Betawi 1900-1942 KONDISI GEOGRAFIS BETAWI

dikenakan hukuman berupa penyitaan harta Benda. Hal ini menurut Abdul Aziz dikarenakan “…Orang-orang Belanda menganggap Islam sebagai musuh dan juga tidak sesuai dengan rencana mereka untuk membangun kota yang diharapkan mirip dengan kota mereka sendiri di Amsterdam atau Utrecht …” 8 Larangan tersebut mulai melonggar ketika memasuki abad ke-18 M, sehingga muncul lah masjid-masjid di wilayah kota seperti; masjid al-Makmur yang terletak di Jalan Kebon Kacang Tanah Abang, Jakarta Pusat. berdiri pada tahun 1704 M. kemudian masjid al-Mansur, masjid ini sebelumnya bernama masjid Sawah Lio, terletak di Jalan Sawah Lio Jembatan Lima, Jakarta Barat. berdiri pada tahun 1717 M. Lalu menyusul masjid Luar Batang yang terletak di Jalan Luar Batang V Pasar Ikan, Jakarta Utara. berdiri pada tahun 1739 M. Kemudian masjid kampung baru yang terletak di Jalan Bandengan Selatan, Jakarta Utara. berdiri pada tahun 1744 M. Menyusul kembali masjid an-Nawier masjid Pekojan yang terletak di Jalan Raya Pekojan, Jakarta Barat. berdiri pada tahun 1760 M. Kemudian tidak jauh dari situ berdiri masjid Tambora di Glodok, Jakarta Barat pada tahun 1761 M, berbarengan dengan masjid Angke yang didirikan di Kampung Rawa Bebek, Jakarta Barat, ditahun yang sama yakni, pada tahun 1761 M. Menyusul kembali masjid Kebon Jeruk, Jakarta Barat. berdiri pada tahun 1786 M. dan masjid al-Mukaromah didirikan di Kampung Bandan, Penjaringan, Jakarta Utara. pada tahun 1789 M. 9 Dengan semakin banyaknya masjid didirikan pada abad ke-18 M, maka akan semakin banyak pula sumber dan pusat penyebaran agama Islam yang terletak di dalam kota Batavia. Karena sebagaimana diketahui oleh khalayak 8 Ibid., h. 44. 9 Jamroni, “Masjid Bersejarah di Jakarta,” Majalah Al-Turas Vol. 12 No.2, Fakultas Adab dan Humaniora Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006, h. 98. umum, salah satu fungsi masjid selain tempat ibadah Shalat, juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, yang mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama Islam dan umumnya para pendiri dan pengurus masjid berprofesi sebagai guru agama sekaligus juru dakwah. Tidak hanya di masjid saja, tapi mereka juga mengajar di rumah mereka sendiri atau bisa juga mengajar di masjid-masjid kampung lain, karena adanya undangan-undangan untuk mengajar, sebagaimana yang terjadi di Jakarta sekarang-sekarang ini. Seiring berjalannya waktu, maka pada pertengahan abad ke-19 M, perkembangan dakwah Islam di Batavia menjadi meningkat, ditandai dengan muncul sejumlah ulama-ulama terkemuka, yang pada umumnya mereka adalah para ulama yang dididik di masjid-masjid di Batavia yang pada kemudian melanjutkan menuntut ilmu ke Tanah Suci, kemudian kembali lagi ke Tanah Air untuk menyebarkan ilmu agama yang mereka dapat. Bukan hanya itu saja, mereka juga mengobarkan semangat anti penjajah pada masyarakat Batavia melalui fatwa-fatwa yang mereka keluarkan. Hal ini sebagaimana umumnya yang dilakukan para Haji di wilayah lain Nusantara yang sama pernah menetap cukup lama menuntut ilmu di Tanah Suci. Perkembangan penyiaran Islam semakin intensif ketika pada penghujung abad ke-19 M hingga memasuki awal abad ke-20 M. Jaringan intelektual ulama di Batavia pada abad-abad ini mengambil peranan yang penting. diantara Tokoh- Tokoh ulama tersohor yang cukup menonjol pada masa itu ialah Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya 1822-1913 yang dikenal sebagai mufti Batavia. Terlepas dari hubungan dekatnya dengan Snouck Hurgronje dan pemerintah kolonial serta sikapnya yang berseberangan dengan gerakan modern Islam yang muncul kemudian. Sumbangan keilmuannya serta peranannya dalam penerbitan risalah-risalah keislaman cukup lah besar. Ia memiliki banyak murid yang meneruskan tradisi keilmuan di Batavia, diantaranya adalah Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi 186970-1968 yang kemudian mendirikan majelis taklim di Kwitang, Jakarta Pusat. Majelis taklim yang diadakan setiap hari Ahad pagi itu berkembang pesat dan dihadiri banyak orang hingga saat ini. Habib Ali al-Habsyi pun memiliki banyak murid di Betawi diantaranya; KH. Abdullah Syafei, pendiri majelis taklim Asyafiiyah, KH. Tohir Rohili, pendiri majelis taklim Tahiriyah, serta KH. Abdul razak Makmun dan KH. Zayadi. Para ulama ini kemudian melanjutkan tradisi keilmuan di Batavia sebagaimana yang dilakukan gurunya, sehingga majelis-majelis taklim banyak bermunculan di penjuru Jakarta. 10 Di samping berkembangnya majelis taklim yang bercorak tradisional, Batavia juga menjadi salah satu pusat pergerakan Islam yang penting di awal abad ke-20. Jamiat Khair, merupakan sebuah organisasi dan juga sekolah modern Islam pertama di Indonesia yang didirikan di Batavia. Organisasi Jamiat Khair berdiri pada tahun 1901 M 11 , sementara sekolahnya berdiri pada tahun 1905 M. 12 Walaupun organisasi yang didirikan oleh kalangan keturunan Hadhrami ini mengalami perpecahan dan kemunduran, tetapi gerakan- gerakan modern Islam lainnya terus bermunculan dan memainkan peranan penting dalam proses kemerdekaan Indonesia. 10 Rakhmad Zailani Kiki, ISLAM IBUKOTA: dari Kramtung hingga ke Brussels Jakarta: Jakarta Islamic Center, 2009, h. 200. 11 Natalie Mobini Kesheh, The Hadhrami awakening, community and identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942 New York: Cornell Southeast Asia Program Publications, 1999, h. 36. 12 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet 8 Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996, h. 68. Kemudian setelah kemerdekaan, nama Batavia telah berganti menjadi Jakarta. meskipun begitu warna Islam masih terlihat jelas di berbagai belahan Jakarta ketika itu, bahkan hingga sekarang ini. Masjid-masjid dengan pengajian dan majelis-majelis taklimnya serta suara adzan yang bersahutan di setiap waktu shalat masih menjadi ciri khas kota Jakarta. Ekspresi Islam juga terlihat pada sekitar ratusan nama jalan di Jakarta sekarang ini yang menggunakan nama-nama haji tertentu. 13 Walaupun kota ini sudah berusia ratusan tahun dan semakin padat oleh penduduk, Islam tampaknya tak jua memudar dan menjadi senja di ufuk kota Jakarta. 13 Kees Grijns and Peter J.M, Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis Leiden: KITLV Press and Banana. 20002007, h. 17.