Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta (Studi komparatif di pemukiman kumuh dan tidak kumuh)

(1)

(Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh)

Oleh:

Gandari Adianti

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI DKI JAKARTA

(Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh) adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, November 2005

Gandari Adianti NRP. A155030091


(3)

Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh). Di bawah bimbingan SAID RUSLI dan HERMANTO SIREGAR.

Penelitian ini membahas tentang kemiskinan di DKI Jakarta secara spasial yaitu RW kumuh dan RW tidak kumuh. Tujuan utama dari penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan (2) menguraikan program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan. Penelitian ini menggunakan model pilihan diskrit (discrete choice models) yaitu model regresi logit dengan data utama Susenas Kor 2004. Hasil utama penelitian ini adalah (1) angka kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan RW tidak kumuh (2) faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan mempergunakan peubah-peubah yang sama menunjukkan bahwa adanya perbedaan pengaruh dari beberapa peubah pada masing- masing lokasi (DKI Jakarta secara umum, RW tidak kumuh dan RW kumuh) (3) pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sudah banyak menyentuh faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan, namun pelaksanaannya belum dibedakan secara spasial serta masih menemui berbagai kendala.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menanggulangi kemiskinan perlu menyesuaikan dengan lokasi tempat tinggal penduduk miskin. Demi keberhasilan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan melibatkan kelembagaan lokal.


(4)

©Hak cipta milik Gandari Adianti, tahun 2005

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya


(5)

(Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh)

Oleh:

Gandari Adianti

Tesis

Sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu- Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Judul Tesis : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Pemukiman Kumuh Dan Tidak Kumuh)

Nama : Gandari Adianti Aju Fatimah

NRP : A155030091

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Said Rusli,MA Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu- ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc Tanggal Ujian : 28 Oktober 2005 Tanggal Lulus: ………....


(7)

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT dengan telah selesainya tesis yang berjudul : Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh). Tesis ini merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar Magister di Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor.

Tesis ini diselesaikan dengan atas bimbingan dan bant uan dari berbagai pihak terutama dari komisi pembimbing yang terdiri dari :

1. Ir. Said Rusli, MA

2. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec

Atas bantuan dan arahan yang diberikan kepada penulis, dengan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Ucapan terima kasih yang teramat dalam penulis sampaikan kepada bapak, mama serta teteh, aa, dan ade yang telah memberikan doa, semangat dan kasih sayang. Ungkapan terima kasih juga diucapkan kepada dosen dan staf Program Studi PWD. Bagi teman-teman PWD angkatan 2003 terutama kepada keluarga Drabas (Iwan, Mimi, dan Afud) dan anggota BBC plus Om Bob diucapkan terima kasih atas kesabaran, pengertian dan keikhlasan yang telah memberikan warna baru dalam hidup penulis. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih bagi teman-teman BPS Provinsi DKI Jakarta terutama Mita, Ari, Rini dan Rizal atas dukungan, pengertian serta keikhlasannya sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Akhir kata semoga penelitan yang sudah dilaksanakan bermanfaat bagi semua pihak.

Indraprasta Bogor, November 2005


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bogor pada tanggal 10 September 1968, anak ke enam dari delapan bersaudara dari Ayahanda Achmad Purna dan Ibunda Siti Djulaeha. Setelah selesai menamatkan SMA di SMAN 2 Bogor pada tahun 1987, penulis kemudian melanjutkan studi di Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Program Studi Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh pada tahun 1992. Pada tahun 2003, penulis mendapat beasiswa dari Bappenas untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB program studi Ilmu- ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Sejak tahun 1993 hingga sekarang penulis tercatat sebagai pegawai di lingkungan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta.


(9)

viii

DAFTAR TABEL ………. ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ………. xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ………. 1

Tujuan ……….. 3

Hipotesis ……….. 3

Manfaat ……… 3

TINJAUAN PUSTAKA Kedelai ………. 4

Fitoestrogen ………. 5

Isoflavon ……….. 5

Hormon Estrogen ………. 8

Biologi Umum Tikus Putih (Rattus sp.) ... 10

Ovarium ……… ………... 12

Uterus ………... 13

Kelenjar Mammae ……… 14

Deoxyribonucleic Acid (DNA) dan Ribonucleic Acid (RNA) …………. 15

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 17

Bahan dan Alat ………. 17

Metode Penelitian ………. 17

Rancangan Percobaan ……….. 20

Analisis Data ……… 20

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Korpus Luteum, Jumlah Titik Implantasi, Jumlah Anak dan Bobot Badan Anak ..……… 21 Berat ovari, ? Berat dan Panjang Uterus ………. 23

Analisis Kelenjar Mammae (BKBL dan Aktivitas Sintesis) ... 27

Produksi Air Susu ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN ……….... 31

DAFTAR PUSTAKA ……… 32


(10)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Rata-rata jumlah korpus luteum, jumlah titik implantasi, jumlah anak,

dan bobot lahir anak dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari .……….

22

2 Rata-rata berat ovari dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

23

3 Rata-rata ? berat uterus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

24

4 Rata-rata panjang uterus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

24

5 Rata-rata BKBL kelenjar mammae dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

28

6 Analisis RNA kelenjar mammae induk tikus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

28


(11)

(Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh)

Oleh:

Gandari Adianti

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI DKI JAKARTA

(Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh) adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, November 2005

Gandari Adianti NRP. A155030091


(13)

Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh). Di bawah bimbingan SAID RUSLI dan HERMANTO SIREGAR.

Penelitian ini membahas tentang kemiskinan di DKI Jakarta secara spasial yaitu RW kumuh dan RW tidak kumuh. Tujuan utama dari penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan (2) menguraikan program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan. Penelitian ini menggunakan model pilihan diskrit (discrete choice models) yaitu model regresi logit dengan data utama Susenas Kor 2004. Hasil utama penelitian ini adalah (1) angka kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan RW tidak kumuh (2) faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan mempergunakan peubah-peubah yang sama menunjukkan bahwa adanya perbedaan pengaruh dari beberapa peubah pada masing- masing lokasi (DKI Jakarta secara umum, RW tidak kumuh dan RW kumuh) (3) pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sudah banyak menyentuh faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan, namun pelaksanaannya belum dibedakan secara spasial serta masih menemui berbagai kendala.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menanggulangi kemiskinan perlu menyesuaikan dengan lokasi tempat tinggal penduduk miskin. Demi keberhasilan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan melibatkan kelembagaan lokal.


(14)

©Hak cipta milik Gandari Adianti, tahun 2005

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya


(15)

(Studi komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh)

Oleh:

Gandari Adianti

Tesis

Sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu- Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(16)

Judul Tesis : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Pemukiman Kumuh Dan Tidak Kumuh)

Nama : Gandari Adianti Aju Fatimah

NRP : A155030091

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Said Rusli,MA Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu- ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc Tanggal Ujian : 28 Oktober 2005 Tanggal Lulus: ………....


(17)

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT dengan telah selesainya tesis yang berjudul : Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta (Studi Komparatif di Permukiman Kumuh dan Tidak Kumuh). Tesis ini merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar Magister di Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor.

Tesis ini diselesaikan dengan atas bimbingan dan bant uan dari berbagai pihak terutama dari komisi pembimbing yang terdiri dari :

1. Ir. Said Rusli, MA

2. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec

Atas bantuan dan arahan yang diberikan kepada penulis, dengan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Ucapan terima kasih yang teramat dalam penulis sampaikan kepada bapak, mama serta teteh, aa, dan ade yang telah memberikan doa, semangat dan kasih sayang. Ungkapan terima kasih juga diucapkan kepada dosen dan staf Program Studi PWD. Bagi teman-teman PWD angkatan 2003 terutama kepada keluarga Drabas (Iwan, Mimi, dan Afud) dan anggota BBC plus Om Bob diucapkan terima kasih atas kesabaran, pengertian dan keikhlasan yang telah memberikan warna baru dalam hidup penulis. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih bagi teman-teman BPS Provinsi DKI Jakarta terutama Mita, Ari, Rini dan Rizal atas dukungan, pengertian serta keikhlasannya sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Akhir kata semoga penelitan yang sudah dilaksanakan bermanfaat bagi semua pihak.

Indraprasta Bogor, November 2005


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bogor pada tanggal 10 September 1968, anak ke enam dari delapan bersaudara dari Ayahanda Achmad Purna dan Ibunda Siti Djulaeha. Setelah selesai menamatkan SMA di SMAN 2 Bogor pada tahun 1987, penulis kemudian melanjutkan studi di Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Program Studi Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh pada tahun 1992. Pada tahun 2003, penulis mendapat beasiswa dari Bappenas untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB program studi Ilmu- ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Sejak tahun 1993 hingga sekarang penulis tercatat sebagai pegawai di lingkungan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta.


(19)

viii

DAFTAR TABEL ………. ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ………. xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ………. 1

Tujuan ……….. 3

Hipotesis ……….. 3

Manfaat ……… 3

TINJAUAN PUSTAKA Kedelai ………. 4

Fitoestrogen ………. 5

Isoflavon ……….. 5

Hormon Estrogen ………. 8

Biologi Umum Tikus Putih (Rattus sp.) ... 10

Ovarium ……… ………... 12

Uterus ………... 13

Kelenjar Mammae ……… 14

Deoxyribonucleic Acid (DNA) dan Ribonucleic Acid (RNA) …………. 15

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 17

Bahan dan Alat ………. 17

Metode Penelitian ………. 17

Rancangan Percobaan ……….. 20

Analisis Data ……… 20

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Korpus Luteum, Jumlah Titik Implantasi, Jumlah Anak dan Bobot Badan Anak ..……… 21 Berat ovari, ? Berat dan Panjang Uterus ………. 23

Analisis Kelenjar Mammae (BKBL dan Aktivitas Sintesis) ... 27

Produksi Air Susu ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN ……….... 31

DAFTAR PUSTAKA ……… 32


(20)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Rata-rata jumlah korpus luteum, jumlah titik implantasi, jumlah anak,

dan bobot lahir anak dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari .……….

