14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyeleksi bakteri proteolitik terbaik sebagai starter proteolitik dalam fermentasi. Tahapan penelitian pendahuluan terdiri atas beberapa parameter yang
diamati yaitu zona bening, kurva tumbuh, aktivitas enzim,total plate count TPC, kadar protein dan aktivitas spesifik yang diperoleh dari hasil pembagian kadar protein dengan aktivitas enzimnya.
Parameter yang dijadikan dasar untuk penetapan bakteri terpilih adalah nilai aktivitas enzim tertinggi.
4.1.1 Seleksi Bakteri Proteolitik
Isolat bakteri protease diperoleh dari isolasi biji kopi hasil fermentasi yang ada pada feses luwak dan diperoleh dua isolat dengan kode FLp1 dan FLp2. Isolat bakteri yang ditumbuhkan pada
mediaNA dengan susu skim membutuhkan waktu tumbuh sekitar 24 jam. Menurut Fardiaz 1992, kemampuan tumbuh mikroorganisme bergantung pada kondisi pH, suhu, waktu inkubasi, dan
konsentrasi substrat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengamatan visual berdasarkan difusi zona bening halo yang terbentuk di sekitar koloni yang mengandung susu skim
1 Gambar 4. Penambahan susu skim 1 ke dalam media NA berfungsi untuk menginduksi sel bakteri dalam
mensintesis protease. Menurut Suhartono 1989, beberapa senyawa karbon sumber energi menimbulkan pengaruh induktif bagi sintesis enzim-enzim tertentu, dan biasanya substrat bagi enzim
berfungsi sebagai senyawa induksi.
Gambar 4. Pembentukan zona bening di sekitar koloni bakteri a FLp1 dan b FLp2 pada media NA dengan susu skim diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam
Pembentukan zona bening di sekitar koloni menunjukkan adanya degradasi senyawa protein oleh enzim-enzim ekstraseluler proteolitik yang dihasilkan bakteri. Menurut Suhartono 1991,
untuk beberapa produk ekstraseluler, dapat dihubungkan tingkat produktivitas galur dengan ukuran radius daerah difusi produk yang dikeluarkan dari koloni mikroba yang ditumbuhkan pada media
padat. Media yang digunakan mengandung senyawa “inducer” bagi produk yang diinginkan dan bebas dari senyawa-senyawa yang mungkin mengganggu sintesis enzim yang bersangkutan.
Tujuan penumbuhan pada media dengan penambahan susu skim ini adalah untuk menguji kemampuan isolat FLp1 dan FLp2 dalam menghasilkan enzim protease. Zona bening yang terbentuk
a b
15
setelah masa inkubasi bakteri selama 24 jam menunjukkan bahwa protein pada susu telah dipecah oleh protease yang dihasilkan dari bakteri hasil isolasi menjadi asam amino. Diameter zona bening terbesar
dari kedua bakteri proteolitik tersebut dihasilkan oleh isolat FLp1 sedangkan pada isolat FLp2 zona bening yang dihasilkan sangat kecil. Kedua isolat memiliki ciri dan warna yang berbeda, isolat FLp1
berwarna putih susu dan berbentuk bundar sedangkan isolat FLp2 berwarna kuning mentega dengan tepian yang bercabang. Perbedaan tersebut dapat disebabkan perbedaan fisiologi dari kedua isolat
tersebut. Pertumbuhan isolat FLp1 dan FLp2 pada media cair skim diamati melalui pengukuran
kekeruhan Optical Density menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Menurut Fardiaz 1987, pertumbuhan mikroba terdiri atas empat fase yakni fase awal fase lag, fase
eksponensial, fase stasioner dan fase penurunan kematian. Fase awal merupakan tahapan awal dalam pertumbuhan mikroorganisme, pada fase ini belum terjadinya perbanyakan sel namun hanya terjadi
peningkatan massa sel. Tahap ini seringkali disebut fase adaptasi mikroorganisme terhadap media yang digunakan. Pada fase eksponensial pertumbuhan terjadi secara optimal, yaitu terjadi
perbanyakan sel karena mikroorganisme mulai banyak mengkonsumsi media yang digunakan. Jumlah mikroorganisme yang hidup dan mati akan seimbang pada fase stasioner. Hal ini dikarenakan pada
fase ini sumber nutrien di dalam media mulai berkurang sehingga pertumbuhan akan berkurang. Fase kematian merupakan fase terakhir dalam pertumbuhan mikroorganisme. Pada fase ini terjadi
penurunan jumlah mikroorganisme dimana sebagian mikroorganisme mati karena sumber nutrien di dalam media sudah habis dikonsumsi pada fase sebelumnya.
