Fermentasi Kopi Menggunakan Bakteri Xilanolitik dari Luwak

(1)

COFFEE FERMENTATION USING XYLANOLYTIC BACTERIA

FROM CIVET

Pandudamai Insani Taufiq, Erliza Noor, and Anja Meryandini

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone: 62 856 92624708, e-mail: pandudamai@gmail.com

ABSTRACT

Civet coffee is a coffee produced by civet and come out with feces. One of the predominant microorganisms involved for civet fermentation is xylanolitic bacteria. This study was aimed to select the best xylanolitic bacteria and use it in the fermentation. The xylanolitic bacteria has been tested and identified as Agrobacterium tumifaciens and Stenotrophomonas sp. However, these experiments use only Agrobacterium tumifaciens because it has higher enzyme activity than Stenotrophomonas sp.

The fermentation was held at 30, 40, and 50oC for five days. The enzyme activity, shrinkage weights,

levels of carbohydrate and protein content were tested daily. The second and third day of fermentation

at 30 and 40oC showed a relative higher decrease of shrinkage weight and carbohydrate content. It

suggests a good fermentation conditions for civet coffee production. The organic acid in the coffee were analyzed by HPLC (High Performance Liquid Chromatographic). The oxalic acid, lactic acid, ascorbic acid and caffeine content of the experiment were lower whereas the butyric acid was higher than the civet coffee. The experiment fermentation gave a better quality coffee product than civet coffee.


(2)

PANDUDAMAI INSANI TAUFIQ. F34070124. Fermentasi Kopi menggunakan Bakteri Xilanolitik dari Luwak. Di bawah bimbingan Erliza Noor dan Anja Meryandini. 2013.

RINGKASAN

Kopi luwak merupakan kopi yang diperoleh melalui hasil fermentasi didalam tubuh luwak dan dikeluarkannya saat luwak melakukan sekresi. Hewan ini hanya akan memakan buah kopi terbaik yang sudah masak optimal. Kulit kopi yang masuk kedalam tubuh luwak akan terdegradasi sedangkan biji kopi tidak ikut tercerna. Kulit kopi mengandung hemiselulosa dengan komponen utama berupa xilan. Biji kopi dikeluarkan bersama-sama kotoran luwak dalam keadaan masih utuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bakteri xilanolitik terbaik dari feses luwak dan mendapatkan kopi buatan terbaik hasil fermentasi menggunakan bakteri tersebut.

Pengambilan sampel berupa biji kopi luwak dari feses segar dilakukan di perkebunan kopi Pangalengan, Bandung. Setelah melewati proses isolasi, diperoleh sepuluh isolat bakteri yang dapat tumbuh di media xilan dan hanya empat isolat yang mampu menghasilkan zona bening. Berdasarkan pertumbuhannya, keempat isolat bakteri ini diukur Indeks Potensial (IP)-nya dan hanya dua isolat yang dapat menghasilkan zona bening terbaik, yaitu isolat FLx3 dan FLx5 dengan IP secara berurutan adalah sebesar 0,455 dan 1,375.

Pada pengujian pertumbuhan bakteri pada media xilan, waktu fase eksponensial isolat FLx3 tercapai pada jam ke-12 hingga jam ke-48, yaitu nilai OD yang terbaca sebesar 0,195 hingga 0,286. Sementara itu, isolat FLx5 telah mencapai fase eksponensial pada jam ke-60 dan mengalami peningkatan signifikan pada jam ke-72 dengan nilai OD terbaca sebesar 0,702 hingga jam ke-96 sebesar 0,895. Fase eksponensial merupakan fase pembiakan bakteri yang berlangsung paling cepat. Aktivitas enzim xilanase isolat FLx3 dari jam ke-0 hingga jam ke-84 relatif rendah dan mulai mengalami peningkatan pada jam ke-96 sebesar 0,091 nKat/ml. Berbeda halnya dengan aktivitas enzim isolat FLx5 yang menunjukkan hubungan positif dengan pola pertumbuhan bakteri, dimana aktivitas enzim mengalami peningkatan pada jam ke-60 dan mengalami peningkatan signifikan pada jam ke-72 (0,294 nKat/ml). Peningkatan aktivitas enzim berhubungan dengan pola pertumbuhan sel, dimana laju pertumbuhan sel akan maksimum ketika waktu fase eksponensial telah tercapai.

Pada pengujian kadar protein, isolat FLx3 mengalami penurunan setelah jam ke-48 hingga jam ke-84, sebesar 0,123 mg/ml hingga 0,088 mg/ml. Kemudian, kadar protein isolat FLx5 relatif rendah dari jam ke-0 hingga jam ke-72 dan setelah itu mengalami peningkatan pada jam ke-84 hingga jam ke-120 sebesar 0,079 mg/ml hingga 0,271 mg/ml. Aktivitas spesifik isolat dapat ditentukan dengan membagi nilai aktivitas enzim dengan nilai kadar protein isolat. Hasil nilai aktivitas spesifik isolat FLx3 relatif semakin menurun dari jam ke-0 sebesar 0,968 nKat/mg protein hingga jam ke-120 sebesar 0,176 nKat/mg protein. Sementara itu, isolat FLx5 menunjukkan pola aktivitas enzim yang semakin meningkat mulai jam ke-0 (0,158 nKat/mg protein) hingga jam ke-72 (3,085 nKat/mg protein). Berdasarkan nilai aktivitas spesifik kedua isolat, isolat FLx5 memiliki nilai aktivitas spesifik dan aktivitas enzim yang relatif lebih baik dibandingkan isolat FLx3. Dengan demikian, isolat FLx5 dipilih untuk pengujian tahap lanjut berupa tahap fermentasi.

Fermentasi dilakukan pada suhu 30oC, 40oC, dan 50oC selama 5 hari. Perlakuan suhu tersebut tidak dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Pertumbuhan bakteri di ketiga perlakuan suhu tersebut menunjukan waktu eksponensial yang sama, yaitu pada hari kedua. Nilai OD terbesar pada fase eksponensial terdapat pada suhu 40oC sebesar 0,552. Aktivitas enzim xilanase pada semua perlakuan suhu cenderung menurun. Walaupun pola aktivitas enzim relatif sama, namun aktivitas enzim tertinggi berada pada suhu fermentasi 40oC pada hari pertama dengan nilai mencapai 1,571 nKat/ml. Kadar protein bakteri pada suhu fermentasi 30oC mengalami penurunan hingga hari ketiga dengan kadar protein mencapai 0,023 mg/ml. Kadar protein pada suhu 40oC relatif rendah dengan penurunan pada hari ketiga mencapai 0,019 mg/ml sedangkan pada suhu 50oC kadar protein menurun sampai hari


(3)

ketiga mencapai 0,019 mg/ml. Berkurangnya kadar protein dalam medium dikarenakan bakteri membutuhkan protein sebagai salah satu sumber nitrogen organik dalam pertumbuhannya. Aktivitas spesifik tertinggi terdapat pada suhu 40oC.

Pada pengujian susut bobot pada kulit, pada suhu fermentasi 30oC susut bobot terendah terjadi pada hari ke dua dengan penyusutan mencapai 21,554%, sedangkan suhu fermentasi 40oC, penyusutan tertinggi terjadi pada hari ke satu fermentasi sebesar 31, 435%. Pada suhu 50oC, susut bobot mengalami kenaikan sampai hari ketiga dengan penyusutan sebesar 24,797%. Kondisi lingkungan yang berbeda juga membuat perbedaan penyusutan bobot kulit setiap harinya. Pada uji karbohidrat, suhu 30oC mencapai angka tertinggi pada hari ke dua sebesar 22,193%. Pada suhu fermentasi 40oC, angka tertinggi terdapat pada hari ke pertama sebesar 25,536%. Pada suhu fermentasi 50oC, perubahan kadar karbohidrat cenderung menurun. Pada uji protein, terdapat persamaan penurunun kadar protein pada seluruh perlakuan suhu. Pada suhu 30oC mencapai 9,74%, suhu 40oC mencapai 8.95%, dan suhu 50oC mencapai 8,59%. Selanjutnya, dengan berbagai uji selama fermentasi diambil 4 sampel terbaik untuk pengujian asam organik, yaitu biji pada waktu fermentasi dua dan tiga hari dengan suhu 30oC dan 40oC.

Hasil uji keasaman pada biji kopi hasil fermentasi menyampaikan bahwa kadar asam oksalat pada biji cukup rendah sekitar 0,03-0,06%. Angka yang rendah juga ditunjukan pada pengujian vitamin C dengan kadar berkisar antara 6,23-10,29 mg/100 g. Di bandingkan asam oksalat dan vitamin C, kadar asam butirat pada biji hasil fermentasi menunjukan nilai yang cukup tinggi hingga mencapai 0,12%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan biji kopi arabika. Data fermentasi menunjukan kadar asam laktat tertinggi terdapat pada hari ketiga dengan suhu 30oC sebesar 0,61%. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar asam laktat biji kopi arabika. Pada berbagai perlakuan fermentasi, kadar kafein yang dihasilkan tidak jauh berbeda, yaitu sekitar 166,06-199,83 mg/100 g. Sementara itu, kadar kafein biji kopi arabika sebesar 221,96 mg/100 g dan pada biji kopi luwak sebesar 342,74 mg/100 g. Hasil dari uji asam organic menunjukan bahwa fermentasi terbaik adalah fermentasi hari kedua dengan suhu 40oC.


(4)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Kopi merupakan tanaman perkebunan yang sudah lama dibudidayakan. Selain sebagai sumber penghasilan rakyat, kopi menjadi komoditas andalan ekspor dan sumber pendapatan devisa negara. Meski demikian, komoditas kopi sering mengalami fluktuasi harga sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara permintaan dan persediaan komoditas kopi di pasar dunia.

Sebagai produsen, Indonesia dikenal sebagai negara penghasil kopi yang menduduki peringkat 3 (tiga) dunia, setelah Brazil dan Vietnam. Ada tiga jenis kelompok kopi yang dikenal, yaitu kopi arabika, kopi robusta, dan kopi liberika. Kelompok kopi yang dikenal memiliki nilai ekonomis dan diperdagangkan secara komersial adalah kopi arabika dan robusta. Jenis kopi arabika memiliki kualitas dengan cita rasa tinggi dan kadar kafein lebih rendah dibandingkan jenis kopi yang lain. Oleh karena itu, jenis kopi arabika merupakan kopi yang paling banyak di konsumsi (Rahardjo, 2012).

Salah satu kopi Indonesia yang khas dan unik adalah kopi luwak. Hingga saat ini kopi tersebut diproduksi dalam jumlah terbatas dan termasuk kopi termahal didunia. Luwak

(Paradoxorus hermaphrodites) merupakan hewan pemilih dengan indera penciuman yang tajam.

Hewan ini hanya akan memakan buah kopi terbaik yang sudah masak optimal. Biji kopi yang termakan luwak tidak ikut tercerna dalam lambung luwak. Biji kopi dikeluarkan bersama-sama kotoran luwak. Pencernaan luwak begitu sederhana dan singkat, sehingga biji kopi keluar dalam keadaan masih utuh. Secara fisik kopi luwak sebenarnya hampir sama dengan kopi non luwak. Perbedaannya adalah kopi luwak berasal dari buah kopi terbaik, buah kopi yang masak optimal, dan proses fermentasi alami yang berlangsung dalam lambung luwak.

