa (B)

3 Jawa Barat 1

(Majalengka) 175, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15,10 kDa (A)

4 Banten 2

Cilegon 175, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15,10 kDa (A)

Cilegon 225, 150,100, 75-50, 50, 50-35, 35, 25, 10 kDa (B)


(36)

4.2. Pembahasan

Hasil pemeriksaan serum sapi dan kambing potong yang berasal dari provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, dan Banten yang positif CFT lebih banyak dari RBT kecuali dari Jakarta (Tabel 4). Hal ini dikarenakan RBT merupakan uji tapis dan hanya memiliki kemampuan pengikatan antara antigen dan antibodi permukan. Sedangkan CFT menggunakan komplemen yang juga memiliki kemampuan mengikat antigen dan antibodi. Oleh karena itu, kemampuan lebih dari komplemen untuk mengikat antigen-antibodi menjadikan reaksi ini lebih mampu memberikan hasil positif yang lebih tinggi. Hasil positif pada CFT tidak semuanya muncul hasil positif pada I-ELISA. Hal ini dikarenakan I-ELISA menggunakan antibodi monoklonal LPS dari B. abortus sehingga I-ELISA memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibanding CFT.

Contoh serum sapi dan kambing potong asal Jakarta tidak ada yang memberikan hasil positif terhadap uji RBT, CFT dan I-ELISA. Kemungkinan ternak-ternak tersebut didatangkan dari daerah yang tidak terinfeksi. Sapi dan kambing potong yang masuk ke penampungan di Jakarta berasal dari peternakan yang telah mengelola peternakannya dengan baik.

Prevalensi adalah jumlah kasus atau hal lain yang terkait, seperti infeksi atau munculnya antibodi dalam satu populasi, yang diketahui dan ditandai dengan waktu, tanpa membedakan kasus lama dengan baru (Budiarta dan Suardana 2007). Berdasarkan hasil pemeriksaan serum sapi, Banten memiliki prevalensi terpapar paling tinggi dibandingkan daerah lainnya (Tabel 4). Diduga hal ini berkaitan dengan pola dan pengelolaan pemeliharaan yang bersifat tradisional, yakni dengan cara ternak diumbaran di lapangan penggembalaan. Selain itu, tingkat pengetahuan peternak mengenai Brusellosis masih sangat rendah dan ditambah dengan minimnya sumber informasi dan atau pelayanan kesehatan hewan.

Berbeda dengan hasil yang diperoleh dari hasil pemeriksaan contoh serum kambing potong. Prevalensi contoh serum kambing potong yang berasal dari Jawa Tengah dan DIY lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya (Tabel 4). Tingginya prevalensi ini diduga disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan masyarakat peternak dalam mengelola pemeliharaan dan kesehatan ternak.


(37)

Interpretasi paralel dari RBT terhadap CFT dan I-ELISA terhadap CFT memiliki makna secara keseluruhan yaitu jika satu metode diantara dari paralelnya positif maka hasil metode diagnostik tersebut positif. Hasil sensitifitas yang diperoleh tinggi maka spesifisitas rendah. Interpretasi serial dari RBT terhadap CFT dan I-ELISA terhadap CFT memiliki makna secara keseluruhan yaitu kedua metode dari serial positif maka hasil metode diagnostik tersebut positif. Hasil sensitifitas yang diperoleh rendah maka spesifisitas tinggi.

Hasil yang menunjukkan CFT lebih sensitif dibanding dengan RBT. Komplemen (K) mendeteksi antibodi sama (kompleks antibodi dan antigen yang homolog), menarik komplemen untuk berikatan dengan bagian Fc dari antibodi (antigen–antibodi-K) sehingga melisiskan RBC. Dalam melisiskan satu sel tunggal (RBC), K membutuhkan satu molekul Ig M, dua molekul Ig G, jumlah dan jenis antigen sama (kompleks antigen dan antibodi yang homolog) sehingga mencetuskan rangkaian K. Adanya infeksi B. abortus ditanggapi terbentuknya antibodi dengan BM besar (Ig M) yang mencerminkan sensitifitas pendeteksian antibodi, kemampuan opsonisasi yang besar, memobilisasi aglutinasi pada bakteri gram negatif dan efek bakterisidal (Bellanti 1993). Metode CFT mewakili metode serologis yang paling sensitif.

Diagnosa yang dilakukan dengan metode RBT mengandung antigen B. abortus dan B. militensis dan metode Serum antigenglutination Test (SAT) dalam kelompok kambing tanpa dan divaksin B. militensis memiliki kepekaan 80% dan spesifisitas 100%. Sedangkan dalam kelompok terinfeksi dan tidak infeksi B. militensis, metode RBT memiliki kepekaan 100%. Sedangkan RBT yang mengandung antigen B. militensis dan B. suis memiliki kemampuan sama dengan RBT yang hanya mengandung antigen B. abortus (Osman et al. 2005). Metode RBT dapat digunakan untuk mendiagnosa bruselosis pada sapi dan kambing tidak hanya dengan menggunakan antigen B. abortus saja, tetapi dapat juga menggunakan antigen B. militensis dan B. suis.

Hasil I-ELISA lebih spesifik dibanding dengan CFT. I-ELISA dari serum sapi potong diperoleh satu serum positif (Tabel 4 dan 5), hal ini menggambarkan uji spesifik untuk mendeteksi monoklonal LPS dari B.abortus. I-ELISA mampu


(38)

mendeteksi antibodi dalam jumlah kecil dan khususnya Ig G dalam serum. Kemampuan ini diperoleh karena adanya antibodi monoklonal yang digunakan dalam kit diagnosa. Antibodi monoklonal terhadap LPS B. abortus pada tikus percobaan yang diinfeksi mencerminkan adanya tanggap kebal yang nyata. Tanggap kebal yang terdeteksi didominasi oleh Ig G (Ig G 2a dan Ig G3). Sedangkan inang yang terinfeksi alami menunjukan hal yang sama dengan tikus percobaan (Ko dan Splitter 2003).

Mekanisme lanjutan dari pertemuan inang dengan antigen patogen menimbulkan tanggapan antibodi yang spesifik. Ig G dalam mekanisme immun spesifik memegang peran penting untuk pengukuran respon imun karena infeksi atau vaksinasi (Bellanti 1993). Ini menunjukkan peran antibodi monoklonal dalam diagnostik antigen atau antibodi yang spesifik. Hasil I-ELISA menunjukan spesifisitas antibodi yang diagnosa terhadap B. abortus yaitu satu contoh serum sapi potong yang positif I-ELISA dari 33 contoh serum yang sebelumnya positif dengan menggunakan CFT. I-ELISA lebih spesifik untuk mendeteksi rantai O-perosamin yang dikandung dari LPS B. abortus galur halus. Komponen rantai O-perosamin merupakan antigen paling dominan yang dapat terdeteksi pada hewan maupun manusia yang terinfeksi Brusellosis. LPS B. abortus galur kasar tidak mengandung perosamin dan quinovasamin (Moreno et al. 1984) sehingga ada kemungkinan contoh serum yang positif CFT lainnya tetapi tidak positif I-ELISA berasal dari galur kasar.

I-ELISA mampu mendeteksi antibodi pada seluruh kasus infeksi B. abortus dan pada ternak yang mendapatkan vaksinasi dan mengkonfirmasi pada daerah tidak vaksin. Competitive ELISA (C-ELISA) mampu mendeteksi ternak terinfeksi di daerah yang mendapatkan vaksinasi. Pengujian serologik I-ELISA dapat dilakukan pada serum sapi dan kambing yang berasal pada peternakan yang bebas dan terinfeksi. Sedangkan C-ELISA dapat dilakukan pada serum sapi dan kambing pada peternakan yang berasal dari ternak terinfeksi dan daerah yang divaksin. I-ELISA menghasilkan nilai kepekaan sebesar 40% dan spesifisitas sebesar 60% pada serum sapi dan kambing. Namun untuk I-ELISA, nilai kepekaan pada serum sapi dan kambing sebesar 30% dan 40%. Rataan sebaran positif I-ELISA dari serum sapi dan kambing pada peternakan yang bebas dan


(39)

terinfeksi adalah sebesar 60% dan 40%. Rataan sebaran positif I-ELISA dari serum sapi dan kambing pada peternakan yang terinfeksi dan daerah yang divaksin sebesar 30% dan 40% (Tittarelli et al. 2008).

Adanya Ig M, Ig G, dan Ig A merupakan indikator tanggap kebal yang muncul karena infeksi B. abortus. Tahap awal dalam tanggap kebal tersebut adalah terbentuknya Ig M dan segera menurun seiring peningkatan terbentuknya Ig G (He 2000). Produktifitas antibodi meningkat pada tahap awal terbentuknya Ig M dan segera menurun seiring peningkatan Ig G. Ig M memiliki kemampuan opsonisasi yang besar dan memobilisasi aglutinasi pada bakteri Gram negatif dan efek bakterisidal (Bellanti 1993).

Kemampuan yang digambarkan Ig G adalah antigenitas, penggumpalan partikular antigen, presipitasi dan mobilitasi elektroforetik yang cepat. Termasuk juga tingkat spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Ig G memiliki BM 180 kDa, molekul Ig G berbentuk Y yang mampu mengikat antigen. Perlakuan kimiawi yang dapat memecah ikatan disulfida mengakibatkan molekul Ig terurai menjadi empat rantai polipeptida. Dua rantai berat memiliki BM 50 kDa dan dua rantai ringan memiliki BM 25 kDa (Tizard 1988). Protein membran luar dari B. abortus dikelompokkan menjadi kelompok 1 dengan berat molekul 94-88 kDa, kelompok 2 dengan berat molekul 35-40 kDa dan kelompok 3 dengan berat molekul 25-30 kDa (Verstreate et al. 1984).Kelompok protein A dan B sebagian besar memiliki BM protein sama, kecuali pada pita protein BM 25-15 kDa (kelompok A) dan Pita protein BM 35 kDa. Hal tersebut diduga berkaitan dengan respon tanggap kebal dari biotipe B. abortus yang berbeda.

