Waveform retracking satelit jason 2 di Perairan Jawa Timur

(1)

DI PERAIRAN JAWA TIMUR

KADEK SURYA SUMERTA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul:

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA

TIMUR

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Kadek Surya Sumerta

NIM C54080022


(3)

KADEK SURYA SUMERTA. Waveform Retracking Satelit Jason 2 di

Perairan Jawa Timur. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL.

Waveform retracking

adalah proses pengukuran ulang jarak satelit

terhadap permukaan laut (

range

) dengan menganalisa

waveform

di suatu wilayah

perairan dengan menggunakan metode

retracking

. Penelitian ini dilakukan di

wilayah perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur dengan menggunakan data

Sensor Geophysical Data Record

(SGDR) Jason 2. Nomor lintasan yang

digunakan pada penelitian ini adalah 127, 140 dan 203 serta menggunakan

cycle

dimulai dari 18

158. Untuk menguji kualitas dari proses ini per kategori jarak

dilakukan analisa

Improvement Precentage

(IMP) terhadap metode

retracking

yang digunakan. Metode yang digunakan adalah

Offset Center Off Grativity

(OCOG),

ice

,

ocean

,

threshold

20% dan 50%;

improved threshold

20%, 30% dan

50%. Penelitian ini menggunakan enam lokasi stasiun yang dilalui oleh Satelit

Jason 2. Kategori jarak yang digunakan pada penelitian ini adalah 0

10 km, 10

50 km, 50

100 km, dan 100

200 km. Pengamatan terhadap performa metode

waveform

retracking

diperoleh bahwa performa tiap metode

waveform retracking

berbeda pada masing-masing kategori jarak di setiap stasiun. Penggunaan

threshold level

20% dan 30% pada metode

threshold

paling sesuai untuk wilayah

perairan Jawa Timur. Validasi nilai

Sea Surface Height

(SSH) metode

retracking

menggunakan data

Sea Level Anomaly

(SLA) dan data pasang surut

in situ

. Hasil

validasi menunjukan bahwa metode yang memiliki nilai IMP terbesar selama

periode 2009

2012 memiliki nilai korelasi tertinggi terhadap data pasang surut

in situ

. Misalnya, metode

retracking ice

dengan nilai IMP terbesar pada Stasiun 1

dan 6, memiliki nilai koefisien korelasi tertinggi yaitu sebesar 0.78 dan 0.95.

Pengukuran SSH selama periode 2009

2012 dengan metode

retracking

teroptimal pada masing-masing stasiun menghasilkan nilai rentang SSH untuk

Stasiun 1 sampai Stasiun 6 sebagai berikut 30.87

33.45 m, 32.13

33.16 m,

34.38

35.08 m, 32.32

35.13 m, 30.17

32.23 m, dan 26.31

27.08 m,

sedangkan rata-rata SSH berturut-turut sebesar 33.13 m (Stasiun 1), 32.43 m

(Stasiun 2), 35.76 m (Stasiun 3), 32.56 m (Stasiun 4), 30.89 m (Stasiun 5), dan

27.58 m (Stasiun 6).


(4)

ABSTRACT

KADEK SURYA SUMERTA. Waveform Retracking Satellite Jason 2 in East

Java Sea. Supervised by JONSON LUMBAN GAOL.

Waveform retracking is a process to recalculate the range between satellite

and sea surface by analysing waveform in a sea region with retracking methods.

This research used SGDR Jason 2 altimetry data with region observation were

north and south side of East Java Sea. This research used pass numbers 127, 140

and 203 with

cycle

18 until 158. For testing the quality of the methods this

research calculated IMP for each methods. This research used OCOG method, ice,

ocean, threshold 20% and 50%, improved threshold 20%, 30% and 50%. The

research classifed 4 categories distance from the coastline. There was 0

10 km,

10

50 km, 50

100 km, dan 100

200 km. Performance every waveform

retracking was different in each station. Using threshold level 20 % and 30 % in

threshold retracking method suited for sea region in East Java. Validation of SSH

measured with retracking method used SLA data and tide gauge in situ data. The

result showed that the retracking methods which had highest precentage of IMP

for 2009

2012 had the highest coeficient correlation to tide gauge in situ data.

For example, ice method which had the highest precentage value of IMP in

Station 1 and 6, had the highest coeficient correlation were 0.78 and 0.95.

Measuring SSH value for 2009

2012 with optimal methods for every station

resulted range of SSH for Station 1 until Station 6 were 30.87

33.45 m, 32.13

33.16 m, 34.38

35.08 m, 32.32

35.13 m, 30.17

32.23 m, and 26.31

27.08

m. Meanwhile average value of SSH were 33.13 m (Station 1), 32.43 m (Station

2), 35.76 m (Station 3), 32.56 m (Station 4), 30.89 m (Station 5), dan 27.58 m

(Station 6).


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2

DI PERAIRAN JAWA TIMUR

KADEK SURYA SUMERTA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(7)

NIM

: C54080022

Disetujui oleh,

Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M. Si

Pembimbing I

Diketahui oleh,

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc

Ketua Departemen


(8)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Sang Hyang Widhi Wasa atas semua berkat dan

karunia yang telah diberikan-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan. Skripsi yang berjudul

WAVEFORM RETRACKING SATELIT

JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR

diajukan sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana. Penelitian ini dilakukan pada 1 Juni 2012 hingga 30

Januari 2013 di Badan Informasi Geospasial (BIG).

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban

Gaol, M. Si. Selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Parluhutan Manurung, M. Sc

dan Bapak Stefano Vignudeli selaku dosen materi Altimetri. Di samping itu,

penghargaan penulis sampaikan kepada Badan

National Oceanic and Atmospheric

Administration

(NOAA) dan BIG atas bantuan data altimetri dan pasang surut

wilayah Jawa Timur. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,

kakak, seluruh keluarga besar, serta teman-teman atas doa dan dukungannya

selama melakukan kegiatan penelitian dan penulisan berlangsung.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013


(9)

DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iv

DAFTAR SINGKATAN

v

DAFTAR ISTILAH

v

PENDAHULUAN

Latar Belakang

1

Tujuan

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

3

Prinsip Dasar Altimetri

3

Waveform Satelit

5

Pengaruh Daratan Terhadap Waveform

8

Metode Retracking

8

Satelit Jason 2

11

Pengembangan Satelit Altimetri dan Aplikasi

17

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

18

Alat dan Bahan

20

Metode Penelitian

21

HASIL DAN PEMBAHASAN

Waveform Perairan Jawa Timur

27

Analisis IMP Sea Surface Height (SSH) Retracking

dan Non Retracking

30

Analisis IMP Hasil Waveform Retracking Selama

Tahun 2009 hingga 2012

38

Validasi SSH Hasil Waveform Retracking Tahun 2009

2012

44

SIMPULAN DAN SARAN

46

DAFTAR PUSTAKA

47


(10)

iii

DAFTAR TABEL

1

Jumlah waveform gate pada satelit altimetri

5

2

Karakteristik Satelit Jason 2

13

3

Karakteristik Orbit Jason 2

16

4

Koordinat titik awal waveform retracking data SGR Jason 2

18

5

Koordinat titik waveform retracking tinggi muka laut 1 Januari 2009 sampai

dengan 20 Oktober 2012

18

6

Informasi stasiun pasang surut terhadap titik pengamatan

satelit altimetri

26

7

Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 0

10 km

32

8

Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 10

50 km

33

9

Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 50

100 km

34

10

Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 100

200 km

35

11

Statistik hasil waveform retracking SSH selama tahun 2009

2012

40

12

Koefisien korelasi dan standar deviasi antara pengukuran

data pasang surut dengan SLA hasil waveform retracking

44

DAFTAR GAMBAR

1

Prinsip satelit altimetri

5

2

Klasifikasi kelas dari bentuk waveform Satelit Jason

6

3

Presentase bentuk waveform Satelit Jason-2 sebagai

fungsi dari jarak ke garis pantai

7

4

Macam-macam bagian waveform

7

5

Proses terbentuknya waveform

7

6

Tampak samping dan atas representatif pantulan

permukaan laut pada kasus transisi laut ke daratan

8

7

Skematik diagram metode OCOG

10

8

Diagram alir metode improved threshold

12

9

Satelit Jason 2

13

10

Sensor Poseidon-3 Altimeter

14

11

Sensor Advanced Microwave Radiometer (AMR)

