Metode Penanaman Secara Langsung di Lapangan Pada Program Rehabilitasi Lahan

(1)

METODE PENANAMAN SECARA LANGSUNG DI

LAPANGAN PADA PROGRAM REHABILITASI LAHAN

 

SKRIPSI

Oleh

Roy Mangapul Tampubolon

Budidaya Hutan/ 051202002

   

   

   

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(2)

Judul Penelitian : Metode Penanaman Secara Langsung di Lapangan pada Program Rehabilitasi Lahan

Nama Mahasiswa : Roy Mangapul Tampubolon

NIM : 051202002

Departemen : Kehutanan Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Budi Utomo, SP, MP Dr. Delvian, SP, MP

Ketua Anggota

Mengetahui

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Ketua Departemen


(3)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Adapun hasil penelitian ini bertema ”Rehabilitasi Lahan Kritis dengan Tehnik Tebar Benih” dibuat sebagai salah satu syarat untuk dapat meraih gelar sarjana.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Budi Utomo, SP, MP selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Dr. Delvian, SP, MP selaku anggota komisi pembimbing atas dukungan dan arahan

yang diberikan sehingga skripsi ini selesai tepat pada waktunya. Rasa terima kasih yang mendalam saya ucapkan kepada orang tua saya dan keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan serta sumbangan pemikirannya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan hasil penelitian ini dengan baik.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun III Parapat yang memudahkan penulis dalam pengambilan data dan kepada kepala desa Maduma yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian. Kepada teman-teman angkatan 2005 dan Sahat Samosir yang telah banyak memberikan bantuan selama di lapangan serta sumbangan pemikirannya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2009

Penulis

DAFTAR ISI

 


(4)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Hipotesa ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Lahan Kritis ... 4

Pengumpulan Benih ... 5

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bibit ... 6

Asam jawa (Tamarindus indica) ... 11

Suren (Toona sureni) ... 13

Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) ... 15

Petai Cina (Leucaena leucocephala)... 17

METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat ... 18

Prosedur Kerja ... 18

Perlakuan ... 18

Pengambilan Tanah Contoh ... 19


(5)

Penyiapan Benih dan Penanaman ... 19 Variabel Penelitian ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ... 21 Pembahasan ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 29 Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

        Halaman


(6)

2. Suren (Toona sureni), (a) bibit, (b) benih ... 14

3. Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk), (a) biji, (b) daun ... 16

4. Rata-Rata Persentase Pertumbuhan Benih ... 21

5. Bibit Setelah Ditebar ... 24

6. Benih Setelah Ditebar ... 26

7. Benih Dimakan Semut (a) Petai, (b) Petai Cina ... 26

                 

 

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Curah Hujan (CH) dan Intenseitas Cahaya (IC) pada Periode Desember 2008, Januari dan Februari 2009 ... 22


(7)

                 

                       

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Analisis Tanah ... 32 2. Data Curah Hujan ... 33 3. Denah Penanaman ... 37


(8)

4. Persentase Pertumbuhan Tanaman... 38

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pulau Samosir merupakan suatu kawasan yang terletak di tengah-tengah Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Pulau Samosir memiliki topografi yang sebagian besar merupakan perbukitan, pegunungan dan daerah-daerah bergelombang. Dan pulau


(9)

Samosir ini memiliki jenis tanah yang rawan terhadap erosi. Dari kondisi umum pulau Samosir tersebut diprediksi bahwa di pulau ini terjadi erosi yang cukup tinggi.

Pengelolaan vegetasi, khususnya vegetasi hutan dapat mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air. Beberapa pengelola DAS beranggapan bahwa hutan dipandang sebagai pengatur aliran air (steamflow regulator), artinya bahwa hutan dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepasnya pada musim kemarau (Asdak, 2002).

Reboisasi dan penghijauan yang dilakukan melalui penanaman dengan menggunakan jenis tanaman yang sesuai dengan fungsi hutan, lahan, dan agroklimat setempat diharapkan akan memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang seimbang. Terlaksananya pembuatan tanaman reboiasasi dan hutan rakyat diharapkan mampu memulihkan fungsi hutan sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan, pelestarian plasma nutfah, pengatur tata air, yang selanjutnya dapat mendukung kelestarian produksi dan kualitas sumber daya hutan, perbaikan iklim mikro dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Sumarwoto, 1992).

Rendahnya keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain; (a) metode pendekatan yang kurang tepat, pendekatan pemecahan masalah selama ini baru pada faktor fisik dan tidak banyak memberikan perhatian pada faktor sosial ekonomi yang justru lebih berperan dalam perusakan hutan dan lahan, (b) sistem pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan yang selama ini dilakukan belum berorientasi pada keberhasilan tumbuh di lapangan dan belum diarahkan pada tujuan tertentu, (c) partisipasi masyarakat rendah karena kurangnya pemberdayaan dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang dilakukan (Warta Gerhan, 2006).

Topografi yang curam akan turut mempersulit pelaksanaan rehabilitasi di lapangan. Demikian halnya di pulau Samosir, kondisi topografi yang curam


(10)

memperkecil keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi. Hal ini disebabkan adanya kesulitan dalam penggangkutan dan penanaman bibit di lapangan.

Program RHL harus bersifat inovatif, kreatif dan disesuaikan dengan karakteristik ekologi maupun sistem sosial budaya masyarakat dengan mengadopsi konsep evolusi program menuju kesempurnaan. Program RHL merupakan program para pihak yang dilandasi oleh kesadaran bersama akan budaya pohon melalui kegiatan rehabilitasi lingkungan hutan.

Hal inilah yang mendasari penulis melakukan penelitian, untuk mengkaji lebih dalam teknik penanaman yang lebih tepat, kreatif dan inovatif dalam melakukan RHL sehingga pelaksanaan RHL lebih efektif dalam hal penanaman baik ditinjau dari segi waktu, tenaga kerja, keberhasilannya dan dari segi biaya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tehnik penaburan benih yang efektif dalam melaksanakan rehabilitasi

Hipotesa

Persentase pertumbuhan bibit lebih tinggi dibandingkan persentase pertumbuhan benih yang ditebar secara langsung di lapangan pada program rehabilitasi lahan.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai masukan kepada Dinas Kehutanan mengenai tehnik penanaman yang lebih efektif dalam melaksanakan rehabilitasi di lahan yang memiliki kemiringan ≥ 45%.


(11)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan alam tropika relatif sulit untuk direhabilitasi dengan berbagai alasan ekologis terutama jika lahan tersebut sudah dikolonisasi oleh alang-alang. Proses regenerasi hutan alam yang kompleks turut memperendah keberhasilan rehabilitasi. Semai-semai jenis klimaks umumnya memiliki toleransi yang rendah terhadap kelembapan dan cahaya sehingga tidak dapat tumbuh pada wilayah yang terbuka (Brown dan Lugo, 1990).

