Persebaran Orang-Orang Arab di Betawi

merupakan raja pertama di Hadramaut. Kedua, suku al-Yafi, keturunan Yafi bin Himyar. Suku ini terbagi dalam tiga anak suku dan family al- Qa’aithi merupakan kepala suku Yafi yakni, penguasa al-Syihr dan beberapa kota lain. 16 4. Golongan Da’fa Jamak dari dhaif, merupakan sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang merdeka yang tinggal di kota-kota dan desa, yang bukan anggota suatu suku dan tidak pula termasuk Syaikh ataupun Sayyid. Mereka terdiri dari para pedagang, tukang, pengrajin, buruh, dan pelayan. Mereka dipandang sebagai kalangan rendah, setingkat di atas para budak. 5. Golongan Abid Jamak dari abd yang artinya hamba atau budak, di Hadramaut pada umumnya kaum budak ini berasal dari Somalia dan Nudia, yang pada kemudian kebanyakan lahir di Hadramaut. Nasib mereka disana sama sekali tidak sama dengan budak-budak yang berada di Eropa dan Amerika, yang dipekerjakan dengan paksa, bahkan dirantai. Karena ketentuan hukum Islam mereka di Hadramaut diperlakukan sebagai anggota rumah tangga. budak-budak Hadramaut semuanya beragama Islam. Mereka tidak memakai nama family, tetapi biasanya memakai julukan. Banyak diantara keturunan bekas budak yang kemudian merantau ke berbagai tempat termasuk ke Nusantara. 17 Diantara ke lima golongan di atas dalam hubungannya dengan aktivitas dakwah Islamiyah di Nusantara khususnya di Betawi ialah golongan Sayyid dan golongan Syaikh, keduanya banyak memainkan peran dalam bidang keagamaan, 16 G.F Pijper, Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950, Terjemahan, Tudjimah dan Yessy Augusdin, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, h. 23-27. 17 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 47. tetapi golongan Sayyid jauh lebih menonjol ketimbang golongan Syaikh. 18 Para Sayyid sangat dihormati bukan hanya karena dipandang keturunan Nabi yang sudah selayaknya menerima penghormatan, melainkan juga karena mengingat jasa kelompok ini yang sejak lama sudah terkenal sebagai penyebar Islam dan sumber kader ulama. 19 hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Van den Berg dalam bukunya yang berjudul “Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien” yang dikutip sekaligus diterjemahkan oleh Alwi bin Thahir Al-Haddad. Ia mengatakan, “…Adapun hasil nyata dalam penyebaran agama Islam adalah dari para SayyidSyarif. Dengan perantara mereka tersebarlah Islam di antara para sultan-sultan Hindu di Jawa dan yang lainnya. Walaupun ada orang- orang Arab Hadramaut selain mereka, mereka tidak mempunyai pengaruh seperti itu. Hal ini disebabkan karena mereka adalah keturunan dari pembawa ajaran Islam Nabi Muhammad …” 20 Sebagaimana telah diketahui bahwa, para Sayyid di Betawi hampir tidak ada yang bekerja dalam bidang perdagangan dan industri, juga tidak ada dari mereka yang menjadi petani. Mereka lebih pada memegang peran dalam bidang keagamaan dan pemerintahan yang dianggap sebagai suatu kedudukan yang terhormat, kalau pun ada mereka hanya jadi tuan tanah atau pengawas saja. dan hanya orang Arab peranakan yang mau mengerjakan pekerjaan tangan. 21 Berbeda dengan anggota suku lainnya yang tidak segan-segan menjadi pedagang eceran atau penjaja sekali pun. Anggota qabili gemar mengumpulkan uang di tempat 18 Abdul Aziz. Islam dan Masyarakat Betawi Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 2002, h. 144. 