Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan dan Kebijakan Pengentasannya di Provinsi DKI Jakarta

(1)

OLEH

BACHTIAR MALLO H14070004  

         

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKOMONI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

BACHTIAR MALLO, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan dan Kebijakan Pengentasannya di Provinsi DKI Jakarta (dibimbing oleh

MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL).

Fokus utama dari pembangunan ekonomi baik di tingkat global maupun di tingkat nasional telah menghadirkan isu penting tentang pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Analisis tentang ketiga hal yang

saling berkaitan tersebut telah menjadi bahan perdebatan yang sangat menarik terutama bagi para penentu kebijakan yang akan melakukan pemilihan strategi

kebijakan yang pantas untuk diterapkan.

Adanya permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan menghambat laju pertumbuhan ekomoni itu sendiri. Menurut Galor (2000), hal ini

terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif ketidakmerataan pendapatan akan di offset oleh rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga

akan memberikan dampak instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus berlanjut pada akhirnya akan mengganggu stabilitas

ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada.

Pemerintah DKI Jakarta telah banyak mengeluarkan kebijakan program-program yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Program-program tersebut

antara lain adalah program beras miskin yang memungkinkan bagi penduduk miskin untuk membeli beras dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga beras yang ada di pasar. Lalu ada juga program bantuan operasional


(3)

sekolah (BOS) agar penduduk miskin dapat pemperoleh pendidikan dasar yang layak.

Namun, jika dikaji dengan seksama, program-program terbebut cenderung berlaku secara umum dan belum tertuju langsung pada penduduk miskin. Program-program tersebut diberlakukan tanpa melihat adanya perbedaan masyarakat miskin dan yang terjadi adalah program-program yang berjalan kurang efisien untuk mengurangi kemiskinan. Sehingga perlu adanya integrasi dari faktor-faktor

yang menyebabkan kemiskinan yang kemudian perlu dilakukan studi terhadap faktor-faktor tersebut.

Penelitian ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan di DKI Jakarta. Setelah diketahui tentang faktor-faktor tersebut, selanjutnya adalah menentukan program-program dan kebijakan apa saja yang perlu dilakukan untuk mengatasi keniskinan yang terjadi di DKI Jakarta secara lebih efisien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta. Dari hasil identifikasi tersebut dapat memberikan gambaran tentang program-program dan kebijakan

yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemiskinan secara lebih efisien. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel, maka variable yang mempengaruhi

tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta adalah angka melek huruf, laju pertumbuhan ekonomi, PDRB sektor industri, dan tenaga kerja sektor industri.

Pemerintah telah menjalankan banyak kebijakan dan program-program dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Tetapi, program-program tersebut belum efektif untuk mengurangi kemiskinan secara signifikan. Program-program yang

dijalankan masih berlaku secara umum dan belum mengena langsung pada sumber penyebab kemiskinan. Sehingga yang terjadi adalah masih tingginya

angka kemiskinan di DKI Jakarta.

Pemerintah perlu menerapkan program-program yang langsung mengena pada sasaran kemiskinan. Program-program tersebut antara lain: (i) pemberantasan buta

huruf, dapat dilakukan dengan program Keaksaraan Fungsional yang dilanjutkan dengan Program Kejar Paket A B C, (ii) peningkatan pertumbuhan ekonomi, dapat dilakukan dengan fokus pembangunan pada sektor kunci (leading sector)


(4)

yang ada di DKI Jakarta yang dilanjutkan dengan pemerataan distribusi pendapatan dengan pengoptimalan pemungutan pajak dan penegakan hukum, dan (iii) penciptaan iklim investasi, dengan memperbaiki sistem birokrasi, manajemen,

infrastruktur, pajak serta menciptakan input/sumber daya yang mendukung, high return expectation, dan stabilitas ekonomi politik dalam negeri.


(5)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

KEMISKINAN DAN KEBIJAAN PENGENTASANNYA

DI PROVINSI DKI JAKARTA

Oleh

BACHTIAR MALLO H14070004

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Bachtiar Mallo

Nomor Registrasi Pokok : H14070004 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan dan Kebijakan Pengentasannya di Provinsi DKI Jakarta

Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP. 19570904 198303 1005

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003


(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, 2 Mei 2011

Bachtiar Mallo H14070004


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Bachtiar Mallo, lahir pada tanggal 28 Juli 1989 di Tangerang, Banten. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Akir Mallo dan Umi Rochaya. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 17 Tangerang, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 4 Tangerang, lalu melanjutkan di SMA Negeri 10 Tangerang dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USM IPB) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). IPB menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar penulis dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya manusia yang tangguh dan berguna bagi pembangunan Indonesia tercinta.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya yaitu Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan Center of Entrepreneurship and Development for Youth (CENTURY).

Selama menjadi mahasiswa, penulis memperoleh beberapa prestasi diantaranya, Abang None Jakarta Selatan 2010, Finalis Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Ekonomi 2009, Finalis FEM Ambassador 2009, Juara 2 Mojang Jajaka Kota Bogor 2008, dan Finalis Remaja Ceria Indonesia 2007.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kemiskinan Dan Kebijakan Pengentasannya di DKI Jakarta”. Skripsi ini dibuat untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta dan cara menanggulanginya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini terutama kepada:

1. Allah SWT yang selalu memberikan perlindungan dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Kedua orang tua, Akir Mallo dan Umi Rochaya, dan saudara tersayang, yang selalu memberikan doa dan dorongan yang tiada hentinya.

3. Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi ide dan saran yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran dan kritiknya demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Sri Mulyatsih, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan pedoman penulisan skripsi.

6. Teman-teman seperjuangan satu pembimbing skripsi: Sari Rina, Ranti Purnamasari, Risya

7. Teman-teman sekaligus keluarga IE 44 atas kebersamaan selama empat tahun ini.

8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis hingga akhir penyelesaian.


(10)

Segenap usaha maksimal telah penulis lakukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian, penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini belumlah sempurna, baik dalam segi materi maupun penyusunannya. Semoga skripsi dapat bermanfat bagi kita semua.

Bogor, 2 Mei 2011

Bachtiar Mallo H14070004

                                       


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... ... 11

2.1 Kemiskinan ... ... 11

2.2 Faktor Penyebab Kemiskinan ... ... 16

2.2.1 Pendidikan ... ... 16

2.2.2 Kependudukan dan Ketergantungan ... ... 19

2.2.3 Perekonomian ... ... 20

2.2.4 PDRB Sektoral ... ... 21

2.3Program Penanggulangan Kemiskinan ... ... 23

2.3.1 Perkembangan Program Kemiskinan di Indonesia ... ... 24

2.3.2 Perkembangan Program Kemiskinan di DKI Jakarta ... ... 30

2.4Kerangka Pemikiran ... ... 36

2.5Hipotesis ... ... 41

III. METODE PENELITIAN ... ... 43

3.1 Jenis dan Sumber Data ... ... 43

3.2 Metode Analisis ... ... 43

3.2.1 Analisis Data Panel ... ... 43

3.2.2 Pemilihan Model dalam Pengolahan Data ... ... 50

3.2.3 Evaluasi Model ... ... 53


(12)

IV. GAMBARAN UMUM ... ... 56

4.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta .... ... 56

4.2 Perkembangan Pendidikan ... ... 57

4.3 Perkembangan Kependudukan ... ... 58

4.4 Perkembangan Perekonomian ... ... 60

4.5 Perkembangan PDRB Sektoral ... ... 62

4.6 Perkembangan Tenaga Kerja Sektoral ... ... 64

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... ... 67

5.1 Analisis Model Regresi Data Panel... ... 67

5.2 Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan ... ... 69

5.2.1 Angka Melek Huruf ... ... 70

5.2.2 Perekonomian ... ... 71

5.2.3 PDRB Sektoral ... ... 74

5.2.4 Tenaga Kerja Sektoral ... ... 75

5.3 Formulasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan ... ... 77

5.3.1 Program Pengentasan Buta Huruf ... ... 77

5.3.2 Program Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi ... ... 79

5.3.3 Program Pengembangan Sektor Industri ... ... 82

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 86

6.1 Kesimpulan ... ... 86

6.2 Saran ... ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... ... 88


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita DKI Jakarta,

2001 – 2008 ………..………...3 1.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin DKI Jakarta,

Tahun 1999 – 2008 (dalam persen) ……….4 2.1 Program dan Alokasi Dana Penanggulangan Kemiskinan di DKI Jakarta

Tahun 2004 ……….………...33 3.1 Kerangka Identifikasi Autokorelasi ………..54 4.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi DKI Jakarta

2002 – 2009 ……….………..…..………..…56 4.2 Angka Melek Huruf Provinsi DKI Jakarta Penduduk Usia 10 Tahun Ke

Atas Menurut Kabupaten/Kota,2002 - 2009 (Persen) ...58 4.3 Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten /Kota,

2002-2009 (Jiwa/Km2) ………...……….……..……59 4.4 Rasio Ketergantungan Penduduk DKI Jakarta Menurut Kabupaten /Kota

2002-2009 ………..……….…………...………...60 4.5 Laju pertumbuhan PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000

Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Persen) ……….……...61 4.6 Pendapatan Perkapita Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan

2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Juta Rupiah) ………..62 4.7 PDRB Sektor Industri DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000

Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah) ……….…..63 4.8 PDRB Sektor Jasa DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000

Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah) ………...64 4.9 Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri Provinsi DKI Jakarta Menurut

Kabupaten/Kota, 2002 – 2009 (Jiwa) ………...……….65 4.10 Jumlah Tenaga Kerja Sektor Jasa Provinsi DKI Jakarta Menurut


(14)

5.1 Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model

(FEM)………..67 5.2 Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model

(FEM) ……….………..………...69 5.3 Sektor Andalan (Leading Sectors) Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan

Koefisien Penyebaran dan Kepekaan Penyebaran ………80 5.4 Pengganda Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja Sektor-Sektor


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1 Perkembangan Penduduk Miskin DKI Jakarta (Persen) ……..…………..5 2.1 Kerangka Pemikiran ………..……..….…....40 5.1 Perbandingan Laju PDB Indonesia dan Laju PDRB DKI Jakarta ….….79


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Hasil Estimasi Pool Least Square ………92

Hasil Estimasi Fixed Effect Model ……….93

Uji Chow ……….94

Uji Kenormalan ………...94

Uji Kehomogenan ………...95

                                           


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fokus utama dari pembangunan ekonomi baik di tingkat global maupun di tingkat nasional telah menghadirkan isu penting tentang pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Analisis tentang ketiga hal yang saling berkaitan tersebut telah menjadi bahan perdebatan yang sangat menarik terutama bagi para penentu kebijakan yang akan melakukan pemilihan strategi kebijakan yang pantas untuk diterapkan. Pertama, apakah harus mendahulukan pertumbuhan ekonomi yang dalam hal ini berfokus pada peningkatan pendapatan perkapita dengan mengesampingkan masalah pembagian distribusi pendapatan tersebut. Kedua, apakah harus mengutamakan distribusi pendapatan yang lebih merata tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan merupakan trade-off pemerataan pendapatan dalam upaya mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan harus dilakukan secara stimultan menjadi suatu bagian yang terintegrasi, agar dapat mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang dan akan meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan (Adam, 2004). Pembangunan ekonomi dan distribusi pendapatan bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Pembangunan ekonomi yang mempunyai dampak negatif seperti kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan dan pegangguran harus diatasi dengan skema pembangunan. Skema pembangunan yang terdiri dari rumusan-rumusan kebijakan harus mencangkup semua elemen, termasuk penduduk miskin, untuk


(18)

ikut serta berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Keikutsertaan penduduk miskin bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, antara lain melalui pendidikan, kesehatan, dan akses informasi.

Di sisi lain, adanya permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan menghambat laju pertumbuhan ekomoni itu sendiri. Menurut Galor (2000), hal ini terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif ketidakmerataan pendapatan akan di offset oleh rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan memberikan dampak instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus berlanjut pada akhirnya akan mengganggu stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada.

Kemiskinan tidak hanya terjadi di daerah atau pedesaan, tetapi kemiskinan juga banyak terdapat di perkotaan, bahkan kota-kota besar. Kota besar seperti Jakarta mempunyai masalah tersendiri tentang kemiskinan dan pemerataan distribusi yang sampai saat ini belum dapat terpecahkan. Jumlah penduduk di Jakarta yang cenderung bertambah karena adanya arus migrasi masuk ke Jakarta yang lebih besar daripada arus migrasi keluar Jakarta, merupakan salah satu dari sumber masalah yang ada di Jakarta. Para urban yang datang ke Jakarta tidak semuanya mempunyai keahlian dan keterampilan yang khusus dibidangnya yang dapat dijadikan modal, sehingga mereka cenderung tidak mempunyai modal untuk tetap dapat hidup layak.


(19)

Tabel 1.1 menggambarkan jumlah PDRB perkapita penduduk DKI Jakarta dari tahun 2001-2008. Secara umum terlihat bahwa PDRB perkapita DKI Jakarta mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahunnya. Tahun 2001, total PDRB perkapita atas dasar harga berlaku adalah Rp 31.496.643 yang kemudian terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga pada tahun 2008, total PDRB perkapita atas dasar harga berlaku adalah Rp 74.037.731.

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita DKI Jakarta, 2001 – 2008

Tahun

PDRB Per Kapita

Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun

(Jiwa) PDRB Per Kapita

Atas Dasar Harga Berlaku (Rupiah)

PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga

Konstan 2000 (Rupiah)

2001 31.496.634 28.506.249 8.372.064

2002 35.785.088 29.863.633 8.382.475

2003 38.694.928 30.511.415 8.640.184

2004 42.922.396 31.832.209 8.749.780

2005 48.966.320 33.324.813 8.860.381

2006 55.981.204 34.901.161 8.963.218

2007 62.490.337 36.733.180 9.064.591

2008 74.037.731 38.638.148 9.149.539 Sumber: BPS, 2010

Tabel 1.2 menunjukan persentase pengangguran terbuka menurut jenis kelamin di DKI Jakarta periode 1999 – 2008. Terlihat bahwa terjadi fluktuasi pada tingkat pengangguran di DKI Jakarta. Pada tahun 1999, pengangguran terbuka mencapai 15,66 persen dan turun pada tahun berikutnya, tahun 2000, yaitu 12,50 persen. Tahun 2001, tingkat pengangguran terbuka turun kembali menjadi 11,76 persen, tetapi naik pada tahun berikutnya, tahun 2002, yaitu 15,52 persen. Selanjutnya, tingkat pengangguran terbuka turun pada tahun-tahun berikutnya hingga pada tahun 2008, tingkat pengangguran terbuka menjadi 10,97 persen.


(20)

Tabel 1.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin DKI Jakarta, Tahun 1999 – 2008 (dalam persen)

Jenis

Kelamin 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Laki-laki 13,39 11,11 10,28 13,31 12,90 12,85 13,00 12,79 12,82 11,38

Perempuan 17,92 13,88 13,24 17,73 18,95 18,40 18,37 17,37 14,08 10,56

Jumlah 15,66 12,50 11,76 15,52 15,93 15,63 15,69 15,08 13,45 10,97

Sumber: BPS, 2010

Jika dibandingkan dengan PDRB perkapita yang mengalami peningkatan yang signifikan, tingkat pengangguran pada tiga tahun terakhir penelitian menunjukan penurunan. Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Jepang, tingkat pengangguran di DKI Jakarta masih tergolong cukup tinggi untuk sebuah kota yang berkembang sangat pesat. Tingkat pengangguran di Jepang pada bulan Juni 2009 sebesar 5,4 persen (Portal HR, 2009).

Hal ini sangat memungkinkan terjadinya masalah ketimpangan yang dikemukakan oleh teori pertumbuhan, dimana 90 persen dari pendapatan suatu daerah dinikmati oleh 20 persen dari total penduduk, sedangkan sisanya yang 10 persen, dinikmati oleh 80 persen dari total penduduk satu daerah. Hal inilah yang selanjutnya akan menjadi dasar dari konsep ketimpangan dan memunculkan masalah baru, yaitu kemiskinan.

Gambar 1.1 menunjukan perkembangan penduduk miskin yang ada di DKI Jakarta selama periode 2002-2009. Terlihat pada Gambar 1.1 bahwa keadaan kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta tidak mengalami penurunan yang signifikan, melainkan terjadi fluktuasi. Pada awal tahun 2002, tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta sebesar 3,51 persen dan mengalami kenaikan menjadi 3,62 persen di tahun 2003. Kenaikan yang tajam terlihat pada tahun 2006 karena akumulasi dati


(21)

terjadinya krisis energi yang menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak, dimana tingkat kemiskinan mencapai angka 4,80 persen. Hingga tahun 2009, tren kemiskinan mengalami penurunan walaupun tidak signifikan, yaitu menjadi 4,75 persen pada tahun 2007, 3,96 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 menjadi 3,88 persen.

Sumber: BPS, 2010

Gambar 1.1 Perkembangan Penduduk Miskin DKI Jakarta dalam Persen

Kemiskinan di DKI Jakarta memiliki suatu kehususan tersendiri, yaitu urban poverty. Urban Poverty adalah kemiskinan yang terjadi akibat masuknya penduduk yang bermigrasi masuk ke DKI Jakarta tanpa membawa keahlian apapun, sehingga akan menjadi beban ketika mereka hidup di Jakarta. Para kaum urban yang datang tanpa keahlian dan pelatihan serta dengan pendidikan yang rendah, tidak mampu bersaing dalam mencai pekerjaan dengan penduduk lainnya. Selanjutnya, yang terjadi adalah munculnya daerah yang menjadi kantong kemiskinan, seperti banyak ditemukan di DKI Jakarta.


(22)

Tiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Demikian diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 27 ayat (2). Dalam hal ini, berarti dengan dukungan sumber kekayaan yang melimpah, pemerintah bertanggung jawab terhadap masalah kesejahteraan masyarakat, salah satunya adalah masalah kemiskinan.

Upaya pengurangan kemiskinan dapat berjalan dengan maksimal dan lebih cepat bila didukung dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat yang dibarengi dengan pemerataan distribusi pendapatan (Bourguignon, 2004). Pertumbuhan ekonomi tersebut memberikan manfaat yang lebih banyak kepada penduduk miskin dan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi mereka untuk memperbaiki keadaan ekonominya atau bersifat pro poor growth.