22

2 Rata-rata berat ovari dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

23

3 Rata-rata ? berat uterus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

24

4 Rata-rata panjang uterus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

24

5 Rata-rata BKBL kelenjar mammae dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

28

6 Analisis RNA kelenjar mammae induk tikus dengan pemberian ekstrak kedelai 5 mg/100 g bb/hari ………..

28


(21)

x

1 Isoflavon bentuk aglikon ………... 8

2 Estrogen alam ……… 9


(22)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis statistik korpus luteum ………. 36

2 Analisis statistik titik implantasi ……….... 36

3 Analisis statistik jumlah anak ……… 37

4 Analisis statistik bobot lahir anak ………. 37

5 Analisis statistik berat ovari K 1 ……… 38

6 Analisis statistik berat ovari K 2 ... 38 7 Analisis statistik berat ovari K 3 ... 39

8 Analisis statistik berat ovari total ……….. 39

9 Analisis statistik ? berat uterus K 1 ……….. 40

10 Analisis statistik ? berat uterus K 2 ……….. 40

11 Analisis statistik ? berat uterus K 3 ……….. 41

12 Analisis statistik ? berat uterus total ...……….. 41 13 Analisis statistik panjang uterus kiri K 1 ………... 42 14 Analisis statistik panjang uterus kiri K 2 ………... 42 15 Analisis statistik panjang uterus kiri K 3 ………... 43 16 Analisis statistik panjang uterus kiri total ..………... 43

17 Analisis statistik panjang uterus kanan K 1 ………. 44

18 Analisis statistik panjang uterus kanan K 2 ………. 44

19 Analisis statistik panjang uterus kanan K 3 ………. 45

20 Analisis statistik panjang uterus kanan total ...………. 45 21 Analisis statistik BKBL K 1 ... 46 22 Analisis statistik BKBL K 2 ... 46 23 Analisis statistik BKBL K 3 ... 47 24 Analisis statistik BKBL total ... 47

25 Analisis RNA kelenjar mammae K 1 ………. 48

26 Analisis RNA kelenjar mammae K 2 ………. 48

27 Analisis RNA kelenjar mammae K 3 ………. 49

28 Analisis RNA kelenjar mammae total ...………. 49

29 Ekstrak kedelai ... 50 30 Analisis isoflavon dengan HPLC ... 51 31 Gambar ovari ... 52 32 Gambar uterus ... 52


(23)

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk perkotaan atau urbanisasi disebabkan oleh tiga proses yaitu pertumbuhan alamiah, migrasi dari desa ke kota, dan klasifikasi ulang daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan. Urbanisasi dapat dikatakan sebagai produk dari pembangunan ekonomi, bukan hanya dari tingginya konsentrasi tenaga kerja di perkotaan tetapi juga karena pembangunan ekonomi mengubah gaya hidup perkotaan yang menciptakan kebutuhan akan infrastruktur dan pelayanan jasa-jasa.

DKI Jakarta tidak terlepas pula dari proses urbanisasi. Jumlah penduduk DKI Jakarta terus meningkat, pada tahun 1961 jumlah penduduk baru mencapai 2,9 juta jiwa kemudian meningkat hampir 2 kali lipat menjadi 4,5 juta jiwa pada tahun 1971. Pada tahun 1980, jumlah penduduk telah mencapai 6,5 juta jiwa kemudian meningkat menjadi 8,2 juta jiwa pada tahun 1990. Hasil Sensus Penduduk 2000 mencatat penduduk DKI Jakata sebesar 8,38 juta. Peningkatan penduduk yang sangat tinggi pada periode 1961-1970 lebih disebabkan pertumbuhan alamiah DKI Jakarta yang sangat tinggi. Pada periode 1967-1970 dan 1971-1975, tingkat fertilitas total (TFR) di DKI Jakarta mencapai 5,2 dan 4,8. Artinya setiap wanita pada usia subur di DKI Jakarta rata-rata akan melahirkan 5 orang anak (Riza l, 1999 unpublished report).

Namun pada periode 1980-an, peran pertumbuhan alami dalam proses urbanisasi mengalami penurunan. Hugo (1997) diacu dalam Rizal (1999) menyebutkan bahwa pertumbuhan alami di Jakarta hanya mencapai 0,9 persen per tahun. Pada periode ini proses urbanisasi di DKI Jakarta banyak didorong oleh migrasi dari desa ke kota (rural to urban migration). Pembangunan ekonomi yang terpusat di DKI Jakata menjadi pemicu berpindahnya penduduk dari daerah lain ke DKI Jakarta. Tidak berkembangnya daerah lain dan lebih terbukanya kesempatan kerja di DKI Jakarta merupakan faktor pendorong dan penarik migrasi (push dan pull factor).


(24)

2

Urbanisasi yang tinggi yang tidak seimbang dengan daya dukung kota akan menyebabkan berbagai permasalahan. Salah satu daya dukung kota yang tidak tidak sebanding dengan tingkat urbanisasi adalah pertumbuhan lapangan kerja di sektor formal di DKI Jakarta. Sehingga penduduk yang tidak memperoleh pekerjaan di sektor formal akan mencari pekerjaan di sektor informal. Over

urbanization di DKI Jakarta telah mendorong pertumbuhan ekonomi sektor

informal yang cukup tinggi. Penduduk yang bekerja di sektor informal mempunyai pendapatan yang rendah. Hal ini karena upah di sektor formal perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan upah di sektor informal perkotaan (Kasliwal, 1995). Yang terjadi selanjutnya adalah meningkatnya penduduk miskin di perkotaan. Williamson (1975) menyatakan bahwa penduduk miskin adalah penduduk yang tidak mempunyai sumber daya ekonomi untuk hidup pada tingkat hidup yang memadai

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di perkotaan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1993, jumlah penduduk miskin perkotaan baru mencapai 8,7 juta jiwa kemudian meningkat menjadi 9,6 jiwa pada tahun 1996. Krisis ekonomi pada tahun 1997 telah berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin, pada tahun 1999 jumlah penduduk miskin perkotaan naik dengan tajam menjadi 15,6 juta jiwa. Berbagai program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan oleh Pemerintah salah satunya adalah Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pemulihan ekonomi disertai dengan pelaksanaan berbagai program pengentasan kemiskinan telah dapat menurunkan jumlah penduduk miskin di perkotaan, bahkan pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin menurun menjadi 12,3 juta. Jumlah penduduk miskin di perkotaan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di perdesaan. Pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 25 juta jiwa.

Jumlah penduduk miskin di perkotaan hanya setengah dari jumlah penduduk miskin perdesaan. Namun masalah kemiskinan perkotaan menjadi sangat penting karena kemiskinan sering menjadi akar dari permasalahan sosial lainnya. Angka kriminalitas yang tinggi, kekurangan gizi balita yang parah serta tingkat


(25)

pendidikan yang rendah sering dikaitkan dengan angka kemiskinan yang tinggi di daerah tersebut.

Masalah kemiskinan pun menjadi salah satu permasalahan utama di DKI Jakarta. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 1999 tercatat 283 ribu orang kemudian meningkat menjadi 288,9 ribu orang pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 294,1 ribu orang.

Kemiskinan perkotaan baik di Jakarta maupun di kota lainnya sering dikaitkan dengan kawasan kumuh perkotaan. Apabila ditelaah, salah satu penyebab terbentuknya kawasan kumuh adalah migrasi desa kota yang sangat tinggi. Namun keberadaan kawasan kumuh yang terus berlanjut sering dihubungkan dengan lingkaran kemiskinan yang tidak putus di kawasan tersebut.

Di DKI Jakarta, sebagai ibukota negara, terdapat kawasan kumuh yang cukup luas. Pada tahun 2000 sekitar 30 persen dari luas DKI Jakarta termasuk dalam kategori kumuh. Daerah kumuh ini tersebar di lima wilayah kota dan satu kabupaten di DKI Jakarta.

Permukiman kumuh yang selalu dikaitkan dengan kemiskinan menyebabkan Pemda DKI Jakarta selalu mengarahkan program pengentasan kemiskinan ke lokasi ini. Pada kenyataanya penduduk miskin tidak hanya terdapat di permukiman kumuh. Agar kebijakan Pemda DKI Jakarta dalam pengentasan kemiskinan lebih terarah, maka diperlukan data penelitian mengenai kemiskinan baik di lingkungan kumuh maupun tidak kumuh. Lebih lanjut analisis mengenai kemiskinan di DKI Jakarta perlu ditekankan pada identifikasi dari faktor- faktor yang berkaitan dengan kemiskinan agar dapat disusun kebijakan ekonomi yang layak. Jika kebijakan yang efektif untuk mengurangi kemiskinan dapat diformulasikan dan dilaksanakan, maka pengetahuan yang lebih dalam tentang karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan menjadi sangat penting (Rodriguez dan Smith, 1994 diacu dalam Ghazouani dan Goaied, 2001). Penelitian mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan masih tidak terlalu banyak. Oleh karena itu penelitian mengenai hal tersebut sangat berguna karena penyebab kemiskinan perlu dipahami dalam rangka menyusun kebijakan yang lebih efisien untuk mengurangi kemiskinan.


(26)

4

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi oleh Pemda DKI Jakarta sangat kompleks salah satunya adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan ini merupakan akar dari permasalahan yang lainnya di DKI Jakarta. Tingkat pendidikan yang rendah, gizi buruk, pengangguran, dan kriminalitas sering dikatakan sebagai produk dari kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta selama 2 tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan seperti yang menurut kotamadya ditunjukkan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin di DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota Berdasarkan Garis Kemiskinan (Kemiskinan absolut) Tahun 2002-2003

2002 2003

Kabupaten/Kota Penduduk

Miskin (000 orang)

Penduduk Miskin (%)

Penduduk Miskin (000 orang)

Penduduk Miskin (%)

Kep Seribu - - 3,1 15,64

Jakarta Selatan 45,1 2,56 47,2 2,54

Jakarta Timur 67,5 2,82 67,4 2,77

Jakarta Pusat 29,5 3,47 37,4 4,26

Jakarta Barat 77,2 4,03 64,3 3,20

Jakarta Utara 67,5 4,66 74,7 5,31

DKI Jakarta 288,9 3,42 294,1 3,42

Sumber : diolah dari data Susenas oleh BPS (2002,2003)

Moser, Gatehouse dan Garcia yang diacu dalam Irawan (2003) menyatakan bahwa kemiskinan sering dikaitkan dengan tiga ciri kehidupan perkotaan yang menonjol. Salah satunya adalah bahaya lingkungan atau environmental hazards yaitu lokasi pemukiman yang padat dan kumuh serta risiko terimbas ole h polusi. Ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan lingkungan kumuh. UN Habitat menyatakan bahwa salah satu penyebab berkembangnya kawasan kumuh adalah peningkatan kemiskinan di perkotaan. Di Jakarta banyak dikenal kantong-kantong kumis yaitu kumuh dan miskin.