Protein yang diperoleh dari serum-serum contoh memiliki berat molekul 175,150, 100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15, 10 kDa (A) dan 225, 150, 100, 75-50, 50, 50-35, 35, 25, 10 kDa (B) (Tabel 6, Gambar 1 dan Gambar 2). Protein Ig dengan berat molekul 225-175 kDa merupakan Ig G. Protein Ig dengan berat molekul 100 kDa merupakan permulaan infeksi alami. Sedangkan protein Ig dengan berat molekul 75-50 kDa merupakan Ig G1. Protein Ig dengan berat molekul 50 kDa merupakan Ig yang menunjukan perjalanan infeksi B. abortus. Protein yang memiliki berat molekul antara 50-35 kDa merupakan bagian rantai berat dari Ig G, yaitu Fc. Sedangkan protein dengan berat molekul 25 kDa


(40)

merupakan protein rantai ringan dari Ig G, yaitu Fab. Adanya pita-pita protein yang terlacak melalui elektroforesis ini memperlihatkan perjalanan infeksi brusellosis. Adanya protein dengan berat molekul 25 kDa menunjukan adanya reaksi infeksi alami pada hewan dan merupakan reaktifitas dari sel-T. Infeksi akut B. abortus ditandai dengan meningkatnya kadar Ig G, menurunnya kadar Ig M dan Ig G dalam serum sapi menunjukkan affinitas dan karakteristik rantai spesifik O- LPS B. abortus (Kwaasi et al.2005).

Hasil penelitian pada sapi perah yang dilakukan Sudibyo (1994) menunjukkan bahwa segmen protein B. abortus antara S19, S544 dan isolat lapang (biotipe 1, 2, 3) tidak banyak berbeda. Komponen protein yang terdeteksi adalah protein BM 94, 84, 71, 65, 58, 54, 36, 33, 30, 28, 23, 22, 17, 16, dan 15 kDa. Hasil imunoblotting memperlihatkan bahwa pada serum sapi vaksinasi B. abortus S19 terdeteksi antibodi protein 31 kDa oleh supernatan protein antigen S19, tetapi tidak terdeteksi oleh protein antigen yang disiapkan dari S544 dan isolat lapang (biotipe 1, 2, dan 3).

Hasil pada sapi perah jika dibandingkan dengan penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan BM pada satu pita protein dapat menjadi pembeda antar biotipe B. abortus dan sifat antigenitas protein antigen. Perbedaan ini dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan protein antigenik B. abortus untuk bahan atau reagen diagnosis dini terhadap brucellosis maupun sebagai imunogen protektif (Sudibyo 1994).

Karakter protein ada yang sama dari kabupaten dan provinsi yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan makin lancar dan cepat lalu lintas kendaraan maupun hewan sehingga mampu memindahkan antigen dalam waktu singkat. Dalam penyebaran antigen B. abortus faktor geografis maupun wilayah tidak mempengaruhi, akan tetapi kecocokan antigen terhadap inang dan antibodi dari inang tersebut terhadap antigen B. abortus yang sangat berperan. Faktor-faktor yang diduga berperan adalah biosekuriti peternakan rakyat di seluruh daerah di Indonesia pada umumnya kurang baik, latar belakang pendidikan peternak rendah, manajemen pemeliharan dan kesehatan ternak yang tergolong konvensional.

Penanganan kasus abortus pada peternakan rakyat umumnya dianggap hal yang biasa dan tidak ada kekhawatiran terhadap infeksi B. abortus pada ternaknya.


(41)

Sapi jantan yang digunakan sebagai pejantan tidak dilakukan pemeriksaan rutin kesehatannya dan digunakan secara luas sehingga antigen tersebar ke daerah sekitarnya. Upaya dalam pencegahan dan mencari pelayanan kesehatan hewan masih jarang. Kesediaan unit pelayanan kesehatan hewan, tenaga kesehatan hewan, obat maupun vaksin di daerah masih sangat terbatas dan minim.


(42)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil pemeriksaan brusellosis menggunakan RBT, CFT dan I-ELISA terhadap 173 contoh serum sapi potong dan 62 contoh serum kambing potong yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta dan Banten diperoleh kesimpulan bahwa :

1. metode CFT lebih sensitif dibandingkan dengan RBT dan metode I-ELISA lebih spesifik dibandingkan dengan CFT. Serum sapi dan kambing potong yang positif CFT berkorelasi positif dengan karakter protein Ig

2. protein-protein Ig pada serum sapi dan kambing potong yang positif dengan pemeriksaan menggunakan metode CFT dan I-ELISA memiliki berat molekul kelompok 175,150, 100, 75-50, 50, 50-35, 25, 25-15, 10 kDa (A) dan 225, 150, 100, 75-50, 50, 50-35, 35, 25, 10 kDa (B). Keragaman protein tersebut mencerminkan tanggap atas infeksi alami, infeksi dini (Ig G1), tanggap kebal dan karakter protein yang spesifik dari antigen pada daerah yang tidak vaksin.

