1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Satelit altimetri adalah satelit luar angkasa yang melakukan pengukuran tinggi dan bentuk permukaan laut secara global dari orbitnya di luar angkasa.
Satelit altimetri digunakan untuk pengamatan topografi permukaan laut dan terus berkembang tingkat akurasi dan resolusinya. Teknologi ini memancarkan
gelombang mikro ke permukaan laut dan mengukur waktu dua kali perjalanan gelombang yang diterima. Alat on-board tracker pada satelit mengukur nilai
range dan menghasilkan distribusi energi yang diterima dari gelombang pantul yang disebut dengan waveform secara berurutan waktu. Oleh sebab itu, satelit
altimetri mengukur waktu dua kali perjalanan gelombang dengan mengidentifikasi titik tengah pada bagian leading edge dari waveform.
Pengukuran SSH dari satelit altimetri di wilayah pantai dapat memunculkan kesalahan yang disebabkan oleh koreksi geofisik dan lingkungan yang kurang
akurat; dan gangguan oleh topografi daratan pulau dan perairan dangkal dekat pantai terhadap gelombang balik. Brooks et al. 1997 menemukan bahwa
pengaruh daratan terhadap gelombang balik sepanjang jarak 4.1 – 34.8 km dari
pantai pada waveform Satelit the Ocean Topography Experiment TOPEX. Selain itu Deng et al. 2002 menemukan bahwa waveform dari Satelit ERS-2 dan
Satelit Poseidon akan terpengaruh sampai jarak maksimum 22 km pada wilayah pantai Australia. Bentuk waveform yang terpengaruh oleh daratan tidak sama
dengan bentuk waveform pada laut terbuka sehingga on-board tracker tidak dapat mengukur range antara satelit dengan titik nadir satelit secara akurat. Oleh karena
itu nilai SSH yang dihasilkan menjadi tidak akurat. Beberapa metode analisis data banyak dikembangkan oleh para ilmuwan
altimetri untuk menghilangkan pengaruh daratan pada pengukuran SSH. Martin et al. 1983 mengembangkan metode retracking ice untuk mengukur tinggi
gunung es di kawasan antartika. Selain itu, Wingham et al. 1986 dan Davis 1995 dan 1997 masing-masing mengembangkan algoritma OCOG dan
threshold. Beberapa ilmuwan altimetri telah membandingkan metode-metode waveform retracking pada wilayah pantai untuk menguji akurasi nilai SSH
masing-masing metode tersebut. Namun performa masing-masing metode waveform retracking berbeda tiap wilayah pantai. Yang et al. 2008 menemukan
bahwa metode OCOG mendapatkan nilai SSH paling akurat dibandingkan dengan metode ice, threshold, dan ocean-on board tracker pada jarak kurang dari 10 km
dari pantai di wilayah Laut Cina. Hal ini berbeda dengan hasil observasi Lee et al. 2010, bahwa metode threshold dan ice yang menghasilkan informasi SSH paling
akurat untuk wilayah perairan California Amerika Serikat. Dengan demikian, beberapa wilayah pantai akan berbeda performa metode waveform retracking.
Oleh karena performa metode waveform retracking berbeda-beda dan informasi SSH penting untuk wilayah pantai di Indonesia maka perlu dilakukan
observasi di wilayah perairan Indonesia. Wilayah perairan yang akan diteliti adalah wilayah perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur. Kegiatan
masyarakat pesisir Jawa Timur terkonsentrasi di wilayah perairan pantai. Untuk mengetahui performa metode waveform retracking digunakan analisis IMP
terhadap perbedaan standar deviasi SSH tanpa retracking dan nilai geoid dengan standar deviasi SSH hasil metode waveform retracking dengan nilai geoid pada
masing-masing stasiun pengamatan.
1.2 Tujuan