Perhatian Pemda DKI Jakarta pada kawasan kumuh ini sangat tinggi terutama dalam rangka pengentasan kemiskinan. Beberapa tahun terakhir


(27)

Pemprov DKI Jakarta melakukan pengumpulan data penduduk miskin yang digunakan dalam program pengentasan kemiskinan, penentuan penduduk miskin tidak berdasarkan pada garis kemiskinan melainkan mengacu pada kriteria kemiskinan berdasarkan 7 kriteria yaitu (a) luas hunian < 8 m2 per kapita, (b) jenis lantai sebagian bukan keramik, teraso, tegel/ubin, atau semen, (c) tidak ada fasilitas air bersih, (d) tidak ada fasilitas jamban/WC, (e) konsumsi lauk pauk tidak bervariasi, (f) tidak mampu membeli pakaian minimal 1 (satu) stel setahun untuk setiap anggota rumahtangga dan (g) tidak memiliki asset rumahtagga. Data kemiskinan dengan menggunakan kriteria tersebut tersaji pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kotamadya di DKI Jakarta Berdasarkan 7 (tujuh) Kriteria Kemiskinan BPS Tahun 2000-2004

Kabupaten/Kotamadya 2000 2002 2003 2004

Kep Seribu 1.811 2.297 2.136 1.860

Jakarta Selatan 41.447 31.887 23.392 25.504

Jakarta Timur 60.883 59.356 55.491 102.957

Jakarta Pusat 43.301 35.872 45.328 68.599

Jakarta Barat 78.557 59.794 59.159 55.915

Jakarta Utara 114.688 102.118 129.196 116.063

DKI Jakarta 340.687 291.324 314.702 370.898

Sumber : Hasil Pendataan Rumahtangga Miskin

Kriteria kemiskinan tersebut menekankan kondisi tempat tinggal sehingga lebih mempererat kaitan kemiskinan dengan permukiman kumuh. UN Habibat menyebutkan bahwa ciri-ciri permukiman kumuh adalah : kekurangan akses terhadap air bersih, kekurangan akses terhadap sanitasi dan infrastruktur lainnya, kualitas rumah yang tidak layak, dan kepadatan penduduk yang tinggi.

Salah satu bentuk kebijakan pengentasan kemiskinan yang mengkaitkan kemiskinan dengan permukiman kumuh di DKI Jakarta tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4487 Tahun 1999 tentang program pembangunan terpadu dalam rangka penanggulangan masalah kemiskinan dan kumuh di beberapa kelurahan di Jakarta Utara. Selain itu berbagai program pengentasan kemiskinan lebih diarahkan pada permukiman kumuh salah satunya adalah Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Namun penduduk miskin tidak hanya tinggal di kawasan kumuh dan penduduk miskin secara relatif belum tentu pula miskin secara absolut. Agar program


(28)

6

pengentasan lebih terarah, maka perlu lebih didalami karakteristik kemiskinan dan faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta.

Oleh karena itu menarik untuk dilakukan studi komparatif di permukiman kumuh dan permukiman tidak kumuh mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Beberapa hal yang akan ditelaah lebih lanjut adalah :

1. Berapa angka kemiskinan yang dialami rumahtangga? 2. Bagaimana karakteristik rumahtangga miskin?

3. Berapa besar kedalaman dan keparahan kemiskinan dan tingkat kesenjangan pendapatan yang terjadi?

4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan?

5. Bagaimana program pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan? 1.3. Tujuan Pe nelitian

Berdasarkan uraian di atas maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemiskinan perkotaan baik di lokasi kumuh maupun tidak kumuh serta kerentanan kemiskinan di DKI Jakarta. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. menghitung angka kemiskinan yang dialami rumahtangga 2. menguraikan karakteristik rumahtangga miskin.

3. menguraikan kedalam dan keparahan kemiskinan serta tingkat kesenjangan pendapatan yang terjadi.

4. menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan.

5. menguraikan program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan. 1.4. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat dipetik sejumlah manfaat baik untuk masyarakat pada umumnya, para peneliti dan akademisi guna penelitian lanjutan, maupun pemerintah. Denga n mengetahui jumlah penduduk miskin, karakterisik penduduk miskin, tingkat kesenjangan pendapatan, dan faktor- faktor yang menyebabkan penduduk menjadi miskin, maka dapat disusun suatu kebijakan yang sesuai lebih terarah mengenai penanganan masalah kemiskinan . Pemerintah


(29)

DKI Jakarta dapat menyusun kebijakan lintas sektoral dalam rangka program pengentasan kemiskinan.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Kemiskinan Perkotaan di Negara-negara Sedang Berkembang Kemiskinan perkotaan menjadi suatu fenomena di negara- negara sedang berkembang. Di negara-negara tersebut, kemiskinan perkotaan sering diukur dengan akses terhadap tempat tinggal atau jasa pelayanan perkotaan lainnya. Kekurangan akses terhadap tempat tinggal dan jasa pelayanan perkotaan tersebut memberikan indikasi terhadap pendapatan dan daya beli yang rendah. Ada dua pendekatan untuk melihat alasan kemiskinan di perkotaan yaitu pendekatan kultural dan struktural. Pendekatan kultural adalah mengaitkan alasan kemiskinan dengan karakteristik individu seperti kurang kemampuan, disiplin, tanggung jawab dan usaha untuk keluar dari kemiskinan. Pendekatan ini melihat orang miskin bukan hanya korban tetapi juga penyebab dari kemiskinan. Pendekatan kedua adalah pendekatan struktural yang melihat alasan di luar dari orang miskin dan mengaitkan kemiskinan dengan sistem sosial ekonomi yang berlaku di suatu negara seperti kebijakan ekonomi, pendidikan yang kurang, kesempatan kerja, dan diskriminasi (Senses 2001, diacu dalam Yilmaz 2003).

Berbagai penelitian kemiskinan perkotaan di negara-negara sedang berkembang lebih menekankan pada pendekatan struktural. Laju pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih rendah dari laju urbaninsasi berdampak kemiskinan di perkotaan. Penyebab dari laju urbanisasi yang tinggi ini adalah migrasi desa kota yang bertujuan mendapatkan upah yang tinggi dari sektor formal perkotaan. Namun arus migrasi yang besar menyebabkan tidak semua migran dapat terserap oleh sektor formal, sehingga sebagian dari migran harus bekerja di sektor informal (Yilmaz 2003).

Sektor informal pada umumnya ditandai oleh beberapa karakterisik teknis seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil, unit produksi dimiliki oleh perorangan atau keluarga, dan teknologi yang digunakan sangat sederhana (Desiar 2004). Salah satu ciri yang dapat mengidentifikasi seseorang bekerja di sektor informal adalah melalui status pekerjaan.


(31)

Mereka yang bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain (self employed) dan bekerja dengan keluarga atau sebagai buruh dibayar dapat dikatagorikan sebagai pekerja di sektor informal. Begitu pula dengan mereka yang mempunyai usaha namun dengan skala kecil.

Tabel 2.1 Penduduk Miskin Berdasarkan Status Pekerjaan di DKI Jakarta, 1999-2002

Status Pekerjaan 1999 2000 2001 2002

Tidak Bekerja 25,18 21,71 14,21 18,02

Bekerja Sendiri 43,57 30,09 28,97 30,47

Bekerja dengan keluarga atau buruh dibayar

2,77 11,82 11,01 6,17

Pemilik usaha/Karyawan 28,48 36,06 45,20 45,47

Pekerja Keluarga 0,00 0,32 0,60 0,00

Sumber : Tamb unan (2004)

Tabel 2 memberikan gambaran bahwa sektor informal merupakan tumpuan hidup bagi penduduk miskin. Diduga mereka yang memiliki usaha adalah usaha berskala kecil sehingga dapat dikatagorikan dalam sektor informal. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Penelitian di Nigeria oleh Osinubi (2003), menyatakan bahwa sekitar 43 persen responden penduduk miskin bekerja sendiri (self employed).

Sektor informal memberikan pendapatan yang rendah jika dibandingkan dengan sektor formal. Dengan pendapatan rendah ini, maka sulit bagi penduduk miskin untuk mengakses berbagai jasa pelayanan seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Hanya sedikit penduduk miskin yang dapat mengenyam pendidikan tinggi.

2.2. Konsep Kemiskinan

Williamson (1975) mengatakan bahwa penduduk tanpa sumberdaya ekonomi untuk hidup dengan standar kehidupan yang layak disebut sebagai orang miskin. Aluko (1975) diacu dalam Osinubi (2003) menyatakan bahwa kemiskinan sebagai kekurangan dari konsumsi kebutuhan-kebutuhan dasar. Dengan kata lain adalah kekurangan dalam konsumsi makanan, pakaian, atau tempat tinggal. Kemiskinan juga didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk


(32)

10

mendapatkan standar kehidupan minimum (Laporan Bank Dunia 1990, diacu dalam Osinubi 2003).

Couduel, Jesko , dan Quentin (2001) mengatakan bahwa kemiskinan dapat diukur melalui 2 (dua) dimensi yaitu dimensi moneter (monetary dimensions) dan dimensi bukan moneter (non monetary dimensions).

a. Dimensi moneter

Dalam mengukur kemiskinan dengan dimensi moneter, ada 2 pilihan yang dapat digunakan sebagai indikator kesejahteraan yaitu pendapatan dan konsumsi. Pengeluaran konsumsi yang diperoleh melalui survei rumahtangga cukup lengkap, sehingga penggunaan konsumsi rumahtangga dapat menjadi indikator yang lebih baik dibandingkan dengan pendapatan karena :

1. Konsumsi adalah indikator outcome yang lebih baik dibandingkan dengan pendapatan.

Konsumsi rumahtangga berkaitan dengan kesejateraan seseorang, dan dapat menggambarkan kebutuhan dasar. Sedangkan pendapatan hanya salah satu elemen yang akan menyedian konsumsi untuk barang-barang. 2. Pengukuran konsumsi akan lebih baik dibandingkan pendapatan.

Di perekonomian perkotaan dengan sektor informal yang besar, pendapatan mengalir dengan tidak menentu. Jadi cukup sulit untuk memperoleh pendapatan rumahtangga secara benar. Di samping itu, banyak sumbangan untuk pendapatan yang tidak berbentuk uang, seperti mengkonsumsi barang produksi sendiri dan barang-barang yang diperoleh melalui pertukaran.

3. Konsumsi dapat lebih baik dalam mencerminkan stardar hidup

rumahtangga yang sebenarnya dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Pengeluaran konsumsi dalam mencerminkan tidak hanya barang-barang dan jasa yang dapat dimiliki melalui pendapatan yang ada, tetapi juga rumahtangga tetap dapat mengkonsumsi barang dan jasa melalui akses kredit atau pun melalui pengambilan tabungan ketika pendapatan yang ada tidak mencukupi.


(33)

b. Dimensi bukan moneter

Kemiskinan tidak hanya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan atau konsumsi tetapi juga kekurangan hasil berkenaan dengan kesehatan, nutrisi, dan melek huruf, dan dengan hubungan sosial yang tidak baik, ketidakamanan, penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah dan ketidakkuasaan (powerless). Alat-alat yang dapat digunakan untuk mengukurnya adalah :

1. Kemiskinan Kesehatan dan Nutrisi

Status gizi anak-anak dan angka harapan hidup dapat digunakan sebagai ukuran.

2. Kemiskinan Pendidikan

Tingkat buta huruf dapat dijadikan sebagai garis kemiskinan, namun di beberapa negara melek huruf sudah hampir menjangkau semua penduduk. Alternatif lain untuk mengukur kemiskinan pendidikan adalah lama sekolah yang telah diselesaikan dibandingkan dengan lama sekolah yang seharusnya diselesaikan.

3. Indeks Gabungan Kesejahteraan

Merupakan kombinasi informasi dari beberapa aspek berbeda dari kemiskinan. Ada kemungkinan untuk menciptakan pengukuran kemiskinan yang menghitung pendapatan, kesehatan, kekayaan, dan pendidikan.

Dalam penelitian ini menekankan pada dimensi moneter. Kemiskinan diukur melalui garis kemiskinan (poverty line) yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi rumahtangga. Ada 2 jenis kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Kemiskinan absolut adalah persentase penduduk dengan

pendapatan/pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan diukur berdasarkan pengeluaran konsumsi. Ukuran ini banyak digunakan oleh negara-negara sedang berkembang. Namun pada banyak negara-negara maju sering kali menggunakan ukuran kemiskinan relatif yang menggambarkan hubungan antara kelompok berpendapatan rendah dengan yang berpendapatan tinggi sesuai dengan standar hidup yang berlaku. Garis kemiskinan relatif biasanya diambil sebagai suatu persentase dari rata-rata atau nilai tengah pendapatan. Umumnya ditetapkan


(34)

12

setengah dari rata-rata atau nilai tengah pendapatan rumahtangga (Long 1999). Penduduk yang berada di bawah kemiskinan relatif belum tentu masuk dalam katagori miskin secara abolut.

Penentuan kemiskinan lainnya adalah dengan menggunakan karakteristik yang memberikan gambaran ketidakmampuan penduduk memenuhi kebutuhan untuk hidup layak. Pemda DKI Jakarta dalam melaksanakankan program pengentasan kemiskinan menggunakan data kemiskinan yang mengacu pada karakteristik rumahtangga. Ada 7 indikator yang dapat memberikan gambaran ketidakmampuan rumahtangga untuk hidup dengan layak, yaitu :

(a) luas lantai per kapita < 8 m2 (b) lantai tanah

(c) tidak memiliki jamban (d) tidak ada akses air bersih (e) konsumsi lauk tidak bervariasi (f) tidak punya asset produktif

(g) tidak mampu membeli pakaian baru dalam setahun

Suatu rumahtangga dikatakan miskin apabila memenuhi minimal 3 indikator tersebut.

2.3. Ketimpangan pendapatan

Ketimpangan pendapatan dan kemiskinan sangat berkaitan erat. Semakin timpang distribusi pendapatan makan semakin tinggi persentase penduduk yang hidup dalam kemiskinan pendapatan (World Bank). Ketimpangan sering dipelajari sebagai bagian yang lebih luas dari kemiskinan karena ketimpangan mengukur seluruh distribusi pendapatan tidak hanya kelompok yang berada di bawah garis kemiskinan.

Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang sering digunakan. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh individu atau rumahtangga. Ukuran umum yang memperlihatkan tingkat ketimpangan adalah dengan membandingkan antara


(35)

pendapatan yang diterima oleh 20 persen anggota kelompok teratas dan 40 persen anggota kelompok terbawah (Todaro dan Smith, 2003).

Ketimpangan pendapatan dapat juga dilihat dengan menggunakan kurva Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama kurun waktu tertentu. Interpretasi dari kurva Lorenz adalah semakin jauh jarak kurva dari dari diagonal maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya.

Pengukuran ketimpangan pendapatan yang lebih mudah adalah dengan menggunakan rasio Gini. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol sampai dengan satu. Koefisien Gini adalah salah satu ukuran yang dapat memenuhi empat kriteri yaitu prinsip anonimitas, independensi populasi, independensi skala dan transfer. Prinsip anonimitas mengatakan bahwa ukuran ketimpangan seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Prinsip independensi skala berarti bahwa ukuran ketimpangan tersebut tidak tergantung pada apakah kita mengukur pendapatan dengan dollar atau rupiah. Prinsip independensi populasi menyatakan bahwa pengukuran ketimpangan seharusnya tidak didasarkan pada jumlah penerima pendapatan. Prinsip transfer (prinsip Pigou-Dalton) menyatakan bahwa dengan mengasumsikan semua pendapatan lain konstan, maka transfer pendapatan dari orang kaya ke orang miskin akan membuat distibusi pendapatan baru yang lebih merata (Todaro dan Smith, 2003).

2.4. Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan perkotaan adalah suatu fenomena yang multi-dimensi, meliputi rendahnya tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, kerawanan tempat tinggal dan pribadi, dan ketidakberdayaan. Berikut ini akan diuraikan masing-masing dimensi dan akar permasalahannya (Wolrd Bank, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan, 2003).

a. Dimensi rendahnya tingkat pendapatan Akar permasalahan dari dimensi ini adalah:

- ketergantungan pada ekonomi uang untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok,


(36)

14

- ketidakpastian prospek pekerjaan (pekerjaan yang tidak tetap atau casual work,),

- buruh dibayar tidak trampil, kurangnya kualifikasi untuk memperoleh pekerjaan dengan upah tinggi,

- ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaaan karena kondisi kesehatan buruh, dan

- kurangnya akses terhadap kesempatan kerja (penduduk miskin perkotaan sering harus mengorbankan antara jarak ke tempat pekerjaan dan biaya perumahan).

b. Dimensi kondisi kesehatan buruh Akar permasalahnnya adalah :

- kondisi hidup yang kumuh pada dan tidak higienis,

- lingkungan tempat tinggal tidak sehat karena polusi limbah industri dan kendaraaan bermotor,

- penduduk miskin umumnya tinggal di kawasan marjinal (seperti bantaran sungai) yang mudah terkena bahaya lingkungan seperti tanah longsor dan banjir,

- resiko tinggi terhadap berbagai penyakit karena buruknya kualitas udara dan air dan buruknya sanitasi,

- resiko tinggi terhadap kecelakaaan lalu lintas, dan

- resiko kondisi kerja yang tidak aman, khususnya untuk mereka di kegiatan-kegiatan sektor informal.

c. Dimensi tingkat pendidikan rendah Akar permalahan adalah :

- terhambatnya akses terhadap pendidikan karena terbatasnya daya tampung sekolah yang tidak mengimbangi tumbuhnya daerah perkotaan,

- ketidakmampuan membayar uang sekolah,

- resiko keselamatan/keamanan pribasdi ketika pergi sekolah

d. Dimensi kerawanan/ketidakamanan tempat tinggal dan pribadi (tenure and personal insecurity).


(37)

- tanah dan perumahan di wilayah-wilayah resmi tidak terbeli, oleh karena itu keluarga miskin biasanya membangun sendiri atau menyewa di lokasi-lokasi kampung atau tanah ilegal (serobotan) dengan konstruksi seadanya dan cnderung tidak aman terhadap bahaya-bahaya lingkungan,

- penyalahgunaan narkoba dan kekerasan domestik,

- perceraian keluarga, dan mengurangi jaminan hidup untuk anak-anak, - keragaman sosial dan ketimpangan pendapatan yang tampak jelas di

kota-kota, yang dapat meningkatkan kecemburuan sosial dan kriminalitas. e. Dimensi ketidakberdayaan

Akar permasalahan adalah :

- tidak adanya kepastian terhadap status tempat tinggal dan prospek pekerjaan,

- isolasi dari komunitas yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, dan - menurunnya modal sosial seperti hilangnya kohesi keluarga dan isolasi

sosial.

Penyebab kemiskinan itu sendiri tidak hanya karena satu faktor tetapi merupakan kombinasi dari banyak faktor. Ajakaiye dan Adeyeye (2002) yang melakukan penelitian di negara-negara berkembang menyatakan bahwa secara makro penyebab kemiskinan adalah :

a. Kinerja pertumbuhan ekonomi yang rendah

Pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk mengurangi kemiskinan. Di beberapa negara berkembang, pertumbuha n menghasilkan kesempatan kerja dan dengan berbasis ekspor diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan sehingga kemiskinan dapat dikurangi melalui pemerataan. Faktor eksternal sangat berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan di suatu negara, perubahan permintaan pasar dunia terhadap barang ekspor suatu negara akan mempengaruhi pertumbuhan di negara tersebut sehingga akan berdampak pula pada tingkat kemiskinan di negara itu. Bank Dunia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat terkait dengan program pengentasan kemiskinan. Indonesia dan Thailand dapat mengurangi tingkat kemiskinan antara 30-40 persen selama periode 20 tahun.


(38)

16

b. Kegagalan kebijakan dan goncangan makroekonomi

Banyak perekonomian di dunia yang menghadapi ketidak seimbangan makroekonomi, umumnya dalam neraca pembayaran karena kebijakan perluasan permintaan agregat, guncangan neraca perdagangan, dan bencana alam. Guncangan makroekonomi dan kegagalan kebijakan berdampak pada peningkatan kemiskinan, karena kondisi ini memberikan kendala bagi orang miskin untuk menggunakan asset terbesarnya yaitu tenaga kerja.

Kemiskinan di perkotaan sebagai hasil dari kegagalan kebijakan adalah mudahnya kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor public atau karena penurunan pertumbuhan sektor industri.

c. Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah

Sumberdaya yang berlimpah di penduduk miskin adalah tenaga kerja, oleh karena itu pasar tenaga kerja sangant penting untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah dapat mempengaruhi orang miskin melalui pertumbuhan kesempatan kerja dan kapasitas penyerapan tenaga kerja di sektor informal yang terbatas.

d. Migrasi

Tingkat migrasi dapat mengurangi kemiskinan khususnya ketika sebagian besar migrant adalah pekerja yang mempunyai ketrampilan. Di satu sisi, migran berpindah untuk mengisi pekerjaan di pasar kerja, sehingga ketrampilan akan mengalir melalui migrasi. Hal ini akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi dan menurunkan proses penciptaan lapangan pekerjaan secara keseluruhan dan juga mempengaruhi pada pembangunan jangka panjang suatu negara.

e. Pengangguran dan Setengah Menganggur

Pekerjaan adalah faktor kunci dari kemiskinan, pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan dapat digunakan untuk keluar dari kemiskinan pendapatan (income poverty). Penduduk miskin berhadapan dengan masalah pengangguran structural karena kekurangan ketrampilan atau rendahnya tingkat pendidikan. Setengah pengangguran terjadi secara luas di sektor informal dan menghasilkan pendapatan yang rendah. Pengangguran lebih disebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah dibandingkan dengan pengaruh langsung dari pasar tenaga kerja yang tidak sempurna, meskipun peraturan di pasar tenaga kerja mempengaruhi sektor


(39)

formal yang sepertinya mendorong lebih banyak setengah pengangguran di sektor informal.

f. Pengembangan sumberdaya manusia

Pengembangan kemampuan dan modal manusia dapat memberikan jalan keluar dari kemiskinan. Investasi pada manusia dapat meningkatkan standar hidup dari rumahtangga dengan memperluas kesempatan, meningkatkan produktivitas, menarik investasi capital, dan meningkatkan kemampuan untuk mencari nafkah.

Tambunan (2004) menyatakan bahwa penyebab utama dari kemiskinan perkotaan di Indonesia adalah kemiskinan atau ketertinggalan ekonomi di pedesaan. Pembangunan ekonomi pedesaan di Indonesia kurang berkembang dibandingkan dengan pembangunan ekonomi perkotaan. Ekonomi pedesaan didominasi oleh sektor pertanian. Ketika lahan pertanian semakin banyak terkonversi untuk tujuan lain, maka hal ini mendorong peningkatan migrasi dari desa ke kota. Namun mereka yang pindah dari pedesaan ke kota besar khususnya Jakarta sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang layak karena mereka umumnya berpendidikan rendah.

Ajakaiye dan Adeyeye (2002) menyatakan bahwa secara mikro faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga adalah :

a. umur dan pendidikan anggota rumahtangga khususnya kepala rumahtangga b. jumlah anggota rumahtangga yang mempunyai pekerjaan

c. komposisi dan besaran rumahtangga d. asset yang dimiliki oleh rumahtangga e. akses pada jasa pelayanan sosial dasar f. jenis kelamin kepala rumahtangga g. peubah lokasi

h. sektor lapangan kerja i. dan lain sebagainya.

Osinubi (2003) meneliti faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumahtangga melalui pendekatan pengeluaran perkapita. Faktor- faktor yang mempengaruhi pengeluaran per kapita adalah umur kepala rumahtangga, jenis


(40)

18

kelamin kepala rumahtangga, status pendidikan kepala rumahtangga (dalam tahun), pendapatan per kapita dan besaran ruma htangga. Penelitian yang dilakukan Cuna (2004) menyebutkan bahwa peubah-peubah yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah karakteristik demografi (besaran rumahtangga, komposisi, dan status tempat tinggal kepala rumahtangga), pendidikan anggota rumahtangga di atas 15 tahun, pekerjaan anggota rumahtangga termasuk yang pengangguran, lokasi rumahtangga (perdesaan atau perkotaan).

Beberapa penelitian mengkaji mengenai faktor-faktor yang memungkinkan rumahtangga menjadi rumahtangga miskin. Ghazouani dan Goaied (2001) meneliti bahwa jenis kelamin kepala rumahtangga, tingkat pendidikan kepala rumahtangga, komposisi rumahtangga, tempat tinggal rumahtangga dan jumlah anggota rumahtangga per kamar merupakan faktor- faktor yang dapat memungkinkan suatu rumahtangga menjadi miskin. Garza-Rodriguez (2002) meneliti bahwa jenis kelamin, lokasi rumahtangga, besaran rumah tangga, jenis pekerjaan kepala rumahtangga, dan tingkat pendidikan kepala rumahtangga dapat memungkinkan rumahtangga menjadi rumahtangga miskin.

2.5. Permukiman kumuh

Kata kumuh biasa digunakan untuk mengidentifikasi kualitas perumahan yang miskin dan kondisi yang tidak sehat. Permukiman kumuh adalah lokasi dengan tingkat kepadatan tinggi yang dicirikan oleh perumahan yang di bawah standar (struktur dan layanan publik) dan kejorokan. Kawasan kumuh adalah sisi gelap dari perkotaan dimana terkumpul kemiskinan, kriminalitas, dan polusi. Keberadaan kawasan kumuh merupakan salah satu masalah di perkotaan, sehingga diperlukan studi atau penelitian mengenai kawasan ini.

BPS menetapkan 10 kriteria dalam penentuan RW Kumuh yaitu : (1) kepadatan penduduk

(2) tata letak bangunan

(3) keadaan bangunan tempat tinggal (4) ventilasi perumahan

(5) kepadatan bangunan (6) keadaan jalan


(41)

(7) drainase

(8) pemakaian air bersih

(9) pembuangan limbah manusia (10) pengelolaan sampah.

Studi mengenai kawasan kumuh telah dilakukan oleh Bani dan Rawal (2002) di Kota Anand India. Dalam studi tersebut dikemukan bahwa keberadaan kawasan kumuh berkaitan dengan faktor geografi, yaitu kedekatan dengan mata air, tempat kerja, pinggiran sungai, terowongan, lahan tak terpakai, kawasan industri, kedekatan dengan stasiun kereta dan lain sebagainya. Daerah sepanjang pinggiran sungai dan rel kereta api menjadi tempat berkembangnya kawasan kumuh.

Indikator sosial dari perkembangan kawasan kumuh adalah meningkatnya kepadapatan di kawasan ini. Baik dilihat dari kepadatan bangunan maupun kepadatan penduduk. Di Kota Anand ini telah terjadi peningkatan kawasan kumuh apabila dilihat dari kepadatan bangunan dan kepadatan penduduknya.

Studi lain tentang kawasan kumuh menitikberatkan pada karakteristik penduduk yang tinggal di kawasan tersebut. Mata pencaharian yang banyak dikerjakan oleh kepala rumahtangga di kawasan kumuh adalah sopir, pemilik warung, buruh pabrik garmen, pekerja di bidang jasa, dan buruh bangunan.

Prilaku manusia pun sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan kumuh. Dalam kajian mengenai prilaku manusia dalam upaya perbaikan linkungan kumuh oleh peneliti Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Faperta IPB (1991), menyebutkan bahwa lingkungan kumuh terjadi karena degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan hidup tersebut dipengaruhi oleh ketimpangan dalam interaksi antara pemukim lingkungan kumuh dan lingkungan alamiahnya, sehingga keseimbangan antara keduanya menjadi terganggu. Gejala degradasi terlihat pada profil lingkungan fisik dan lingkungan sosial sebagai interaksi antara manusia (pemukim lingkungan kumuh) dengan lingkungan hidupnya.


(42)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Perpindahan penduduk disebabkan oleh adanya kekuatan pendorong di daerah asal maupun kekuatan penarik di daerah tujuan baik dilihat dari aspek ekonomi maupun tidak ekonomi. Namun pada umumnya penduduk bermigrasi untuk tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sering kali faktor ekonomi menjadi faktor penarik dan pendorong seperti adanya daya tarik upah yang lebih tinggi di daerah tujuan (Isard, 1975 p. 181). Lewis diacu dalam Kasliwal (1995 p. 168) mengatakan bahwa adanya migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri di perkotaan karena adanya perbedaan upah.

Perbedaan upah yang terjadi antara daerah perdesaan dan perkotaan karena penerapan pola pembangunan yang bersifat terpusat (growth poles, growth centre). Teori pusat-pusat pertumbuhan (growth pole) lebih me nekankan pada pentingnya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru untuk membangun suatu wilayah di samping dominannya strategi-strategi pembangunan di sisi pasokan (supply) (Rustiadi, et al , 2003). Diharapkan pusat-pusat pertumbuhan ini dapat memberikan efek sentrifugal, yaitu dapat menggerakkan daerah sekitarnya sehingga dapat berkembang bersama-sama. Namun yang terjadi adalah terjadinya pengurasan sumber daya dari daerah di sekitarnya sehingga salah satu akibatnya adalah perpindahan penduduk dari daerah belakang (hinterland) ke pusat-pusat pertumbuhan.

Arus perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan (pusat-pusat pertumbuhan) terus berlangsung walaupun di perkotaan sudah terjadi pengangguran. Fenomena tersebut dijelaskan dalam Model Harris Todaro. Model tersebut menjelaskan bahwa selama upah yang diharapkan di perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan dengan upah di pedesaan maka perpindahan penduduk dari desa ke kota akan terus berlangsung.

Migrasi dari desa ke kota merupakan salah satu penyebab terjadinya urbanisasi. Yap (2000) menyebutkan bahwa urbanisasi akan menjadi masalah


(43)

perkotaan apabila pertumbuhan penduduk perkotaan melebihi pertumbuhan lapangan kerja dan penyediaan perumahan, infrastruktur dan pelayanan jasa-jasa.