5.2. Saran

Beberapa saran yang muncul dari penelitian ini adalah :

1. metode CFT dan atau I-ELISA yang peka dan spesifik merupakan metode yang dapat digunakan untuk pemeriksaan terhadap bruselosis pada serum sapi dan dan kambing;

2. serum positif brusellosis yang diperiksa dengan CFT dan I-ELISA selanjutnya diperiksa dengan metode elektoforesis, menggunakan teknik SDS PAGE, untuk menetapkan apakah karena infeksi alam atau vaksinasi. 3. perlu adanya kajian dan perubahan kebijakan dalam penerapan metode

diagnosa Bruselosis yang dilaksanakan di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Badan Karantina Pertanian.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2007. Bruselosis. Mayo clinic com tools for health lives. http://www.mayoclinic.com/health.Bruselosis/DS00837 [27 September 2007]

Bellanti JA.1993. Immunology III. Wahab AS, penerjemah. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Budiarta S dan Suardana IW. 2007. Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Ed I. Bali. Udayana Press.

Canning PC, Roth JA, Deyoe BL. 1986. Release of 5-guanosine monophosphate and adenine by B. abortus and their role in the intracellular survival of the bacteria. J. Infect. Dis 154:464-470.

[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2007. Bruselosis (Brucella melitensis, Brucella abortus, Brucella suis and Brucella canine) http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/Bruselosis.dhtm [27 Sept 2007].

Davis and Danelle BW. 2007. Bruselosis. The centre for food security & public

health (CFSPH). Lowa State University. http://www.cfsph.iastate.edu/factsheet/pdfs/Bruselosis.pdf [27 September

2007].

Enright FM. 1990. The pathogenesis and pathobiology of Brucella infection in domestic animal. Nielsen K, Ducan R. penerjemah. Boca Raton Boston CRC Perss.

Fedik AR. 2003. Metode Imunologi. Surabaya. Airlangga University Press.

Frenchick PJ, Markham RJF, Cochrane AH. 1985. Inhibition of phagosome lysosome fusion in macrophages by soluble extract of virulent Brucella abortus. Am. J. Vet. Res. 46:332-335.

Ghaffar A. 2005. Zoonoses, Listeria, Francella, Brucella, Bacillus and Yersinia. Microbiology and Immunology on line. University of South Care School Medicine. http://www.med.sc.edu:85/ghaffar/zoonoses.htm [26 September 2007].

Gomez M, Moriyon MJ. 1986. Demontration of a peptidoglycon-linked lipoprotein and characterization of its trypsin fragment in the outer membrane of Brucella sp. Infect. Immun. 53:678.

He Yongqun. 2000. Induction of protection, antibodi and cell mediated immune responses by Brucella abortus strain RB 51, Ochrobacterium anthtropi


(44)

and recombinan there of [Disertation]. Virginia. Institute and University Virginia.

Hirsh DC, Maclachlan NJ, Walker RL. 2004. Veterinary Microbiology. 2sd Ed. Australia. Blackwell publishing.

Ko Jinkyung, Splitter AG. 2003. Molekuler host pathogen interaction in Brucellosis current understanding and future approches to vaccine development for mice and human [Reviews]. J Clinical Microbiology 16:65-78.

Misra DS, Kumar A, Sethi MS. 1976. Effect of erytrithol and sex hormones on the growth of brucella spesies. J. Experimental Biology 14,1: 65-66.

Moreno E, Jones LM, Berman DT. 1984. Immunochemical characterization of rough Brucella lipopolysaccharides. Infect. Immunol 43:777.

Moreno E, Rojas N, Nielsen, Gall D. 1997. Comparison of different serological assay for the differential diagnosis of Bruselosis. J. Immunol 123:2915-2919.

Nassir W, Lisgaris M, Salata RA. 2006. Brucellosis. http://emedicine.medscape.com/article/213430-overview [15 Desember 2008]

Nassir W. 2007. Brucellosis. http://emedicine.cum/ped/byname/Bruselosis.htm [25 September 2007].

Ocholi RA, Keaga JKP, Ajogi I, Bale JOO. 2005. antibodiortion due to Brucella abortus in sheep in Negeria.[ Rev] J. Sci Tech Epiz 3: 973-979.

Osman E, Hadimli H, Hasan S, Corlu M. 2005. Comparasion of Rose Bengal Plate Test antigens prepared from B. abortus, B. millitensis and B. suis. J. Bull Vet Inst Pulawy 49:165-167.

Plommet M, Fensterbank R. 1976. Vaccination against bovine brucellois with low dose of strain 19 administrated by the conjunctival route. III. serological response and immunity in pregnant cow. Annu. Res Vet 7:9-23.

Quinn P.J., B.K. Markey, M.E. Carter, W.J.Donnelly, F.C. Leonard. 2006. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell publishing. 162-167.

Rojas X, Alonso O.1997. LISA for diagnosis and epidemiology of B. abortus infection In cattle in Chile [Editorial]. Clinical Diag Lab Immunol 1:1-5.


(45)

Sudibyo A. 1994. Studi Brucellosis dan Karakterisasi Protein Antigenik B.

abortus Isolat Lapang pada Sapi Perah [Tesis]. Istitut Pertanian Bogor. Indonesia.

Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology. 3rd Ed. Veterinary Clinical Studies Royal (DICK) Shool of Veterinary Studies. University of Edinburgh. 228-246.

Tittarelli et al. 2008. Use of chemiluminascence for the serological diagnosis of bovine and ovine Bruselosis with indirect and competitive Enzym Linked Immunosorbent (ELISA). Veterinaria Italiana 44:397-403.

Tizard I. 1988. Immunologi Veteriner. Partadireja M., penerjemah. Surabaya. Airlangga University Press. Terjemahan dari: An Introduction to Veterinary Immunology.

Verstreate DR, Creay MT, Caveney NT, Baldwin CL, Bald MW, Winter AJ. 1982. Outer membrane protein of B. abortus: Isolation and characterization. Infect. Immun.35:979-989.


(46)

Lampiran 1. Tabel data lalulintas sapi dan kambing di pelabuhan penyeberangan Merak tahun 2001-2008

No Tahun Sapi

(ekor)

Kambing (ekor)

1 2001 56,777 65,994

2 2002 43,804 69,138

3 2003 28,313 59,353

4 2004 21,093 23,142

5 2005 88,002 12,035

6 2006 85,493 33,497

7 2007 88,280 15,364

8 2008 27,729 69,632

Lampiran 2. Prosedur pemeriksaan

1. Metode Rose Bengal Test (RBT)

Pengambilan contoh serum dari sapi dan kambing potong menggunakan spuit 3 ml (Trumo) yang sucihama. Serum dipengumpulan dalam tabung kecil (Eppendorf) dan dilabel. Contoh serum dan antigen harus disesuaikan dengan suhu kamar sebelum pemeriksaan dimulai. Metode ini harus dilakukan di kaca jernih berupa plastik, porselin atau kotak persegi yang bersih dan steril. Sebaiknya menggunakan cawan atau plate (WHO hemagglutination tray).Serum sapi dan kambing potong sebesar 25 μl atau 30 μl dengan menggunakan singlechannel pipet 10-100 μl (Wiegthex) dan reagen RBT (BBALITVET) sebesar 25 μl (1 tetes) diletakan di sumur plat atau cawan (WHO hemagglutination tray) kemudian dicampur hingga rata dengan menggunakan pengaduk yang sucihama atau goyang plate menurut arah jarum jam dan kemudian dengan arah berlawanan atau menggunakan rotary agglutinator (Shaker) (Biotek). Setelah 4-5 menit reaksi agglutinasi dapat diamati. Hasil RBT positif terdiri dari hasil metode RBT positif (+++) yaitu; agglutinasi sempurna, cairan jernih dan tampak jelas. RBT positif (++) yaitu; agglutinasi berupa pasir halus, cairan agak jernih batas cukup jelas. RBT positif(+) yaitu; aglutinasi berupa pasir halus, cairan tidak jernih batas garis.

2. Complement Fixation Test (CFT)

Prosedur Pembuatan Reagen

Komplemen adalah serum normal marmot. Komplemen (konsentrasi 10%) terdiri dari serum normal marmot sebanyak 200 ul dan ditambah phosfate buffer


(47)

salin (PBS) (Promega) sebanyak 1,8 ml. Hemolisin adalah serum dari kelinci yang telah disuntik RBC domba (konsentrasi 4%) (1 ml domba/Kg BB, IV). Hemolisin (perbandingan 1:100) terdiri dari hemolisin stok sebanyak 100 µl dan ditambah PBS sebanyak 9,9 ml. Hemolisin (perbandingan 1:150) terdiri dari hemolisin (perbandingan 1:100) sebanyak 2 ml dan ditambah PBS sebanyak 1 ml.

RBC domba sebanyak 4 ml dicuci dengan NaCl fisiologis (Oshaka), kemudian sentrifuse (Hamle) kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Dilakukan pengulangan sebanyak dua kali untuk menghilangkan antikoagulan Na sitrat (Sigma) (konsentrasi 3,85%). Supernatan dibuang hingga tinggal RBC murni. Untuk RBC ( konsentrasi 4%) terdiri dari RBC domba sebanyak 200ul dan NaCl fisiologis (Oshaka) sebanyak 4,8 ml.

Sistem hemolitik adalah campuran antara RBC domba (konsentrasi 4%) dengan hemolisin bertiter 4 unit, disebut juga sistem indikator. Satu unit hemolisin adalah pengenceran tertinggi yang menunjukkan hemolisis lengkap.