Menurut Bellinger (2007), pengurangan kemiskinan juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi maupun non-ekonomi. Faktor ekonomi dapat berupa produktivitas dari sektor penyokong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan distribusi pendapatan. Besarnya peranan produktivitas sektor terhadap pengurangan kemiskinan bergantung pada karakteristik perekonomian dan ketenagakerjaan. Sedangkan faktor non-ekonomi dapat berupa akumulasi modal manusia yang dapat tercermin dari tingkat pendidikan dan kependudukan.

Pemerintah telah melaksanakan berbagai program dan kebijakan dalam upaya percepatan pengurangan kemiskinan. Upaya tersebut dilakukan melalui percepatan pertumbuhan ekonomi dan implementasi berbagai program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan secara terintegerasi, terarah dan bersinergi antar program. Strategi pembangunan ekonomi bertumpu


(23)

pada triple track strategy yaitu pro growth, pro job, dan pro poor secara nyata telah diimplementasi sejak tahun 2005. Pemerintah juga terus meningkatkan alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan termasuk anggaran PNPM Mandiri sebesar Rp. 23 trilyun (2005), Rp. 42 trilyun (2006), Rp. 51 trilyun (2007), dan Rp. 62 trilyun (2008).

Percepatan pertumbuhan ekonomi (pro growth) terutama bertumpu pada perbaikan kinerja investasi dan ekspor, dan ditopang oleh mantapnya pertumbuhan konsumsi penduduk. Untuk perbaikan kinerja investasi dan menjamin keberlangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah meluncurkan paket kebijakan secara terintegratif meliputi perbaikan iklim investasi, pembenahan sektor jasa keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur, dan kebijakan pemberdayaan UMKM.

Sedangkan untuk percepatan pengurangan kemiskinan (pro poor) dilakukan dengan meningkatkan sasaran dan alokasi dana penanggulangan kemiskinan. Program tersebut diantaranya adalah program bantuan dan perlindungan sosial, program berbasis pemberdayaan masyarakat, dan program pemberdayaan usaha mikro dan kecil.

Namun, kondisi riil yang terjadi di DKI Jakarta pada tahun 2009, sangat berbeda dengan hasil yang diharapkan dari penerapan kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan tersebut. Kebijakan yang ada selama ini hanya mengatasi gejala yang diakibatkan dari kemiskinan, bukan upaya pemberantasan dari sumber kemiskinan itu sendiri. Hal ini terlihat bahwa tren tingkat kemiskinan belum menunjukan penurunan secara signifikan, yaitu masih


(24)

adanya penduduk miskin di DKI Jakarta yang mencapai 3,88 persen atau sekitar 337200 jiwa. Maka, disimpulkan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah belum cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan di DKI Jakarta. Program-program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut masih memiliki banyak kelemahan dan kendala dalam penerapannya.

Menurut Rancangan Peraturan Daerah DKI Jakarta Tentang Kesejahteraan Daerah Bagian V Tentang Penanggulangan Kemiskinan, dikatakan bahwa penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah daerah dan masyarakat. Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk:

a. meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin;

b. memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak – hak dasar.

c. mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan ; dan


(25)

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perlu dianalisis tentang kemiskinan yang terjadi di DKI Jakarta, dengan perincian masalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kemiskinan di DKI Jakarta? 2. Program-program dan kebijakan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi

kemiskinan yang terjadi di DKI Jakarta?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di DKI Jakarta.

2. Memberikan masukan tentang program dan kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diterima selama perkuliahan

2. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sarana pembelajaran dalam menambah wawasan dan sebagai salah satu sumber informasi dan bahan untuk penelitian selanjutnya.

3. Bagi pembuat kebijakan yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan, penelitian ini diharapkan berguna dalam memberikan informasi serta menjadi


(26)

bahan masukan untuk merumuskan berbagai kebijakan di masa yang akan datang.

                   

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemiskinan

Konsep kemiskinan menurut Bellinger (2007) melibatkan multidimensi, multidefenisi, dan alternatif pengukuran. Kemiskinan merupakan satu dari masalah yang sulit untuk didefinisikan dan dijelaskan. Secara umum, kemiskinan dapat diukur dari dua dimensi yaitu dimensi income atau kekayaan tidak hanya diukur dari rendahnya pendapatan yang diterima karena pendapatan rendah biasanya sifatnya sementara, tetapi diukur juga dengan kepemilikan harta kekayaan seperti lahan bagi petani kecil dan melalui akses jasa pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non-faktor keuangan ditandai dengan adanya keputus-asaan atau ketidakberdayaan yang juga dapat menimpa berbagai rumah tangga berpenghasilan rendah.


(27)

Dalam perkembangannya, kemiskinan dimensi income lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur. Kemiskinan dimensi income dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolute mengacu pada ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, rumah, pakaian, transportasi, dan kesehatan dasar. Sedangkan kemiskinan relatif diukur dengan membandingakan pendapatan rumah tangga dengan rata-rata pendapatan nasional.

Besarnya kemiskinan menurut Todaro dan Smith (2006) dapat diukur dengan mengacu pada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute, sedangkan bila pengukuran tidak berdasarkan garis kemiskinan melainkan rata-rata pendapatan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absoute adalah derajat kemiskinan dibawah kebutuhan minimum untuk bertahan hidup. Ukuran ini relatif tetap dalam bentuk kebutuhan kalori minimum ditambah komponen bukan makanan yang juga sangat dibutuhkan untuk tetap bertahan. Garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar Bank Dunia untuk membandingkan antar negara adalah pendapatan perkapita sebesar US$ 1 atau US$ 2 per hari. US dolar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate).

Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran dibawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional. Negara kaya mempunyai garis kemiskinan yang relatif tinggi dibanding negara miskin. Garis kemiskinan tiap


(28)

negara biasanya dihitung sesuai dengan paritas daya beli penduduknya. Salah satu strategi praktis untuk menentukan garis kemiskinan lokal adalah dengan menetapkan sekelompok makanan yang biasa dibeli oleh rumah tangga yang hampir tidak memenuhi persyaratan nutrisi minimum, ditambahkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar yang lain, seperti pakaian tempat tinggal, dan pelayanan kesehatan minimum.

BPS (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg perkapita per tahun di perkotaan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun yang bukan makanan yang bersifat mendasar seperti pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan pendudukan dasar lainnya, BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi. Garis kemiskinan berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi. Garis kemskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2008 sebedar Rp. 204,896 untuk daerah perkotaan dan Rp. 161,831 untuk daerah pedesaan.

Selain menggunakan ukuran konsumsi kalori perkapita perhari dan garis kemiskinan, BPS juga menjelaskan kemiskinan dengan 14 kriteria untuk mengetahui keluarga/rumah tangga yang tergolong keluarga/rumah tangga miskin, diantaranya:

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu / kayu murahan


(29)

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok tanpa diplester

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik

6. Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai /air hujan

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah

8. Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun

10.Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari

11.Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik 12.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan

500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan 13.Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tidak tamat SD/

hanya SD

14.Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Menurut Sumodiningrat (1999), klasifikasi kemiskinan ada lima kelas, yaitu:


(30)

1. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak, juga ditentukan oleh tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin atau sering disebut dengan istilah garis kemiskinan. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.

2. Kemiskinan Relatif

Sekelompok orang dalam masyarakat dikatakan mengalami kemiskinan relatif apabila pendapatannya lebih rendah dibandingkan kelompok lain tanpa memperhatikan apakah mereka masuk dalam kategori miskin absolut atau tidak. Penekanan dalam kemiskinan relatif adalah adanya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan isltilah ketimpangan distribusi pendapatan. Ketimpangan relatif untuk menunjukan ketimpangan pendapatan berguna untuk mengukur ketimpangan pada suatu wilayah. Kemiskinan relatif juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan antar wilayah yang digunakan pada suatu wilayah tertentu. Pengukuran relatif diukur berdasarkan tingkat pendapatan, ketimpangan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia berupa kualitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan. 3. Kemiskinan Struktural


(31)

Kemiskinan struktural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasiltas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat dihitung dari kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada.

4. Kemiskinan Kronis

Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya dan keterisoliran, rendahnya derajat pendidikan dan perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.

5. Kemiskinan Sementara

Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya: 1) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, 2) perubahan yang bersifat musiman, dan 3) bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.


(32)

2.2.1. Pendidikan

Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori Lucas dan Romer, pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga kerja tetapi juga dipengararuhi oleh akumulasi modal manusia melalui pertumbuhan teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan keterampilan penduduk menunjukan semakin tinggi modal manusia. Secara umum, semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas yang lebih tinggi tersebut dikarenakan memiliki keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Jika tingkat pendidikan lebih tinggi, maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik.

Sementara itu, unit usaha yang diisi oleh mereka yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menyerap teknologi akan menjadi lebih produktif. Tingkat upah pekerja pun akan meningkat yang berarti kesejahteraan rumah tangganya juga meningkat. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill and broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini (Nurkholis, 2004).

Menurut Bank Dunia (2006), tingkat pendidikan penduduk miskin yang rendah akan menimbulkan lingkaran setan kemikinan pada generasi berikutnya.