14

12

Sensor Doris System

15

13

Plot lintasan Satelit Jason-2 pada peta dunia

16

14

Lokasi waveform retracking data SGDR Jason 2 perairan Jawa Timur

19

15

Proses waveform retracking di perairan Jawa Timur

22

16

Bentuk-bentuk waveform perairan Jawa Timur

27

17

Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 0

10 km

28

18

Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 10

50 km

28

19

Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 50

100 km

29

20

Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 100

200 km

29

21

Visualisasi SSH metode retracking,

tanpa retracking dan geoid Stasiun 3 kategori jarak 0

10 km

31

22

Visualisasi SSH metode retracking,


(11)

iv

24

Visualisasi SSH metode retracking,

tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 50

100 km

37

25

Visualisasi SSH metode retracking,

tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 100

200 km

38

26

Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan

tanpa retracking pada titik pengukuran 1 selama tahun 2009-2012

41

27

Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan

tanpa retracking pada titik pengukuran 2 selama tahun 2009-2012

41

28

Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan

tanpa retracking pada titik pengukuran 3 selama tahun 2009-2012

42

29

Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan

tanpa retracking pada titik pengukuran 4 selama tahun 2009-2012

42

30

Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan

tanpa retracking pada titik pengukuran 5 selama tahun 2009-2012

43

31

Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan

tanpa retracking pada titik pengukuran 6 selama tahun 2009-2012

43

32

Perbandingan nilai SLA metode retracking terhadap data in situ

pasang surut dari bulan Mei hingga Oktober 2012

pada titik pengukuran ke-1

45

33

Perbandingan nilai SLA metode retracking terhadap data in situ

pasang surut dari bulan Januari hingga Desember 2012

pada titik pengukuran ke-6

45

DAFTAR LAMPIRAN

1

Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak

setiap stasiun di wilayah perairan Jawa Timur

49

2

Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur

59

3

Data pasang surut Stasiun Semarang selama bulan April

hingga Oktober 2012

68

4

Data pasang surut Stasiun Prigi selama bulan Januari

hingga Desember 2012

69

5

Sintak waveform retracking untuk pengamatan

performa metode retracking

70

6

Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik

selama tahun 2009

2012

78

7

Fungsi MATLAB tentang metode retracking OCOG

84

8

Fungsi MATLAB tentang metode retracking threshold

85

9

Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold

85

10

Nomor jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat

88

11

Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit

90

12

Perencanaan satelit-satelit di bidang Altimetri dimulai dari tahun


(12)

v

DAFTAR SINGKATAN

BIG

Badan Informasi Geospasial

IMP

Improvement Precentage

MSL

Mean Sea Level

OCOG

Offset Center Off Grativity

SGDR

Sensor Geophysical Data Record

SLA

Sea Level Anomaly

SSH

Sea Surface Height

TOPEX

The Ocean Topography Experiment

DAFTAR ISTILAH

Cycle

Waktu tempuh satelit kembali ke titik awal

Elipsoid

Garis referensi yang menggambarkan permukaan

bumi seperti bentuk bulat utuh dengan kerapatan

bumi yang homogen

Footprint

Luasan lingkaran untuk menerima jejak sinyal

pantulan

Geoid

Representasi dari permukaan bumi dan dapat

diasumsikan MSL jika laut menutupi bumi

seutuhnya

Leading edge

Bagian waveform yang mengalami peningkatan

power

On-board tracker

Alat sensor satelit untuk menerima sinyal pantulan

Pass

Nomor lintasan satelit altimetri

Range

Jarak antara satelit altimetri terhadap titik nadir di

permukaan laut

Retracking

Pengukuran kembali nilai range untuk

menghilangkan pengaruh daratan


(13)

1

1.1

Latar Belakang

Satelit altimetri adalah satelit luar angkasa yang melakukan pengukuran

tinggi dan bentuk permukaan laut secara global dari orbitnya di luar angkasa.

Satelit altimetri digunakan untuk pengamatan topografi permukaan laut dan terus

berkembang tingkat akurasi dan resolusinya. Teknologi ini memancarkan

gelombang mikro ke permukaan laut dan mengukur waktu dua kali perjalanan

gelombang yang diterima. Alat on-board tracker pada satelit mengukur nilai

range dan menghasilkan distribusi energi yang diterima dari gelombang pantul

yang disebut dengan waveform secara berurutan waktu. Oleh sebab itu, satelit

altimetri mengukur waktu dua kali perjalanan gelombang dengan mengidentifikasi

titik tengah pada bagian leading edge dari waveform.

Pengukuran SSH dari satelit altimetri di wilayah pantai dapat memunculkan

kesalahan yang disebabkan oleh koreksi geofisik dan lingkungan yang kurang

akurat; dan gangguan oleh topografi daratan pulau dan perairan dangkal dekat

pantai terhadap gelombang balik. Brooks et al. (1997) menemukan bahwa

pengaruh daratan terhadap gelombang balik sepanjang jarak 4.1

34.8 km dari

pantai pada waveform Satelit the Ocean Topography Experiment (TOPEX).

Selain itu Deng et al. (2002) menemukan bahwa waveform dari Satelit ERS-2 dan

Satelit Poseidon akan terpengaruh sampai jarak maksimum 22 km pada wilayah

pantai Australia. Bentuk waveform yang terpengaruh oleh daratan tidak sama

dengan bentuk waveform pada laut terbuka sehingga on-board tracker tidak dapat

mengukur range antara satelit dengan titik nadir satelit secara akurat. Oleh karena

itu nilai SSH yang dihasilkan menjadi tidak akurat.

Beberapa metode analisis data banyak dikembangkan oleh para ilmuwan

altimetri untuk menghilangkan pengaruh daratan pada pengukuran SSH. Martin

et al. (1983) mengembangkan metode retracking ice untuk mengukur tinggi

gunung es di kawasan antartika. Selain itu, Wingham et al. (1986) dan Davis

(1995 dan 1997) masing-masing mengembangkan algoritma OCOG dan

threshold. Beberapa ilmuwan altimetri telah membandingkan metode-metode

waveform retracking pada wilayah pantai untuk menguji akurasi nilai SSH


(14)

2

masing-masing metode tersebut. Namun performa masing-masing metode

waveform retracking berbeda tiap wilayah pantai. Yang et al. (2008) menemukan

bahwa metode OCOG mendapatkan nilai SSH paling akurat dibandingkan dengan

metode ice, threshold, dan ocean-on board tracker pada jarak kurang dari 10 km

dari pantai di wilayah Laut Cina. Hal ini berbeda dengan hasil observasi Lee et al.

(2010), bahwa metode threshold dan ice yang menghasilkan informasi SSH paling

akurat untuk wilayah perairan California Amerika Serikat. Dengan demikian,

beberapa wilayah pantai akan berbeda performa metode waveform retracking.

Oleh karena performa metode waveform retracking berbeda-beda dan

informasi SSH penting untuk wilayah pantai di Indonesia maka perlu dilakukan

observasi di wilayah perairan Indonesia. Wilayah perairan yang akan diteliti

adalah wilayah perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur. Kegiatan

masyarakat pesisir Jawa Timur terkonsentrasi di wilayah perairan pantai. Untuk

mengetahui performa metode waveform retracking digunakan analisis IMP

terhadap perbedaan standar deviasi SSH tanpa retracking dan nilai geoid dengan

standar deviasi SSH hasil metode waveform retracking dengan nilai geoid pada

masing-masing stasiun pengamatan.

1.2

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1.

Menentukan metode waveform retracking yang sesuai untuk penentuan

SSH dengan presisi tinggi untuk perairan Jawa Timur.

2.

Menghasilkan informasi nilai SSH untuk periode 2009

2012 di wilayah

perairan Jawa Timur


(15)

3

2.1.

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini memilih lokasi perairan laut di Provinsi Jawa Timur untuk

penggamatan tinggi muka laut tahun 2009 hingga 2012. Jawa Timur terletak di

bagian paling timur dari Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Jawa Timur adalah

Surabaya. Luas daratan Jawa Timur adalah 47.799,75 km

2

dengan jumlah

penduduk 41.437.769 jiwa (Depdagri, 2011). Jawa Timur berbatasan dengan Laut

Jawa di bagian utara, Samudera Hindia di bagian selatan, Jawa Tengah di bagian

Barat dan timur berbatasan dengan Provinsi Bali.

2.2.

Prinsip Dasar Satelit Altimetri

Prinsip satelit altimetri adalah mengukur jarak (range) R dari satelit

menuju permukaan laut. Hal ini dapat dijelaskan pada Gambar 1. Satelit altimetri

memancarkan pulsa pendek dari radiasi gelombang mikro dengan nilai power

yang diketahui menuju permukaan laut. Pulsa tersebut berinteraksi dengan

permukaan laut yang kasar dan sebagian radiasi datang terpantulkan kembali ke

altimeter. Nilai R dari satelit ke rata

-

rata muka laut didapatkan dari waktu

perjalanan bolak

-

balik, yaitu :

� = �̇ − ∑ ∆�

...

(1)

dimana �̇ = ct/2 adalah nilai range dengan mengabaikan refraksi berdasarkan

kecepatan cahaya di medium luar angkasa (c) dan ∆� = , , , . . �

adalah

komponen koreksi untuk menghilangkan atmosferik, sea state bias, dan pasang

surut. Komponen koreksi atmosferik terdiri atas dry troposphere correction, wet

troposphere correction, ionosphere correction,dan inverse barometer effect.