A. Titrasi Hemolisin

Tabung reaksi (Pyrex) sebanyak dua belas disusun menjadi dua baris ( A dan B). Baris A nomor ganjil yaitu 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 dan Baris B nomor genap yaitu 2, 4, 6, 8, 10 dan 12. Baris A dan baris B merupakan gambaran titrasi hemolisin. Larutan dari ke enam tabung dihomogenkan dengan cara menggoyang rak tabung reaksi, kemudian di inkubasikan (Memmert) dalam penangas air selama 30 menit, 37 oC. Pada masing-masing tabung kemudian ditambahkan 0,25 ml komplemen (konsentrasi 10%), diikuti dengan menambahkan 0,25 ml RBC domba (konsentrasi 4%). Tabung reaksi (Pyrex) disusun kembali menjadi satu baris dengan nomor yang berurutan (1-12), larutan dihomogenkan dan diinkubasikan kembali selama 30 menit, 37 oC. Membaca titer hemolisin, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menyebabkan terjadinya lisis sempurna RBC domba. Hasil lisisnya RBC terjadi pada tabung ke-4, sehingga titer hemolisis adalah perbandingan 1:600. Membuat sistem indikator (sistem hemolitik) RBC domba (konsentrasi 4%) dicampur dengan 4 unit titer hemolisin (4 kali konsentrasi 1:600). Pembuatan larutan hemolisin 4 unit adalah hemolisin (perbandingan 1:100) sebanyak 2 ml dan ditambah PBS1 ml. Skema terinci sebagai berikut.


(48)

B. Titrasi Komplemen

Tabung reaksi (Pyrex) sebanyak enam buah disusun dalam satu baris dan diberi nomor berurut dari 1 sampai 6. Larutan dihomogenkan dengan cara menggoyang rak tabung reaksi, kemudian diinkubasikan dalam penangas air (Memmert) selama 10 menit 37 oC. Hasil lisis RBC pada tabung ke-6 sehingga titrasi komplemen adalah (konsentrasi 6%).

Buffer 0,25 2 Buffer 0,25 4 Buffer 0,25 6 Buffer 0,25 8 Buffer 0,25 1 0 Buffer 0,25 12 Hemolisi n

0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25

Buan

0,25

1:1200 Pengenceran

akhir hemolisin 1:300 1:60 1:2400 1:4800 1:9600

Buffer 0,25 1 Buffer 0,25 3 Buffer 0,25 5 Buffer 0,25 7 Buffer 0,25 9 Buffer 0,25 11 0.25 µl NaCl 0,25 Buan Pengenceran


(49)

Prosedur titrasi komplemen sebagai berikut

C. Metode Spesifitas Serum

Serum metode yang telah diinaktivasi dengan pemanasan selama 30 menit 56 oC di penangas air (Memmert) antigen ND, NaCl fisiologis (Oshaka) (konsentrasi 0,95 %), komplemen (konsentrasi 6%) dan sistem hemolitik.

Dua seri masing-masing terdiri dari enam buah tabung reaksi disusun dalam satu baris dan diberi nomor berurut satu sampai enam. Pada seri pertama komplemen yang digunakan adalah komplemen yang masih baru, sedangkan pada seri kedua digunakan komplemen yang sudah disimpan satu malam. Hasil yang di harapkan adalah terjadi hemolisis pada tabung ke-4 yaitu kontrol antigen sehingga yang dimetode adalah benar serum yang mengandung antibodi terhadap antigen. Pada tabung keenam tidak terjadi lisis berarti serum yang dimetode mengandung antibodi terhadap ND.

1 2 3 4 5 6

0,025 ml + 0,225 ml + 0,5 ml + 0,050 ml + 0,200 ml + 0,5 ml + 0,5 ml 0,075 ml + 0,175 ml + 0,5 ml + 0,5 ml 0,100 ml + 0,150 ml + 0,5 ml + 0,5 ml 0,125 ml + 0,125 ml + 0,5 ml + 0,5 ml 0,150 ml + 0,100 ml + 0,5 ml + 0,5 ml Komplemen Lar. buffer agar menjadi 0,25 ml Buffer pengganti antigen-antibodi

1 2 3 4 5 6


(50)

Tabel metode uji spesifisitas serum (CFT)

Tabung T 1 T 2 T 3 T 4 T 5 T6

Pengenceran akhir hemolisin Serum yang di metode Kontrol Serum Kontrol Serum Kontrol Antigen Kontrol Antigen Kontrol Antigen Serum metode 0.125

ml

0.125 ml 0.125 ml

- - 0.125

ml (ND) Antigen 0.125

ml (BSA)

- - 0.125

ml (BSA) 0.125 ml (BSA) 0.125 ml (ND)

NaCl fis - 0.125 ml 0.125

ml 0.125 ml 0.125 ml - Komplemen 6% 0.125

ml

0.125 ml - 0.125 ml

- 0.125 ml

Larutan dihomogenkan dengan cara menggoyang rak tabung reaksi dan diinkubasi selama 30 menit 37 ºC pada penangas air.

