Kehidupan Sosial-Keagamaan Masyarakat Betawi

Kemudian setelah kemerdekaan, nama Batavia telah berganti menjadi Jakarta. meskipun begitu warna Islam masih terlihat jelas di berbagai belahan Jakarta ketika itu, bahkan hingga sekarang ini. Masjid-masjid dengan pengajian dan majelis-majelis taklimnya serta suara adzan yang bersahutan di setiap waktu shalat masih menjadi ciri khas kota Jakarta. Ekspresi Islam juga terlihat pada sekitar ratusan nama jalan di Jakarta sekarang ini yang menggunakan nama-nama haji tertentu. 13 Walaupun kota ini sudah berusia ratusan tahun dan semakin padat oleh penduduk, Islam tampaknya tak jua memudar dan menjadi senja di ufuk kota Jakarta. 13 Kees Grijns and Peter J.M, Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis Leiden: KITLV Press and Banana. 20002007, h. 17. 32

BAB III ORANG-ORANG ARAB DI BETAWI 1900-1942

A. Kedatangan Orang-Orang Arab di Betawi

Orang Arab merupakan golongan minoritas terpenting kedua di Batavia setelah Cina. Hampir semua orang yang berasal dari dunia Arab dan tinggal di Indonesia berasal dari Hadramaut. Hanya sebagian kecil saja yang datang dari daerah Arab lain. Sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Van den Berg, bahwa sejak abad yang lalu kadang-kadang datang pula rombongan orang Arab dari Mekkah. Namun pada umumnya mereka dari golongan ekonomi yang rendah, yang mencari untung untuk diri sendiri dengan menjual air zam-zam, jimat dan lain-lainnya. Ada juga yang dikirim oleh Syaikh Haji Mekkah untuk mencari langganan bagi mereka. Kemudian Syaikh itulah yang nanti bertanggung jawab atas pengangkutan dan penginapan mereka, ia pula yang akan memberikan petunjuk mengenai ritual upacara ibadah haji di Tanah Suci dan tak pernah lupa untuk memeras para langganannya dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengatasnamakan agama. 1 Orang-orang Arab datang ke Nusantara lama sebelum orang-orang Barat Eropa datang ke Nusantara. Seperti telah diketahui, pada umumnya orang Arab di Nusantara berasal dari Hadhramaut. Mereka datang dalam jumlah besar maupun secara perorangan. Seorang penulis Siria bernama Shakib Arslan pada tahun 1972 M sebagaimana yang dikutip oleh G.F Pijper. Ia mengungkapkan bahwa, “…Orang Arab Hadhramaut mempunyai kegemaran untuk mengembara 1 L.W.C Van Den Berg, Le Hadra mout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jilid 3 Jakarta: INIS, 1989, h. 1-2. seperti orang Phunicia pada zaman dahulu. Pada masa sebelum Islam mereka mengembara menuju ke pantai Ethiopia, Somalia, Zanzibar, Kepulauan Nusantara dan menetap ditempat- tempat itu…” 2 sampai pada masa Islam pun mereka datang secara damai memenuhi wilayah-wilayah pesisir, mereka berinteraksi hingga berasimilasi dengan penduduk setempat. Kemudian pada saat Indonesia berada di bawah jajahan Belanda, wilayah pemukiman di Batavia dibagi menjadi tiga, sesuai dengan Indische Staat Regeling peraturan pendudukan kolonial Belanda, yaitu Europanen golongan Eropa, Vreemde Oosterlingen Timur Asing, Arab, India, dan Cina, dan Inlander pribumi. Sebelum diberlakukannya Wijken Stelsel peraturan pemukiman di awal abad ke-18 M, para pendatang Hadhrami ditempatkan di pemukiman yang telah ditentukan oleh pemerintah Hindia-Belanda, yakni di wilayah pantai berawa- rawa dengan lingkungan yang tidak sehat, bersama dengan etnis Benggali dan Khoja yang berasal dari India. Setelah Wijken Stelsel dicabut pada awal abad ke- 20, kelompok Hadhrami mulai menyebar mencari wilayah baru yang lebih sehat dan membentuk koloni, tidak sedikit dari mereka yang mendapat pangkat kehormatan. Pada awal abad ke-19 M, tercatat sekitar 400 orang Arab dan Moor tinggal di Batavia. Jumlah orang Arab secara eksplisit baru disebutkan pada tahun 1859 M, yakni 312 orang. Kemudian pada tahun 1870 M, jumlah mereka meningkat tiga kali lipat menjadi 952 orang. 3 Lima belas tahun kemudian tepatnya pada tahun 1885 M, keresidenan Batavia menampung 1.662 orang Arab, 1.175 2 G.F. Pijper, Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950, Terjemahan, Tudjimah dan Yessy Augusdin, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 Jakarta: UI-Press, 1985, h. 116. 