Ketika lapangan kerja formal yang tersedia tidak dapat menyerap seluruh angkatan kerja, maka mereka yang tidak terserap akan masuk ke sektor kerja informal dan sebagian dari mereka akan menjadi pengangguran. Pendapatan yang diterima di sektor informal jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh di sektor formal. Dengan pendapatan rendah tersebut, maka mereka sulit untuk mengakses pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, dan tempat tinggal. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penduduk yang berpendapatan rendah umumnya tinggal di permukiman kumuh.

Fenomena ini terjadi pula di Indonesia. Teori growth pole diterapkan pula di Indonesia, sehingga orientasi pembangunan yang dilaksanakan di masa lalu cenderung urban bias. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat perekonomian antara daerah. Adanya konsentrasi kekayaan, asset, kapasitas perdagangan, aktivitas ekonomi dan berbagai jasa di perkotaan menyebabkan arus migrasi desa-kota tidak dapat dibendung. Tjiptoherijanto (1997) menyatakan bahwa disparitas pertumbuhan ekonomi sebagai hasil dari terkonsentrasinya aktivitas ekonomi (industri dan jasa) di perkotaan telah meningkatkan urbanisasi. Kebijakan pembangunan tersebut telah menimbulkan pusat-pusat pertumbuhan di beberapa tempat. Jakarta adalah salah satu pusat pertumbuhan yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Konsekuensi dari hal tersebut adalah tingkat urbanisasi yang tinggi di Jakarta. Over

urbanization yang dialami oleh DKI Jakarta memberikan dampak pada

kemiskinan kota.

Selain urbanisasi, beberapa kebijakan pemerintah pun dapat berdampak pada timbulnya kemiskinan. Iklim usaha yang tidak baik dapat berdampak pula pada kemiskinan. Penerapan Upah Minimum Propinsi (UMP) yang dirasakan cukup berat dapat menyebabkan perusahaan mengurangi jumlah pegawainya. Kebijakan ekonomi di masa lalu telah memicu krisis ekonomi yang cukup parah di Indonesia. Roda perekonomian yang lumpuh telah menyebabkan banyak perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Semua ini menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Di samping itu


(44)

21

kebijakan dalam bidang ketenagakerjaan yang ada belum dapat mengatasi masalah pengangguran, dampaknya adalah jumlah pengangguran yang tinggi. Mereka ini akan masuk dalam perangkap kemiskinan.

Program pengentasan kemiskinan perlu dititik beratkan pada rumahtangga miskin baik dilihat dari aspek sosial maupun ekonomi. Kondisi sosial dari rumahtangga miskin dapat dilihat dari aspek demografi, pend idikan, lapangan pekerjaan mapun kondisi tempat tinggal. Dari sisi ekonomi, dapat dilhat dari ketimpangan pendapatan, keparahan kemiskinan dan faktor- faktor yang menyebabkan kemiskinan. Titik berat dari penelitian ini adalah mengaitkan faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan karakteristik demografi rumahtangga.

Secara mikro banyak faktor yang menjadi penyebab terhadap kemiskinan yang diderita oleh suatu rumahtangga. Pengukuran rumahtangga miskin menggunakan garis kemiskinan yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi per kapita.

Untuk melihat faktor- faktor yang menentukan kemiskinan maka didekati dengan faktor- faktor yang dapat menentukan tingkat pengeluaran konsumsi rumahtangga. Faktor- faktor itu adalah :

a. jenis kelamin kepala keluarga

Beberapa penelitian menyatakan bahwa rumahtangga dengan kepala rumahtangga perempuan sering lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh laki- laki. Oey dan Gardiner (1991) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa secara implisit perbedaan kemiskinan lebih disebabkan perbedaan jenis kelamin. Isu gender masih melekat di dunia khususnya negara- negara berkembang, pengutamaan terhadap kaum laki- laki masih terasakan. Sehingga perempuan masih sebagai sub ordinat dan kalah bersaing dengan kaum laki- laki.

b. tingkat pendidikan

Pradhan el al (2000) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempunyai korelasi yang tinggi dengan kesejahteraan. Penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan pendidikan yang tinggi mempunyai kesempatan yang lebih


(45)

tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Chernichovsky dan Meesok (1984) dalam Arsyad (1987) diacu dalam Wahyuni (2000) menyatakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan kepala rumahtangga sebagai orang yang bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan keluarga merupakan salah satu karakteristik yang biasa ditemukan pada rumahtangga miskin.

c. pekerjaan

Tingkat pendidikan mempengaruhi peluang untuk memperoleh pekerjaan, sehingga dengan pendidikan yang rendah maka akan terbatas peluang pekerjaan yang diperoleh. Hasil penelitian Dillon dan Hermanto dalam Faturochman dan Molo (1994) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa rumahtangga miskin di perdesaan terutama mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan utama sedangkan di perkotaan lebih banyak mengandalkan penghasilan dari sektor jasa dan sektor informal.

Di samping itu pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal dan sedang mencari pekerjaan (setengah penganggur) mengindikasikan kurangnya pendapatan untuk menopang hidup yang layak.

d. besaran rumahtangga

Jumlah anggota rumahtangga berpengaruh positf terhadap kemiskinan. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka rumahtangga tanpa diikuti dengan peningkatan pendapatan menyebabkan konsumsi per kapita akan semakin kecil sehingga peluang miskin menjadi semakin besar.

Jumlah anggota rumahtangga yang besar pada rumahtangga miskin disebabkan oleh tingkat kelahiran yang tinggi. Schultz, 1981 diacu dalam Rodriguez Garcia (2002) menyebutkan bahwa angka kematian bayi di kalangan rumahtangga miskin membuat mereka cenderung untuk lebih banyak melahirkan untuk menggantikan bayi-bayi yang telah meninggal tersebut, hal ini akan meningkatkan jumlah besaran rumahtangga.

e. proporsi anggota rumahtangga yang bekerja.

Proporsi anggota rumahtangga yang bekerja akan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan karena semakin bersar proporsinya maka semakin


(46)

23

banyak pendapatan yang diperoleh sehingga mereka semakin jauh dari lingkaran kemiskinan. Hasil penelitian Kamuzora dan Mkanta (2000) di Tanzania menunjukkan bahwa rumahtangga dengan anggota rumahtangga yang besar dapat berpeluang lebih kecil menjadi miskin karena mereka mempunyai tenaga kerja yang lebih besar untuk mencari nafkah.

f. Usia kepala rumahtangga

Oey dan Gardiner (1991) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa usia kepala rumahtangga berhubungan lansung dengan kesejateraan rumahtangga, hal ini sangat lumrah karena semakin tua semakin mantap keadaan rumahtangganya. Penelitian Fajariyanto (2002) diacu dalam Sugiyono menyebutkan bahwa semakin tua kepala rumahtangga maka persentase rumahtangga miskin akan semakin bekurang.

g. proporsi terhadap pengeluaran Bahan Bakar Minyak

Bahan bakar minyak (BBM) adalah salah satu komoditas yang sangat penting bagi rumahtangga, perubahan harga terhadap komoditas ini akan berpengaruh terhadap tingkat pengeluaran rumahtangga. Sehingga pengeluraan terhadap BBM berpengaruh terhadap kemiskinan rumahtangga. Bahan bakar minyak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah BBM yang langsung dikonsumsi oleh rumahtangga seperti minyak tanah (untuk memasak), bensin (untuk kendaran pribadi) dan solar (untuk generator/kendaraan pribadi).

h. proporsi anggota rumahtangga usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun International Labor Organization (ILO) menyatakan bahwa penduduk yang produktif atau masih dapat aktif secara ekonomi adalah penduduk usia 15-64 tahun. Penduduk dengan usia di luar itu adalah penduduk yang tidak produktif, maka proporsi penduduk yang tidak produktif dalam rumahtangga dapat mempengaruhi status kemiskinan dari rumahtangga.

i. proporsi pengeluaran terhadap makanan

Kurva Engle untuk barang yang merupakan kebutuhan pokok seperti bahan makanan pokok memperlihatkan bahwa perubahan pendapatan nominal tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan permintaan. Bahkan jika


(47)

pendapatan terus meningkat maka permintaan terhadap barang tersebut perubahaannya main kecil dibandingkan dengan perubahan pendapatan. Mengacu pada kurva Engle, maka rumahtangga miskin akan mempunyai proporsi pengeluaran terhadap makanan yang lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga tidak miskin.

j. kondisi tempat tinggal

Mengacu pada tujuh kriteria kemiskinan yang digunakan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, maka kondisi tempat tinggal yang dapat dijadikan prediktor kemiskinan rumahtangga adalah :

- luas lantai per kapita

luas lantai adalah luas yang ditempati dan digunakan untuk keperluan sehari- hari (sebatas atap)

- jenis lantai

lantai adalah bagian bawah/dasar/alas suatu ruangan, baik yang terbuat dari tanah maupun bukan tanah seperti keramik, marmer, papan dan semen serta lainnya

- akses terhadap jamban

fasilitas tempat buang air besar (jamban) adalah tempat pembuangan tinjanya (closet) yaitu berupa fisiknya. Fasilitas ini dimaksudkan untuk melihat kemudahan rumahtangga dalam menggunakan jamban yang dikaitan dengan kondisi kesehatan perumahan dan sanitasi lingkungan. Fasilitas jamban dibedakan menjadi 4 katagori yaitu sendiri, bersama, umum dan tidak ada.

- akses terhadap air bersih

fasilitas air minum adalah instalasi air minum yang dikelola oleh PAM/PDAM atau non PAM/PDAM termasuk sumur pompa. Rumahtangga tidak mempunyai akses terhadap air bersih apabila rumah tangga tidak mempunyai fasilitas air minum tertentu misalnya langsung ambil air dari sungai atau air hujan.


(48)

25

Status rumah tempat tinggal adalah status rumah yang ditempati oleh rumahtangga, yang harus dilihat dari sisi anggota rumahtangga yang mendiaminya.

Kerangka pemikiran dalam bentuk diagram alur disajikan dalam gambar berikut ini:


(49)

: sasaran penelitian : peubahbebas yang diteliti

Gambar 1.1. Alur pikir penelitian.

