Analisis Faktor Penyebab Permukiman Kumuh Di Kota Medan (Studi Kasus : Kecamatan Medan Belawan)

(1)

SKRIPSI

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA MEDAN (STUDI KASUS ; KECAMATAN MEDAN BELAWAN)

OLEH

JULINTRI HUTAPEA 080501026

PROGRAM STUDI S1-EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA MEDAN (STUDI KASUS : KECAMATAN MEDAN BELAWAN)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganilisis faktor penyebab permukiman kumuh di Kota Medan ( Studi Kasus : Kecamatan Medan Belawan).

Populasi penelitian adalah penduduk yang tinggal di Kecamatan Belawan I dan Belawan II dan sampel yang diambil sebanyak 100 orang yang dilakukan dengan metode pengambilan cluster sampling (area sampling). Jenis data yang dingunakan adalah data primer. Metode analisis yang dilakukan adalah metode analisis deskriftif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa : 1. Kecamatan Medan Belawan I dan Belawan II tergolong permukiman kumuh, jika dilihat dari status kepemilikan rumah, pendapatan, dan pendidikan serta kerapatan bangunan. Penduduk yang ada di Belawan I dan Belawan II status kepemilikan rumah adalah kontrak. Rata-rata tingkat pendapatan masyarakat sesuai hasil penelitian sekitar 200.000 – 500.000 rupiah/bulan, dan tingkat pendidikan masyarakat hanya SD (Sekolah Dasar). Jika dilihat dari kondisi bangunan dapat disimpulkan bahwa bangunannya padat atau berhimpitan. 2. Kawasan permukiman kumuh di Belawan I dan Belawan II mencerminkan komunitas wiraswasta dan tidak bekerja yang tinggal diareal tidak layak huni seperti, minimnya saluran drainase, sanitasi dan persampahan sehingga berpotensi munculnya beragam bibit penyakit. 3. program penataan lingkungan dilakukan dengan membangun perumahan yang berupa perumpel yang diatur oleh Kepling (kepala lingkungan).

Adapun rekomendasi yang dapat disampaikan adalah perlunya penataan setiap lingkungan terhadap Belawan I dan Belawan II, serta menjaga kelestarian lingkungan supaya terhindar dari kekumuhan. Dari pemerintah Kota Medan diharapkan memberikan bantuan bagi masyarakat yang berupa UMK (usaha mikro kecil) untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.Pemerintah diharapkan menambah fasilitas MCK dan tempat pembuangan sampah.


(3)

ABSTRACT

SLUM SETTLEMENT ANALYSIS OF CAUSAL FACTORS IN THE CITY FIELD (CASE STUDY: FIELD DISTRICT BELAWAN)

The purpose of this study was to determine the causes and menganilisis slums in the city ofMedan (Case Study: Belawan Medan District).

The study population is the population living in the District of Belawan I and II Belawan and samples taken as many as 100 people committed to taking the cluster sampling method (sampling area). Dingunakan type of data is primary data. The method of analysis performed is descriptive analysis method.

The study concluded that: 1. District of Belawan Medan and Belawan II I belong to the slums, when viewed from the status of home ownership, income, and education and building density. Population in Belawan I and II Belawan is the contract status of home ownership. Average income levels according to the results of research about 200000-500000 rupiah / month, and the level of public education is only SD (Elementary School). If viewed from the condition of the building can be concluded that the building is solid or coincide. 2. Slum area in Belawan Belawan I and II reflect the self-employed and unemployed community living diareal uninhabitable as the lack of drainage, sanitation and solid waste, so the potential emergence of a variety of germs. 3. environmental management program conducted by building housing in the form set by the Kepling perumpel (neighborhood chief).

The recommendations can be made is the necessity of arrangement of each ward against Belawan Belawan I and II, as well as protecting the environment in order to avoid the untidiness. Of Medan city government is expected to provide assistance to communities in the form of MSE (micro small) to raise revenue is expected to add masyarakat.Pemerintah sanitary facilities and landfills.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur serta hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa sumber segala pengetahuan yang telah memberikan hikmat, kekuatan, kebijaksanaan, serta bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu.

Skripsi ini di susun sebagi salah satu syarat menyelesaikan program S-1 Jurusan Departemen Ekonomi Pembangunan di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan Skripsi ini telah banyak mendapatkan bantuan baik moril maupun material dari berbagai pihak. Dan pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua Orangtua tercinta atas segala kasih sayang, pengorbanan, dukungan doa dan materi yang telah diberikan khususnya ibu tercinta L.Sianipar.

2. Bapak Drs.Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, S.E, M.Ec. selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Irsyad Lubis, S.E, M.Ec,PhD. Selaku Ketua Program Studi Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan Bapak Paidi Hidayat, S.E, M.Ec selaku Sekretaris Program Studi Ekonomi Pembangunan.


(5)

5. Bapak Kasyful Mahalli, S.E, MSI selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan masukan selama pengerjaan skripsi ini.

6. Bapak DRA. Raina Linda Sari, MSI selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan saran dan masukan untuk kemaksimalan pengerjaan skripsi ini. 7. Bapak DRS. Rujiman, MA selaku Dosen penguji II yang telah memberikan

saran dan masukan untuk kemaksimalan pengerjaan skripsi ini.

8. Bapak/Ibu Dosen Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membagikan ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

9. Seluruh Staf dan Karyawan Departemen Ekonomi Pembangunan.

10. Seluruh teman-teman seperjuangan di EP 2008 : Ris Ulina, Rolis, Evi, Lenri, Gipson, Hetty, Manda, Amalia, Yuliana, dan seluruh teman-teman sekelas yang memberikan masukan dan semangat kepada penulis.

11. Terima kasih untuk adik, kakak dan abangku : Hulman, Capir, Reni, Sari, L.pardosi, T.Siagian, Ludig, Celsi, Febri Tua, Yosep, Listra, Jernika, Jono, Handico yang terus memberi dukungan dan doa buat penulis.

Penulis tetap menyadari bahwa Skripsi ini belum begitu sempurna baik dari segi materi, pengolahan maupun penyajian. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun selaku penulis harapkan. Kiranya Tuhan selalu memberikan kurniaNya


(6)

kepada kita semua. Akhir kata, penulis berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi yang memerlukannya.

Medan, Maret 2012

Hormat Saya

080501026 Julintri Hutapea


(7)

DAFTAR ISI Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan Penelitan ... 15

1.4 Manfaat Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permukiman Kumuh ... 17

2.1.1 Pengertian Permukiman Kumuh ... 17

2.1.2 Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh ... 24

2.1.3 Karakteristik Permukiman Kumuh ... 26

2.1.4 Faktor Penyebab Pertumbuhan Permukiman Kumuh ... 26

2.2 Urbanisasi ... 27

2.2.1 Pengertian ... 27


(8)

2.2.3 Faktor Yang Mendorong Proses Urbanisasi ... 31

2.2.4 Dampak Proses Urbanisasi ... 32

2.3 Permukiman Kumuh dan Liar ... 34

2.3.1 Karakteristik Pemukiman Kumuh dan Liar ... 39

2.4 Karakteristik Masyarakat Berpenghasilan Rendah ... 43

2.4.1 Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR) .. 43

2.4.2 Preferensi Bermukim ... 50

2.5. Tekanan Lingkungan ... 53

2.5.1 Penyebab Terjadinya Tekanan Lingkungan ... 54

2.5.2 Akibat Tekanan Lingkungan ... 54

2.6 Perubahan Lingkungan Permukiman Kearah Kekumuhan ... 56

2.6.1 Fenomena Kekumuhan Lingkungan Permukiman ... 56

2.6.2 Bentuk Perubahan Lingkungan Permukiman Kearah Kekumuhan ... 57

2.6.3 Strategi Penanganan Permukiman Kumuh ... 59

2.7 Lingkup Penanganan Permukiman Kumuh ... 62

2.8 Program-program Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh... 64

2.8.1 Kebijakan Umum Penyediaan Perumahan dan Permukiman di Kota Pengantar Pengembangan Kebijakan Permukiman ... 65

2.8.2 Pemberdayaan Perumahan (KIP, P2BPK) ... 67

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Penelitian ... 69

3.2 Ruang Lingkup Penelitian ... 69


(9)

3.4 Populasi dan Sampel ... 70

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 72

3.6 Metode Analisis Data ... 72

3.7 Definisi operasional ... 73

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kota Medan ... 74

4.4.1 Lokasi Penelitian ... 74

4.2 Tinjauan Umum Kecamatan Medan Belawan ... 76

4.2.1 Kedudukan dan Letak Geografi ... 76

4.2.2 Kependudukan ... 78

4.2.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... 78

4.2.2.2 Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis 79 4.2.2.3 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 81

4.2.2.4 Perekonomian di Kecamatan Medan Belawan ... 81

4.3 Fasilitas dan Utilitas ... 82

4.3.1 Fasilitas ... 82

4.3.2 Utilitas ... 85

4.4 Tinjauan Kawasan Permukiman Kumuh di Kecamatan Medan Belawan ... 88

4.4.1 Karakteristik Hunian Kecamatan Medan Belawan ... 88

4.4.1.1 Fungsi dan Kegiatan ... 88

4.4.1.2 Tampilan Bangunan ... 89

4.4.1.3 Status Kepemilikan Lahan ... 90


(10)

4.4.2 Karakteristik Penghuni di Kecamatan Medan Belawan ... 91

4.4.2.1 Kondisi ekonomi ... 91

4.4.2.2 Karakteristik Sarana Prasarana ... 92

4.5 Faktor Penyebab Kekumuhan di Kecamatan Medan Belawan I dan Belawan II ... 94

4.5.1 Faktor Status Kepemilikan Hunian ... 94

4.5.2 Faktor Penghasilan ... 95

4.5.3 Faktor Pendidikan ... 95

4.5.4 Faktor Kerapatan/Kepadatan Bangunan ... 96

4.6 Program penataan permukiman kumuh yang telah dilaksanakan pemerintahan Kota Medan di Kecamatan Medan Belawan ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 97

