Karakteristik rumahtangga miskin KEMISKINAN DI DKI JAKARTA

Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh KRT di permukiman kumuh dapat dilihat pada Tabel 4.4 dimana persentase KRT yang bekerja sebagai tenaga produk si , operator dan pekerja kasar mempunyai persentase yang tinggi di lokasi RW kumuh yaitu 36 persen. Jenis pekerjaan yang termasuk dalam katagori tenaga produksi, operator dan pekerja kasar antara lain adalah buruh pabrik, supir, dan tukang bangunan. Sedangkan persentase rumahtangga dengan KRT bekerja sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana cukup rendah yaitu 12 persen. Gambar 4.2 Rata-rata Upah dan Jenis Pekerjaan Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal , DKI Jakarta 2004 Dari rata-rata upah yang diterima oleh KRT yang berstatus sebagai buruh di RW kumuh lebih kecil dibandingkan dengan yang diterima oleh KRT di RW tidak kumuh hampir di semua jenis pekerjaan.

4.2. Karakteristik rumahtangga miskin

Berbagai kondisi dalam suatu rumahtangga dapat menyebabkan rumahtangga tersebut menjadi terperangkap dalam kemiskinan. Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil bahwa terdapat beberapa karakteristik yang dapat mencirikan suatu rumahtangga miskin. Williamson et all 1975 menyatakan bahwa ada karakteristik yang terjadi di rumahtangga miskin. Lainnya Tng Prod pkrj ksr Tng Ush Jasa Tng Ush Penjualan Pjbt Pelaksana, Tena Tng Kepemimpinan dan Tng Profesional dan rata-rata upah 3000000 2750000 2500000 2250000 2000000 1750000 1500000 1250000 1000000 750000 500000 250000 Lokasi RW tdk Kumuh RW Kumuh Kejadian kemiskinan sering terjadi pada rumahtangga dengan KRT yang tidak bekerja, KRT perempuan, lapangan usaha KRT, etnis, dan lokasi tempat tinggal. 4.2.1 Jenis kelamin kepala rumahtangga Kejadian kemiskinan di rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan sedikit lebih tinggi dari yang dikepalai oleh laki- laki. Sekitar 2-3 rumahtangga dari 100 rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan termasuk dalam katagori miskin, sedangkan kejadian kemiskinan di rumahtangga dengan KRT laki- laki tercatat sebesar 2,03 persen artinya adalah dari 100 rumahtangga yang dikepalai laki- laki terdapat 2 rumahtangga yang miskin. Keadaan ini tidak berbeda dengan kejadian kemiskinan baik di lingkungan RW tidak kumuh maupun RW kumuh. Sekitar 2,67 persen rumahtangga yang dikepalai oleh laki- laki di lingkungan RW kumuh mengalami kejadian kemiskinan sedangkan yang dikepalai oleh peremuan tercatat sekitar 3,13 persen. Di lingkungan RW tidak kumuh, sekitar 1,67 persen rumahtangga yang dikepalai oleh laki- laki mengalami kejadian kemiskinan dan yang dikepalai oleh perempuan adalah sekitar 2,26 persen. Distribusi rumahtangga miskin berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase rumahtangga miskin dengan KRT perempuan tercatat di bawah 20 persen baik secara total 16,18 persen, di lokasi RW tidak kumuh 17,57 persen maupun di lokasi RW kumuh 14,52 persen. Hal ini mungkin disebabkan adanya masalah kultural dimana laki- laki suami selalu ditempatkan sebagai KRT walaupun yang menunjang kehidupan keluarga adalah perempuan istri. 4.2.2. Besaran rumahtangga Ukuran rumahtangga yang besar dapat meningkatkan beban rumahtangga secara secara ekonomi, sehingga apabila peningkatan besaran rumahtangga tanpa didukung oleh kemampuan ekonomi rumahtangga akan mengakibatkan rumahtangga terperangkap dalam kemiskinan. Rata-rata besaran rumahtangga di DKI Jakarta adalah 4 orang per rumahtangga, besaran yang hampir sama terjadi baik di RW kumuh mapun tidak kumuh. Besaran rumaht angga untuk rumahtangga miskin hampir mencapai 6 orang, kondisi ini terjadi baik di lingkungan RW kumuh maupun tidak kumuh. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka kejadian kemiskinan akan semakin tinggi. Sekitar 1 rumahtangga dari 100 rumahtangga dengan besaran rumahtangga 3-5 orang mengalami kejadian kemiskinan, angka ini meningkat menjadi 6 per 100 rumahtangga pada rumahtangga dengan besaran 6 orang ke atas Tabel 4.5. Di RW kumuh, kejadian kemiskinan yang dialami oleh rumahtangga dengan ukuran antara 3-5 orang adalah 1,71 persen sangat berbeda jauh dengan angka kemiskinan di rumahtangga dengan ukuran lebih dari 6 orang yaitu 9,81 persen. Gambaran yang sama terjadi pula di lokasi RW tidak kumuh namun dengan kejadian kemiskinan yang lebih kecil. Angka kemiskinan pada rumahtangga dengan ukuran 3-5 orang tercatat sekitar 1,18 persen dan untuk rumahtangga dengan besaran 6 orang atau lebih adalah 5,01 persen. Besaran rumahtangga dapat menurunkan pengeluaran per kapita rumahtangga sehingga semakin besar jumlah anggota rumahtangga semakin kecil pengeluaran per kapita, sehingga rumahtangga akan rumahtangga akan masuk dalam katagori miskin. Namun demikian peningkatan besaran rumahtangga dapat pula meningkatkan pengeluaran per kapita apabila disertai dengan peningkatan jumlah anggota rumahtangga yang bekerja. Penyebaran rumahtangga miskin berdasarkan ukuran rumahtangga menunjukkan bahwa hanya sedikit rumahtangga miskin yang mempunyai ukuran rumahtangga dua orang atau kurang. Rumahtangga miskin banyak terdapat pada rumahtangga dengan ukuran 3-5 orang 41,91 persen dan 6 orang ke atas 56,62 persen. 4.2.3. Pendidikan Karakteristik lain yang sering ditemui pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan KRT yang rendah. Pendidikan sering diasumsikan berkaitan tingkat kesejahteraan. Tingkat pendidikan diyakini dapat membuka peluang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka Pradhan et all, 2000 Kejadian kemiskinan meningkat seiring dengan menurunnya tingkat pendidikan, angka kemiskinan pada rumahtangga dengan KRT berpendidikan SMA ke atas hanya sebesar 0,80 persen jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kejadian kemiskinan pada rumahtangga dengan KRT berpendidikan paling tinggi SD atau SMP yang mencapai 4,07 persen dan 2,71 persen Tabel 4.5. Kejadian kemiskinan berdasarkan tingkat pendidikan KRT baik di RW kumuh maupun tidak kumuh mempuunyai pola yang sama dengan kejadian kemiskinan di DKI Jakarta secara umum. Di RW kumuh kejadian kemiskinan tertinggi dialami oleh rumahtangga dengan KRT yang berpendidikan hanya sampai SD yaitu 4,99 persen diikuti oleh yang berpendidikan pendidikan SMP dan SMA ke atas masing- masing 2,23 persen dan 1,16 persen. Di lokasi RW tidak kumuh kejadian kemiskinan pada rumahtangga dengan KRT berpendidikan hanya sampai SD mencapai 3,38 persen, kemudian diikut dengan yang berpendidikan SMP sekitar 3,05 persen dan yang berpendidikan SMA sekitar 0,66 persen. 4.2.4. Pekerjaan Williamson et al 1975 menyatakan bahwa penduduk miskin adalah penduduk yang tidak mempunyai sumberdaya ekonomi untuk hidup secara memadai. Salah satu sumberdaya ekonomi rumahtangga adalah pekerjaan yang dimiliki oleh KRT. Dengan tekanan hidup yang cukup tinggi di DKI Jakarta, seseorang akan berusaha untuk bekerja apa pun jenis pekerjaannya. Apabila dikatakan bahwa salah satu ciri rumahtangga miskin adalah KRT tidak bekerja, maka di DKI Jakarta kurang ada bukti yang mendukung hal tersebut. Kejadian kemiskinan di rumahtangga dengan KRT tidak bekerja tercatat sebesar 2,58 persen masih lebih rendah dibandingkan dengan kejadian kemiskinan pada rumahtangga dengan KRT bekerja di sektor informal yang mencapai 3,05 persen, namun sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan kejadian kemiskinan pada rumahtangga yang dikepalai oleh pekerja di sektor formal yang tercatat sebesar 1,54 persen Tabel 4.5. Sektor pekerjaan dari KRT sering dikaitkan dengan kemiskinan, KRT yang bekerja di sektor informal akan lebih miskin dibandingkan dengan yang bekerja di sektor formal. Haris-Todaro diacu dalam Kashliwal 1995 menyatakan bahwa upah yang diterima oleh pekerja di sektor formal perkotaan jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor informal. Distribusi persentase rumahtangga miskin berdasar sektor pekerjaan KRT menunjukkan bahwa terdapat sekitar 20,59 persen rumahtangga miskin dikepalai oleh seseorang yang tidak bekerja, 42,65 persen dikepalai oleh pekerja di sektor formal dan sisanya adalah KRT yang bekerja di sektor informal. Lapangan usaha yang dijala ni oleh KRT dapat pula menjadi penciri dari rumahtangga miskin. Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa KRT yang bekerja di sektor pertanian lebih miskin dibandingkan dengan yang berkerja di lapangan kerja lainnya. Namun di DKI Jakarta tidaklah demikian, karena sektor pertanian bukan merupakan sektor andalan sehingga tidak menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak. Sektor perdagangan, jasa dan industri, adalah sektor- sektor yang berperan besar dalam menyerap tenaga kerja BPS DKI Jakarta, 2004 dan hal ini didukung pula oleh distribusi persentase rumahtangga miskin berdasarkan lapangan usaha dari kepala keluarga. Sekitar 27,21 persen rumahtangga miskin dikepalai oleh pekerja di sektor perdagangan kemudian diikuti oleh yang bekerja di sektor jasa 19,12 persen dan sektor industri 11,76 persen. Apabila dilihat kejadian kemiskinan berdasarkan lapangan usaha KRT, maka kejadian kemiskinan paling tinggi terjadi pada rumahtangga dengan KRT yang bekerja di sektor jasa yaitu 3,06 persen kemudian diikuti dengan yang bekerja di sektor konstruksi 2,80 persen dan yang bekerja di sektor angkutan 2,46 persen. Di lokasi RW kumuh kejadian kemiskinan yang paling tinggi dialami oleh rumahtangga dengan KRT yang bekerja di sektor jasa yaitu sekitar 4,88 persen. Sektor jasa yang memberikan peluang rumahtangga menjadi miskin adalah sub sektor jasa perseorangan yaitu sektor jasa yang melayani perseorangan seperti pembantu rumahtangga, tukang kebun, sopir pribadi, kuli angkut di pasar dan lain sebagainya. Kejadian kemiskinan yang cukup tinggi dialami pula oleh rumahtangga dengan KRT bekerja di sektor konstruksi yaitu sekitar 3,77 persen. Pekerja kasar yang bekerja di sektor konstruksi seperti tukang batu, tukang semen dan lain sebagainya berpeluang mengalami kejadian kemiskinan yang cukup tinggi. Di RW tidak kumuh rumahtangga dengan KRT yang bekerja di sektor angkutan mengalami kejadian kemiskinan yang paling tinggi yaitu sekitar 2,33 persen kemudian diikuti dengan rumahtangga yang kepalanya bekerja di sektor konstruksi dan jasa yaitu masing- masing 2,22 persen dan 2,13 persen. Pekerja yang