Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

koloni mereka di bagian Timur Nusantara baru tiba pada tahun 1870 M. 7 Menurut statistik tahun 1885 M tercatat jumlah imigran Arab yang menetap di Indonesia mencapai 2.478 Jiwa 8 . Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Perjalanan orang Hadramaut ke Nusantara awalnya dilakukan dengan menumpang kapal kayu. Mula-mula mereka harus ke pelabuhan al-Mukalla atau al-Syihr, berlayar ke Malabar di India Selatan, dari sana ke Srilangka, lalu ke Aceh atau Singapura, kemudian menyebar ke Kepulauan Nusantara lainnya. Oleh karenanya, perjalanan mereka untuk sampai ke Nusantara bisa memakan waktu berbulan-bulan. Namun, sekitar tahun 1870-an, ketika telah ada jalur lalu lintas kapal uap dari Eropa ke Timur jauh, mereka sebagian lebih memilih menaiki kapal uap tersebut dan langsung menuju ke Kepulauan Nusantara ini dengan mudah dan lebih cepat, walaupun mereka harus membayar lebih mahal. 9 Kaum perantau ini meskipun tanpa banyak pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat hidup wajar dan cepat maju. 10 Sekitar abad XIX M, muncul orang- orang Hadramaut sebagai pedagang sukses di Palembang dan berbagai negeri pelabuhan di Utara pulau Jawa. 11 Di Jawa pada umumnya mereka mempunyai pemimpin dari kalangan mereka sendiri yang dikenal dengan sebutan kepala koloni, tanpa terkecuali juga di Betawi. Komunitas Arab di Betawi pada mulanya hanya bertempat tinggal pada wilayah khusus 12 yakni, Pekojan dan kebebasan 7 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jilid III Jakarta: INIS, 1989, h. 72. 8 Ibid., h. 68-70. 9 Ibid., h. 80. 10 Ibid., h. 80. 11 ANRI: Staadsblad van Nederlandsch-Indie 1816 nomer 47. 12 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, h. 121. bergerak aktivitas mereka pun awalnya hanya terkugkung dalam batas-batas tertentu, ini karena kebijakan dari pemerintah kolonial yang sedang berkuasa pada waktu itu yakni, dengan membagi masyarakat Betawi berdasarkan ras atau bangsanya Wijken Stelsel di tempat-tempat tertentu dan juga kewajiban membawa surat jalan apabila hendak berpergian Passen Stelsel. 13 Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ketika akan memasuki awal abad ke-20 M, mereka baru bisa bertebaran ke wilayah-wilayah lainnya yang berada di Betawi seperti; Krukut, Tanah Abang, Petamburan, Kwitang, Jatinegara, Condet dan sebagainya. Kemudian pada tahun 1901 M, penjajah Belanda menerapkan apa yang disebut dengan kebijakan Etis, dimana pemerintah kolonial memiliki tugas untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia di berbagai bidang salah satunya yang terpenting adalah di bidang pendidikan. Maka berdirilah sekolah-sekolah modern yang didirikan baik untuk kaum bangsawan ataupun orang-orang pribumi. Namun, banyak kalangan Arab dan muslim pribumi enggan menyekolahkan anak- anaknya di sekolah Belanda. Dalam situasi tekanan kolonial itulah, seorang tokoh alim ulama, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab dengan didukung pemuda Arab lainnya, berinisiatif mendirikan sebuah organisasi Modern yang bergerak di bidang keagamaan, sosial dan pendidikan yang bernama Jamiat Kheir, tahun 1901 M. 14 Namun, organisasi ini baru mendapat pengakuan secara hukum dari pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1905 M setelah melalui proses negoisasi yang cukup panjang. 13 Ibid., h. 142. 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, Cet.8, 1996, h. 68. Setahun kemudian tahun.1906 M diajukan kembali permohonan, kali ini mengajukan permohonan untuk membangun madrasah dan gedung pertemuan kepada pemerintah Hindia-Belanda, permintaan itu pun dikabulkan. Maka dalam bidang pendidikan berdirilah perguruan Islam Jamiat Kheir. 15 Bukan hanya mengajarkan agama, lembaga ini juga memberikan pendidikan umum. Disamping itu, organisasi ini juga mengadakan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan diantaranya; dengan mendirikan beberapa panti asuhan, Islamic center, perpustakaan, masjid, majelis taklim, percetakan, rumah sakit, dll. Dengan begitu kegiatan organisasi ini akhirnya menjadi meluas dan organisasi ini pun cepat dikenal oleh masyarakat luas, bukan saja karena kegiatan sosial-keagamaannya, juga karena organisasi ini banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam penting seperti; KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, HOS Tjokroaminoto pendiri Syarikat Islam, H Samanhudi pendiri dan tokoh Syarekat Dagang IslamSDI, H Agus Salim dan beberapa