(33)

Penduduk miskin yang berpendidikan rendah akan menyebabkan produktivitasnya rendah, produktivitas rendah akan membuat output dan pendapatan yang diterima rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga melahirkan generasi selanjurnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan baru. Sehingga salah satu upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus memotong lingkaran setan kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendidikan penduduk miskin.

Peran penting peningkatan sumberdaya manusia melalui pendidikan dalam rangka pengentasan kemiskinan juga dikemukakan Bank Dunia maupun Asian Development Bank (ADB). Bank Dunia (2006) dalam kerangka kerja untuk memerangi kemiskinan menyebutkan salah satu pilar yang harus dilakukan adalah peningkatan kesempatan penduduk miskin. Pilar ini dilaksanakan dengan peningkatan akses penduduk miskin terhadap aset modal fisik dan modal manusia (pendidikan dan kesehatan) serta peningkatan rate of return dari aset-aset tersebut. Menurut ADB (1999), salah satu pilar dari strategi penurunan kemiskinan adalah pengembangan sosial yang terdiri dari pengembangan modal manusia (pendidikan dan kesehatan), modal sosial, perbaikan status perempuan, dan perlindungan sosial.

Peran optimal pendidikan dalam pengurangan kemiskinan tergantung pada akses bagi masyarakat miskin dalam menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi, yang nantinya sangat menentukan kemampuan mereka dalam bersaing di pasar kerja. Penduduk miskin sering kesulitan menjangkau fasilitas pendidikan dan kesulitan keuangan untuk membiayai pendidikan anaknya. Motivasi penduduk


(34)

miskin untuk membiayai sekolah anaknya di negara berkembang sering tidak sejalan dengan ekspetasi manfaat yang diterima di kemudian hari. Biaya yang dikeluarkan sering menjadi penghalang atau tidak sebesar manfaat relatif yang akan diterima di masa depan (Tambunan, 2006).

Bila penduduk miskin tidak memperoleh akses yang lebih luas untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi terutama di negara ketiga, justru akan mempertahankan atau bahkan semakin memperlebar jurang kesenjangan pendapatan, yang pada akhirnya akan menghambat upaya pengurangan kemiskinan. Hal ini dikarenakan tingkat penghasilan yang diterima sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendapatan penduduk yang telah menyelesaikan sekolah atau universitas 300 persen atau 800 persen lebih besar dari penduduk yang hanya berpendidikan sekolah dasar atau kurang dari itu (Todaro and Smith, 2006).

Menurut penelitian Wiraswara (2005), salah satu variabel yang mempengaruhi kemiskinan adalah angka melek huruf. Angka melek huruf memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat kemiskinan, dimana setiap kenaikan pesentase pada angka melek huruf maka akan mengakibatkan penurunan persentase tingkat kemiskinan.

2.2.2. Kependudukan dan Ketergantungan

Berdasarkan penelitian Nasir, et all (2006), faktor jumah anggota rumah tangga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemiskinan. Jumlah anggota keluarga yang lebih besar akan menjadi beban suatu rumah tangga dan sangat mempengaruhi produktivitas kepala keluarga. Beban kepala rumah tangga


(35)

juga akan berat jika semakin banyak anggota keluarga yang usianya belum/tidak produktif. Dengan beban yang lebih banyak, maka kemungkinan menjadi miskin akan lebih besar.

Beberapa penelitian di negara-negara yang sedang berkembang menunjukan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara besaran rumah tangga dengan konsumsi (pendapatan) per orang. Sering disimpulkan bahwa penduduk yang hidup dengan keluarga besar lebih miskin daripada penduduk yang hidup dengan keluarga yang kecil (Ravallion dan Lanjouw, 1994).

Di negara-negara dunia ketiga seringkali anak dijadikan sebagi investasi karena tidak adanya sistem jaminan sosial dari negara. Bagi rumah tangga miskin, keberadaan anak yang banyak diharapkan akan dapat menyokong ekonomi keluarga terutama ketika para orang tua semakin lanjut usianya. Pola pikir masa lalu yang sering diterapkan yaitu “banyak anak banyak rezeki”.

Rasio ketergantungan dihitung sebagai rasio jumlah anggota rumah tangga yang tidak berada dalam angkatan kerja (baik tua maupun muda) terhadap mereka yang berada pada angkatan kerja dalam rumah tangga tersebut. Hal ini menunjukan bahwa, suatu rasio ketergantungan yang tinggi akan berkorelasi positif terhadap tingkat kemiskinan rumah tangga. Semakin besar angka rasio ketergantungan maka semakin besar pula kemungkinan untuk meningkatkan kemiskinan (BPS, 2002a).

2.2.3. Perekonomian

Kondisi kemiskinan yang terjadi di Indonesia terutama di daerah-daerah tertinggal adalah karena pengaruh dari kondisi perekonomian yang buruk. Kondisi


(36)

perekonomian yang buruk tidak mempunyai kendali untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut, apalagi untuk daerah sekitarnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat sekitarnya hidup dalam perekonomian yang buruk dan berpotensi besar untuk menjadi penduduk miskin.

Dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan ketidakmerataan pendapatan senantiasa menyertai pertumbuhan ekonomi. Perubahan ketidakmerataan pendapatan dapat digambarkan dengan perubahan angka Gini ratio. Ketidakmerataan dapat dikelompokan menjadi tiga berdasarkan angka rasio Gini, yaitu:

1. Ketidakmerataan rendah apabila angka rasio Gini lebih kecil dari 0,3 2. Ketidakmerataan sedang apabila angka rasio Gini terletak antara 0,3-0,4 3. Ketidakmerataan tinggi apabila angka rasio Gini lebih besar dari 0,4

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suparno (2010), angka rasio Gini selama periode 2002-2008 menunjukan tingkat ketidakmeratan di Indonesia tergolong sedang karena masih berada pada kisaran 0,3-0,4 walaupun dengan angka yang berfluktuasi. Pada tahun 2002, angka rasio gini tercatat sebesar 0,34 kemudian meningkat menjadi 0,40 pada 2005 dan sedikit menurun pada tahun 2008 menjadi sebesar 0,37. Angka rasio Gini tersebut sedikit berbeda dengan angka yang dipublikasikan BPS, karena data yang dianalisis pada penelitiannya tidak mencangkup provinsi NAD, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Pengukuran ketidakmerataan pendapatan dengan menggunakan data pengeluaran perkapita sebagai proxy data pendapatan perkapita memberikan hasil yang bias. Ketidakmerataan yang diperoleh akan lebih rendah dari yang


(37)

seharusnya. Hal ini dikarenakan pendapatan pengeluaran perkapita hanya relevan untuk menggambarkan pendapatan kelompok penduduk dengan yang berpenghasilan rendah. Dalam jangka panjang pengeluaran perkapita penduduk berpenghasilan rendah akan mendekati pendapatan perkapitanya. Sedangkan pendapatan perkapita kelompok penduduk berpenghasilan menengah ke atas pada umumnya lebih tinggi daripada pengeluaran perkapitanya. Dengan demikian, ketidakmerataan pendapatan yang terjadi di Indonesia akan lebih tinggi bila dihitung berdasarkan pendapatan perkapitanya.

2.2.4. PDRB Sektoral

Peubah PDRB sektoral menggambarkan jumlah output agregat sektor yang dihasilkan suatu daerah. Peningkatan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan menunjukan adanya pertumbuhan ekonomi sektoral. Pertumbuhan ekonomi menurut teori ekonomi mengindikasikan semakin banyaknya kesempatan kerja yang tercipta dan semakin banyak orang yang bekerja, sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. PDRB sektoral per tenaga kerja menurut harga konstan merupakan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan tahun 2000 dibagi dengan jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. PDRB sektor pertanian, industri dan jasa per tenaga kerja juga digunakan untuk mengetahui secara langsung kesempatan kerja yang terjadi juga menyebar di sektor dimana penduduk miskin berada melalui peningkatan produktivitas. Selain itu, secara tidak langsung digunakan untuk mengetahui efektivitas kebijakan pemerintah dalam proses redistribusi manfaat pertumbuhan yang diperoleh dari sektor pertanian maupun


(38)

industri dan sektor jasa yang ditengarai memberikan kontribusi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin (Siregar dan Wahyuniarti, 2007)

Pengaruh kegiatan ekonomi menurut sektoral terhadap pengurangan kemiskinan juga dikemukakan oleh Montalvo dan Ravallion (2009) dengan menguji hipotesa pola pertumbuhan sektoral. Kegiatan ekonomi menurut sektor memiliki dampak pengurangan kemiskinan secara keseluruhan yang independen terhadap pertumbuhan ekonomi agregat. Hipotesis tersebut berdasarkan dua alasan. Pertama, kerelevanan ketidakmerataan antar sektor yang cukup besar menyebabkan pola pertumbuhan antar sektor secara sistematis akan merubah distribusi pendapatan dan lebih luas lagi pada tingkat kemiskinan dengan tingkat rata-rata pendapatan tertentu. Secara instuisi, jika pertumbuhan ekonomi sangat intens dalam sektor-sektor tersebut dan tidak memberikan manfaat kepada penduduk miskin maka akan meningkatkan ketidakmerataan, dampaknya akan mengurangi manfaat pertumbuhan secara keseluruhan bagi penduduk miskin.

