Nilai-nilai Pluralisme Islam sebagai Basis Pendidikan Agama Islam

B. Nilai-nilai Pluralisme Islam sebagai Basis Pendidikan Agama Islam

Multikultural Pluralistik

Nurcholish menyadari kenyataan rendahnya kualitas pendidikan umat Islam, sehingga sangat menganjurkan umat Islam untuk menyadari kelemahannya, untuk kemudian berbenah diri. Aktivitas ini dapat diawali –dalam kaitannya dengan lembaga keilmuan Islam tersebut—dengan meningkatkan kualitas perpustakaan, pembenahan metodologi dalam pengajaran dan pengkajian dan penelitian. Kelemahan itu, antara lain terjadi disebabkan oleh lemahnya kesadaran sejarah, karena tiadanya sikap kritis, sehingga umat Islam tidak dapat memilah antara yang murni ajaran dan yang merupakan produk sejarah. Dalam konteks ini, Nurcholish menyerukan kesediaan belajar dari sejarah sangat penting untuk ditanamkan sejak dini pada terdidik.

Ketika belajar dari sejarah inilah, sikap kritis dan reflektif merupakan suatu kemestian, dengan alasan: Pertama, sejarah bukan sesuatu yang sakral. Kedua, sejarah merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial yang tidak memiliki kadar kepastian setinggi ilmu-ilmu eksakta, sehingga mengesankan sebagai luwes, lunak dan kurang pasti. Ketiga, melalui sejarah dapat diketahui “bermainnya faktor-

Komaruddin Hidayat, Psikologi Ibadah Menyibak Arti Menjadi Hamba dan Mitra Allah di Bumi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), 7.

116 Ibid. Perjuangan menyempurnakan diri ini penting disadari oleh manusia karena manusia merupakan makhluk yang lemah. Kelemahan tersebut bisa membuat manusia menyeleweng dari kesuciannya sendiri

terutama kalau ia terpengaruh oleh lingkungan yang tidak kondusif untuk mengembangkan kesucian tersebut. Maka dalam menemukan kembali kesuciannya manusia tidak bisa dibiarkan sendirian, ia harus dibantu dan bantuan yang diperlukan adalah agama. Periksa Rachman, Ensiklopedi Nurcholish, 1818.

117 Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, 2418.

Ibid., Dengan meminjam istilah yang populer di masyarakat (tapi sedikit salah kaprah), dapat dikatakan bahwa “pendidikan dengan bahasa perbuatan” (tarbiyatun bi lisa> ni al-ha> l ) untuk anak adalah lebih efektif dan lebih mantap daripada “pendidikan dengan bahasa ucapan” (tarbiyatun bi lisa> ni al- maqa> l ).

faktor hubungan hidup antar manusia, yaitu faktor-faktor sosial budaya”. 119 Dengan berpijak pada argumentasi di atas, Nurcholish menggariskan pentingnya melakukan

beberapa hal sebagai berikut:

1. Penelaahan kembali pemahaman orang-orang Muslim terhadap agamanya. Ini terutama relevan bagi mereka yang melakukan kajian ilmiah yang secara metodologis tentunya harus dengan semangat “disengaged”, namun secara pribadi, secara keimanan misalnya, tetap “engaged”.

2. Sekaligus dengan itu, justru untuk memenuhi syarat “keilmiahan”-nya, juga diperlukan penelaahan kembali sejarah pemikiran Islam sejak masa-masa awal sampai sekarang,

3. Juga masih tetap dalam konteks 1 dan 2 itu, perlu telaah tentang milieu Islam yang ada dalam sejarah, terutama segi-segi sosial, politik dan kultural, tetapi mungkin juga telaah ini diperluas ke dalam segi-segi etnis, linguistik dan lain- lain.

4. Dan itu semua mengharuskan adanya tenaga yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

5. Kemudian harus didukung dengan fasilitas riset yang cukup khususnya dalam bentuk perpustakaan yang memenuhi syarat. 120

Itulah antara lain beberapa hal substantif yang mesti dilakukan dalam proses pendidikan agama Islam. Dengan mengawali pembenahan segi-segi kualitas keilmuan itu, diharapkan umat Islam akan lebih arif, dalam arti menyadari kelemahan atau kekurangannya. Sepadan dengan itu, adalah penting ditradisikan pula wawasan tentang idea of progress, optimis dan sikap terbuka. Ketiga sikap ini, yakni idea of progress, optimis dan terbuka dalam pandangan Nurcholish merupakan sikap yang qur’anik dalam makna bersedia belajar dari komunitas yang lain dengan tulus dalam makna yang seluas-luasnya, dengan alasan adanya dimensi

h}ani> 121 f pada diri setiap manusia, tanpa terkecuali. Melalui pemahaman tentang h{ani> f tersebut, kaum Muslim dapat belajar dari siapapun dengan tanpa

hambatan, 122 sampai pada tataran teologis sekalipun. Dalam rangka “menghilangkan”—atau

meminimalisasi—hambatan-hambatan teologis dalam belajar dan menjalin kehidupan bersama dengan komunitas yang berbeda dalam segala hal –termasuk dalam hal yang paling mendasar, yakni perbedaan teologis—perlu dilandasi oleh nilai-nilai substansial Ilahiah. Dalam

sekurangnya

119 Madjid, “Pendahuluan”, xxvii.

Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), 10.

121 Nurcholish memaknai h{ani> f sebagai alami, tidak dibuat-buat atau dikacaukan oleh mitologi dan kultus kepada misteri. h{ani> f merupakan kecenderungan alami manusia yang selalu mendorongnya agar

mencintai dan merindukan yang benar. Periksa Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992), xvi dan 484.

Tanpa hambatan dalam konteks ini tidak berarti menghilangkan sikap kritis reflektif dan kesangsian positif atau hikmah keraguan, dalam bahasa Nurcholish Madjid. Justru dengan hilangnya sikap kritis reflektif dan kesangsian positif dalam aktivitas ilmiah, menjadikan aktivitas tersebut sebagai tidak ilmiah. Berkaitan dengan anjuran agar kaum Muslimin dapat belajar dari siapa pun, Nurcholish acapkali mengutip berbagai sabda Nabi yang berkaitan dengan menuntut ilmu, seperti hadith Nabi yang menegaskan bahwa “ilmu kebijaksanaan (al-H}ikmah) adalah barang hilangnya kaum beriman. Maka barang siapa menemukannya, hendaknya ia memungutnya”; “ambillah al-H}ikmah, dan tidak akan berpengaruh buruk kepadamu dari bejana apa pun ia keluar”.Periksa Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 131.

konteks demikian, Nurcholish sangat sering mengutip ayat al-Qur’an tentang upaya pencarian titik temu (common platform, kali> mat sawa> ’) s eperti QS. Ali ‘Imran/3 ayat

64. Dalam rangka membentuk sikap mental yang cenderung kepada upaya pencarian titik temu (common platform), dengan segala derivasinya kepada terdidik, dalam pandangan Nurcholish, peran keluarga (rumah tangga) sedemikian besar. dapat ditradisikan dalam keluarga, jika orang tua memiliki pemahaman yang memadai tentang aspek yang paling mendalam dari dimensi kemanusiaan sebagaimana disebutkan di atas, yang merupakan elemen mendasar dari konsep

pluralisme-multikultural. 123 Dengan pintu masuk pluralisme –yang pada dasarnya, tidak cukup hanya

dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk, tapi yang jauh lebih mendasar adalah, harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif dan merupakan

rahmat Tuhan kepada manusia 124 --umat Islam dapat mengkonstruksi pendidikan keagamaannya dengan lebih baik.

Salah satu indikator baiknya mutu pendidikan agama adalah keberhasilannya dalam membentuk pemahaman dan penghayatan pada terdidik bahwa agama merupakan sistem simbolik yang memiliki makna substansial di balik sistem simbol tersebut. Melalui pemahaman bahwa agama merupakan sistem simbol, --dalam pandangan Nurcholish—akan tercapai sikap persaudaraan, bersedia mengakui kekurangan diri sendiri dan tidak memutlakkan pendapat diri (relativisme internal), rendah hati dan bersikap lapang dada dalam berinteraksi dengan sesamanya. Pada sisi lain, dengan terbentuknya pemahaman agama sebagai sistem simbol, seseorang akan terhindar pula dari sikap eksklusif dan fanatisisme sempit, suatu bentuk kesalehan lahiri dan formal yang –dalam bahasa Nurcholish sendiri— merupakan “suatu kesalehan yang mengecoh”.

Dalam bingkai kesadaran bahwa setiap manusia –siapapun dia—memiliki dasar pembawaan suci (fitrah) dan cenderung kepada kebenaran (hanif) inilah,

semestinya yang mendasari konstruksi struktur kurikulum dan pelaksanaan pendidikan, sehingga tugas dari suatu generasi adalah mengusahakan, pertama, agar fitrah dan kehanifan generasi yang sedang tumbuh tidak rusak oleh lingkungan sosial budayanya, dan kedua, agar nilai-nilai kemanusiaan asasi itu tumbuh dan

berkembang dengan baik. 125 bagi Nurcholish, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap

bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling

menghormati. 126 Pluralisme di samping dapat mengantarkan seseorang pada

123 Karena itu, pandangan yang proporsional tentang pluralisme, multikulturalisme dan berbagai hal yang berkaitan dengan dimensi kemajemukan dalam kehidupan merupakan hal yang mesti disosialisasikan

dengan berpijak pada diktum-diktum dalam kitab suci, sehingga lebih menyentuh dan lebih membekas. Selama ini, sosialisasi terhadap terhadap konsep-konsep tersebut –sebagaimana ditegaskan oleh Amin Abdullah—hanya terbatas pada kalangan-kalangan tertentu, sehingga bersifat elitis dan tidak menyentuh sasaran yang bersentuhan langsung dengan terdidik. Periksa M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius (Jakarta: PSAP, 2005), 123-144.

124 Periksa Rachman, Ensiklopedi, 2694.

Nurcholish Madjid, “Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi”, Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban. Vol. 1 Nomor 1 Juli-Desember 2008: 42. 126 Rachman, Ensiklopedi, 2698.

terbentuknya sikap relativisme internal, kritis reflektif dan terbuka, juga dapat membentuk sikap arif, dialogis, tidak hitam putih, dan sekaligus mampu membedakan mana ajaran yang murni dan mana pula yang merupakan tafsir terhadap ajaran sehingga terhindar dari sikap fanatisisme sempit dan pada akhirnya

dapat bersikap inklusif. 127 Bagi Nurcholish, paham kemajemukan masyarakat yang dimiliki ajaran

Islam merupakan salah satu nilai keislaman yang sangat tinggi bagi kemodernan dan merupakan salah satu ajaran pokok Islam yang sangat relevan dengan zaman

sekarang. 128 Pluralisme dalam Islam yang kemudian melahirkan adanya konsep ahl al-Kitab, yang dari konsep ahl al-Kitab itulah melahirkan konsep zimmah yakni

perlindungan, dalam hal ini perlindungan kepada golongan non-Muslim penganut kitab suci. Karena itu –dalam pandangan Nurcholish-- ahl al-Kitab juga disebut golongan ahl al- zimmah atau kaum zimmi, yang berarti “mereka yang harus dilindungi”. Dalam hal ini –lanjut Nurcholish—Nabi mengingatkan dalam sebuah sabdanya “barang siapa yang menyakiti seorang zimmi maka ia tidak termasuk

golonganku” (man ‘aza> 129 zimmiyan fa laysa minni> ). Atas dasar proposisi dan konstruksi pemikiran yang demikian, adalah wajar

jika dalam pandangan Nurcholish, nilai-nilai pluralisme-multikultural menjadi basis ontologi, basis epistemologi dan basis aksiologis dalam pengembangan konstruksi pendidikan agama (Islam) dalam mewujudkan tujuannya, sehingga menjadi wajar pula jika tema tersebut menjadi ide pokok atau metanarasi dalam konstruksi hampir keseluruhan gagasannya tentang upaya peningkatan kualitas pendidikan agama Islam dalam maknanya yang luas dan mencakup.