Dengan makin besarnya permintaan akan kopi luwak, maka produsen tidak bisa hanya mengharapkan produksi dari hewan liar, sehingga kini mulai berkembang usaha budidaya luwak guna memproduksi kopi luwak. Teknik ini akan dapat meningkatkan kapasitas produksi dibanding hanya mengharapkan dari feses luwak liar. Budidaya luwak ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain: (1) biaya produksi menjadi mahal, mengingat di luar musim panen kopi, luwak tetap memerlukan biaya pakan dan (2) dapat mengancam kelestarian luwak di alam. Karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk mencari teknologi alternatif yang lebih murah serta efektif dan efisien. Upaya-upaya ini sudah dilakukan oleh beberapa peneliti yang tertarik untuk menganalisa lebih jauh tentang proses produksi kopi luwak. Dengan berbagai variasi metode, para peneliti ini mencoba untuk menghasilkan kopi dengan cita rasa yang setara dengan kopi luwak dengan metode yang efektif, efisien, dan murah.

Penelitian pembuatan kopi luwak secara buatan melalui proses fermentasi pernah dilakukan oleh peneliti dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Melalui proses seleksi dan isolasi bakteri peneliti ini menemukan adanya 32 isolat bakteri dari genus Lactobacillus dan Leuconostoc. Perbandingan nilai mutu biji kopi luwak sebesar 84,50, sedangkan kopi fermentasi ragi multikultur BAL mempunyai nilai 80,50.

Penelitian yang dilakukan modifikasi proses pengolahan kopi luwak adalah dengan membuat kopi luwak probiotik. Mikroba probiotik adalah mikroba yang paling berperan dalam pencernaan makanan yang hidup dalam saluran pencernaan tersebut. Pada binatang buas termasuk bangsa harimau, beruang, anjing dan musang (luwak), ditemukan proses pencernaan oleh mikroba yang intensif berlangsung pada bagian usus halus (intestinum tenue) dan bagian usus buntu (Caecum).


(5)

2 Peneliti menggunakan mikroba probiotik yang hidup di kedua sub organ pencernaan tersebut dan didukung dengan bahan baku (kopi petik merah) yang terseleksi dengan ketat. Setelah dilakukan uji organoleptik pada kopi hasil fermentasi, nilai tertinggi terdapat pada perlakuan dengan waktu fermentasi 12 hari yang dianggap sebagai waktu optimal fermentasi bakteri probiotik.

Fokus penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah pendegradasian komponen hemiselulosa dari kopi luwak oleh bakteri, sedangkan penelitian lain mengkaji tentang pendegradasian selulosa dan protein. Pada fermentasi kopi pada tubuh luwak, terjadi proses degradasi pada kulit kopi sehingga yang keluar dari proses pencernaan luwak hanya bijinya saja. Kulit kopi mengandung lignoselulosa yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hemiselulosa merupakan bagian organik kedua terbanyak setelah selulosa. Komponen utama hemiselulosa adalah xilan yang memiliki ikatan rantai β-1,4 xilosida. Xilanase merupakan kelompok enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis hemiselulosa (xilan atau polimer dari xilosa) dan xilo-oligosakarida (Richana, 2002). Enzim xilanase diperkirakan juga berperan dalam proses fermentasi kopi didalam tubuh luwak.

Fermentasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan biji kopi arabika pilihan dengan bakteri penghasil enzim xilanase hasil isolasi dari feses luwak. Waktu fermentasi biji kopi selama lima hari dengan tiga perlakuan suhu. Analisis kualitas biji kopi fermentasi dibandingkan dengan biji kopi biasa dan biji kopi luwak alami.

B.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu :

1. mendapatkan isolat bakteri xilanolitik terbaik dari feses luwak

2. mendapatkan kualitas kopi luwak buatan terbaik melalui proses fermentasi dengan bakteri xilanolitik terpilih


(6)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

TANAMAN KOPI

Kopi merupakan tanaman perkebunan yang sudah lama dibudidayakan. Konsumsi kopi dunia terbanyak merupakan kopi jenis arabika. Sesuai dengan data yang tertera pada Tabel 1, pada periode 2011/2012 produksi kopi Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai produsen kopi terbanyak, setelah Brazil dan Vietnam dengan produksi sebesar 8.300.000/60 kg kantong.

Tabel 1. Produksi Kopi Dunia (dalam ribuan per 60 Kg kantong)

Sumber : Foreign Agricultural Service, 2012

2007/2008 2008/2009 2009/2010 2010/2011 2011/2012 Jun 2012/2013 NEGARA


(7)

4 Kopi arabika berasal dari Afrika, yaitu dari daerah pegunungan Etiopia. Kopi arabika baru dikenal oleh masyarakat dunia setelah tanaman tersebut dikembangkan di luar daerah asalnya, yaitu Yaman di bagian selatan Jazirah Arab. Melalui para saudagar Arab, minuman tersebut menyebar ke daratan lainnya. Awalnya para saudagar Arab mencoba memakan buah kopi dan merasakan adanya tambahan energi. Dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, buah kopi dimanfaatkan menjadi minuman kopi seperti saat ini. Masyarakat di Arab menyebut minuman yang berasal dari biji kopi tersebut sebagai qahwa yang berarti pencegah rasa kantuk. Oleh karena itu, kopi menjadi minuman para sultan untuk diminum di malam hari sebagai pencagah rasa kantuk di tenda. Kata qahwa

(qahwain) berasal dari Turki, yaitu kahven. Adapun istilah kopi untuk tiap negara berbeda-beda, yaitu

kaffee (Jerman), coffee (Inggris), café (Prancis), koffie (Belanda), dan kopi (Indonesia).

Tanaman kopi termasuk dalam famili Rubiaceae dan terdiri dari banyak jenis antara Coffea

Arabica, Coffea robusta dan Coffea liberica. Tanaman kopi arabika tumbuh baik di daerah dataran

tinggi diatas 1700 meter diatas permukaan laut dan mempunyai suhu yang berkisar antara 10-16oC. Tanaman kopi robusta menghendaki daerah dataran cukup rendah dengan ketinggian sekitar 1000 meter diatas permukaan laut dan mempunyai suhu sekitar 20oC. Tanaman kopi liberika dapat tumbuh di dataran rendah. Untuk dapat tumbuh subur, kopi diperlukan curah hujan sekitar 2.000-3.000 mm tiap tahun serta memerlukan waktu musim kerimg sekurang-kurangnya 1-2 bulan pada waktu berbunga dan waktu pemetikan buah (Rahardjo, 2012)

Tanaman kopi mulai dapat menghasilkan setelah umur 4-5 tahun, tergantung pada pemeliharaan dan iklim setempat. Tanaman kopi dapat memberi hasil tinggi mulai umur 8 tahun dan dapat berbuah baik selama 15-18 tahun. Jika pemeliharaan tanaman kopi baik, akan dapat terus menghasilkan sampai umur 30 tahun (Rahardjo, 2012).

Tanaman kopi jenis robusta umumnya hidup didataran yang lebih rendah dibandingkan jenis arabika yaitu dibawah 1000 meter diatas permukaan laut. Selain kandungan kafein yang lebih tinggi dan aroma yang khas, tanaman kopi jenis robusta juga lebih tahan terhadap hama penyakit. Harga kopi arabika masih lebih tinggi dikarenakan tingkat pemeliharaan tanaman yang lebih sulit dan konon semakin tinggi dataran yang digunakan untuk membudidayakan maka aroma dan rasanya semakin “enak” (fine coffee).

Kopi arabika merupakan tipe kopi tradisional dengan cita rasa terbaik(Anonim, 2010). Secara umum, kopi ini tumbuh di negara-negara beriklim tropis atau subtropis. Tanaman ini dapat tumbuh hingga 3 meter bila kondisi lingkungannya baik. Kopi arabika menguasai sekitar 70% pasar kopi dunia dan telah dibudidayakan di berbagai negara. Ciri-ciri dari tanaman kopi arabika ini yaitu panjang cabang primernya rata-rata mencapai 123 cm, sedangkan ruas cabangnya pendek – pendek. Batangnya berkayu, keras, dan tegak serta berwarna putih keabu-abuan.

Menurut Anggara (2011), keunggulan dari kopi arabika antara lain bijinya berukuran besar, beraroma harum, dan memiliki cita rasa yang baik. Kopi arabika juga memiliki kelemahan, yaitu rentan terhadap penyakit karat daun. Oleh karena itu, sejak muncul kopi robusta yang tahan terhadap penyakit karat daun, dominasi kopi arabika mulai tergantikan. Beberapa ciri khas dari kopi arabika adalah beraroma wangi yang menyerupai aroma perpaduan bunga dan buahnya. Kopi arabika juga mempunyai cita rasa asam yang tidak terdapat pada kopi robusta. Saat diserap di mulut, rasa kopi arabika jauh lebih halus (mild) dibandingkan dengan kopi robusta.


(8)

5

B.

KARAKTERISTIK KOPI

Menurut Panggabean (2011), buah kopi terdiri atas empat bagian, yaitu : lapisan kulit luar buah (eksokarp), lapisan daging buah (mesocarp), lapisan kulit tanduk (endokarp) dan biji (masih dibungkus lagi dengan kulit ari). Adapun penampang buah kopi disajikan pada Gambar 1.

Keterangan :

a. Lapisan kulit luar (eksokarp) b. Lapisan daging buah (mesokarp) c. Lapisan kulit tanduk (endokarp) d. Kulit ari

e. Biji

Gambar 1. Ilustrasi penampang lintang buah kopi (Panggabean, 2011)

Kulit luar terdiri dari satu lapisan yang tipis. Buah yang masih muda bewarna hijau tua kemudian berangsur-angsur berubah menjadi hijau kuning dan akhirnya menjadi merah sampai merah jika sudah matang. Dalam keadaan yang sudah matang, daging buah berlendir yang rasanya agak manis. Keadaan kulit bagian dalam (endokarp) cukup keras dan biasa disebut kulit tanduk. Kulit ari merupakan kulit halus yang menyelimuti masih-masing biji kopi. Bagian dalam yang terakhir dari buah kopi adalah biji kopi (coffee bean) atau kopi beras (Panggabean, 2011).

Buah kopi pada umumnya mengandung 2 butir biji, tetapi kadang-kadang mengandung hanya sebutir saja. Pada kemungkinan yang pertama biji-bijinya mempunyai bidang datar (perut biji) dan bidang cembung (punggung biji). Pada kemungkinan yang kedua biji kopi berbentuk bulat panjang (kopi jantan). Komposisi kimia biji kopi berbeda-beda, tergantung tipe kopi, tanah tempat tumbuh dan cara pengolahan kopi.

Struktur kimia yang terpenting tedapat didalam kopi adalah kafein dan caffeol. Kafein yang menstimuli kerja saraf, caffeol memberikan flavor dan aroma yang baik. Bentuk murni kafein dijumpai sebagai kristal berbentuk tepung putih atau berbentuk seperti benang sutera yang panjang dan kusut. Bentuk kristal benang itu berkelompok akan terlihat seperti bulu domba. Kristal kafein mengikat satu molekul air, dapat larut dalam air mendidih. Pada pelarut organik pengkristalan terjadi tanpa ikatan molekul air. Kafein mencair pada suhu 235-237°C dan akan menyublim pada suhu 1760oC di ruangan terbuka. Kafein mengeluarkan bau yang wangi, mempunyai rasa yang sangat pahit dan mengembang di dalam air. Kafein adalah suatu alkaloid turunan dari methyl xanthyne 1,3,7

trimethyl xanthyne. Kafein adalah basa yang lemah dan dapat memisah dengan penguapan, serta

mudah diuraikan oleh larutan alkali yang panas (Ridwansyah, 2003).

C.

KOPI LUWAK

Kopi luwak dikenal banyak masyarakat di dunia dikarenakan proses produksinya yang unik sehingga kopi luwak kerap disebut sebagai subvarietas yang baru dari kopi (Anggara, 2011).