5.2 Saran ... 98

5.2.1 Bagi Pemerintah ... 98

5.2.2 Bagi Masyarakat Setempat ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100


(11)

DAFTAR TABEL

No . Tabel Judul Halaman 1.1 Jumlah Penduduk Kota Medan tahun 2010 ... 8

3.1 Rincian sampel ... 71 4.1 Luas Wilayah dirinci per Kelurahan di Kecamatan Medan Belawan tahun 2009... 77 4.2 Banyaknya Lingkungan, RW, RT, dan blok sensus dirinci menurut kelurahan di Kecamatan Medan Belawan Tahun 2009... 78 4.3 Jumlah Penduduk, Luas Kelurahan, Kepadatan Penduduk per Km

dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Belawan

Tahun 2009... 79 4.4 Jumlah penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kecamatan Medan Belawan Tahun 2009 ... 80 4.5 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut Kelurahan di

Kecamatan Medan Belawan Tahun 2009... 81 4.6 Banyaknya Sarana Ibadah Menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Belawan tahun 2009... 82 4.7 Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Medan Belawan Tahun 2009... 83 4.8 Banyaknya Rumah Sakit, Puskesmas, BPU dan BKIA diperinci

menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Belawan Tahun 2009. .... 84 4.9 Banyaknya Rumah Tangga Pelanggan Air Minum PAM per Kelurahan di Kecamatan Medan Belawan Tahun 2009... 86 4.10 Banyaknya RT Pelanggan Listrik Negara per Kelurahan di Kecamatan

Medan Belawan Tahun 2009... 87 4.11 Penghasilan Rata-rata Penghuni di Kecamatan Belawan I dan Kecamatan


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman 4.1 Peta Kota Medan ... 75


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman 1 Kuesioner penelitian ... 103

2 Daftar Distribusi Jawaban Responden ... 108 3 Pedoman Standar Pelayanan Minimal ... 109 4 Tampil/Jenis Bangunan Perumahan di Kecamatan Medan

Belwan I dan Belawan II ... 114 5 Kepadatan Bangunan di Kecamatan Belawan I dan

Belawan II... 116 6 Kondisi Jalan Lingkungan di Kecamatan Belawan I dan

Belawan II ... 117 7 Saluran Drainase di Kecamatan Belawan I dan Belawan II ... 118 8 Sanitasi Pribadi dan MCK umumyang dimiliki masyarakat di

Kecamatan Belawan I dan Belawan II ... 119 9 Sarana Air Bersih di Kecamatan Belawan I dan Belawan II... 121


(14)

ABSTRAK

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA MEDAN (STUDI KASUS : KECAMATAN MEDAN BELAWAN)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganilisis faktor penyebab permukiman kumuh di Kota Medan ( Studi Kasus : Kecamatan Medan Belawan).

Populasi penelitian adalah penduduk yang tinggal di Kecamatan Belawan I dan Belawan II dan sampel yang diambil sebanyak 100 orang yang dilakukan dengan metode pengambilan cluster sampling (area sampling). Jenis data yang dingunakan adalah data primer. Metode analisis yang dilakukan adalah metode analisis deskriftif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa : 1. Kecamatan Medan Belawan I dan Belawan II tergolong permukiman kumuh, jika dilihat dari status kepemilikan rumah, pendapatan, dan pendidikan serta kerapatan bangunan. Penduduk yang ada di Belawan I dan Belawan II status kepemilikan rumah adalah kontrak. Rata-rata tingkat pendapatan masyarakat sesuai hasil penelitian sekitar 200.000 – 500.000 rupiah/bulan, dan tingkat pendidikan masyarakat hanya SD (Sekolah Dasar). Jika dilihat dari kondisi bangunan dapat disimpulkan bahwa bangunannya padat atau berhimpitan. 2. Kawasan permukiman kumuh di Belawan I dan Belawan II mencerminkan komunitas wiraswasta dan tidak bekerja yang tinggal diareal tidak layak huni seperti, minimnya saluran drainase, sanitasi dan persampahan sehingga berpotensi munculnya beragam bibit penyakit. 3. program penataan lingkungan dilakukan dengan membangun perumahan yang berupa perumpel yang diatur oleh Kepling (kepala lingkungan).

Adapun rekomendasi yang dapat disampaikan adalah perlunya penataan setiap lingkungan terhadap Belawan I dan Belawan II, serta menjaga kelestarian lingkungan supaya terhindar dari kekumuhan. Dari pemerintah Kota Medan diharapkan memberikan bantuan bagi masyarakat yang berupa UMK (usaha mikro kecil) untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.Pemerintah diharapkan menambah fasilitas MCK dan tempat pembuangan sampah.


(15)

ABSTRACT

SLUM SETTLEMENT ANALYSIS OF CAUSAL FACTORS IN THE CITY FIELD (CASE STUDY: FIELD DISTRICT BELAWAN)

The purpose of this study was to determine the causes and menganilisis slums in the city ofMedan (Case Study: Belawan Medan District).

The study population is the population living in the District of Belawan I and II Belawan and samples taken as many as 100 people committed to taking the cluster sampling method (sampling area). Dingunakan type of data is primary data. The method of analysis performed is descriptive analysis method.

The study concluded that: 1. District of Belawan Medan and Belawan II I belong to the slums, when viewed from the status of home ownership, income, and education and building density. Population in Belawan I and II Belawan is the contract status of home ownership. Average income levels according to the results of research about 200000-500000 rupiah / month, and the level of public education is only SD (Elementary School). If viewed from the condition of the building can be concluded that the building is solid or coincide. 2. Slum area in Belawan Belawan I and II reflect the self-employed and unemployed community living diareal uninhabitable as the lack of drainage, sanitation and solid waste, so the potential emergence of a variety of germs. 3. environmental management program conducted by building housing in the form set by the Kepling perumpel (neighborhood chief).

The recommendations can be made is the necessity of arrangement of each ward against Belawan Belawan I and II, as well as protecting the environment in order to avoid the untidiness. Of Medan city government is expected to provide assistance to communities in the form of MSE (micro small) to raise revenue is expected to add masyarakat.Pemerintah sanitary facilities and landfills.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sejak zaman dahulu rumah telah menjadi kebutuhan utama karena merupakan tempat perlindungan dari hujan, matahari, dan mahluk lainnya. Pada zaman sekarang fungsi perumahan malahan lebih luas lagi yaitu, menjadi tempat untuk membina kehidupan keluarga dan malahan menjadi simbol status. Pembangunan tempat tinggal atau permukiman yang khususnya di wilayah perkotaan adalah pembangunan tempat tinggal untuk segala lapisan masyarakat, apakah itu lapisan atas, menengah, dan bawah karena semuanya mempunyai hak dan membutuhkan rumah. Oleh karena kondisi ekonomi dari tiap masyarakat berbeda, maka pembangunan permukiman atau tempat tinggal juga berbeda.

Sehingga pemerintah untuk meningkatkan peran kelembagaan dalam pembangunan perumahan dan permukiman mengeluarkan Undang-undang 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman yang menyebutkan bahwa perumahan berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan permukiman adalah bagian lingkungan di luar kawasan hutan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan


(17)

penghidupan dan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang yang menjelaskan tentang perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan daya dukung lingkungan.

Kota Medan sebagai ibu kota provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu kota metropolitan yang memiliki permasalahan permukiman dan perumahan seperti kota-kota besar lainnya. Kota Medan sebagai kota-kota inti secara fungsional mempunyai hubungan yang kuat dengan wilayah sekelilingnnya. Perkembangan penduduk perkotaan di Indonesia yang begitu pesat khususnya kondisi di Kota Medan sehingga harus dilakukan pengembangan wilayah perkotaan yaitu kawasan perumahan di wilayah pinggiran. Kebijakan pembangunan kawasan perumahan di wilayah pinggiran merupakan suatu usaha untuk mengalihkan penduduk Kota Medan ke kota-kota kecil di wilayah pinggiran yang berbatasan langsung dengan Kota Medan. Hal ini di dukung oleh tersedianya sarana dan prasaran yang menjangkau semua lokasi.

Perkembang wilayah kota yang dinamis membawa berbagai macam dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu sendiri. Perkembangan pusat kota yang merupakan sentra dari kegiatan ekonomi menjadi daya tarik bagi masyarakat yang dapat membawa pengaruh bagi tingginya arus tenaga kerja baik dalam kota itu sendiri maupun dari luar wilayah kota, sehingga menyebabkan pula tingginya arus urbanisasi. Urbanisasi telah menyebabkan ledakan jumlah penduduk kota yang sangat pesat, yang salah satu implikasinya adalah terjadinya pengumpulan tenaga kerja di kota-kota besar di Indonesia.


(18)

Dampak dari kerapatan bangunan yang tinggi adalah kondisi ventilasi menjadi buruk akibat kurangnya sirkulasi udara, drainase menjadi sempit dan dangkal karena lahan terbatas, akibatnya pada saat musim hujan permukiman kumuh tersebut sangat potensi mengalami kebanjiran, tata letak tidak teratur dan jalan menjadi sempit menyebabkan sirkulasi pergerakan tidak terarah, begitu juga dengan sanitasi lingkungan (sampah dan air limbah) menjadi tidak baik, (Suparlan, 1984). Perkembangan wilayah kota yang dinamis membawa berbagai macam dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu sendiri. Perkembangan pusat kota yang merupakan sentra dari kegiatan ekonomi menjadi daya tarik bagi masyarakat yang dapat membawa pengaruh bagi tingginya arus tenaga kerja baik dari dalam kota itu sendiri maupun dari luar wilayah kota, sehingga menyebabkan tingginya arus urbanisasi.

Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju, seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis, Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang / jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional / nasional.


(19)

Program kependudukan di Kota Medan seperti halnya di daerah Indonesia lainnya meliputi: pengendalian kelahiran, penurunan tingkat kematian bayi dan anak, perpanjangan usia harapan hidup, penyebaran penduduk yang seimbang serta pengembangan potensi penduduk sebagai modal pembangunan yang terus ditingkatkan. Komponen kependudukan umumnya menggambarkan berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpidahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi akan mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan. Bagi kota-kota besar di Indonesia, persoalan kemiskinan merupakan masalah yang serius karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kemiskinan yang kronis dan kemudian menyebabkan lahirnya berbagai persoalan sosial diluar kontrol atau kemampuan Pemerintah Kota untuk menangani dan mengawasinya. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi.

Beragam upaya dan program yang dilakukan untuk mengatasinya, namun masih saja banyak kita jumpai permukiman masyarakat miskin hampir disetiap sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di perkotaan. Misalnya, yaitu pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di pinggir jalan sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan kemacetan jalan kota. Dapat dijelaskan bahwa bukanlah kemauan mereka untuk menjadi sumber masalah bagi kota, namun karena faktor-faktor ketidakberdayaanlah yang membuat mereka terpaksa menjadi ancaman bagi eksistensi kota yang mensejahterakan.


(20)

Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.

Terbentuknya permukiman kumuh, sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya. Kota-kota di Indonesia mengalami urbanisasi berlebihan, dimana tidak semua kota mampu menyediakan fasilitas pokok seperti kesempatan kerja yang memadai kepada sebagian besar penduduk luar kota yang bermigrasi ke kota. Hal ini menyebabkan kota menjadi padat dan berkurangnya lahan kosong akibat dari bertambahnya permukiman illegal. Dengan semakin banyaknya permukiman illegal, pemerintah kota menjadi tidak mampu memberikan fasilitas yang memadai. Permukiman masyarakat miskin sering disebut dengan kampung kota yang fungsinya sebagai tempat untuk menampung kelompok urban yang berkaitan erat dengan perubahan struktur ekonomi, urbanisasi dan perkembangan kota yang berjalan seiring dengan proses industrialisasi.

Masalah permukiman kota yang lain adalah kurangnya perhatian pemerintah mengenai standarisasi perumahan. Standarisasi tersebut antara lain adanya mandi cuci kakus (MCK), ketersediaan air bersih, ketersediaan ventilasi udara, serta standar minimum ruangan untuk tiap individu. Penyediaan perumahan untuk masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah kurang memenuhi syarat ideal perumahan dan


(21)

kurangnya pemenuhan jumlah permukiman bagi masyarakat. Sehingga masyarakat tersebut secara individual maupun kelompok menyediakan permukimannya sendiri.

Kota Medan yang merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia terus berkembang baik dari segi pembangunan (sarana dan prasarana) maupun jumlah penduduk. Berdasarkan berjumlah 2.109.339 jiwa. Penduduk Medan terdiri atas 1.040.680 laki-laki dan 1.068.659 perempuan. Di siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga sekitar 2,5 juta jiwa dengan dihitungnya jumla Medan berasal dari kelompok umur 0-19 dan 20-39 tahun (masing-masing 41% dan 37,8% dari total penduduk). Dilihat dari struktur umur penduduk, Medan dihuni lebih kurang 1.377.751 jiwa berusia produktif, (15-59 tahun). Dibandingkan dengan sensus tahun 2005, penduduk Medan diperkirakan telah mencapai 2.036.018 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria, (1.010.174 jiwa > 995.968 jiwa). Jumlah penduduk tersebut diketahui merupakan penduduk tetap, sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 500.000 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar. (sumber : BPS Medan).

Data tersebut menunjukkan Kota Medan belum terlepas dari masalah kekumuhan. Perumahan kumuh banyak terdapat di kawasan Medan Utara, seperti di Belawan, Labuhan, Marelan, Tembung, Denai, Sunggal, dan Medan Johor. Bahkan terdapat juga pada daerah pusat Kota Medan. Kawasan kumuh di Utara Medan merupakan nelayan yang terletak di bantara Sungai Deli, sedangkan di pusat kota ada


(22)

di bantara Sungai Babura dan daerah pinggir rel kereta api. Hingga 2008, luas wilayah permukiman kumuh di Medan mencapai 403 hektar di 7 (tujuh) kecamatan terdiri dari 18 kelurahan. Luas daerah kumuh di Medan mencapai 15-20 persen dengan tingkat pertumbuhan mencapai 1,5 persen pertahun dari total keseluruhan luas daerah tersebut.

Daerah tersebut mencakup 7 (tujuh) kecamatan yakni Medan Area dengan luas daerah kumuh 24.55 Ha dengan 1.625 penduduk miskin, Medan Denai 207.4 Ha dengan 6.849 penduduk miskin, Medan Perjuangan 14.30 Ha dengan 1.067 penduduk miskin, Medan Belawan 61.35 Ha dengan penduduk miskin 17.716 warga, Medan Deli 112.2 Ha dengan penduduk miskin 25.280 orang, Medan Labuhan 56,5 Ha dengan penduduk miskin 20.599 dan Medan Marelan 27 Ha dengan 11.931 penduduk miskin. (sumber: BPS Medan).

Berdasarkan data BPS 2008, terdapat 26,9 juta unit rumah yang tidak layak huni di Indonesia, baik yang semi permanen maupun tidak permanen. Jumlah rumah yang tidak terlayani air bersih sebanyak 9,7 juta unit. Sedangkan rumah yang tidak mendapatkan listrik sebanyak 3,9 juta unit dan yang tidak terlayani jamban sebanyak 10,5 juta unit. Untuk menata kawasan kumuh, yang paling diperlukan adalah perumahan dan pengendalian alih fungsi, memperbaiki kondisi lingkungan, pemugaran kondisi bangunan, pemeliharaan lingkungan, dan peremajaan terutama daerah kawasan industri yang merupakan kawasan identik dengan lingkungan kumuh dikarenakan kurangnya tempat tinggal bagi para pekerja sehingga menciptakan kawasan kumuh di daerah tersebut.


(23)

Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan demikian, secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri manufaktur. Laju pertumbuhan penduduk Medan periode tahun 2006-2010 cenderung mengalami peningkatan pertumbuhan penduduk pada tahun 2006 adalah 1,35 % dan menjadi 3,6 % pada tahun 2010.

Jumlah penduduk perkotaan di Indonesia pada umumnya dan di Kota Medan pada khususnya mengalami peningkatan yang cukup tinggi, terlihat pada tabel berikut ini : Tabel 1.1

Jumlah Penduduk Kota Medan tahun 2010 Tahun Jumlah penduduk

2001 1.926.052

2002 1.963.086

2003 1.993.060

2004 2.006.014

2005 2.036.018

2006 2.063.504

2007 2.083.156

2008 2.102.105

2009 2.121.053

2010 2.109.339


(24)

Mekanisme laju pertumbuhan penduduk dapat kita lihat dalam empat komponen kependudukan, yaitu kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar (Zulkarnain,2006). Perkembangan lingkungan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan. Dampak negatif urbanisasi yang telah berlangsung selama ini disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari nafkah di daerah pedesaan dan perkotaan, sehingga memunculkan adanya tarik menarik bagi masyarakat pedesaan, sementara latar belakang kemampuan para pendatang sangat marjinal, (Kirmanto,2001).

Semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka kepentingan akan penggunaan lahan di wilayah ini akan semakin beragam. Keberangaman kepentingan bisa jadi akan menyebabkan terjadinya tumpang tindih maupun kesemrawutan dalam penggunaannya. Apabila hal ini tidak cukup mendapat perhatian di dalam usaha perencanaan maupun pengolahannya akan menambah tekanan terhadap lingkungan. Tekanan lingkungan yang melewati batas toleransi akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan pada gilirannya akan berdampak kepada manusia dan mahluk hidup yang ada di dalamnya, (Suwedi,2003).

Perumahan dan permukiman adalah dua hal yang tidak dapat kita pisahkan dan berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi, industrialisasi dan pembangunan. Permukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan rumah dengan segala unsur serta kegiatan yang berkaitan dengan yang ada di dalam permukiman. Permukiman dapat dihindarkan dari kondisi kumuh dan tidak layak huni jika pembangunan perumahan sesuai standar yang berlaku, salah satunya dengan


(25)

menerapkan persyaratan rumah sehat. Dalam pengertian yang luas, rumah tinggal bukan hanya sebuah bangunan, melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak dipandang dari berbagai segi kehidupan.