Gambar 5. Kurva tumbuh bakteri proteolitik pada media nutrient brothskim diinkubasi dengan suhu 30
C selama 54 jam Pertumbuhan bakteri proteolitik pada media cair dapat dilihat dari perubahan warna media
yang menjadi keruh.Gambar 5 menunjukkan bahwa fase awal dimulai sejak jam ke-0 kemudian pada jam ke-12terjadi fase eksponensial dimana laju pertumbuhan mengalami peningkatan dengan OD
sebesar 0.423 pada isolat FLp1 dan pada isolat FLp2 dengan OD sebesar 0.382. Pada fase eksponensial ini akan digunakan sebagai waktu panen selstarter untuk proses fermentasi karena
diharapkan fase adaptasi hanya terjadi sebentar atau tidak ada sama sekali. Pada fase eksponensial terjadi pertambahan sel maksimal, dimana nutrien masih dapat mendukung pertumbuhan bakteri
1 1.5
2 2.5
3 3.5
4 4.5
5 5.5
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7 0.8
6 12
18 24
30 36
42 48
54 Kurva tumbuh FLp1
Kurva tumbuh FLp2 Log sel FLp1
Log sel FLp2
OD L
og [ju
m lah
s e
l]
Waktu Jam
16
sampai fase stasioner. Pada akhir fase ini kandungan nutrien berkurang yang menandakan proses metabolisme menurun.Fase stasioner terjadi setelah fase eksponensial tersebut dan selanjutnya diikuti
oleh fase kematian yang terjadi pada jam ke-48. Pengukuran pertumbuhan populasi dapat diamati dari meningkatnya jumlah sel hidup atau
massa sel berat kering sel. Jumlah sel hidup dapat ditetapkan dengan metode Total Plate Count TPC yaitu dengan cara menyebar pada media padat sehingga satu sel hidup akan tumbuh
membentuk satu koloni, jumlah koloni dianggap setara dengan jumlah sel. Pertumbuhan sel pada isolat FLp1 dan isolat FLp2 yang diamati melalui jumlah sel total selama masa kultivasi mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Pada akhir waktu inkubasi, jumlah sel semakin sedikit yang dapat diakibatkan oleh terbatasnya nutrisi dalam media tumbuhnya. Berdasarkan
data tersebut dapat diketahui bahwa µ tertinggi pada isolat FLp2 diperoleh pada jam ke-36 dan isolat FLp1 pada jam ke-42.
Pemilihan isolat yang menghasilkan enzim protease terbaik tidak hanya dilakukan berdasarkan zona bening yang dihasilkan, tetapi juga ditentukan berdasarkan aktivitas enzim yang
dihasilkan setelah bakteri ditumbuhkan pada media cair yang mengandung susu skim 1. Aktivitas enzim yang dihasilkan pada kedua isolat disajikan pada Gambar 5.
Gambar 6. Kurva aktivitas enzim bakteri proteolitik pada media nutrient broth skim diinkubasi dengan suhu 30
C selama 54 jam Aktivitas enzim yang diperoleh pada kedua isolat tersebut memiliki perbedaan. Isolat yang
ditumbuhkan pada media cair susu skim memiliki waktu produksi tertinggi yang berbeda. Perbedaan waktu optimum pada aktivitas enzim Gambar 6 tersebut menunjukkan bahwa terdapat keberagaman
fisiologi diantara keduanya dalam memanfaatkan sumber protein. Aktivitas enzim pada isolat FLp1 tertinggi dicapai pada jam ke-24 dengan aktivitas sebesar 1.4 unitml, sedangkan aktivitas enzim pada
isolat FLp2 tertinggi dicapai pada waktu inkubasi jam ke-18 dengan aktivitas sebesar 0.5 unitml. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri FLp1 dapat bekerja secara optimal hingga waktu inkubasi jam ke-24
dan jam ke-18 untuk FLp2 karena sampai saat itu aktivitas enzim tersebut berada pada puncaknya. Jika dihubungkan dengan fase pertumbuhan gambar 5, maka aktivitas tertinggi tersebut terdapat
pada fase eksponensial. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ward 1983, bahwa pembentukan enzim protease mulai mengalami peningkatan selama memasuki fase eksponensial,
0.00 0.20
0.40 0.60
0.80 1.00
1.20 1.40
1.60
6 12
18 24
30 36
42 48
54 FLp1
FLp2
A k
ti v
itas en
zim u
n it
m l
Waktu Jam
17
kemudian meningkat dengan cepat ketika memasuki fase stasioner. Dalam keadaan normal sintesis enzim ekstraseluler maksimum terjadi sebelum fase stasioner atau pada akhir fase eksponensial
menjelang fase stasioner Schaefer 1969. Menurut Suhartono 1988, pada umumnya setelah fase stasioner akan terjadi penurunan
aktivitas enzim. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya hasil-hasil metabolisme yang dapat menghambat aktivitas enzim. Di samping itu, penurunan aktivitas enzim berkaitan dengan kegiatan
saling menghidrolisis di antara protease pada saat substrat sudah mulai berkurang karena protease juga merupakan suatu protein.Namun, kedua isolat tersebut memiliki puncak aktivitas enzim lebih dari
satu. Adanya aktivitas enzim yang mengalami lebih dari satu puncak tersebut dapat disebabkan oleh adanya isoenzim yang merupakan protein berbeda yang dapat mengkatalisis reaksi yang sama yang
menghambat kerja aktivitas enzim Madigan dan Martinko 2006. Isolat FLp1 akan digunakan sebagai starter untuk mendegradasi substrat kulit kopi pada proses fermentasi padat karena memiliki aktivitas
lebih tinggi dibandingkan dengan isolat FLp2.