(9)

6 Keunikannya berasal dari biji buah kopi yang telah dimakan oleh luwak (Paradoxurus

hermaphroditus). Sampai saat ini kopi luwak dikenal sebagai kopi paling dicari dan paling mahal di

dunia. Di Indonesia, kopi luwak diproduksi di Jawa, Sumatera, Bali, dan kepulauan Indonesia lainnya. Di negara lain, kopi luwak diproduksi di Filipina, dengan nama kopi motit di daerah Cordillera dan

kape alamid di daerah Tagalog. Selain di Filipina, kopi luwak diproduksi juga di Timor Leste dengan

nama kafe-laku.

Luwak adalah hewan menyusui (mamalia) yang tergolong suku musang dan garangan (Viverridae). Jenis luwak yang ada di Indonesia tergolong genus (marga) Paradoxorus. Ada empat marga luwak, yaitu Paradoxorus hermaphrodites, Paradoxorus zeylonensis, Paradoxorus jerdoni, dan

Paradoxorus lignicolor. Hewan ini memiliki nama lain, seperti musang (Betawi), careuh (Sunda),

luak atau luwak (Jawa), serta sebutan dalam bahasa Inggris, yaitu common palm civet, common

musang, civet cat, atau toddy cat. Luwak memiliki tubuh sedang dengan panjang total sekitar 90 cm,

termasuk ekornya, dan berwarna abu-abu kecoklatan dengan ekor hitam mulus, seperti terlihat pada Gambar 2. Hewan luwak dapat beranak 2-4 ekor dalam sekali beranak. Induk betina mengasuh anaknya sampai mampu mencari makan sendiri (Rahardjo, 2012).

Luwak merupakan hewan yang aktif pada malam hari (nocturnal) untuk mencari makan dan suka memanjat pohon meskipun terkadang turun ke tanah. Luwak lebih sering makan buah, seperti pisang, papaya, mangga dan melon, selain makan ayam, tikus, kadal, serangga, molusca, cacing tanah, dan hewan kecil lainnya. Saat siang hari luwak tidak aktif dan tidur di lubang-lubang kayu di areal hutan sekunder dan diatas plafon rumah (Rahardjo, 2012).

Gambar 2. Luwak (Paradoxorus hermaphrodites)

Luwak merupakan hewan pemilih dengan indera penciuman yang tajam. Hewan ini hanya akan memakan buah kopi terbaik yang sudah masak optimal.Biji kopi dikeluarkan bersama-sama kotoran luwak setelah mengalami fermentasi sempurna. Proses pencernaan luwak begitu sederhana dan singkat sehingga biji kopi keluar dalam keadaan masih utuh. Secara fisik kopi luwak sebenarnya hampir sama dengan kopi non luwak. Perbedaannya adalah kopi luwak berasal dari buah kopi terbaik, buah kopi yang masak optimal, dan proses fermentasi yang berlangsung didalam tubuh luwak. Hal ini yang menyebabkan kopi luwak memiliki cita rasa yang khas dan unik. Selain cita rasanya, kelangkaan kopi luwak yang menjadikannya salah satu kopi termahal (Rahardjo, 2012).

Kopi luwak dikelompokan menjadi dua macam berdasarkan proses produksinya, yaitu kopi luwak alami (kopi luwak liar) dan kopi luwak budidaya kandang (kopi luwak kandang). Proses produksi kopi alami dapat dilakukan diperkebunan kopi yang berada pada lokasi yang berdekatan dengan atau berbatasan dengan hutan. Populasi luwak di hutan masih cukup banyak. Selain itu, di


(10)

7 hutan masih banyak makanan luwak alternatif yang lebih baik berupa buah-buahan dan hewan yang lain.

Kopi luwak ini diperoleh dengan mencari dan mengumpulkan biji kopi setiap hari dari tempat-tempat yang biasanya digunakan luwak untuk buang kotoran. Tempat buang kotoran luwak umumnya di rerumputan di bawah pohon, di atas kayu kering, maupun onggokan ranting-ranting kering, dan diatas tanah. Tempat tersebut sering ditemukan beberapa gumpalan biji kopi luwak dengan tingkat kesegaran berbeda-beda. Hal ini menunjukan bahwa biji kopi luwak tersebut dikeluarkan dari tubuh luwak yang berbeda.

Salah satu kelemahan dari kopi luwak alami adalah keberlangsungan produksi dan konsistensi mutu fisik serta mutu cita rasa yang dihasilkan. Oleh karena itu, diusahakan produksi kopi luwak dengan sistem kandang. Sistem tersebut merupakan model terbaru yang bertujuan untuk mengatasi dan menghilangkan kesulitan dalam pengumpulan kopi luwak alami. Sistem kandang adalah produksi luwak dengan memelihara satu ekor luwak dalam satu kandang. Pemeliharaan luwak lebih dari satu ekor dalam satu kandang dapat menimbulkan pengaruh saling membunuh (kanibal). Di dalam kandang luwak diberi makan buah kopi yang baik serta segar. Luwak tidak mau makan buah kopi yang tidak segar dan rusak karena sangat berpengaruh terhadap selera makan dan kesehatannya. Oleh karena itu, buah kopi sebagai sebagai pakan luwak harus diganti dengan yang masih baru dan segar setiap harinya. Pemberian kopi yang melebihi porsinya sebenarnya baik karena memberi peluang luwak untuk memilih buah kopi yang sesuai dengan seleranya. Di samping itu, luwak juga diberi pakan berupa potongan ayam atau ikan asin sebagai ransum setidaknya tiga hari sekali (Rahardjo, 2012).

Uji cita rasa kopi luwak kandang menghasilkan cita rasa lebih baik dibandingkan cita rasa kopi luwak alami. Penyebabnya adalah pakan luwak kandang berupa hasil petik kopi merah dapat dikontrol dan selalu segar sehingga tidak terjadi cita rasa bau tanah (earthy) yang biasanya ada pada kopi luwak alami.

D. XILAN

Fengel dan Wagner (1984) menyatakan bahwa hemiselulosa adalah polimer dari monomer gula-gula anhidro yang berdasarkan penyusunnya, hemiselulosa dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu heksosa (glukosa, manosa, dan galaktosa), pentosa (xilosa, arabinosa, arabinofuranosa), asam heksuronat (glukoronat, metilglukoronat, dan galakturonat), dan deoksi heksosa (rhamnosa dan fruktosa). Rantai utama hemiselulosa dapat hanya terdiri dari satu macam monomer saja (homopolimer), misalnya xilan, atau dapat juga terdiri dari dua atau lebih monomer (heteropolimer) misalnya seperti glukomanan.

Molekul hemiselulosa umumnya lebih mudah menyerap air dan mempunyai permukaan yang lebih luas dibandingkan dengan selulosa. Hidrolisis hemiselulosa menjadi mono- dan oligosakarida relatif lebih mudah, dan berlangsung sempurna baik dengan asam maupun dengan enzim dalam kondisi sederhana (Judoamidjojo et. al., 1989).

Komponen utama hemiselulosa adalah xilan yang kadarnya dapat mencapai 20-35% dari total berat kering pada tanaman tahunan di daerah tropis. Kadar xilan pada tanaman kayu lunak di daerah bersuhulebih sedikit, mungkin hanya 8% (Srinivasan dan Rele, 1995). Sebagian besar xilan terdapat dalam bentuk heteropolisakarida yang memiliki tulang punggung homopolimer.

Menurut Sunna dan Antranikan (1997), xilan merupakan hemiselulosa yang termasuk polimer dari pentosa atau xilosa dengan ikatan β-1,4 yang jumlah monomernya berkisar 150-200 unit. Tulang punggung xilan tersusun dari rantai D-xilopiranosa. Berdasarkan residu pengganti yang paling banyak


(11)

8 terikat pada tulang punggungnya, maka xilan dikategorikan sebagai homoxilan linier, arabinoxilan, glukurunoxilan, dan glukurunoarabinoxilan. Residu pengganti yang paling umum dijumpai yaitu O-asetil, α-L-arabinofuranosil, α-1,2 glukoronat atau asam O-metilglukuronat. Pada berbagai tanaman, xilan berada dalam bentuk terasilasi sebagian. Gugus O-asetil yang terikat pada C-2 dan C-3 residu xilosil dapat menghambat degradasi asetilxilan oleh xilanase (Kulkarni et al, 1999).

Xilan mengandung rantai cabang dan strukturnya tidak berbentuk kristal sehingga lebih mudah dimasuki pelarut dibandingkan dengan selulosa. Sebagian besar xilan terdiri atas 2-4 heteroglikan. Heteroglikan yang umum dijumpai adalah arabino-D-xilan, L-arabino-D-glukurono-D-xilan, 4-o-metil-D-glukorono-Dxilan, L-arabino-D-xilan, D-gluko-Dmannan, D-galakto-D-gluko-Dmannan, dan L-arabino-D-galaktan (Subramaniyan dan Prema, 2002).

Xilan memiliki substituent yang berada di sekitar cincin dari struktur inti xilan. Substituen

yang umumnya ditemukan di cincin belakang adalah cincin asetil, arabinosil, dan glukoronosil. Struktur hemiselulosa terutama xilan dapat dijumpai pada tanaman berbiji terbuka (Gymnospermae) dan tanaman berbiji tertutup (Angiospermae). Xilan dari Angiospermae merupakan O-asetil-4-Ometilgukoronoxilan. Polisakarida ini terdiri atas >70- β-xilopiranosa yang membentuk ikatan dengan β-1, 4-glikosida. Setiap 10 xilosa membawa sebuah 4-O-asam metilglukoronat yang berada di dua posisi xilosa seperti pada Gambar 3. Contoh salah satu tanaman angiospermae yang mengandung hemiselulosa adalah kopi.

Gambar 3. Struktur xilan (Sunna dan Antranikian, 1997)

Buah kopi terdiri atas beberapa bagian, salah satunya adalah bagian kulit kopi. Secara kimiawi kulit kopi mengandung bahan organik seperti karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) yang terikat dalam senyawa senyawa selulosa (45 %), hemiselulosa (25 %), lignin (25 %), resin (4,5 %), abu (0,5 %) (Elias 1979, Kumar 1984 dalam Mulato dan Atmawinata danYusianto 1996).

Berbagai mikroba dilaporkan mampu menghasilkan xilanase. Bakteri dari genus Bacillus, Kapang dari genus Trichoderma dan Aspergillus, Aktinomisetes dari genus Streptomyces diketahui merupakan mikroba berpotensi penghasil xilanase. Mikroba tersebut memiliki relung ekologi yang bervariasi dan tersebar luas (Collins et al. 2005).

E. FERMENTASI

Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan bahan pangan, sebagai akibat


(12)

9

Etanol Etanol

dari pemecahan kandungan bahan pangan tersebut, misalnya aroma alkohol dan asam pada tape. Cara pengawetan pangan dengan proses fermentasi adalah memperbanyak jumlah mikroba dan membiakkan metabolisme dalam makanan (Winarno, 2004). Awalnya, fermentasi adalah pemecahan gula menjadi alkohol dan CO2. Namun, banyak proses yang disebut fermentasi tidak selalu menggunakan substrat gula tapi menghasilkan CO2 (Winarno, 2004).

Klasifikasi karbohidrat terdiri dari monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida langsung dapat difermentasi, akan tetapi disakarida, pati ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi komponen sederhana, yaitu monosakarida baru setelah itu bisa difermentasi.

Sukrosa pada bahan mula-mula dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa oleh enzim invertase, kemudian oleh aktivitas beberapa enzim, glukosa dan fruktosa ini akan diubah menjadi alkohol. Reaksi pemecahan gula menjadi alkohol adalah sebagai berikut :

Pada proses fermentasi akan diperoleh hasil ikutan seperti gliserol, asam laktat, asam asetat asetaldehida, dan 2,3 butilen glikol. Protein pada substrat akan diubah oleh enzim lipase menjadi asam lemak, dan asam lemak ini akan bereaksi dengan alkohol menjadi ester, dimana ester inilah yang menjadi aroma dan flavor (Said, 1987).