Kedua, komposisi kegiatan ekonomi menurut sektor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakmerataan awal. Hal ini akan tetap berlangsung apabila proses pertumbuhan selanjutnya bersifat netral atau semua pendapatan tumbuh dengan sifat yang sama. Secara instuisi, ketika penduduk miskin memiliki share pendapatan yang rendah terhadap total pendapatan, mereka cenderung akan memiliki share manfaat agregat pendapatan yang lebih rendah selama proses pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, distribusi pendapatan awal yang telah diketahui mempunyai peran yang sangat penting bagi dampak berikutnya dari pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan.


(39)

2.3. Program Penanggulangan Kemiskinan

Kemiskinan adalah permasalahan global bukan hanya permasalahan negara-negara sedang berkembang. Masalah ini mendapat perhatian global termasuk Perserikatan Bangsa Bangsa dimana pada tahun 2000 seluruh anggota PBB membuat Deklarasi Milenium PBB (United Nation Millennium Declaration) yang salah satu isinya adalah menghilangkan kemiskinan. Deklarasi ini kemudian dijabarkan dalam Millennium Development Goals (MDGs) yang berisi delapan tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan pertama dari MDGS adalah menghilangkan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim. Target yang ingin dicapai adalah mengurangi setengah dari proporsi penduduk yang hidup dengan pendapatan kurang dari satu dolar perhari dan mengurangi setengah proporsi penduduk yang menderita kelaparan.

Millennium Development Goals yang merupakan kesepakatan global dilaksanakan pula oleh Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu ditingkatkan pemahaman mengenai penyebab kemiskinan. Secara makro, penyebab kemiskinan adalah kesempatan kerja yang terbatas, akses yang terbatas pada sumber-sumber finansial dan non-perbankan, dan banyaknya migran dengan keterampilan rendah. Kesempatan kerja yang terbatas sangat erat kaitannya dengan kondisi perekonomian. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu mendorong terciptanya kesempatan kerja. Namun sering dicurigai bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh karena adanya perubahan struktural perekonomian modern (Todaro dan Smith, 2006). Laporan


(40)

Bank Dunia tahun 1990 yang mengatakan bahwa diskusi mengenai kebijakan yang berkenaan dengan golongan miskin biasanya berfokus kepada trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan. Namun telaah terhadap pengalaman berbagai negara menyimpulkan bahwa kedua hal tersebut bukanlah suatu trade-off yang tidak bisa diatasi. Dengan kebijakan yang tepat, golongan miskin dapat berpatisipasi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan, dan jika mereka dapat melaksanakan hal tersebut, bukan tidak mungkin penurunan tingkat kemiskinan akan terjadi begitu cepat dan konsisten dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

2.3.1. Perkembangan Program Kemiskinan di Indonesia

Program penanggulangan kemiskinan mulai dilaksanakan pemerintah sejak Pelita III. Berbagai program sektoral yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan mewarnai program pembangunan di Indonesia. Di bidang pertanian, pemerintah mengenalkan program BIMAS dan INMAS untuk penyuluhan pada petani, perluasan lahan pertanian dan transmigrasi. Kemudian BULOG didirikan untuk menjaga stabilitas harga beras, gula, dan barang kebutuhan pokok lainnya. Di sektor keuangan, pemerintah mulai memperhatikan sektor usaha kecil dan menengah dengan mengenalkan berbagai macam program kredit untuk pengusaha kecil. Program tersebut antara lain berupa Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Candak Kulak (KCK), dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Pemerintah juga menciptakan berbagai macam program INPRES. Kebijakan itu semua dilakukan dalam rangka memberikan peluang kepada rakyat kecil untuk memulai usaha.


(41)

Program khusus pengurangan kemiskinan mulai dilaksanakan pemerintah sejak 1988 dengan adanya program Pengembangan Kawasan terpadu (PKT) yang berupa transfer langsung kepada masyarakat. Dalam progam ini pemerintah memberikan bibit pertanian dan peternakan kepada masyarakat miskin di pedesaan. Pada tahun 1993, PKT berkembang dari sekedar pemenuhan kebutuhan akan bibit menjadi pemenuhan akan sarana dan prasarana dasar, seperti jalan, jembatan, saluran irigasi dan sebagainya, terutama bagi daerah tertinggal. Kegiatan tersebut berkembang menjadi program INPRES Desa Tertinggal (IDT). Tahun 1993-1996, program IDT menarik minat berbagai lembaga keuangan internasional untuk ikut membiayai dan berkembang menjadi Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) yang pembiayaannya diperoleh dari Bank Dunia dan JBIC. Di samping itu, pemerintah melalui Departemen Sosial, meluncurkan Kredit Usaha Bersama (KUBE) yang diberikan kepada kelompok usaha di desa.

Memasuki masa krisis multidimensi pada tahun 1997-1998, pemerintah dalam menjalankan program penanggulangan kemiskinan mulai memperkenalkan Padat Karya I (Oktober-Desember 1997) yang disertai dengan Padat Karya II (Desember 1997-Februari 1998). Akan tetapi, program tersebut belum sepenuhnya berjalan secara efetif dan mulai dirubah dengan program yang menganut pendekatan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu sejak tahun 1998-1999 program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat mulai diperkenalkan ke berbagai daerah di Indonesia. Diantaranya Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di daerah pedesaan dan Program


(42)

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta Program Pendukung Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD) (Komite, 2009).

Di era otonomi daerah, pemerintah mempunyai komitmen untuk mempercepat pemecahan masalah kemiskinann dengan membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 2001. Pada akhir tahun 2003, Komite Penanggulangan Kemiskinan mengeluarkan dan mengesahkan dokumen I-PRSP (Interim Poverty Reduction Strategy Paper) sebagai panduan bagi penyusunan dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemikinan (SNPK). Pada tahun 2004, pemerintah telah menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. SNPK merupakan strategi dan rencana aksi untuk mempercepat tujuan dan sasaran penanggulangan kemiskinan. SNPK dituangkan dalam RPJM tahun 2004-2009 yang memuat kebijakan pembangunan dan rencana kerja pemerintah selama lima tahun. Dengan mengacu RPJM, pemerintah setiap tahun akan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai penjabaran dan operasionalisasi RPJM. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pemerintah daerah membentuk Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dengan mengacu pada SNPK dan menjadi bagian integral dari rencana pembangunan di tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Pada tahun 2005, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang beranggotakan lintas departemen dan diketuai oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Tim tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mengintegrasikan dan sinkronasi berbagai program kemiskinan di setiap departemen agar program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan lebih


(43)

terarah, bersinergi satu sama lain dan tidak tumpang tindih. TKPK menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan dengan paradigma pola penanganan yang bersifat multisektoral. Sedangkan ditingkat daerah, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) guna mengefektifkan program penanggulangan kemiskinan di tingkat daerah. TKPK mengelompokan program penanggulangan kemiskinan berdasarkan segmentsi masyarakat penerima program sebagai berikut:

1. Program berbasis bantuan dan perlindungan sosial yang terdiri atas program yang bertujuan untuk pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin. Program ini berbentuk bantuan raskin, jamkesmas, bantuan fakir miskin, bantuan korban bencana, bantuan langsung tunai, PKH, beasiswa siswa miskin, serta peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan pengarusutamaan anak (PUA).

2. Program berbasis pemberdayaan masyarakat melalui PNPM mandiri. Program ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif berdasarkan kebutuhan masyarakat, berupaya menguatkan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan kegiatannya dilaksanakan oleh masyarakat secara swakelola dan berkelompok. 3. Program berbasis pemberdayaan usaha kecil dan mikro terdiri atas

program-program yang bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil, dalam bentuk bantuan modal, peningkatan kapasitas, dan pemberian kredit usaha rakyat (TKPK, 2009)


(44)

Program PNPM mandiri diluncurkan oleh presiden pada 30 April 2007. PNPM Mandiri merupakan harmonisasi dan sinkronasi kebijakan dari program-program pemberdayaan masyarakat dalam hal pemilihan sasaran, prinsip dasar, strategi, pendekatan, mekanisme, dan prosedur yang diperlukan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan mempercepat penciptaan lapangan kerja. Secara bertahap dikonsolidasikan untuk digabung dengan berbagai program-program pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan yang tersebar di kementrian/lembaga seperti PPK, P2KP, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), dan lain sebagainya.

PNPM Mandiri dikategorikan menjadi dua jenis, yakni PNPM Inti dan PNPM Penguatan. PNPM Inti terdiri dari program berbasis kewilayahan seperti PNPM Pedesaan (PPK), PNPM Perkotaan (P2KP), PNPM Daerah Tertinggal (P2DTK), PNPM Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dan PNPM Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). Sedangkan dengan kategori PNPM Penguatan yang terdiri dari program pemberdayaan masyarakat berbasiskan sektoral, kewilayahan serta khusus mendukung penanggulangan kemiskinan seperti Program Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), BLM untuk Keringanan Investasi Pertanian (BLM KIP), PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, PNPM Mandiri Pariwisata, PNPM Mandiri Perumahan dan Pemukiman serta PNPM Mandiri Generasi (TP PNPM, 2007)

Pada November 2007, pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR adalah skema kredit yang bertujuan untuk memperkuat pemodalan


(45)

UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan, KUR khusus diperuntukan bagi UMKM dan Koperasi yang usahanya layak namun tidak mempunyai agunan yang cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan perbankan. Selain itu, KUR memberikan akses kredit kepada kelompok masyarakat yang telah dilatih dan ditingkatan keberdayaan serta kemandiriannya pada program berbasis pemberdayaan masyarakat PNPM Mandiri, sehingga mampu untuk memanfaatkan skema pendanaan yang berasal dari lembaga keuangan formal seperti Bank, Koperasi, BPR, dan sebagainya. UMKM dapat langsung mengakses KUR di Bank Pelaksana yaitu Bank BRI, Bank Mandri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri atau melalui lembaga keuangan mikro serta melalui kegiatan linkage program lainnya yang bekerja sama dengan bank pelaksana. Sejak bulan Februari 2008, diluncurkan KUR mikro dengan plafon maksimum lima juta rupiah per nasabah usaha mikro yang disalurkan melalui bank pelaksana KUR (TKPK, 2009).