tokoh perintis kemerdekaan yang juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir. 16 Data tersebut membuktikan, bahwa organisasi ini terbuka untuk setiap muslim tanpa perbedaan asal usul, tetapi mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Pada tahun 1911 M, Jamiat Kheir mengundang tiga sarjana muslim terkemuka dari Arab untuk mengajar di madrasah yang didirikannya. Mereka diantaranya adalah Syaikh Muhammad Thaib dari Maroko, Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah dan yang terakhir, Syaikh Ahmad Soorkati dari Sudan. Mereka resmi bergabung dengan organisasi Jamiat Kheir pada bulan Oktober 15 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 143. 16 Hamid al-Gadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988, h. 108. 1911 M. 17 Akan tetapi, dikemudian hari mereka berselisih paham dengan anggota lain yang masih merupakan anggota Jamiat Kheir yakni, dengan kalangan Sayyid. Permasalahan mereka mengenai pengunaan gelar Sayyid di depan nama dan pernikahan Kafa’ah Kesetaraan Nasab Syarifah. 18 Kalangan Sayyid menganggap hanya mereka yang berhak menggenakan gelar tersebut di depan namanya dan Syarifah hanya boleh menikah dengan kalangan Sayyid. Adapun dari kalangan Syaikh menganggap bahwa, setiap orang berhak menggunakan gelar Sayyid di depan namanya, karena menurutnya secara harfiah kata Sayyid berarti tuan, yang digunakan sebagai panggilan penghormatan dan Syarifah boleh menikah dengan yang bukan Sayyid, karena dalam Islam pada dasarnya semua manusia itu sama di hadapan Tuhan, yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya hanyalah tingkat keimanan dan ketaqwaannya. Akibatnya pada tahun 1914 M, Syaikh Ahmad Surkati memilih meninggalkan al-Kheir, lalu menbentuk organisa si baru yang bernama Jam’iyyat al-Ishlah wa Irsyad al-Arabiyah 19 dan baru disahkan kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda Pada Tahun 1915 M. Kemudian, muncul berbagai inisiatif untuk mempersatukannya kembali dari berbagai kalangan. Bahkan Raja Arab Saudi, Abdul Aziz Ibn Saud dan juga ulama sekaligus penulis Arab terkenal, Amir Syakib Arselan pernah ikut turun tangan untuk mempersatukannya kembali, tetapi semuanya gagal. 20 Kegagalan ini yang kemudian dinilai oleh Hamid al-Gadri 21 17 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 144. 18 Ibid., h. 144. 19 Ahmad Ibrahim Abushouk, Al- Man¯ar and the Hadhramı Elite in the Malay- Indonesian World: Challenge and Respons, United Kingdom: Journal Of The Royal Asiatic Society, 2007, h. 315. 20 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 162. 21 Hamid al-Gadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, h. 115. tidak mustahil ada kaitannya dengan politik kolonial Belanda yang selalu mencoba mengurangi pengaruh Arab Islam di Indonesia. 22 Pertikaian ini baru dapat teratasi ketika didirikanya sebuah organisasi yang bernama Persatuan Arab Indonesia PAI pada Tahun 1934 M, yang digagas oleh A.R Baswedan setelah melalui negoisasi yang panjang dengan kedua kelompok tersebut. 23 Organisasi ini bukan saja berhasil mempersatukan kembali kedua kelompok tersebut, namun juga telah memberi kesadaran kepada peranakan Arab akan kedudukannya ketika itu sebagai orang Indonesia yang memiliki cita-cita ideal sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yakni, kemerdekaan Indonesia, walaupun kenyataannya bahwa negeri Hadramaut tetap mereka akui sebagai tanah nenek moyang mereka. Oleh karenanya pada tahun 1940 M, PAI merubah diri menjadi sebuah partai politik yakni, Partai Arab Indonesia dan pada tahun 1941 M, PAI masuk menjadi anggota GAPPI Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia yang menuntut Indonesia berparlemen. 24 Melihat pemaparan diatas begitu menarik sekali, tidak dapat dinafikan mengingat betapa besarnya usaha dan peranan komunitas Arab-Hadhrami bagi bangsa Indonesia, tidak hanya dalam bidang politik dan perdagangan saja, namun juga dalam bidang sosial-keagamaan seperti yang telah jelaskan di atas. meskipun 22 Penulis sependapat dengan Hamid al-Gadri. Asumsi Penulis, ada kemungkinan pemerintah kolonial Belanda bermain dibalik peristiwa ini dengan strategi politiknya yakni Devide et Impera. Alasan pertama, pemerintah kolonial Belanda begitu cepatnya mengesahkan berdirinya organisasi al-Irsyad, tidak seperti Jamiat Kheir yang mendapatkan pengesahan setelah melalui proses negoisasi yang cukup panjang dengan pemerintah kolonial Belanda 1901-1905. Alasan kedua, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1933 pernah mengabaikan permintaan al-Irsyad tentang keberatan terhadap pengunaan gelar Sayyid bagi kalangan tertentu, dalam hal ini kaum Alawi. Penulis menduga, ini sengaja dilakukan agar perselisihan antara kedua golongan tersebut semakin meluas dan tentunya, ini akan menimbulkan citra negatif di kalangan masyarakat pribumi. Namun, upaya pemerintah kolonial Belanda untuk memisahkan orang Arab dari masyarakat Indonesia dapat digagalkan dengan didirikannya organisasi PAI Persatuan Arab Indonesia. 