Berikutnya komponen koreksi Sea State Bias terdiri atas EM bias dan skewness

bias (Chelton et al. 2010). Komponen pasang surut terdiri atas solid earth tide,

geocentric ocean height tide, dan pole tide height. Komponen koreksi atmosferik

digunakan untuk mengurangi pengaruh dari molekul gas

-

gas kering (dry

troposphere), uap

-

uap air (wet troposphere correction), ion

-

ion elektron

(ionosphere correction), dan tekanan udara (inverse barometer effect) dalam


(16)

4

memperlambat kecepatan rambat gelombang mikro menuju permukaan laut.

Sedangkan untuk koreksi sea state bias untuk mengurangi kesalahan akibat

pantulan dari bagian lembah gelombang yang terkena gelombang mikro (EM bias

dan skewness bias). Kemudian koreksi pasang surut digunakan untuk mengurangi

pengaruh eksternal gaya gravitasi terhadap laut (solid earth tide), respon terhadap

gaya keseimbangan pasang surut (geocentric ocean height tide), dan pengaruh

gaya sentrifugasi yang disebabkan perputaran bumi pada sumbu rotasinya (pole

tide)

Nilai R pada persamaan (1) berbeda sepanjang orbit satelit dari sepanjang

variasi jalur. Pengukuran range R kemudian dikonversi menjadi nilai SSH (h)

relatif terhadap referensi elipsoid yang menggambarkan permukaan bumi seperti

bentuk bulat utuh dengan kerapatan bumi yang homogen (Chelton et al. 2001).

ℎ = − �

= − �̇ − ∑ ∆�

...

(2)

Akurasi pengukuran R dan H tidak cukup untuk aplikasi oseanografi pada

pengukuran altimetri. Tinggi muka laut yang diberikan pada rumus (2) di atas

relatif terhadap referensi elipsoid berhimpit dengan pengaruh efek geofisik.

Dengan penambahan efek dinamis dari arus geostrofik yang merupakan perhatian

utama pada aplikasi oseanografi, nilai h dipengaruhi oleh undulasi geoid (hg)

tentang penaksiran elipsoid, variasi tinggi pasang surut (hT) dan respon laut

terhadap tekanan atmosferik (ha). Geoid adalah representasi dari permukaan bumi

dan dapat diasumsikan Mean Sea Level (MSL) jika laut menutupi bumi seutuhnya

(Benveniste, 2001). Efek

-

efek ini harus dihilangkan dari h untuk menginvestigasi

pengaruh efek arus geostrofik pada perhitungan tinggi muka laut. Rumus tinggi

dinamik muka laut (hd) adalah sebagai berikut. (Chelton et al, 2001)

= ℎ − ℎ

− ℎ

− ℎ


(17)

Gambar 1. Prinsip Satelit Altimetri (Benveniste, 2010)

2.3.

Waveform Satelit

Gommenginger et al. (2010) menjelaskan bahwa waveform adalah bentuk

dari sinyal pantulan yang diterima oleh satelit yang menghadirkan evolusi waktu

dari energi pantulan ketika gelombang mikro menyentuh permukaan. Waveform

memberikan informasi pada alam dan pantulan permukaan, seperti tinggi

gelombang signifikan. Waveform ini menggambarkan perubahan energi pada gate

ke

-

i (i=1,2,...n) yang diterima oleh satelit. Jumlah waveform gate (n) berbeda

untuk masing

-

masing jenis satelit altimetri, seperti dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah waveform gate pada satelit altimetri (Gommenginger et al, 2010)

Satelit

Band

Waveform Gate

Jumlah

Geosat

Ku

60

ERS

-

1

Ku

64

ERS

-

2

Ku

64

TOPEX

Ku

C

128

128

Poseidon

Ku

60

GFO

Ku

128

Jason

-

1

Ku

104

C

104

Jason

-

2

Ku

104


(18)

6

Berbagai bentuk waveform yang dipindai oleh Satelit Jason

-

2 dapat dilihat

pada Gambar 2. Kelas 1 merupakan tipe brown echoes yang sering ditemukan di

laut lepas. Gommenginger et al. (2010) mengatakan bahwa sekitar 94% dari

keseluruhan waveform Satelit Jason

-

2 yang dianalisa di Australia memiliki bentuk

brown echoes dengan jarak minimal 15 km dari garis pantai. Persentase

keberadaan waveform bentuk brown semakin menurun menuju pantai. Sebaliknya

untuk tipe peak echoes persentase kehadiran bentuk waveform ini semakin

meningkat. Persentase waveform ditunjukkan pada Gambar 3.

Pada umumnya, wilayah waveform dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

thermal noise, leading edge, dan trailing edge (Gambar 4). Proses terbentuk

sebuah waveform dari gelombang pantul yang diterima satelit altimeri ditunjukan

pada Gambar 5. Bagian thermal noise tidak terjadi peningkatan power waveform

akibat tidak adanya sinyal pantul yang menuju ke satelit. Bagian leading edge

merupakan wilayah gelombang mikro dipancarkan dan pantulan gelombang mikro

menuju satelit. Untuk mendapatkan nilai range, sebelumnya menentukan titik

tengah pada daerah trailing edge. Pada gate ke

-

Nt adalah waktu gelombang mikro

menyentuh permukaan laut tepat pada nadir. Kemudian bagian trailing edge

merupakan pantulan energi gelombang pada permukaan laut di sekitar titik nadir.

Gambar 2. Klasifikasi kelas dari bentuk waveform Satelit Jason

-

2 (Gommenginger

et al., 2010)


(19)

Gambar 3. Persentase bentuk waveform Satelit Jason

-

2 sebagai fungsi dari jarak

ke garis pantai (Gommenginger et al., 2010)

Gambar 4. Macam

-

macam bagian waveform


(20)

8

2.4.

Pengaruh Daratan terhadap

Waveform

Kendala pengukuran tinggi muka laut di kawasan pantai adalah gangguan

daratan terhadap energi pantulan oleh permukaan laut. Hal ini dikarenakan posisi

daratan berada pada window analysis satelit altimetri, sehingga jejak (footprint)

pantulan sinyal daratan terekam pada waveform. Nilai power yang terekam pada

waveform juga menggambarkan proporsi pengaruh daratan pada window analysis

terhadap pantulan tinggi muka laut (Gambar 6). Kontaminasi daratan dapat

dilihat pada bagian trailing edge. Nilai power pantulan pada waveform bagian

trailing edge sangat tinggi berbeda terhadap bagian gate awal hingga bagian

leading edge.

Gambar 6. Tampak samping dan atas representatif pantulan permukaan

laut (Gommenginger et al., 2010)

2.5.

Metode

Retracking

Retracking adalah proses identifikasi titik tengah pada bagian leading edge

sebuah waveform untuk mendapatkan nilai waktu pada saat gelombang mikro

menyentuh permukaan laut. Pantulan gelombang mikro dari daratan sepanjang

analysis window Satelit Jason

-

2 akan mempengaruhi posisi leading edge. Posisi


(21)

leading edge akan berubah sehingga titik tengah pada leading edge berubah. Jika

waveform Satelit Jason

-

2 tidak terpengaruhi oleh daratan, nilai titik tengah

tersebut berada pada gate ke

-

32.5 (Lee et al., 2010). Oleh karena itu untuk

mendapatkan nilai titik tengah tersebut dilakukan dengan metode retracking.

Metode retracking terdiri atas beberapa jenis. Pada penelitian ini metode

retracking yang digunakan adalah metode OCOG, threshold, improve threshold

50%, ocean retracker, dan ice retracker. Berikut ini adalah penjelasan dari

beberapa metode retracking tersebut.

1.

Offset Center of Gravity Retracker (OCOG)

Algoritma ini dikembangkan oleh Wingham (1986) untuk mendapatkan

retracking yang berkualitas. Tujuannya adalah untuk mencari titik tengah

gravitasi dari setiap waveform berdasarkan tingkat energi dalam sebuah

gate. Gambar 7 menunjukan skematik diagram metode OCOG. Metode

ini merupakan pengolahan statistik yang tidak bergantung kepada bentuk

fungsional. Berikut rumus yang digunakan dalam proses metode OCOG.

� = √∑

�−�= +�

�−�= +�

...

(3)

� = ∑

�−�= +�

�−�= +�

...

(4)

= ∑

�−�= +�

�−�= +�

...

(5)

�� = �

...

(6)

dimana : i = gate

Pi = energi waveform

N = jumlah gate

n1 = nomor gate awal

n2 = nomor gate akhir

Menurut Hwang et al. (2006), nilai n1 dan n2 adalah 4. OCOG ini kadang

-kadang digunakan untuk menghitung nilai awal dari threshold retracker,

improved threshold retracker, dan fungsi β

-

parameter. Sintak program

metode retracking ini tertera pada Lampiran 7.


(22)

10

Gambar 7. Skematik diagram metode OCOG. (Gommenginger et al.,

2010)

2.

Threshold Retracker.