Asam-asam organik dari produk fermentasi merupakan hasil hidrolisis asam lemak dan juga sebagai hasil aktivitas pertumbuhan bakteri. Penentuan kuantitatif asam organik pada produk fermentasi adalah penting untuk mempelajari kontribusi bagi aroma sebagian besar produk fermentasi, alasan gizi, dan sebagai indikator aktivitas bakteri (Bevilacqua & Califano, 1989). Asam-asam organik juga sering digunakan sebagai acidulants (bahan pengasam) yang dapat menurunkan pH sehingga pertumbuhan mikroba berbahaya pada produk fermentasi akan terhambat (Winarno, 1997).

Berdasarkan perubahan yang terjadi pada karbohidrat sebagai akibat dari aktivitas mikroorganisme, maka produk fermentasi dapat dikelompokan sebagai proses fermentasi yang mengubah karbohidrat menjadi asam-asam organik dan alkohol serta karbondioksida sebagai komponen utama. Proses fermentasi dikatakan bersifat homofermetatif jika hanya menghasilkan satu jenis komponen saja sebagai hasil utamanya dan heterofermentatif jika menghasilkan campuran berbagai senyawa atau komponen utama. Lintasan metabolisme Embedden-Meyerhoff-Parnas merupakan lintasan yang umum terjadi pada proses fermentasi. Asam laktat merupakan bagian dari produk fermentasi piruvat (Dawes dan Large, 1982).

Secara umum dengan semakin lamanya fermentasi, keasaman kopi akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya asam-asam alifatik selama proses fermentasi. Apabila lama fermentasi diperpanjang, akan terus terjadi perubahan komposisi kimia biji kopi, yaitu asam-asam alifatik akan berubah menjadi ester-ester asam karboksilat yang dapat mengakibatkan cacat fermentasi dengan cita rasa busuk (Sulistyowati dan Sumartona, 2002). Jumlah inokulum mikroba yang tinggi akan menyebabkan semakin banyak mikroba yang bekerja dan membentuk komponen-komponen asam organik misalnya asam asetat selama proses fermentasi sehingga aroma kopi semakin meningkat (Clarke dan Macrae, 1985).

Proses fermentasi yang terjadi dalam rumen akan mengubah komponen-komponen pakan yang kompleks menjadi produk-produk yang lebih sederhana dan berguna bagi ternak. Pakan utama ternak


(13)

10 ruminansia, hijauan atau limbah pertanian seperti jerami padi, memiliki kadar serat kasar yang tinggi. Komponen terbesar dari serat kasar adalah berupa dinding sel yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Church dan Pond, 1988). Produk akhir dari aktivitas mikroba dalam mendegradasi substrat dinding sel tanaman adalah berupa asam lemak terbang atau VFA (Volatile Fatty Acid). Komponen VFA yang utama adalah asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan sejumlah kecil asam valerat. Beberapa manfaat asam butirat, antara lain: (1) dapat mencegah kanker usus, (2) dapat menekan stres, dan (3) dapat mencegah radang usus (Putri, 2008).

Asam oksalat (COOH)2 merupakan senyawa asam organik (dikarboksilat) yang paling sederhana dan ditemukan pada hampir seluruh jenis organisme termasuk tumbuhan (hijauan tropis), hewan, bakteri dan kapang (Hodgkinson, 1977). Makanan yang umumnya banyak mengandung asam oksalat adalah kopi, coklat, strawberi, kacang, dan bayam. Sisa metabolisme tumbuhan yang salah satunya berupa asam oksalat ini tidak bisa dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri, sehingga biasanya disimpan di dalam vakuolanya. Selain itu, asam oksalat dapat dihasilkan dari metabolisme anaerob mikrooorganisme, yaitu pada saat ketersediaan oksigen tidak ada pada lingkungan. Jenis asam oksalat merupakan senyawa asam lemah yang dalam keadaan tertentu mampu memicu reaksi reduksi oksidasi (redoks).

Biosintesa asam oksalat telah dipelajari pada berbagai golongan organisme, terutama sintesa asam oksalat pada tumbuhan dan mikroorganisme termasuk protozoa, bakteri dan jamur. Asam oksalat dihasilkan dari fermentasi glukosa, dimana mikroorganisme ini nantinya memanfaatkan asam oksalat sebagai salah satu sumber karbon untuk kehidupannya (Iriani, 2004).


(14)

11

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan baku utama dan bahan baku pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah kopi jenis arabika dan feses luwak yang diambil dari Pangalengan, Bandung, sedangkan bahan baku pembantu adalah bahan yang digunakan untuk berbagai uji dan analisis. Untuk tahap isolasi dan seleksi bakteri serta aktivitas enzim, bahan yang digunakan adalah media CMC (Carboxymethyl Cellulose) cair (terdiri atas CMC, MgSO4.7H2O, KNO3, K2HPO4, FeSO4.7H2O, CaCl2, ekstrak khamir, glukosa, aquades), media xilan (terdiri atas Birchwood xilan, sukrosa, ekstrak khamir, agar-agar, aquades), merah kongo, bufer fosfat, pereaksi DNS (terdiri atas NaOH, KNa tartrat, Na2SO3, dan aquades) dan pereaksi Bradford (terdiri atas CBB G-250, Etanol 95%, asam fosfat 85%, aquades). Untuk tahap fermentasi, bahan yang digunakan adalah kertas saring, media xilan cair, pereaksi DNS, pereaksi Bradford, pereaksi anthrone, H2SO4, indikator Brom Cresol Green-Methyl Red, HCl 0,1 N.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat yang ada di Laboratorium Bioteknologi Hewan PPSHB dan Laboratoriun Teknik Kimia Teknologi Industri Pertanian IPB. Alat-alat yang digunakan adalah tabung reaksi, cawan, inkubator, mikro pipet 20-200 µL dan 100-1000 µL, tip, labu Erlenmeyer, kapas, kain kassa, vortex, alat sentrifugasi, spektrofotometer, pH meter, shaker

incubator, kertas saring, corong, botol gelap kecil, sudip, sendok makan, labu takar, gelas piala, gelas

ukur, pipet Mohr, pipet tetes, bulp, blender kering, timbangan, pinset, alumunium foil, karet, stirer pemanas, tissue, plastik LDPE, neraca analitik, dan kuvet, tabung sentrifus.

B.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap penelitian diawali dengan tahap pengambilan biakan dari feses luwak segar dengan melakukan isolasi dan seleksi bakteri dari biakan tersebut. Isolasi bakteri ini menggunakan media tumbuh xilan. Pada media tumbuh xilan, isolat-isolat bakteri yang berhasil diisolasi akan tumbuh baik di media tersebut, akan tetapi hanya empat bakteri dominan saja yang menunjukkan adanya zona bening disekitar tumbuhnya bakteri itu. Keempat isolat bakteri dominan dilakukan pengukuran nilai Indeks Potensial (IP) bakteri. Hasil nilai IP bakteri tertinggi dari keempat isolat bakteri dominan adalah isolat bakteri dengan kode FLx3 dan FLx5. Kedua isolat terbaik inilah yang dilakukan uji lanjut berupa pengujian aktivitas enzim isolat bakteri. Uji aktivitas enzim terdiri atas pengkuran kurva tumbuh, aktivitas enzim dan kadar protein. Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat terbaik yang nantinya akan digunakan dalam tahap fermentasi. Pada tahap fermentasi, isolat bakteri terbaik akan ditambahkan ke dalam sampel kulit kopi dan biji kopi dengan perbandingan tertentu. Tahap fermentasi dilakukan dengan tiga perlakuan suhu, yaitu suhu 30oC, 40oC, dan 50oC dan waktu fermentasinya masing-masing selama 5 hari. Fermetasi dengan berbagai perlakuan suhu tidak dilakukan secara bersamaan. Jenis pengujian kulit kopi berupa uji aktivitas enzim, kadar protein, dan penghitungan kurva tumbuh dari isolat yang bekerja pada kulit kopi, serta pengurangan bobot kulit selama fermentasi. Pengujian biji kopi terdiri atas uji karbohidrat, protein, dan uji asam-asam organik dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography

(HPLC) yang meliputi uji asam butirat, asam laktat, asam oksalat, asam askorbat (vitamin C) dan kadar kafein.


(15)

12

1.

Isolasi dan Seleksi Bakteri

Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil biji kopi dari feses luwak di perkebunan Kopi Cukul, Desa Pangalengan Bandung. Sampel yang diambil berupa biji kopi terbungkus feses yang masih segar. Setiap dua biji kopi dari feses luwak dimasukkan ke dalam media tumbuh

Carboxymethyl Cellulose (CMC) cair 100 ml dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu ruang.

Cairan pada hasil inkubasi disuspensikan dalam larutan garam fisiologis (NaCl 0.85%) dan dilakukan pengenceran dari 10-1 hingga pengenceran 10-6 karena pada pengenceran 10-6 bakteri lebih mudah untuk diamati. Metode isolasi bakteri mengggunakan metode cawan sebar pada media selektif yaitu media xilan. Bakteri xilanolitik ditumbuhkan pada media agar-agar xilan 0.5%. Hasil penyebaran diinkubasi pada suhu 37oC selama ±48 jam untuk mendapatkan isolat xilanolitik. Koloni-koloni yang tumbuh dimurnikan kembali pada media agar-agar xilan dan disimpan di lemari pendingin dengan suhu 4oC untuk tahapan berikutnya.

Koloni-koloni yang telah murni di totolkan pada media agar-agar xilan dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Setelah itu, akan telihat zona bening yang ada disekitar koloni. Jika zona bening belum terlihat, dapat diberi larutan merah kongo 0.1% (0.1 g congo red dalam 100 ml alkohol 96%) dan didiamkan selama 15 menit. Setelah itu, media dicuci menggunakan NaCl fisiologis 0.2 M dan disimpan dilemari pendingin dengan suhu 4oC selama 24 jam. Seleksi bakteri dilakukan berdasarkan nisbah zona bening terhadap diameter koloni pada media xilan. Nilai indeks potensial (IP) bakteri dapat dihitung berdasarkan nisbah antara diameter zona bening terhadap diameter koloni.

2.

Uji Aktivitas Enzim (Miller, 1959)

a.

Pembuatan kurva pertumbuhan dan Produksi Enzim.

Isolat terpilih diremajakan pada media agar-agar xilan, diinkubasi pada suhu 37oC selama ±48 jam. Pembuatan inokulum dilakukan dengan mengambil 1-2 koloni dan ditumbuhkan dalam 10 ml media cair xilan pada tabung reaksi, diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Sebanyak 1 ml inokulum dikultivasikan ke dalam masing-masing labu Erlenmeyer berisi 100 ml media cair xilan. Inkubasi dilakukan pada shaker inkubator dengan kecepatan 80 rpm pada suhu ruangan. Pada pembuatan kurva tumbuh, setiap12 jam diukur kekeruhan sel menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm dan sebanyak 4 ml di sentrifugasi pada kecepatan 2850 rpm selama 25 menit untuk mendapatkan enzim ekstrak kasar. Enzim ekstrak kasar digunakan untuk pengujian aktivitas enzim dan kadar protein.


(16)

13

b.

Pengujian Aktivitas Enzim

Aktivitas enzim xilanase diukur dengan menghitung kandungan xilosa yang terbentuk dan dianalisis menggunakan metode DNS atau Dinitrosalicylic (Miller 1959). Pengujian aktivitas enzim dilakukan dengan memasukkan 500 L enzim ekstrak kasar dan 500 L larutan substrat (xilan 0.5% dalam buffer fosfat pH 7) ke dalam tabung reaksi dan diinkubasi pada suhu 40 0C selama 1 jam. Untuk menghentikan reaksi, ditambahkan 1 ml larutan DNS, selanjutnya dipanaskan pada suhu 100 0

C selama 15 menit, didinginkan dan diukur dengan spektrofotometer pada 540 nm. Aktivitas enzim xilanase diperoleh berdasarkan mikromol enzim yang dihasilkan per menit dan dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan :

S: konsentrasi gula pereduksi sampel K: konsentrasi gula pereduksi kontrol

c.