19 Ibid., h. 39 20 Alwi Bin Thahir Al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh Jakarta: PT. Lentera Basritama. Cet. 3. 1997, h. 52. 21 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, h.135. rantauan, setelah uangnya terkumpul walaupun dengan jumlah yang tidak begitu banyak mereka segera kembali ke tanah asalnya Hadramaut, begitu uangnya habis mereka mulai lagi dengan prosedur yang sama. 22 Sedangkan sebagian besar orang Arab di Nusantara adalah anggota suku qabili disusul golongan menengah kecil dan Sayyid. 23 Oleh karena itu, menurut analisa penulis bahwa, “tidak semua orang Arab yang datang ke Nusantara itu, hanya bertujuan untuk berdagang ataupun untuk mencari keuntungan materi semata.” 24 Orang-orang Arab ini kemudian membentuk koloni diberbagai kota di Indonesia, salah satunya di Batavia atau lebih tepatnya di wilayah Pekojan. Awalnya tempat ini di dominasi oleh umat muslim yang berasal dari Gujarat, Coromandel, dan Malabar, yang terletak di India. Namun, karena semakin banyak pendatang Arab dari Hadramaut, -apalagi ketika telah adanya transportasi kapal uap dan dibukanya terusan suez 1869 M-, tempat ini kemudian menjadi di dominasi oleh para pendatang yang berasal dari Hadramaut. oleh karena itu pada tahun 1844 M pemerintah Hindia-Belanda mengharuskan adanya kepala koloni, yang ketika itu dinamai kapiten atau kapten Arab atau Leuitenant Arab. kepala koloni ini dipilih oleh Bupati setempat dan pengangkatannya dilakukan oleh Residen berdasarkan pertimbangan penasehat urusan dalam negeri. Pertimbangan dalam pengangkatan kepala koloni diantaranya adalah harus seorang yang dikenal baik di kalangan pemerintah setempat maupun di kalangan 22 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 123. 23 Ibid., h. 91. 24 Mengambil teori Max Weber di dalam bukunya, Die Protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus, “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”, diterjemahkan oleh Yusup Priyasudiarja, Surabaya: Pustaka Promethea, 2000 h. 158- 159. Ia mengatakan: “…tingkah laku ekonomi sangat dipengaruhi oleh ajaran agama…”. Jadi jelas bahwa perilaku ekonomi para pendatang Hadhrami itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang agamanya dan Van den berg penulis rasa tidak memahami hal ini. orang Arab itu sendiri, kemudian status ekonominya baik dan yang terpenting dapat diajak bekerjasama dengan pemerintah. Adapun tugas dari kepala koloni tersebut adalah memberi penjelasan mengenai keputusan dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada masyarakat Arab. selain itu juga memberikan data-data yang dibutuhkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda terkait dengan kependudukan orang-orang Arab di Nusantara. 25 Meski wilayah Betawi-Pekojan baru pada tahun 1844 M dihuni oleh kelompok Hadhrami, tetapi dikarenakan ketika itu menjadi tempat transit, maka populasinya berkembang dengan cepat, dengan sentral koloninya di wilayah Krukut, Petamburan, dan Tanah Abang, tentunya dengan dibawah pengawasan yang ketat pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Barulah sampai pada penghapusan system pemukiman pada tahun 1919 M, sebagian besar orang Arab di Pekojan yang sebelumya juga ada yang tinggal di Krukut, Petamburan, dan Tanah Abang, kemudian menyebar ke daerah-daerah sekitarnya seperti; Sawah Besar, Jatinegara, Tanah Tinggi, dan Condet. Sekarang hampir tidak tersisa orang Arab di Pekojan, orang-orang Cina lah menjadi penduduk mayoritas disana.

