PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL PLURALISTIK

III. PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL PLURALISTIK

A. Antara Pluralisme dan Multikulturalisme: Istilah yang Interchange-able Antara pluralisme dengan multikulturalisme merupakan istilah yang interchange-able (saling dipertukarkan dalam penggunaannya). Di antara ahli ada yang menyamakannya, dan juga ada yang membedakannya sekaligus ada yang menggunakannya secara bergantian untuk makna yang merujuk kepada fenomena kemajemukan.

PERBEDAAN PLURALISME DENGAN MULTIKULTURALISME 88

Multikulturalisme Sikap terhadap

Aspek

Pluralisme

- Integritas masing-masing batasan

- Integritas masing-

masing jalan sangat

jalan dihargai,

dipertahankan

memungkinkan berbagi jalan dengan yang lain

- Dapat ditembus

- Terbuka untuk dijelajahi

- Berbaur seperti

- Bisa berhimpit dan

minyak dan air

tumpang tindih

- Mempertahankan

- Batasan relatif samar dan

semua batasan

memelihara semua batasan.

- Keragaman hal biasa orang lain

Sikap terhadap

- Menghargai

perbedaan

(plural is usual)

- Dialog mutual yang

- Sharing dan kerjasama

saling menghargai - Ko-eksistensi

- Pro-eksistensi

- Kompromi tanpa

- Kompromi proporsional

menghilangkan

dan rasional

identitas - Anti-kolonial

- Post-kolonial

- Multifaset, dapat

- Memahami dan menilai

melihat pandangan

pandangan sendiri dan

sendiri dan orang

menghargai pandangan

lain tanpa perlu

orang lain

mengubah atau menantang pandangan sendiri

87 Muslihin, Towards Peace Education: Nurcholish Madjid’s Islamic Education Reform in Indonesia. Tesis (Leiden: TIYL and Leiden University, 2008), 77-79.

88 Bhaidawy, Pendidikan Agama, 69-70.

atau orang lain - Berbeda tapi sama

- Setara dalam perbedaan (equal in diversity)

- Kami-mereka,

- Kita, banyak

banyak

- Tiada hirarki, saling

- Tiada hirarki

mengisi

Sikap terhadap

- Banyak, saling menyapa sensibilitas

- Banyak, masing-

masing dengan integritasnya sendiri

- Multi integritas

- Multi integritas

bermartabat

Namun demikian dalam penelitian ini, kedua istilah tersebut –plural dan multikultural-- digunakan untuk maksud yang sama, yakni mengacu pada sikap

yang positif apresiatif terhadap perbedaan dan kemajemukan. 89 Di antara argumentasi penggunaan kedua istilah tersebut dalam makna yang

sama dan dapat saling dipertukarkan adalah sebagai berikut:

1. Banyak ilmuwan sosial mengistilahkan multikulturalisme sebagai cultural pluralism. 90 Dalam konteks ini, Prof. Thoha Hamim menegaskan bahwa

sekalipun berbeda dalam peristilahan, sehingga dikenal istilah composite society, cultural pluralism, melting pot society sampai bhineka tunggal ika, namun semua idiom itu mengacu pada satu makna yang sama, yakni “pengakuan terhadap adanya keberagaman”. Amerika Serikat biasanya menggunakan sebutan melting pot society, Kanada, multiculturalism community 91 dan India, composite society.

2. Bahwa kedua istilah tersebut –pluralisme dan multikulturalisme—sering kali digunakan secara bergantian, bahkan berdampingan dengan makna yang sama,

sehingga bersifat interchange-able. Misalnya Mohammad Ali,–dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—menggunakan kedua istilah tersebut secara