Untuk mengubah perhitungan range, metode threshold retracking

dikembangkan oleh Davis (1995, 1997). Metode ini berdasarkan dimensi

kotak dihitung dengan menggunakan metode OCOG. Nilai batas gate

diukur terhadap 25%, 50% dan 75% dari amplitudo maksimum OCOG

yang akan digunakan untuk analisis gate retracking. Nomor range gate

yang didapatkan dengan menginterpolasi contoh terdekat dari threshold

memotong bagian tertinggi pada kemiringan leading edge waveform.

Davis (1997) menyarankan menggunakan 50% tingkat threshold untuk

waveform yang didominasi oleh surface scattering dan threshold 10

-

20%

untuk volume scattering signals. Sintak program metode retracking ini

dilampirkan pada Lampiran 8. Beberapa langkah

-

langkah metode ini

adalah:

a.

Menghitung gangguan suhu (thermal noise)

= ∑

...

(7)

b.

Menghitung tingkat threshold (�

=

+ . � −

...

(8)

c.

Nilai range setelah diolah (retracked) pada leading edge dari

waveform didapat dari interpolasi linear antara gate berdekatan

sampai Th menggunakan


(23)

=

+

−�−��−�−

...

(9)

Dimana : A

= amplitudo OCOG

= rata

-

rata nilai energi waveform dari lima gate pertama

q

= nilai threshold

Gk

= energi pada gate ke

-

k, dimana k adalah lokasi dimana gate

pertama melebihi Th. .

3.

Improve Threshold Retracking

Jenis improve threshold retracking yang digunakan pada penelitian ini

adalah versi Hwang. Secara garis besar retracker ini mengidentifikasi

subwaveform dari seluruh gate waveform. Langkah seleksi subwaveforms

dapat dilihat pada Gambar 8. Setelah mendapatkan hasil gate (i) terbaik

kemudian diolah dengan menggunakan metode threshold sehingga

mendapatkan nilai range. Nilai ϵ1 = 8 dan ϵ2 = 2 (Hwang et al., 2006).

Sintak program metode retracking ini tertera pada Lampiran 9.

4.

Ocean and Ice Retracker

Data ocean retracker yang tersedia dalam data SGDR Jason

-

2

masing

-

masing menggunakan Maximum Likelihood Estimator 4 (MLE4)

menyesuaikan Model Brown fase 2. Data metode retracking ice sama

dengan metode waveform retracking threshold 30% (Lee et al., 2010).

2.6.

Satelit Jason 2

Satelit Jason

-

2 dikembangkan pertama kali dan diluncurkan pada tanggal

20 Juni 2008. Satelit ini dikembangkan oleh National Aeronautics and Space

Administration (NASA) dan Centre National d’Études Spatiales (CNES). Satelit

ini meneruskan misi Satelit TOPEX/Poseidon (T/P) yang sukses mengamati

lautan dunia selama 20 tahun. Misi utama satelit ini adalah mengukur topografi

permukaan laut minimal tingkat performa sama dengan T/P. Satelit ini

menyajikan pengukuran akurasi tinggi secara kontinu dari topografi lautan

sehingga ilmuwan dapat mempelajari sirkulasi lautan secara umum dan

mengetahui perannya terhadap iklim dunia.


(24)

12

Gambar 8. Diagram alir metode improved threshold (Gommenginger

et al, 2010)

Observasi dimulai

dari gate ke

-

i, yaitu 5

Jika

��− − ��

>ε1

Kurangi nilai power

dari gate dengan nilai

power gate selanjutnya

Jika

+

>ε2

Bentuk sebuah

subwaveform dari i

-

4

sampai i+k+4

Gunakan subwaveform

kepada perhitungan OCOG

dan Threshold untuk

mencari retracking gate

I = Batas1

-

Batas2

k = 0

Tidak

Ya

Ya

Batas 1 = i

Batas 2 = k

i = i + 1

Tidak


(25)

2.6.1

Deskripsi Satelit Jason 2

Satelit Jason 2 (Gambar 9) memiliki berat 525 kg yang terdiri dari platform

multi misi Plate Forme Reconfigurable pour l’Observation de la Terre, les

telecommunications et les Utilisations Scientifiques (PROTEUS) dan modul

penerbangan Jason 2. Platform memberikan fungsi rumah tangga termasuk

propulsi, electrical power, perintah dan penanganan data, telekomunikasi, dan

kontrol ketinggian. Modul peluncuran memberikan mekanika, elektrika, panas,

dan dynamical support. (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011). Karakteristik

Satelit Jason 2 tertera pada Tabel 2.

Gambar 9. Satelit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011)

Tabel 2. Karakteristik satelit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011)

Komponen

Keterangan

Berat Satelit

500 Kg

Daya Satelit

450 W

Berat Platform

270 Kg

Daya Platform

300 W

Berat Peluncur

120 Kg

Daya Peluncur

147 W

Berat sensor altimeter

55 Kg

Daya sensor altimeter

78 W

Peralatan luncur

Dual Delta II

Lokasi Peluncuran

Vanderberg Air Force Base


(26)

14

2.6.2

Sensor

Untuk dapat memenuhi misi satelit Jason 2, NASA dan CNES melengkapi

satelit Jason 2 dengan beberapa sensor canggih. Adapun sensor

-

sensor canggih

tersebut yaitu :

1.

Poseidon

-

3 Altimeter.

Altimeter dua frekuensi berfungsi untuk mengukur range dengan koreksi

ionosferik yang akurat. Sensor ini beroperasi pada 13.575 GHz (Ku

-

band)

dan 5.3 Ghz (C

-

band). Gambar 10 merupakan penampakan sensor

Poseidon

-

3

Gambar 10. Sensor Poseidon

-

3 Altimeter (OSTM/Jason 2 Products Handbook,

2011)

2.

Advanced Microwave Radiometer (AMR)

Radiometer gelombang mikro beroperasi pada tiga frekuensi yaitu 18.7,

23.8, dan 34 GHz. Saluran frekuensi 23.8 GHz merupakan sensor uap air,

ketika kandungan uap air meningkat maka akan memperbesar nilai

kecerahan suhu alat, sedangkan saluran 18.7 dan 34 GHz digunakan untuk

menghilangkan pengaruh awan cair dan kelebihan emisivitas permukaan

dari permukaan laut terhadap angin. Gambar 11 merupakan penampakan

sensor AMR.


(27)

3.

Doris System

Sistem Doris berfungsi sebagai pengatur navigasi satelit supaya tidak

terlalu jauh dari lintasan yang ditentukan sehingga mempertahankan posisi

edar satelit. Antena Doris terletak di bagian nadir Satelit Jason 2. Gambar

12 menunjukan instrumen Doris.

Gambar 12. Sensor Doris System (OSTM/Jason 2 Products Handbook,

2011)

2.6.3

Orbit

Satelit Jason 2 melakukan pengukuran di sepanjang garis orbit satelit.

Jason

-

2 akan terbang pada lintasan yang dekat dengan lintasan Jason 1 dan

melewati 254 pass dan 10 hari mengulangi perputaran baru (cycle). Nomor

putaran satelit dari satu titik posisi kembali ke posisi tersebut disebut Cycle.

Untuk pass number adalah nomor lintasan yang dilalui oleh Satelit Jason 2.

Posisi lokasi pass yang dilewati oleh Satelit Jason 2 dapat dilihat pada Lampiran

10. Pada Gambar 13 ditampilkan jalur lintasan Satelit Jason

-

2. Garis

-

garis putih

tersebut merupakan jalur lintasan Satelit Jason

-

2. Beberapa informasi mengenai

karakteristik orbit Satelit Jason

-

2 akan disajikan pada Tabel 3.


(28)

16

Gambar 13. Plot lintasan Satelit Jason

-

2 pada peta dunia (OSTM/Jason 2 Products

Handbook, 2011)

Tabel 3. Karakteristik orbit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011)

Bagian Orbit

Nilai

Semi Major Axis

7.714,43 km

Eccentricity

0.000095

Sudut Inklinasi

66.04 derajat

Argument of periapsis

90 derajat

Inertial longitude of the ascending node

116.56 derajat

Mean Anomaly

253.13 derajat

Reference (Equatorial) Altitude

1.336 km

Nodal Period

6.745,72 detik

Repeat Period

9.9156 hari

Number of revolution cycle

127

Equatorial cross track separation

315 km

Ground track control band

± 1 km

Orbital speed

7.2 km/detik


(29)

2.7.

Pengembangan Satelit Altimetri dan Aplikasi

Satelit altimetri mulai dikembangkan tahun 1973, dengan adanya Satelit

Skylab yang dibuat oleh NASA. Satelit ini merupakan satelit altimetri yang

pertama. Pada awalnya satelit altimetri ini digunakan untuk mengukur bentuk

planet Bumi, tetapi kesalahan pengukuran yang dihasilkan sampai 100 m (Abidin,

2001). Pengembangan satelit altimetri untuk mendapatkan hasil pengukuran yang

baik, dimulai dengan Satelit GEOS

-

3 (9 April 1975 – Desember 1978) dan Seasat

(Juni 1978 – Oktober 1978). Setelah dihasilkan alat

-

alat dengan tingkat ketelitian

baik, altimetri mulai memberikan informasi mengenai geodesi, oseanografi,

geofisika, dan hidrologi yang lebih akurat.