Pembangunan perumahan dan permukiman harus merespon pada perencanaan kebijakan yang efektif yang meminimalkan dampak lingkungan, penggunaan lahan yang melebihi kemampuan daya dukung lingkungan, serta didasarkan pada konsep berkelanjutan dengan isu pokoknya, tentang bagaimana memelihara dan meningkatkan kualitas hidup termasuk di dalamnya kualitas lingkungan, mengkombinasikan pertumbuhan ekonomi yang meminimalkan pemborosan konsumsi sumber daya alam dan polusi, serta menyeimbangi antara keinginan individual dan sistem perencanaan masyarakat disetiap tindakan, (Syahrin,2003). Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang pemenuhan kebutuhannya terus diupayakan agar semakin banyak bagian masyarakat dapat menempati rumah dengan lingkungan permukiman yang layak, sehat, aman dan serasi. Pembangunan perumahan dan permukiman pada dasarnya merupakan tugas dan tanggung jawab masyarakat itu sendiri. Pemerintah berkewajiban memberikan bantuan kemudahan dan menciptakan situasi yang dapat mendorong bagi tumbuh dan berkembangnya prakarsa dan swadaya masyarakat, serta mengatur agar pelaksanaan pembangunan dapat berlangsung dengan tertib. Kondisi permukiman kumuh memiliki tingkat kepadatan unit hunian yang relatif sangat tinggi yang menurut rencana tata ruang kota yang ada, diharapkan dapat diturunkan tingkat kepadatannya. Pola pemanfaatan lahan di permukiman kumuh pada umumnya


(26)

menunjukkan sebagian besar digunakan untuk permukiman (unit hunian) yang relatif tidak teratur. Kondisi prasarana dan sarana lingkungan permukiman di kawasan kumuh masih perlu ditingkatkan kualitas pelayanannya dan ditambah jumlahnya, untuk dapat memenuhi kebutuhan dan harapan dari para warga masyarakat.

Berdasarkan kondisi yang ada di kawasan permukiman kumuh pada umumnya dapat dikatakan bahwa selama ini penaganan kegiatan (manajemen) pembangunan di kawasan kumuh belum dilakukan secara terpadu dan komprehensif (lintas sektoral) dengan mempertimbangkan potensi yang perlu dioptimalkan dan permasalahan yang perlu ditanggulangi. Beberapa upaya yang perlu diperhatikan realisasinya anatara lain :

1. Perlunya pengembangan sistem prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang\ direncanakan secara terpadu untuk dapat menjawab kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara mencukupi, serta sekaligus dapat mengakomodasikan proyeksi kebutuhan di masa yang akan datang.

2. Perlunya peningkatan kesadaran masyarakat dan pihak swasta untuk berperan serta di dalam kegiatan pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana umum, yang antara lain dilakukan melalui pelaksanaan secara intensif penyuluhan dan pemberian insentif (kemudahan) kepada mereka yang ikut serta mitra pemerintah dalam pembangunan kawasan kumuh.


(27)

3. Perlu memperkuat struktur dan kemampuan kelembagaan di tingkat kelurahan dan yang lebih rendah dalam rangka meningkatkan efektifitas dan optimalisasi pelayanan kepada warga masyarakat kawasan.

www. Jurnal wawasan, september 2003, volume 9, nomor 3.

Dengan mengamati proses dan perkembangan dan pertumbuhan permukiman kumuh dapatlah, diambil sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan perkembangan kota. Kecenderungan-kecenderungan munculnya permukiman kumuh di kawasan kota perlu diteliti, sehingga perencanaan kota maupun stakeholder-stakeholder yang terkait di dalamnya untuk dapat mengantisipasi perkembangan dan pertumbuhan permukiman kumuh.

Permukiman kumuh yang ada perlu dievaluasi dengan berpatokan pada hakikat pemukiman (rumah tinggal). Permukiman ini berfungsi sebagai mediasi pemenuhan kebutuhan dasar manusia (human basic needs) serta menjaga agar tujuan ideal permukiman yang mampu membuka jalan dan memberikan saluaran bagi kecenderungan, kebutuhan, aspirasi, dan keinginan manusia secara penuh, menuju perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan manusia,(Gunawan,2002).

Sehingga untuk dapat memperbaiki kualitas lingkungan permukiman kumuh perlu dicari akar dari permasalahannya atau faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan permukiman kumuh, yang selanjutnya dapat diketahui langkah-langkah atau upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk dapat mengatasi permasalahan permukiman tersebut. Ada beberapa identifikasi masalah pada lingkungan permukiman kumuh di Kota Medan yang berada di pinggiran sungai yang


(28)

mengakibatkan penurunan kualitas akibat tekanan lingkungan dari kondisi permukiman yang tidak layak huni, ini dapat kita lihat dari permasalahannya yang ada, yaitu keberadaan perumahan yang masuk ke badan sungai yang menyebabkan tidak berfungsinya daerah aliran sungai (DAS), dan rawan terhadap banjir. Sungai menjadi tempat sampah atau pembuangan limbah domestik sehingga mencemari kualitas air sungai, dan menjadi tempat nyamuk, lalat dan vector penyakit berpotensi sumber wabah penyakit menular. Sungai menjadi tempat untuk mencuci pakaian dan peralatan rumah tangga serta mandi bagi sebagian penduduk.

Kini Pemerintah Kotamadya Medan telah menyiapkan pula sarana dan prasarana bagi menunjang sektor transportasi, sektor perumahan serta sektor perdagangan, namun sayangnya kebijakan tersebut telah menafikan dan tidak memperhitungkan nasib rakyat kecil seperti penarik beca, pedagang kaki lima,pemulung, serta anak-anak yang bekerja di jalanan sebagai pengamen, pengemis, pedagang, pemulung, loper Koran, penyemir sepatu. Tidak satupun kebijakan Pemerintahan Kotamadya Medan yang berisikan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan bagi pedagang kaki lima, penarik beca, pemulung juga anak-anak yang bekerja di jalanan dan kaum miskin lainnya.

Meningkatnya masyarakat miskin diperkotaan sebagai akibat dari urbanisasi dan minimnya perhatian pemerintah tersebut akan mudah diidentifikasi dengan meningkatnya jumlah pemukiman kumuh dan pemukiman liar yang di bangun dengan status yang tidak resmi yang slalu dianggap sebagai perusak keindahan kota dimana itu semua bukanlah kesalahan mereka semata tetapi ini juga kesalahan oleh


(29)

pemerintah. Mereka tinggal seperti di pinggiran rel kereta api, di bawah kolong jembatan, di pinggir-pinggiran sungai, di kapling-kapling kosong dan lain-lain. Tentang kehadiranya pemukiman liar maupun pemukiman kumuh ini memang bukanlah hal yang baru di kota-kota besar termasuk Kota Medan, sudah cukup lama ini mewarnai kehidupan kota yang biasanya selalu berdampingan dengan proses terjadinya urbanisasi (Rusmin Tumanggor dalam Mulyanto Sumardi dan Hans Dietes Evers; 1982:273) .

Bagi tiap orang yang pertama kali datang ke Kota Medan untuk mengadu nasib bukanlah seperti yang dibanyangkan sewaktu pertama kali membanyangkan fasilitas dari kota yang besar. Dengan demikian impian hanya sebatas impian dimana untuk terus melanjutkan kehidupan mereka dengan tidak mempunyai skill yang baik maka banyak dari mereka yang bekerja menggunakan tenaga yaitu sebagai pemulung, pengemis, pengamen sampai mau tidak mau anak mereka pun ikut turun ke jalan untuk bekerja.

Kejadian fenomena anak seperti ini dapat setiap saat kita lihat bukan hanya di Kota Medan tetapi juga Kota Besar lainnya. Mereka, para anak-anak yang bekerja banyak berkeliaran di tengah jalan dengan memegang sebuah krincingan yang akan dipakai pada saat mereka mengamen, begitu juga mereka akan menggunakan tangan dan muka belas kasihan ketika sedang mau meminta kepada seseorang dan pemulung mereka membawa Goni sebagi tempat barang bekas yang mereka peroleh untuk di jual. Anak-anak ini banyak tinggal di emperan toko, di kolong jembatan. Tapi mereka banyak tinggal di daerah pinggiran rel kereta api dimana mereka ada yang mengikut


(30)

dengan orang tua mereka maupun tidak. Di tempat-tempat tersebut merka mendirikan gubuk karena lahan tidak harus di beli. Di Kotamadya Medan, para pekerja anak banyak yang bermukim di daerah pinggiran rel kereta apai di jalan salak, Kelurahan Pusat Pasar kecamatan Medan Kota. Sehingga penelitian kali ini dipusatkan pada pekekerja anak yang bermukim di lokasi tersebut.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul : “ Analisis Faktor Penyebab Permukiman Kumuh Di Kota Medan (Studi Khasus : Kecamatan Medan Belawan)”.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Apa faktor-faktor yang mengakibat terbentuknya permukiman kumuh di Kota Medan?

2. Bagaimana program penataan permukiman kumuh yang telah dilaksanakan pemerintahan Kota Medan ?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mengakibatkan permukiman kumuh di Kota Medan.


(31)

2. Untuk mengetahui program penataan permukiman kumuh yang telah dilaksanakan pemerintahan Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai bahan studi dan literatur bagi mahasiswa/mahasiswi ataupun penelitian yang ingin melakukan penelitian sejenis selanjutnya.

2. Sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi pemerintahan Kota Medan, dalam menata kota menuju kota metropolitan yang lestari, penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan program.

3. Sebagai bahan masukan bagi pengambilan keputusan dimasa yang akan datang.

4. Bagi masyarakat setempat dapat menjadi informasi untuk mendorong perbaikan kondisi lingkungan tersebut.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Permukiman Kumuh

2.1.1 Pengertian Permukiman Kumuh

Kota pada awalnya berupa permukiman dengan skala kecil, kemudian mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi, dan budaya serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Namun yang terjadi dengan kota-kota di indonesia adalah bahwa pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana kota dan peningkatan pelayanan perkotaan. Bahkan yang terjadi justru sebagai kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan permukiman kumuh. sebagian penghuni kota berprinsip sebagai alat mencari penghasilan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian prisip mereka harus hemat dalam arti yang luas, yaitu hemat mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sisitem strukturnya (Sobirin, 2001:41).