Dalam pelaksanaan rehabilitasi hal yang sangat penting diperhatikan adalah kesesuain jenis tanaman yang akan ditanam dengan kondisi tapak. Jenis tanaman yang tidak sesuai dengan tapak akan mengalami pertumbuhan yang kurang baik. Dalam


(12)

pemilihan benih ataupun biji misalnya harus diperhatikan mulai dari pengumpulan benih, pemecahan dormansi, perkecambahan, sampai pada penanaman di lapangan (Wibowo, 2006).

Lahan Kritis

Tanah merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Keasaman (acidity) dan salinitas (salinity) kedua-duanya sangat berpengaruh pada tersedianya atau tidak tersedianya hara tanah. Ukuran aktivitas ion hidrogen dalam larutan air tanah dan dipakai sebagai ukuran bagi kemasaman tanah. Besar pH tanah mempunyai pengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap tanaman. Pengaruh langsung pada akar tanaman pada pH<4>10 kerusakan pada akar tanaman. Pengaruh tidak langsung yakni tersedianya unsur hara, kemungkinan timbulnya keracunan tanaman pada pH rendah oleh unsur kimia seperti Al, Mn dimana unsur-unsur ini banyak terdapat pada pH rendah. Pada tanah masam lebih banyak tersedia unsur-unsur K, Mg, Ca, Mo. Land slope atau kemiringan merupakan faktor yang sangat perlu diperhitungkan karena lahan yang memiliki kemiringan yang tinggi lebih mudah terganggu (Kartasapoetra, 2000). 

Pengumpulan Benih

Perencanaan yang matang merupakan hal yang paling penting sebelum pengumpulan benih dan semua proses harus diikuti. Oleh karena perencanaan berhubungan dengan kegiatan berikutnya. Perencanaan dalam pengumpulan benih ini akan berhubungan langsung dengan jenis apa yang akan dikumpulkan, jumlah benih yang akan dikumpulkan, tempat pengumpulan benih, waktu pengumpulan benih, dan cara pengumpulan benih (Schmidt, 2000).


(13)

Setiap tanaman memiliki indikasi yang berbeda jika telah mengalami kemasakan buah atau biji. Perubahan warna, kadar air sering dijadikan sebagai indikasi dalam menilai kemasakan buah atau biji. 

Berbagai cara pengunduhan buah dan benih telah dikembangkan dan berkisar dari cara pemungutan di atas tanah setelah buah jatuh sampai dengan cara yang menggunakan alat yang rumit dan mahal seperti penggoyang mekanik, (mechanical shaker), panggung (platform) yang tinggi, ataupun balon dan helikopter. Penentuan cara yang paling tepat tergantung pada berbagai faktor, tapi biasanya dibatasi oleh faktor ekonomi. Cara yang paling efisien adalah cara yang dapat mengumpulkan sejumlah benih dengan kemungkinan biaya terendah tanpa mengorbankan kualitas benih, serta aman untuk pekerja dan kelangsungan produksi benih yang akan datang (Schmidt, 2000). 

   

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bibit 

Dormansi benih menunjukkan suatu keadaan dimana benih-benih sehat gagal berkecambah ketika berada dalam kondisi yang secara normal baik untuk perkecambahan, seperti kelembapan yang cukup, suhu dan cahaya yang sesuai. Dormansi benih dapat menguntungkan dan merugikan dalam penanganan benih. Keuntungannya adalah bahwa dormansi mencegah benih dari perkecambahan selama penyimpanan dan prosedur penanganan lain (Schmidt, 2000).

Ada beberapa tipe dari dormansi, dan kadang-kadang lebih dari satu tipe terjadi di dalam benih yang sama. Di alam, dormansi dipatahkan secara perlahan-lahan atau oleh suatu kejadian lingkungan yang khas. Tipe dari kejadian lingkungan yang dapat mematahkan dormansi tergantung pada tipe dormansi. Dormansi yang disebabkan oleh


(14)

kulit biji yang keras dapat diatasi melalui pengikisan perlahan-lahan atau sekejap, dan dormansi kondisi gelap dapat dipatahkan dengan cahaya (Kartasapoetra, 2003).

Tujuan perlakuan awal adalah untuk menjamin bahwa benih akan berkecambah dan perkecambahan berlangsung cepat dan seragam. Metode perlakuan awal telah dikembangkan dan digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Metode perlakuan awal harus disesuaikan dengan karakteristik benih. Pengetahuan tentang biologi dan fisiologi dari berbagai tipe dormansi dan hubungannya dengan biologi permudaan dapat memberikan indikasi sifat biologi benih dan metode perlakuan awal yang diperlukan (Hasanah, 2002).

Menurut Harjadi (1993) perkecambahan adalah serangkaian peristiwa penting yang terjadi sejak benih dormansi sampai ke tahap pertumbuhan bibit dimana tergantung pada viabilitas benih, kondisi lingkungan yang cocok dan pada beberapa tanaman tergantung pada usaha pemecahan dormansi.

Proses awal perkecambahan adalah proses imbibisi, yaitu masuknya air ke dalam benih sehingga kadar air di dalam benih itu mencapai persentase tertentu (antara 50-60%). Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit benih permeable terhadap air dan tersedia cukup air dengan tekanan osmosis tertentu. Bersamaan dengan proses imbibisi akan terjadi peningkatan laju respirasi yang akan mengaktifkan enzim-enzim yang terdapat di dalamnya sehingga terjadi proses perombakan cadangan makanan (katabolisme) yang akan menghasilkan energi ATP dan unsur hara yang diikuti oleh pembentukan senyawa protein untuk pembentukan sel-sel baru pada embrio. Kedua proses ini terjadi secara berurutan dan pada tempat yang berbeda. Akibat terjadinya proses imbibisi kulit benih akan menjadi lunak dan retak-retak. Pembentukan sel-sel baru pada embrio akan diikuti proses diferiensiasi sel sehingga terbentuk plumula yang merupakan bakal batang dan daun serta radikula yang merupakan bakal akar. Kedua


(15)

bagian akan bertambah besar sehingga akhirnya benih akan berkecambah (Kuswanto, 1996).

Menurut Sutopo (2002), faktor-faktor yang mempengaruhui perkecambahan benih terdiri dari faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam yang mempengaruhi perkecambahan benih antara lain :

1. Tingkat kemasakan benih

Benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai tidak mempunyai viabilitas tinggi. Bahkan pada beberapa janis tanaman, benih yang demikian tidak akan dapat berkecambah. Diduga pada tingkatan tersebut benih belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio belum sempurna.

2. Ukuran benih

Di dalam jaringan penyimpanannya benih memiliki karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Dimana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku dan energi pada embrio pada saat perkecambahan. Diduga bahwa benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak dibandingkan dengan benih yang kecil, mungkin pula embrionya lebih besar.

3. Dormansi

Periode dormansi dapat berlangung musiman atau dapat juga selama beberapa tahun, tergantung pada jenis benih dan tipe dormansi.

4. Penghambat perkecambahan

Banyak zat-zat yang diketahui dapat menghambat perkecambahan benih, diantaranya larutan dengan tingkat osmotik tinggi seperti larutan mannitol dan larutan NaCl, bahan-bahan yang mengganggu lintasan metabolisme, umumnya menghambat


(16)

respirasi seperti sianida dan fluorida, herbisida, Coumarin, Auxin, dan bahan-bahan yang terkandung dalam buah.

Menurut Sutopo (2004), faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan antara lain:

1. Air, merupakan salah satu syarat penting bagi berlangsungnya proses perkecamabahan benih. Dari faktor penting yang berperan dalam penyerapan air oleh benih adalah sifat dari benih itu sendiri terutama kulit.

2. Temperatur, merupakan syarat penting kedua bagi perkecambahan benih. Tanaman pada umumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan akan temperatur, yaitu:

• Tanaman yang benihnya hanya akan berkecambah pada temperatur yang relatif rendah.

• Tanaman yang benihnya hanya akan berkecambah pada temperatur yang relatif tinggi.

• Tanaman yang mampu berkecambah pada kisaran temperatur dari rendah sampai tinggi.

3. Cahaya, kebutuhan benih terhadap cahaya untuk perkecambahannya berbeda tergantung pada jenis tanamannya.

4. Oksigen, pada saat perkecamabahan berlangsung proses respirasi akan meningkat disertai pula meningkatnya pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, air dan energi yang berupa panas.

5. Medium, medium yang baik untuk perkecambahan benih haruslah mempunyai sifat fisik yang baik, gembur, dan mempunyai kemampuan menyimpan air serta bebas dari organisme penyakit terutama cendawan.


(17)

Dalam kegiatan pembibitan, penyapihan merupakan salah satu tahapan yang perlu mendapatkan perhatian serius karena kondisi semai yang masih sangat kecil dan lemah. Sehubungan dengan keberhasilan pertumbuhan semai, Daniel et al. (1987) menyatakan bahwa salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pertumbuhan semai adalah kemampuan semai dalam memproduksi akar. Selanjutnya dikatakan pula bahwa walaupun kondisi tempat tumbuh seperti suhu tanah dan ketersediaan air dalam tanah atau media cukup memadai namun semai akan hidup secara optimal jika semai mempunyai kemampuan fisiologis yang baik dalam memproduksi akar baru. Hal ini memberikan gambaran bahwa ada saat atau periode di mana semai secara fisiologis berada dalam kondisi yang siap untuk disapih serta memproduksi akar baru. Mengingat bahwa setiap jenis tanaman hutan mempunyai ukuran serta waktu (umur semai) yang berbeda dalam penyapihan maka dalam rangka meningkatkan keberhasilan pada tingkat pembibitan perlu dilakukan penelitian yang menyangkut umur semai yang tepat saat penyapihan sehingga diperoleh pertumbuhan bibit yang optimal pada masing-masing jenis yang akan dikembangkan.

Kesiapan dan kemampuan fisiologis semai suatu jenis untuk dapat disapih tentunya sangat dipengaruhi oleh umur semai. Semai yang masih terlalu muda biasanya mempunyai akar yang relatif lemah dan mudah rusak selama proses penyapihan yaitu mulai pengangkatan semai sampai dengan penanaman ke dalam media sapih, selain itu karena batangnya masih relatif sukulen (memiliki kandungan air yang sangat tinggi), semai akan lebih mudah stres oleh adanya proses penguapan (transpirasi) yang berasal dari seluruh bagian semai yang kemudian akan berpengaruh pada pertumbuhan semai pada periode selanjutnya, sebagai akibat dari hilangnya sebagian cairan dari seluruh bagian semai. Semai yang terlalu muda masih sangat rentan terhadap gangguan, baik


(18)

gangguan internal berupa kehilangan cairan maupun kerusakan yang bersifat mekanis selama proses penyapihan, sedangkan semai yang relatif tua akan terkendala dalam pembuatannya. Semai yang relatif tua atau telat disapih umumnya tidak mempunyai pertumbuhan yang baik. Setelah disapih, semai biasanya mengalami stagnansi sehingga pertumbuhannya menjadi sangat lambat. Pada fase bibit, semua jenis tanaman tidak tahan intensitas cahaya penuh, butuh 30-40%, diatasi dengan naungan (Daniel et al. 1987).

Menurut Herwati (2007) secara garis besar kriteria penyinaran cahaya matahari kedalam dibedakan menjadi empat kelompok :

1. Sinar kuat, berarti sinar matahari penuh atau 100 % tidak ada penghalang / peneduh, ini ada di daerah tropis.

2. Agak teduh, intensitas sinar matahari 50 – 100 %. Adanya peneduh, kalau

berupa tirai adalah masih ada antara untuk masuknya cahaya yang cukup. Peneduh yang berupa pohon biasanya pohon yang mempunyai daun majemuk yang tipis seperti : flamboyan, sengon, petai, petai cina, asam, pinus dan lain-lain.

3. Setengah teduh, intensitas cahaya yang menjadikan keadaan setengah teduh menggambarkan kondisi cahaya matahari yang masuk sebesar 50 %. Biasanya digunakan tirai kain, plastik bening disemprot cat putih susu, dapat pula dipakai tirai bambu.

4. Teduh sekali, suatu keadaan dimana sinar matahari tidak diterima langsung oleh tanaman, tetapi sinar diperoleh dari difrasi/ pemencaran diffuse. Disini intesitas cahaya matahari besarnya kurang dari 5 %.


(19)

Asam jawa (Tamarindus indica) tumbuh baik di daerah semi kering dan iklim muson basah, dapat tumbuh di kisaran tipe tanah yang luas. Dapat hidup di tempat bersuhu sampai 47°C, tapi sangat sensitif terhadap es. Umumnya tumbuh di daerah bercurah hujan 500 – 1.500 mm/tahun, bahkan tetap hidup pada curah hujan 350 mm jika diberi irigasi saat penanaman. Di daerah tropika basah bercurah hujan lebih dari 4.000 mm, pembungaan dan pembuahan menurun dengan jelas. Jenis ini menghasilkan benih lebih banyak jika hidup di tempat dengan periode kering yang panjang, berapapun curah hujan tahunannya. Walaupun jenis yang selalu hijau, pohon ini menggugurkan daun dalam periode singkat. Bunga biasanya muncul sejalan dengan pertumbuhan daun baru, yang pada kebanyakan daerah terjadi selama musim semi dan panas. Bunga mungkin diserbuki serangga. Pembentukan buah terjadi selama musim hujan dan masak 6 bulan sesudahnya. Pohon asam mulai menghasilkan buah umur 8 – 12 tahun dan terus berbuah sampai umur 200 tahun. Permukaan polong retak, bergemerincing jika dikocok, dan buah pertama jatuh ke tanah adalah tanda biji telah masak, dan pengumpulan biji dapat dimulai (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).

a b


(20)

Benih tidak memiliki dorman, sehingga tidak perlu perlakuan pendahuluan. Skarifikasi benih seperti jenis legum lain juga disarankan. Untuk jumlah banyak, perlakuan dengan air mendidih atau pemecah benih dapat digunakan. Untuk pengujian benih di laboratorium disarankan menggunakan skarifikasi dengan solder panas. Benih dapat ditabur di bedeng atau di kantong plastik. Wadah semai digunakan bila semai di persemaian lebih dari 4 bulan. Berikutnya, akar tunjang melesak ke dalam hingga menyulitkan pemindahan semai. Tipe perkecambahannya epigeal (keping biji terangkat ke atas). Perkecambahan dimulai 7 – 10 hari setelah penaburan dan biasanya membutuhkan setidaknya satu bulan. Kecambah harus dihindarkan dari matahari. Saat tinggi 30 cm, semai siap ditanam di tinggi 30 cm, semai siap ditanam di lapangan. Jika pertumbuhannya merana, semai dapat tetap di persemaian sampai tahun berikutnya, tetapi akar semai hendaknya dipotong dan harus diperlakukan hati-hati selama pemindahan (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).

Suren (Toona sureni)

Pohon suren (Toona sureni) dikenal dengan berbagai nama sesuai dengan daerah tempat tumbuh, seperti surian (Sumatera), surian wangi (Malaysia), danupra (Philippina), ye tama (Myanmar), surian (Thailand) dan nama perdagangannya yaitu limpaga. Kayunya berbau harum sehingga tahan terhadap serangan rayap maupun bubuk kayu dengan warna kemerahan. Tanaman ini tumbuh pada daerah bertebing dengan ketinggian 600-2.700 m dpl dengan temperatur 22ºC. Bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan selain kayunya sebagai bahan bangunan, furniture, veneer, panel kayu dan juga kulit dan akarnya dimanfaatkan untuk bahan baku obat diarrhoea dan ekstrak daunnya dipakai sebagai antibiotik dan bio-insektisida, sedangkan kulit batang dan buahnya dapat disuling untuk menghasilkan minyak esensial (aromatik).


(21)

Suren berbunga dan berbuah bulan Desember-Februari atau April-September pada waktu gugur daun. Pengumpulan buah dilakukan jika telah berwarna coklat sebelum merekah. Buah dikumpulkan dengan cara menggoncang atau memangkas cabang. Jika pengumpulannya terlambat, maka banyak benih yang hilang ketika buah merekah. Benih dapat dipertahankan viabilitasnya selama 2- 3 bulan, tetapi dengan penyimpanan dalam ruang sejuk akan memperpanjang periode simpan tersebut. Benih mudah berkecambah dan tidak memerlukan perlakuan pendahuluan. Benih ditabur di bedeng dengan naungan 60%. Perkecambahannya dapat mencapai 80% setelah 4-7 hari. Kecambah tergolong epigeal. Setelah 1 bulan, kecambah dapat disapih ke kantong plastik (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).

(a) (b) Gambar 2. Suren (Toona sureni), (a) bibit, (b) benih

Bentuk batang lurus dengan bebas cabang mencapai 25 m dan tinggi pohon dapat mencapai 40 sampai 60 m. Kulit batang kasar dan pecah-pecah seperti kulit buaya berwarna coklat. Batang berbanir mencapai 2 m. Gubal kayu suren berwarna kemerahan, tekstur kayu kasar mempunyai struktur liang bergelang dengan ira yang bersimpul atau beralun. Kayu suren termasuk kelas awet sehingga termasuk ke dalam kelas kayu ringan (Agus dan Sayful, 2006).


(22)

Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk)

Angin berperan dalam membantu penyerbukan bunga pada tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk). Pohon nangka cocok tumbuh di daerah yang memilki curah hujan tahunan rata-rata 1.500-2.500 mm dan musim keringnya tidak terlalu keras. Nangka dapat tumbuh di daerah kering yaitu di daerah-daerah yang mempunyai bulan-bulan kering lebih dari 4 bulan-bulan. Sinar matahari sangat diperlukan nangka untuk memacu fotosintesa dan pertumbuhan, karena pohon ini termasuk intoleran. Kekurangan sinar matahari dapat menyebabkan terganggunya pembentukan bunga dan buah serta pertumbuhannya. Rata-rata suhu udara minimum 16-21 derajat C dan suhu udara maksimum 31- 31,5 derajat C. Kelembaban udara yang tinggi diperlukan untuk mengurangi penguapan.

Pohon nangka dipelihara di berbagai tipe tanah, tetapi lebih menyenangi aluvial, tanah liat berpasir/liat berlempung yang dalam dan beririgasi baik. Umumnya tanah yang disukai yaitu tanah yang gembur dan agak berpasir. Pohon ini hidup pada tanah tandus sampai subur dengan kondisi reaksi tanah asam sampai alkalis. Bahkan pada tanah gambut pun pohon ini dapat tumbuh dan menghasilkan buah. Pohon nangka tahan terhadap pH rendah (tanah masam) dengan pH 6,0-7,5 tetapi yang optimum pH 6–7. Kedalaman air tanah yang cocok bagi pertumbuhan nangka adalah 2 m atau antara 1-2.5 m. Karena perakarannya sangat dalam, maka sebaiknya ditanam pada tanah yang cukup tebal lapisan atasnya (kira-kira 1 m). Pohon nangka dapat tumbuh dari mulai dataran rendah sampai ketinggian tempat 1.300 m dpl. Namun ketinggian tempat yang terbaik untuk pertumbuhan nangka adalah antara 0-800 m dpl.


(23)

(a) (b)

Gambar 3. Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk), (a) biji, (b) daun

Umumnya perbanyakan tanaman nangka dilakukan dengan menggunakan bijinya, karena perbanyakkan dengan cangkok atau okulasi hanya sedikit persentase jadinya. Hal ini mungkin disebabkan kandungan lateksnya yang dapat menghambat proses persatuan. Biji disemai/ditanam ke dalam kantong-kantong plastik yang sudah tersedia di bedengan sedalam setebal biji, setelah itu ditutup lapisan tanah tipis. Biji akan berkecambah dengan rata-rata daya kecambah dan persen jadi tanaman ± 90 %. Semai muda dipotkan selambat-lambatnya setelah berdaun empat helai, karena bibit yang lebih tua sulit untuk dipindahtanamkan (transplanting). Kesulitan ini dapat diatasi dengan cara menyemaikan 1-2 benih langsung ke dalam satu wadah. Semai paling cocok disimpan di bawah naungan atau 50-70 % intensitas cahaya matahari penuh (BAPPENAS, 2000).

Petai Cina (Leucaena leucocephala)

Petai Cina (Leucaena leucocephala) merupakan tanaman pohon yang multiguna. Tanaman ini merupakan tanaman leguminosa pohon yang paling produktif dibanding yang lain, kualitas hijauannya tinggi, tahan kekeringan, tumbuh dengan variasi iklim yang luas, batangnya mempunyai kualitas yang tinggi untuk kayu bakar,


(24)

bahan pembuat furnitur, pulp, bijinya dapat digunakan untuk aksesoris, di daerah tertentu biji sebagai makanan manusia.

Tanaman Leucaena spp berasal dari daerah dengan kondisi tanah berkapur, dari dataran rendah di Yukatan Peninsula Mexico dan Guatemala. Tanaman ini akan tumbuh subur pada tanah yang mengandung kapur dengan pH tinggi dan pertumbuhan akan kurang baik pada pH dibawah 5, dan Aluminium saturasi yang tinggi, tahan kekeringan, curah hujan berkisar 500-2000 mm, tidak tahan genangan. Tanaman ini juga tidak tahan pada temperatur dingin, pada kondisi ini pertumbuhan Leucaena lambat bahkan kondisi adanya embun beku dapat menyebabkan kematian. Beberapa kendala dalam penggunaan Leucaena antara lain faktor lingkungan seperti suhu dingin, tidak tahanan genangan air terutama pada saat tanaman masih muda, hama dan penyakit, pertumbuhan awal yang lambat sehingga sangat riskan terhadap predator alam (uret, rayap, semut), kompetisi dengan gulma. Sehingga pada awal pertumbuhan perlu dilakukan pengelolaan yang ekstra hati-hati. Lambatnya pertumbuhan ini diduga disebabkan beberapa kemungkinan antara lain oleh ketegaran benih yang rendah, tidak dikontrolnya gulma, perlu waktu untuk bagi akar untuk dapat bersimbiose secara efektif dengan mikoriza maupun Rhizobium (Purwantari dan Sajimin, 2008).


(25)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Maduma, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dan di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Februari 2009.

Bahan dan Alat Bahan

Adapun bahan yang digunakan adalah benih, contoh tanah, perekat untuk merekatkan dedak, dedak digunakan sebagai campuran perekat, dan pasir steril

Alat

Adapun alat yang digunakan adalah tali rafia, cangkul, sprayer, pisau, pacak, meteran dan kalukulatoR


(26)

1. Perlakuan

Perlakuan dalam penelitian ini ada 2 perlakuan, yakni perlakuan untuk lahan dan perlakuan untuk biji.

Perlakuan untuk lahan meliputi yakni Xå Lahan yang tidak dibersihkan

Y å Lahan yang dibersihkan Perlakuan untuk biji yakni 1 å Biji yang dikecambahkan 2 å Biji yang tidak dikecambahkan

Kedua perlakuan ini dikenakan pada 5 jenis biji yakni Suren (A), Asam Jawa (B), Petai Cina (C), Petai (D), Nangka (E).

2. Pengambilan tanah contoh

1. Dibersihkan lahan dari vegetasi semak belukar yang ada.

2. Diambil contoh tanah secara zig-zag sebanyak 5 sampai 20 contoh tanah dari lahan dengan ukuran 100x100 m.

3. Diambil 10 gr contoh tanah dari setiap titik sedalam 20 cm. 4. Diaduk tanah hingga merata.

5. Dilakukan uji laboratorium pada tanah yakni kadar air tanah, kandungan bahan organik tanah dan pH tanah


(27)

3. Dibagi lahan menjadi sepuluh petak dan diulangi sebanyak 3 ulangan

4. Penyiapan Benih dan Penanaman

1. Dilakukan pengumpulan 5 jenis biji dari hutan dan tiap jenis 120 biji. Biji yang terkumpul yakni biji Suren (A), Asam jawa (B), Petai cina (C), Petai (D), Nangka (E).

2. Disterilkan media kecambah dengan cara menggongseng pasir.

3. Dilakukan pematahan dormansi sebanyak 60 biji pada biji suren dan asam jawa dengan perendaman air panas selama 5 menit.

4. Dilakukan pengelompokan pada biji yang dikecambahkan dan yang tidak dikecambahkan

A1, B1, C1, D1, E1 å Biji yang dikecambahkan A2, B2, C2, D2, E2 å Biji yang tidak dikecambahkan 5. Dikecambahkan pada media kecambah.

6. Dilakukan pemeliharaan yakni penyiraman pada media kecambah jika media kering.

7. Diamati pertumbuhan kecambah.

8. Dilakukan penanaman ke lapangan dan bibit dilapisi dengan dedak menggunakan perekat dan untuk lahan yang tidak dibersihkan diberi


(28)

5. Variabel Penelitian

Pengamatan dilaksanakan sampai persentase pertumbuhan bibit atau benih sebesar 80 % dimana hasil disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan diagram.


(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan pertumbuhan benih dan bibit berbeda secara signifikan. Pada semua ulangan bibit yang dipindahkan ke lapangan tidak tumbuh sedangkan benih yang ditebarkan tumbuh dengan baik. Rata-rata persentase pertumbuhan antara masing-masing jenis tanaman baik yang ditebar di lahan yang bersih maupun di lahan yang tidak bersih menunjukan perbedaan yang signifikan. Benih yang ditebar di lahan yang dibersihkan memiliki persentase pertumbuhan yang tinggi dibandingkan dengan lahan yang tidak dibersihkan. Perbedaan persentase pertumbuhan ini dapat dilihat pada Gambar 4.


(30)

Keberhasilan tumbuhnya bibit dan benih di lapangan akan dipengaruhi oleh faktor luar. Faktor yang mempengaruhi dapat berupa suhu, iklim, curah hujan dan intensitas cahaya. Data curah hujan dan intensitas cahaya selama penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Curah hujan (CH) dan Intensitas Cahaya (IC) pada periode Desember 2008, Januari dan Februari 2009

Tanggal Desember 2008 Januari 2009 Februari 2009 IC (%) CH (mm) IC (%) CH (mm) IC (%) CH (mm) 1 52.50 0.00 37.50 28.30 16.30 51.50 2 43.75 3.00 *12.50 *68.00 0.00 0.00 3 33.75 4.20 41.25 7.00 40.00 0.00 4 52.50 72.50 57.50 0.00 51.25 0.00 5 1.250 1.00 95.00 0.00 22.50 0.00 6 2.500 0.00 87.50 0.00 100.00 0.00 7 0.00 12.00 0.00 7.50 17.50 0.00 8 0.00 1.200 61.25 0.00 73.75 0.00 9 20.0 6.500 0.00 0.00 43.75 0.00 10 42.50 1.00 13.75 0.00 97.50 0.00 11 0.00 9.500 32.50 0.00 78.75 0.00 12 28.75 4.400 75.00 6.00 61.25 0.00 13 50.00 31.50 77.50 0.30 100.00 0.00 14 28.75 7.30 65.00 5.00 37.50 0.00 15 0.00 1.90 0.00 0.00 90.00 0.00 16 23.75 8.20 77.50 1.00 100.00 0.00 17 52.50 5.20 43.80 0.00 92.50 0.00 18 5.00 0.50 77.50 0.10 91.25 0.00 19 46.25 0.00 53.75 0.00 61.25 0.00 20 56.25 0.00 61.25 0.00 16.25 26.00 21 60.00 0.00 6.25 13.20 87.5 7.80 22 17.50 0.00 15.00 6.50 15.00 6.60 23 23.75 3.80 0.00 0.00 50 39.00 24 26.25 17.50 61.25 0.00 28.8 0.00 25 0.00 0.30 13.75 15.00 0.00 0.00 26 86.25 0.00 7.50 3.60 48.75 0.00


(31)

Tabel 1 menunjukan besarnya curah hujan dan intensitas cahaya yang terjadi selama penelitian berlangsung mulai dari Desember 2008 sampai dengan Februari 2009. Curah hujan yang terjadi tinggi namun intensitas cahaya sangat tinggi yang menyebabkan bibit mati atau tidak tumbuh

Pembahasan

Dari hasil pengamatan yang dilaksanakan selama penelitian menunjukkan bahwa bibit yang ditebar di lapangan tidak tumbuh. Hal ini berbanding terbalik dengan benih yang ditebar secara langsung di lapangan. Persentase pertumbuhan yang baik ditunjukkan benih yang ditebar secara langsung di lapangan.

Perbedaan perlakuan tentu akan mendapatkan hasil yang berbeda. Dengan adanya pembedaan perlakuan tentunya faktor yang perlu diperhatikan dalam penebaran akan berbeda. Misalnya pada penebaran bibit sangat perlu diperhatikan curah hujan dan intensitas cahaya. Sedangkan pada penebaran benih apabila kondisi iklim tidak sesuai dengan kondisi pertumbuhannya maka benih akan mengalami dormansi.

Penebaran bibit pada saat penelitian dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 2009. Tanggal ini dipilih mengingat bibit sudah siap tanam dan curah hujan


(32)

Suryowinota (1988) iklim sebagai salah satu faktor lingkungan fisik yang sangat penting dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Beberapa unsur iklim yang penting adalah curah hujan, suhu, kelembaban dan intensitas penyinaran. Di daerah tropika umumnya radiasi tinggi pada musim kemarau dan rendah pada musim penghujan. Tidak adanya naungan di areal penanaman juga menyebabkan bibit stress karena langsung terkena sinar matahari. Pada fase bibit semua jenis tanaman tidak tahan intensitas cahaya penuh. Pada umumnya tanaman membutuhkan intensitas cahaya 30-40% dan selebihnya diatasi dengan naungan. Artinya dari pancaran sinar matahari hanya 30-40% saja yang mampu diterima tanaman. Brown dan Lugo (1990) menyebutkan semai-semai jenis klimaks umumnya memiliki toleransi yang rendah terhadap kelembapan dan cahaya sehingga tidak dapat tumbuh pada wilayah yang terbuka.


(33)

Berbeda halnya dengan benih yang ditebar langsung di lapangan. Intensitas pencahayaan yang tinggi dan curah hujan yang rendah hanya akan menyebabkan benih dormansi. Dan benih ini akan berkecambah dan tumbuh jika keadaan sesuai dengan kondisi tumbuhnya. Sutopo (2004) menyatakan bahwa perkecambahan benih dipengaruhi oleh air, temperatur, cahaya, oksigen dan medium perkecambahan.

Dari diagram yang ditunjukkan oleh Gambar 4 diperlihatkan perbedaan persentase pertumbuhan antara benih yang ditebar di lahan yang tidak dibesihkan dengan lahan yang dibersihkan. Dari gambar diperlihatkan bahwa persentase pertumbuhan pada lahan yang dibersihkan lebih tinggi dibandingkan lahan yang tidak dibersihkan. Hal dikarenakan pada lahan yang tidak dibersihkan, benih tidak mengenai tanah sehingga proses imbibisi tidak terjadi. Sedangkan pada benih yang bersentuhan langsung dengan tanah akan mendapat pengaruh akibat kelembapan tanah yang akan mempengaruhi terjadinya proses imbibisi. Dari kelima jenis benih yang ditebar, benih petai cina adalah benih yang paling tinggi persentase pertumbuhannya baik di daerah yang tidak dibersihkan maupun yang dibersihkan. Persentase pertumbuhan benih petai cina pada lahan yang tidak dibersihkan 53% sedangkan pada lahan yang dibersihkan 80%. Sedangkan


(34)

Gambar 6. Benih setelah ditebar

Penanaman dengan menggunakan benih maka pengangkutan benih tidak akan mengalami kesulitan dan benih tidak akan mati. Namun kendala yang akan dihadapi yakni gagalnya benih berkecambah karena dimakan oleh semut. Benih dimakan karena benih mengandung karbohidrat. Sedangkan dedak yang digunakan sebagai perekat pada kecambah akan dimakan oleh semut karena kandungan glukosanya


(35)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah

1. Penaburan benih secara langsung di lapangan lebih baik dari pada penaburan bibit

2. Petai cina adalah jenis tanaman yang tepat digunakan pada penaburan benih secara langsung di lapangan

3. Pesentase pertumbuhan benih yang paling tinggi adalah benih petai cina dan benih suren

Saran

Dalam melaksanakan penanaman kondisi iklim harus benar-benar diperhatikan sehingga bibit dan benih tumbuh optimal.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Agus dan Sayful. 2006. Pengaruh Umur Semai Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren di Persemaian. http://www.dephut.go.id/files/Agus_Suren.pdf [14 Maret 2009 Pukul 11.00 WIB]

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University press. Yogyakarta.

BAPPENAS, 2000. Nangka.

http://www.pusri.co.id/budidaya/buah/NANGKA.PDF [12 Maret 2009

Pukul 10.00 WIB]

Brown S dan Lugo AE. 1990. Tropical Secondary Forest. J. Trop. Ecol

Daniel, TW, JA Helm, FS Baker. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Gajah Mada University Press. Bulaksumur. Yogjakarta.

Dorthe, J. 2002. Informasi Singkat Benih. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

http://www.dephut.go. Id

/INFORMASI/RRL/IFSP/Toona_sureni%20_Blume.pdf [11 Maret 2009

Pukul 10.00 WIB]

Dzanau. 2007. Pohon Kayu Suren. http://dzanau.wordpress.com/2007/12/05/pohon-kayu-suren/pdf [12 Maret

2009 Pukl 10.00 WIB]

Forest Wacth Indonesia. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Wacth Indonesia dan Washington D.C: Global Forest Wacth

Hardjadi, SS. 1993. Dormansi Benih. Dalam Dasar-Dasar Teknologi Benih. Departemen Agronomi IPB. Bogor


(37)

Mugnisjah, W.Q dan Setiawan, A. 2004. Produksi Benih. Bumi Aksara: Jakarta. Purwantari, ND dan Sajimin. 2008. Leucena: Taxonomi, Adaptasi, Agronomi dan

Pemanfaatan. http://www.dephut.go.id/files/Agus_Suren.pdf [14 Maret 2009 Pukul 12.00 WIB]

Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Topis dan Sub-Tropis. Gramedia: Jakarta.

Sulistyo. 1998. Penyemaian Jenis Pohon Potensial untuk Lahan Kritis di Sulawesi Selatan. Bulletin Tekno DAS No. 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, BTP DAS Ujung Pandang.

Suryowinoto, M. 1988. Budidaya Tanaman Anggrek. Lab. Budidaya Jaringan. Penelitian dan Pengembangan Anggrek. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.

Sutedjo, M. 2004. Analisi Tanah, Air, dan Jaringan Tanaman. Rineka Cipta: Jakarta.

Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Edisi Revisi. Cetakan ke-5. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

. 2004. Teknologi Benih. Edisi Revisi. Rajawali. Jakarata

Warta Gerhan. 2006. Optimalisasi Peran Stakeholder dalam Implementasi Gerhan di Lapangan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Jakarta.

Wibowo, S. 2006. Rehabilitasi Hutan Pasca Operasi Illegal Logging. Wana Aksara : Banten


(38)

Penanaman dilakukan sesuai dengan denah dibawah

10 m

A1X A2X B1X B2X C1X C2X D1X D2X E1X E2X

1 m

A2Y A2Y B2Y B2Y C2Y C2Y D2Y D2Y E2Y E2Y

5 m 1 m

A1X A1X B1X B1X C1X C1X D1X D1X E1X E1X

A2Y A2Y B2Y B2Y C2Y C2Y D2Y D2Y E2Y E2Y

5m

1 m

A1X A1X B1X B1X C1X C1X D1X D1X E1X E1X

17,5 m

1 m

1 m

1 m

1 m

1 m 0.5 m

0.5 m 0.5 m X

X

X Y Y


(39)

Ulangan Nomor Petak

Jenis Tanaman

Perlakuan Pertumbuhan

Pertumbuhan TD D Bibit Benih Bibit Benih

I 1 Suren √ - 0 - 0 -

I 2 Suren √ - - 5 - 50

I 3 Asam Jawa √ - 0 - 0 -

I 4 Asam Jawa √ - - 3 - 30

I 5 Petai Cina √ - 0 - 0 -

I 6 Petai Cina √ - - 6 - 60

I 7 Petai √ - 0 - 0 -

I 8 Petai √ - - 1 - 10

I 9 Nangka √ - 0 - 0 -

I 10 Nangka √ - - 1 - 10

I 1 Suren - √ 0 - 0 -

I 2 Suren - √ - 8 - 80

I 3 Asam Jawa - √ 0 - 0 -

I 4 Asam Jawa - √ - 6 - 60

I 5 Petai Cina - √ 0 - 0 -

I 6 Petai Cina - √ - 9 - 90

I 7 Petai - √ 0 - 0 -

I 8 Petai - √ - 3 - 30

I 9 Nangka - √ 0 - 0 -

I 10 Nangka - √ - 3 - 30

II 1 Suren √ - 0 - 0 -

II 2 Suren √ - - 1 - 10

II 3 Asam Jawa √ - 0 - 0 -

II 4 Asam Jawa √ - - 2 - 20

II 5 Petai Cina √ - 0 - 0 -

II 6 Petai Cina √ - - 4 - 40

II 7 Petai √ - 0 - 0 -

II 8 Petai √ - - 2 - 20

II 9 Nangka √ - 0 - 0 -

II 10 Nangka √ - - 3 - 30

II 1 Suren - √ 0 - 0 -

II 2 Suren - √ - 3 - 30

II 3 Asam Jawa - √ 0 - 0 -


(40)

Ulangan Nomor Petak

Jenis Tanaman

Perlakuan

Pertumbuhan

Pertumbuhan

TD D Bibit Benih Bibit Benih

III 6 Petai Cina √ - - 6 - 60

III 7 Petai √ - 0 - 0 -

III 8 Petai √ - - 2 - 20

III 9 Nangka √ - 0 - 0 -

III 10 Nangka √ - - 1 - 10

III 1 Suren - √ 0 - 0 -

III 2 Suren - √ - 9 - 90

III 3 Asam Jawa - √ 0 - 0 -

III 4 Asam Jawa - √ - 3 - 30

III 5 Petai Cina - √ 0 - 0 -

III 6 Petai Cina - √ - 8 - 80

III 7 Petai - √ 0 - 0 -

III 8 Petai - √ - 4 - 40

III 9 Nangka - √ 0 - 0 -

III 10 Nangka - √ - 2 - 20


(1)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah

1. Penaburan benih secara langsung di lapangan lebih baik dari pada penaburan bibit

2. Petai cina adalah jenis tanaman yang tepat digunakan pada penaburan benih secara langsung di lapangan

3. Pesentase pertumbuhan benih yang paling tinggi adalah benih petai cina dan benih suren

Saran

Dalam melaksanakan penanaman kondisi iklim harus benar-benar diperhatikan sehingga bibit dan benih tumbuh optimal.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Agus dan Sayful. 2006. Pengaruh Umur Semai Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren di Persemaian. http://www.dephut.go.id/files/Agus_Suren.pdf [14 Maret 2009 Pukul 11.00 WIB]

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University press. Yogyakarta.

BAPPENAS, 2000. Nangka.

http://www.pusri.co.id/budidaya/buah/NANGKA.PDF [12 Maret 2009 Pukul 10.00 WIB]

Brown S dan Lugo AE. 1990. Tropical Secondary Forest. J. Trop. Ecol

Daniel, TW, JA Helm, FS Baker. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Gajah Mada University Press. Bulaksumur. Yogjakarta.

Dorthe, J. 2002. Informasi Singkat Benih. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

http://www.dephut.go. Id /INFORMASI/RRL/IFSP/Toona_sureni%20_Blume.pdf [11 Maret 2009

Pukul 10.00 WIB]

Dzanau. 2007. Pohon Kayu Suren.

http://dzanau.wordpress.com/2007/12/05/pohon-kayu-suren/pdf [12 Maret 2009 Pukl 10.00 WIB]

Forest Wacth Indonesia. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Wacth Indonesia dan Washington D.C: Global Forest Wacth

Hardjadi, SS. 1993. Dormansi Benih. Dalam Dasar-Dasar Teknologi Benih. Departemen Agronomi IPB. Bogor

Hasanah, M. 2002. Peran Mutu Fisiologik Benih dan Pembangunan Industri Benih Tanaman Industri. Jurnal Litbang Pertanian, 21(3),

http://www.pustaka-deptan.go. id/ publication/ p3213022.pdf. [20 Agustus 2006. Pukul 14.00]

Kartosapoetra, AG. 2000. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta

_______________. 2003. Teknologi Benih. Rajawali. Jakarta

Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi, Produksi dan Skarifikasi Benih. Edisi I. Cetakan ke-1. ANDI. Yogyakarta.


(3)

Mugnisjah, W.Q dan Setiawan, A. 2004. Produksi Benih. Bumi Aksara: Jakarta. Purwantari, ND dan Sajimin. 2008. Leucena: Taxonomi, Adaptasi, Agronomi dan

Pemanfaatan. http://www.dephut.go.id/files/Agus_Suren.pdf [14 Maret 2009 Pukul 12.00 WIB]

Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Topis dan Sub-Tropis. Gramedia: Jakarta.

Sulistyo. 1998. Penyemaian Jenis Pohon Potensial untuk Lahan Kritis di Sulawesi Selatan. Bulletin Tekno DAS No. 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, BTP DAS Ujung Pandang.

Suryowinoto, M. 1988. Budidaya Tanaman Anggrek. Lab. Budidaya Jaringan. Penelitian dan Pengembangan Anggrek. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.

Sutedjo, M. 2004. Analisi Tanah, Air, dan Jaringan Tanaman. Rineka Cipta: Jakarta.

Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Edisi Revisi. Cetakan ke-5. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

. 2004. Teknologi Benih. Edisi Revisi. Rajawali. Jakarata

Warta Gerhan. 2006. Optimalisasi Peran Stakeholder dalam Implementasi Gerhan di Lapangan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Jakarta.

Wibowo, S. 2006. Rehabilitasi Hutan Pasca Operasi Illegal Logging. Wana Aksara : Banten


(4)

Penanaman dilakukan sesuai dengan denah dibawah

10 m

A1X A2X B1X B2X C1X C2X D1X D2X E1X E2X

1 m

A2Y A2Y B2Y B2Y C2Y C2Y D2Y D2Y E2Y E2Y

5 m 1 m

A1X A1X B1X B1X C1X C1X D1X D1X E1X E1X

A2Y A2Y B2Y B2Y C2Y C2Y D2Y D2Y E2Y E2Y

5m

1 m

A1X A1X B1X B1X C1X C1X D1X D1X E1X E1X

A2Y A2Y B2Y B2Y C2Y C2Y D2Y D2Y E2Y E2Y

Keterangan:

X å Lahan Yang tidak Dibersihkan D å Petai

Y å Lahan Yang dibersihkan E å Nangka

A å Suren A1, B1, C1, D1, E1å Biji yang dikecambahkan

B å Asam Jawa A2, B2, C2, D2, E2å Biji yang tidak dikecambahkan

C å Petai Cina

17,5 m

1 m

1 m

1 m

1 m

1 m

1 m 0.5 m

0.5 m 0.5 m X

X

X Y Y


(5)

Ulangan Nomor Petak

Jenis Tanaman

Perlakuan Pertumbuhan

Pertumbuhan TD D Bibit Benih Bibit Benih I 1 Suren √ - 0 - 0 - I 2 Suren √ - - 5 - 50 I 3 Asam Jawa √ - 0 - 0 - I 4 Asam Jawa √ - - 3 - 30 I 5 Petai Cina √ - 0 - 0 - I 6 Petai Cina √ - - 6 - 60

I 7 Petai √ - 0 - 0 -

I 8 Petai √ - - 1 - 10 I 9 Nangka √ - 0 - 0 - I 10 Nangka √ - - 1 - 10 I 1 Suren - √ 0 - 0 - I 2 Suren - √ - 8 - 80 I 3 Asam Jawa - √ 0 - 0 - I 4 Asam Jawa - √ - 6 - 60 I 5 Petai Cina - √ 0 - 0 - I 6 Petai Cina - √ - 9 - 90

I 7 Petai - √ 0 - 0 -

I 8 Petai - √ - 3 - 30 I 9 Nangka - √ 0 - 0 - I 10 Nangka - √ - 3 - 30 II 1 Suren √ - 0 - 0 - II 2 Suren √ - - 1 - 10 II 3 Asam Jawa √ - 0 - 0 - II 4 Asam Jawa √ - - 2 - 20 II 5 Petai Cina √ - 0 - 0 - II 6 Petai Cina √ - - 4 - 40 II 7 Petai √ - 0 - 0 - II 8 Petai √ - - 2 - 20 II 9 Nangka √ - 0 - 0 - II 10 Nangka √ - - 3 - 30 II 1 Suren - √ 0 - 0 - II 2 Suren - √ - 3 - 30 II 3 Asam Jawa - √ 0 - 0 - II 4 Asam Jawa - √ - 4 - 40 II 5 Petai Cina - √ 0 - 0 - II 6 Petai Cina - √ - 7 - 70 II 7 Petai - √ 0 - 0 - II 8 Petai - √ - 2 - 20 II 9 Nangka - √ 0 - 0 - II 10 Nangka - √ - 4 - 40 III 1 Suren √ - 0 - 0 - III 2 Suren √ - - 5 - 50 III 3 Asam Jawa √ - 0 - 0 - III 4 Asam Jawa √ - - 0 - 0 III 5 Petai Cina √ - 0 - 0 -


(6)

Ulangan Nomor Petak

Jenis Tanaman

Perlakuan

Pertumbuhan

Pertumbuhan

TD D Bibit Benih Bibit Benih

III 6 Petai Cina √ - - 6 - 60 III 7 Petai √ - 0 - 0 - III 8 Petai √ - - 2 - 20 III 9 Nangka √ - 0 - 0 - III 10 Nangka √ - - 1 - 10 III 1 Suren - √ 0 - 0 - III 2 Suren - √ - 9 - 90 III 3 Asam Jawa - √ 0 - 0 - III 4 Asam Jawa - √ - 3 - 30 III 5 Petai Cina - √ 0 - 0 - III 6 Petai Cina - √ - 8 - 80 III 7 Petai - √ 0 - 0 - III 8 Petai - √ - 4 - 40 III 9 Nangka - √ 0 - 0 - III 10 Nangka - √ - 2 - 20