yang dapat dijadikan sebagai indikator bahaya kebakaran. Dalam hal ini, kadar air lebih besar atau sama dengan 30 dari bahan bakar dianggap aman terhadap
bahaya kebakaran, namun seiring menurunnya presentase kadar air, bahaya kebakaran akan semakin meningkat Syaufina 2008. Musim kemarau yang
panjang menyebabkan berkurangnya kelembaban vegetasi, sehingga pemasukan panas yang rendah pun dapat menyebabkan kebakaran yang hebat.
2.5 Emisi Karbon
Kebakaran hutan memberikan dampak jangka panjang seperti emisi karbon yang dilepaskan ke udara. Hasil pembakaran hutan berupa emisi karbon menjadi
salah satu masalah serius karena berhubungan dengan pemanasan global, yaitu mengakibatkan akumulasi polutan-polutan di atmosfer sehingga menyebabkan
efek rumah kaca gas rumah kaca. Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998, menurut ADB 1999 Indonesia menjadi salah satu negara
penyumbang emisi karbon dan polutan terbesar di dunia dan kejadian tersebut disebut sebagai kejadian terparah karena besarnya dampak bagi hutan dan emisi
yang dihasilkan sangat besar Golver 2001. Unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan, karena hampir 45 materi kering
tumbuhan adalah karbon Hao et al. 1990. Sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara adalah dalam bentuk CO
2
, sisanya berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH
4
, dan asap. Sedangkan sulfur akan tertinggal sebagai asap dan sedikit terbentuk menjadi SO
2
dan unsur klorin membentuk senyawa CH
3
Cl Crutzen dan Andreae 1990; Lobert et al. 1990; Lobert dan Wartnaz 1993 dalam Syaufina et al. 2009. Emisi terbesar tunggal dari kebakaran adalah CO
2
dan uap air yang menjadi 80 −90 dari emisi C. Kebakaran mengakselerasi
kecepatan kembalinya CO
2
ke atmosfer. Penambahan CO
2
ke udara merupakan akibat dari pembukaan lahan hutan, kebakaran hutan, dan konversi hutan menjadi
pertanian. Senyawa CO merupakan polutan udara hasil pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar basahlembab. Jumlah CO yang dihasilkan merupakan
fungsi dari efisiensi pembakaran Syaufina 2008. Metana CH
4
adalah gas rumah kaca terbanyak ketiga yang berkontribusi pada pemanasan global. Sekitar
10 metana dilepaskan ke atmosfer melalui pembakaran biomassa Andreae dalam Debano et al. 1998.
2.6 Penggunaan Lahan Land Use
Menurut Arsyad 1989 perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka
memenuhi kehidupannya baik materil mapun spiritual. Begitu juga dengan perubahan penggunaan lahan yang sebelumnya berupa hutan menjadi lahan yang
digunakan untuk aktivitas lain, seperti pertanian, pemukiman, perindustrian sampai perkebunan. Salah satu alasan dari perubahan penggunaan suatu hutan
menjadi non hutan adalah karena semakin terbatasnya lahan yang ada di Indonesia dan didorong dengan pertumbuhan populasi manusia yang semakin tinggi. Salah
satu permasalahan dalam perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan adalah pembukaan hutan dengan cara dibakar secara tidak terkendali
dengan asumsi pembakaran hutan untuk pembukaan lahan lebih praktis dan efisien. Wijaya 2004 menyatakan penyebab perubahan penggunaan lahan adalah
pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibilitas, fasilitas pendukung kehidupan dan kebijakan pemerintah. Terminologi penggunaan lahan sering
dikaitkan dengan penutupan lahan, menurut Hartanto 2006 penutupan lahan terkait dengan jenis kenampakan yang terdapat di permukaan bumi sementara
penggunaan lahan mengarah pada kegiatan manusia pada objek tersebut. 2.7 Hubungan Kebakaran dengan Emisi Gas Rumah Kaca
Pemanasan global merupakan fenomena global yang disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia, pertambahan jumlah penduduk serta
pertumbuhan teknologi dan industri. Proses pemanasan global terjadi akibat radiasi gelombang panjang yang dipantulkan bumi terperangkap oleh gas rumah
kaca yaitu CO
2
, CH
4
, N
2
O, HFC
S
dan SF
4
yang terdapat di atmosfer. Akibatnya gelombang radiasi tersebut tidak dapat keluar dari bumi dan menyebabkan suhu
rata-rata bumi meningkat. Salah satu faktor penyebab pemanasan global adalah kebakaran hutan dan lahan. Kerusakan hutan di Indonesia disebabkan oleh
kebakaran hutan dan perubahan tata guna lahan. Fungsi hutan sebagai penyerap gas CO
2
yang merupakan salah satu gas rumah kaca menjadi berkurang akibat hutan rusak. Akumulasi bahan organik terjadi pada lahan gambut. Akumulasi
tersebut terjadi karena laju dekomposisi yang lebih lambat jika dibandingkan
dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan basah. Kandungan bahan organik yang tinggi pada lahan gambut dapat menyebabkan proses kebakaran
hutan dan lahan menjadi meningkat sehingga menyebabkan emisi karbon ke udara meningkat Syaufina et al. 2009.