89 DR. Adian Husaini, intelektual yang selama ini sangat kritis pada pluralisme, menegaskan bahwa multikulturalisme merupakan istilah yang sejenis dengan pluralisme. Kalau pun dibedakan,

multikulturalisme merupakan istilah yang muncul lebih belakangan. Periksa Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), 186. Trisno S. Sutanto – seorang aktivis Masyarakat Dialog Antaragama (MADIA) dan ICRP menyatakan kebingungannya ketika orang membenturkan konsep pluralisme dengan multikulturalisme, karena, kini pluralisme digunakan dalam ranah yang lebih luas, dan bukan hanya dipahami dalam konteks agama. Lebih lanjut, Trisno menegaskan bahwa dia tetap bertahan dengan istilah pluralisme dengan alasan diskursus multikulturalisme berkembang belakangan yakni akhir tahun 1990-an dan –masih menurut Trisno— multikulturalisme tidak jelas mau mengarah kemana, tidak jelas dalam arti apa bedanya dengan pluralisme selain bahwa ia hanya memperluas cakupannya. Periksa Trisno S. Sutanto, “Percakapan dengan Trisno S. Sutanto”, Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme (Buku 2). Budhy Munawar Rachman, ed., 1604.

90 Choirul Fuad Yusuf, “Multikuluralisme: Tantangan Transformasi Pendidikan Nasional”, Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan.

Vol. 4 Nomor 1 Januari-Maret 2006, 21

Periksa Thoha Hamim, “Konflik dalam Perspektif Komunitas Beragama di Indonesia”, Thoha Hamim, et.al. Resolusi Konflik Islam Indonesia (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Sosial (LSAS) dan IAIN Sunan Ampel, 2007), 14. Lihat juga M. Atho Mudzhar, “Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan Ke Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan)”, M. Atho Mudzhar, et.al., Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural (Jakarta: Balitbang Departemen Agama RI., 2005), 4.

berdampingan dan bergantian dengan maksud yang sama 92 . Demikian pula, Franz Magnis Suseno, dalam kata pengantar buku Mohammad Ali ini

menggunakan istilah pluralis-multikultural dalam makna yang juga sama. 93 Pada sisi lain, Kautsar Azhari Noer –dengan mengacu pada Webster’s Dictionary-- juga memaknai pluralisme sama dengan multikulturalisme. Pluralisme –menurut Kautsar Azhari—merupakan sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara dan bahkan mengembangkan bahkan memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak. Pluralisme dapat pula berarti kebijakan atau politik yang mendukung pemeliharaan kelompok-kelompok yang berbeda-beda asal etnik, pola budaya,

agama dan seterusnya 94 .

B. Karakteristik dan Asumsi Pendidikan agama Islam Multikultural Pluralistik

pendidikan agama (Islam) multikultural pluralistik adalah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu grand design of God (Sunnat A lla> h) yang mesti diterima dengan penuh arif dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan yang plural multikultural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan (mard}a> ti A lla> h). Dengan definisi yang lebih operasional, dapat dinyatakan bahwa pendidikan agama (Islam) multikultural pluralistik merupakan usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif positif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif apapun, karena pendidikan agama berwawasan multikultural pluralistik memiliki visi dan misi untuk mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif terhadap pluralitas dan peduli terhadap persoalan hidup yang

komunal transformatif. 95 Dalam konteks ini, Zakiyuddin Baidhawy memerinci karakteristik pendidikan

agama (Islam) berwawasan multikultural, yaitu (1) Belajar hidup dalam perbedaan, (2) Membangun saling percaya (mutual trust), (3) Memelihara saling pengertian (mutual understanding), (4) Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect),

92 Periksa Mohammad Ali, Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan

(Jakarta: Kompas, 2004). Demikian pula yang dilakukan oleh Syafiq Hasyim, Ihsan Ali Fauzi dan Dadi Darmadi. Mereka menggunakan kedua istilah tersebut –pluralisme dan multikulturalisme—dalam posisi yang dapat saling dipertukarkan dan menganggap makna keduanya “sama”. Periksa Syafiq Hasyim, Ihsan Ali Fauzi, Dadi Darmadi, Modul Islam dan Multikulturalisme (Jakarta: ICIP, 2008).

93 Periksa Franz magnis Suseno, “Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan”, dalam Ali, Teologi Pluralis Multikultural, viii.

94 Kautsar Azhari Noer, “Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia: Menggugat ketidakberdayaan Pendidikan Agama”, Th. Sumartana, et.al, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia.

