BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis 1973 dalam Syaufina 2008 didefinisikan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas dan
mengonsumsi bahan bakar hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting ,kayu mati, gulma, semak, dedaunan serta pohon-pohon besar untuk tingkat terbatas.
Suatu kebakaran hutan sebagai segitiga api disebut The Fire Triangle. Komponen yang menyusun segitiga api adalah bahan bakar, sumber panas api, dan oksigen.
Bahan Bakar
Oksigen Sumber Panas
Gambar 1 Segitiga api Brown dan Davis 1973 Brown dan Davis 1973 dalam Syaufina 2008 menyatakan bahwa proses
fotosintesis direaksikan sebagai berikut 6CO
2
+ 6H
2
O + energi matahari yang menghasilkan C
6
H
12
O
6
+ 6O
2.
Reaksi pembakaran merupakan kebalikan dari reaksi fotosintesis yang direaksikan sebagai C
6
H
12
O
6
+ 6O
2
+ sumber panas yang menghasilkan 6CO
2
+ 6H
2
O + panas. Menurut Wibowo 2003, perilaku kebakaran hutan dapat diterangkan
dimana bahan bakar menyala, lidah api terbentuk, kebakaran menjalar dan berbagai fenomena lainnya. Perilaku kebakaran hutan adalah suatu reaksi dari api
terhadap faktor-faktor lingkungan. Dari banyak faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan yang utama adalah bahan bakar kadar air, jumlah,
ukuran, dan susunan bahan bakar, kondisi cuaca suhu, curah hujan, kelembaban, dan angin serta lereng topografi lapangan.
2.2 Iklim
Menurut Brown dan Davis 1973 dalam Syaufina 2008 cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat menentukan kadar air bahan bakar, terutama peran
dari hujan. Pada musim kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air yang dapat dijadikan indkator bahaya kebakaran. Dalam hal ini, kadar air lebih
besar atau sama dengan 30 dari bahan bakar dianggap aman terhadap bahaya kebakaran, tetapi menurunnya persentase kadar air akan meningkatkan potensi
kebakaran. Cuaca kebakaran fire weather adalah kondisi cuaca yang mempengaruhi
awal munculnya api, perilaku api dan penjalarannya. Di dalam hutan kelembaban udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan
terbakar, hal ini disebabkan kelembaban kadar air di udara dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Semakin sedikit kadar air di udara
RH kecil maka akan semakin mudah bahan bakar mengering Fuller 1991. Suratmo et al. 2003 menyatakan bahwa cuaca kebakaran adalah kondisi
cuaca yang mempengaruhi awal munculnya api, perilaku api dan penjalarannya. Beberapa faktor cuaca dan iklim yang berpengaruh di antaranya adalah suhu
udara, kelembaban, dan curah hujan. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban akan tinggi
sehingga kejadian kebakaran akan sulit. Curah hujan didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm
milimeter sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah Hidayati 2001. Curah hujan merupakan unsur iklim
yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran hutan Soares dan Sampaio 2000. Menurut Hamzah 1985 dalam Triani 1995, faktor yang sangat
besar pengaruhnya terhadap luas area terbakar adalah musim kemarau yang terlalu panjang. Musim kebakaran hutan berhubungan dengan pola hujan, terutama
dengan kekeringan. Puncak musim kebakaran terjadi pada musim kemarau.
2.3 Titik Panas Hotspot