Aktivitas Spesifik Enzim yang dihasilkan Isolat Terpilih.

Aktivitas spesifik dihitung berdasarkan nilai aktivitas enzim dibagi dengan nilai kadar protein (metode Bradford, 1976). Pengujian kadar protein dilakukan dengan memasukan 2 ml larutan Bradford ke dalam tabung berisi 200 L enzim ekstrak kasar, dihomogenkan, kemudian didiamkan selama 15 menit dan diukur dengan spektrofotometer pada 5λ5 nm. Pengujian kadar protein menggunakan BSA (Bovin Serum Albumin) sebagai standar. Metode pembuatan standar BSA dapat dilihat pada Lampiran1.

3.

Fermentasi

Uji ini digunakan untuk mengetahui seberapa banyak perubahan yang terjadi pada kandungan kopi saat biji kopi di fermentasi menggunakan isolat terpilih. Fermentasi yang dilakukan menggabungkan komponen biji, kulit, dan isolat terbaik. Fermentasi dilakukan selama 5 hari dan diuji setiap 24 jam. Terdapat 3 perlakuan suhu saat fermentasi, yaitu suhu 30oC, 40oC, dan 50oC. Tiap perlakuan suhu tidak dilakukan secara bersamaan.

Komposisi pada fermentasi disesuaikan dengan komposisi kopi pada umumnya. Dari keseluruhan komponen yang terdapat pada kopi, 40-42% bagiannya adalah kulit terluar dan sisanya adalah biji. Dari kulit tersebut terdapat 62% bagiannya merupakan air. Komposisi fermentasi dapat ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut :

a. Untuk memudahkan perhitungan media, kandungan air yang terdapat pada kulit digantikan oleh kultur bakteri xilanolitik 10% dengan jumlah 10 ml.

b. Jika kultur tersebut diasumsikan sebagai air pada kulit kopi, maka 10 ml tersebut sama dengan 62% air yang ada pada kulit kopi, sehingga kulit yang ditambahkan adalah sebesar 38% atau sekitar 6,2 gram.

c. Dengan asumsi total bobot kulit kering +kultur adalah sebesar 40%, maka 60% bagian lainnya adalah biji kopi atau sekitar 24,3 gram.


(17)

14 Kultur, kulit, dan biji tersebut dimasukan ke dalam botol dengan volume 80 ml dan disimpan dalam suhu 30oC, 40oC, dan 50oC. Setiap harinya sampel di ambil dari 2 botol dengan perlakuan yang sama.

a.

Pengujian Aktivitas Enzim pada Cairan Hasil Fermentasi

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar aktivitas enzim yang terjadi pada kulit kopi saat fermentasi. Sebanyak 0.5 ml filtrat hasil sentrifuse ditambahkan dengan 0.5 ml bufer substrat kulit kopi kemudian direaksikan di dalam tabung reaksi dan diinkubasi pada suhu 40oC selama 60 menit. Selanjutnya ditambahkan DNS sebanyak 1 ml dan di inkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit.

b.

Penghitungan Susut Bobot Kulit

Perhitungan ini dilakukan dengan menghitung jumlah bobot yang hilang per harinya selama fermentasi. Persiapan yang dilakukan adalah dengan menghitung bobot kertas saring yang telah dimasukan kedalam oven selama 24 jam. Sampel sebanyak 3 gram ditampung dalam kertas saring tersebut, lalu dikeringkan. Setelah 24 jam, kertas saring dan sampel dihitung bobotnya. Jumlah kehilangan bobot kulit setelah fermentasi dapat dihitung dengan rumus berikut :

dimana: A = Bobot kertas saring (gr) B = Bobot Sampel (gr)

C = Bobot kertas saring + sampel setelah kering (gr)

c.

Analisis Kadar Karbohidrat dengan Metode Anthrone (Dreywood, 1964)

Uji karbohidrat dilakukan untuk mengetahui kadar karbohidrat yang ada pada biji selama fermentasi. Sebelum dilakukan uji karbohidrat, dilakukan pembuatan standar yang tertera pada lampiran 2. Untuk persiapan sampel, 3 gram bahan ditimbang dan ditambahkan 40 ml HCl 3%. Sampel dididihkan dalam waterbath selama 3 jam. Setelah diangkat dan didinginkan, dilakukan penetralan pH dengan menggunakan NaOH atau HCl. Setelah sampel sudah memiliki pH 7, sampel disaring menggunakan kertas saring. Filtrat hasil dari proses penyaringan dimasukan kedalam labu takar 100 ml lalu ditera (tergantung kepekatan bahan). Untuk analisisnya, 1 ml filtrat dimasukan kedalam tabung reaksi tertutup, lalu ditambahkan 5 ml reagen anthrone (campuran dr 10 mg anthrone dan 50 ml H2SO4 pekat). Setelah dihomogenkan, tabung di dinginkan di dalam air dingin. Setelah itu, tabung dimasukan kedalam waterbath dengan suhu 100oC selama 12 menit. Setelah selesai, tabung didinginkan dan sampel di ukur menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 630 nm. Penentuan konsentrasi contoh dengan menggunakan kurva standar hubungan antara konsentrasi glukosa standar dengan absorbansinya dan dengan memperhitungkan pengenceran yang dilakukan , dapat menggunakan rumus :


(18)

15 dimana: G = Konsentrasi gula dari kurva standar (g)

FP = Faktor Pengenceran W = Bobot sampel (g)

d.

Analisis Kadar Protein (AOAC, 1984)

Sebanyak 0.25 gram sampel dimasukan kedalam labu kjeldahl 100 ml dan ditambahkan selenium 0.25 gram dan 3 ml H2SO4 pekat. Kemudian dilakukan destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah dingin, hasil destruksi ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40 %, lalu di destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green-Methyl Red

berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dapat dihitung dengan rumus :

dimana: S = Volume titran sampel (ml) B = Volume titran blanko (ml) W = Bobot sampel kering (mg)

Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan berkisar antara 5,18-6,38 (AOAC, 1980).

e.

Analisis Kadar Kafein (Beckers, 2004)

Analisis ini bertujuan untuk menghitung kadar kafein yang ada di dalam kopi pasca fermentasi. Analisis kadar kafein dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Analisis ini menggunakan alat HPLC (High Performance Liquid

Chromatographic). Awalnya, sampel sebanyak 1 – 2 gram dimasukan ke dalam labu 100 ml, lalu

dilarutkan dengan aquades dengan panas 80oC. Larutan tersebut dimasukan ke dalam ultrasonic


(19)

16

homogenaizer selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah itu, larutan disaring menggunakan whatman

dan disaring kembali membrane filter 0,45 mikron. Setelah di saring, larutan siap di-inject.

Keterangan alat :

- Panjang gelombang = 280 nm - Kolom = C18

- Fase gerak = metanol : air = 50:50 v/v - Kecepatan air = 0,5 ml/menit - Volume inject 20 mikro

f.

Analisis Kadar Vitamin C dan Asam Organik (Russel, 1986)

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kadar asam askorbat (Vitamin C) dan asam organik lain seperti asam oksalat, asam butirat, dan asam laktat. Sama seperti analisis kadar kafein, analisis ini dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian dan menggunakan alat HPLC (High Performance Liquid Chromatographic). Pertama-tama, 10 gram sampel dihaluskan dan ditambahkan 10 ml larutan asam metafosfat 6%. Lalu, pada larutan tersebut ditambahkan 7 ml metanol Pa dan 20 ml aquades. Larutan tersebut di sentrifugasi selama 20 menit pada kecepatan 4000 rpm dengan suhu 4oC. Setelah sentrifugasi selesai, supernatant dari larutan tersebut diambil dan diencerkan dengan metanol 50% ke dalam labu 100 ml. Larutan tersebut disaring dengan membran filter 0,45 mikron. Setelah itu, larutan siap untuk dimasukan (inject) ke dalam alat HPLC.

Keterangan alat :

- Panjang gelombang = 247 nm - Kolom = C18


(20)

17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Isolasi dan Seleksi Bakteri

Pengambilan sampel dilakukan di perkebunan kopi daerah Pangalengan, Bandung. Sampel yang diambil berupa biji kopi yang baru saja dikeluarkan oleh hewan luwak bersamaan dengan fesesnya melalui hasil sekresi. Kemudian, sampel tersebut dimasukan ke dalam media cair CMC seperti yang tertera pada Gambar 4. Tahap isolasi dilakukan dengan metode cawan sebar dengan media selektif berupa media xilan (xilan birchwood). Koloni-koloni yang tumbuh dimurnikan untuk tahap seleksi bakteri.

Gambar 4. Sampel biji kopi dalam media cair CMC dengan feses luwak

Seleksi dilakukan dengan menotolkan isolat murni ke dalam media agar-agar xilan. Dengan penambahan larutan merah kongo 0,1% dan pencucian menggunakan NaCl 0,2 M, diperoleh sepuluh isolat bakteri yang dapat tumbuh di media tersebut. Namun, hanya empat isolat dari kesepuluh isolat bakteri yang mampu menghasilkan zona bening. Kemudian berdasarkan pertumbuhannya, keempat isolat bakteri ini diukur Indeks Potensial (IP)-nya dan hanya dua isolat yang mampu tumbuh baik karena dapat menghasilkan zona bening terbaik pula. Kedua isolat bakteri yang terpilih adalah isolat FLx3 dan FLx5 yang akan dilakukan uji selanjutnya berupa pengujian aktivitas enzim, yaitu pengukuran kurva pertumbuhan, aktivitas enzim, dan kadar protein. Nilai Indeks Potensial (IP) isolat bakteri FLx3 sebesar 0,455 dan isolat bakteri FLx5 sebesar 1,375.

Kedua isolat tersebut memiliki koloni bakteri dengan ciri-ciri dan warna berbeda. Isolat bakteri FLx3 memiliki warna kuning, bentuk bundar, dan permukaan licin, sedangkan isolat bakteri FLx5 memiliki warna putih susu, bentuk bundar, permukaan lincin dan sedikit berlendir. Penampakan fisik kedua koloni bakteri dan pembentukan zona bening ini terlihat pada Gambar 5. Bakteri yang dapat tumbuh di media xilan 0,5% pada isolasi bakteri menunjukkan bahwa isolat bakteri dapat menghasilkan enzim xilanase untuk menghidrolisis xilan yang ditandai dengan terbentuknya zona jernih atau bening. Kemampuan bakteri membentuk zona bening sebagai akibat terputusnya ikatan β -1,4 xilosidik oleh xilanase. Sebagai tambahan, isolat bakteri yang mampu tumbuh dengan baik mengindikasikan bahwa isolat mampu memanfaatkan sumber karbon (C) dalam media pertumbuhannya, sehingga produksi enzim akan lebih baik apabila menggunakan isolat yang mampu tumbuh dengan baik pada substratnya.


(21)

18

( a ) ( b )

( c ) ( d )

Gambar 5. Penampakan koloni bakteri dan pembentukan zona bening disekitar koloni bakteri (a) Koloni FLx3 (b) Koloni FLx5 (c) Zona Bening FLx3 (d) Zona Bening FLx5

B.