Akibatnya, muncul permukiman kumuh di beberapa wilayah kota yang merupakan hal yang tidak dapat dihindari, yaitu tidak direncanakan oleh pemerintah tetapi tumbuh sebagai proses alamiah.Dalam berbagai literatur dapat dilihat berbagai kriteria dalam menentukan kekumuhan atau tidaknya suatu kawasan permukiman. Menurut studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitektur, Institut


(33)

Teknologi Sepuluh November, Surabaya (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999 :8-9), untuk menentukan kekumuhan suatu kawasan, dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu :

1. Kondisi bangunan atau rumah,

2. Ketersediaan prasarana dasar dan lingkungan, 3. Kerentanan status penduduk, dan

4. Berdasarkan aspek pendudukung, seperti tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai, kurangnya tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial dan dapat dikatakan hampir tidak ada fasilitas yang dibangun secara bersama swadaya maupun non swadaya oleh masyarakat. Berdasarkan kriteria tersebut maka studi tersebut menentukan tiga skala permukiman kumuh, yaitu tidak kumuh, kumuh dan sangat kumuh.

Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitek tersebut, Laboratorium Permukiman, Jurusan Arsitektur ITS, Surabaya (Rudiyantono, 2000:8), hanya menentukan dua standart permukiman kumuh, yaitu :

1. Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, yang antara lain dilihat dari stuktur rumahnya, pemisahan fungsi ruang, kepadatan hunian/rumah dan bangunan dan tatanan bangunan.

2. Ditinjau dari ketersediaan prasarana dasar lingkungan, seperti pada air bersih, sanitasi, ketersediaan fasilitas tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi, ada tidaknya ruang terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak mempertimbangkan kriteria non fisik seperti kerentanan status penduduk untuk melihat tingkat tingkat kekumuhan permukiman.


(34)

Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitektur dan permukiman kumuh (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999:8), menjelaskan bahwasanya kriteria pokok untuk menentukan permukiman kumuh/marjinal adalah: bila berada di lokasi yang ilegal, dengan keadaan fisiknya yang sub standrat; penghasilan penghuni amat rendah (miskin), tak dapat dilayani berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya oleh publik (kecuali yang berkepentingan). Berdasarkan kriteria Silas tersebut, aspek legalitas juga merupakan kriteria yang harus dipertimbangkan untuk menentukan kekumuhan suatu wilayah selain buruknya kondisi kualitas lingkungan yang ada

Permukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya permukiman berasal dari kata housing dalam bahasa inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya adalah permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitikberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu house dan land settlement. Permukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan permukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya saling melengkapi (Kurniasih,2007).

Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan


(35)

kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan (Kurniasih,2007).

Menurut UU No. 4 pasal 22 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, dimana permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan atau tata ruang, kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya.

Masrun (2009) memaparkan bahwa permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka / rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan.


(36)

Khomarudin (1997) lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha), 2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah,

3. Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standar,

4. Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan, 5. Hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diatur

perundang undangan yang berlaku.

Gambaran lingkungan kumuh, (Khomarudin,1997) adalah sebagai berikut :

1. Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan,

2. Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni,

3. Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari panas dan hujan,

4. Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik penghuni, 5. Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan,

6. Prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan), 7. Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan),

8. Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non-formal, 9. Pendidikan masyarakat rendah.


(37)

Menurut Sinulingga (2005) ciri-ciri kampung/permukiman kumuh terdiri dari :

1. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit.

2. Jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.

3. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.

4. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah. 5. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur

dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.

6. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya tidak permanen dan malahan banyak sangat darurat.

7. Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.


(38)

Menurut UNCHS ( 1982; dalam Sochi, 1993) ciri – ciri permukiman kumuh ini antara lain :

1. Sebagian besar terdiri atas rumah tua (rusak) pada bagian lama suatu kota ( semula didirikan dengan ijin),

2. Sebagian besar penghuninya merupakan penyewa,

3. Di beberapa tempat ada rumah bertingkat pemilik yang sekaligus menyewakan beberapa rumah kumuh,

4. Kepadatan rumahnya tinggi,

5. Ada yang berasal dari proyek perumahan yang kurang terpelihara, dan

6. Ada yang dibangun oleh sektor informal, dengan sewa murah untuk menampung migran ekonomi lemah yang datang dari desa.

Permukiman kumuh dipilah atas tiga macam berdasarkan asal atau proses terjadinya, yaitu (Sutanto, 1995):

A.Kumuh bangunan (created), daerah hunian masyarakat ekonomi lemah dengan ciri fisik :

1. Bangunan mudah dipindah,

2. Dibangun dengan bahan seadanya,

3. Sebagian besar dibangun sendiri oleh penghuni (kumuh sejak awal). B.Kumuh turunan (generated);

1. Rumah – rumah yang semula dibanguan dengan ijin, pada bagian kota yang lama, kondisinya semakin memburuk sehingga menjadi rumah kumuh,


(39)

3. Banguan dan prasarana merosot oleh kurangnya pemeliharaan. C.Kumuh dalam proyek perumahan (in project housing);

1. Kelompok proyek perumahan yang disediakan oleh badan pemerintah bagi masyarakat ekonomi lemah,

2. Rumah – rumah diperluas sendiri oleh penghuni dengan pemeliharaan sangat jelek yang mengakibatkan kemerosotan jasa prasarana.

2.1.2 Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh

Menurut Khomarudin, 1997 penyebab utama tumbuhnya permukiman kumuh adalah sebagai berikut :

1. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,

2. Sulit mencari pekerjaan,

3. Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,

4. Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,

5. Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta disiplin warga yang rendah,

6. Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.

Menurut Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003:3-5) penyebab adanya permukiman kumuh adalah:

1. Karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat,


(40)

2. Karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi, sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik.

Menurut mereka keadaan kumuh tersebut dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial, budaya para penghuni permukiman tersebut. Adapun ciri-ciri kawasan permukiman kumuh dapat tercermin dari :

1. Penampilan fisik bangunannya yang makin kontruksi, yaitu banyaknya bangunan-bangunan temporer yang berdiri serta nampak tak terurus maupun tanpa perawatan,

2. Pendapatan yang rendah mencerminkan status ekonomi mereka, biasanya masyarakat kawasan kumuh berpenghasilan rendah,

3. Kepadatan bangunan yang tinggi, dapat terlihat tidak adanya jarak antara bangunan maupun siteplan yang tidak terencana,

4. Kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakatnya yang heterogen, 5. Sistem sanitasi yang miskin atau tidak dalam kondisi yang baik,

6. Kondisi sosial yang tidak dapat baik dilihat dengan banyaknya tindakan kejahatan maupun kriminal,

7. Banyaknya masyarakat pendatang yang bertempat tinggal dengan menyewah rumah.


(41)

2.1.3 Karakteristik Permukiman Kumuh

Karakteristik permukiman kumuh, (Silas,1996) adalah sebagai berikut :

1. Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m²/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.

2. Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa.

3. Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi.

2.1.4 Faktor Penyebab Pertumbuhan Permukiman Kumuh

Dalam perkembangannya pertumbuhan permukiman kumuh ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Constantinos A.Doxiadis (1968), disebutkan bahwa pertumbuhan permukiman kumuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

- Growth of density (pertambahan penduduk)

Dengan adanya pertambahan jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan jumlah keluarga, maka akan membawa masalah baru. Secara manusiawi mereka ingin menempati rumah milik mereka sendiri. Dengan demikian semakin bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan permukiman tersebut yang menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman.


(42)

- Urbanization (Urbanisasi)

Dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota. Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk tinggal di permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota.

2.2 Urbanisasi 2.2.1 Pengertian

Pengertian urbanisasi ini sangatlah sulit untuk mendefinisikannya. Yaitu harus dengan pertimbangan-pertimbangan karena sangat multisektoral dan kompleks. Menurut Bintarto (1983:9-10) pengertiannya dapat dilihat dari beberapa sektor, misalnya :

1. Dari segi Demografi, urbanisasi ini dilihat sebagai suatu proses yang ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dan perubahan dalam jumlah penduduk dalam satu wilayah.

2. Dari segi ekonomi, urbanisasi ini dilihat dari perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian. Ini dapat dilihat pada banyaknya penduduk desa yang meninggalkan pekerjaan di bidang pertanian beralih bekerja menjadi buruh atau pekerja yang sifatnya non-agraris di kota.


(43)

3. Dari sudut pandang seseorang ilmuwan perilaku (behavioral scientist) urbanisasi dilihat dari segi pentingnya atau sejauh mana manusia itu dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang berubah-ubah baik yang disebabkan oleh kemajuan teknologi maupun dengan adanya perkembangan baru dalam kehidupan.

2.2.2 Perkembangan Kota dan Urbanisasi

Secara teoritis pembangunan berarti menciptakan perbaikan dan meningkatkan kualitas, baik infrastruktur fisik maupun kehidupan sosial. Namun dalam proses dan implementasinya, pembangunan di perkotaan seringkali melahirkan dampak ikutan baru yang menimbulkan problema, antara lain masalah migrasi terutama urbanisasi. Ada beberapa pendapat mengenai penyebab migrasi khususnya urbanisasi. Organisasi Buruh Sedunia (ILO) berpendapat bahwa kota memberi kesempatan kerja lebih banyak daripada desa (Darrundono, 2007). Keputusan bermigrasi merupakan suatu respon terhadap harapan tentang penghasilan yang lebih baik, yang akan diperoleh di tempat tujuan (kota) dibandingkan dengan yang diterima di tempat asal yakni desa (Todaro dan Smith, 2004).

Lebih lanjut, Douglass dalam Darrundono (2007) berpendapat bahwa perbedaan yang mencolok antara upah buruh di desa dengan di kota merupakan salah satu penyebab mengalirnya penduduk pedesaan ke kota. Sedangkan De Soto dalam Darrundono (2007) menyatakan bahwa tidak menjadi soal benar atau salah, penduduk membuat keputusan untuk bermigrasi karena mereka yakin bahwa migrasi akan memberi manfaat pada mereka.