(Yogyakarta: Dian/Interfidei, 2005), 218. 95 Edi Susanto, “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural (Upaya Strategis Menghindari Radikalisme).”

KARSA Jurnal Studi KeIslaman, VOL. IX No. 1 (April 2006) , 785

(5) Terbuka dalam berpikir, (6) Apresiasi dan interdependensi, dan (7) Resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan. 96

Sedangkan asumsi pendidikan agama Islam multikultural pluralistik antara lain adalah inovasi dan reformasi pendidikan, identifikasi dan pengakuan akan pluralitas, perjumpaan

lintas batas, interdependensi dan kerja sama, pembelajaran efektif dan proses interaksi. 97

C. Tantangan Pendidikan Agama Islam Multikultural Pluralistik Tujuan pokok pendidikan adalah agar peserta didik secara aktif mampu

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan tidak hanya memberikan pengajaran keahlian khusus (spesialisasi), tetapi juga pemberian pengetahuan, pertimbangan, kebijaksanaan dan kearifan kepada peserta didik. Untuk sampai pada titik ini, pendidikan mesti diberikan dengan basis saling menghargai dan menghormati keberbagaian atau keragaman (pendidikan multikultural).

Sebagai negara yang memiliki multikulturalitas tinggi, semestinya Indonesia menerapkan pendidikan agama Islam –dan juga pendidikan keagamaan lainnya— yang berwawasan multikultural pluralistik, sehingga output-nya adalah terbentuk peserta didik yang memiliki wawasan dan sikap multikultural dengan indikator berusaha melaksanakan nilai-nilai multikultural-pluralistik dalam hidup kesehariannya atas dasar pandangan hidup yang berorientasi bahwa keragaman dalam aspek apa pun merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak eksistensinya sehingga mesti diapresiasi secara arif positif. Dalam istilah Nurcholish Madjid bersikap arif positif terhadap kebhinekaan adalah diwujudkan dengan pemahaman bahwa pluralitas tidak dipandang sebagai kebaikan negatif (negative good) yang kegunaannya hanya ditilik dari aspek penyingkiran fanatisisme, melainkan lebih dipahami sebagai genuine engagement of diversities within the bond of civility (pertalian sejati keragaman dalam ikatan-ikatan keadaban) bahkan pluralitas merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan di antara sesamanya sehingga mewajibkan tatanan

kehidupan toleran, terbuka dan menjunjung tinggi supremasi hukum. 98 Kendati demikian, menegakkan pendidikan agama Islam berwawasan atau

berbasis multikultural di negara ini bukan sesuatu yang mudah, sebab terdapat banyak aral dan tantangan yang menghadapinya. Secara garis besar –setidaknya— terdapat enam tantangan pokok, pertama, konformisme; kedua, sumber daya

96 Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, 78-85. Penjelasan tentang karakteristik pendidikan agama berwawasan multikultural merujuk pada buku ini.

97 Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, 86-103. 98 Periksa Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi Tantangan dan

Kemungkinan”, Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), 24.

manusia guru; ketiga, perubahan sosial politik; keempat, radikalisme atau fundamentalisme; kelima, perubahan orientasi, dan keenam, globalisasi. 99

D. Pendekatan dan Metode pendidikan Agama Islam Multikultural

Sebagai sebuah konsep yang m esti dit uangkan dalam sistem kurikulum, pendidikan agama (Islam) berw aw asan multikultural secara umum menggunakan berbagai pendekatan (approaches) dan metode yang beragam.

dilakukan dalam mengimplem entasikan pendidikan agama (Islam) berbasis multikult ural adalah (1) Pendekatan Historis, (2) Pendekatan Sosiologis, (3) Pendekat an kultural, (4) Pendekatan

psikologis, (5) Pendekatan estet ik, dan (6) Pendekatan Berperspektif Gender. 100 Keenam pendekatan ini sangat memungkinkan untuk t erciptanya kesadaran pluralistik

multikultural dalam pendidikan agama (Islam) serta dalam penerapannya sangatlah mungkin dit erapkan secara integratif, sehingga sangat m emungkinkan pula untuk t erbent uknya suatu bentuk pendekatan baru.

