36
19. Waqaf, yaitu menanam suatu benda yang bisa diambil manfaatnya dan
bersifat tetap untuk satu tasharruf tertentu saja. 20.
Iqrar, yaitu pengakuan seseorang atas suatu hak yang menjadi tanggungannya.
21. Washiat, yaitu pemberian suatu hak kebendaan yang digantungkan
setelah pemilik benda tersebut mati.
C. HUKUM PERJANJIAN ISLAM
1. Pengertian Perjanjian
Secara etimologis, perjanjian yang dalam bahasa arab diistilahkan dengan mu’ahadah ittifa’, akad atau kontrak dapat diartikan sebagai:
“Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan di mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang yang lain atau lebih”.
21
Kata arab untuk kontrak atau perjanjian adalah al ‘aqad yang secara harfiah berarti ikatan atau kewajiban. Yang dimaksudkan oleh kata
ini adalah “mengadakan ikatan untuk persetujuan”. Pada saat dua kelompok mengadakan perjanjian disebut al ‘aqad, yakni ikatan untuk
memberi dan menerima bersama-sama dalam satu waktu, kewajiban yang timbul akibat perjanjian itu disebut al ‘uqud.
22
Menyangkut apa yang telah diperjanjikan, masing-masing pihak haruslah saling mengamati terhadap apa yang telah mereka perjanjikan
21
Ian Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang: C.V. Aneka, 1977, hal. 208.
22
A. Rahman I. Doi, Op.cit., hal. 452.
37
sebab dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an antara lain dalam surat Al Maidah ayat 1 yang artinya berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”. Adapun yang dimaksudkan dengan akad atau perjanjian adalah janji setia
kepada Allah SWT, dan juga meliputi perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan sesama manusia dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.
23
Akad dalam bahasa arab berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan. Pertalian ijab pernyataan melakukan ikatan dan kabul
pertanyataan penerimaan ikatan, sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh kepada obyek ikatan.
24
Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum
pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang kabul adalah pernyataan pihak kedua
untuk menerimanya.
25
Semua perikatan transaksi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak
syariat. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh
seseorang.
26
23
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 2.
24
M. Ali Hasan, Berbagai macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 101.
25
Ahmad Azhar Basyir, Op.cit., hal. 65 .
26
M. Ali Hasan, Loc.cit.
38
2. Rukun-rukun Perjanjian