Dalam Bidang Keagamaan PERANAN ORANG-ORANG ARAB DI BETAWI 1900-1942

Kemudian ada dua ulama Arab di Betawi yang juga tidak kalah terkenalnya di lingkungan masyarakat Betawi mereka adalah al-Habib Ali bin Husein al-Atthas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur dan al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. Keduanya merupakan rekan Dakwah al- Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, hampir disetiap kesempatan ketiganya berkumpul dalam setiap acara-acara pengajian, pertemuan rapat ataupun sidang- sidang penting yang menyangkut kemaslahatan umat, baik yang diselenggarakan oleh mereka masing-masing, pejabat pemerintahan maupun oleh masyarakat Betawi pada umumnya. Sehingga ada sebagian masyarakat Betawi menyebut ketiganya sebagai ulama Tiga Serangkai Betawi, bukan saja karena eratnya hubungan kedekatan mereka bertiga, tetapi juga karena hampir semua ulama Betawi yang pernah belajar dengan Habib Ali Kwitang, juga belajar kepada Habib Ali Bungur dan Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. 15 Demikianlah masih ada banyak lagi dari beberapa komponen masyarakat Arab imigran ataupun peranakan, terutama dari kalangan ulama seperti Syaikh, Sayyid atau Habaib yang datang secara khusus untuk mendakwahkan Islam kepada penduduk Nusantara ataupun mereka yang sengaja datang disamping menjalin bisnis perdagangan, juga ingin ikut serta membantu tersyiarnya ajaran agama Islam, khususnya di tanah Betawi. Cara mereka menyampaikan ajarannya pun beragam, ada yang menggunakan metode ceramah, pendekatan budaya, dan ada pula yang menggunakan metode pengajaran salafiyah atau halaqah. Khusus yang menggunakan metode terakhir ini biasanya diperuntukan bagi penuntut yang ingin 15 Ahmad Fadli HS, ULAMA BETAWI: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20 Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011, h. 70 mendalami ilmu keagamaan. Dan sesuai dengan metode yang digunakan, pengajaran yang mereka lakukan itu ada yang bersifat massal dan ada pula yang bersifat khusus, bahkan ada yang mengajar secara privat. 16 Adapun tempat mereka untuk menyampaikan ajarannya pun beragam, ada yang di rumah-rumah, di langgar, mushalah, masjid-masjid, majelis taklim ataupun madrasah-madrasah yang mereka dirikan. Hingga kini diberbagai tempat di Betawi semakin banyak pengajian-pengajian yang dipimpin oleh orang-orang Arab Hadhramaut, yang memegang peranan penting dalam mencetak ulama dan memperkukuh dakwah Islamiyah di tanah Betawi.

C. Respon Pemerintah Belanda Terhadap Peran Komunitas Arab di Betawi

Sebagaimana telah diketahui, semenjak abad ke-19 M hingga memasuki awal abad ke-20 M kondisi sosial di Betawi telah sangat ramai dikunjungi oleh para imigran-imigran, khususnya imigran Arab yang mayoritas mereka berasal dari kawasan Arab Selatan atau lebih tepatnya negeri Hadhramaut. Beberapa pakar sejarah sepakat ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa para imigran tersebut dapat bermigrasi secara besar-besaran ke wilayah Nusantara khususnya ke Tanah Betawi ini: 1. dibukanya Terusan Suez di Mesir dan terciptanya kapal uap, yang membuat perjalanan laut menjadi lebih singkat. 2. kondisi Geografis negeri Hadhramaut yang gersang ditambah lagi dengan keadaan ekonominya yang sedang terpuruk. 3. adanya kebijakan ekonomi pemerintah Hindia-Belanda yang menjadikan kaum minoritas Arab dan Cina sebagai perantara perdagangan Internasional. 