Uji Aktivitas Enzim

Pengujian aktivitas enzim terhadap isolat bakteri FLx3 dan FLx5 bertujuan untuk mengetahui waktu dan kondisi pertumbuhan optimum dari isolat. Uji aktivitas enzim dapat diketahui dengan melihat pola pertumbuhan isolat bakteri dan nilai aktivitas enzim xilanase, serta nilai kadar protein dari isolat.

1.

Pertumbuhan Isolat Bakteri dan Aktivitas Enzim Xilanase

Antara isolat bakteri FLx3 dan isolat bakteri FLx5 memiliki pola pertumbuhan yang berbeda, seperti terlihat pada Gambar 6a. Hal ini ditunjukkan dengan waktu fase eksponensial yang tercapai untuk masing-masing isolat tidaklah sama. Waktu fase eksponensial isolat FLx3 tercapai pada jam ke-12 hingga jam ke-48, yaitu nilai OD yang terbaca sebesar 0,195 hingga 0,286. Sementara itu, isolat FLx5 telah mencapai fase eksponensial pada jam ke-60 dan mencapai peningkatan signifikan pada pada jam ke-72 dengan nilai OD terbaca sebesar 0,702 hingga naik perlahan sampai jam ke-96 dengan nilai sebesar 0,895. Fase eksponensial merupakan fase pembiakan bakteri yang berlangsung paling cepat. Pada fase ini terjadi perbanyakan jumlah sel yang akan meningkat pada batas tertentu dan setelah itu bakteri akan memasuki fase statis.

Nilai aktivitas enzim kedua isolat bakteri dapat terlihat pada Gambar 6b. Aktivitas enzim xilanase isolat FLx3 dari jam ke-0 hingga jam ke-84 relatif masih rendah dan mulai mengalami peningkatan signifikan pada jam ke-96 sebesar 0,091 nKat/ml, setelah itu kembali mengalami penurunan. Nilai aktivitas enzim xilanase dari isolat FLx3 ini tidak dipengaruhi oleh pola pertumbuhan bakteri. Berbeda halnya dengan aktivitas enzim isolat FLx5 yang cukup menunjukkan hubungan positif dengan pola pertumbuhan bakteri, dimana aktivitas enzim mengalami peningkatan pada jam ke-60 hingga jam ke-72 sebesar 0,042 nKat/ml hingga 0,294 nKat/ml dan setelah waktu itu nilai aktivitas enzim menurun. Kondisi yang terjadi terhadap isolat FLx5 ini menunjukan bahwa


(22)

19 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120

OD

Te

rb

ac

a

Waktu (Jam Ke)

FLx3 FLx5

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35

0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120

n

K

at/

m

l

Waktu (Jam Ke)

FLx3 FLx5

peningkatan aktivitas enzim berhubungan dengan pola pertumbuhan sel, dimana laju pertumbuhan sel akan maksimum ketika waktu fase eksponensial telah tercapai dan aktivitas enzim akan berkurang selama fase stasioner (Amraini, 2008).

( a ) ( b )

Gambar 6. Kurva pertumbuhan bakteri (a) dan aktivitas enzim xilanase (b)

Substrat yang digunakan dalam proses fermentasi berpengaruh terhadap aktivitas dan produktivitas enzim. Adanya substrat tertentu didalam medium produksi dapat memacu mikroorganisme untuk mensekresi metabolit selnya. Zat makanan utama bagi pertumbuhan mikroorganisme adalah sumber karbon, nitrogen, dan komponen mineral terutama fosfat. Reaksi hidrolisa xilan beberapa sumber karbon yang sering digunakan adalah molases, serealia, pati, glukosa, sukrosa dan laktosa. Produksi enzim xilanase sebagai sumber karbon adalah xilan. Xilan dengan aktivitas xilanase yang dihasilkan oleh mikroorganisme akan terhidrolisis menjadi xilosa. Hemiselulosa merupakan polimer xilosa yang berikatan β-1,4 dengan jumlah monomer 150-200 unit (Sunna dan Antraniklan, 1997). Rantai xilan bercabang dan strukturnya tidak terbentuk kristal sehingga lebih mudah dimasuki pelarut dibandingkan dengan selulosa . Dalam hal ini, komposisi media tumbuh bakteri Flx3 dan Flx5 adalah xylan from Birchwood, ekstrak khamir, sukrosa, agar-agar, dan aquades. Sesuai dengan kompisisi ini, xilan akan diubah menjadi xilosa akibat adanya aktivitas enzim xilanase karena xilosa juga digunakan sebagai sumber karbon mikroba tersebut. Fase eksponensial pada isolat FLx5 terjadi mulai jam ke-60 dan mencapai puncaknya pada jam ke-72. Berbeda dengan Flx5, isolat FLx3 mengalami fase eksponensial pada jam ke-96. Perbedaan ini kemungkinan diakibatkan oleh perbedaan kemampuan bakteri dalam mengubah xilan menjadi xilosa dengan menggunakan enzim xilanase.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Fontes et al. (2000), pertumbuhan mikrob Cellvibrio

mixtus penghasil xilanase diuji dengan menggunakan glukosa dan xilan sebagai sumber karbon.

Kedua sumber karbon tersebut menghasilkan biomassa yang tinggi, dan pada medium glukosa pertumbuhan sel lebih cepat (36 jam) dibandingkan dengan xilan (84 jam). Akan tetapi, dalam medium glukosa aktivitas xilanase tidak terdeteksi. Hal tersebut terjadi karena pada medium xilan, mikrob akan berupaya membentuk xilanase untuk menghidrolisis xilan menjadi xilosa, yang kemudian digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Sementara pada medium glukosa hal tersebut tidak terjadi, mikrob langsung menggunakan glukosa sebagai sumber karbon.


(23)

20 0

0.1 0.2 0.3

0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120

m

g

/m

l

Waktu (Jam Ke)

FLx3 FLx5

2. Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik Isolat

Kadar proterin isolat FLx3 dan FLx5 tidak berhubungan langsung dengan aktivitas enzim xilanase. Hal ini dikarenakan kadar protein yang dihasilkan menunjukkan jumlah protein yang terdapat pada enzim kasar. Menurut Richana (2002), enzim kasar mengandung protein enzim, protein dari bahan penyusun medium dan protein hasil lisis bakteri. Pada Gambar 7 menunjukan bahwa kadar protein isolat FLx3 mengalami penurunan setelah jam ke-48 hingga jam ke-84, sebesar 0,123 mg/ml hingga 0,088 mg/ml dan mengalami peningkatan setelah waktu itu. Kemudian, kadar protein isolat FLx5 relatif rendah dari jam ke-0 hingga jam ke-72 dan setelah itu mengalami peningkatan pada jam ke-84 hingga jam ke-120 sebesar 0,080 mg/ml hingga 0,271 mg/ml. Berkurangnya kadar protein dalam medium dikarenakan bakteri membutuhkan protein sebagai salah satu sumber nitrogen organik dalam pertumbuhannya (Rachman, 1989). Sementara itu, peningkatan kadar protein pada waktu fase stasioner disebabkan jumlah sel mulai mengalami penurunan dan beberapa sel kemungkinan telah mengalami lisis. Kondisi lisisnya sel akan menyebabkan kenaikan nilai kadar protein sebab kandungan protein yang berasal dari dalam sel akan keluar menuju medium dan terlarut.

Gambar 7. Kadar protein isolat

Selain penentuan kadar protein isolat, nilai aktivitas spesifik isolat pun dapat ditentukan dengan membagi nilai aktivitas enzim dengan nilai kadar protein isolat. Hasil nilai aktivitas spesifik isolat FLx3 relatif semakin menurun dari jam ke-0 sebesar 0,968 nKat/mg protein hingga jam ke-120 sebesar 0,176 nKat/mg protein. Sementara itu, isolat FLx5 memiliki aktivitas spesifik yang lebih baik, karena menunjukkan pola aktivitas enzim yang semakin meningkat mulai jam ke-0 (0,158 nKat/mg protein) hingga jam ke-72 (3,085 nKat/mg protein) dan kembali menurun setelah jam ke-72.

Adanya peningkatan aktivitas spesifik isolat FLx5 pada jam ke-0 hingga jam ke-72 menunjukkan bahwa isolat berada pada fase pertumbuhan, sehingga penggunaan enzim xilanase dan hidrolisis xilan juga relatif meningkat. Hal ini dilihat dari tingkat aktivitas enzim yang dihasilkan. Kemudian, setelah jam ke-72 ini, isolat FLx5 berada pada kondisi stasioner dan menuju kematian sehingga aktivitas spesifiknya menjadi menurun akibat penggunaan enzim xilanase dan hidrolisis xilan yang berkurang akibat sudah banyaknya sel isolat yang lisis atau mati. Berdasarkan nilai aktivitas spesifik kedua isolat, isolat FLx5 memiliki nilai aktivitas spesifik dan aktivitas enzim yang relatif lebih baik dibandingkan isolat FLx3. Dengan demikian, isolat FLx5 dipilih untuk pengujian tahap lanjut berupa tahap fermentasi yang akan diinokulasikan terhadap biji kopi dan kulit kopi dengan perbandingan tertentu.


(24)

21 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120

U/m g p ro te in

Waktu (Jam Ke)

FLx5 FLx3

Gambar 8. Aktivitas spesifik isolate

C.

Fermentasi

Fermentasi dilakukan pada biji kopi arabika dengan menggunakan bakteri FLx5 dengan harapan mampu mengubah senyawa-senyawa di dalam biji kopi menjadi komponen yang lebih sederhana agar dapat menghasilkan aroma dan cita rasa yg khas. Sebagaimana yang di sampaikan oleh Said (1987), fermentasi adalah proses perubahan senyawa-senyawa kompleks dari bahan menjadi senyawa sederhana dengan disertai bau yang spesifik atau khusus, oleh aktivitas mikroba. Sedangkan pengertian lain dari fermentasi adalah proses penguraian gula menjadi alkohol dan karbondioksida yang disebabkan oleh aktivitas sel khamir yang tumbuh dan berkembang baik dengan cairan.

1. Uji Aktivitas Enzim

Pengujian aktivitas enzim terhadap isolat bakteri FLx5 dengan berbagai perlakuan suhu bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan aktivitas enzim dengan substrat kulit kopi selama fermentasi. Uji aktivitas ini dilakukan dengan menghitung kurva pertumbuhan, aktivitas enzim, kadar protein dan aktivitas spesifik.

a.

Pertumbuhan Isolat Bakteri dan Aktivitas Enzim Xilanase pada Kulit

Kopi

Terdapat pola pertumbuhan bakteri yang relatif sama pada uji fermentasi dengan perlakuan suhu yang berbeda. Waktu fase eksponensial bakteri pada suhu 30oC tercapai pada hari pertama hingga hari ke dua, yaitu nilai OD terbaca sebesar 0,437 dan pertumbuhan bakteri cenderung naik sampai hari kelima dengan OD terbaca sebesar 0,429. Sementara itu, pada suhu 40oC bakteri telah mencapai fase eksponensial pada hari ke pertama dengan nilai OD terbaca sebesar 0,552. Namun setelah itu, pertumbuhan bakteri cenderung menurun sampai hari lima dengan OD yang terbaca sebesar 0,194. Pada suhu fermentasi 50oC, bakteri mengalami fase eksponensial sampai hari ke dua dengan OD terbaca mencapai 0,390. Kurva pertumbuhan bakteri terlihat pada Gambar 9a. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, fase eksponensial merupakan fase pembiakan bakteri yang berlangsung paling cepat daripada fase-fase pertumbuhan lainnya. Pada fase ini terjadi perbanyakan jumlah sel yang akan meningkat pada batas tertentu dan setelah itu bakteri akan memasuki fase statis.