bekerja di sektor angkutan umumnya bekerja sebagai pekerja kasar seperti pengemudi angkutan umum. Tabel 4.5 Karakteristik Rumahtangga Miskin, DKI Jakarta, 2004 RW tidak kumuh RW kumuh Total Karakteristik rumahtangga Kejadian kemiskinan terhadap total miskin Kejadian kemiskinan terhadap total miskin Kejadian kemiskinan terhadap total miskin Jenis Kelamin KRT Laki-laki 1.67 82.43 2.67 85.48 2.03 83.82 Perempuan 2.26 17.57 3.13 14.52 2.55 16.18 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Besaran Rumahtangga 2 orang 0.28 2.70 0.00 0.00 0.17 1.47 3-5 orang 1.18 43.24 1.71 40.32 1.37 41.91 6 orang + 5.01 54.05 9.81 59.68 6.55 56.62 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Tingkat Pendidikan KRT SD 3.38 47.30 4.99 62.90 4.07 54.41 SMP 3.05 31.08 2.23 19.35 2.71 25.74 SMA+ 0.66 21.62 1.16 17.74 0.80 19.85 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Status bekerja KRT Formal 1.32 44.59 1.96 40.32 1.54 42.65 Infomal 2.74 36.49 3.51 37.10 3.05 36.76 Tidak bekerja 1.88 18.92 4.11 22.58 2.58 20.59 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Lapangan Kerja KRT industri 1.17 9.46 1.89 14.52 1.49 11.76 konstruksi 2.22 5.41 3.77 6.45 2.80 5.88 perdagangan 1.95 31.08 2.08 22.58 2.00 27.21 angkutan 2.76 16.22 1.85 6.45 2.46 11.76 jasa 2.13 16.22 4.88 22.58 3.06 19.12 lainnya 1.26 21.62 3.31 27.42 1.85 24.26 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Jenis Pekerjaan KRT Tng Profesional dan Tenaga lain ybdi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Tng Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Pjbt Pelaksana, Tenaga TU dan tenaga ybdi 1.03 6.76 0.98 3.23 1.01 5.15 Tng Ush Penjualan 1.99 24.32 2.28 19.35 2.09 22.06 Tng Ush Jasa 2.51 16.22 4.06 17.74 3.07 16.91 Tng Prod pkrj ksr 2.18 33.78 2.82 37.10 2.45 35.29 Lainnya 1.69 18.92 3.84 22.58 2.35 20.59 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak termasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu Catatan : - Kejadian kemiskinan : jumlah rumahtangga miskin dibagi dengan jumlah rumahtangga pada karakteristik tersebut - Persentase terhadap total miskin adalah : jumlah rumahtangga miskin dibagi dengan jumlah rumahtangga miskin. Selain sektor pekerjaan, jenis pekerjaan dapat pula menjadi penciri kemiskinan suatu rumahtangga. Tabel 4.5 memperlihatkan kejadian kemiskinan berdasarkan jenis pekerjaan yang ditekuni oleh KRT. Kejadian kemiskinan tertinggi dialami oleh rumahtangga dengan KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa yaitu 3,07 persen diikuti oleh yang KRTnya yang bekerja sebagai tenaga produksi dan pekerja kasar yaitu 2,45 persen. Jenis pekerjaan yang dapat dikatagorikan sebagai tenaga jasa antara lain pembantu rumahtangga, buruh cuci, pembersih gedung, penjaga keamanan, pemangkas rambut dan lain sebagainya. Sedangkan jenis pekerjaan sebagai tenaga produksi dan pekerja kasar antara lain buruh pabrik, montir, jasa reparasi, supir, tukang batu, buruh bangunan dan lain sebagainya. 