BIOGRAFI INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID

II. BIOGRAFI INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID

Nurcholish Madjid dilahirkan di Mojoanyar Jombang pada tanggal 17 Maret 1939 yang bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358 Hijriyah. Nurcholish Madjid diberi nama oleh orang tuanya dengan nama Abdul Malik. Perubahan nama menjadi Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun, karena Abdul Malik kecil sering sakit. Dalam tradisi Jawa, anak yang sering sakit dianggap “kabotan jeneng” (keberatan nama) dan karena itu perlu diganti. 61

Ayahnya, H. Abdul Madjid, seorang kyai lulusan pesantren Tebuireng, yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Ayah Nurcholish memiliki hubungan yang sedemikian dekat dengan tokoh pendiri Nahdhatul Ulama (NU) ini, yaitu sebagai murid dan sebagai menantu dari keponakan KH. Hasyim Asy’ari, Halimah, sebelum akhirnya bercerai secara baik-baik karena tidak memiliki keturunan. H}adra> t al-Shaikh KH. Hasyim Asy’ari pula yang mencarikan jodoh untuk istri berikutnya yang kemudian

menjadi ibu kandung Nurcholish yaitu Hj. Fathonah, 62 putri dari KH. Abdullah Sadjad, yang juga teman karib KH. Hasyim Asy’ari.

Nurcholish juga bersekolah di SR di Bareng dan pada sore harinya belajar di Madrasah al-Wat}aniyah, yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Secara akademik, ia termasuk anak yang cerdas dan ketika berusia 14 tahun tepatnya pada tahun 1952 ia

dimondokkan oleh sang ayah ke Pesantren Darul ‘Ulum Rejoso Jombang 63 dan di pesantren ini, Nurcholish berprestasi secara mengagumkan. 64 Di Darul ‘Ulum,

Nurcholish hanya bertahan sekitar 2 tahun yakni sampai dengan tahun 1954. Penyebab ia hanya bertahan dalam durasi waktu singkat tersebut, bukan karena persoalan

akademik, tetapi karena dua alasan: alasan kesehatan dan ideologi politik 65 dan alasan terakhir inilah yang tampaknya sedemikian signifikan. Sebagaimana diketahui, H.

Abdul Madjid, meskipun orang NU dan murid KH. Hasyim Asy’ari, ia adalah orang Masyumi, dan pendirian yang tetap berpartai Masyumi itu tetap dipegang erat oleh

Abdul Madjid meskipun NU telah menyatakan keluar dari partai Masyumi. 66 Oleh teman-temannya, Nurcholish dicemooh sebagai “anak Masyumi Kesasar”. 67 Karena sering diejek itulah, Nurcholish meminta pada ayahnya untuk memindahkannya ke pesantren lain, dan pada tahun 1955, Nurcholish dipindahkan oleh ayahnya ke pondok

pesantren Gontor Ponorogo, suatu pondok pesantren yang berbeda dengan sistem pendidikan pesantren pada umumnya sehingga pondok pesantren tersebut diidentifikasi

61 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Kompas, 2010), 1.

62 Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki ed. Kesaksian Intelektual: Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa (Jakarta: Paramadina, 2005), xxix

63 Pesantren Darul Ulum merupakan salah satu dari pesantren terkenal di Jombang. Di samping Darul Ulum terdapat pesantren Tebuireng sebagai basis KH. Hasyim Asy’ari, Pesantren Bahrul Ulum Tambak

Beras dan Mambaul Ma’arif, Denanyar. 64 Barton, Gagasan Islam, 74.

65 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur. (Yogyakarta: Galang press, 2002), 48.

66 Barton, Gagasan Islam, 75. 67 Malik dan Ibrahim, Zaman Baru Islam, 123.

sebagai pesantren modern 68 , yang dalam penilaiannya lebih dekat ke Masyumi, habitat Nurcholish. 69 Di Gontor, Nurcholish selalu menunjukkan prestasi yang baik, sehingga dari kelas 1 ia langsung bisa loncat ke kelas 3. Di pesantren ini pula, ia banyak

mempelajari bahasa asing terutama bahasa Arab 70 . Setelah belajar di Gontor, Nurcholish melanjutkan ke IAIN Jakarta mengambil

kuliah di Fakultas Adab jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Di Kampus ini pula ia berkenalan dengan –dan untuk kemudian aktif di-- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), suatu organisasi kemahasiswaan tertua di Indonesia dan sering diidentifikasi sebagai

sayap liberal Islam. 71 Di lembaga pendidikan tinggi yang kemudian dikenal sebagai “kampus pembaharu” ini pula Nurcholish menulis skripsi berjudul al-Qur’a> n ‘A rabiyun

Lughatan wa ‘A la> miyun Ma’nan (al-Qur’an secara Bahasa berbahasa Arab dan secara Maknawi adalah Universal) dan menjadi sarjana terbaik pada tahun 1968. 72

Minat Nurcholis Madjid terhadap kajian keislaman semakin mengkristal dengan keterlibatannya di HMI. Sehubungan dengan pilihan Nurcholish yang bergabung dengan HMI –dan tidak dengan organisasi kemahasiswaan lainnya—terdapat beberapa penilaian yang memandang bahwa pilihan tersebut kurang lazim. Kekuranglaziman itu, setidaknya jika ditilik dari segi latar belakang bahwa umumnya mahasiswa fakultas agama yang jarang bergumul dengan organisasi semacam HMI yang pada saat itu dianggap memiliki reputasi sebagai mitra kerja Masyumi. Pandangan semacam ini setidaknya dapat ditangkap dari kesan Greg Barton yang meneliti pemikiran Neo- Modernis Nurcholish Madjid. Sikap Nurcholish yang memilih HMI setidaknya kurang cocok jika ditinjau dari kultur teologinya. Terhadap hal ini, Barton berusaha melacak keterlibatan Nurcholish di HMI pada sosialisasinya di lingkungan yang paling dini (keluarga). Barton berkesan bahwa pilihan tersebut disebabkan pengaruh ayahnya agar Nurcholish memiliki rasa hormat yang tinggi pada para pemimpin Masyumi seperti

Muhammad Natsir. 73

68 Mengutip penelitian Lance Castles, Barton menjelaskan tentang sistem pendidikan di Gontor. Sebagai pesantren modern, Gontor sudah dikenal lama memadukan tradisi klasik dengan liberal sebagaimana

secara sederhana direpresentasikan dalam bahasa pengantarnya. Pada masanya, sistem di Gontor diakui sebagai progresif. Periksa Barton, Gagasan Islam, 75. Lihat juga Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. (Jakarta: Paramadina, 1997), 26.

69 Ridwan, Pluralisme Borjuis, 48. Meski demikian, di pesantren Gontor setiap santri dibebaskan untuk menjadi NU atau Muhammadiyah.

70 Santri yang masuk di pesantren Gontor selama enam bulan wajib bercakap-cakap menggunakan bahasa Arab atau bahasa asing lainnya. Baru ketika duduk di kelas dua, seorang santri mulai diperbolehkan untuk

belajar nahwu dan Sarraf. Demikian juga di kelas tiga, empat, lima dan enam. 71 Liberalisasi pemahaman keislaman menjadi salah satu kata kunci dalam training-training (pelatihan),

diskusi atau debat-debat intelektual di HMI. Hal demikian, salah satunya disebabkan oleh pluralitas latar belakang tradisi keagamaan para anggotanya. Bahasan lebih elaboratif tentang potret dan sejarah HMI lihat Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Surabaya: Bina Ilmu, 1976). Victor Emmanuel Tanja, HMI: Sejarah dan Kedudukannya di Tengah-Tengah Gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia. (Jakarta: Sinar Harapan, 1982).

72 Kemampuan berbahasa Asing Nurcholish Madjid, bukan hanya berbahasa Arab, tetapi ia juga fasih dalam berbahasa Inggris, Prancis dan fasih pula dalam berbahasa Persia. Untuk kursus bahasa Prancis,

Nurcholish kursus di Alliance Francaise yang selesai pada tahun 1962. 73 Periksa Barton, Gagasan Islam, 78. Pandangan Barton tersebut, boleh jadi tidak sepenuhnya salah, meskipun bukan faktor utama dan tunggal, terutama jika dikaitkan dengan pewarisan kultur pesantren dan orientasi politik ayahnya. Tetapi jika dilihat dari keterlibatan dan perhatian Nurcholish yang sedemikian konsisten pada jalur intelektualnya yang mengawinkan tradisi klasik dan modern dalam konteks keindonesiaan, maka pengaruh tersebut juga diwarisi dari kultur Gontor yang mengintegrasikan nilai-nilai serupa.