Sistem hemolitik 0.125 ml

0.125 ml 0.125 ml 0.125 ml 0.125 ml 0.125 ml Larutan dihomogenkan dengan cara menggoyang rak tabung reaksi dan diinkubasi selama 30 menit 37 ºC

3. Enzym Linked Immuno Assay (I-ELISA) Prosedur I-ELISA

Plat yang telah dicoating disimpan pada suhu 4 oC. Cuci plat dengan buffer pencuci I-ELISA (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect) beberapa kali sebelum dipakai. Selanjutnya ditambahkan 50 uI serum (pengencera 1 : 200) dalam PBS Tween (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect) pada setiap sumur. Gunakan serum kontrol positif dan negatif (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect)pada setiap plat. Kemudian diinkubasikan (Memmert, Jerman) selama 1 jam dalam suhu kamar. Cuci plat dengan buffer pencuci I-ELISA atau PBS Tween (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect). Tambahkan 50 uI (pengenceram 1 : 4000) konjugat (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect) pada setiap sumur untuk menguatkan kerja dalam PBS Tween (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect). Kemudian diinkubasikan selama 1 jam dalam suhu kamar. Plat dicuci dengan buffer pencuci I-ELISA atau PBS Tween (SERELISA® Brucella OCB antibodi


(51)

Mono Indirect). antibodisorbents (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect) ditambahkan sebanyak 100 uI larutan penguat subtrat (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect). Kemudian dinkubasikan selama 15 – 30 menit dalam suhu kamar. Pembacaan hasil dalam gelombang menggunakan I-ELISA reader (Biotek ELX 808) dengan bicromatic pada 450 nm dan 630 nm atau monocromatic pada 450 nm. I-ELISA positif, jika OD lebih dari nilai alfa (α). Nilai α adalah hasil perkalian 0,6 dengan OD positif.

Tatacaranya

Penyiapan larutan untuk metode dijelaskan secara rinci pada bagian reagen I-ELISA (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect). Hanya gelas air suling dipergunakan untuk test, sebab tipe lain dari air suling mungkin mengakibatkan tidak aktifnya enzim konjugat (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect). Satu plat microtitre cukup untuk 40 contoh termasuk contoh kontrol. Contoh test ditambahkan dari kolom 1 ke kolom 10, sedangkan untuk kolom 11 dan 12 dipergunakan untuk contoh kontrol. Contoh ditambahkan secara duplikat pada baris A1 – A2, A3 – A4, A5 – A6 dan seterusnya.

Contoh Serum

Larutkan serum test (perbandingan 1 : 200) pada PBS Tween (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect) ( 5 uI/1 ml atau 10 uI/2 ml ). Larutkan kontrol negative (perbandingan 1 : 200) dengan PBS Tween. Larutkan kontrol positif pada larutan awal yang disarankan dan kemudian larutkan 2 fold pada 5 pengenceran berikutnya. Sebagai contoh : 1: 2000, 4000, 8000, 16000, 32000, 64000. Tambahkan 50 uI dari setiap serum secara duplikat pada plat. Tambahkan 50 uI PBS-Tween pada sumur A11 – A12 untuk kontrol konjugat (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect). Serum negatif ditambahkan pada sumur B11 – B12 (kontrol negatif). Serum control positif ditambahkan pada kolom 11 dan 12 dengan pengenceran terendah dalam baris H dan tertinggi pada baris C. Pastikan tidak ada gelembung udara dalam sumur tersebut. Inkubasi selama 15 menit pada suhu kamar. Cuci plat dengan buffer pencuci I-ELISA (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect).


(52)

Konjugat

Pengenceran konjugat (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect) untuk penguat kerja dalam PBS-T/casein. Tambahkan 50 uI pada larutan kerja pada setiap sumur. Pastikan tidak ada gelembung udara dalam setiap sumur, diinkubasi selama 60 menit pada suhu kamar. Cuci plat dengan buffer pencuci I-ELISA. (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect). Larutan substrat (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect) disiapkan dan biarkan sampai mencapai suhu kamar.

Substrat

Substrat (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect) sebanyak 100 uI ditambahkan pada setiap sumur. Pastikan tidak ada gelembung udara dalam setiap sumur, Inkubasi selama 60 menit pada suhu kamar. I-ELISA reader (Biotek ELX 808) dihidupkan untuk dipanaskan sebelum pembacaan.

Pembacaan

Plat dengan hati-hati dimasukan dan dipastikan tidak terdapat gelembung udara. Serum kontrol di cek sebelum metode dilakukan. Serum kontrol mampu memberikan angka yang berada dalam selang batasan, bila tidak batalkan test tersebut dan diulang kembali. Catat nilai absorpsi dari setiap contoh serum. Pembacaan hasil dalam gelombang menggunakan I-ELISA reader (Biotek ELX 808) denga bicromatic pada 450 nm dan 630 nm atau monocromatic pada 450 nm. I-ELISA positif, jika OD lebih dari nilai alfa (α). Nilai α adalah hasil perkalian 0,6 dengan OD positif. Hasil yang diperoleh perlu dianalisa dengan mengalihkan unit absorpsi menjadi unit I-ELISA dengan mempergunakan program komputer (SERELISA® Brucella OCB antibodi Mono Indirect).

Interprestasi

Setiap contoh dibandingkan dengan contoh kontrol pada plat. Setiap contoh harus dibandingkan dengan contoh kontrol pada plat yang bersangkutan. Cut-off adalah merupakan serapan pada (pengenceran 1:32000) dari serum kontrol. pabila contohkontrol positif yang lain dipergunakan, hasilnya harus dibandingkan dengan referensi kontrol positif. Pembacaan contoh test yang lebih besar dari rata-rata nilai potong adalah positif, tetapi apabila lebih rendah artinya negatif.