Sedangkan metode yang umum digunakan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural (sehingga dapat juga digunakan dalam pelaksanaan pendidikan agama [Islam] berwawasan multikultural) antara lain adalah (1) Metode Kontribusi; (2) Metode Pengayaan; (3) Metode Transformasi; (4) Metode Pembuatan Keputusan

dan Aksi Sosial. 101 Pendekatan dan metode-metode di atas, dalam aplikasinya tidak dapat diberi

batasan dengan tegas, dalam arti semua pendekatan dan metode tersebut dapat diaplikasikan secara simultan dan integratif dalam suatu proses pembelajaran.

Di antara implementasi dari aplikasi simultan dan integral pendekatan dan metode di atas adalah terwujudnya cooperative teaching (pembelajaran kooperatif) 102 , yang sangat memungkinkan terdidik berkomunikasi interaktif satu

dengan yang lainnya dengan optimal sehingga terwujud kesalingterbukaan dan kesalingpemahaman secara proporsional.

E. Kurikulum Pendidikan Agama Islam Multikultural Pluralistik

99 Diskusi mendalam tentang tantangan-tantangan pendidikan Islam dalam segala derivasinya dapat diperiksa dalam Hery Noer Ali dan Munzier Suparta, Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung

Insani, 2003), 227-234. 100

Zuly Qodir, “Pendidikan Islam Transformatif: Upaya Menyingkap Dimensi Pluralis dalam Pendidikan Akidah Akhlak”, Tashwirul Afkar ( Edisi No. 11 Tahun 2001), 38-43.

101 Suparta, Islamic Multicultural Education, 137-140.

Suatu pembelajaran dapat diidentifikasi sebagai pembelajaran kooperatif jika memiliki beberapa karakteristik. Pertama, adanya saling ketergantungan positif (positive interdependence). Kedua, adanya interaksi tatap muka yang membangun (face to face promotive interaction). Ketiga, adanya pertanggungjawaban secara individual (individual accountability). Keempat, terwujudnya keterampilan sosial (social skills), dan kelima, masing-masing kelompok mendiskusikan kemajuan mereka dan memberikan masukan, sehingga masing-masing mampu meningkatkan diri (groups process their effectiveness. Periksa Zainal Abidin, ed. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2009), 211.

Kurikulum 103 Pendidikan Agama (Islam) berwawasan atau berbasis multikultural pluralistik pada satu sisi terwujud dalam rangka menjawab tantangan

zaman yang semakin komplek dan dinamis di tengah suasana kehidupan yang semakin plural-multikulturalistik. Pada sisi lain, kurikulum pendidikan Agama (Islam) berwawasan multikultural pluralistik juga dipromosikan dalam rangka menutupi “rongga kekurangan” yang menjadi watak dasar dalam Pendidikan

Agama (Islam) yang sudah ada (konvensional) 104 . Diantara “celah” atau kekurangan Pendidikan Agama (Islam) konvensional adalah, 105 pertama,

pendidikan agama terlalu ditekankan pada aspek kognitif dan hafalan. Kedua, model pendidikan agama saat ini terlalu banyak menekankan pada indoktrinasi

yang mengharuskan bertindak secara ketat pada satu pilihan. 106 Ketiga, materi pendidikan agama cenderung menekankan pada ibadah formal dan bersifat

ritualistik serta kurang mengarah pada penghayatan dalam pada aspek sosial. Dengan kata lain, pendidikan agama cenderung bertitik tumpu pada keselamatan didasarkan pada kebaikan hubungan antara diri “seorang individu” dan “Tuhan”nya, dan kurang memberi tensi yang baik antara diri “invidu” dengan “individu-individu” sesamanya. Keempat, pada evaluasi mata pelajaran, penilaian tidak jarang hanya ditekankan pada hasil pengetahuan hafalan, pada hal nilai agama perlu diambil dari keseluruhan proses pendidikan. Kelima, pelajaran agama cenderung tidak memperkuat perkembangan tingkah laku siswa ke arah yang lebih baik karena pendidikan agama kurang dikaitkan dengan unsur kemanusiaan yang lain, seperti segi emosional, spiritual, sosial, budaya serta hidup bersama yang sangat sarat dengan perbedaan dan keberbagaian. Keenam, kurang kuatnya dukungan suasana dan sistem yang kondusif bagi perkembangan perilaku siswa menuju ke arah yang lebih baik.