Selama bertahun

-

tahun para peneliti di bidang altimetri mengembangkan

instrument satelit dengan tingkat presisi tinggi sehingga dapat mampu

menciptakan satelit

-

satelit canggih. Setiap satelit diciptakan dengan misinya

masing

-

masing sehingga melengkapi berbagai ilmu di bidang Geodesi,

Oseanografi, Geofisika dan Hidrologi. Perkembangan satelit berikut dengan misi

masing

-

masing satelit dan perencanaan satelit

-

satelit di bidang altimetri dimulai

dari tahun 2008 hingga 2022 dicantumkan pada Lampiran 11 dan 12.

Berkembang pesatnya ilmu di bidang altimetri sehingga pengamatan

dinamika topografi laut dapat dilakukan secara kontinu dan informasi dapat

digunakan pada beberapa aplikasi. Beberapa aplikasi penggunaan data altimetri

yang terkait dengan kajian kelautan adalah (Handoko, 2004) :

1.

Penentuan pasang surut, tinggi muka laut, dan arus permukaan

2.

Rute pelayaran

3.

Industri lepas pantai

4.

Deteksi jalur buangan limbah

5.

Deteksi penyebaran biota laut

6.

Prediksi cuaca di laut


(30)

18

3. BAHAN DAN METODE

3.1.

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2012 hingga 30 Januari 2013

yang bertempat di BIG. Pengamatan performa metode

retracking

berdasarkan

kategori jarak dilakukan di 6 (enam) stasiun. Informasi koordinat posisi awal

pengukuran ditunjukan pada Tabel 4. Pada masing-masing stasiun akan dibagi

menjadi empat kategori jarak dari garis pantai menuju laut lepas. Keempat

kategori jarak tersebut yaitu 0

10 km, 10

50 km, 50

100 km, dan 100

200

km. Pengukuran nilai SSH selama tahun 2009

2012 dilakukan di 6 (enam) titik

lokasi di perairan Provinsi Jawa Timur, sebagaimana ditunjukan pada Tabel 5.

Lokasi penelitian diperlihatkan pada Gambar 14. Nomor lintasan Satelit Jason 2

yang digunakan adalah 127, 140 dan 203

Tabel 4. Koordinat Titik Awal

Waveform Retracking

Data SGDR Jason 2

Stasiun

Koordinat Titik

Nomor

Cycle

Lintang (LS)

Bujur (BT)

1

6

o

44’

23

111

o

41’ 46.13”

30

2

6

o

52’23”

112

o

17’ 53.27”

20

3

7

o

42”

18

114

o

10’ 6.90”

40

4

8

o

33

37.66

113

o

51’ 1.02”

40

5

8

o

24’

30

112

o

51’ 48.9”

18

6

8

o

15’

30

109

o

41’ 27.12”

18

Tabel 5. Koordinat Titik

Waveform Retracking

Tinggi Muka Laut 1 Januari 2009

sampai dengan 20 Oktober 2012

Stasiun

Koordinat Titik

Nomor Lintasan

Satelit Jason 2

Lintang (LS)

Bujur (BT)

1

6

o

40’48.80”

111

o

41’ 46.13”

127

2

6

o

48’ 50.03”

112

o

17’ 53.27”

140

3

7

o

40” 21.16”

114

o

10’ 6.90”

203

4

8

o

36’ 45.49”

113

o

51’ 1.02”

140

5

8

o

27’ 42.30”

112

o

51’ 48.9”

203


(31)

(32)

20

3.2.

Alat dan Bahan

3.2.1.

Alat

Adapun alat yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1.

Perangkat keras berupa

Personal Computer

(PC) berbasis

Intel Core i3

dengan sistem operasi

Windows

7

yang digunakan untuk pengolahan

data-data penelitian

2.

Perangkat lunak pengolah data yaitu MATLAB 2012a.

3.2.2.

Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1.

Data altimetri Satelit Jason 2

versi ‘

d

’ dengan level data SGDR.

Data

diperoleh dari ftp://ftp.nodc.noaa.gov/pub/data.nodc/jason2/ CLASS

NOAA dimulai dari

cycle

18 hingga

cycle

158.

2.

Data

Range Corrected

dari

Retracker Ocean-

MLE-4 dan data

range

20 Hz

dari variabel

Tracker Range

pada gelombang ku (10.9

22 Ghz) untuk

proses

retracking

dan non

retracking

. Data diperoleh dari SGDR Satelit

Jason 2.

3.

Data pasang surut selama tahun 2009 di Stasiun Prigi dan bulan April

hingga Desember 2012 untuk Stasiun Semarang. Stasiun pasang surut

yang digunakan adalah stasiun terdekat dengan Stasiun 1 dan Stasiun 6.

Data pasang surut diperoleh dari BIG yang dapat diunduh pada website

http://www.ioc-sealevelmonitoring.org.

4.

Data Geoid EGM2008 diperoleh dari program interpolasi Geoid

EGM2008. Data ini digunakan untuk menentukan jenis

retracker

terbaik

pada masing-masing lokasi stasiun.

5.

Data jalur lintasan Satelit Jason 2. Data ini dapat diperoleh melalui website

http://www.aviso.oceanobs.com/en/data/tools/pass-locator.hSSH.


(33)

3.3.

Metode Penelitian

Penelitian ini terbagi menjadi 4 (empat) bagian. Bagian pertama adalah

membaca dan proses

editing

data altimetri,

waveform retracking

, perhitungan

SSH, dan pengecekan kualitas data hasil

waveform retracking

menggunakan

program MATLAB. Tahapan-tahapan penelitian ini disajikan pada Gambar 15.

3.3.1.

Proses Pembacaan dan Editing Data

Seleksi variabel

titik pengukuran, nilai

range,

nilai koreksi atmosferik,

koreksi efek pasang surut, koreksi

sea state bias

,

waveform

, ketinggian satelit

(

altitude

) dilakukan pada bagian ini. Pada data SGDR Jason 2, komponen

variabel terbagi atas dua jenis yaitu data 1 Hz dan data 20 Hz. Untuk mengetahui

performa metode

retracking

berdasarkan kategori jarak, seleksi variabel

dibedakan atas dua bagian. Bagian pertama, variabel diseleksi berdasarkan

kelompok dan bagian kedua seleksi variable secara global. Untuk mengetahui

performa metode

retracking

pada satu titik pengukuran secara tahunan, variabel

diseleksi secara global. Titik-titik tetangga dari titik pengukuran diperhitungkan

nilai SSH dan selanjutnya dilakukan proses interpolasi data untuk mendapatkan

nilai SSH pada titik pengukuran.

Variabel 20 Hz diseleksi berdasarkan kategori jarak yaitu 0

10 km, 10 km

50 km, 50

100 km, dan 100

200 km. Kemudian untuk variabel 1 Hz

diseleksi secara global. Hal ini dilakukan untuk menghindari hasil interpolasi

berupa ‘NaN’ apabila

posisi titik 20 Hz perhitungan interpolasi berada di luar

rentang posisi titik 1 Hz. Variabel 1 Hz diseleksi pada antara wilayah 3.5

o

LS

sampai 11

o

LS. Kemudian variabel 1 Hz diinterpolasi menjadi data 20 Hz

menggunakan koordinat posisi lintang 20 Hz. Metode interpolasi yang digunakan

adalah

spline

. Metode ini paling baik untuk mendapatkan data hasil interpolasi

yang berbeda tiap derajat lintang dan bujur. (Lee

et al

., 2010)


(34)

22

Waveform

Retracking

Plot

Waveform

Metode

OCOG

Metode

Ice

Metode

Threshold

20% & 50%

Metode

Ocean

Deteksi

subwaveform

Improved

Threshold

20%,

30%, & 50%

Perhitungan

SSH

Periksa kualitas data SSH

hasil

waveform

retracking

Gambar 15. Proses

waveform retracking

di perairan Jawa Timur

Baca dan Edit

SGDR Jason 2

Geoid

EGM2008

Stop

SSH

SSH

Non


(35)

Untuk pengukuran nilai SSH selama tahun 2009 - 2012, variabel 1 Hz dan

20 Hz diseleksi secara global. Proses ini dilakukan untuk mencegah perubahan

nilai posisi yang terjadi tiap

cycle

. Seleksi variabel 1 Hz dilakukan dengan

mengambil titik radius 2

o

di bagian utara dan selatan terhadap posisi titik

pengamatan. Selanjutnya seleksi variabel 20 Hz mengambil titik radius 0.01

o

di

bagian utara dan selatan terhadap posisi titik pengukuran. Kemudian dilakukan

proses interpolasi terhadap variabel 1 Hz terhadap posisi titik pengamatan (Tabel

5). Tahapan selanjutnya dilakukan proses

retracking

.

3.3.2.