(44)

Menurut Anharudin (2004), migrasi merupakan salah satu yang mewarnai dinamika kependudukan dan berdasarkan arah persebarannya proses migrasi dapat terjadi secara terpaksa, spontan dan terencana. Mobilitas penduduk karena terpaksa (migran terpaksa) terjadi karena beberapa faktor, antara lain akibat bencana alam dan atau tragedi sosial seperti konflik bersenjata atau akibat dari situasi-situasi rawan lainnya. Sedangkan mobilitas penduduk secara spontan (migran spontan) terjadi secara alamiah atas inisiatif pelakunya dengan dorongan (motif) perbaikan ekonomi, namun apabila terjadi secara tidak terkendali dapat menimbulkan masalah-masalah baru seperti okupasi (pendudukan) lahan yang melahirkan permukiman liar (tidak sesuai dengan peruntukannya).

Reverstain, pelopor teori migrasi (Sinulingga, 2005) mengatakan bahwa migrasi terdiri dari dua jenis, yaitu migrasi permanen dan migrasi sementara. Migrasi permanen adalah perpindahan penduduk yang berakhir pada menetapnya migran pada tempat tujuannya, sedangkan migrasi non permanen/sementara adalah perpindahan penduduk yang tidak menetap pada tempat tujuan migran, tetapi kembali ke tempat asal atau berpindah ke lain tempat. Migran non-permanen hanya tinggal untuk sementara waktu di kota (bisa dalam hitungan minggu atau bulan) tetapi datang dan pergi dalam jangka waktu tertentu. Karena sifatnya yang sementara dan masih berorientasi ke desa/daerah asalnya (dalam arti pendapatan yang diperoleh di kota dibawa pulang ke desa), pada umumnya migran non-permanen kurang memperhatikan kondisi lingkungan tempat tinggalnya selama berada di kota (Haning dan Mita, 2005).


(45)

Bilsborrow dalam Sinulingga (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor kontekstual atau kemasyarakatan perlu diperhitungkan dalam menjelaskan fenomena niat bermigrasi. Faktor-faktor tersebut meliputi karakteristik daerah asal dan tujuan, kesempatan kerja, tingkat upah, tanah dan sistem pemilikannya, ikatan keluarga, sistem warisan, jaringan transportasi dan komunikasi, akses terhadap berbagai fasilitas dan pelayanan, faktor iklim, program pemerintah, dan lain-lain.

Tekanan arus urbanisasi yang melonjak begitu cepat menimbulkan akibat terhadap pengaturan tata ruang kota, yang pada umumnya kurang menguntungkan kelompok masyarakat miskin. Pola pengembangan kota yang konsentrik dan memusat, bukan hanya menyebabkan kelompok masyarakat miskin makin terdesak ke daerah pinggiran kota, tetapi seringkali mereka juga harus berpuas diri dengan minimnya berbagai fasilitas publik, jauh berbeda dengan warga kota yang ekonominya lebih maju. Luas tanah yang terbatas di perkotaan umumnya dikuasai oleh orang kaya dan pemerintah kota setempat.

Salah satu yang merupakan masalah terbesar kota-kota di Negara Dunia Ketiga saat ini adalah peruntukan ruang untuk permukiman kelompok masyarakat miskin, dimana kesempatan kelompok ini untuk memperoleh akses tanah di perkotaan makin terbatas bahkan nyaris tidak ada. Kemampuan penyediaan perumahan secara formal (seperti real estate, perumahan swasta/pemerintah) hanya menyentuh golongan menegah ke atas, sedangkan golongan berpendapatan rendah belum tersentuh dan dibiarkan mencari jalan keluar sendiri. Menurut penelitian Dinas Perumahan DKI, karya perancang dan arsitek diperuntukkan bagi golongan menengah dan tinggi,


(46)

orang miskin dibiarkan memikirkan nasib mereka sendiri (Darrundono, 2007). Oleh karena rumah merupakan kebutuhan utama, maka pilihan kelompok masyarakat miskin perkotaan adalah melakukan penyerobotan tanah untuk membangun tempat tinggal di tanah-tanah kosong milik pemerintah atau swasta tanpa status yang jelas, yang diistilahkan sebagai permukiman liar.

2.2.3 Faktor Yang Mendorong Proses Urbanisasi

Adapun faktor-faktor pendorong urbanisasi menurut Hammond (1979:70) umunya berjumlah delapan dengan urutan sebagai berikut :

1. Kemajuan dalam bidang pertanian. Adanya mekanisme di bidang pertanian yang mendorong dual hal: tersedotnya sebagian tenaga kerja agraris ke kota untuk menjadi buruh industri, bertambahnya hasil pertanian untuk menjamin kebutuhan penduduk yang hidupnya dari pertanian.

2. Industrialisasi, karena industri-industri tergantung kepada bahan mentah dan sumber tenaga, maka pabrik-pabrik didirikan di lokasi sekitar bahan mentah demi murahnya pengolahan.

3. Potensi pasaran, dengan berkembangnya industri ringan melahirkan kota-kota yang menawarkan diri sebagai pasaran hasil diteruskan kepada kawasan pedesaan. Kota-kota perdagangan tersebut lalu menarik pekerja-pekerja baru dari pedesaan dan dengan begitu kota bertambah besar.

4. Peningkatan kegiatan pelayanan, dimana industri tersier dan kuarter tumbuh dan meningkatkan perdagangan, taraf hidup dan memacu munculnya organisasi ekonomi dan sosial.


(47)

5. Kemajuan transportasi, bersama kemajuan komunikasi ini didorong majunya mobilitas penduduk, khususnya dari pedesaan ke kota-kota di dekatnya.

6. Tarikan sosial dan kultural, dimana di kota banyak hal yang menarik dalam hal hiburan.

7. Kemajuan pendidikan, tak hanya sekolah-sekolah yang menarik kaum muda untuk pindah ke kota, juga media massa yang menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendididkan sebagai sarana untuk sukses dalam usaha.

8. Pertumbuhan penduduk alami, disamping penduduk kota bertambah oleh masuknya urbanisasi, angka kelahiran di kota lebih tinggi dibanding di desa, ini akibat kemajuan di bidang kesehatan.

2.2.4 Dampak Proses Urbanisasi

Kecepatan urbanisasi merupakan akibat dari lajunya pembangunan kota dan sekitarnya anatra lain perluasan daerah industri maupun perdagangan di kota, sehingga kesempatan kerja pun meningkat dan menarik tenaga kerja dari daerah di sekitar kota tersebut. Menurut Bintarto (1983:35) jika diinventarisasi masalah-masalah tersebut adalah :

1. Urbanisasi ini menyebabkan beberapa masalah dan problema-problema bagi kota-kota yang jumlahnya tidak sedikit.

2. Kepadatan penduduk kota menimbulkan masalah kesehatan lingkungan, masalah perumahan,


(48)

3. Pertambahan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesempatan dan mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, masalah pengangguran dan gelandangan,

4. Penyempitan ruang dengan segala akibat negatifnya di kota karena banyaknya orang, bertambahnya bangunan untuk perumahan, perkantoran, kegiatan industri dan bertambahnya kendaraan bermotor yang terus membanjiri kota-kota di negara berkembang,

5. Masalah lalu lintas, kemacetan jalan dan masalah parkir yang menghambat kelancaran kota,

6. Industrialisasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air dan polusi kebisingan.

Urbanisasi juga membawa dampak terhadap berbagai sektor kehidupan menurut Bintarto (1983:36-37) dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Dalam sektor ekonomi, strutur ekonomi menjadi lebih bervariasa dari yang bermodal kecil hingga besar.

2. Perkembangan dibidang pariwisata juga nampak meluas,

3. Dalam bidang pendidikan makin banyak diusahakan adanya pendidikan kejuruan atau adanya program non gelar yang biasa dicapai dalam waktu yang singkat tetapi sudah dapat mendatangkan penghasilan.

4. Selain itu juga adanya perluasan fisik kota kearah pinggiran kota yang menimbulkan masalah baru mengenai batas administratif pertahanan dan pemerintahan.


(49)

5. Harga tenaga baik di kota maupun di daerah tepian kota cenderung naik. 6. Perubahan tata guna lahan menjadi masalah yang juga patut diperhatikan.

Banyak daerah hijau (green belts) telah menjai daerah industri atau daerah permukiman. Hal ini akan menyebabkan adanya pencemaran udara, tanah maupun air.

2.3 Permukiman Kumuh dan Liar

Secara umum, ada 2 (dua) faktor yang bertindak sebagai kekuatan pembangkit dan menentukan kualitas serta ukuran sebuah permukiman termasuk permukiman kumuh dan liar (Srinivas, 2007), yaitu :

1. Faktor Internal (Alami), berkaitan dengan kekuatan dan tekanan yang disebabkan dari dalam permukiman dan dari pemukim itu sendiri seperti: Agama/Etnik, Tempat/Lokasi Kerja, Tempat Asal, Bahasa, Lama Menetap di permukiman, Modal dalam Perumahan (buruh, material lokal yang tersedia, dll), Aktivitas Pembangunan atau Kehadiran penyewa.

2. Faktor Eksternal (yang disebabkan), dapat berasal dari luar permukiman seperti Pemilik lahan, Keamanan tetap, Kebijakan Pemerintah kota atau Lama menetap di kota.

Kedua faktor tersebut berperan bersama-sama dalam pertumbuhan permukiman kumuh dan liar, melalui rangkaian tahap pembangunan yang menyatu. Tahap-tahap ini menentukan hasil akhir, dalam pengertian bahwa dapat berupa sebuah rangkaian kesatuan dengan satu tahap/proses yang tumpang tindih, atau sebagai tahap yang berjalan paralel. Efek yang ditimbulkan dari tahap-tahap ini bersifat kumulatif dan


(50)

tidak berdiri sendiri. Di negara-negara di dunia, definisi dari permukiman kumuh dan liar (slum and squatter settlement) memiliki variasi yang luas bergantung pada keberagaman parameternya.

Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak memenuhi standar suatu permukiman pada umumnya. Permukiman kumuh bukan hanya terdapat di daerah pinggiran kota, tetapi dapat juga berada di tengah kota (yang disebut dengan kampung kota). Permukiman kumuh ini disebut sebagai permukiman liar (illegal) apabila berada di bangunan-bangunan atau tanah-tanah milik negara yang bukan untuk permukiman seperti di pinggiran sungai, di bantaran rel kereta api, di bawah jalan layang, di taman-taman kota dan lahan terbuka hijau lainnya.

Apabila ditinjau dari segi sosial dan ekonomi, permukiman kumuh memiliki ciri-ciri khas (Suparlan, 2007) sebagai berikut :

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.

2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam pengunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.

4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:


(51)

a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.

b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau RW. c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW

atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar.

5. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal.

Sedangkan permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta ataupun pemerintah tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa yang membangun, didiami oleh orang yang sangat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan yang diprakarsai negara Barat, sekitar kehadiran tulisan Charles Abrams dan John Turner, terutama sekali sekitar Konferensi Habitat tahun 1976 di Vancouver, Canada (Srinivas, 2007).


(52)

Abrams (1964) dalam Srinivas (2007) menggambarkan proses dari keliaran sebagai suatu penaklukan daerah kota untuk tujuan perlindungan, yang didefinisikan oleh 2 (dua) hal yaitu kekuatan hukum dan hukum kekuatan. Sedangkan Turner (1969) dalam Srinivas (2007) memandang positif dengan menggambarkan permukiman liar sebagai keberhasilan yang tinggi menyelesaikan masalah perumahan di daerah kota di negara berkembang.

Begitu juga Payne (1977) dalam Srinivas (2007) menyatakan permukiman liar dalam pandangan menyeluruh dari pertumbuhan kota di negara ketiga dengan sifat yang tidak dapat dihindarkan. Patrick McAuslan (1986) dalam Purnawan (2004) menyatakan sebutan permukiman liar sebenarnya tidak mengandung suatu kecenderungan kriminal, tetapi hanya menunjukkan hubungan antara kelompok orang dan perumahan di atas tanah tertentu, maksudnya seorang permukiman liar adalah seorang yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah, atau sebuah bangunan tanpa kekuatan hukum. UN Habitat (2003) dalam Darrundono (2007) menyatakan bahwa permukiman liar merupakan produk kebijakan yang gagal, tata pemerintahan yang buruk, korupsi, peraturan yang berbelit-belit, pasar pertanahan yang tidak berfungsi, sistem keuangan yang tidak jelas, dan kemauan politik yang lemah. Pada dasarnya ada 3 (tiga) karakteristik yang dapat menolong dalam mendefinisikan permukiman liar (Srinivas, 2007) yaitu :


(53)

1. Karakteristik Fisik :

Suatu permukiman liar, karena memiliki status illegal maka infrastruktur dan pelayanan (baik jaringan maupun sosial) yang ada tidak memadai atau berada pada tingkat minimum, seperti penyediaan air, sanitasi, listrik, jalan dan drainase, sekolah, pusat kesehatan, tempat perbelanjaan, dll. Sebagai contoh, penyediaan air untuk setiap rumah tangga dapat dikatakan tidak ada, atau pipa umum yang tersedia sedikit, sehingga pemukim mempergunakan jaringan kota atau pompa tangan sendiri bahkan menyediakan jaringan informal untuk menyediakan air di tempat. Hal serupa berlaku untuk jaringan listrik, drainase, fasilitas toilet/kamar mandi/WC, dll dimana kecilnya ketergantungan pada saluran formal pemerintah.

2. Karakteristik Sosial :

Kebanyakan rumah tangga permukiman liar termasuk ke dalam kelompok berpenghasilan rendah, baik bekerja sebagai buruh bergaji maupun dalam usaha-usaha sektor informal lain yang bervariasi. Tetapi terdapat juga rumah tangga berpenghasilan lebih tinggi seperti penghasilan pekerjaan bergaji atau pekerjaan paruh waktu. Permukiman liar umumnya didominasi oleh migran, baik desa-kota atau kota-kota. Namun banyak juga dari generasi kedua atau generasi ketiga pemukim liar tersebut.

3. Karakteristik Legal :

Ini merupakan karakteristik kunci yang menggambarkan suatu permukiman liar yakni ketiadaan hak milik terhadap lahan yang dipergunakan untuk membangun rumah. Hal ini dapat terjadi pada lahan kosong milik pemerintah atau umum, di


(54)

sebidang tanah seperti bantaran rel kereta api, atau tanah rawa-rawa. Kemudian ketika lahan tersebut tidak dipergunakan oleh pemiliknya, maka diambil oleh pemukim liar untuk membangun rumah.

2.3.1 Karakteristik Pemukim Kumuh dan Liar

Menurut Anharudin (2005), Permukiman Liar adalah penduduk yang memiliki masalah illegal karena bermukim di areal-areal yang ditetapkan sebagai zona bebas okupasi seperti bantaran sungai atau rel kereta api, cagar alam (budaya), lahan konservasi (jalur hijau dan atau zona penyangga). Sedangkan Kelompok Marginal Kota yakni kelompok urban kota yang mendiami wilayah-wilayah kumuh dan miskin dan kelompok lain yang rentan dan malang (vulnarable and disadvantage people), yang sewaktu-waktu harus mengalami dampak permukiman kembali akibat proyek pembangunan infrastruktur perkotaan. Proyek-proyek pembangunan prasarana fisik (jalan raya, waduk, saluran irigasi, dermaga, dll) karena menggunakan lahan besar menyebabkan pemerintah mengadakan perubahan penggunaan tanah, air dan sumber daya alam lainnya. Asian Development Bank (ADB) menyebut kelompok ini sebagai Orang-orang yang Terkena Dampak (OTD) (Anharudin, 2005). Secara umum, penduduk menjadi liar dapat disebabkan oleh 2 (dua) faktor (Srinivas, 2007), yaitu :

a. Faktor Internal, meliputi : 1. Kurangnya asset jaminan,


(55)

3. Pekerjaan dengan gaji harian/penghasilan rendah, (yang dalam beberapa kasus merupakan semi permanen atau sementara).

b. Faktor Eksternal, meliputi :

1. Harga lahan dan pelayanan perumahan yang tinggi,

2. Ketidakperdulian dan antisipasi sebagian pemerintah dalam membantu mereka,

3. Tingginya standar bangunan yang ‘pantas’ dan peraturan penguasa,

4. Undang-undang perencanaan dan penzoningan yang berat sebelah.

Sebab-sebab di atas mengakibatkan tidak adanya pilihan terhadap rumah tangga berpenghasilan rendah sehingga menjadi liar di lahan kosong. Keliaran dilakukan baik oleh “penguasa kumuh” atau benar-benar berawal dari suatu kelompok kecil/inti permukiman liar. “Penguasa kumuh” mengambil sebidang lahan kosong, membaginya lagi dan menjualnya kepada beberapa rumah tangga untuk membangun rumah. Pelayanan seperti penyediaan air atau listrik disediakan oleh yang bersangkutan atau oleh kelompok permukiman liar tersebut dan biasanya dilakukan bersama-sama.

Kelompok inti permukiman liar merupakan jumlah kecil keluarga yang mendiami sebidang lahan kemudian membangun tempat perlindungan darurat dan sementara. Bangunan dapat ditingkatkan menjadi permanen atau tambahan keluarga


(56)

dapat bergabung pada kelompok ini, bergantung pada tingkat ancaman pengusiran (Srinivas, 2007).

Sedangkan menurut Patrick McAuslan (1986) dalam Purnawan (2004), kehadiran permukiman liar dalam prakteknya ada beberapa macam:

1. Massa permukiman liar yang diorganisir,

2. Keluarga-keluarga secara sendiri-sendiri menetap di atas tanah yang mereka anggap tidak ditempati dengan atau tanpa izin kepada mereka,

3. Permukiman liar yang didasarkan pada transaksi resmi ortodoks, yaitu permukiman membeli sebidang tanah dari seorang penjual yang memiliki tanah itu, tetapi tidak mempunyai persetujuan yang sah mengenai pembagian tanah untuk membangun rumah di atasnya, atau yang sebenarnya tidak mempunyai hak, baik untuk memiliki atau menjual tanah itu kepada siapa pun. Berbekal sedikit sumber finansial, keterampilan dan akses lain, serta adanya kebebasan nyata untuk mendiami lahan kosong illegal telah memberi kemungkinan bagi mereka untuk membangun tempat-tempat perlindungan darurat (Srinivas, 2007).

Selain dicirikan oleh pemilihan lokasi tempat tinggal yang kumuh, permukiman pada umumnya terkonsentrasi pada berbagai jenis pekerjaan di sektor informal, cenderung mendominasi pekerjaan-pekerjaan sebagai penjual makanan dan minuman (baik diproduksi sendiri maupun diambil dari orang lain), penjual rokok dan sejenisnya. Pada umumnya mereka menjual dagangannya secara berkeliling atau menggunakan 'lapak' sebagai pedagang kaki lima. Jenis pekerjaan lain yang cukup


(57)

banyak dilakukan adalah pekerjaan sebagai pemulung, kuli bangunan dan pekerja kasar lainnya.