Sehubungan dengan itu, terdapat beberapa hal yang penting dikemukakan dalam hal kurikulum Pendidikan Agama (Islam) multikultural, yaitu:

Berkaitan dengan pemahaman tentang kurikulum, setidaknya terdapat dua dimensi yang mesti dielaborasi, yakni kurikulum sebagai silabus (curriculum is a body of knowledge to be transmitted) dan kurikulum sebagai proses (curriculum as process). Kurikulum sebagai silabus dapat dipahami dalam pengertian sejumlah pernyataan atau daftar pokok-pokok bahasan, bahan ajar dan sejumlah mata pelajaran yang akan dijadikan sebagai bahan dalam proses pembelajaran. Dalam konteks pendidikan agama (Islam) multikultural pluralistik, guru harus mampu menelaah secara kritis materi atau bahan ajar yang akan ditransformasikan kepada terdidik untuk menghindari dari berbagai bias, baik bias yang tidak kelihatan, pemberian label negatif, ketidakmengacuan pada realitas dan bias lainnya. Kemudian kurikulum sebagai proses (curriculum as process) adalah interaksi antara guru, siswa dan pengetahuan. Atas dasar itu, semua yang terjadi dalam proses pembelajaran dan semua yang dilakukan guru-siswa adalah kurikulum. Lebih lanjut periksa Suparta, Islamic Multicultural, 145-147.

Amin Abdullah mengistilahkan pendidikan agama konvensional ini dengan pendidikan agama berparadigma klasik-skolastik. Periksa Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural, 138.

Suparta, Islamic Multicultural Education, 134-135. Bandingkan Azhary Noer, “Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia”, 233.

Ini terlihat misalnya dari buku-buku teks yang digunakan dalam proses pembelajaran, yang pada umumnya menekankan pembahasannya pada tradisi-tradisi mayoritas, sementara tradisi-tradisi minoritas sering diabaikan. Inilah yang disebut dengan bias yang tidak kelihatan (invisibility). Bias lainnya adalah steriotyping , yakni adanya pemberian label pada kelompok-kelompok lain, baik positif maupun negatif. Pada sisi lain, buku-buku teks yang dijadikan pegangan biasanya menggunakan perspektif budaya mayoritas dan abai terhadap perspektif minoritas (selectivity and imbalance biased). Bias lain yang biasanya terdapat dalam buku teks adalah buku-buku teks yang dijadikan pegangan tidak mengacu pada realitas (unreality).

1. Model Pendidikan Agama (Islam) multikultural pluralistik mencakup dimensi kurikulum yang resmi (real curriculum) dan kurikulum yang tidak tertulis (hidden curriculum). Model kurikulum multikultural berusaha mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan dan keterampilan hidup dalam masyarakat yang penuh keragaman. Dalam konteks ini, dikenal istilah inter

religion curriculum 107 (kurikulum berbasis antaragama), dalam mana muatan nilai, pengetahuan dan keterampilan dalam inter religion curriculum ini di-

design sesuai dengan tahapan perkembangan terdidik dan jenjang pendidikan.

2. Kurikulum Pendidikan Agama (Islam) multikultural pluralistik mesti disajikan dengan menggunakan lebih dari satu perspektif mengenai peristiwa-peristiwa sejarah dan fenomena kehidupan. Dengan demikian, pendidikan berwawasan multikultural pluralistik akan lebih memperkaya kurikulum yang sudah berlangsung. Titik berat pertama pendidikan multikultural pluralistik sesungguhnya terletak pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya sehingga tidak terjebak pada primordialisme maupun eksklusivisme, untuk kemudian dapat terjalin pada terwujudnya pemahaman nilai-nilai bersama (common values) dan upaya kolaboratif dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan yang saling terkait, seperti masalah yang

berkaitan dengan kejahatan, keterbelakangan dan kemiskinan 108 .