Di HMI, ketokohan intelektual Nurcholish Madjid menemukan momentumnya, terbukti dia terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode

berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971 74 . Ia pun menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) periode 1967-1969. Dan untuk

masa bakti 1969-1971, Nurcholish menjadi Wakil Sekretaris Umum International Islamic Federation of Students Organisation (IIFSO) 75

Dalam masa jabatan sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI, tepatnya pada tahun 1968, Nurcholish Madjid melakukan kunjungan ke Amerika Serikat. Kunjungan itu sendiri terjadi atas undangan pemerintah Amerika Serikat, melalui USIS (United State of Islamic Student) dan berlangsung selama lima pekan. Di Amerika Serikat, Nurcholish belajar lebih banyak tentang gagasan-gagasan Barat seperti liberalisme, sekularisme dan demokrasi.

Kunjungan internasional ini ikut menentukan warna intelektual Nurcholish Madjid di HMI, namun kemudian sekaligus bersifat kontroversial. Dikatakan menentukan, karena ilham pembaruan pemikiran Islam yang dilakukannya diperoleh dari kesimpulan perjalanan itu. Dikatakan kontroversial, karena sejak lawatan tersebut, oleh sejumlah kalangan –antara lain sebagaimana ditulis Ahmad Wahib—dinilai sebagai tonggak yang

menandai pergeseran intelektual Nurcholish. 76 Persentuhannya dengan berbagai tradisi dan kultur serta literatur dari berbagai

sumber yang ditemuinya selama muhibah internasional itu, telah mendorong Nurcholish memproklamirkan pembaruan pemikiran Islam, melalui pidatonya pada tanggal 3 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Centre, Menteng Raya Jakarta Pusat dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. 77 Pidato tersebut, dipandang sebagai titik tolak perubahan orientasi pemikiran Nurcholish, dari seorang muslim idealis menuju pandangan muslim realis-pragmatis. 78

Melalui pidato itu, Nurcholish dipandang telah melontarkan gagasan kontroversial. Dikatakan kontroversial karena dalam pidato itu, ia menyampaikan gagasannya tentang “Islam Yes, Partai Islam, No”, suatu gagasan yang dinilai “telah mengkhianati” kecenderungan umum umat Islam waktu itu. Pidato tersebut mengundang respon dan polemik menghebohkan dan disertai tudingan yang

74 Terpilihnya Nurcholish sebagai ketua umum PB HMI yang kedua kalinya dipandang oleh yang bersangkutan sebagai suatu insiden atau kecelakaan sejarah, sebab kongres HMI yang berlangsung di

Malang –dalam pandangan Nurcholish—berjalan kurang sehat, yakni pertarungan dengan isu Jawa-luar Jawa, yang btidak menguntungkan bagi HMI beserta nilai pluralismenya. Waktu itu suara Jawa diwakili oleh Tawang Alun dan suara luar Jawa dipersonifikasikan pada Nazaruddin Nasution. Periksa Urbaningrum, Islamo-Demokrasi, 35. Lihat juga M. Dawam Rahardjo, “Djohan Effendi dalam Peta Pemikiran Gerakan Islam”, dalam Elza Peldi Taher, ed. Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai

70 Tahun Djohan Effendi. 75 Barton, Gagasan Islam, 78. (Jakarta: Indonesian Conference on Religion and Peace [ICRP], 2009), 6-7. 76 Djohan Effendi dan Ismet Natsir, Peny. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib.

(Jakarta: LP3ES, 1981). 77 Pidato pada tanggal 3 Januari 1970 itu diadakan pada forum Halal Bihalal dan Silaturrahmi organisasi

pemuda, pelajar dan mahasiswa muslim, yakni dari unsur Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami). Nurcholish bertindak sebagai pembicara tunggal, menggantikan Dr. Alfian. Periksa M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. (Bandung, Mizan, 1992), 18-19. Lihat pula Idem, “Djohan Effendi dalam Peta Pemikiran”, 2-11.