Gambar 7. Kurva kadar protein dan aktivitas enzim spesifik bakteri proteolitik pada media nutrient broth skim diinkubasi dengan suhu 30
Kadar protein diperoleh dengan menggunakan metoda Bradford 1976 yaitu ditentukan dengan menggunakan Bovine Serum Albumin BSA sebagai standar, dan pengukurannya dilakukan
dengan mengambil cairan supernatan atau enzim ekstrak kasar. Kadar protein terlarut hasil isolat FLp1 berkisar antara 0.121-0.139 mgml, sedangkan pada isolat FLp2 berkisar antara 0.083-0.098
mgml Gambar 7. Kadar protein yang diperoleh pada isolat FLp1 lebih besar jika dibandingkan dengan isolat FLp2.
C selama 54 jam
Berdasarkan data hasil perhitungan aktivitas enzim dan kadar protein terlarut pada kedua isolat tersebut, maka dapat ditentukan aktivitas spesifik enzim protease. Aktivitas spesifik merupakan
perbandingan antara nilai aktivitas enzim yang diperoleh dengan nilai kadar protein dalam satuan unitmg. Nilai aktivitas spesifik hasil isolat FLp1 tertinggi dicapai pada waktu inkubasi jam ke-24
dengan aktivitas sebesar 10.817 unitmg, sedangkan pada isolat FLp2 dicapai pada waktu inkubasi jam ke-18 dengan aktivitas sebesar 5.436 unitmg. Peningkatan nilai aktivitas spesifik yang diperoleh
sesuai dengan peningkatan aktivitas enzim protease. 0.00
2.00 4.00
6.00 8.00
10.00 12.00
0.00 0.03
0.06 0.09
0.12 0.15
6 12
18 24
30 36
42 48
54
Kadar Protein FLp1 Kadar Protein FLp2
Aktivitas spesifik FLp1 Aktivitas spesifik FLp2
K ad
ar P
r o
te in
m g
m l
A k
ti v
itas S
p e
si fi
k u
n it
m g
Waktu Jam
18
4.1.2 Karakterisasi Biji dan Kulit Kopi
Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisa proksimat untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang akan digunakan, yaitu kulit kopi dan biji kopi. Kulit kopi merupakan limbah pada
pengolahan buah kopi. Limbah tersebut belum banyak dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan yang bernilai lebih tinggi. Bahan baku kopi merupakan bahan dengan karakteristik
tertentu seperti kadar air, abu, protein, lemak dan serat kasar.Hasil analisa proksimat biji dan kulit kopi disajikan dalam Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Hasil analisa kimia biji dan kulit kopi
Komponen Kulit Kopi bk
Biji Kopi bk
Air 18.83
31.54 Abu
6.12 2.44
Protein Kasar 9.55
10.34 Lemak Kasar
1.50 6.88
Serat kasar Karbohidratby difference
12.78 64
22.67 48,8
Kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap mutu dan daya simpan bahan. Kulit kopi mempunyai kadar air sebesar 18.83 sehingga diperlukan proses pengeringan untuk dapat
disimpan dalam waktu yang lama, sedangkan pada biji kopi lebih tinggi yaitu sebesar 31.54. Oleh karena itu, untuk keperluan pengawetan bahan penelitian, maka dilakukan usaha pengeringan bahan
baku. Proses pengeringan tersebut dilakukan dengan pengeringan panas matahari. Selama 24 jam kulit kopi dikeringkan dengan panas matahari untuk dapat menurunkan kadar air hingga sekitar 14.
Pengeringan dilakukan dengan membuka dengan lebar bagian kulit kopi tersebut agar semua bagian dapat kering secara merata. Kondisi bahan yang telah kering, dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama. Kulit kopi yang telah kering dihaluskan dengan blender kemudian diayak dengan ukuran 40 mesh, sehingga diperoleh ukuran kulit kopi dengan partikel yang halus. Hal ini akan
memudahkan dalam proses penyimpanan bahan baku sekaligus mencegah tumbuhnya mikroba jenis tertentu sebelum kulit kopi dimanfaatkan untuk proses penelitian selanjutnya. Namun untuk keperluan
produksi skala industri, metode pengeringan dengan panas matahari tidak cocok dikarenakan akan kebutuhan luas lahan dan kondisi cuaca yang tidak menentu. Selain itu pengaruh mikroba di sekitar
bahan yang dapat merusak kondisi bahan.
4.2 PENELITIAN UTAMA