3. Pendidikan Agama (Islam) berwawasan multikultural pluralistik perlu diarahkan agar terdidik memahami doktrin-doktrin Islam secara utuh dan menyeluruh dan tidak berkutat pada masalah-masalah ritual atau mengutamakan pendekatan fiqhiyah belaka. Lebih dari itu, Pendidikan Agama (Islam) perlu diarahkan pada pencerahan hati dan kecerdasan emosional serta tidak hanya pada tataran kognitif, agar umat memiliki wawasan akidah, ruhiyah dan moral yang tinggi, kemampuan empati dan peka terhadap persoalan kolektif. Dengan bahasa lain, melalui wawasan pluralistik-multikultural, terdidik –secara graduatif— diharapkan tidak hanya sekadar mengetahui sesuatu dengan benar (to know), tetapi juga mengamalkannya dengan benar (to do), menjadi diri sendiri (to be)

Kurikulum berbasis antar agama ini meliputi tiga aspek, yakni kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif yakni daya pengetahuan dari dimensi-dimensi perenial agama-agama dan perbedaan- perbedaannya, menjelaskan persamaan-perbedaan dan keunikan tradisi agama-agama untuk saling berbagi dan bekerja sama dalam memecahkan masalah kemanusiaan dan lingkungan. Aspek afektif, yakni menghormati agama orang lain, berpikir positif tentang mereka dan memandang dalam tradisi dan keyakinan mereka terdapat juga keselamatan, sehingga mewujudkan hubungan yang setara dan berkeadilan. Aspek psikomotorik yakni kemampuan dalam merekonstruksi budaya anti kekerasan dan membangun peace building, kemampuan mengadakan rekonsiliasi dan resolusi konflik, kemampuan sosial untuk bersikap empati terhadap orang lain. Suparta, Islamic Multicultural, 148. 108

Dalam konteks masyarakat majemuk yang sangat sarat dengan beragam kepentingan dan sangat potensial pada terwujudnya konflik sehingga kita menyaksikan semakin banyak anak di dunia ini yang menjadi korban konflik dan kekerasan, masalah-masalah sosial yang semakin meningkat dan kurangnya sikap saling menghargai antar manusia. Dalam keadaan demikian, banyak dari mereka yang percaya bahwa sebagian dari solusinya adalah penekanan pada pendidikan nilai (living values education). Living Values Education (LVE) terdiri dari beberapa unit nilai yang mesti ditanamkan kepada terdidik sejak dini. Nilai-nilai itu adalah (1) kedamaian, (2) penghargaan, (3)Cinta, (4) toleransi, (5) kejujuran, (6) kerendahan hati, (7) kerjasama, (8) kebahagiaan, (9) tanggung jawab, (10)kesederhanaan, (11) kebebasan, dan (12) persatuan. Petunjuk teknik pelaksanaan secara aplikatif keduabelas nilai tersebut dapat diperiksa antara lain Diane Tillman, Living Values Activities for Young Adults. Ter. Risa Praptono dan Ellen Sirait (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004).

dan membangun kebersamaan hidup dengan orang lain dengan suasana saling menghormati (to live together).

4. Kurikulum Pendidikan Agama (Islam) berwawasan multikultural pluralistik sangat penting untuk mengaksentuasikan –dengan tanpa mengabaikan nilai-nilai teologis—pada pembentukan nilai-nilai moral, seperti cinta kasih, tolong menolong, toleransi, tenggang rasa, menghormati perbedaan pendapat dan kepercayaan keagamaan serta sikap-sikap lain yang mampu menciptakan dan mendukung hubungan harmonis antara sesama manusia, meskipun berbeda

etnis, agama dan kebudayaannya 109 . Sikap-sikap moral demikian akan lebih mudah ditanamkan jika para terdidik mengenal terdidik lainnya dari agama,

etnis dan budaya yang heterogen.