Waveform Retracking

Pada tahapan

waveform retracking

, data

waveform

20 Hz yang sudah seleksi

berdasarkan jarak pada masing-masing stasiun akan diolah dengan menggunakan

beberapa metode

retracking

yang akan digunakan. Beberapa metode

retracking

tersebut adalah OCOG,

Ice

,

Ocean

,

Threshold

20% dan 50%,

Improved Threshold

20%, 30%, dan 50%. Pada proses

retracking,

setiap metode tersebut akan

menghasilkan

gate retracking

yang berbeda-beda. Nilai

gate retracking

ini

digunakan untuk menghitiung besar nilai koreksi terhadap nilai

range.

Perhitungan besaran koreksi nilai

range

ditunjukan pada rumus nomor 6.

Variabel

range

yang digunakan masing-masing metode tersebut adalah variabel

tracker_20hz_ku range

. Setelah mendapatkan besaran d

r

maka dilanjutkan

dengan koreksi

range

dengan menggunakan rumus nomor 5 (Jin-yun

et al.,

2010).

... (10)

dimana

...(11)

: koreksi

range

hasil

retracking

adalah nilai

gate width

satelit

: nilai

gate

hasil

retracking

,

: nilai

nominal tracking gate

(Satelit Jason 2 = 32.5)

:

dimana untuk Satelit Jason 2 bernilai 3.125 ns.


(36)

24

3.3.3.

Perhitungan Tinggi Muka Laut (SSH)

Perhitungan SSH secara umum menggunakan persamaan (2). Untuk

pengukuran secara tahunan, nilai SSH dari titik-titik pengukuran 20 Hz hasil

seleksi secara global diinterpolasi terhadap posisi titik pengamatan.

3.3.4.

Pengecekan Kualitas SSH Hasil Retracking

Pengecekan kualitas SSH hasil

retracking

terbagi menjadi dua yaitu

menggunakan analisis IMP dan perhitungan koefisien korelasi antara SSH metode

retracking

dan data

in situ

stasiun pasang surut. Analisis IMP digunakan untuk

menganalisa kualitas performa masing-masing metode

retracking

pada kategori

jarak. Perhitungan koefisien korelasi dilakukan untuk mengecek kualitas SSH

hasil metode

retracking

pada satu lokasi pengamatan secara tahunan.

Analisis IMP digunakan untuk mengetahui performa dari masing-masing

retracker

dengan menghitung nilai standar deviasi (STD) dari nilai perbedaan

antara nilai geoid dan SSH hasil masing-masing metode

retracking

. Rumus

perhitungan IMP adalah sebagai berikut. (Hwang

et al

., 2006)

... (8)

dimana :

= standar deviasi dari perbedaan nilai antara SSH

Raw

dengan

geoid

= standar deviasi dari perbedaan nilai antara SSH

retracking

dengan geoid

Indikator performa metode

retracking

yang sesuai pada suatu wilayah

adalah nilai IMP. Metode

retracking

yang memiliki nilai IMP tertinggi

merupakan metode

retracking

yang sesuai di wilayah tersebut. Untuk nilai geoid

yang digunakan adalah Geoid EGM2008. Geoid EGM 2008 didapatkan dari

program ‘

hsynth_WGS84

.exe’ dari

National Geospatial Agency

(NGA) dengan

melengkapi file

EGM2008_to2190_TideFree

,

Zeta-to-N_to2160_egm2008

dan


(37)

dan berformat ‘.dat’. Kemudian salin data hasil

geoid

tersebut dan dimasukan ke

dalam

workspace

MATLAB.

Perhitungan

success rate

(N) dilakukan untuk mengetahui jumlah titik

pengamatan yang berhasil dilakukan proses

retracking

. Presisi SSH ditentukan

berdasarkan nilai IMP dari masing-masing metode dan

success rate

(N). Berikut

rumus perhitungan N. (Hwang

et al

., 2006)

... (9)

dimana n = jumlah titik pengukuran pada tiap kategori jarak yang berhasil

dilakukan proses

retracking

N = jumlah titik pengukuran pada tiap kategori jarak.

Dalam perhitungan nilai koefisien korelasi antara SSH metode

retracking

dan data

in situ

stasiun pasang surut, referensi pengukuran dua variabel tersebut

harus sama. Alat

tide gauge

dalam mengukur nilai pasang surut di suatu perairan

berdasarkan referensi MSL sehingga dipergunakan nilai SLA untuk validasi nilai

SSH metode

retracking

di masing-masing titik pengamatan. Perhitungan SLA

berdasarkan pada referensi MSL. Hal tersebut dapat dilihat pada persamaan

nomor 10 berikut.

... (10)

Variabel MSL terdapat pada data SGDR Jason-2. Nama variabel MSL pada data

SGDR Jason 2 adalah ‘mean_sea_surface’. Nilai

dan

adalah pengaruh

pasang surut dan pengaruh tekanan atmosferik. Pengaruh pasang surut terdiri atas

komponen

Solid Earth Tide Height, Geocentric Ocean Tide Height

dan

Pole Tide

Height

. Pengaruh tekanan atmosferik terdiri atas komponen

Inverted Barometer

Height Correction

dan

HF Fluctuations of The Sea Topography

(OSTM/Jason 2

Products Handbook, 2011).

Data variabel MSL

tersebut masih dalam data 1 Hz. Untuk itu dilakukan

proses interpolasi data untuk mendapatkan data dalam bentuk 20 Hz. Metode

interpolasi data yang digunakan adalah

Spline’. Setelah itu dilakukan proses

seleksi variabel MSL berdasarkan koordinat titik pengamatan. Hasil SSH dari

metode

retracking

dan

non retracking

digunakan untuk perhitungan nilai SLA.


(38)

26

Untuk validasi SSH hasil

retracking

, SSH pada titik pengamatan ke-1 dan 6

digunakan sebagai contoh. Hal ini dikarenakan Stasiun Pasut terdekat dari

titik-titik pengukuran SSH pada website IOC

Sea Level Monitoring

hanya terdapat

Stasiun Pasang Surut Prigi dan Stasiun Pasang Surut Semarang. Stasiun Pasang

Surut Prigi berdekatan dengan titik pengamatan ke-6 sedangkan untuk titik

pengamatan ke-1 menggunakan data Stasiun Pasang Surut Semarang. Informasi

mengenai kedua stasiun pasang surut ini disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Lokasi stasiun pengukuran pasang surut terhadap titik

pengamatan Satelit Jason 2

Nama

Stasiun

Lintang

(

o

LS)

Bujur

(

o

BT)

Titik

Pengamatan

Jarak TP

terhadap

Stasiun

(km)

Stasiun

Semarang

6

o

56’ 52.44”

110

o

25’ 12.43”

1

152.25

Stasiun

Prigi

8

o

16’ 59.88”

111

o

43’ 59.88”

6

79.34

Hasil pengukuran pasang surut digunakan sebagai perbandingan terhadap

nilai SLA dilakukan dengan mengambil data pasang surut sesuai dengan rentang

waktu pengukuran satelit altimetri pada

cycle

yang digunakan. Waktu pengukuran

cycle

terdapat pada format nama file data SGDR Jason 2. Misalnya

file

data

SGDR Jason 2 ini ‘

JA2_GPS_2PdP018_127_20090101_125805_20090101

_135418

’. Berdasarkan nama

file

tersebut, format waktu pengukuran terdapat

pada nama file data tersebut yaitu

20090101_125805_20090101_135418

’.

Artinya pengukuran dimulai pada tanggal 1 Januari 2009 pukul 12:58:05 WIB

sampai dengan tanggal 1 Januari 2009 pukul 13:54:18 WIB. Informasi waktu

pengambilan data pasang surut Stasiun Semarang dan Stasiun Prigi dilampirkan

pada Lampiran 3 dan 4.


(39)

27

(a)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Waveform

Perairan Jawa Timur

Bentuk waveform pada jarak 0

10 km mengalami kontaminasi atau

gangguan dari daratan. Berbagai macam bentuk waveform terdapat pada jarak

tersebut, seperti peak echoes (Gambar 16a)

, ‘peaky + noise’

(Gambar 16b) dan

brown + peaky echoes

(Gambar 16c). Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan

pada kategori lainnya di Stasiun 1. Hasil pengamatan waveform pada kategori 10

50 km (Gambar 18), 50

100 km (Gambar 19), dan 100

200 km (Gambar 20)

didapatkan bahwa sebagian waveform yang teramati berbentuk

brown + peaky

echoes

’ dan

brown echoes (Gambar 16d). Hal ini dipengaruhi oleh jarak daratan

yang jauh sehingga pengaruh daratan terhadap bentuk waveform sangat kecil.

Sinyal pantulan dari daratan tidak masuk pada wilayah footprint satelit sehingga

pantulan yang diterima satelit berasal dari laut. Ini dibuktikan juga dengan

pendapat Gommenginger et al.(2010), bahwa 94% bentuk waveform seperti

brown waveforms akan ditemukan minimal 15 km dari pantai. Pola bentuk

waveform pada stasiun lain sama dengan yang diamati di Stasiun 1. Hasil

pengamatan bentuk waveform per kelompok jarak di Stasiun 1 ditunjukan pada

Gambar 17 sampai dengan Gambar 20. Bentuk waveform pada stasiun lain

dilampirkan pada Lampiran 1.