Migrasi desa kota

Faktor-faktor makro: - Pasar tenaga kerja - Berbagai kebijakan

makro ekonomi - Kebijakan ketenagakerjaan - Program pengentasan kemiskinan

Faktor-faktor mikro : - Demografi KRT - Pendidikan KRT - Pekerjaan KRT - kondisi fisik tempat

tinggal Kemiskinan Rumahtangga di

permukiman kumuh dan tidak Kumuh

- disparitas pertumbuhan ekonomi

- kesenjangan sosial - kemiskinan/pengang

guran Orientasi :

-padat modal -urban biased

-Growth pole strategy -Top down planning

Penetapan Jakarta sebagai pusat pemerintahan, bisnis dan jasa Kebijakan Pembangunan Nasional

- Garis kemiskinan

- Kriteria BPS

- GR yang didekati dengan

pendekatan Atkinson

- Regresi Logistik

- Foster –Greer-Thorbeeke

(FGT)

- Analisis deskriptif

26


(50)

27

Dalam menelaah masalah rumahtangga miskin, digunakan beberapa alat analisis yaitu analisis deskriftif, garis kemiskinan, regresi logistik, gini rasio, distribusi pendapatan ukuran bank dunia, dan Foster –Greer-Thorbeeke (FGT) Model.

3.2. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah karakteristik rumahtangga mempengaruhi kemiskinan rumahtangga secara nyata. Lebih rinci hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:

a. Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandiingkan di yang tidak kumuh.

b. Ketimpangan pendapatan di RW kumuh lebih rendah dibandingkan dengan di yang tidak kumuh

c. Besaran rumahtangga, jenis kelamin kepala rumahtangga, proporsi anak usia di bawah 15 tahun mempengaruhi kemiskinan secara positif.

d. Proporsi anggota rumahtangga yang bekerja dan pendidikan mempengaruhi kemiskinan secara negatif.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di seluruh DKI Jakarta kecuali Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Lima wilayah kota yang diteliti adalah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Tidak dicakupnya Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam penelitian ini karena di wilayah tersebut tidak dilakukan pendataan RW kumuh, sehingga tidak dapat dilakukan studi komparatif tentang kemiskinan pada RW kumuh dan yang tidak kumuh.

Alasan pemilihan lokasi penelitian di DKI Jakarta karena permasalahan kemiskinan di DKI Jakarta merupakan prioritas utama untuk ditangani. Penelitian ini pun akan membandingkan kondisi kemiskinan di daerah kumuh dan tidak kumuh. Jangka waktu penelitian ini berlangsung selama 6 (enam) bulan terhitung semenjak bulan April 2005 sampai dengan September 2005, meliputi tahap persiapan hingga pelaporan.


(51)

3.3.2. Sumber Data

Sumber data utama penelitian ini adalah hasil survei yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik, baik yang berupa data publikasi maupun data mentah, yaitu:

a. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 b. Hasil Evaluasi RW Kumuh DKI Jakarta 2004 a. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

Susenas merupakan survei yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial ekonomi kependudukan yang relatif luas. Data yang dikumpulkan antara lain menyangkut bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan/lingkungan hidup, ketenagakerjaan, dan konsumsi rumahtangga.

Pengumulan data di DKI Jakarta dilakukan dengan metoda sampling terbatas dengan jumlah sample 6.493 rumahtangga yang terdiri 2270 rumahtangga di permukiman kumuh, dan 4223 rumahtangga di permukiman tidak kumuh.

c. Evaluasi RW Kumuh DKI Jakarta 2004

Identifikasi atau penelitian terhadap wilayah kumuh di DKI Jakarta dilakukan pada tahun 1993. Penelitian dilaksanakan pada lingkungan yang terkecil, yaitu pada rukun warga (RW) yang kumuh, untuk mempermudah dilakukannya stratifikasi wilayah kumuh. Kemudian penelitian ke dua dilakukan pada tahun 1997, yang merupakan kegiatan evaluasi terhadap RW kumuh untuk melihat sejauh mana dampak berbagai program pembangunan telah memperlihatkan hasil, khususnya terhadap lingkungan kumuh. Kegiatan yang sama dilaksanakan kembali pada tahun 2001, dan terakhir pada tahun 2004.

Di samping itu dikumpulkan pula informasi mengena i program pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan di DKI Jakarta. Informasi diupayakan diperoleh dari intansi pemerintah di lingkup Propinsi DKI Jakarta yaitu : Badan Perencanaan Daerah (Bapeda), Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan instansi- instansi lainnya yang terkait


(52)

29

3.3.3. Konsep dan definisi

a. Garis kemiskinan : sejumlah uang yang diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan minimal makanan dan bukan makanan untuk tetap hidup. Kebutuhan makanan adalah 2.100 kal per hari. Rata-rata konsumsi atas makanan dan bukan makanan yang tergabung dalam “keranjang” makanan dan bukan makanan dari reference population. Reference population adalah penduduk dengan pengeluaran sedikit di atas garis kemiskinan, garis kemiskinan yang lalu dideflate dengan tingkat inflasi. Garis kemiskinan sangat tergantung dari penentuan kelompok ini dan tingkat inflasi.

b. Penduduk miskin : adalah penduduk yang tidak dapat hidup sesuai standar hidup minimum

c. Kemiskinan absolut : adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.

d. Kemiskinan relatif : adalah ketimpangan antara kelompok berpendapatan

rendah dengan kelompok berpendapatan tinggi.

e. Permukiman kumuh adalah lokasi dengan tingkat kepadatan tinggi yang

dicirikan oleh perumahan yang di bawah standar (struktur dan layanan publik) dan kejorokan.

BPS menetapkan 10 kriteria dalam penentuan RW Kumuh yaitu : (1). kepadatan penduduk

(2). tata letak bangunan

(3). keadaan bangunan tempat tinggal (4). ventilasi perumahan

(5). kepadatan bangunan (6). keadaan jalan (7). drainase

(8). pemakaian air bersih

(9). pembuangan limbah manusia (10).pengelolaan sampah.

f. Rumahtangga: adalah seseorang atau sekumpulan orang yang mendiami


(53)

serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan makan dari satu dapur adalah jika pengurusan kebutuhan sehari- harinya dikelola bersama menjadi satu.

g. Anggota rumahtangga : adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumahtangga, baik ada pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Batasan biasa tinggal adalah enam bulan, apabila sudah pergi lebih dari enam bulan maka sudah tidak dimasukkan sebagai anggota rumahtangga lagi. h. Kepala rumahtangga : adalah seorang dari sekelompok anggota rumahtangga

yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari- hari dalam rumahtangga tersebut atau orang yang dianggap/ditunjuk sebagai kepala rumahtangga

i. Penduduk bekerja

Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam selama seminggu yang lalu. Bekerja selama satu jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak terputus. Melakukan pekerjaan dalam konsep bekerja adalah melakukan kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang atau jasa.

k. Pengeluarankonsumsi rumahtangga untuk makanan

Pengeluaran untuk makanan adalah nilai pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga selama sebulan yang lalu baik berasal dari pembelian, produksi sendiri, ataupun pemberian.

3.4. Metode Analisis

Dalam penelitian ini digunakan beberapa macam analisis sesuai dengan ketersediaan data.

a. Analisis deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif dan karakteristik rumahtangga miskin. Selain itu akan diulas pula mengenai program-program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta.


(54)

31

Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data cross section hasil Susenas 2004. Berdasarkan data yang dihasilkan oleh BPS melalui Susenas akan dijelaskan karakteristik rumahtangga miskin dan yang rentan terhadap kemiskinan di DKI Jakarta.

b. Analisis ketimpangan pendapatan (1) Gini Rasio dengan pendekatan Atkinson

Pengukuran ketimpangan menggunakan konsep ketimpangan Atkinson. Atkinson 1970, diacu dalam Rusli, Sumardjo dan Syaukat (editor 1982) mendefinisikan ketimpangan pendapatan sebagai perbedaan, persebaran, atau pemusatan pendapatan, yang keseluruhannya berpangkal pada ketidaksamaan dilihat secara kuantitatif. Pengukuran pendatan dilakukan dengan rasio Gini yang dengan pendekatan Atkinson dapat dihitung dengan persamaan :

( )

(

)

[

1 2 n

]

2

ny

...

y

2

y

n

/

2

n

/

1

1

G

=

+

µ

+

+

+

untuk y1≥y2≥….≥yn

Dimana :

n : populasi

y : pendapatan

µ : nilai tengah pendapatan

Koefisien bervariasi antara 0 – 1, 0 mengindikasikan pemerataan yang sempurna sedangkan angka 1 mencerminkan ketimpangan yang sempurna (satu orang mendapatkan semua pendapatan sedangkan yang lainnya tidak sama sekali). Ketimpangan tinggi berkisar antara 0,50 – 070 dan ketimpangan merata berkisar antara 0,20-0,35 (Todaro dan Smith, 2003).

(2) Distribusi pendapatan ukuran Bank Dunia

Dalam pengukuran pemerataan pendapatan, Bank Dunia membagi penduduk atas 3 kelompok, yaitu kelompok 40 persen penduduk pendapatan rendah, 40 persen penduduk pendapatan menengah, dan 20 persen penduduk kelas atas. Ketimpangan pengeluaran dilihat berdasarkan besarnya pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen terbawah dengan kriteria :

(1) Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen terbawah lebih kecil dari 12 persen , maka dikatakan ketimpangan tinggi.


(55)

(2) Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen pendapatan terbawah ada diantara 12-17 persen dikatakan ketimpangan sedang (3) Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen

pendapatan terbawah ada di atas 17 persen dikatakan ketimpangan rendah. c. Analisis kedalaman dan keparahan kemiskinan

Foster –Greer-Thorbeeke (FGT) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk tingkat kemiskinan sebagai berikut :

α −

α

=



 −



q i

i

z

y

z

n

P

1

1

dimana :

α = 0,1,2

z = garis kemiskinan

yi = rata-rata pengeluaran per kapita sebulan pend uduk yang berada di bawah

garis kemiskinan (i=1,2,…..,q), yi < z

q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan n = jumlah penduduk

Jika α = 0, maka akan diperoleh Head Count Index (P0) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. P1 (α = 1) adalah Poverty gap yaitu ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing- masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin besar nilai indeks, maka semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks ini mencerminkan kedalaman kemiskinan. P2 (α =2) adalah disbutionally sensitive index, nilai indeks ini sampai batas tertentu dapat memberi gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

d. Model regresi logistik

Model ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peluang kemiskinan sehingga dapat dilihat peluang rumahtangga menjadi miskin. Prob (Y=1) = F(Σβh Xh)


(56)

33

(

)

        ∑β + α − + = = = h h X h e 1 1 1 i Y P i P

Dan dalam bentuk umum adalah sebagai berikut :

L1=ln h

h h X h i P 1 i P ε + ∑β + α =     −

Peluang menjadi miskin:

∑ ∑ β = α β = α + = h h h h h h X X e 1 e p

Interpretasi dari koefisien peubah kontinu adalah dengan menghitung efek marginal dari peubah tersebut terhadap peluang menjadi miskin dengan rumus sebagai berikut (Morris, Sutton, Gravelle, 2003):

2 X X h h h h h h h e 1 e         + β ∑ ∑ β = α β = α

Interpretasi dari koefisien peubah boneka dengan menghitung odds ratio yaitu :

p 1

p

Odds ratio adalah perbandingan antara probabilitas sukses (terjadinya peristiwa y =1) dengan probabilitas gagal (terjadinya peristiwa y =0).