(1)

Lampiran 3. Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum sapi potong dari Kabupaten di Jawa Timur

No Asal Contoh RBT CFT I-ELISA

1 Pasuruan 1 0 0 0

2 Lumajang 3 0 1 (+) 0

3 Ngawi 4 0 3 (+) 0

4 Banyuwangi 7 0 1 (+) 0

5 Tulung antigenung 2 0 0 0

6 Blitar 2 0 0 0

7 Madiun 8 0 0 0

8 Bondowoso 1 0 0 0

9 Sukohardjo 1 0 0 0

10 Probolinggo 1 0 0 0

11 Magetan 1 0 0 0

Jumlah 31 0 5 (+) 0

Keterangan RBT:Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay

Lampiran 4. Tabel Hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum sapi potong dari Kabupaten di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogya

No Asal Contoh RBT CFT I-ELISA

1 Blora 20 0 2 (+) 0

2 Banjar Negara 1 0 0

3 Kebumen 9 0 3 (+) 0

4 Bumi Ayu 2 0 1 (+) 0

5 Wonosobo 5 0 1 (+) 0

6 Brebes 2 0 1 (+) 0

7 Purwokerto 2 0 1 (+) 0

8 Wonogiri 3 0 1 (+) 0

9 Salatiga 1 0 0 0

10 Sleman 1 0 0 0

11 Boyolali 7 0 1 (+) 0

12 Klaten 2 0 0 0

13 Sleman 1 0 0 0

14 Grobokan 2 0 0 0

15 Purbalingga 2 0 0 0

16 Gunung Kidul 1 0 0 0

Jumlah 60 0 11(+) 0

Keterangan RBT:Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay


(2)

Lampiran 5. Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum sapi potong dari Kabupaten di Jawa Barat

No Asal Contoh RBT CFT I-ELISA

1 Bogor 9 0 3 (+) 0

2 Bekasi 26 0 6 (+) 1 (+)

3 Subang 8 0 2 (+) 0

4 Lembang 7 0 2 (+) 0

5 Purwakarta 15 0 2 (+) 0

6 Sumedang 2 0 0 0

7 Tasikmalaya 2 0 0 0

8 Depok 1 0 0 0

9 Jonggol 2 0 0 0

Jumlah 72 0 15 (+) 1 (+)

Keterangan RBT:Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay

Lampiran 6. Tabel hasil positif pemeriksaan RBT, CFT dan I-ELISA serum sapi potong dari Jakarta

No Asal Contoh RBT CFT I-ELISA

1 Jakarta 4 0 0 0

Keterangan RBT:Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay

Lampiran 7. Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum sapi potong dari Kabupaten di Banten

No Asal Contoh RBT CFT I-ELISA

1 Serang 3 0 1 (+) 0

2 Merak 3 0 1 (+) 0

Jumlah 6 0 2 (+) 0

Keterangan RBT:Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay

Lampiran 8. Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum kambing potong dari Kabupaten di Jawa Timur

No Asal Contoh RBT CFT I-ELISA

1 Banyuwangi 5 0 3 (+) 0 2 Tulung antigenung 4 0 1 (+) 0

3 Kediri 3 0 0 0

4 Ngawi 1 0 1(+) 0

5 Nganjuk 1 0 0 0

Jumlah 14 0 5 (+) 0

Keterangan RBT:Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay


(3)

Lampiran 9. Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum kambing potong dari Kabupaten di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta

No Asal Contoh RBT CFT I-ELISA

1 Purwokerto 2 0 0 0

2 Purbalingga 3 0 0 0

3 Semarang 1 0 1 (+) 0

4 Purworejo 8 0 6 (+) 0

5 Boyolali 1 0 0 0

6 Salatiga 4 0 1 (+) 0

7 Wonosobo 4 0 3 (+) 0

8 Sleman 1 0 0 0

9 Kulon Progo 1 0 0 0

Jumlah 25 0 11 (+) 0

Keterangan RBT:Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay

Lampiran 10. Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum kambing potong dari Kabupaten di Jawa Barat

No Asal Contoh RBT CFT I-ELISA

1 Majalengka 3 0 1 (+) 0

2 Bogor 1 0 0 0

Jumlah 4 0 1(+) 0

Keterangan RBT:Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay

Lampiran 11. Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum kambing potong dari Jakarta

No Asal Contoh RBT CFT I-ELISA

1 Jakarta 4 0 0 0

Keterangan RBT:Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay

Lampiran 12. Tabel hasil positif RBT, CFT dan I-ELISA serum kambing potong dari Kabupaten di Banten

No Asal Contoh RBT CFT I-ELISA

1 Cilegon 15 0 4 (+) 0

Jumlah 15 0 4 (+) 0

Keterangan RBT:Rose Bengal Test, CFT: Complement Fixation Test I-ELISA: Enzym Linked Immuno Assay


(4)

Lampiran 13. Laporan hasil pengujian laboratorium terhadap brusellosis di FKH IPB


(5)

Lampiran 14. Laporan hasil pengujian laboratorium terhadap brusellosis di BBUSKP


(6)

Lampiran 15. Laporan hasil pengujian laboratorium terhadap brusellosis di BBALITVET