5. Dalam implementasinya, proses transformasi Pendidikan Agama (Islam) berwawasan multikultural pluralistik mesti mengacu dan pada pola pembelajaran yang menjamin segala kebhinekaan siswa –dalam segala aspeknya. Dalam konteks inilah, lahir pola pembelajaran interaktif (interactive learning), pembelajaran kolaboratif (collaborative learning) dan design pembelajaran lainnya yang bersifat student oriented.

6. Sejak dini mesti disadari –sebagaimana ditegaskan Tilaar—tidak terdapat model pendidikan multikultural pluralistik yang paling cocok atau paling pas untuk

semua situasi dan semua komunitas 110 . Artinya, model pendidikan pluralis- multikultural dapat saja cocok untuk suatu komunitas pada waktu tertentu,

namun menjadi tidak cocok pada situasi lainnya, atau model pendidikan pluralis multikultural cocok untuk komunitas tertentu, tetapi tidak cocok untuk komunitas lainnya. Karena itu, design ataupun model kurikulum Pendidikan Agama (Islam) berwawasan multikultural bersifat dinamis, dalam arti senantiasa menuntut pembaruan, inovasi ataupun reorientasi komponen-komponen kurikulum sesuai dengan dinamika komunitas serta perkembangan situasi dan kondisi.

7. Karena itu pula, penggagas pendidikan multikultural –setidaknya dalam kesan peneliti sendiri—tidak menyusun landskap atau model kurikulum dalam

bentuknya yang baku, final dan telah selesai, melainkan dalam bentuk gagasan pemikiran yang bersifat umum sehingga menuntut elaborasi dan penerjemahan konkret sesuai dengan dinamika siswa, situasi dan kondisi di lapangan. 111

109 Living Values Education diberikan untuk memotivasi murid dan mengajak mereka untuk memikirkan diri sendiri, orang lain, dunia dan nilai-nilai dalam cara-cara yang saling berkaitan. Kegiatan tersebut

bertujuan untuk merasakan pengalaman di dalam diri sendiri dan untuk membangun sumber daya diri, memperkuat dan memancing potensi, kreativitas dan bakat setiap siswa. Para siswa diajak untuk berrefleksi, berimajinasi, berdialog, berkomunikasi, berkreasi, membuat tulisan, menyatakan diri melalui ekspresi seni dan bermain-main dengan nilai-nilai yang diajarkan. Dalam prosesnya akan berkembang keterampilan pribadi, sosial dan emosional, sejalan dengan keterampilan sosial yang damai dan penuh kerja sama dengan orang lain. Ibid., xiii

H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004).

Dalam konteks ini, perspektif yang dikembangkan James A. Banks dapat diadaptasi dalam rangka pengembangan kurikulum Pendidikan Agama (Islam) multikultural pluralistik. Menurut Banks, kurikulum pendidikan multikultural dapat dikembangkan dengan cara mengintegrasikan materi-materi yang bersifat multikultural ke dalam kurikulum yang sudah ada. Untuk kepentingan ini, Banks merekomendasikan dua tahap, yaitu tahap penambahan (additive level) dan tahap perubahan (transformative level).

Tahap penambahan dilakukan dengan cara memperkenalkan konsep-konsep dan tema-tema yang terkait dengan multikulturalisme ke dalam kurikulum yang sudah ada, sehingga cara ini

Berdasarkan bahasan di atas, dapat ditegaskan bahwa tidak terdapat model yang paten atau bentuk baku dalam perumusannya, sehingga dapat ditegaskan bahwa konstruksi dan komposisi muatan kurikulum Pendidikan Agama (Islam) berwawasan multikultural pluralistik bersifat kontekstual-dinamis. Namun demikian, terdapat karakteristik yang senantiasa menjadi tabiat yang sangat menonjol yaitu adanya perubahan paradigma dan pola berpikir dalam menyikapi fenomena kemajemukan dalam segala hal, yakni pilihannya yang sedemikian tegas dan pekat dalam berpihak dan membela pluralisme-multikulturalisme, inklusivisme, toleransi, egalitarianisme dan sikap-sikap non sektarian.