16 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 2002, h. 144. Walaupun sebagian besar dari para imigran ini datang ke Nusantara bermotifkan memperbaiki keadaan ekonominya dengan berdagang, sebagaimana yang dinilai oleh para kalangan orientalis, Namun Faktanya, ada beberapa komponen masyarakat Arab terutama dari kalangan ulama seperti Syaikh, Sayyid atau Habaib datang secara khusus untuk mendakwahkan Islam kepada penduduk Nusantara. Memang tidak mudah untuk memisahkan antara para pedagang dan pedakwah, karena keduanya sering menjadi bagian integral dalam kehidupan mereka. Para pendakwah biasanya juga berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan membiayayai perjuangan dakwah mereka, sementara para pedagang atau para pengusaha tidak sedikit dari mereka yang ikut pula memberikan kontribusi bagi perkembangan Islam di Nusantara, Khususnya di tanah Betawi ini, sebagaimana yang telah di jelaskan di atas. Terlepas dari permasalahan motif kedatangannya, membanjirnya arus migrasi besar-besaran orang-orang Hadhrami dan berasimilasinya orang-orang Hadhrami secara penuh dengan penduduk pribumi, dengan ditambah lagi peran mereka dalam bidang perdagangan dan keagamaan, hal ini telah menjadi perhatian khusus pemerintah Hindia-Belanda yang berkuasa pada saat itu, oleh karenanya dari jauh-jauh hari pemerintah Hindia-Belanda menetapkan sebuah aturan system yang membagi masyarakat Betawi berdasarkan ras atau bangsanya Wijken Stensel di tempat-tempat tertentu dan juga kewajiban membawa surat jalan apabila hendak berpergian Passen Stelsel. 17 Hal ini diperkuat oleh apa yang dinyatakan Snouck Hurgonje, “…Seandainya undang-undang kita tidak 17 Gobee dan Adriaanse, Ambtelijke adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889- 1936‟s, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgroje semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936, vol. IX, dalam surat kabar Ma’lumat, Betawi, 30 Agustus 1899 Jakarta: INIS, 1990, h. 1663-1665. membatasi kebebasan gerak orang Hadramaut itu, imigran mereka ke Hindia pastilah lebih banyak daripada sekarang...” 18 Adanya system peraturan tersebut, tentunya sangat menyusahkan sebagian besar orang Hadhrami yang dikenal sebagai pedagang yang memiliki mobilitas yang tinggi dan gigih dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Akibatnya, timbul rasa ketidakpuasan masyarakat Arab terhadap pemerintah Hindia-Belanda, yang pada kemudian rasa ketidakpuasan ini berakumulasi dan mengkristal menjadi pembentukan kesadaran baru sebagai “bangsa Arab”, yaitu, kesadaran bahwa mereka sama-sama menjadi objek penindasan system kolonial lantaran kekhasan mereka sebagai bangsa Arab yang menyatakan diri memiliki jiwa kepemimpinan alami. Meskipun demikian, kesadaran baru ini tidak mengesampingkan loyalitas mereka kepada Islam. dalam artian apa pun yang akan menjadi kepentingan orang Arab, akan juga manjadi kepentingan umat muslim secara keseluruhan. 19 Dan untuk memajukan kepentingan-kepentingan mereka, orang Arab menyampaikan keluhannya kepada para konsul Turki, yang sejak tahun 1883 M telah ditempatkan di Batavia. 20 Dari perspektif diatas inilah, Snouck menganalisis adanya kedekatan bangsa Arab dengan gerakan Pan-Islamisme yang sedang berkembang di Timur Tengah, khususnya yang dibawa oleh konsulat Turki yang berada di Batavia. Oleh karena itu, untuk menghindari sesuatu yang di inginkan, Snouck memberikan nasehat kepada Gubernur Jenderal Belanda agar melakukan penghapusan 18 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Kumpulan Karangan C. Snouck Hurgronje, vol. IX Jakarta: INIS, 1993, h. 100. 19 Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia, Terj. Ita Mutiara dan Andri Jakarta: Akbar. 2007, h. 34-35. 20 Kees Grijns and Peter J.M, Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis Leiden: KITLV Press and Banana. 20002007, h. 156. melunakannya secara bertahap dua peraturan yang diskriminatif di atas pada tahun 1917 M dan akhirnya dapat dihapus pada tahun 1919 M. Disamping itu, sebelumnya ia juga sempat mendesak pemerintah Hindia-Belanda agar segera mengawasi secara ketat aktivitas orang Hadhrami bahkan merekomendasikannya agar wilayah Hindia-Belanda ditutup bagi para imigran Arab. 21 Sebagai gantinya dari penghapusan kebijakan lama, Snouck menawarkan kepada pemerintah Hindia-Belanda berupa konsep politik Asosiasi-Kebudayaan, yakni, sebuah strategi dimana nilai-nilai Barat dituangkan melalui media pendidikan dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri Eropa. Dengan perspektif seperti inilah, Snouck berkeyakinan dapat meneteralisir menyebarnya virus Pan-Islamisme di wilayah Hindia-Belanda dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen. Dengan cara ini pula Snouck berkeyakinan, bahwa umat Muslim di wilayah Hindia-Belanda dapat berkoeksistensi dengan pemerintah Hindia-Belanda, selama praktek-praktek keagamaanya tidak diganggu dan nilai-nilai sosial Islam di hormati. 22 Namun demikian, konsep-konsep Snouck diatas tidak seluruhnya dapat dijalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda, sehingga dalam penerapannya tidak seluruhnya dapat mencapai hasil yang maksimal. Bahkan menurut hemat penulis bisa dikatakan gagal, sebab usaha pemerintah Hindia-Belanda ingin menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang modern dan terbaratkan melalui politik asosiasi ini, justru malah menjadi pisau bermata dua dikemudian hari, di satu sisi memang berguna dalam membantu administrasi pemerintahan kolonial di tanah jajahan, 21 Gobee dan Adriaanse, Ambtelijke adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889-19 36‟s, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgroje semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936, vol. IX, dalam Surat Snouck kepada Gubernur Jenderal Belanda, 28 Juli 1904 di Batavia. h. 1688-1702. 22 Aqieb Suminto, Politik Islam Hindia-Belanda Jakarta: LP3ES, 1986, h. 39-44. tatapi di sisi lain malah memuculkan ideologi Nasionalisme yang diadopsi dari Barat, sehingga lahir tokoh-tokoh Nasionalis penting yang menentang pemerintah Hindia-Belanda. Oleh karenanya, apa yang ditakutkan oleh Snouck akan ancaman Pan-Islamisme di Indonesia sebenarnya tidak terbukti di abad ke-20 ini. Justru, acaman itu malah datang dari ideologi-ideologi Barat –Seperti Nasionalisme dan Komunisme- itu sendiri, yang diadopsi oleh tokoh-tokoh penting Indonesia, khususnya yang mendapatkan pendidikan Barat. karena dengan ideologi ini, Belanda berhasil terusir dari Bumi Indonesia. Disamping itu, dengan adanya politik asosiasi ini telah melahirkan tokoh- tokoh Arab penting, khususnya kaum peranakan yang memiliki kesadaran akan kedudukannya ketika itu sebagai orang Indonesia yang memiliki cita-cita ideal sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yakni, kemerdekaan Indonesia, walaupun kenyataannya bahwa negeri Hadramaut tetap mereka akui sebagai tanah nenek moyang mereka. Oleh karenanya, pada Tahun 1934 M berdiri sebuah organisasi yang bernama Persatuan Arab Indonesia PAI 23 yang digagas oleh A.R Baswedan dkk, yang kemudian pada tahun 1940 M, PAI merubah diri menjadi sebuah partai politik yakni Partai Arab Indonesia dan pada tahun 1941 M, PAI masuk menjadi anggota GAPPI Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia yang menuntut Indonesia berparlemen. 24 23 PAI merupakan sebuah organisasi yang digagas oleh para pemuka keturunan Arab yang berkonferensi di Semarang, sebagai suatu langkah untuk mengakhiri pertikaian panjang dikalangan masyarakat Arab Indonesia. dalam hal ini antara kalangan Wulaiti dengan Muwallad dan alawi dengan al-Irsyad atau Golongan Sayyid dengan non-Sayyid. Meskipun berdirinya PAI ini masih menuai Pro dan Kontra, namun, dalam perjalanannya mereka dapat saling memahami dan menyadari akan cita-cita bersama untuk mendirikan sebuah Negara Indonesia yang merdeka bersama para tokoh-tokoh pergerakan Nasional. Kalangan pergerakan Nasional pun pada mulanya bersifat ragu-ragu, namun kemudian berubah mendukung setelah melihat keseriusan komunitas Arab dalam merealisasikan cita-citanya. 24 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, h. 165-167.