Gambar 16. Waveform (a) peak echoes, (b)

‘peaky + noise’, (c) ‘

brown + peaky

echoes

’dan (d)

brown echoes perairan Jawa Timur

(b)

(d)

(c)


(40)

28

Gambar 17. Waveform Stasiun 1 pada jarak 0

10 km.


(41)

Gambar 19. Waveform Stasiun 1 pada jarak 50

100 km.


(42)

30

4.2.

Analisis IMP

Sea Surface Height

(SSH)

Retracking

dan

Non Retracking

Hasil waveform retracking pada kategori jarak dari pinggir pantai 0

10

km, 10

50 km, 50

100 km, dan 100

200 km setiap stasiun berturut-turut

ditunjukan pada Tabel 7, 8, 9 dan 10. Berdasarkan keempat tabel tersebut metode

retracking yang bekerja paling optimal menggunakan threshold level sebesar 20%

dan 30% seperti, metode ice, threshold 20%, improved threshold 20% dan

improved threshold 30% pada jarak 0

200 km dari pinggir pantai.

Metode-metode ini memiliki nilai presentase IMP tertinggi dan STD terendah

dibandingkan antara metode waveform retracking lain dengan metode waveform

tanpa retracking.

Hasil pengamatan performa metode waveform retracking pada kategori

jarak 0

10 km sesuai dengan pendapat Davis (1997). Namun ditemukan hasil

yang berbeda pada kategori jarak 10

200 km. Menurut Davis (1997),

penggunaan threshold level 20% dan 30% dilakukan pada proses retracking di

wilayah pantai (0

10 km dari garis pantai) sedangkan untuk jarak lebih dari 10

km, metode threshold dan improved threshold waveform retracking menggunakan

threshold level 50 %. Pada penelitian waveform retracking Satelit Jason 2 di

Perairan California, threshold level 50% dan metode ocean tidak bekerja dengan

optimal (Lee et al., 2010). Metode threshold 50% tidak mampu menunjukan

perubahan performa di wilayah laut dalam, sedangkan metode yang menggunakan

threshold level 20% dan 30% bekerja optimal di perairan dalam. Selain itu

menurut Deng dan Featherstone (2005), threshold level 50% tidak selalu bekerja

optimal pada wilayah perairan, khususnya perairan pantai. Penggunaan 6 (enam)

stasiun masih kurang sahih untuk menilai performa metode retracking untuk

keseluruhan wilayah laut di Bumi. Namun jika pengamatan hanya ditujukan pada

suatu wilayah perairan, misalnya perairan Jawa Timur maka hasil pengamatan

performa metode waveform retracking yang diperoleh sesuai dengan kondisi

perairan dan bentuk pantai di wilayah tersebut.

Penggunaan metode threshold dan improved threshold dengan threshold

level 20% dan 30%, sesuai pada kategori jarak 0

10 km di wilayah pantai Jawa

Timur. Hal ini dikarenakan bentuk waveform yang ditemukan pada kategori jarak

ini didominasi oleh bentuk peaky echoes

dan ‘

peaky + noise

’ echoes

. Menurut


(43)

Hwang et al. (2006), metode threshold dapat bekerja optimal jika waveform

mengandung satu slope sedangkan untuk waveform dengan lebih dari satu slope

akan lebih baik menggunakan metode improved threshold. Bentuk waveform

yang mengandung satu slope atau lebih akan ditemukan di wilayah perairan

pantai, seperti ditunjukan oleh peak echoes dan

‘peaky + noise’

yang ditemukan

pada jarak 0

10 km. Peak echoes memiliki satu slope, sedangkan

‘peaky +

noise’

memiliki lebih dari satu slope. Oleh karena itu metode threshold dan

improved threshold akan bekerja optimal pada jarak 0

10 km.

Metode ocean menghasilkan performa tinggi pada Stasiun 1, Stasiun 3 dan

Stasiun 5. Namun metode ocean tidak sukses melakukan retracking di wilayah

dekat dengan daratan. Nilai presentase success rate metode ocean pada

masing-masing stasiun, yaitu sebesar 50% (Stasiun 1), 52.77% (Stasiun 3) dan 83.78%

(Stasiun 5). Sebaliknya metode lain memiliki nilai presentase success rate

sebesar 100%. Menurut Lee et al. (2010), bentuk waveform non ocean like tidak

mampu mengikuti model ocean sehingga beberapa nilai pengukuran hilang ketika

mendekati daratan. Nilai SSH ocean hilang di wilayah dekat pantai pada jarak 0

10 km di Stasiun 3 (Gambar 21). Data SSH yang hilang ini menyebabkan

penurunan success rate metode ocean dalam proses waveform retracking.

Gambar 21. Visualisasi SSH metode waveform retracking, non retracking dan

geoid Stasiun 3 kategori jarak 0

10 km


(44)

32

Tabel 7. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 0

10 km

Metode

Waveform

Retracking

Stasiun

1

2

3

4

5

6

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP

(%)

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

Raw

1.5498

-

2.6027 -

6.7119

-

0.6174 -

6.6684 -

0.1782 -

Ocean

0.1183

92.3539

* 2.8005 -20.7274

0.8146

87.8823

** 0.1278 80.9596 0.2008

97.0291

***

0.7421 4.9977

OCOG

1.5135

2.3300

2.8573 -9.7817

1.7508

73.9152

0.3159 52.9467 1.1473 82.7955

1.8704 -160.4156

Ice

0.2142

86.1849

1.4157 45.6069

1.0361

84.5634

0.0733 89.0786 0.8925 86.6156

0.6162

14.2008

Threshold

20%

0.2618 83.1103 0.7033

72.9782

1.1130

83.4172

0.1368 79.6233 1.7939 73.0982

1.9943 -177.6744

Threshold

50%

0.2712 82.4983 1.9520 24.9989

1.0044

85.0361

0.0856 87.2545 0.8968 86.5515

0.6667 7.1683

Improved

Threshold

20%

0.2142

86.1849

0.8874 65.9051

0.9830

83.3572

0.0650

90.3219

0.8707

86.9435

2.2999 -220.2174

Improved

Threshold

30%

0.2753 82.2355 1.4772 44.3936

0.9695

85.5550

0.0744 88.9222 0.8972 86.5455

0.6443 10.2902

Improved

Threshold

50%

0.3491 77.4715 2.1106 18.9082

00.9865 85.3019

0.0964 85.6452 0.9162 86.2606

0.6987 2.7218

Keterangan :

*

success rate

50%

**

success rate

52.77%

***

success rate

83.78%

IMP =

Improvement Percentage

STD = Standar Deviasi


(45)

33

Tabel 8. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 10

50 km

Metode

Waveform

Retracking

Stasiun

1

2

3

4

5

6

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP

(%)

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

Raw

0.9275 -

0.1074 -

0.1621 -

0.3447 -

0.5430 -

0.3124 -

Ocean

0.0604 93.5055

0.0701 34.0709

0.0672 58.5634

0.0880 74.4713

0.0818 84.9398

0.0804 74.2645

OCOG

0.1669 82.0054

0.1702 -58.4787

0.1848 -14.0207

0.2448 28.9728

0.0674 87.5861

0.2802 10.3062

Ice

0.0521 94.3895

0.0655 39.0177

0.0578 64.3731

0.0605 82.4345

0.0674 87.5861

0.0624

80.0414

Threshold

20%

0.0492

94.6916

0.0640

40.4539

0.0644 60.3043

0.0554 83.9373

0.0521

90.4041

0.0687 78.0010

Threshold

50%

0.0582 93.7274

0.0664 38.1490

0.0608 62.4913

0.0768 77.7065

0.0805 85.1718

0.0821 73.7087

Improved

Threshold

20%

0.0494 94.6701

0.0642 40.2527

0.0614 62.1448

0.0568

83.5367

0.0603 88.8949

0.0710 77.2702

Improved

Threshold

30%

0.0526 94.3326

0.0656 38.9686

0.0565

65.1525

0.0630 81.7361

0.0723 86.6794

0.0700 77.5892

Improved

Threshold

50%

0.0597 93.5656

0.0672 37.4854

0.0628 61.2708

0.0812 76.4580

0.0846 84.4141

0.0880 71.8363

Keterangan :

IMP =

Improvement Percentage

STD = Standar Deviasi


(46)

34

Tabel 9. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 50

100 km

Metode

Waveform

Retracking

Stasiun

1

2

4

5

6

STD (m)

IMP (%)

STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%)