2.3.2. Perkembangan Program Kemiskinan di DKI Jakarta

Dalam menanggulangi kemiskinan, berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Batasan kemiskinan mengacu kepada hasil Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Social Development) tahun 1995 dikatakan sebagai wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendidikan, dan sumberdaya yang produktif yang menjamin kehidupan kesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan akses kepada pendidikan; dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tidak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat;


(46)

kehidupan gelandangan dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman dan diskriminatif serta keterasingan sosial. Dari batasan tersebut dapat dilihat bahwa masalah kemiskinan bukan merupakan masalah satu sektor saja melainkan multi dimensional/multi sektor, sehingga dalam penanggulangannya perlu dikoordinasikan dari berbagai sektor.

Menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 Tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan melalui Keputusan Gubernur Nomor 1582/2002. Komite yang terdiri dari berbagai instansi terkait ini mempunyai tugas pokok yang salah satunya adalah meningkatkan keberhasilan penanggulangan kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta yang diantara dengan melakukan langkah-langkah nyata untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin. Upaya penanggulangan kemiskinan ini diperkuat pula dengan Keputusan Gubernur Nomor 1791/2004 tentang Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Provindi DKI Jakarta.

Strategi induk penanggulangan masalah kemiskinan Provinsi DKI Jakarta adalah mendorong terciptanya lembaga keuangan mikro professional berbasis non-kolateral di tingkat kelurahan sebagai intitusi yang diharapkan dapat mendorong peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin dalam meningkatkan pendapatan sekaligus akses terhadap sumberdaya ekonomi. Strategi ini dilakukan melalui dua pendekatan yaitu (a) community empowerment dan capacity building dan (b) social protection.


(47)

Community empowerment dan capacity building adalah upaya meningkatkan pendapatan melalui produktivitas dengan penguatan kemampuan masyarakat miskin dalam pengelolaan, memperoleh peluang dan perlindungan untuk membentuk hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Seangkan social protection adalah upaya untuk mengurangi pengeluaran masyarakat melalui pemberian subsidi dan bantuan untuk mengurangi pengurangan beban kebutuhan dasar seperti akses teradap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah mendukung kegiatan sosial ekonomi.

Untuk mencapai strategi induk diperlukan strategi penunjang yaitu:

1. Pengembangan basis data dan penetapan indikator penduduk miskin sesuai dengan kondisi faktual DKI Jakarta sehingga diperoleh pemetaan dan identifikasi masalah kemiskinan yang komperhensif sebagai dasar berbagai program intervensi penanggulangan kemiskinan.

2. Pengembangan multi process card penduduk miskin sebagai mekanisme wujud perlindungan sosial yang menjamin ketetapan pemberian subsidi dan bantuan dalam upaya peningkatan akses penduduk miskin kepada layanan kebutuhan dasar yang bersifat langsung seperti pendidikan, kesehatan serta layanan dasar lainnya.

3. Pembentukan jejaring kerja antara pemerintah, legislatif, dunia usaha dan berbagai stakeholder lainnya guna mendukung keterpaduan program penanggulangan kemiskinan.


(48)

Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi yang meliputi aspek-aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, subsidi, fisik lingkungan, tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan sosial. Berbagai program aksi telah dilaksanakan untuk aspek-aspek tersebut. Khusus untuk aspek subsidi, beberapa program yang telah dilaksanakan adalah beras miskin, bantuan beasiswa siswa/mahasiswa kurang mampu, dan bantuan air bersih.

Dalam rangka penaggulangan kemiskinan, pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2004 telah mengalokasikan 884 milyar rupiah. Alokasi tertinggi adalah untuk pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya termasuk Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK). Selain pemberdayaan masyarakat, sektor yang menjadi fokus penanggulangan kemiskinan adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Salah satu cara untuk memutuskan rantai kemiskinan rumah tangga adalah dengan meningkatkan pendidikan anggota rumah tangga sehingga mereka berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Tabel. 2.1 Program dan Alokasi Dana Penanggulangan Kemiskinan di DKI Jakarta Tahun 2004

Bidang yang di berikan Bantuan Besarnya Bantuan (Rp)

Usaha Kecil Menengah dan Koperasi 26.002.000.000 Permukiman 4.045.665.000 Perindustrian 310.000.000 Pariwisata 50.000.000 Peternakan dan Perikanan 1.184.000.000 Pendidikan 267.987.835.000 Pemberdayaan Masyarakat 359.550.000.000 Peran Serta dan Rehabilitasi Sosial 3.309.484.000 Ketenagakerjaan 1.337.500.000


(49)

Pemerintahan 3.809.663.000 Kependudukan dan Keluarga Berencana 8.141.939.088 Pemakaman 752.400.000 Kesehatan 207.632.069.100

Total 884.112.555.188

Sumber: Bapeda Pemprov DKI Jakarta, 2005

Program Pemberdayaan Mayarakat Kelurahan (PPMK) adalah program yang digulirkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberdayakan masyarakat yang mencangkup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat baik fisik maupun non-fisik melalui lembaga kemasyarakatan yang ada di kelurahan, dengan mengadakan bantuan langsung kepada masyarakat. Pelaksanaan PPMK mengacu pada Pelaksanaan P2KP. Bantuan langsung diberikan dengan pendekatan Tribina, yaitu bina ekonomi adalah sebesar 60 persen berupa dana bergulir, untuk bina fisik dan sosial masing-masing 20 persen. Di samping itu prinsip-prinsip dari pelaksanaan PPMK ini mengacu pula pada prinsip P2KP seperti demokrasi, transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas.

Program ini digulirkan pada tahun 2001 dengan pemberian dana sebesar dua milyar rupiah pada beberapa kelurahan. Sejak tahun 2002, seluruh kelurahan mendapatkan dana PPMK sebesar 250 juta rupiah. Nilai dana PPMK terus mengalami peningkatan, pada tahun 2003 naik menjadi 500 juta rupiah per kelurahan dan pada tahun 2004 menjadi 700 juta rupiah. Pada tahun 2005 setiap kelurahan memperoleh dana PPMK sebesar satu milyar rupiah.

Pemerintah DKI Jakarta sangat memperhatikan masalah pendidikan karena pendidikan berpengaruh sangat nyata kepada kemiskinan. Pendidikan tinggi memberikan peluang untuk mendapatkan kerja yang lebih baik sehingga mereka


(50)

dapat terus berada di luar lingkaran kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan yang berkaitan dengan masalah pendidikan telah dilakukan baik untuk pendidikan dasar (SD dan SMP) maupun tingkat pendidikan menengah (SMU/K dan PT). Dana yang disalurkan untuk pendidikan hingga tahun 2004 adalah sebesar 268 milyar rupiah. Dana tersebut dialokasikan untuk berbagai kegiatan diantaranya:

a. Bantuan biaya pendidikan b. Penyelenggaraan SD Wajar

c. Penyelenggaraan program Paket A dan Paket B d. Penyelenggaraan guru kunjung

e. Program pemberian makanan tambahan anak murid SD f. Pembinaan keterampilan menjahit anak putus sekolah g. Pembinaan keterampilan tata boga anak putus sekolah

Di samping pendidikan, bidang kesehatan menjadi prioritas utama dalam penanggulangan kemiskinan. PRSP Sourcebook Bank Dunia menjelaskan bahwa dampak kondisi kesehatan yang buruk berpengaruh terhadap kemiskinan, yang meliputi dimensi sebagai berikut:

1. Ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaan

2. Ketidakmampuan untuk memperoleh pendapatan yang memadai 3. Menurunnya kemampan belajar dan berfikir

4. Risiko cidera dan kecelakaan


(51)

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2004 mengalokasikan dana sebesar 207,6 milyar rupiah bagi penanggulangan kemiskinan di bidang kesehatan, diantaranya adalah untuk:

a. Pelayanan keluarga miskin b. Imunisasi posyandu

c. Intervensi balita gizi buruk

d. Pemberian makanan tambahan untuk balita kurang gizi e. Pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil

Kegiatan-kegiatan ini sebagian besar dilakukan di puskesmas, karena puskesmas adalah tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak dikunjungi oleh rumah tangga miskin. Harga yang relatif terjangkau dan lokasi yang relatif dekat dengan tempat tinggal menjadi faktor utama pemilihan puskesmas sebagai tempat berobat rumah tangga miskin.