Emisi terbesar tunggal dari kebakaran adalah
CO
2
, bersama uap air yang menjadi 80
−90 dari emisi C. Dalam pembakaran yang efisien,
CO
2
dapat mencapai 99 dari seluruh emisi C. pada kebakaran dengan intensitas rendah,
50 dari emisi C adalah
CO
2
. Senyawa kimia itu, bukanlah polutan namun mempunyai dampak potensial terhadap ilklim global dalam pemanasan atmosfer
bumi. Karbondioksida tidak termasuk polutan karena tidak termasuk pencemar dan tidak berada dalam baku mutu. Bahan organik terdekomposisi menjadi
CO
2
melalui aktivitas mikroba atau diikat dalam tanah atau deposit organik seperti gambut dalam waktu yang panjang Syaufina 2008.
Menurut Jauhiainen et al. 2001 dalam Rieley et al. 2008 emisi karbondioksida yang dihasilkan dari hutan gambut tidak terdrainase di Kalimantan
Tengah adalah 38,9 ton CO
2
hatahun, sementara emisi CO
2
yang dihasilkan dari hutan gambut sekunder di Kalimantan Tengah adalah 34 ton CO
2
hatahun. Menurut Rumbang et al. 2009 rata-rata emisi CO
2
yang dilepas oleh lahan gambut Kalimantan Tengah berkisar antara 0,35-0,67 g CO
2
m
2
jam. 2.8 Sejarah Kebakaran di Kalimantan Tengah
Pada abad ke-18 kebakaran menghanguskan 80.000 ha hutan di Kalimantan. Kebakaran pada tahun 19821983 menyebabkan hilangnya 3,6 juta ha hutan di
Kalimantan Timur, kemudian pada tahun 1994 luasan yang terbakar menjadi 5,11 juta ha dan puncaknya terjadi tahun 19971998 dengan luas area terbakar 10 juta
ha Syaufina et al. 2009. Kebakaran hutan di Indonesia karena deforestasi sudah terkenal dari awal abad ke-20. Berdasarkan data dari Kementrian Kehutanan yang
mulai tersedia adalah kebakaran hutan dan lahan dari tahun 1984. Satelit NOAA dari Japan International Cooperation Agency Forest Fire
Prevention Management Project JICA-FFPMP mendeteksi kebakaran dan jumlah hotspot dari wilayah Indonesia bagian barat. Hasilnya adalah lebih dari
1.000 km
2
area hutan yang terbakar terjadi pada tahun 1991, 1994, dan 1997. Titik panas yang terdeteksi adalah lebih dari 60.000 hotspot di tahun 1997, 2002, 2004,
dan 2006. Jumlah hotspot tertinggi adalah mencapai 147.143 pada tahun 2006 di Indonesia bagian barat Putra et al. 2008.
Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah umumnya terjadi di daerah bergambut. Kebakaran hutan tropika basah di Kalimantan tengah diketahui
terjadi sejak abad ke-19, yakni di kawasan antara Sungai Kalinaman dan Cempaka sekarang Sungai Sampit dan Katingan di Kalimantan Tengah, yang mengalami
kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 1877. Seiring konversi hutan secara berlebihan maka kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah
meningkat. Kebakaran
hutan dan
lahan yang
terjadi di
Provinsi Kalimantan Tengah hampir merata di setiap kabupaten, kejadian ini terjadi akibat
pembukaan lahan pertanian baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh perusahaan perkebunan yang melakukan land clearing Gozomora 2012. Kasus
kebakaran hutan dan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 1997 telah menghanguskan lapisan gambut 35
−70 cm. Kehilangan lapisan gambut ini berakibat pada kestabilan lingkungan karena kehilangan lapisan gambut setebal
itu setara dengan pelepasan karbon C sebanyak 0,2 −0,6 Gt C. Pelepasan C ini
berdampak pada emisi karbondioksida CO
2
ke atmosfer, yang turut meningkatkan pemanasan global Siegert et al. 2002 dalam Kurnain 2005.
Berdasarkan Hoijeer et al. 2006 dalam Putra et al. 2008 lebih dari 83 dari total 27 juta lahan gambut Asia Tenggara terdapat di Indonesia terutama di
Pulau Papua, Sumatra, dan Kalimantan. Sebanyak 26 dari lahan gambut di Indonesia terdapat di Kalimantan dan sebanyak 53 lahan gambut tersebut
terdapat di Kalimantan Tengah. Di Indonesia bagian barat tahun 1997-2007, kebakaran terjadi sebagian besar di Kalimantan yaitu 49,6. Kebakaran di
Kalimantan terjadi sebanyak 20,5 di Kalimantan Tengah. Sehingga kebakaran Kalimantan Tengah memiliki bagian 25 dari provinsi Kalimantan dan 15 dari
wilayah Indonesia bagian barat.
BAB III METODE PENELITIAN