78 Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), 91-92.

memojokkan bahwa Nurcholish telah berubah secara fundamental 79 serta dinilai melawan arus kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan

visi Islam politik. 80 Penolakan Nurcholish terhadap tendensi visi Islam politik Masyumi terkenal

dengan jargon Islam Yes, Partai Islam No. 81 Sehubungan dengan gagasan itu --atau lebih jelasnya pasca Nurcholish menyampaikan pidato pada tanggal 3 Januari 1970—

banyak reaksi keras yang dialamatkan kepadanya. Reaksi keras tersebut terjadi, paling tidak, dapat dianalisis dari dua faktor. Pertama, pemikiran Nurcholish waktu itu berlawanan (kontras) dengan mainstream pemikiran politik tokoh-tokoh Islam waktu

itu 82 . Kedua, Nurcholish sudah terlanjur didaulat sebagai sosok Natsir Muda, yang dalam seg-segi tertentu diharapkan mampu merepresentasikan sosok Mohammad Natsir

dalam memperjuangkan aspirasi Umat Islam melalui visi politik Islam. Menghadapi reaksi tersebut, Nurcholish Madjid semakin aktif dengan gagasan- gagasannya, dengan mendirikan Yayasan Samanhudi dan ia menjadi direkturnya selama tahun 1974-1976. Di Yayasan inilah, Nurcolish terlibat intensif berdiskusi dengan Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa dan Abdurrahman Wahid. Ketika itu pula, dia bersama-sama kawan-kawannya tersebut menerbitkan majalah Islam yang sedemikian provokatif dalam menyebarkan gagasan pembaruan yakni Mimbar Jakarta. Tulisan-tulisannya di majalah ini menjadikannya dikritisi oleh orang-orang yang tidak

sepaham dengannya 83

Atas dasar itu, dalam sudut pandang Majalah Tempo –hingga batas tertentu— pemikiran Nurcholish telah menyebabkan Ormas-Ormas Islam yang telah menerima

79 Periksa Rahardjo, “Islam dan Modernisasi”, 19. Namun demikian, isi pidato itu, dalam pandangan Dawam Rahardjo, sesungguhnya menganjurkan kaum Muslimin membedakan mana yang substansial dan

mana pula unsur temporal 80

Yang dimaksud dengan Islam Politik adalah upaya penyaluran nilai-nilai Islam melalui pendekatan, aspirasi dan representasi partai politik Islam, yang waktu itu sedemikian kental diartikulasikan. Visi ini acapkali diidentifikasi sebagai Islam struktural yang –dalam perspektif para ahli—dikontraskan dengan pendekatan kultural . Untuk kasus Indonesia, gerakan struktural diwakili oleh Masyumi, Parmusi (pada masa Orde lama dan awal Orde Baru), gerakan Islam kontemporer semisal Front Pembela Islam, Lasykar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dan partai-partai politik Islam (pada zaman Reformasi). Sedangkan gerakan kultural acapkali diidentifikasi sebagai gerakan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid dan KH. Abdurrahman Wahid melalui kiprahnya di NU pasca khittah. NU sebelum dicanangkan Khittah, yakni ketika masa Demokrasi Terpimpin, Orde Lama dan awal Orde Baru sebelum dicanangkannya Khittah, menjadi organisasi politik atau setidaknya organisasi sosial kemasyarakatan dengan naluri politik yang memiliki tensi tinggi. Bahasan menarik tentang NU dan kiprah politiknya, periksa M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994).

82 Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid. (Jakarta: Rajawali pers, 1999), 37. Segara setelah kejatuhan rezim Soekarno, diantisipasi oleh para pemimpin Islam, dengan menyiapkan langkah-langkah yang memungkinkan politik Islam memainkan peran signifikan dalam rezim yang akan

datang. Ini membuat para pemimpin Islam memandang bahwa pada saat itu mereka mempunyai kesempatan baik untuk memainkan peran politik. Muhammad Hatta –mantan wakil presiden pertama— berusaha mendirikan partai Islam baru, Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), tetapi ia mengurungkan niatnya karena beberapa alasan. Tokoh Muhammadiyah-pun berusaha menghidupkan kembali Partai Islam Indonesia (PII), partai yang didirikan oleh pemimpin Muhammadiyah tahun 1938, tetapi juga tidak pernah terwujud karena saran M. Natsir agar Muhammadiyah mendukung rehabilitasi Masyumi daripada mendirikan PII. Periksa M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 31-35, khususnya catatan kaki nomor 28 dan 29 pada buku tersebut.

83 Periksa Barton, Gagasan Islam, 83-84.

asas tunggal (Pancasila) merasa lebih damai karena telah menemukan justifikasi atas sikapnya. 84

Selepas menjabat kepemimpinan di PB HMI pada periode yang kedua, Nurcholish lebih banyak meluangkan waktu untuk membaca dan menulis, selain juga menghadiri sejumlah diskusi dan forum-forum ilmiah lainnya. Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa hal penting yang dapat dicatat dari aktivitas Nurcholish, yakni keterlibatannya dalam Yayasan Samanhudi, yang kemudian melahirkan Forum Diskusi Mingguan dengan nama “Majelis Reboan”. 85

Pada tahun 1978 Nurcholish berangkat ke University of Chicago dan di sana Profesor Fazlur Rahman mengajaknya untuk mengambil penelitian bidang kajian keislaman (dibawah bimbingannya) daripada studi ilmu politik dibawah supervisi Profesor Leonard Binder, yang direncanakan oleh Nurcholish sejak awal.

Pada akhirnya, melalui perjuangan panjang, pada tahun 1984 Nurcholish lulus dengan nilai cum laude melalui disertasi yang sampai sekarang belum diterbitkan 86 Ibn

Taymiya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam. Sebagai seorang intelektual, Nurcholish telah melahirkan banyak karya, sekalipun masih merupakan kumpulan tulisan (makalah) dalam seminar berseri di Klub Kajian Agama Paramadina dan acara lainnya serta kumpulan kolom di surat kabar. Karya- karya “bunga rampai” tersebut antara lain adalah Khazanah Intelektual Islam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-Pikiran Nurcholish “Muda”, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Masyarakat Religius, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam pembangunan di Indonesia, Kaki Langit Peradaban Islam, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah potret Perjalanan, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Perjalanan Religius ‘Umrah dan Haji, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid “Tekad”, Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi, Indonesia Kita, Pesan-Pesan Takwa Nurcholish Madjid: Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, 30 Sajian Ruhani: Renungan di Bulan Ramadhan dan berbagai karya tulis lainnya.

Pada akhirnya, Nurcholish Madjid menghadap Tuhan pada usia 66 tahun, tepatnya pada hari Senin, 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB, setelah kurang lebih selama 1 tahun berjuang melawan penyakit hati yang menyerangnya. Nurcholish meninggalkan seorang Istri, Omi Komaria dan dua orang anak, Nadia Madjid dan Ahmad Mikail.

Sampai meninggalnya-pun, Nurcholish Madjid tetap merupakan sosok kontroversial dengan ide-idenya. Namun di atas segalanya, terhadap apa yang dilakukannya untuk bangsa dan untuk kualitas seperti yang ditunjukkan selama

84 Ibid., 36. 85 Disebut dengan “Majelis Reboan” karena forum diskusi ini terjadi pada setiap hari Rabu. Forum

intelektual ini, meskipun belakangan terkesan kurang intensif mengadakan kegiatan, tetapi sesekali masih terdengar menggelar diskusi hingga tahun 2004. Ibid., 83. Penjelasan lebih elaboratif tentang Majelis Reboan ini dijelaskan pada bab 5 disertasi ini.

86 Tidak terbitnya disertasi Nurcholish Madjid –dan juga tokoh-tokoh pembaruan pemikiran Islam di Indonesia yang lebih belakangan, seperti Prof. Komaruddin Hidayat (kini Rektor UIN Jakarta) dikritisi

oleh banyak orang, termasuk yang paling tandas adalah Yudian Wahyudi. Lebih jelasnya periksa Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika. (Yogyakarta: Nawesea, 2007), xi-xii.

hayatnya, maka dalam dekade sebelum meninggalnya, bangsa ini menganugerahi Nurcholish sebagai salah satu Guru Bangsa, 87 suatu gelar kultural yang –barangkali—

sepadan dengan kiprahnya selama hidup.