Faktor utama yang menyebabkan rumah tangga terjerat dalam kemiskinan adalah tingkat pendapatan yang rendah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalokasikan dana sebesar 26 milyar rupiah untuk membantu usaha kecil dan menengah agar mereka mampu untuk meningkatkan pendapatan mereka. Beberapa kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah:

1. Bimbingan teknis usaha kecil dan menengah 2. Bimbingan konsultasi usaha kecil dan menengah 3. Pembuatan depo/warung usaha kecil dan menengah

4. Pembuatan desain dan pengadaan produk tanda mata khas DKI Jakarta untuk usaha kecil dan menengah


(52)

5. Diklat kewirausahaan dan manajemen bagi kelompok usaha kecil dan menengah

6. Pembinaan teknis usaha skala mikro 7. Pasar rakyat

8. Pembentukan usaha kecil dan sejenisnya

Bidang kependudukan menjadi perhatian dalam program penanggulangan kemiskinan. Pada tahun 2004, dana yang dialokasikan untuk bidang kependudukan dan keluarga berencana sekitar delapan milyar rupiah. Kegiatan keluarga berencana ditekankan pada pengadaan alat kontrasepsi dan pelayanan KB bagi akseptor KB yang berasal dari keluarga miskin.

2.4. Kerangka Pemikiran

Dalam analisis ekonomi regional, secara implisit seringkali diasumsikan bahwa daerah atau region yang dianalisis adalah homogen. Padahal secara faktual terdapat perbedaan yang menciptakan suatu hubungan unik antara suatu bagian dengan bagian lainnya dalam wilayah tersebut. Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti: kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat permukiman, atau darah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan: daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian atau daerah pedesaan (Tarigan, 2004).

Proses aglomerasi pada pusat pertumbuhan di Jakarta, menjadikan Jakarta sebagai kota Metropolitan. Namun di lain pihak, pemusatan aktivitas tersebut mendorong peningkatan migrasi ke Jakarta yang ditandai dengan pertumbuhan


(53)

penduduk yang senantiasa meningkat. Pertumbuhan penduduk yang pesat akan menimbukan berbagai masalah, antara lain masalah penyediaan lapangan kerja, perumahan, infrastruktur, kriminalitas, kependudukan dan lingkungan.

Ketika lapangan kerja formal yang tersedia tidak dapat menyerap seluruh angkatan kerja, maka mereka yang tidak terserap akan masuk ke sektor kerja yang informal dan sebagian dari mereka akan menjadi pengangguran. Pendapatan yang diterima di sektor informal jauh lebih rendah dibandingkan yang diperoleh di sektor formal. Dengan pendapatan rendah tersebut, maka mereka sulit untuk mengakses pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan tempat tinggal yang layak.

Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah DKI Jakarta sering kali berdampak pada timbulnya kemiskinan. Iklim usaha yang tidak baik dapat berdampak pula pada kemiskinan. Penerapan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang dirasakan cukup berat dapat menyebabkan mengurangi jumlah pegawainya. Kebijakan ekonomi dimasa lalu telah menyebabkan krisis ekonomi yang cukup parah di Indonesia. Roda perekonomian yang lumpuh telah menyebabkan banyak perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Di samping itu, kebijakan dalam bidang tenaga kerja yang ada belum dapat mengatasi masalah pengangguran, dampaknya adalah jumlah pengangguran yang tinggi.

Program-program yang ada sekarang ini, belum secara efektif dapat mengurangi angka kemiskinan. Program-progam terlalu bersifat umum tanpa


(54)

membedakan karakteristik penyebab kemiskinan pada penduduk miskin itu sendiri. Sehingga, faktor-faktor yang ada tidak terbentuk menjadi integerasi yang utuh dan sulit untuk dikaji untuk membuat kebijakan yang lebih efektif.

Program yang bersifat bantuan langsung seperti raskin, BLT, PKH, jamkesmas, dan beasiswa miskin mempunyai kelemahan terutama dalam penetapan sasaran. Penyaluran bantuan tidak tepat sasaran baik karena data yang tidak valid maupun minimnya penerapan prinsip good governance di lembaga penyaluran bantuan.

Program-program pemberdayaan masyarakat seperti PPK, P2KP, P4K yang saat ini masih terintegerasi dengan PNPM Mandiri masih menggunakan logika proyek, belum optimal melibatkan penduduk miskin dalam menentukan jenis maupun sosialisasi kegiatan sehingga manfaat yang diperoleh tidak sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin. Program PNPM Mandiri juga belum terlaksana di seluruh daerah karena keterbatasan anggaran (Ardaninggar, 2009). Kendala eksternal yang terjadi seperti krisis energi pada tahun 2005 dan krisis global yang mulai terasa dampaknya pada tahun 2008 membawa pengaruh terhadap seluruh sendi perekonomian. Guncangan ini mengakibatkan peningkatan inflasi dan penurunan permintaan dan penawaran agregat sehingga banyak penduduk miskin semakin terpuruk.

Penelitian ini akan menduga dari sisi sosial-ekonomi, bahwa pendidikan, kependudukan, perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat ketergantungan, dan kesempatan kerja akan memengaruhi tingkat kemiskinan.


(55)

./

Analisis Pemerintah

Analisis Penelitian Program-program dan Kebijakan

Pengurangan Kemiskinan Pemerintah DKI Jakarta

Tingginya Angka Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta

Penurunan Angka Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta

-AMH

-Kepadatan Penduduk -Rasio Ketergantungan

-Pendapatan Perkapita -Laju Pertumbuhan PDRB

-PDRB Industri -PDBR Jasa -Tk. Sektor Industri

-Tk. Sektor Jasa

Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan dan

Keadaan Riil DKI Jakarta Program-program dan Kebijakan Efektif Pengurangan Kemiskinan -P2KP -SNPK -PUAD -PNPM Mandiri -PPMK -KUR -BOS -Keluarga Berencana - UMR / UMP

Identifikasi Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan


(56)

1. Terdapat faktor yang menyebabkan kemiskinan, diantaranya:

a. Angka melek huruf mempengaruhi kemiskinan. Penurunan angka melek huruf akan memperbanyak jumlah penduduk miskin dan sebaliknya.

b. Kepadatan penduduk mempengaruhi kemiskinan. Penurunan kepadatan penduduk akan menurunkan jumlah penuduk miskin dan sebaliknya

c. Tingkat ketergantungan mempengaruhi penduduk miskin. Semakin kecil tingkat ketergantungan maka jumlah penduduk miskin akan semakin berkurang dan sebaliknya.

d. Laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mempengaruhi kemiskinan. Peningkatan perekonomian DKI Jakarta akan menurunkan jumlah penduduk miskin dan sebaliknya

e. Pendapatan perkapita mempengaruhi kemiskinan. Peningkatan pendapatan perkapita akan mengurangi tingkat kemiskinan dan sebaliknya

f. PDRB sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar PDRB sektor industri maka penduduk miskin akan semakin berkurang. g. PDRB sektor jasa mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar PDRB


(57)

h. Tenaga kerja sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin banyak tenaga sektor industri maka penduduk miskin akan semakin berkurang.

i. Tenaga kerja sektor jasa mempengaruhi kemiskinan. Semakin banyak tenaga sektor jasa maka penduduk miskin akan semakin berkurang 2. Terdapat program-program yang telah dilakukan oleh pemerintah DKI

Jakarta maupun pemerintah nasional untuk mengatasi masalah kemiskinan. Namun program-program tersebut belum dapat bekerja secara efektif dalam mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Maka, berdasarkan hasil analisis, akan diperoleh program-program dan kebijakan yang lebih efektif untuk mengurangi kemiskinan

                                 


(58)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperlukan meliputi: angka meleh huruf, kepadatan penduduk, tingkat ketergantungan, pendapatan perkapita, laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, PDRB sektor industri, PDRB sektor jasa, tenaga kerja sektor industri, enaga kerja sektor jasa.

Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan publikasi dari beberapa penelitian terdahulu. Periode analisis pada penelitian ini adalah tahun 2002 sampai dengan tahun 2009.

3.2. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis panel data. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang keadaan kemiskinan di DKI Jakarta. Sedangkan analisis panel data digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan E-Views 6.

3.2.1. Analisis Panel Data

Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama, maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya, jika observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.


(59)

Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh model cross section dan time series murni.

Secara umum, keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain:

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu

2. Memeberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah kolinearitas, meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien. 3. Data panel umumnya lebih baik jika digunakan dalam studi dynamics of

adjustment.

4. Data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi efek yang tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section dan time series murni.