Dimana :

Xh : berkas karakteristik rumahtangga yang diteliti yaitu : Peubah kontinu :

art : besaran rumahtangga

proker : proporsi anggota rumahtangga usia 15 tahun ke atas yang bekerja um_1564 : proporsi anggota rumahtangga usia di bawah 15 tahun dan di atas 64


(57)

p_bbm : proporsi pengeluaran untuk bahan bakar minyak (BBM) terhadap total pengeluaran

p_mkn : proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran Peubah boneka :

d_jk : 1 = kepala rumahtangga perempuan 0 = kepala rumahtangga laki- laki

d_sd : 1 = kepala rumahtangga berpendidikan tamat SD

0 = lainnya (dengan tidak tamat SD sebagai pembanding) d_smp : 1 = kepala rumahtangga berpendidikan tamat SMP

0 = lainnya

d_sma : 1 = kepala rumahtangga berpendidikan tamat SMA ke atas 0 = lainnya

d_jual : 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai tenaga penjualan 0 = lainnya ( dengan bekerja sebagai tenaga usaha jasa sebagai

pembanding)

d_kasar : 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai tenaga produksi, operator dan pekerja kasar

0 = lainnya

d_prof : 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana

0 = lainnya

d_lainnya : 1 = kepala rumahatangga bekerja sebagai tenaga lainnya 0 = lainnya

d_under : 1 = kepala rumahatangga setengah penganggur

0 = lainnya (dengan bukan setengah penganggur sebagai pembanding)

d_pp : 1 = kepala rumahatangga penerima pendapatan 0 = lainnya

age_mpn : 1 = kepala rumahatangga berusia mapan 0 = lainnya (usia muda sebagai referensi) age_tua : 1 = kepala rumahatangga berusia tua


(58)

35

d_lt : 1 = luas lantai per kapita < 8 m2 0 = lainnya

j_lti : 1 = jenis lantai tanah 0 = lainnya

d_jbn : 1 = tidak mempunyai akses terhadap jamban 0 = lainnya

d_air : 1 = tidak mempunyai akses terhadap air bersih 0 = lainnya

rmh : 1 = rumah milik sendiri 0 = lainnya

Yi : 1 = rumahtangga miskin 0 = lainnya

Hipotesis untuk menguji kelayakan model adalah :

H0 = tidak ada perbedaan yang nyata antara antara klasifikasi yang diprediksi

dengan klasifikasi yang diamati.

Ha = ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan

klasifikasi yang diamati.

Model dikatakan layak apabila nilai goodness of fit test yang diukur dengan nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow:

- jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima


(1)

Lampiran 5 Logistic Regression di RW Tidak Kumuh

Case Processing Summary

Unweighted Cases(a) N Percent

Selected Cases Included in Analysis 4.223 100,0

Missing Cases 0 0,0

Total 4.223 100,0

Unselected Cases 0 0,0

Total 4.223 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Tdk miskin 0

Miskin 1

Block 0: Beginning Block

Classification Table(a,b)

Observed Predicted

MISKIN Percentage Correct

Tdk miskin Miskin

Step 0 MISKIN Tdk miskin 3,726 0 100.0

Miskin 70 0 0.0

Overall Percentage 97.3

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


(2)

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables art 187,803 1 0,000

d_jk 3,229 1 0,072

d_sd 36,941 1 0,000

d_smp 12,112 1 0,001

d_sma 104,114 1 0,000

proker 66,302 1 0,000

p_bbm 16,855 1 0,000

p_mkn 86,570 1 0,000

um_1564 62,177 1 0,000

j_lti 44,352 1 0,000

d_lt 213,745 1 0,000

d_jbn 9,222 1 0,002

d_air 0,017 1 0,895

rmh 4,949 1 0,026

age_mpn 3,384 1 0,066

age_tua 3,235 1 0,072

d_jual 0,882 1 0,348

d_kasar 9,740 1 0,002

d_prof 21,611 1 0,000

dlain 0,076 1 0,782

d_pp 0,028 1 0,866

d_under 35,683 1 0,000

Overall Statistics 573,553 22 0,000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 548,222 22 0,000

Block 548,222 22 0,000

Model 548,222 22 0,000

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 1.220,552 0,122 0,356

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 12.01137 8 0.151

Classification Table(a)

Observed Predicted

MISKIN Percentage Correct

Tdk miskin Miskin

Step 1 MISKIN Tdk miskin 3,707 19 99.5

Miskin 57 13 18.4


(3)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a) art 0,480 0,045 112,772 1 0,000 1,616

d_jk 1,155 0,253 20,888 1 0,000 3,173

d_sd -0,384 0,255 2,267 1 0,132 0,681

d_smp -0,311 0,263 1,390 1 0,238 0,733

d_sma -1,208 0,269 20,097 1 0,000 0,299

proker -0,841 0,963 0,763 1 0,382 0,431

p_bbm -0,029 0,006 25,256 1 0,000 0,972

p_mkn 0,090 0,018 25,581 1 0,000 1,094

um_1564 0,044 0,008 30,650 1 0,000 1,045

j_lti 0,012 0,004 6,765 1 0,009 1,012

d_lt 1,087 0,298 13,262 1 0,000 2,965

d_jbn 1,117 0,179 38,816 1 0,000 3,056

d_air 1,422 0,819 3,009 1 0,083 4,144

rmh -0,035 0,179 0,039 1 0,843 0,965

age_mpn -0,653 0,488 1,790 1 0,181 0,520

age_tua -1,152 0,568 4,117 1 0,042 0,316

d_jual -0,604 0,260 5,378 1 0,020 0,547

d_kasar -0,352 0,234 2,256 1 0,133 0,703

d_prof -0,645 0,332 3,781 1 0,052 0,524

dlain 0,090 0,620 0,021 1 0,885 1,094

d_pp -0,777 0,326 5,674 1 0,017 0,460

d_under 1,022 0,295 12,030 1 0,001 2,779


(4)

Lampiran 6 Logistic Regression di RW Tidak Kumuh

Case Processing Summary

Unweighted Cases(a) N Percent

Selected Cases Included in Analysis 2.270 100,0

Missing Cases 0 0,0

Total 2.270 100,0

Unselected Cases 0 0,0

Total 2.270 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Tdk miskin 0

Miskin 1

Block 0: Beginning Block

Classification Table(a,b)

Observed Predicted

MISKIN Percentage Correct

Tdk miskin Miskin

Step 0 MISKIN Tdk miskin 1,978 0 100.0

Miskin 66 0 0.0

Overall Percentage 95.3

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -2,321 0,074 995,472 1 0,000 0,098


(5)

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables art 209,184 1 0,000

d_jk 2,228 1 0,135

d_sd 14,936 1 0,000

d_smp 0,029 1 0,866

d_sma 34,026 1 0,000

proker 59,310 1 0,000

p_bbm 11,601 1 0,001

p_mkn 48,904 1 0,000

um_1564 59,120 1 0,000

j_lti 0,690 1 0,406

d_lt 94,607 1 0,000

d_jbn 14,360 1 0,000

d_air 1,957 1 0,162

rmh 3,756 1 0,053

age_mpn 1,353 1 0,245

age_tua 0,006 1 0,937

d_jual 0,517 1 0,472

d_kasar 0,105 1 0,746

d_prof 5,960 1 0,015

dlain 0,377 1 0,539

d_pp 0,010 1 0,919

d_under 3,923 1 0,048

Overall Statistics 390,969 22 0,000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 422,120 22 0,000

Block 422,120 22 0,000

Model 422,120 22 0,000

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 945,377 0,170 0,375

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 5.540615 8 0.699

Classification Table(a)

Observed Predicted

MISKIN

Percentage Correct

Tdk miskin Miskin

Step 1 MISKIN Tdk miskin 1,950 28 98.6

Miskin 45 21 31.5

Overall

Percentage

92,2


(6)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a) art 0,646 0,057 128,836 1 0,000 1,909

d_jk 0,526 0,340 2,396 1 0,122 1,692

d_sd -0,372 0,266 1,954 1 0,162 0,689

d_smp -0,563 0,285 3,901 1 0,048 0,570

d_sma -1,233 0,294 17,586 1 0,000 0,292

proker -0,028 0,006 21,301 1 0,000 0,972

p_bbm 0,074 0,028 6,972 1 0,008 1,077

p_mkn 0,053 0,009 36,820 1 0,000 1,054

um_1564 0,011 0,005 4,489 1 0,034 1,011

j_lti -0,360 0,482 0,559 1 0,455 0,698

d_lt 0,871 0,203 18,436 1 0,000 2,390

d_jbn 1,243 0,591 4,420 1 0,036 3,467

d_air 1,539 0,963 2,552 1 0,110 4,658

rmh -0,546 0,205 7,111 1 0,008 0,579

age_mpn 0,525 0,684 0,589 1 0,443 1,691

age_tua 0,884 0,751 1,384 1 0,239 2,420

d_jual -0,596 0,287 4,312 1 0,038 0,551

d_kasar -0,321 0,264 1,479 1 0,224 0,725

d_prof -0,451 0,385 1,373 1 0,241 0,637

dlain -0,274 0,835 0,108 1 0,742 0,760

d_pp -0,798 0,385 4,289 1 0,038 0,450

d_under 0,130 0,411 0,100 1 0,751 1,139