C. Terbentuknya Komunitas Arab di Betawi

Kata komunitas Community berasal dari kata latin communire Communion yang berarti memperkuat. Dari kata ini dibentuk istilah communitas yang artinya persatuan, persaudaraan, umatjemaat, kumpulan bahkan masyarakat. 26 Menurut Selo Soemardjan sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, Ia meng atakan “…Komunitas adalah masyarakat yang bertempat tinggal disuatu wilayah dalam arti geografis dengan batas-batas tertentu dimana 25 Julianri, “Persatuan di kalangan Masyarakat Arab Indonesia,” Skripsi Sarjana Sastra Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Indonesia Jakarta, 1987, h. 13-14. 26 D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989, h. 56. faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar diantara para anggotanya, di bandingkan dengan penduduk di luar batas wilayah…” 27 Adapun yang menjadi ciri khas dari sebuah komunitas adalah adanya kesatuan hidup yang teratur, tetap dan bersifat territorial, serta memiliki unsur tanah daerah yang sama dimana tempat kelompok itu berada. 28 Dari penjelasan diatas, maka dapat dimengerti bahwa komunitas adalah kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah tertentu yang terikat rasa identitas bersama, dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya tentunya untuk mencapai tujuan bersama. Kaitannya dengan komunitas Arab di Betawi, bahwa pada awalnya mereka datang ke Betawi secara bertahap tidak sekaligus, mengikuti kondisi sosial dan politik negaranya, ada yang datang sendiri-sendiri dengan menumpang kapal yang sedang melakukan pelayaran dan juga ada yang secara rombongan. Umumnya mereka datang dengan tidak membawa Istri atau anak-anak mereka, hal ini karena letak kepulauan Nusantara yang begitu jauh dengan daerah asal mereka dan hanya bisa ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan kapal layar, sehingga sangat beresiko bagi Istri atau anak-anak mereka jika mereka membawanya. Oleh karenanya hanya kaum laki-laki saja memberanikan diri hijrah ke Nusantara. Puncak dari migrasi mereka yaitu, pada akhir abad ke-19 M. Mayoritas dari mereka adalah berprofesi sebagai pedagang dan sebagian kecil dari mereka ada yang merangkap sebagai juru dakwah. Setelah sampai di tempat tujuan, sebagaimana layaknya para pedagang, mereka tidak segera kembali ke tempat asal mereka, disamping karena harus menunggu barang dagangannya habis dan dapat 27 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006, h. 133. 28 D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, h. 57. membawa barang dagangan baru, juga menunggu waktu pelayaran kembali yang bergantung pada musim. Hal ini yang pada akhirnya memaksa mereka untuk bertempat tinggal berbulan-bulan di tanah perantauan. Selama tinggal diperantauan mereka saling berinteraksi dengan penduduk setempat, tidak jarang pula penduduk setempat yang pada akhirnya berhasrat menikahkan putri-putrinya kepada para perantau tersebut. Khususnya para pedagang Arab yang kaya-raya dan memiliki strata sosial yang tinggi seperti kalangan Sayyid. Dari pernikahan pasangan campuran ini lahirlah anak-anak keturunan Arab campuran yang disebut dengan peranakan Arab atau muwalad. dengan lahirnya anak-anak peranakan ini maka semakin bertambah banyak orang- orang Arab di Nusantara khususnya di Betawi, sehingga pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah peraturan yang mengharuskan setiap warga asing menempati tempat-tempat yang sudah ditentukan berdasarkan ras dan bangsanya. Begitupun juga aturan yang mewajibkan membawa surat apabila hendak berpergian. Dengan adanya peraturan seperti ini, orang-orang Arab yang sebelumya mereka hanya menikahi wanita-wanita pribumi, mereka beralih menjadi menikahi wanita-wanita dari etnis mereka sendiri, terutama terjadi pada keturunan pernikahan campuran generasi mereka. Maka bertambah besarlah jumlah mereka dan bertambah besar pula rasa kekerabatan mereka. Berdasarkan sensus yang diadakan pertama kali secara eksplisit tahun 1859 M, menyebutkan di keresidenan Batavia terdapat 312 orang Arab, sebagian besar tinggal di kota. Kemudian, pada tahun 1870 M jumlah mereka naik tiga kali lipat menjadi 952 orang. 29 Lima belas tahun kemudian tepatnya pada tahun 1885 29 Lihat Regeerings Almanak tahun 1859 dan 1870. M, keresidenan Batavia menampung 1.662 orang Arab, 1.175 diantaranya lahir di Hindia-Belanda. 30 Kemudian, diantara rentang tahun 1900 M sampai dengan 1930 M telah terjadi peningkatan kembali yang sangat signifikan, bertambah dari 2.245 menjadi 5.231 orang Arab. 31 Dengan melihat sensus diatas yang di mulai dari tahun 1859 M hingga tahun 1930 M, dengan jumlah yang terus meningkat dan juga semakin besarnya rasa kekerabatan mereka, hal ini menunjukan bahwa minoritas Arab telah berkembang menjadi sebuah komunitas yang mapan, bahkan dari segi jumlah telah mengungguli minoritas Arab di Surabaya, yang sebelumnya merupakan komunitas Arab terbesar di Nusantara. 30 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 68. 31 Kees Grijns and Peter J.M. Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis, h. 153. 47

BAB IV PERANAN ORANG-ORANG ARAB DI BETAWI 1900-1942

A. Dalam Bidang Sosial

Peranan orang-orang Arab di Betawi dalam bidang sosial sudah ada sejak pertama kali mereka menginjakan kakinya disini, namun sifatnya lebih dan diarahkan kepada misi keagamaan. Salah satu buktinya adalah dengan adanya pendirian langgar, mushala ataupun masjid-masjid yang hingga sekarang bangunannya masih berdiri kokoh dan dapat kita saksikan, meskipun telah mengalami beberapa kali renovasi, namun beberapa bagian penting dari bangunan tersebut keasliannya masih tetap terjaga. Salah satu contohnya ialah masjid Luar Batang yang berdiri pada tahun 1739 M. Masjid yang terletak di tengah perkampungan bernama Luar Batang, Jakarta Utara ini, dahulunya merupakan sebuah mushalah yang digunakan selain tempat ibadah shalat, juga digunakan masyarakat setempat ataupun luas untuk menanyakan berbagai macam permasalah-permasalahan, baik yang berkenaan dengan masalah keagamaan ataupun sosial. Bukan hanya itu saja masjid ini pun digunakan sebagai salah satu tempat persinggahan orang-orang yang hendak melaksanakan ibadah haji dan pulang haji sebelum mereka kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. 1 Masjid ini karena sering ramai dikunjungi para peziarah dan sering terkena banjir karena letaknya di pinggir pantai, kemudian masjid ini direnovasi dengan diperluas dan ditinggikan lantainya. Karena itu proporsi bangunannya sedikit menghilang. 1 Jamroni, “Masjid Bersejarah di Jakarta,” Majalah Al-Turas Vol. 12 No.2, Fakultas Adab dan Humaniora Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006, h. 103.