3 Lihat Regeerings Almanak tahun 1859 dan 1870. diantaranya lahir di Hindia-Belanda. 4 Kemudian diantara rentang tahun 1900 M sampai dengan 1930 M telah terjadi peningkatan kembali yang sangat signifikan, bertambah dari 2.245 menjadi 5.231 orang Arab. Dengan melihat sensus yang di mulai pada tahun 1859 M hingga sensus berikutnya pada tahun 1930 M seperti yang telah disebutkan, hal ini menunjukan bahwa minoritas Arab telah berkembang menjadi sebuah komunitas yang mapan, kalau tadinya jumlah komunitas Arab terbesar terdapat di Surabaya, sejak sensus itu komunitas Arab terbesar beralih ke Batavia. 5 Kemudian puncak kedatangan orang-orang Arab dari Hadramaut itu sendiri diketahui terjadi sejak pembukaan Terusan Suez pada 1869 M. Menurut Huub de Jonge, Kedatangan mereka selain bertujuan untuk berdagang, ada juga yang bertujuan ingin menyebarkan ajaran agama Islam dengan menjadi Da’i atau Ulama, terutama golongan Sayyid yang merasa dirinya sebagai bangsawan agama yang sangat dihormati. Menurutnya “…Beberapa Sayyid melakukan perjalanan keliling sebagai da’i. Salah satu juru dakwah paling kondang adalah Sayyid Abubakr bin Abdullah al-Aydrus, cucu Sayyid Husein bin Abubakr al-Aydrus yang dimakamkan di masjid Luar Batang…” 6 Kaum pendatang ini diketahui umumnya adalah para laki-laki dan banyak dari mereka kemudian menikah dengan perempuan setempat, hingga menjelang akhir abad ke-19 M, mayoritas orang-orang Arab di Batavia ini tinggal di Pekojan dengan mengikuti aturan pemerintah Hindia-Belanda. Sebelumnya pada abad ke- 17 M hingga memasuki awal abad ke-19 M, tempat ini sudah dipenuhi oleh 4 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 68. 5 Kees Grijns and Peter J.M, Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis Leiden: KITLV Press and Banana. 20002007, h. 153. 6 Ibid., h. 154-155. pendatang dari Benggali, India, yang dikenal dengan sebutan orang Koja atau Moor. Namun, selama abad itu Jumlah pendatang Arab meningkat secara bertahap, sampai pada akhirnya Pekojan menjadi pemukiman mayoritas orang Arab menggantikan orang Koja dari Benggali, India. 7 Perjalanan mereka dari Hadhramaut ke Nusantara awalnya dilakukan dengan menumpang kapal kayu. Mula-mula mereka harus ke pelabuhan al- Mukalla atau al-Syihr, berlayar ke Malabar di India Selatan, dari sana ke Srilangka, lalu ke Aceh atau Singapura, kemudian menyebar ke Kepulauan Nusantara lainnya. Oleh karenanya, perjalanan mereka untuk sampai ke Nusantara bisa memakan waktu berbulan-bulan. Namun, sekitar tahun 1870-an, ketika telah ada jalur lalu lintas kapal uap dari Eropa ke Timur jauh, mereka sebagian lebih memilih menaiki kapal uap tersebut dan langsung menuju ke Kepulauan Nusantara ini dengan mudah dan lebih cepat, walaupun mereka harus membayar lebih mahal. 8 Pada mulanya orang-orang Arab ini hidup mengelompok secara sukarela dan mengikuti kebiasaan. Kemudian, pemerintah kolonial mengeluarkan aturan bahwa etnis-etnis tertentu dikelompokkan pada wilayah-wilayah tertentu dengan dibawah pengawasan yang ketat, hanya orang terpandang yang diberi izin untuk tinggal di lain wilayah, bahkan beberapa diantara mereka ada yang tinggal di tengah-tengah orang Eropa dan Indo-Eropa di pinggiran Krukut dan Tanah Abang, di rumah besar yang tak kalah bagus dengan kepunyaan orang-orang Barat. Meskipun begitu menurut Huub De Jonge, “…Banyak orang kelas bawah 7 Ibid., h. 152. 8 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 80. keturunan campuran berhasil menetap sering secara illegal di luar Pekojan …” 9 Sampai pada penghapusan system pemukiman pada tahun 1919 M, sebagian besar orang Arab di Pekojan yang sebelumya juga ada yang tinggal di Krukut, Petamburan, dan Tanah Abang, kemudian menyebar ke daerah-daerah sekitarnya seperti; Sawah Besar, Jatinegara, Tanah Tinggi, dan Condet. Sekarang hampir tidak tersisa orang Arab di Pekojan, orang-orang Cinalah menjadi penduduk mayoritas disana.

