Bebas Mengemukakan Syarat Dalam Perjanjian

71 Menurut fukaha, ketentuan di atas tidak berlaku terhadap ‘aqd salam indent, istishna’ pesanan barang, dan musaaqah transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya. c. Akad itu tidak dilarang oleh nash syara’. Atas dasar ini, seorang wali pemelihara anak kecil, tidak dibenarkan menghibahkan harta anak kecil tersebut. Seharusnya harta anak kecil tersebut dikembangkan, dipelihara dan tidak diserahkan kepada seseorang tanpa ada imbalan hibah. Apabila terjadi akad, maka akad itu batal menurut syara’. d. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan, disamping harus memenuhi syarat-syarat umum. e. Akad itu bermanfaat, mempunyai manfaat bagi sendiri dan orang lain. f. Ijab tetap utuh sampai terjadi kabul, contohnya dua orang pedagang dari dua daerah yang berbeda, melakukan transaksi dagang dengan surat tulisan. Pembeli barang melakukan ijabnya melalui surat yang memerlukan waktu beberapa hari. Sebelum surat itu sampai kepada penjual, pembeli telah wafat atau hilang ingatan gila, transaksi semacam ini menjadi batal. g. Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. h. Tujuan akad itu harus jelas dan diakui oleh syara’.

3. Bebas Mengemukakan Syarat Dalam Perjanjian

Pandangan hukum Islam terhadap akad perjanjian berbeda dengan pandangan hukum positif yang sekular. Tanpa memperhatikan 72 nilai-nilai agama, suatu akad dipandang sah menurut hukum positif bila terjadi atas dasar sukarela antara pihak-pihak yang bersangkutan, meskipun harus dalam batas kepatutan. Berbeda dengan hukum Islam yang masih menekankan nilai-nilai agama. Maka, kemerdekaan orang dalam membuat akad dan syarat-syarat tidak dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan ajaran agama, meskipun pihak-pihak bersangkutan telah menyatakan sukarela. 21 Hukum Islam pada dasarnya memberikan kebebasan orang membuat perjanjian sesuai dengan keinginannya, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama, untuk menjaga jangan sampai terjadi penganiayaan antara sesama manusia melalui akad perjanjian dan syarat-syarat yang dibuatnya Kebebasan berkehendak dalam masalah akad dijelaskan dalam Maudlu’ Sulthanul iradah adalah “ Kebebasan kehendak si aqid pada asal akad, pada natijah-natijahnya dan pada batas kebebasan itu”. Artinya sampai dimanakah syara’ menghargai kebebasan bertindak sulthanul iradah itu. Prinsip sulthanul iradah ini berpautan dengan empat macam kebebasan : 22 a. Kebebasan si aqid dalam mengadakan akad dengan seseorang b. Kebebasan mengadakan iltizam dengan terjadinya persetujuan kedua belah pihak 21 Ahmad Azhar Basyir, Op.cit., hal. 108. 22 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op.cit., hal. 72 73 c. Kebebasan si aqid di dalam berbuat berbagai macam akad menurut kehendaknya d. Kebebasan si aqid dalam membatasi dampak atau pengaruh akad Kebebasan dalam membuat perjanjian di atas tidak lepas dari ketentuan-ketentuan hukum Islam syariat yaitu apa yang tertulis dalam Al Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW. yang menjadi dasar pokok pangkal ijtihad. Kebebasan mengadakan akad dalam Al Qur’an Surat An Nisa’ ayat 29 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta-hartamu diantara kamu dengan jalan yang batal kecuali kalau dia merupakan jual beli yang dilakukan dengan persetujuan diantara kamu” dalam surat Al Baqarah ayat 188 yang artinya : “Dan janganlah diantara kamu sekalian memakan harta-hartamu dengan cara yang batal” hadits nabi mengatakan bahwa : “Segala orang Islam berada di atas syarat-syarat yang mereka buat” hadits nabi yang lain mengatakan bahwa : “Segala syarat yang tidak ada dalam kitab Allah, maka syarat itu adalah batal” Setiap manusia mempunyai kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad, dan sebagai akibatnya wajib memenuhi ketentuan hukum 74 yang ditimbulkan oleh akad tersebut sebagaimana firman Allah surat Al Maidah ayat 1 : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…” Menurut ulama Mazhab Az Zahiri semua syarat yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad, apabila tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah adalah batal. Sedangkan menurut Jumhur Ulama Fikih, pada dasarnya pihak-pihak yang berakad itu mempunyai kebebasan untuk menentukan syarat-syarat tersendiri dalam suatu akad. Namun, hendaknya diingat, bahwa kebebasan menentukan syarat-syarat dalam akad tersebut, ada yang bersifat mutlak, tanpa batas selama tidak dilarang di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki.

4. Macam-macam Perjanjian