(25)

22 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

0 1 2 3 4 5

OD

Hari Ke

Suhu 30 Suhu 40 Suhu 50

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

0 1 2 3 4 5

n

Kat

/m

l

Hari Ke

suhu 30 suhu 40 suhu 50 ( a ) ( b )

Gambar 9. Kurva pertumbuhan bakteri (a) dan aktivitas enzim xilanase (b)

Nilai aktivitas enzim pada tiga perlakuan suhu fermentasi dapat terlihat pada Gambar 9b. Aktivitas enzim xilanase pada semua perlakuan suhu cenderung terus menurun. Pada suhu fermentasi 30oC, aktivitas enzim tertinggi terdapat pada hari pertama dengan nilai mencapai 0,442 nKat/ml. Setelah itu, aktivitas enzim terus menurun. Sama halnya dengan suhu 30oC, pada fermentasi suhu 40oC aktivitas tertinggi terdapat pada hari pertama dengan nilai mencapai 1,571 nKat/ml dan terus menerus mengalami penurunan walaupun di hari ke lima aktivitasnya sempat mengalami kenaikan dengan nilai sebesar 0,401 nKat/ml. Begitu juga dengan suhu fermentasi 50oC yang mencapai nilai aktivitas tertinggi pada hari pertama dengan nilai mencapai 0,978 nKat/ml. Walaupun pola aktivitas enzim dalam berbagai perlakuan suhu relatif sama, namun aktivitas tertinggi berada pada suhu fermentasi 40oC.

b.

Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik Bakteri pada Kulit Kopi

Kadar protein bakteri pada suhu fermentasi 30oC mengalami penurunan setelah hari pertama hingga hari ketiga dengan kadar protein mencapai 0,023 mg/ml dan mengalami peningkatan setelah waktu itu. Kemudian, kadar protein pada suhu fermentasi 40oC relatif rendah dengan penurunan pada hari ketiga mencapai 0,019 mg/ml dan setelah itu terus mengalami peningkatan. Sementara itu, kadar protein pada suhu fermentasi 50oC menurun sejak hari pertama sampai hari ketiga mencapai 0,0200 mg/ml. Perubahan kadar protein terlihat pada Gambar 10a. Berkurangnya kadar protein dalam medium dikarenakan bakteri membutuhkan protein sebagai salah satu sumber nitrogen organik dalam pertumbuhannya (Rachman, 1989).

Nilai aktivitas spesifik pada bakteri dapat ditentukan dengan cara membandingkan nilai aktivitas enzim dengan kadar proteinnya. Dalam Gambar 10b terlihat bahwa aktivitas spesifik bakteri dengan berbagai perlakuan suhu cenderung menurun. Sama halnya seperti yang terdapat pada aktivitas enzim, aktivitas spesifik tertinggi terdapat pada suhu fermentasi 40oC.


(26)

23 0 10 20 30 40

0 1 2 3 4 5

% su su t b o b o t Hari Ke

Suhu 30 Suhu 40 Suhu 50 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05

0 1 2 3 4 5

m

g

/m

l

Hari Ke

Suhu 30 Suhu 40 Suhu 50

0 10 20 30 40 50

0 1 2 3 4 5

U/m g p ro te in Hari Ke

Suhu 30 Suhu 40 Suhu 50

( a ) ( b )

Gambar 10. Kurva kadar protein (a) dan aktivitas spesifik enzim xilanase (b)

2. Susut Bobot Kulit

Susut bobot kulit kopi selama fermentasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri xilanolitik mendegradasi kandungan hemiselulosa pada kulit kopi yang digunakan sebagai substratnya. Pada suhu fermentasi 30oC, susut bobot terendah terjadi pada hari kedua dengan penyusutan mencapai 21,554% dari bobot awal. Pada suhu fermentasi 40oC, penyusutan tertinggi terjadi pada hari ke satu fermentasi sebesar 31,437% dan terus mengalami penuruan sampai hari kelima hingga mencapai 16,017%. Pada suhu 50oC, susut bobot terendah terjadi pada hari keempat mencapai 17,593%. Perubahan susut bobot terlihat pada Gambar 11. Perbedaan titik awal (nilai pada hari ke-0) kemungkinan diakibatkan oleh pengerjaan tiap perlakuan yang tidak dilakukan secara bersamaan.

Gambar 11. Perubahan susut bobot pada kulit kopi selama fermentasi

Pada tahap persiapan, terlebih dahulu kulit kopi dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari. Setelah kering, kulit kopi dihancurkan hingga menjadi bubuk kulit kopi. Kondisi kulit kopi sebelum fermentasi kemungkinan mempengaruhi susut bobot kulit kopi selama fermentasi berlangsung dimana sudah terlebih dahulu terjadi proses perubahan senyawa pada kulit kopi akibat perlakuan fisik dan reaksi kimia enzimatis.


(27)

24 0 10 20 30 40 50

0 1 2 3 4 5

% kar b ih id rat Hari Ke

Suhu 30 Suhu 40 Suhu 50

Sebelum terjadi proses fermentasi pada kulit, kandungan hemiselulosa dipecah terlebih dahulu oleh bakteri menjadi gula-gula yang lebih sederhana. Saat fermentasi berlangsung, gula-gula sederhana tersebut mengalami proses enzimatis dan akhirnya menghasilkan alkohol serta karbondioksida. Kemungkinan terjadi penguapan pada hasil akhir reaksi fermentasi yaitu karbondioksida yang membuat kulit kopi mengalami penurunan bobot. Peningkatan dan penurunan susut bobot yang terjadi pada kulit selama fermentasi cukup fluktuatif. Hal ini juga diperkirakan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sama setiap harinya, sehingga jumlah karbondioksida yang mengalami penguapan juga berbeda serta komponen yang ada di dalam kulit untuk bakteri tersebut tetap hidup juga berbeda setiap harinya.

3. Analisis Karbohidrat Biji Kopi

Analisis karbohidrat ini dilakukan untuk mengetahui perubahan total karbohidrat yang terjadi pada biji kopi selama fermentasi bakteri xilanolitik berlangsung. Penambahan bakteri xilanolitik selama fermentasi pada suhu 30oC menyebabkan kadar karbohidrat biji kopi mencapai angka tertinggi pada hari kedua sebesar 22,193% dan sempat mengalami penurunan pada hari ketiga menjadi 18,435%. Setelah itu, kadar karbohidrat terus naik sampai hari kelima. Pada suhu fermentasi 40oC, angka tertinggi terdapat pada hari ke pertama dengan kadar karbohidrat mencapai 25,536% dan terus mengalami penurunan sampai hari ketiga dengan kadar karbohidrat mencapai 12,045%. Untuk suhu fermentasi 50oC, perubahan kadar karbohidrat cenderung menurun. Sejak hari fermentasi pertama, karbohidrat terus mengalami penurunan walaupun sempat mengalami kenaikan, namun tidak terlalu signifikan, seperti tertera pada Gambar 12. Sama halnya dengan pengujian susut bobot, perbedaan titik awal (nilai pada hari ke-0) kemungkinan diakibatkan oleh pengerjaan tiap perlakuan yang tidak dilakukan secara bersamaan.

Gambar 12. Perubahan kadar karbohidrat pada biji kopi selama fermentasi

Pada fermentasi suhu 30oC, kadar karbohidrat pada biji cenderung meningkat. Ini ditandai dengan pemecahan karbohidrat menjadi gula-gula sederhana yang membuat kadar karbohidrat semakin tinggi. Sedikit berbeda dengan suhu fermentasi 30oC, kadar karbohidrat saat fermentasi suhu 40oC mulai menurun karena kemampuan bakteri melalui enzim dalam memecah karbohidrat tidak dapat berlangsung secara terus menerus. Hal ini dibuktikan dengan perubahan kadar karbohrat pada


(28)

25 0 2 4 6 8 10 12

0 1 2 3 4 5

% p ro te in Hari Ke

hari ke-0 sampai hari pertama mengalami kenaikan sampai kadar 25,536%, disusul dengan penurunannya sampai hari ke tiga. Bahkan saat fermentasi suhu 50oC, kadar karbohidrat pada biji semakin lama semakin menurun. Ini diakibatkan oleh kurang mampunya bakteri dalam memecah karbohidrat menjadi gula sederhana pada suhu 50oC.

Perubahan kadar karbohidrat dalam berbagai perlakuan suhu fermentasi disebabkan oleh adanya perubahan polisakarida menjadi gula-gula yang lebih sederhana. Klasifikasi karbohidrat terdiri dari monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida langsung dapat difermentasi, akan tetapi disakarida, pati ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi komponen sederhana, yaitu monosakarida baru setelah itu bisa difermentasi. Selanjutnya, dari gula sederhana akan dihasilkan asam lemak mudah menguap (volatile

fatty acid) yang terdiri dari asetat, propionat, butirat, isobutirat, valerat, dan isovalerat (Preston dan

Leng, 1987).

4. Analisis Protein Biji Kopi

Analisis protein juga dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perubahan yang terjadi sebagai efek dari penambahan bakteri xilanolitik selama proses fermentasi. Pada suhu 30oC, terjadi penurunan kadar protein sampai hari ketiga dengan kadar protein sebesar 9,74%. Pada suhu fermentasi 40oC, kadar protein terendah terdapat pada hari kelima dengan nilai sebesar 8,95%. Pada suhu fermentasi 50oC, kadar protein terendah terdapat pada hari kedua dengan kadar protein mencapai 8,59%. Perubahan kadar protein terlihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Perubahan kadar protein pada biji kopi selama fermentasi

Berkurangnya kadar protein saat fermentasi xilanase mengindikasikan dikonsumsinya protein sebagai sumber nitrogen. Bakteri memerlukan protein sebagai salah satu nitrogen organik dalam pertumbuhannya (Rachman, 1989). Diperkirakan bakteri xilanolitik ini mampu memfermentasi biji kopi dengan N sehingga asam dan alkohol yang dihasilkan mampu merangsang terbentuknya senyawa

volatile aromatic pada biji kopi. Ketika dikeluarkan dalam bentuk feses oleh luwak, biji kopi tersebut

akan memiliki aroma yang khas dan berbeda dari kopi biasa pada umumnya. Proses fermentasi memecah protein menjadi asam-asam amino sehingga dapat menghasilkan rasa yang unik pada kopi.

Menurut Said (1987), dalam proses fermentasi akan diperoleh hasil ikutan seperti gliserol, asam laktat, asam asetat asetaldehida, dan 2,3 butilen glikol. Protein pada substrat akan diubah oleh


(29)

26 enzim lipase menjadi asam lemak, dan asam lemak ini akan bereaksi dengan alkohol menjadi ester, dimana ester inilah yang menjadi aroma dan flavor.

Berdasarkan hasil tersebut, maka biji kopi yang dipilih untuk uji lebih lanjut adalah biji kopi untuk suhu fermentasi 30oC pada hari ke dua (2A) dan tiga (3A), dan biji kopi untuk suhu 40oC pada hari ke dua (2B) dan tiga (3B). Pada kedua hari tersebut, kadar karbohidrat pada biji mengalami penurunan dan kadar proteinnya mengalami kenaikan. Ini disebabkan oleh kemampuan bakteri xilanolitik mendegradasi karbohidrat secara optimal pada hari dan suhu tersebut. Hal ini juga didukung oleh suhu fermentasi di dalam perut luwak yaitu sekitar 37oC, berada diantara 30oC dan 40oC.

5. Pengujian Asam Organik menggunakan HPLC

Asam organik adalah hasil samping dari fermentasi kopi. Hasil dai uji keasaman kopi hasil fermentasi tertera pada Tabel 3. Uji keasaman pada biji kopi fermentasi, menunjukan bahwa kadar asam oksalat pada biji cukup rendah sekitar 0,03-0,06%, sedangkan kadar asam oksalat pada biji kopi arabika mencapai 0,3% dan biji kopi luwak 0,17%. Kadar asam oksalat yang tinggi akan menyebabkan terjadinya pembentukan dan penumpukan kristal kalsium oksalat. Penumpukan ini dapat menyebabkan penyakit ginjal pada manusia karena oksalat berinteraksi dengan kalsium atau ion-ion lainnya (Munir, 2005).