B. Persebaran Orang-Orang Arab di Betawi

Sebagaimana telah diketahui, sejak abad XVIII hingga akhir abad XIX tanah Betawi telah ramai dikunjungi oleh orang-orang Arab yang mayoritas berasal dari Hadramaut. Pada mulanya meraka hidup mengelompok secara sukarela dan mengandalkan berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun begitu, tidak serta merta dijadikan pula penilaian bahwa berdagang merupakan motivasi sekaligus tujuan mereka hijrah ke Nusantara. Sebagaimana yang dituduhkan oleh kalangan-kalangan orientalis seperti L.W.C van den Berg. 10 9 Ibid., h. 152. 10 L.W.C van den Berg di dalam karyanya yang berjudul: “Le Hadhramout Et. Les Colonies Arabes Dans L‟ Archipel Indien”, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, yang diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat. Jakarta: INIS, 1989. Pada Jilid ke-3 halaman 79, Ia mengatakan: “…Tak seorang Arab pun tiba di Nusantara hanya untuk bertujuan menyebarkan agama, kalaupun ada di antara mereka yang memegang posisi keagamaan sebagai qadi, imam, ataupun Da’i itu hanyalah untuk mengejar imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama...” Padahal di halaman berikutnya pada halaman 81, Ia mengatakan: “Jarang dijumpai orang Arab, apakah ia kaya atau miskin, yang membelanjakan seluruh pendapatannya. Menabung merupakan budaya bagi mereka dan fakta bahwa mereka pernah menikmati kemakmuran. Perlu pula dikatakan dengan angkat topi, bahwa begitu mereka menjadi kaya di Nusantara, mereka hampir tidak pernah melupakan anggota keluarga mereka di tanah air. Apabila mereka tidak membutuhkan bantuan, orang Arab itu akan menyumbangkan kelebihan uangnya kepada mesjid, sekolah atau ke yayasan keagamaan lain, bahkan ada yang mengirimkan uangnya kepada cedikiawan yang mereka hormati atau kepada sahabat yang lanjut usia.” Kemudian pada halaman 84 dan 87 Ia juga mengatakan: “…Orang Arab tidak menyukai kemewahan baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Seorang Arab yang telah memperoleh kekayaan jarang meneruskan usahanya dengan semua yang diperolehnya. Pada diri orang Arab tidak ada keinginan menjadi mulia seperti orang Eropa yang mendirikan rumah dagang besar yang tetap bereputasi baik meskipun para pendirinya sudah mengundurka n diri…”