23 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 163-165. 24 Ibid., h. 166-167. singkat, tetapi setidaknya ini cukup membuktikan bahwa Hijrahnya mereka sejak dahulu dari Hadramaut ke tempat yang jaraknya ribuan Mil dengan menyeberangi lautan tidaklah bertujuan kecuali, untuk menyiarkan agama Islam dan membantu umat Islam Indonesia terlepas dari belenggu para penjajah. Lalu mengapa sebagian kalangan orientalis Barat seperti C. Snouck Hurgronje, K.A. Steenbrink, dan L.W.C Van den Berg. Mereka beranggapan bahwa, motivasi utama orang-orang Arab-Hadhrami hanyalah pencarian harta semata atau hanya sekadar berdagang. 25 Kalau pun ada di antara mereka yang memegang posisi keagamaan sebagai qadi, i mam, ataupun Da’i itu hanyalah untuk mengejar imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama. 26

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah Dengan melihat latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu membatasi pembahasan dalam penelitian ini, agar pembahasan tidak melebar sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang maksimal. Oleh sebab itu, mengingat mayoritas para imigran maupun peranakan Arab yang berada di Betawi adalah berasal dari Negeri Hadramaut dan juga mereka yang paling banyak memiliki peran di Nusantara khususnya di Tanah Betawi, dengan demikian 25 Menurut Asumsi penulis, saya kira hal tersebut tidak terlepas dari kedudukan mereka sebagai pegawai pemerintah kolonial, dimana tugas mereka adalah berusaha menghilangkan pengaruh Arab Islam dari masyarakat pribumi guna mempertahankan jajahannya di bumi Nusantara. Selain itu penulis juga menduga kenapa mereka berpandangan demikian, hal ini karena kurangnya pengetahuan mereka tentang konsep dagang Islam, serta latar belakang budaya dan mentalitas bangsa Arab, sehingga mereka sulit untuk menditeksi misi yang tersirat di balik fenomena yang tampak dihadapan mereka. Sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Pak Alwi Shahab dalam bukunya yang berjudul “Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama” Bandung: Mizan, 1998 h. 323-324, maupun artikel-artikel yang pernah ditulisnyadi dalam media massa, seperti yang terdapat dalam koran harian Republika, yang d iterbitkan pada hari Jum’at, 22 September 1995. h. 8. Menurutnya, bahwa kekeliruan Van den Berg, dkk dalam memahami kehidupan orang-orang Arab disebabkan oleh 3 faktor: 1 kurangnya pengetahuan tentang konsep dagang Islam. 2 latar belakang budaya 3 dan mentalitas bangsa Arab. 26 Azumardi Azra, Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora, Studia Islamika, Vol.2, No. 2, Jakarta: I.A.I.N. Syarif Hidayatullah, 1995, h. 8. pembahasan dalam penelitian ini hanya terfokus pada peranan komunitas Arab- Hadhrami di Betawi dan peranannya pun lebih di fokuskan dalam bidang sosial- keagamaan. Meskipun ada kemungkinan di dalamnya akan bersentuhan dengan aspek-aspek lainnya, namun hal tersebut setidaknya hanyalah tambahan atau sebagai pelengkap saja di dalam penulisan skripsi ini. Adapun untuk batasan waktunya, penulis mengambil waktu tahun 1900- 1942. Karena pada tahun-tahun tersebut penulis melihat banyak sekali peranan serta kontribusi nyata yang diperlihatkan oleh komunitas Arab-Hadhrami di Indonesia, khususnya di Betawi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun tersebut merupakan tahun kebangkitan orang-orang Hadhrami di Indonesia. hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh beberapa Tokoh penulis sejarah seperti; Natalie Mobini Kesheh penulis buku “Hadhrami Awakening”, Deliar Noer penulis buku “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”, dan G.F Pijper penulis buku “Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900- 1950” bahwa, awal abad XX merupakan awal tahun kebangkitan orang-orang Hadhrami di Indonesia. 2. Rumusan Masalah Dari pembatasan tersebut, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi sosial-keagaamaan di Betawi pada tahun 1900-1942? 2. Bagaimana peranan yang dimainkan komunitas Arab dalam bidang sosial- keagamaan pada tahun 1900-1942? 3. Bagaimana respon pemerintah Belanda terhadap peranan yang dimainkan oleh komunitas Arab di Betawi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Penulis ingin mengetahui bagaimana kondisi sosial-keagamaan di Betawi pada tahun 1900-1942. 2. Penulis ingin lebih mengetahui bagaimana peranan apa sajakah yang dimainkan oleh komunitas Arab pada tahun 1900-1942, serta pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat Betawi. 3. Penulis ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi munculnya pandangan negatif sebagian kalangan orientalis Barat terhadap komunitas Arab. Adapun manfaat yang dapat penulis harapkan dan berikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan penulis dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai peranan komunitas Arab-Hadrami di Betawi pada tahun 1900-1942. 2. Diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pemahaman sejarah Islam kajian Lokal di Indonesia. 3. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang sejarah kebudayaan Islam konsentrasi Asia Tenggara.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis dengan pendekatan sosial-keagamaan. Metode deskriptif-analisis adalah suatu metode yang bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta-fakta atau karakteristik populasi tertentu, baik berupa keadaan, permasalahan, sikap, pendapat, kondisi, prosedur, atau sistem secara faktual dan cermat. 27 Penulis juga menggunakan teori ekonomi yang pernah digunakan oleh Max Weber untuk melihat apa sebenarnya yang melatarbelakangi orang-orang Arab datang ke Betawi. Menurut seorang ahli sosiologi agama Indonesia, Hendropuspito, bahwa sosiologi-keagamaan adalah suatu cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya. 28 Dalam konteksnya sebagai metodologi, pendekatan sosiologi- keagamaan ini digunakan penulis untuk melihat atau memahami prilaku orang- orang Arab dalam proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan prilaku ritualnya. 2. Jenis dan Sumber Data A. Jenis Data Dalam penelitian ini jenis data yang akan dikumpulkan adalah lisan, tulisan dan artefakbenda yang berkaitan dengan latar belakang sosial, budaya dan keagamaan orang-orang Arab serta kontribusinya bagi masyarakat Betawi. B. Sumber Data a. Sumber Data Primer Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1 L.W.C van den Berg, ”Le Hadramaut et. les Colonies Arabes Dans L‟Archipel Indien”, Terjemahan, Rahayu Hidayat, ”Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara” Jilid 3 Jakarta: INIS, 1989. Dalam karyanya ini, Van den Berg banyak menyajikan informasi penting tentang ragam kehidupan bangsa Arab di 27 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, dan RD Bandung: Alfabeta, 2006, h.29 28 D. Hendropuspito, Sosiologi Agama Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989, h. 7 tanah asalnya dan di Nusantara, baik dari sisi sosial dan budaya, sampai politik dan agama. 2 Shahab, Ali Abu Bakar. ”ar-Rabithah al-Alawiyyah.” Jakarta: koleksi Pribadi, 1928. Dalam dokumen ini berisikan data struktur organisasi dan informasi tentang maksud dan tujuan didirikannya ar-Rabithah al-Alawiyyah serta ikhtisar kegiatan- kegiatan yang telah dilakukan ar-Rabithah al-Alawiyyah. 3 Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya al-Alawi , “al-Qawanin asy-syar‟iyyah li ahl al-majlis al-hukmiyyah wa al- ifta‟iyyah” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Ini kitab segala aturan hukum syara bagi ahli majlis syara dan majlis fatwa syara Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1881 M1317 H. Kitab ini berisi pedoman dan tuntunan praktis sangat dibutuhkan bagi para hakim dan penghulu di daerah ketika menjalakan perannya di tengah masyarakat. 4 Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya al-Alawi, “Ishlah al-Hal bi Thalab al- Halal ” Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, t.t. Kitab ini berisi penekanan terhadap pelaksanaan ajaran Islam, baik di kalangan masyarakat Arab maupun penduduk pribumi, yang merupakan salah satu cara untuk menjadi warga yang baik. 5 Gobee, E. dan C. Adriaanse, Ambtelijke adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889- 1936‟s-Gravenhage:Nijhoff. Rijks Geschiedkundige Publicatien, Kleine Serie 33, 34, 35, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936 .” Vol. IX. Jakarta: INIS, 1990. Dalam Manuskrip ini, banyak sekali memberikan informasi penting tentang proses