5. Data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cros section atau time series murni

Kendati demikian, analisis panel data juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain:

1. Relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi diantaranya:


(60)

coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden, frekuensi dan waktu wawancara)

2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas dan ketidaktepatan informasi)

3. Masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonrespond, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan)

4. Cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpuln yang tidak tepat)

Model umum regresi panel data dapat diformulasikan sebagai berikut: yit = α + βit + uit……….(3.1) dimana uit ~ HD(0,σ2) dan i = 1, 2, 3, …, N adalah jumlah observasi antar individu

sementara t = 1, 2, 3, …, T adalah observasi runtut waktu. Dalam persamaan tersebut, intersep (α) dan slope (β) diasumsikan homogenus antara seluruh N individu dan T runtut waktu. Namun kondisi ini tidak selamanya sesuai dengan kerangka ekonomi yang dianalisis. Ketidaksesuaian ini dimungkinkan atas dua kemungkinan, yaitu:

1. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen (αi≠αj)

sementara slopenya homogen (βi=βj)

2. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen (αi≠αj)


(61)

Dari kedua hal tersebut diatas, model estimasi data panel dapat diekspresikan dalam sejumlah bentuk. Jadi terdapat empat macam model estimasi data panel yang dapat digunakan:

1. Apabila diasumsikan bahwa intersep bervariasi antar individu sementara slope bersifat konstan, maka persamaan akan menjadi:

yit = αi + βXit + uit……..………(3.2)

2. Apabila diasumsikan bahwa intersep bervariasi antar individu dan antar waktu sementara slope bersifat konstan, maka persamaan akan menjadi:

yit = αit + βXit + uit……….………(3.3)

3. Apabila diasumsikan bahwa intersep dan slope bervariasi antar individu tetapi konstan antar waktu, maka persamaan akan menjadi:

yit = αi + βiXit + uit……..………(3.4)

4. Apabila diasumsikan bahwa intersep dan slope bervariasi antar individu dan antar waktu, maka persamaan akan menjadi:

yit = αit + βitXit + uit………...……(3.5)

Berdasarkan keempat model tersebut, koefisien α dan β diasumsikan tertentu. Klasifikasi lainnya adalah ketika diasumsikan bahwa parameter-parameter ini random generating dan disebut sebagai random coefficient models.

Selain itu, dari keempat model diatas, jika asumsi homogenitas baik pada intersep maupun pada slope ditolak, maka heterogenitas antar individu akan tercermin pada salah satu atau lebih persamaan. Tujuan dari penentuan model yang sesuai adalah untuk menghilangkan bias dari variabel-variabel yang digunakan dalam model. Bias yang diakibatkan pengabaian heterogenitas dari


(62)

koefisien-koefisien estimasi disebut juga sebagai heterogenity bias. Mengabaikan heterogenitas baik intersep maupun slope dapat mengakibatkan hasil estimasi yang tidak konsisten dan meaningless.

Penentuan model analisis data panel dalam rangka menghilangkan heterogenity bias dapat dilakukan dengan plotting variabel dependen terhadap variabel independen. Analisis plotting ini berfungsi sebagai mekanisme identifikasi model yang sesuai dalam analisis data panel. Sementara itu untuk menguji terjadi atau tidaknya heterogenity bias dapat dilakukan uji hipotesis heterogenitas. Uji dilakukan dengan mengestimasi persamaan (3.4) dimana diasumsikan slope bersifat homogen antar individu. Kemudian uji hipotesis dilakukan terhadap:

H0 : β1 = β2 = ... = βN = β Ha : βi≠βj untuk i ≠ j dimana : i = 1, ..., N

j = 1, ..., N

Uji hipotesis di atas dapat dilakukan dengan mekanisme Wald-test. Jika pengujian tidak menolak hipotesis nol, maka koefisien individual bersifat random dan identik dengan rata-ratanya. Dalam hal ini, estimasi dilakukan pada model yang mengasumsikan slope bersifat homogen seperti pada persamaan (3.1) sampai (3.2).

Terdapat beberapa asumsi dasar yang melandasi penentuan model data panel. Asumsi dasar ini ditentukan oleh conditionality dari variabel bebas (xi,t)


(63)

yang digunakan dalam model data panel itu sendiri. Asumsi dasar dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Individual-varying time-invariant, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) yang sama untuk sebuah unit kerat lintang sepanjang waktu namun berbeda antar unit kerat lintang. Contohnya adalah jenis kelamin, latar belakang sosial-ekonomi dan sebagainya.

2. Period-varying individual-invariant, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) sama unutk semua unit kerat lintang namun berubah menurut runtun waktu. Contohnya adalah tingkat bunga.

3. Individual time-varying variables, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) bervariasi antar unit kerat lintang dan waktu. Contohnya adalah keuntungan perusahaan, tingkat penjualan.

Berdasarkan pemilihan model tersebut di atas kemudian akan menentukan metode estimasi dari model panel-panel yang dipilih. Terdapat tiga metode dalam mengestimasi data panel, yaitu:

1. Pooled Least Square (PLS)

Dalam metode ini terdapat (K) regressor dalam (xit), kecuali konstanta. Metode ini juga dikenal sebagai Common Effect Model (CEM). Jika efek individual (αi) konstan sepanjang waktu (t) dan spesifik terhadap setiap unit (i) maka modelnya akan sama dengan model regresi biasa. Jika nilai (αi) sama untuk setiap unitnya, maka OLS akan menghasilkan estimasi yang konsisten dan efisien untuk (α) dan (β). Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan dalam mengestimasi persamaan (3.2). Metode ini sederhana namun hasilnya tidak


(1)

Sumodiningrat, G. 1999.

Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan

. IMPAC.

Jakarta

Suparno. 2010.

Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Penanggulangan

Kemiskinan:

Studi Pro Poor Growth Policy

di Indonesia

. [Tesis]. IPB.

Bogor.

Suryahadi, A, D. Suryadarma dan S. Sumatra. 2006.

Economic Growth and

Poverty Reduction in Indonesia: The Effect of Location and Sectoral

Components of Growth. SMERU Research Institute

. Jakarta.

Tambunan, T. 2006.

Perekonomian Indonesia sejak Orde Lama hingga Pasca

Krisis.

Pustaka Quantum. Jakarta.

TKPK. 2009.

Capaian Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan 2005-2009. Tim

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan

. Menko Kesra. Jakarta.

Todaro, M. P dan S. C. Smith. 2006.

Pembangunan Ekonomi

. Jilid 1. Edisi 9. Alih

Bahasa. Erlangga. Jakarta.

TP PNPM. 2007.

Pedoman Umum Program PNPM Mandiri

. Menko Kesra.

Jakarta.

Wiraswara, A. 2005.

Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Angka kemiskinan

di Indonesia.

[Skripsi]. IPB. Bogor.


(2)

(3)

PLS

Dependent Variable: MISKIN01 Method: Panel EGLS (Period weights) Date: 04/17/11 Time: 19:00

Sample: 2002 2009 Periods included: 8 Cross-sections included: 5

Total panel (balanced) observations: 40

Linear estimation after one-step weighting matrix

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 4.753982 27.24933 0.174462 0.8627

AMH -0.082529 0.276680 -0.298284 0.7675

PDDK 0.141180 0.071029 1.987636 0.0560

KTG 0.236745 0.100640 2.352391 0.0254

PPKPT -0.011845 0.033098 -0.357881 0.7229

PDRB 0.173846 0.261038 0.665977 0.5105

PIND 0.085246 0.035174 2.423577 0.0216

PJASA -0.216045 0.370766 -0.582699 0.5645

TKIND -1.088131 0.353634 -3.076996 0.0044 TKJASA -1.070849 0.609944 -1.755652 0.0894

Weighted Statistics

R-squared 0.773551 Mean dependent var 4.442007 Adjusted R-squared 0.705617 S.D. dependent var 1.683565 S.E. of regression 0.746304 Sum squared resid 16.70910 F-statistic 11.38671 Durbin-Watson stat 1.161842

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.700185 Mean dependent var 3.953250 Sum squared resid 19.51952 Durbin-Watson stat 1.295447

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(4)

FIXED

 

Dependent Variable: MISKIN01

Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 04/17/11 Time: 19:20

Sample: 2002 2009 Periods included: 8 Cross-sections included: 5

Total panel (balanced) observations: 40

Linear estimation after one-step weighting matrix

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -38.83829 14.32419 -2.711378 0.0117

AMH -0.395983 0.153703 2.576286 0.0160

PDDK 0.054507 0.081780 0.666503 0.5110

KTG 0.026701 0.070208 0.380313 0.7068

PPKPT -0.021133 0.033267 -0.635252 0.5308

PDRB -0.360355 0.164858 2.185852 0.0380

PIND -0.124330 0.060861 2.042846 0.0513

PJASA 0.117441 0.236696 0.496167 0.6239

TKIND -1.005960 0.388419 -2.589885 0.0155

TKJASA 0.067521 0.371022 0.181988 0.8570

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.835958 Mean dependent var 8.309058 Adjusted R-squared 0.753938 S.D. dependent var 3.286603 S.E. of regression 1.151061 Sum squared resid 34.44848 F-statistic 10.19203 Durbin-Watson stat 2.235633

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.859576 Mean dependent var 3.953250 Sum squared resid 9.142328 Durbin-Watson stat 1.888106


(5)

UJI

 

CHOW

 

H0:

 

PLS

 

H1:

 

FIXED

 

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 10.939918 (4,26) 0.0000

 

 

UJI

 

KENORMALAN

 

H0:

 

Sisaan

 

menyebar

 

normal

 

H1:

 

Sisaan

 

tidak

 

menyebar

 

normal

 

0 1 2 3 4 5 6

-1 0 1 2

Series: Standardized Residuals Sample 2002 2009

Observations 40 Mean 1.11e-17 Median -0.021022 Maximum 2.221805 Minimum -1.648919 Std. Dev. 0.939837 Skewness 0.264946 Kurtosis 2.496182 Jarque-Bera 0.891030 Probability 0.640494

 

 

 

 

 

 

 

 


(6)

UJI

 

KEHOMOGENAN

 

-2 -1 0 1 2 3

5 10 15 20 25 30 35 40

Standardized Residuals