Di bandingkan asam oksalat, kadar asam butirat pada biji hasil fermentasi menunjukan nilai yang cukup tinggi hingga mencapai 0,12%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan biji kopi arabika yang mempunyai kadar asam oksalat sebesar 0,0072% dan biji kopi luwak sebesar 0.0082%. Kopi yang mengandung serat kasar berupa hemiselulosa dapat didegradasi oleh bakteri xilanolitik dan menghasilkan asam lemak yang mudah menguap (volatile fatty acid), salah satunya adalah asam butirat. Butirat dapat menghambat pertumbuhan sel-sel kanker kolorektal dengan cara menghambat proliferasi sel, serta meningkatkan kemampuan diferensiasi dan apoptosis sel (Syamsir, 2008).

Berdasarkan perubahan yang terjadi pada karbohidrat sebagai akibat dari aktivitas mikroorganisme, maka produk fermentasi dapat dikelompokan sebagai proses fermentasi yang merubah karbohidrat menjadi asam-asam organik dan alkohol serta karbondioksida sebagai komponen utama. Proses fermentasi dikatakan bersifat homofermetatif jika hanya menghasilkan satu jenis komponen saja sebagai hasil utamanya dan heterofermentatif jika menghasilkan campuran berbagai senyawa atau komponen utama. Lintasan metabolisme Embedden-Meyerhoff-Parnas merupakan lintasan yang umum terjadi pada proses fermentasi. Asam laktat merupakan bagian dari produk fermentasi piruvat (Dawes dan Large, 1982). Data fermentasi menunjukan perubahan asam laktat yang tidak terlalu signifikan. Pada suhu 30oC, asam laktat dari hari kedua mengalami kenaikan dari 0,59% menjadi 0,61% pada hari ketiga. Namun pada suhu 40oC, asam laktat pada hari kedua mengalami penurunan dari 0,58% menjadi 0,53% pada hari ketiga. Hasil ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar asam laktat biji kopi arabika yang hanya 0,0074% dan pada biji kopi luwak sebesar 0,0026%. Asam laktat dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri penyebab penyakit (bakteri patogen) dan bakteri pembusuk makanan (Lawalata et al., 2010).


(30)

27 Tabel 2. Hasil pengujian asam organik menggunakan HPLC

Sampel Asam Oksalat (%)

Asam Laktat (%)

Asam Butirat (%)

Vitamin C (mg/100g)

Kafein (mg/100g)

2A 0.03 0.59 0.06 8.99 199.83

3A 0.06 0.61 0.1 7.68 194.53

2B 0.04 0.58 0.12 6.23 166.06

3B 0.04 0.53 0.1 10.29 181.04

Kopi Arabika 0.3 0.0074 0.0072 22.46 221.96

Kopi Luwak 0.17 0.0026 0.0082 20.28 342.74 Keterangan : 2A : Fermentasi Hari ke-2 suhu 30oC

2B : Fermentasi Hari ke-2 suhu 40oC 3A : Fermentasi Hari ke-3 suhu 30oC 3B : Fermentasi Hari ke-3 suhu 40oC

Pada berbagai perlakuan fermentasi, kadar kafein yang dihasilkan tidak jauh berbeda, yaitu sekitar 166,06-199,83 mg/100 g. Sementara itu, kadar kafein biji kopi arabika sebesar 221,96 mg/100g dan pada biji kopi luwak sebesar 342,74 mg/100 g. Hal ini menunjukan bahwa fermentasi ini dapat menurunkan kadar kafein pada kopi. Sebagai informasi tambahan, tingginya kadar kafein dapat menimbulkan reaksi yang tidak dikehendaki seperti insomnia, gelisah, dan pernapasan meningkat (Misra, 2008).

Kadar vitamin C pada kopi selama proses fermentasi lebih rendah dibandingkan dengan kopi arabika dan kopi luwak. Hasil ini menunjukan bahwa lamanya fermentasi berpengaruh terhadap perubahan kadar vitamin C. Hal ini didukung oleh Andarwulan (1992) yang menyatakan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka kadar vitamin C semakin menurun, karena mengalami proses oksidasi yang terjadi saat fermentasi alkohol dan pembentukan asam-asam organik selama proses fermentasi. Selain itu, perlakuan suhu juga berpengaruh terhadap perubahan kadar vitamin C karena menurut Winarno (2002), vitamin C merupakan vitamin yang mudah rusak oleh panas, alkali, dan enzim.


(31)

28

V. PENUTUP

5.1 SIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jenis bakteri terbaik adalah FLx5 yang teridentifikasi sebagai Agrobacterium tumifaciens. Bakteri ini dipilih karena mempunyai aktivitas enzim lebih tinggi, yaitu 0,294 nKat/ml, dibanding FLx3 (yang teridentifikasi sebagai Stenotrophomonas sp.) sebesar 0,091 nKat/ml. Perlakuan fermentasi terbaik terdapat pada hari kedua dan ketiga dengan suhu 30 dan 40oC. Perlakuan ini dipilih karena terdapat susut bobot dan kadar karbohidrat yang cukup rendah. Hasil pengujian asam organik menunjukan bahwa perlakuan terbaik diperoleh untuk hari kedua dengan suhu 40oC, karena pada perlakuan ini terdapat kadar kafein, vitamin C, asam oksalat dan asam laktat terendah serta asam butirat tertinggi. Hasil ini lebih baik jika dibandingkan dengan kadar asam kopi luwak.

.

5.2 SARAN

Perlu dilakukan uji organoleptik dan kesukaan konsumen. Uji ini dilakukan untuk mengetahui nilai dari citarasa dan aroma dari kopi yang sudah dihasilkan.


(32)

FERMENTASI KOPI MENGGUNAKAN BAKTERI

XILANOLITIK DARI LUWAK

SKRIPSI

PANDUDAMAI INSANI TAUFIQ

F34070124

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(33)

29

DAFTAR PUSTAKA

Amraini, S. Z. 2008. Produksi Gula dari Jagung dengan Proses Enzimatik secara Fermentasi Kultur Padat. Jurnal Teknologi Proses, 141-150.

Anggara, Anies, Marini, dan Sri. 2011. Kopi Si Hitam Menguntungkan : Budi Daya dan Pemasaran.

Yogyakarta : Penerbit Cahaya Atma Pustaka

Andarwulan, N. dan Koswara. 1992. Kimia Vitamin, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Rajawali, Jakarta

Anonim. 2010. Coffee Beans Varieties Of Coffee: Arabica and

Robusta. http://www.talkaboutcoffee.com/coffee_beans.html. [17 Juli 2012]

Association of Official Analytical Chemists. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of

Official Analytical Chemists. 14th ed. AOAC Inc. Arlington, Virginia

Bauman, R. W. 2004. Microbiology. Benjamin Cummings, Toronto.

Beckers, J. L. 2004. Determination of Caffein in Coffee Sense or Nonsense. J Chem Ed, 81 (1):90 Bevilacqua, AE. dan Califano, AN. 1989. Determination of Organic Acid in Dairy Product by High

Performance Liquid Chromatography. J. Food Sci. 56 (4), 1076-1077.

Church, D.C. dan Pond, W.G. 1988. BasicAnimal Nutrition and Feeding. Wiley, New York. Clarke, RJ. dan Macrae, R. 1987. Coffe chemestry (Volume 1). Elsevier Applied Science, New York. Clarke, RJ. dan Macrae, R. 1987. Coffe Technology (Volume 2). Elsevier Applied Science, New York. Don, J., Brenner, Krieg, N.R. & Staley, J.T. 2003. The Proteobacteria, Part B The

Gammaproteobacteria. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology Second ed. Springer.

Dreywood R. 1946.Qualitative test for carbohydrate material. Ind. Eng. Chem. (Anal. ed.) 18:499.

Elias, L.G. 1979. Chemical Composition of Coffe-Berry by Product. p.11-16 InJ.E. Braham and R. Bressani ( Eds ). Coffe Pulp Composition Technologyand Utilization. International Development Research Centre. Ottawa. Dalam Mulato, S.Atmawinata, O. dan Yusianto. 1996. Perancangan DanPengujian Tungku Pembakaran Kulit Kopi Sistem Fluidasi. PelitaPerkebunan.Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao, vol 12 (2)

Fengel, D. dan Wagner, D. 1984. Wood Chemistry Ultra Structure Reaction. New York, Berlin, Walter de Gluyter.

Fontes, C.M et al. 2000. A novel Cellvibrio mixtus family 10 xylanase that is both intracellular and


(34)

30 Foreign Agriculrural Service. 2012. Coffee : World Markets and Trad. United States Departement of

Agriculture.

Henry, JB. 2010. Role of Colonic Short-Chain Fatty Acid Transport in Diarrhea. Annual Review of Physiology 72:297-313

Hodgkinson A. 1977. Oxalic Acid in Biology and Medicine. Academic Press, London.

Hoeger, WWK.., Turner, LW., dan Hafen, BQ. 2002. Wellness: Guidelines for a healthy lifestyle (3rd ed.). Belmont, CA: Wadsworth Group.

Iriani, N. 2004. Perubahan Kandungan Oksalat Selama Proses Silase Rumput Setaria. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian, Bogor.

Judoamidjojo, RM., Said, EG., dan Hartoto, L. 1989. Biokonversi. PAU Bioteknologi-IPB, Bogor. Kulkarni, N., Shendye, A., dan Rao, M. 1999. Molecular and Biotechnological aspect of Xylanases.

FEMS Microbiol. Rev. 23 : 411-456.

Lawalata, H.J., Sembiring, L., Rahayu, E.S. 2010. Bakteri Asam Laktat pada Bakasang dan Aktivitas

Penghambatnya terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk. Seminar Nasional Biologi,

Yogyakarta.

Misra H, D. Mehta, B.K. Mehta, M. Soni, D.C. Jain. 2008. Study of Extraction and HPTLC – UV

Method for Estimation of Caffeine in Marketed Tea (Camellia sinensis) Granules.

International Journal of Green Pharmacy : 47-51.

Miller, G.L. 1959. Use of Dinitrosalicylic Acid for Determination of Reducing Sugar. Anal Chem 31 : 426-428.

Munir E. 2005. Peranan Asam Oksalat Dalam Degradasi Lignoselulosa. Seminar Nasional Kimia II, Medan.

Oktarina, Eva. 2008. Penapisan dan Uji Aktivitas Bakteri Alkalo terhadap Penghasil Xilanase

[skripsi]. Depok : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia Panggabead, Edy. 2011. Buku Pintar Kopi. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Preston, TR. dan Lang, RA. 1987. Matching Ruminants Production Systems with Available Resource

in The Tropics and Subtropics. Penambul Books, Armidale, New South Wales, Australia.

Putri. 2008. Fakta Tengtang Kopi : Efek Baik dan Buruk untuk Tubuh.. www.ebsfm.com/artikel.php?rubikID=3&artID=248. [17 Juli 2012]


(1)

36 Lampiran 4. Hasil Pengujian HPLC pada Kopi Luwak


(2)

37 Lampiran 5. Hasil Pengujian HPLC pada Kopi Arabika


(3)

38 Lampiran 6. Hasil Pengujian HPLC pada Kopi Fermentasi 2A


(4)

39 Lampiran 7. Hasil Pengujian HPLC pada Kopi Fermentasi 2B


(5)

40 Lampiran 8. Hasil Pengujian HPLC pada Kopi Fermentasi 3A


(6)

41 Lampiran 9. Hasil Pengujian HPLC pada Kopi Fermentasi 3B