Terkonsentrasinya mereka pada pekerjaan-pekerjaan di sektor informal ini adalah karena sektor ini sangat mudah dimasuki, meski oleh mereka yang tidak memiliki keterampilan atau pendidikan formal. Sektor informal menyediakan berbagai barang dan jasa (misalnya tenaga kerja kurang terampil/kurang terdidik un tuk kebutuhan pembangunan fisik kota), bahkan sebagian bisa mendukung keberlangsungan kehidupan sektor formal (Suparlan, 2007).

Suko Bandiyono (2007) menyatakan, meskipun tinggal di permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Walaupun merupakan sumberdaya manusia asal pedesaan berkualitas rendah, namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, yang terutama sangat diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan.

Menurut Oscar Lewis (Wan, 2006) permasalahan yang terdapat di permukiman kumuh dan liar sangat kompleks. Pada permukiman tersebut tercipta suatu kehidupan yang tidak nyaman yang mengakibatkan munculnya budaya kemelaratan seperti


(58)

apatisme, serba curiga, perasaan yang didominasi angan-angan tinggi tanpa kenyataan, putus asa, ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada hari ini, yang kesemuanya ini disosialisasikan dari generasi ke generasi.

2.4 Karakteristik Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Secara umum rumah tangga permukiman kumuh dan liar termasuk ke dalam kelompok berpenghasilan rendah, walaupun terdapat juga rumah tangga berpenghasilan lebih tinggi. Karakteristik masyarakat berpenghasilan rendah ini memberi pengaruh yang signifikan terhadap preferensi bermukim mereka.

2.4.1 Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR)

Pengertian kemiskinan tidak dapat dinyatakan secara tepat karena merupakan satu istilah yang subjektif. Namun biasanya kemiskinan dikaitkan dengan kekurangan pendapatan, kesusahan dan ketidakmampuan individu dan isi rumah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Menurut Poerwadarminta (1976) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang berarti “tidak berharta-benda”. Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Menurut Nasikun (1995) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), kemiskinan adalah sebuah fenomena multiaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan pangan, sandang dan papan.


(59)

Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap.

Hal senada juga dinyatakan oleh Oscar Lewis dalam Simanihuruk (2003), bahwa kemiskinan bukanlah semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi saja, tetapi juga kekurangan dalam ukuran budaya dan kejiwaan dimana di dalamnya terkandung proses sosialisasi corak kebudayaan dari generasi tua ke generasi berikutnya, yang mana ini disebut juga budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan ini akan tumbuh pada kondisi masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Sistem ekonomi uang, buruh, upahan dan sistem produksi untuk keuntungan. 2. Tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga

tidak terampil.

3. Rendahnya upah buruh.

4. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah.


(60)

6. Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya sikap hemat serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.

Kondisi kemiskinan tercermin dari distribusi pendapatan golongan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti makanan, kesehatan, pendidikan, transportasi, perumahan, ibadah, dan sebagainya. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan sebuah rumah tangga. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran makanan yang lebih besar mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan. Bagi masyarakat miskin di perkotaan, persentase pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk makanan yaitu sebesar 73,5%, sedangkan pengeluaran untuk perumahan 8,43%, transportasi 2,48%, pendidikan 2,4% dan pengeluaran untuk listrik 3,3% (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 2010).

Charles Booth dalam Mohammad, KA (2000) juga menyatakan bahwa konsep kekurangan, kemiskinan dan peminggiran sosial sangat berkaitan erat. Ini disebabkan


(61)

karena dalam kemiskinan bukan hanya mengalami kekurangan dari aspek pendapatan, peluang-peluang dalam ekonomi, dan sebagainya tetapi juga harus mengalami peminggiran dari aspek sosial. Kemiskinan dapat menyebabkan tekanan dalam jiwa, disebabkan tekanan terhadap masalah harian seperti kehidupan yang terus menerus tidak nyaman, masalah kekurangan kebutuhan dasar, dan sebagainya. Tekanan ini terkadang mengakibatkan terjadinya keruntuhan moral yang melahirkan masalah-masalah sosial yang lain. Berdasarkan pandangan tersebut, diisyaratkan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, melainkan bersifat kompleks karena mempunyai berbagai dimensi yang berbeda serta memiliki kontribusi banyak faktor, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian.

Namun, Koenraad Verhagen (1996) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), mengatakan bahwa kita cenderung melebih-lebihkan kemiskinan dan melupakan apa yang mereka miliki. Orang-orang miskin bukanlah orang-orang yang “tidak memiliki” (havenot). Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Dari sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit” (have-little) tetapi di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial. Gunawan dan Sugiyanto (2007) mengemukakan, bahwa dalam konteks penanggulangan kemiskinan, mereka tidak hanya didekati sebagai objek (gejala yang diamati), tetapi harus dipandang sebagai subjek atau pelaku yang dikelompokkan


(62)

dalam Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR). Mereka adalah pelaku yang berperan sepenuhnya untuk menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.

Oleh karena itu, dalam kerangka memahami potensi keluarga miskin, paling tidak terdapat tiga bentuk potensi yang diamati, yakni:

A. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Tinjauan tentang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan akan dilihat dari aspek:

1. Pengeluaran keluarga,

2. Kemampuan menjangkau tingkat pendidikan dasar formal yang ditamatkan (human capital).

3. Kemampuan menjangkau perlindungan dasar (security capital).

B. Kemampuan dalam pelaksanaan peran sosial. Tinjauan tentang kemampuan peran sosial akan dilihat dari:

1. Peran dalam bidang ekonomi (dilihat dari kegiatan utama dalam mencari nafkah).

2. Peran dalam bidang pendidikan (pelaksanaan ibadah atau membimbing keluarga, menanamkan nilai dan norma; mendorong pendidikan keluarga, mengerjakan kegiatan kerumahtanggaan, mengasuh anak dan mendampingi anak belajar).

3. Peran dalam bidang perlindungan (melindungi keluarga, turut memecahkan masalah keluarga dan turut serta memelihara kesehatan keluarga).


(63)

4. Peran dalam bidang kemasyarakatan (kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kelembagaan).

C. Kemampuan dalam menghadapi permasalahan.

Tinjauan tentang kemampuan dalam menghadapi permasalahan, akan dilihat dari upaya yang mereka lakukan untuk mempertahankan diri dari tekanan ekonomi dan non ekonomi. Dari hasil penelitian yang dilakukan (Gunawan dan Sugiyanto, 2007) menunjukkan bahwa peran sosial yang dilaksanakan oleh keluarga fakir miskin lebih banyak bersifat intern, artinya lebih banyak terkonsentrasi dalam urusan keluarga. Kepala keluarga lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk mencari nafkah, pendidikan dan perlindungan keluarga. Pelaksanaan peran sosial kemasyarakatan kurang terintegrasi dalam kehidupan keluarga. Mereka tidak begitu aktif untuk melakukan kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kelembagaan. Namun, terungkap cukup banyak strategi yang dipergunakan keluarga fakir miskin dalam menghadapi permasalahannya, antara lain:

1. Optimalisasi sumber daya manusia (SDM)

Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan, termasuk mengerahkan anak yang masih duduk di bangku sekolah. Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran ekonomi ini akan memupuk kemampuan anak untuk membaca peluang ekonomi.


(64)

Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga dalam peran ekonomi. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan.

2. Penekanan/pengetatan pengeluaran.

Penekanan/pengetatan pengeluaran merupakan strategi yang bersifat pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, biaya sosial, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Dalam kerangka penekanan/pengetatan pengeluaran, seringkali mereka mengabaikan kebutuhan pelayanan untuk kesehatan. Walaupun mereka telah mempunyai kartu sehat dari Dinas Kesehatan. Pengurangan pengeluaran biaya kesehatan lebih banyak dilakukan, karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan pencarian nafkah.

3. Pemanfaatan jaringan.

Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat


(65)

jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya. Relasi mereka tidak hanya sebatas bidang ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam peningkatan mental spiritual. Kegiatan ini merupakan strategi yang bersifat aktif untuk memperoleh dukungan emosional.

2.4.2 Preferensi Bermukim

Turner (1969) dalam Yunus (2000) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) macam dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal yaitu :

1. Dimensi Lokasi, mengacu pada lokasi tertentu pada suatu kota yang dianggap paling cocok untuk tempat tinggal sesuai dengan kondisi diri. Kondisi diri ini lebih ditekankan pada penghasilan dan siklus kehidupan, sehingga lokasi dalam konteks ini berkaitan erat dengan jarak terhadap tempat kerja.

2. Dimensi Perumahan, dikaitkan dengan aspirasi terhadap macam/tipe perumahan. Turner membatasi aspek perumahan ini pada aspek ”penguasaan”, yang juga selalu dikaitkan dengan penghasilan dan siklus kehidupan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah akan memilih menyewa atau mengontrak saja daripada berangan-angan untuk memiliki rumah, karena kemampuan itulah yang paling sesuai dengan tingkat penghasilannya.

3. Dimensi Siklus Kehidupan, membahas tahap-tahap peningkatan kemandirian dalam kehidupan, dimana semua kebutuhan hidup ditopang oleh penghasilan sendiri. Secara umum, makin lanjut tahap siklus kehidupan maka makin tinggi


(1)

lampiran 5 : Kepadatan Bangunan di Kecamatan Belawan I dan Kecamatan Belawan II

Gambar Belawan I


(2)

Lampiran 6 : Kondisi Jalan lingkungan di Kecamatan Belawan I dan Kecamatan Belawan II


(3)

Lampiran 7 : Saluran Drainase di Kecamatan Belawan I dan Belawan II

Gambar drainase Belawan I


(4)

Lampiran 8 : Sanitasi pribadi dan MCK umum yang dimiliki masyarakat di Kecamatan Belawan I dan Belawan II


(5)

Gambar sanitasi umum di Belawan I


(6)

Lampiran 9 : sarana air bersih di Belawan I dan Belawan II yaitu bersumber dari PDAM