Raw

0.0774

-

0.0822

-

0.1594

-

0.0969

-

0.1551

-

Ocean

0.0635

18.5097

0.0625

23.9330

0.0938

41.1438

0.0790

18.3969

0.0809

47.8243

OCOG

0.1790

-130.2728 0.1603

-95.0413 0.2142

-34.3814 0.1918

-98.0681 0.1800

-16.0694

Ice

0.0566

28.0873

0.0589

28.3337

0.0729

54.2593

0.0638

34.1311

0.0646

58.3608

Threshold

20%

0.0664

18.1394

0.0592

28.0084

0.0700

56.0973

0.0591

38.9983

0.0668

56.9066

Threshold

50%

0.0501

36.0558

0.0538

34.5108

0.0855

46.3530

0.0816

15.7865

0.0862

44.4334

Improved

Threshold

20%

0.0644

18.1394

0.0595

27.6157

0.0714

55.2168

0.0627

35.2240

0.0678

56.2586

Improved

Threshold

30%

0.0523

33.5395

0.0545

33.7573

0.0745

53.2647

0.0745

23.0931

0.0726

53.1571

Improved

Threshold

50%

0.0514

34.3243

0.0558

32.1255

0.0906

43.1836

0.0853

11.9311

0.0901

41.8870

Keterangan :

IMP =

Improvement Percentage

STD = Standar Deviasi


(47)

35

Tabel 10. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 100

200 km

Metode

Waveform

Retracking

Stasiun

1

2

3

4

5

6

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

STD

(m)

IMP (%)

Raw

0.1309

-

0.0936

-

0.0836 -

0.1860 -

0.1070 -

0.1435 -

Ocean

0.0667 49.0219 0.0604

35.4043

0.0632 24.4242

0.1168 37.2154

0.0778 27.2811

0.0807 43.7895

OCOG

0.1756 -33.9964 0.1699

-81.5933 0.1749 -109.2168 0.1948 -4.7420

0.1712 -60.0754 0.1965 -36.8912

Ice

0.0535 59.0490 0.0513

45.1650

0.0551 34.1025

0.1075 42.2332

0.0707 33.9107

0.0743 48.2206

Threshold

20%

0.0578 55.8466 0.0565

39.5896

0.0501

40.0648

0.1012

45.6105

0.0650

39.2739

0.0646

54.9740

Threshold

50%

0.0560 57.1440 0.0472

49.5373

2.0064 35.8743

0.1150 38.1927

0.0844 21.1015

0.0833 41.9631

Improved

Threshold

20%

0.5559 57.2727 0.5610

40.0197

0.0628 37.8547

0.1036 44.3068

0.0662 38.1236

0.0720 49.8220

Improved

Threshold

30%

0.0516

60.5042

0.04083 48.3896

0.0540 35.4217

0.1104

40.6584

0.0771 27.9164

0.0794 44.6861

Improved

Threshold

50%

0.0586 55.1756 0.0496

46.9889

0.0555 33.5868

0.1175 36.8066

0.0875 18.2333

0.0906 36.8708

Keterangan :

IMP =

Improvement Percentage

STD = Standar Deviasi


(48)

36

Metode waveform retracking mampu bekerja dengan baik di perairan bagian

utara dan selatan Jawa Timur berdasarkan nilai STD metode waveform retracking

yang lebih kecil terhadap STD metode waveform tanpa retracking (Raw). Hal ini

dibuktikan dengan grafik SSH untuk jarak 0

10 km (Gambar 22), 10

50 km

(Gambar 23), 50

100 km (Gambar 24), dan 100

200 km (Gambar 25) di

Stasiun 1. Nilai SSH dari metode waveform retracking tidak mengalami

perubahan drastis ketika mendekati wilayah pantai dibandingkan dengan SSH

metode waveform tanpa retracking. SSH metode waveform tanpa retracking

(ditunjukan sebagai SSH Raw) mengalami perubahan drastis ketika mendekati

wilayah pantai akibat pengaruh daratan yang mengganggu pengukuran nilai

range.

Gambar 22. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan

geoid Stasiun 1 kategori jarak 0

10 km


(49)

Gambar 23. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan

geoid Stasiun 1 kategori jarak 10

50 km

Gambar 24. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan

geoid Stasiun 1 kategori jarak 50

100 km


(1)

Lampiran 9. Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold (lanjutan) d1=0; d1i=0; for i=1:N-1 d1=d1+(p(i+1)-p(i))^2; d1i=d1i+(p(i+1)-p(i)); end

S1 = sqrt( ((N-1)*d1 - d1i^2)/((N-1)*(N-2))); end

function dt = retracker_subwaveform(t,p,th_value)

% Nilai threshold value(th_value) (berdasarkan Davis(1997)): % 50%(A-pn) untuk surface scattering waveform

% 10-20%(A-pn)

N = length(t);

% menghitung Amplitude

A = sqrt( (sum(p(1:N).^4)) / (sum(p(1:N).^2)) );

% Thermal noise pn = 1/5*sum(p(1:5));

% Threshold Level Tl = pn + th_value*(A-pn);

% mencari power of retracked gate

k = min(find(p>=Tl)); %--> nomor gate yang pertama kali melewati threshold if k ==1

k = k+1; % buat kasus mahiwal end

gk = k; gk_1 = k-1;

tLEP = (t(1)-1)+gk_1 + ((Tl - p(k-1))/(p(k)-p(k-1))); %power dari retracked gate dt = (tLEP - 32.5) * 0.468425715625;


(2)

(3)

Lampiran 10. Penomoran jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat (lanjutan...)


(4)

Lampiran 11. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit

Misi Tahun/Instansi Tujuan

Skylab 1973/NASA Pembuktian pertama kali

konsep pengukuran altimetri dari satelit

GEOS-2 1975-1978/NASA Mengumpulkan data untuk meningkatkan kualitas parameter geodetik dan geofisik yang diperoleh

sebelumnya

Seasat 1978/NASA Didesain untuk memberikan

data ukuran dari tinggi gelombang, topografi lautan

global, dan geoid lautan. Geosat 1985-1989/US Navy Satelit oseanografik militer

yang didesain untuk pemetaan presisi dan detail dari geoid di

wilayah lautan

ERS-1 1991-1995/ESA Didesain untuk analisa muka laut rata-rata dan geoid lautan TOPEX/POSEIDON 1992-2006/NASA dan

CNES Eksperimen topografi lautan untuk mengukur dan memetakan muka laut pada

dua frekuensi 5.3 dan 13.6 GHz, untuk meningkatkan pengetahuan tentang sirkulasi

lautan berskala luas dan mengamati kejadian El-nino

pada tahun 1997-1998 Geosat Follow on 1998-2008/ US Navy Untuk memberikan data

topografi laut secara kontinu kepada Angkatan Laut Amerika dan pengguna komersial NOAA untuk

berbagai keperluan Jason-1 2001-sekarang/NASA

dan CNES mengenai topografi laut, Memperluas informasi memahami arus global, dan mengubah peramalan kejadian

cuaca

Envisat 2002-sekarang Mengamati perubahan

lingkungan dan perubahan cuaca

Jason-2 2008-sekarang/NASA


(5)

Lampiran 11. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit (lanjutan..)

Misi Tahun/Instansi Tujuan

Cryosat 2009-sekarang/ESA Memperolah pengukuran akurat terhadap ketebalan laut es sehingga dapat dideteksi secara

tahunan dan melakukan survei permukaan lembaran es dengan akurasi yang cukup untuk dapat

mendeteksi perubahan kecil SARAL 2009-sekarang/ISRO

dan CNES laut, kecepatan angin permukaan, Mengukur topografi permukaan tinggi gelombang permukaan, berkontribusi terhadap sistem ARGOS secara kontinu untuk menyimpan dan distribusi data

lingkungan

HY-2 2010-??/Cina Memonitor dinamika lingkungan laut untuk mendeteksi kecepatan

angin permukaan, tinggi permukaan laut, dan suhu

permukaan laut

Sentinel 3 2012-sekarang/ESA Mengukur topografi permukaan laut, mengukur suhu permukaan laut dan daratan, mendukung peramalan sistem kelautan, dan

memonitor lingkungan iklim Lampiran 12. Perencanaan satelit-satelit di bidang Altimetri dimulai dari tahun


(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1990 dari ayah I Made Suma dan ibu Ni Wayan Numasi Nuryanti. Penulis adalah putra kedua dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bandar Lampung pada Tahun 2008. Pada tahun tersebut penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum

Oseanografi Umum pada tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012. Penulis terpilih menjadi Koordinator Asisten Praktikum Oseanografi Umum pada Tahun 2011. Penulis pernah berpartisipasi pada penelitian Tinggi Muka Laut Se-Asia Tenggara beserta Workshop dan Training RESELECASEA yang diadakan insitusi Badan Informasi Geospasial (BIG) selama bulan Juni 2012 sampai bulan November 2012. Penulis bersama dengan team membuat paper berjudul “An Initial Retracking of Satelit Altimetry in Indonesia Coastal Water” dan disajikan pada Workshop RESELECASEA. Penulis juga aktif sebagai anggota Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) IPB selama tahun 2008-2011. Pada tahun 2010, penulis terpilih menjadi ketua KMHD IPB periode 2010-2011. Peneliti juga mendapatkan beasiswa Bank Indonesia selama tahun 2011 dan 2012.