4.2.5. Kondisi Tempat Tinggal Karakteristik tempat tinggal dapat juga menjadi penciri rumahtangga miskin. Beberapa karakteristik tempat tinggal yang dapat memperlihatkan kondisi kemiskinan antara lain adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, akses terhadap jamban, dan akses terhadap air bersih. Tabel 4.6 menyajikan karakteristik tempat tinggal rumahtangga miskin. Angka kemiskinan berdasarkan dari luas lantai memperlihatkan bahwa semakin besar luas lantai per kapita maka angka kemiskinan semakin kecil. Kejadian kemiskinan pada rumahtangga dengan luas lantai per kapita kurang dari 8 m 2 tercatat 5,12 persen dan kondisi ini terjadi pula baik di RW kumuh mapun tidak kumuh. Hal ini menunjukkan bahwa luas tempat tinggal menjadi kendala bagi rumahtangga miskin. Mereka umumnya tinggal di rumah-rumah yang relatif kecil namun ditinggali oleh banyak anggota rumahtangga. Pendapatan rumahtangga miskin yang relatif rendah menyebabkan mereka kesulitan untuk memiliki atau mempunyai tempat tinggal yang layak. Di lokasi RW tidak kumuh ada juga lokasi yang marjinal seperti di daerah pinggiran rel kereta api atau bantaran sungai. Di lokasi marjinal ini dapat ditemui tempat tinggal yang berlantai tanah, umumnya mereka menutupi lantai tanah tersebut dengan karpet plastik. Kejadian kemiskinan pada rumahtangga berlantai tanah di lokasi RW tidak kumuh cukup tinggi yaitu hampir mencapai 7,14 persen. Sedangkan yang di RW kumuh hanya 1,09 persen. Tabel 4.6 Karakteristik Tempat Tinggal Rumahtangga Miskin, DKI Jakarta 2004 RW tidak kumuh RW kumuh Total Karakterisktik tempat tinggal Kejadian kemiskinan terhadap total miskin Kejadian kemiskinan terhadap total miskin Kejadian kemiskinan terhadap total miskin luas lantai per kapita 8 5.27 74.32 4.93 69.35 5.12 72.06 8-15 m2 1.27 21.62 1.64 19.35 1.40 20.59 15m2 0.16 4.05 1.05 11.29 0.39 7.35 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Jenis lantai bukan tanah 1.57 86.49 2.80 98.39 2.00 91.91 tanah 7.14 13.51 1.09 1.61 4.74 8.09 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Akses terhadap jamban punya 1.71 97.30 2.72 98.39 2.06 97.79 tidak punya 10.53 2.70 3.70 1.61 6.52 2.21 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Akses terhadap air bersih punya 1.77 100.00 2.74 100.00 2.11 100.00 tidak punya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.75 100.00 2.73 100.00 2.09 100.00 Sumber: diolah dari data mentah Susenas Kor 2004 tidak t ermasuk Kabupaten Adm. Kep. Seribu Akses terhadap jamban dapat pula mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga. Rumahtangga yang tidak memiliki akses terhadap jamban dapat dikatakan bahwa tingkat kehidupan mereka belum dapat layak. Kejadian kemiskinan pada rumahtangga yang tidak memiliki jamban cukup besar yaitu 6,52 persen, namun apabila dilihat dari distribusi persentase rumahtangga miskin berdasarkan akses terhadap jamban maka hampir seluruh rumahtangga miskin mempunyai akses terhadap jamban. Gambaran yang tidak berbeda ditunjukkan pula di lokasi RW kumuh dan RW tidak kumuh. Kejadian kemiskinan pada rumahtangga yang tidak memiliki jamban cukup besar yaitu 3,70 persen di lokasi RW kumuh dan 10,53 persen di lokasi yang tidak kumuh. Keadaan ini menunjukkan bahwa akses terhadap jamban dapat dijadikan indikator kesejaheraan bagi rumahtangga. Akses terhadap air bersih cukup mudah bagi rumahtangga miskin, sehingga distribusi rumahtangga miskin berdasarkan akses terhadap air bersih menunjukkan bahwa hampir 100 persen rumahtangga miskin mempunyai akses terhadap air bersih. Air bersih dapat diakses dengan mudah oleh rumahtangga miskin karena adanya penjualan air leding pikulan di permukiman-permukiman, di samping itu tersedia pula hidran- hidran umum yang dibangun oleh Pemda DKI Jakarta. Akses terhadap air kurang kuat untuk dijadikan penciri kemiskinan rumahtangga.

4.3. Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan