Teori Belajar

2.1.4 Teori Belajar

Berbagai teori yang mengkaji konsep belajar telah banyak dikembangkan oleh para ahli. Teori-teori belajar yang mendukung penelitian Berbagai teori yang mengkaji konsep belajar telah banyak dikembangkan oleh para ahli. Teori-teori belajar yang mendukung penelitian

2.1.4.1 Teori Belajar Bruner

Bruner (Pitajeng, 2006: 27) berpendapat bahwa “belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur- struktur matematika”. Siswa harus menemukan keteraturan dengan cara mengutak-atik benda-benda yang berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa dalam belajar, harus terlibat aktif mentalnya. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat siswa. Dalam hubungannya dengan pelajaran simetri lipat, bruner menyatakan bahwa cara terbaik bagi siswa untuk mulai belajar konsep dan prinsip di dalam simetri lipat adalah dengan mengkonstruksikan sendiri konsep dan prinsip tersebut.

Menurut Zulfikar Ali (2010:59) Jerome S. Bruner dadalah ahli psikologi perkembangan yang memiliki perhatian terhadap kemajuan pendidikan, terlihat dalam empat tema pendidikan yang selalu ia sorot demi pengembangan peserta didik sebagai berikut:

1. Struktur pengetahuan Struktur pengetahuan dipandang penting bagi peserta didik karena akan

memberi dorongan untuk melihat fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan dapat dihubungkan antara satu dengan yang lainnya dan pada informasi yang telah dimilikinya.

2. Kesiapan (readiness) untuk belajar Kesiapan belajar juga sangat urgen dalam pendidikan, kesiapan belajar

terdiri dari penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi lagi.

3. Nilai Intuisi dalam Belajar Nilai intuisi diharapkan akan dapat merumuskan teknik-teknik

intelektual (belajar) untuk sampai pada formulasi-formulasi tentative tanpa melalui langkah-langkah analisis untuk mengetahui apakah fomulasi- formulasi itu merupakankesimpulan-kesimpulan yang benar.

4. Motivasi atau keinginan untuk Belajar Dengan adanya motivasi belajar diharapkan akan tertanamkan pada

pengalaman-pengalaman pendidikan yang secara langsung mau berpartisipasi secara aktif dalam menghadapai proses belajar mengajar.

2.1.4.2 Teori Belajar Vygotsky Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat

prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu: (1) Pembelajaran sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap; (2) ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak. (3) Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship); Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai; (4) Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.

Teori Vygotsky dalam hal ini lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran (Trianto,2007:27). Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang anak dalam perkembangan zone proximal , yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika ia melakukan perilaku sosial. Zone ini juga dapat diartikan sebagai seorang anak yang tidak dapat melakukan sesuatu Teori Vygotsky dalam hal ini lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran (Trianto,2007:27). Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang anak dalam perkembangan zone proximal , yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika ia melakukan perilaku sosial. Zone ini juga dapat diartikan sebagai seorang anak yang tidak dapat melakukan sesuatu

Satu lagi ide penting dari Vygotsky adalah Scaffolding yakni pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah anak dapat melakukannya. Penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian diberikan bantuan untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. Hal ini bukan berarti bahwa diajar sedikit demi sedikit komponen-komponen suatu tugas yang kompleks yang pada suatu hari diharapkan akan terwujud menjadi suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas kompleks tersebut (Nur & Wikandari dalam Trianto,2007: 27).

Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vigotky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka.

2.1.4.3 Teori Belajar Ausebel

Teori Ausebel lebih memperhatikan bagaimana individu belajar sejumlah materi pembelajaran secara bermakna dari suatu sajian berbentuk

verbal/teks di sekolah (berbeda dengan teori-tori yang dikembangkan dalam konteks percobaan-percobaan yang dilaksanakan di laboratorium). Menurut Ausebel, belajar dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) dimensi. Dimensi pertama, berhubungan dengan cara bagaimana informasi/materi pembelajaran verbal/teks di sekolah (berbeda dengan teori-tori yang dikembangkan dalam konteks percobaan-percobaan yang dilaksanakan di laboratorium). Menurut Ausebel, belajar dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) dimensi. Dimensi pertama, berhubungan dengan cara bagaimana informasi/materi pembelajaran

Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna . Menurut Ausebel, belajar bermakna akan terjadi bila si pembelajar dapat mengaitkan informasi yang baru diperolehnya dengan konsep-konsep (dikenal sebagai subsumer-subsumer ) relevan yang terdapat dalam struktur kognitif si pembelajar tersebut. Akan tetapi, bila si pembelajar hanya mencoba menghafalkan informasi baru tadi tanpa menghubungkan dengan konsepkonsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya tersebut, kondisi ini dikatakan sebagai belajar hafalan .

Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar belajar menjadi bermakna yaitu:

1. Pengaturan awal (Advance organizer) Pengaturan awal ini berisi konsep-konsep atau ide-ide yang diberikan kepada siswa jauh sebelum materi pelajaran yang sesungguhnya diberikan.

2. Progressive differentiation Menurut Ausubel pengembangan konsep berlangsung paling baik bila dimulai dengan cara menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang umum terus sampai kepada hal-hal yang khusus dan rinci disertai dengan pemberian contoh-contoh.

3. Rekonsiliasi integratif Guru menjelaskan dan menunjukkan secara jelas perbedaan dan persamaan materi yang baru dengan materi yang telah dijelaskan terlebih dahulu yang telah dikuasai siswa.

4. Konsolidasi (consolidation)

Guru memberikan pemantapan atas materi pelajaran yang telah diberikan untuk memudahkan siswa memahami dan mempelajari materi selanjutnya.

Selanjutnya, menurut Ausebel ada prasyarat-prasyarat tertentu agar terjadinya belajar bermakna. Pertama , materi yang dipelajari harus bermakna secara potensial, maksudnya materi pelajaran tersebut harus memiliki kebermaknaan logis. Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang konsisten dengan apa yang telah diketahui ( disebut materi non- arbitrer ) dan materi tersebut dapat dinyatakan dalam berbagai cara, tanpa mengubah arti ( disebut materi substantif ). Selain itu, aspek lain dari materi bermakna potensial ini adalah dalam struktur kognitif siswa harus ada gagasan-gagasan yang relevan . Artinya, pembelajaran harus memperhatikan pengalaman siswa, tingkat perkembangan mereka, intelegensi, dan usia. Bila para siswa tidak memiliki pengalaman yang diperlukan untuk mengaitkan atau menghubungkan isi pembelajaran tersebut, maka isi pembelajaran tersebut harus dipelajari secara hafalan.

Kedua , siswa yang akan belajar harus mempunyai niat/tujuan dan kesiapan untuk melaksanakan belajar bermakna. Tujuan belajar siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Banyak siswa yang mengikuti pembelajaran nampaknya tidak relevan dengan kebutuhan mereka pada saat itu. Dalam pembelajaran yang demikian, materi dipelajari secara hafalan. Para siswa mungkin kelihatan dapat memberikan jawaban yang benar tanpa menghubungkan materi itu pada aspek-aspek lain dalam struktur kognitif mereka.

Jadi, agar terjadi belajar bermakna materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memasukkan materi pembelajaran tersebut ke dalam struktur kognitifnya, dan dalam struktur kognitif siswa harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengaitkan atau menghubungkan materi yang baru tersebut secara non-arbitrer dan substantif. Jika salah satu komponen ini tidak ada, maka materi itu kalaupun dipelajari, akan dipelajari secara hafalan saja (Roser, 1984) dalam Harun (2014:3).

Belajar menurut Ausubel ada 4 (Asbarsalim:2015), yaitu:

1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang 1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang

2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.

4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir , kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.

Teori belajarr ini sejalan dengan penggunaan soal berorientasi PISA sebagai penilaian hasil belajar siswa. Dimana setelah siswa dihadapkan pada suatu masalah,mereka harus memecahkan permasalahan tersebut sebagai batu loncatan tejadinya suatu penemuan, baik penemuan konsep, model matematika, ataupun solusi pemasalahan. Denan penggunaan soal berorientasi PISA akan membuat siswa lebih terbiasa untuk menemukan konsep, model matematika, ataupun solusi matematika.

2.1.4.4 Teori Belajar Piaget

Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Piaget memakai istilah scheme dengan istilah struktur. Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang . Scheme berhubungan dengan :

1. Refleks-refleks pembawaan: misalnya bernapas, makan, minum.

2. Scheme mental ; misalnya scheme of classification, scheme of operation. ( pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap, pola tingkah laku yang dapat diamati).

Faktor yang Berpengaruh dalam Perkembangan Kognitif (Dahar, 2011: 141) yaitu :

1. Fisik

Interaksi antara individu dan dunia luar merupakan sumber pengetahuan baru, tetapi kontak dengan dunia fisik itu tidak cukup untuk mengembangkan pengetahuan kecuali jika intelegensi individu dapat memanfaatkan pengalaman tersebut.

2. Kematangan

Kematangan sistem syaraf menjadi penting karena memungkinkan anak memperoleh manfaat secara maksimum dari pengalaman fisik. Kematangan membuka kemungkinan untuk perkembangan sedangkan kalau kurang hal itu akan membatasi secara luas prestasi secara kognitif. Perkembangan berlangsung dengan kecepatan yang berlainan tergantung pada sifat kontak dengan lingkungan dan kegiatan belajar sendiri.

3. Pengaruh sosial

Lingkungan sosial termasuk peran bahasa dan pendidikan, pengalaman fisik dapat memacu atau menghambat perkembangan struktur kognitif

4. Proses pengaturan diri yang disebut ekuilibrasi

Proses pengaturan diri dan pengoreksi diri, mengatur interaksi spesifik dari individu dengan lingkungan maupun pengalaman fisik, pengalaman sosial dan perkembangan jasmani yang menyebabkan perkembangan kognitif berjalan secara terpadu dan tersusun baik.

Tahap – tahap Perkembangan

Piaget (dalam Dahar, 2011: 136-139) membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia :

1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)

2. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)

3. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)

4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

1. Periode sensorimotor

Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode.

2. Tahapan praoperasional

Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra) Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.

3. Tahapan operasional konkrit

Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai

4. Tahapan operasional formal

Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak