SUMBER SEJARAH BAGI HISTORIOGRAFI INDONESIA

BAB V SUMBER SEJARAH BAGI HISTORIOGRAFI INDONESIA

1. Permasalahan Teoretis Studi Sejarah Indonesia 50 Persoalan teoretis dalam studi Sejarah Indonesia berarti menyangkut

bagaimana kecenderungan studi sejarah di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa membahas tentang berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para sejarawan serta berbagai corak dan kecenderungan historiografi Indonesia, sangatlah penting untuk menilai apakah historiografi Indonesia yang telah dihasilkan telah sesuai dengan yang diharapkan (secara ilmiah). Pemahaman dan pemecahan terhadap masalah-masalah historiografi Indonesia akan menentukan suatu rumusan tentang bagaimana penelitian sejarah Indonesia harus dilakukan.

Mohammad Ali, menegaskan bahwa salah satu masalah dalam historiografi Indonesia adalah berkaitan dengan konsep Indonesia. Konsep, ruang lingkup, dan kedalaman penulisan sejarah tersebut menentukan bentuk dan sifat historiografi Indonesia. Masalahnya adalah apakah objek dari historiografi Indonesia itu sama atau berbeda mengingat bangsa Indonesia menempuh perjalanan politik yang tiap zamannya berbeda.

Kalau historiografi Indonesia ditafsirkan sebagai sejarah orang Indonesia yang tinggal di Republik Indonesia berarti objek sejarahnya berupa organisasi politik. Selain itu, apabila prasasti Kutai (abad ke-4) dipandang sebagai batas

50 Disunting dari buku Soedjatmoko (eds.). 1995. Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hlm. 1-29.

antara zaman sejarah dan zaman prasejarah atau protosejarah, maka wilayah penelitian sejarah Indonesia harus dipandang sebagai suatu konsentrasi dari wilayah Asia Tenggara ke wilayah Republik Indonesia. Nah, dalam perjalannnya terdapat beberapa organisasi politik yang memberikan pengaruh baik secara politik, budaya, ekonomi, maupun sosial. Dengan demikian, skoop spasial historiografi Indonesia meliputi: Pertama, kerajaan-kerajaan di Indonesia yang memiliki kedaulatan penuh dan satu per satu takluk terhadap kekuasaan asing. Kedua, daerah kekuasaan Portugis, yang mulai “meramaikan” Nusantara sejak tahun 1511. Daerah ini pada akhirnya menjadi daerah kekuasaan Belanda, kecuali wilayah Tiomor bagian Timur. Ketiga, daerah yang dikuasai oleh Inggris, sampai 1824. Keempat, Hindia Belanda yang proses pembentukan melalui beberapa tahan (1605, 1910, 1945-1949). Kelima, Republik Indonesia sejak tahun 1945.

Dengan spasial seperti itu, karya sejarah yang dihasilkan akan berupa kisah tentang bangsa Indonesia yang hidup pada masa: kerajaan merdeka (historiografi tradisional), tegaknya kekuasaan bangsa asing (hisoriografi kolonial), dan Republik Indonesia (historiografi Indonesia). Ketigannya memiliki

pandangan dan tujuan yang berbeda. 51 Pada prinsipnya, Historiografi Indonesia tidak dapat dipandang sebagai penyuntingan ulang terhadap cerita lama,

51 Historiografi tradisional masih memperlihatkan corak yang magis-mitologis karena lebih mementingkan isi cerita daripada fakta-fakta sejarah. Bagi mereka, visi historis lebih penting

daripada metodologi yang dipakai. Tentang historiografi kolonial, de Graaf membuat suatu periodisasi Sejarah Indonesia, yaitu Indonesia dan Asia Tenggara (sampai 1650), Indonesia di bawah kekuasaan VOC (1600-1800), dan Indonesia di bawah kekuasaan Hindia Belanda (sejak tahun 1800). Historiografi Indonesia harus menguraikan sejarah bangsa Indonesia yang bercorak Indonesia. Artinya yang menjadi pemeran utama dalam panggung sejarah Indonesia adalah bangsa Indonesia sendiri sehingga historiografi Indonesia bukanlah penyuntingan ulang dari kisah sejarah yang ditulis, melainkan melukiskan kembali tindakan dan perilaku manusia Indonesia berdasarkan tuntutan ilmiah.

melainkan sebagai suatu usaha untuk memperoleh kebudayaan baru dari bangsa Indonesia. Suatu rekonstruksi yang tentunya harus juga sesuai dengan kaidah- kaidah ilmiah seperti yang berlaku di dunia barat. Untuk mewujudkannya, sumber-sumber sejarah Indonesia tidaklah sedikit. Masalahnya adalah sejauh mana sumber yang ada dapat mewujudkan Sejarah Indonesia yang bercorak Indonesiasentris?

2. Sumber Benda dan Prasasti 52

L. Ch. Damais memberikan informasinya mengenai berbagai sumber sejarah yang dapat dijadikan bahan untuk rekonstruksi Sejarah Indonesia, khususnya sebelum abad ke-17. Pertama, prasasti yang kebanyakan berupa piagam dalam bahasa Sansekerta, Melayu Kuno, Jawa Kuno, Bali Kuno, dan Sunda Kuno. Di Sumatera terdapat beberapa buah prasasti berbahasa India (bukan Sansekerta) yang belum dipelajari, sehingga rekonstruksi yang dihasilkan belum begitu memuaskan Prasasti-prasasti inilah dasar bagi pengetahuan kita mengenai ruang lingkup kronologi karena sebagian besar merupakan dokumen asli. Kedua, naskah yang ditulis di atas daun lontar yang tersebar di Jawa, Bali, dan Sunda. Sebagian naskah merupakan sumber sejarah yang memiliki nilai historis tinggi, tetapi sebagian lagi memiliki nilai tinggi untuk bidang non-sejarah, seperti seni. Ketiga, sumber luar negeri terutama yang berasal dari Cina, India, Islam, Jepang, Portugis, Belanda, Inggris, dan Uni Soviet (sekarang Rusia).

52 Disunting dari buku Soedjatmoko (eds.). 1995. Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hlm. 30-57.

Sumber lainnya yang mungkin berguna untuk historiografi Indonesia berasal dari dari Kamboja, Campa, Vietnam, dan Yunani. 53

Untuk dapat mempergunakan sumber-sumber tersebut, para sejarawan mendapat bantuan dari beberapa karya yang berbentuk kamus atau daftar istilah. Untuk sumber berbahasa Jawa Kuno, terdapat sebuah daftar istilah (Oudjavaansch-Nederlandsch Woordenlijst) yan dikumpulkan oleh H. H. Juynboll berdasarkan terjemahan-terjemahan yang diterbitkan sebelum tahun 1923. Ada juga Kawi Balineesch Nederlandsch Woordenboek karya van der Tuuk yang lebih bersifat sebagai kumpulan istilah daripada sebuah kamus.

Mengenai perspektif sejarah dari penelitian sumber tersebut, dapat dikatakan bahwa teori yang diusulkan acapkali tidak didukung oleh dokumen yang ada. Bertolak dari teori yang yang tertatanam sebelumnya, para ahli hanya mempertimbangkan fakta yang menyokong teori mereka dan sama sekali tidak memperhatikan secara serius data yang menunjukkan kebalikannya atau bahkan sama sekali menolak data itu. Sebagai contoh adalah teori penjajahan India atas Kepulauan Nusantara yang berimplikasi pada lahirnya istilah: Greater India, Hindoe-Javaansche Kunst , atau Inde Extérieure; atau sejumlah perkiraan tentang faktor-faktor penyebab pergeseran kekuasaan politik dari Jawa Tengah ke Jawa

53 Sumber Cina (Pen Chi ‘Hikayat Kekaisaran’ dan Chuan ‘Pengumuman) memuat catatan tentang hubungan negara Cina dengan negara-negara di daerah selatan. Sebelum abad ke-8, daerrah

Jawa dan Bali banyak disebut-sebut dalam berita-berita dari Cina tersebut. Sumber Islam terutama yang berbahasa Arab dan Persia banyak bercerita tentang yang indah-indah mengenai daerah Nusantara. Hal tersebut tidaklah mengheranan karena yang menulisnya adalah para musafir dan geografer. Sumber dari India terutama berupa prasasti dari abad ke-9 serta abad ke-

11 yang banyak menyinggung Jawa dan Sumatera. Sementara itu, sumberdari Yunani perlu dipertimbangkan karena seorang ahli gografi, Claudius Ptolomeus, telah menyebutkan beberapa tempat di Indonesia.

Timur pada abad ke-10; atau hubungan antara Jawa dan Sumatera pada masa Syailendra.

Kenyataan tersebut mengakibatkan upaya menulis sejarah Indonesia yang bercorak Indonesiasentris mengalami hambatan. Untuk mengatasi hambatan tersebut, Damais menyarankan untuk menerbitkan dokumen-dokumen baru yang penting, di antaranya: 1) publikasi foto dari dokumen asli atau stempel asli agar prasasti dan beberapa naskah dapat diteliti oleh kalangan yang lebih luas; 2) penelitian paleografis terhadap dokumen-dokumen tua yang hasilnya dapat memperkirakan penanggalan yang terdapat dalam sebuah prasasti atau dokumen;

3) transkripsi, terjemahan, catatan, dan komentar yang berguna bagi penyusunan suatu kumpulan prasasti Indonesia; 4) menyusun daftar, indeks kata, dan studi tentang tata bahasa prasasti; 5) penelitian khusus terhadap prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta; 7) penelitian teknis tentang sistem kalender, metrologi, administrasi, dan sosiologi masyarakat Jawa Kuno dan Bali Kuno yang sebagian telah diungkapkan oleh prasasti itu; 8) untuk zaman modern, bahan-bahan sejarah Portugis, Inggris, dan Belanda memegang kedudukan yang cukup penting sehingga tidak dapat diabaikan dalam historiografi Indonesia; dan 9) mengkoordinasikan seluruh data yang berasal sumber sejarah yang berbeda bahasa.

Setelah Damais memberikan informasi mengenai sumber sejarah yang mungkin dapat dipergunakan untuk merekonstruksi Sejarah Indonesia, sekarang bagaimana dan sejauh mana sumber sejarah itu dapat dipergunakan bagi studi Setelah Damais memberikan informasi mengenai sumber sejarah yang mungkin dapat dipergunakan untuk merekonstruksi Sejarah Indonesia, sekarang bagaimana dan sejauh mana sumber sejarah itu dapat dipergunakan bagi studi

Sumber benda merupakan objek penelitian dari arkeologi dan hasilnya dapat dimanfaatkan untuk merekonstruksi historiografi Indonesia terutama untuk masa yang sumber tertulisnya kurang memadai. Dengan bantuan arkeologi masa prasejarah atau protosejarah (istilah dari Mohamad Ali) dapat direkonstruksi sehingga akan memberikan sumbangan terhadap historiografi Indonesia.

Soekmono memberikan suatu gambaran bahwa rekonstruksi masa prasejarah Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil. Arkeologi merupakan disiplin ilmu yang menjadikan peninggalan-peninggalan kebudayaan masa silam yang bukan tertulis sebagai objek penelitiannya (arkeologi prasejarah). Meskipun demikian, tidak berarti arkeologi hanya merekonstruksi kehidupan manusia pada masa prasejarah, melainkan juga pada masa sejarah karena tidak semua peninggalan pada masa itu dalam bentuk tertulis (arkeologi klasik). Bagi studi Sejarah Indonesia, arkeologi mampu menjadi pemasok bahan-bahan sejarah Soekmono memberikan suatu gambaran bahwa rekonstruksi masa prasejarah Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil. Arkeologi merupakan disiplin ilmu yang menjadikan peninggalan-peninggalan kebudayaan masa silam yang bukan tertulis sebagai objek penelitiannya (arkeologi prasejarah). Meskipun demikian, tidak berarti arkeologi hanya merekonstruksi kehidupan manusia pada masa prasejarah, melainkan juga pada masa sejarah karena tidak semua peninggalan pada masa itu dalam bentuk tertulis (arkeologi klasik). Bagi studi Sejarah Indonesia, arkeologi mampu menjadi pemasok bahan-bahan sejarah

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa dengan penemuan arkeologi berupa prasasti berangka 792 di kompleks Candi Sewu mengharuskan kita untuk meninggalkan pendapat bahwa kompleks candi itu dibangun pada abad ke-9. Demikian juga perubahan tarikh kompleks Candi Loro Jonggrang dari abad ke-10 menjadi abad ke-9 terjadi karena hasil penafsiran arkeologis yang dilakukan oleh

de Casparis setelah membaca prasasti singkat pada dinding candi tersebut yang secara paleografis berasal dar abad ke-9. Pendapat de Casparis ini diperkuat oleh Poerbatjaraka yang meneliti tentang kitab Ramayana yang menyatakan bahwa uraian tentang candi yang terdapat kitab tersebut hanya cocok dengan Candi Loro Jonggrang dan kitab Ramayana pasti berasal dari zaman sebelum Sindok (sebelum awal abad ke-10). Demikian juga asumsi bahwa Islam disebarkan ke Pulau Jawa pada abad ke-15 perlu ditinggalkan karena berdasarkan penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Damais dapat diketahui bahwa pada pertengahan abad ke-14 di ibu kota Majapahit telah terdapat komunitas yang menganut Islam. Pendapat ini didasarkan pada temuan arkeologis berupa batu nisan berangka tahun 1368.

Meskipun demikian, tidak setiap penemuan arkeologi memberikan sumbangan siginifikan bagi historiografi Indonesia. Adakalanya penemuan Meskipun demikian, tidak setiap penemuan arkeologi memberikan sumbangan siginifikan bagi historiografi Indonesia. Adakalanya penemuan

Ketika di Indonesia berdiri kerajaan-kerajaan merdeka, baik yang bercorak Hindu, Budha maupun Islam, banyak informasi mengenai masa itu yang tersimpan dalam sebuah prasasti. Dengan demikian, prasasti merupakan salah satu sumber sejarah yang penting bagi histroriografi Indonesia Kuno dan Klasik karena merupakan sumber sezaman. Prasasti merujuk pada sumber-sumber sejarah zaman kuno yang ditulis di atas batu atau logam dan kebanyakan dibuat atas perintah penguasa di berbagai bagian Indonesia sejak abad ke-5. Sejumlah prasasti berisi tentang keputusan pengadilan yang biasanya dikenal dengan nama jayapatra. Ada juga prasasti yang memuat informasi mendetail, tetapi tidak sedikit pula yang hanya memuat tanggal atau nama pejabat kerajaan tertentu.

Masalahnya adalah tidak semua orang dapat membaca dan mengerti informasi yang terdapat di dalam prasasti. Kesulitan utamanya adalah perbedaan huruf dan bahasa antara kebudayaan masa itu dengan kebudayaan masa sekarang. Namun demikian, huruf dan bahasa itu sedikit demi sedikit dapat diketahui karena Masalahnya adalah tidak semua orang dapat membaca dan mengerti informasi yang terdapat di dalam prasasti. Kesulitan utamanya adalah perbedaan huruf dan bahasa antara kebudayaan masa itu dengan kebudayaan masa sekarang. Namun demikian, huruf dan bahasa itu sedikit demi sedikit dapat diketahui karena

Buchari merupakan sarjana Indonesia yang memberikan perhatian luar biasa terhadap bidang epigrafi, yakni cabang ilmu yang mengkhususkan diri untuk mempelajari huruf dan bahasa kuno, terutama yang tertulis pada sebuah prasasti. Ia menegaskan bahwa informasi yang terkandung di dalam prasasti dapat menjadi bahan bagi sejarawan untuk melakukan interpretasi atas peristiwa yang ditelitinya. Mengapa epigrafi mampu memberikan atau menyediakan bahan bagi sejarawan? Untuk mengetahui isi atau kandungan informasi dari sebuah prasasti, sangat sedikit sejarawan yang dapat membaca huruf dan mengerti bahasa yang dipergunakannya. Sementara itu, seorang epigraf memiliki kemampuan tersebut sehingga bisa mengungkap kandungan informasi yang terdapat dalam sebuah prasasti. Tidak sebatas itu, epigrafi pun dapat memberikan penafsiran terhadap data yang terdapat dalam sebuah prasasti dan hasil penafsirannya itu dapat dirtimbangkan oleh sejarawan untuk dipakai dalam merekonstruksi sejarah Indonesia. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pendapat tentang penyebab jatuhya Kerajaan Dharmawangsa tahun 909 adalah serangan Haji Wurawari yang berstatus sebagai sekutu Sriwijaya. Serangan itu sebagai serangan balasan Sriwijaya terhadap Jawa yang pernah menyerangnya. Akan tetapi, dari kajian epigrafi, tidak ada satu prasasti pun yang menyebutkan peranan Sriwijaya dalam peristiwa ini. Para ahli epigrafi kemudian memberikan penafsiran baru bahwa sangat mungkin Haji Wurawari merupakn bawahan Dharmawangsa yang Buchari merupakan sarjana Indonesia yang memberikan perhatian luar biasa terhadap bidang epigrafi, yakni cabang ilmu yang mengkhususkan diri untuk mempelajari huruf dan bahasa kuno, terutama yang tertulis pada sebuah prasasti. Ia menegaskan bahwa informasi yang terkandung di dalam prasasti dapat menjadi bahan bagi sejarawan untuk melakukan interpretasi atas peristiwa yang ditelitinya. Mengapa epigrafi mampu memberikan atau menyediakan bahan bagi sejarawan? Untuk mengetahui isi atau kandungan informasi dari sebuah prasasti, sangat sedikit sejarawan yang dapat membaca huruf dan mengerti bahasa yang dipergunakannya. Sementara itu, seorang epigraf memiliki kemampuan tersebut sehingga bisa mengungkap kandungan informasi yang terdapat dalam sebuah prasasti. Tidak sebatas itu, epigrafi pun dapat memberikan penafsiran terhadap data yang terdapat dalam sebuah prasasti dan hasil penafsirannya itu dapat dirtimbangkan oleh sejarawan untuk dipakai dalam merekonstruksi sejarah Indonesia. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pendapat tentang penyebab jatuhya Kerajaan Dharmawangsa tahun 909 adalah serangan Haji Wurawari yang berstatus sebagai sekutu Sriwijaya. Serangan itu sebagai serangan balasan Sriwijaya terhadap Jawa yang pernah menyerangnya. Akan tetapi, dari kajian epigrafi, tidak ada satu prasasti pun yang menyebutkan peranan Sriwijaya dalam peristiwa ini. Para ahli epigrafi kemudian memberikan penafsiran baru bahwa sangat mungkin Haji Wurawari merupakn bawahan Dharmawangsa yang

3. Tradisi Sejarah Tertulis (Naskah) 54 Selain benda-benda dan prasasti, sumber lokal yang dapat dipergunakan

sebagai sumber untuk historiografi Indonesia adalah tradisi sejarah tertulis yang berupa babad, sêjarah dan sêrat kanda (Jawa); sajarah, carita, dan wawacan (Sunda); serta hikayat, sejarah, dan tutur (Melayu). Tradisi lokal bisanya berisi tentang pengagungan terhadap para raja atau raja tertentu, seperti Hikayat Acheh; atau juga dapat berisi tentang asal usul sebuah kerajaan, seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Tradisi lokal biasanya mengandung unsur mitos, legenda, dongeng, dan unsur lainnya yang memadukan ciri mitos dan sejarah. Hal tersebut ditegaskan oleh Hoesein Djajadiningrat dengan mengacu pada hasil penelitian disertasi Noorduyn tentang Hikayat Wajo (Een achttiende eeuwse kroniek van Wajo ); Hikayat Acheh yang banyak memuat kejadian bukan sejarah; dan Babad Cirebon yang mencampuradukan ketokohan Sunan Gunung Jati antara legenda dan sejarah. Hoesein Djajadiningrat menegaskan bahwa legenda yang terdapat dalam tradisi lokal tidak dapat disingkirkan begitu saja, begitu juga unsur sejarahnya harus terlebih dahulu dibuktikan dengan berita-berita dari Portugis dan Belanda.

54 Disunting dari buku Soedjatmoko (eds.). 1995. Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hlm. 58-136.

Pendapat tersebut merupakan antitesis atas pendapat R. A. Kern yang sedikit atau bahkan sama sekali tidak menghargai tradisi lokal, seperti yang dikutip oleh F. W. Stapel dalam karyanya berjudul Geschiedenis van Nederlandsch Indië . Kern menyatakan hal tersebut bahwa kejadian yang diceritakan oleh sebuah tradisi tidak mampu memberikan suatu kepastian tentang peristiwa yang diceritakan itu. Sementara itu, J. P. Moquette dan P. A. Tiele memperlihatkan sikap yang menghargai tradisi lokal sebagai sumber bagi historiografi Indonesia. Moquette berhasil menentukan identitas Malik al-Sâlih dengan menggunakan tradisi lokal (Hikayat Raja-Raja Pasai) dan Tiele meragukan cerita Ferñao Mendez Pinto tentang pengalamannya di Pulau Jawa dengan menggunakan babad sebagai bahan pembandingnya.

Berita-berita dari Barat, sudah sewajarnya diperlakukan sama seperti tradisi lokal, yakni tidak dipercaya sampai dapat dibukti sebaliknya. Hal tersebut perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran sejarah yang jelas. Djajadiningrat mengambil contoh berita dari Portugis (João de Barros dan F. Mendez Pinto) yang menceritakan tentang proses Islamasasi Banten, Sunda Kalapa, dan Pasuruan. Setelah membandingkan dengan tradisi lokal, ia sampai pada kesimpulan bahwa tokoh penyebar Islam di daerah itu adalah Faletehan yang setelah meninggal dunia dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dengan demikian, menurut pandangan Djajadiningrat, Faletehan dan Sunan Gunung Jati bukanlah dua orang yang berbeda, tetapi satu orang dengan dua nama.

Untuk menilai berita dari Portugis, sebaiknya harus dihubungkan dengan pemahaman terhadap istilah Islam di Indonesia. Pemahaman ini akan memberikan kemudahan bagi sejarawan untuk mengerti terhadap fenomena sejarah yang ditemukannya. Sebagai contoh, mengapa Lebé Uça bersikap merendah terhadap Paté Quedir? Berdasarkan berita Tomé Pires, yang pada 1513 ikut berlayar dan singgah di beberapa pelabuhan Pantai Utara Jawa, bahwa yang berkuasa di Pelabuhan Cirebon adalah Lebé Uça. Penguasa ini memiliki sikap merendah tehadap Peté Quedir. Untuk memahami hal tersebut, Djajadiningrat menyarankan untuk terlebih dahulu memahami arti dari lebé. Kata lebé berasal dari bahasa Tamil yang berarti saudagar yang beragama Islam. Kata ini diserap olh bahasa Sunda dan memiliki arti (1) pegawai desa di bidang agama; dan (2) orang yang rajin beribadah dan memiliki pengetahuan Islam cukup dalam. Pada tahun kedatangan Tomé Pires, kata lebé dipakai oleh masyarakat Cirebon sebagai sebutan bagi kepala pelabuhan dan ini harus dikembalikan pada arti aslinya. Dengan demikian, Lebé Uça merupakan seorang sauagar beragama Islam dan sangat mungkin berasal dari Tamil yang menjadi kepala Pelabuhan Cirebon. Ole karena itu, mudahlah dimengerti bahwa sikap merendah dirinya kepada Peté Quedir karena ia orang asing.

Djajadiningrat pun menekankan bahwa dalam tradisi lokal yang namanya kronologi belum tentu menggambarkan urutan peristiwa yang sesungguhnya. Adakalanya kronologi yang ditulis dalam tradisi lokal lebih tepat sebagai simbol dari suatu peristiwa. Dengan demikian, harus dilakukan pemisahan antara sejarah Djajadiningrat pun menekankan bahwa dalam tradisi lokal yang namanya kronologi belum tentu menggambarkan urutan peristiwa yang sesungguhnya. Adakalanya kronologi yang ditulis dalam tradisi lokal lebih tepat sebagai simbol dari suatu peristiwa. Dengan demikian, harus dilakukan pemisahan antara sejarah

Sisi penting tradisi lokal tertulis bagi historiografi Indonesia didukung pula oleh C. C. Berg, H. J. de Graaf, dan J. Noorduyn. Ketiganya memandang bahwa tradisi lokal mengandung data sejarah yang akan sangat berguna bagi historiografi Indonesia meskipun harus dikritisi dengan ketat, meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang tingkat nilai historis yang dimiliki karya historiografi tradisional itu. Dengan menggunakan tradisi lokal tertulis, Berg berusaha melakukan penggambaran secara historis keadaan masyarakat Jawa di masa lampau. Usahanya itu dilakukan dengan cara menelaah berbagai naskah yang ditempatkan dalam ruang lingkup pola kebudayaan masyarakat yang bersangkutan pada masa itu. Pendekatan yang diterapkan oleh Berg ini lazim disebut sebagai metode sintipikal (syntipical method) dan cenderung tidak mengikuti metode konvensioal penelitian sejarah. Berg sampai pada simpulan bahwa historiografi Jawa merupakan bagian dari kegiatan kaum pendeta untuk meningkatkan Sisi penting tradisi lokal tertulis bagi historiografi Indonesia didukung pula oleh C. C. Berg, H. J. de Graaf, dan J. Noorduyn. Ketiganya memandang bahwa tradisi lokal mengandung data sejarah yang akan sangat berguna bagi historiografi Indonesia meskipun harus dikritisi dengan ketat, meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang tingkat nilai historis yang dimiliki karya historiografi tradisional itu. Dengan menggunakan tradisi lokal tertulis, Berg berusaha melakukan penggambaran secara historis keadaan masyarakat Jawa di masa lampau. Usahanya itu dilakukan dengan cara menelaah berbagai naskah yang ditempatkan dalam ruang lingkup pola kebudayaan masyarakat yang bersangkutan pada masa itu. Pendekatan yang diterapkan oleh Berg ini lazim disebut sebagai metode sintipikal (syntipical method) dan cenderung tidak mengikuti metode konvensioal penelitian sejarah. Berg sampai pada simpulan bahwa historiografi Jawa merupakan bagian dari kegiatan kaum pendeta untuk meningkatkan

Di satu sisi, pendekatan Berg ini dipandang mampu memberikan sumbngan terhadap penggunaan tradisi lokal tertulis sebagai sumber sejarah. Akan tetapi, dari metodologi beberapa ahli mengajukan keberatannya terhadap metode sinpikal tersebut. Zoetmulder mengatakan bahwa inti dari metode Berg tersebut adalah pemahaman terhadap kebudayaan masa lampau sebagai kunci mutlak untuk memahami informasi historis yang terkandung dalam sebuah tradisi lokal tertulis. Untuk memahami hal tersebut, para peneliti dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang hampir tidak dapat diatasi.

Berbeda dengan Berg, H. J. de Graaf mengatakan bahwa masyarakat Jawa memiliki kesadaran sejarah cukup mendalam. Historiografi Jawa, terutama yang dibuat sesudah abad ke-17, dapat diterima oleh kajian sejarah kritis yang konvensional. Oleh karena itu, karya-karya tersebut merupakan sekumpulan sumber yang banyak mengandung informasi kesejarahan asalkan dicocokkan

dengan sumber-sumber non-Jawa. 55 Sumber-sumber non-Jawa yang dimaksud dapat berupa sumber pribumi atau catatan-catatan orang barat. Misalnya, untuk

55 Pendapat inilah yang menjadikan de Graaf berbeda pendapat dengan Berg. De Graaf beranggapan bahwa historiografi, Sejauh dapat dibuktikan oleh keterangan dari sumber non-

Jawa, kronologi yang dimuat dalam historiografi Jawa menunjukkan sifat akurasi yang tinggi. Untuk menentukan kredibilitas naskah Jawa tradisional, metode penelitiaannya harus dilakukan dari informasi yang peling muda ke arah informasi yang paling tua.

lebih memahami isi dari Baba Tanah Jawi, kita dapat membandingkannya dengan naskah sejenis, seperti Sêjarah Bantên yang telah diteliti oleh Hoesein Djajadiningrat. Selain itu, naskah tersebut dapat pula dibandingkan dengan naskah-naskah yang tulis oleh orang Belanda seperti Rijklof van Goens dan François Valentijn. Dengan perbandingan ini, intisari sejarah dari cerita-cerita dalam babad dapat diperoleh. Misalnya, pengalaman Sultan Agung dengan seekor rusa dapat dipastikan tanggal kejadiannya setelah membandingkan dengan keterangan yang diperoleh dari H. de Haen, seorang utusan Belanda ke Mataram. Untuk memperkuat argumentasinya tentang kesadaran sejarah masyarakat Jawa,

de Graaf mengutip pendapat P. J. F. Pouw yang mempelajari Babad Dipanegara:

Dengan perhatian yang semakin memuncak, kita mengikuti apa yang diceritakan oleh Dipanegara dan kita sering terperanjat karena menemukan keterangan yang benar-benar penting, terutama mengenai hubungan- hubungan politik. Oleh karena itu, kita tidak ragu-ragu untuk memberikan nilai yang sangat tinggi terhadap Babad Dipanegara sehingga setiap karangan mengenai sejarah Perang Jawa yang disusun tanpa memanfaatkan sumber ini dengan tidak diragukan lagi dapat disebut tiak lengkap.

Pandangan Berg yang berupaya menjadikan historiografi tradisional Jawa sebagai tipikal historiogrrafi Indonesa, mendapat tentangan juga dari J. Noorduyn. Dengan melakukan penelitian terhadap historigrafi Sulawesi (Wajo), Noorduyn mengatakan bahwa pandangan Berg tersebut sangat berbahaya. Tradisi sejarah di Sulawesi memperlihatkan corak yang berbeda dengan yang terjadi di Jawa. Dengan menggunakan Babad Tanah Jawi sebagai contoh umum bagi historiografi Jawa, jenis historiografi yang berkembang di masyarakat Jawa menunjukkan dua ciri utama yaitu: 1) uraiannya lebih banyak bersifat dongeng; dan 2) susunan dari Pandangan Berg yang berupaya menjadikan historiografi tradisional Jawa sebagai tipikal historiogrrafi Indonesa, mendapat tentangan juga dari J. Noorduyn. Dengan melakukan penelitian terhadap historigrafi Sulawesi (Wajo), Noorduyn mengatakan bahwa pandangan Berg tersebut sangat berbahaya. Tradisi sejarah di Sulawesi memperlihatkan corak yang berbeda dengan yang terjadi di Jawa. Dengan menggunakan Babad Tanah Jawi sebagai contoh umum bagi historiografi Jawa, jenis historiografi yang berkembang di masyarakat Jawa menunjukkan dua ciri utama yaitu: 1) uraiannya lebih banyak bersifat dongeng; dan 2) susunan dari

Fenomena tersebut tidak banyak ditemukan dalam historiografi di Sulawesi Selatan. Menurut penelitian Noorduyn, unsur-unsur dongeng yang terdapat dalam historiografi di Sulawesi Selatan tidak sebanyak dalam historiografi Jawa. Artinya adalah unsur dongeng tetap ada dalam historiografi di Sulawesi Selatan, tetapi dalam proses penyampaiannya kepada pembaca ditulis secara teliti dan lugas. Hal tersebut dapat dilihat dari dipergunakannya kalimat “ada dikatakan” atau “menurut cerita” ketika si penulis memasukkan dongeng dalam tulisannya, karena sumber yang dipergunakannya mengandung cerita tersebut. Biasanya, unsur dongeng dalam historiografi di Sulawesi Selatan hanya

terbatas pada bagian pertama dari sejarah itu. 57 Dengan mengutip hasil penelitian Chabot, Noorduyn menegaskan bahwa cerita tentang manurung itu menjadi kebutuhan karena memiliki fungsi sebagai alat untuk mempererat persatuan

56 Unsur dongeng dalam historiografi Jawa (Babad Tanah Jawi) terdapat dalam bentuk: silsilah dinasti yang panjang dan bersifat rekaan, cerita-cerita mukjizat yang terjadi pada zaman

legenda, dan cerita tentang pengepungan Batavia oleh Sultan Agung dari Mataram tahun 1629, serta adanya ramalan tentang eksistensi sebuah dinasti oleh orang-orang yang tajam firasatnya Noorduyn dalam Soedjatmoko, 1995: 117-136.

57 Cerita ini merupakan bagian pembukaan yang memuat cerita asal usul sebuah dinasti. Cerita ini biasanya disebut manurung yang menjelaskan bahwa sebuah dinasti didirikan oleh sepasang

raja dan ratu yang turun dari langit. Dalam Sejarah Bone, misalnya, setelah bumi ditimpa gempa selama seminggu, kehidupan menjadi susah dan masyaraka terpecah-pecah. Munculah seorang laki-laki berbaju putih dan dianggap sebagai manurung (orang dari kahyangan). Laki-laki ini ternyata seorang hamba dari manurung dan membawa rakyat menghadap kepada manurung asli yang berbaju kuning yang sedang duduk di atas batu datar. Ada perjanjian di antara mereka bahwa rakyat aka menjadikan manurung tersebut sebagai Raja di Bone dengan kekuasaan penuh asalkan mau mengatas kesusahan yang sedang dihadapi rakyat akibat gempa itu. Kesepkatan itulah yang dianggap sebagai lahirnya dinasti penguasa di Bone.

masyarakat kampung yang memungkinkan kampung itu mengembangkan kekuasaannya. 58

Sementara itu, ramalan-ramalan yang banyak terdapat dalam historiografi Jawa tidak ditemukan dalam kronik yang dihasilkan di Sulawesi Selatan. Kalau pun ada yang memuat tentang ramalan bukanlah terdapat dalam sebuah kronik, melainkan dalam sebuah catatan tersendiri. Beberapa kronik tentang Wajo tidak memuat ramalan, melainkan mencatat fakta: tindakan para tokoh, pernyataan dalam diplomasi, dan lain-lain.

Historiografi di Sulawesi Selatan tidak dibuat dengan panjang lebar, tetapi dibuat sesingkat mungkin. Hal ini disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa para penulis kronik di Sulawesi Selatan bukanlah seorang penyair. Oleh karena itu, mereka menulis kronik dalam bentuk prosa yang kering dan sangat dangkal gaya sastranya. Meskipun demikian, keklihatan sekali bahwa isinya sering terputus-putus. Dalam kronik Goa dan Tallo’, fakta yang relevan tidak disusun secara kronologis, melainkan berdasarkan permasalahannya. Hampir dapat dipastikan bahwa keterangan tanggal tidak dimasukkan sebagai bagian dari sebuah kronik dan untuk menentukan tanggal kita bisa membandingkannya dengan sumber-sumber dari Bugis dan Makassar.

Selain dalam bentuk kronik, sumber sejarah yang ada di Sulawesi Selatan adalah sebuah catatan sejarah yang tidak berlebihan kalau disebut sebagai buku

58 Dalam penelitiannya di Borongloe (bagian dari Kerajaan Gowa), Chabot menemukan sebuah batu yang berfungsi sebagai pusat pemujaan masyarakat setempat. Selain iu, ada juga cerita

tentang manurung yang menjelaskan hubungan antara Borongloe dan beberapa kampung di sekitarnya serta dengan Kerajaan Gowa. Batu dan cerita tersebut ternyaa memperkuat ikatan antara Borongloe dan kampung-kampung di sekitarnya.

harian bersejarah. Ini disebut demikian karena buku-buku tersebut memuat tanggal dan bulan dicantumkan lebih dahulu untuk beberapa tahun, sedangkan untuk masing-masing hari ada tempa yang kosong untuk catatan. Biasanya, buku harian ini memuat keterangan-keterangan sejarah menarik. Buku catatan raja, misalnya, memuat tetang kelahiran, perkawinan, kematian, dan peristiwa lain di kalangan keluarga raja. Demikian juga dengan urusan negara, ekspedisi perang, perjanjian, dan kunjungan merupakan peristiwa yang selalu dimuat dalam buku harian.

4. Sumber Luar Negeri 59

Setelah menengok beberapa sumber pribumi, historiografi Indonesia pun dapat dikembangkan dengan menggunakan sumber luar negeri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Djajadiningrat dan de Graaf bahwa proses pembandingan antara sumber pribumi dan sumber luar negeri akan menghasilkan data historis yang lebih dapat dipercaya. Sumber luar negeri yang paling dekat dengan kebudayaan Indonesia adalah beberapa karya sejarah yang berbahasa Melayu. Mengapa sumber sejarah Melayu ini memiliki kedudukan penting bagi historografi Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, J. C. Bottoms (dosen dari School of Oriental and African Studies, University of London) memberikan argumentasi yang bersifat historis bahwa masyarakat Melayu di Malaysia dan di Indonesia memiliki persamaan asal usul, kebudayaan, dan perilaku yang sama.

59 Disunting dari buku Soedjatmoko (eds.). 1995. Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hlm. 137-262.

Keeratan tersebut berlangsung sejak zaman prasejarah dan terpisahkan secara geopolitik oleh penjajahan barat.

Karya sejarah Melayu jumlahnya barangkali tidak kurang dari lima puuluh buah. Namun demikian, karya tersebut memiliki nilai historis cukup tinggi mengingat tidak ada lagi catatan sejarah tertulis lainnya. Dugaan yang umum diterima bahwa karya sejarah Melayu sebagian besar berbentuk salinan yang dilakukan pada abad ke-19. Oleh karena tidak dengan jelas ditulis tahun pembuatannya, diduga karya-karya tersebut ada yang berasal dari abad ke-16, ke-

17, dan ke-18. Bagaimana keadaan sumber sejarah Melayu? Dan sejauh mana sumber itu dapat dimanfaatkan untuk historiografi Indonesia? Terhadap pertanyaan pertama, Wilkonson memberikan gambarannya bahwa Sejarah Melayu dan sejarah-sejarah Melayu umumnya memperlihatkan kronologi yang tidak dapat dipercaya dan sebagian besar dongengnya merupakan bayangan dari kesusastraan India dan Persia. Meskipun demikian, tidak berarti karya ini tidak memiliki harga sama sekali, karena kandungannya cerita yang bersifat anekdot itu pasti selaras dengan jiwa zamannya (zeitgeist). Sejarah lantas digambarkan sebagai sebagai sebuah tulisan yang menggambarkan kelaliman dan kebejatan moral raja Melayu Kuno, korupsidi istana, penyuapan para pejabat kerajaan, pembunuhan dan sidang pengadilan, pertikaian, balas dendam, persekongkolan dan pelarian, serta sikap rakyat terhadap peristiwa-peristiwa itu. Hal terpenting bagi sejarawan akademis adalah kemunculan latar belakang dari 17, dan ke-18. Bagaimana keadaan sumber sejarah Melayu? Dan sejauh mana sumber itu dapat dimanfaatkan untuk historiografi Indonesia? Terhadap pertanyaan pertama, Wilkonson memberikan gambarannya bahwa Sejarah Melayu dan sejarah-sejarah Melayu umumnya memperlihatkan kronologi yang tidak dapat dipercaya dan sebagian besar dongengnya merupakan bayangan dari kesusastraan India dan Persia. Meskipun demikian, tidak berarti karya ini tidak memiliki harga sama sekali, karena kandungannya cerita yang bersifat anekdot itu pasti selaras dengan jiwa zamannya (zeitgeist). Sejarah lantas digambarkan sebagai sebagai sebuah tulisan yang menggambarkan kelaliman dan kebejatan moral raja Melayu Kuno, korupsidi istana, penyuapan para pejabat kerajaan, pembunuhan dan sidang pengadilan, pertikaian, balas dendam, persekongkolan dan pelarian, serta sikap rakyat terhadap peristiwa-peristiwa itu. Hal terpenting bagi sejarawan akademis adalah kemunculan latar belakang dari

Selain Sejarah Melayu yang menjadi sumber tama bagi penulisan sejarah dunia Melayu secara keseluruhan, terdapat beberapa buah karya sejarah Melayu lainnya, di antaranya Asal Raja-Raja Melayu (Malaka), Aturan Sungai Ujong (Negeri Sembilan), Hikayat Pahang (Pahang), Misa Melayu (Perak), Kenang- Kenangan Selangor (Selangor), dan Sha’er Tawarikh Zainal Abidin yang Ketiga (Trengganu). Sementara itu, karya sejarah Melayu yang dihasilkan di wilayah Indonesia, yang terpenting di antaranya adalah Hikayat Raja-Raja Pasai, Tuhfat al-Nafis (Raja Ali bin Raja Ahmad; Riau), Silsilah Melayu dan Bugis, beberapa karya sejarah yang membicarakan Riau: Sejarah Raja-Raja Riau, Hikayat Riau, Sha’er Sultan Mahmud di-Lingga, dan Sejarah Raja-Raja Melayu; Bugis: Salsilah Keturunan Raja Bugis dan Aturan Setia Bugis dengan Melayu; Melayu di Kalimantan: Salasilah Kutai serta Hikayat Raja-Raja Banjar dan Kotaringin.

Bottoms mengklasifikasikan karya sejarah Melayu menjadi empat. Pertama, otobiografi yang menguraikan kehidupan dan perjalanan para pengarang dan tokoh Melayu. Kesah Pelayaran Abdullah, misalnya, merupakan sebuah pemaparan kisah perjalanan Abdullah Munshi yang menyusuri pantai timur Tanah Melayu tahun 1838. Kedua, karya sejarah yang berbentuk sajak

60 Dalam tulisannya berjudul Beberapa Sumber Sejarah Melayu; Sebuah Catatan Bibliografis (hlm. 137-166), Bottom pun mengutip pernyataan John Leyden tentang karya Sejarah

berbahasa Melayu. Dia mengatakan bahwa cukup banyak tersedia karya sejarah Melayu yang menceritakan peristiwa-peristiwa dunia Melayu di masa lampau, di antaranya: Hikayat Rajah Bongsu (tentang silsilah raja-raja Mmelayu), Hikayat Malaka (tentang pendirian kota oleh seorang petualang dari Jawa), dan Hikayat Achi (tentang sejarah Aceh).

deskriptif dan menurut W. E. Maxwell nilai sastranya tidaklah terlalu tinggi tetapi justru memiliki nilai historis yang cukup tinggi seperti yang diperlihatkan oleh Sha’er Singapura di-makan Api karya Abdullah Munshi yang ditulis tepat setelah terjadi kebakaran besar di Singapura pada 13 Februari 1830. Selain itu, ada juga Sha’er Pangeran Sharief Hashim tentang perang Banjarmasin tahun 1861-1863;

Sha’er Speelman 61 dari abad ke-17 tentang perang VOC dengan Makassar; dan Sha’er Himup yang menggambarkan Jakarta ketika berada di bawah kekuasaan

Gebernur Jendral van Imhoff. Ketiga, himpunan hukum tradisi dan adat yang diberi nama Hukum Kanun, Undang-Undang, atau Adat. Misalnya, Adat Raja- Raja Melayu yang ditulis atas perintah Gubernur de Bruin dari Malaka dengan nara sumber Lebai Abdul Muhit, yang konon satu-satunya orang yang masih memahami adat kuno Kerajaan Malaka di Tanah Melayu. Karya sejenis banyak juga terdapat di berbagai daerah di Sumatera seperti Bengkulu, Jambi, Indragiri, dan Palembang. Keempat, bagian akhir dari daftar atau himpunan undang-undang seperti surat, catatan harian, dan memoranda asli dalam bahasa Melayu.

Selain karya sejarah Melayu, sumber luar negeri yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk historiografi Indonesia berturut-turut berasal dari Cina, Jepang, Portugis, Belanda, Inggris, dan sebagian kecil dari Uni Soviet (sekarang Rusia). Tjan Tjoe Som menegaskan bahwa sumber Cina tidak bisa diabaikan untuk historiograf Indonesia. Dalam tradisi historiografi Cina, terutama Sejarah-

61 Judul syair ini oleh Dr. Skinner diubah menjadi Sja’ir Perang Mengkasar setelah dibandingkan, disalin, diterjemahkan, dan diedit dari beberapa naskah yang dulu dikenal sebagai naskah

London dan Leiden. Secara meyakinkan, Skinner mengatakan bahwa syair ini ditulis oleh Entji’ Amin yang memegang jabatan sebagai Sekretaris Bahasa Melayu dari Kerajaan Gowa.

Sejarah Dinasti, selalu terdapat uraian mengenai hubungan antara Cina dan negea- negara asing. Uraian tersebut merupakan bagian dari biografi orang terkemuka yani bab-bab mengenai negara-negara dan orang-orang asing. Selain itu, ada juga ensiklopedi yang di antaranya menguraikan juga tentang hubungan resmi Cina dengan negara-negara asing. Selain sumber resmi dari istana, ada juga laporan yang ditulis olh para musafr atau sahabatnya, dan buku tentang geografi yang ditulis oleh mereka yang karena sesuatu hal menulis daerah itu tanpa pernah menyinggahi daerah yang ditulisnya.

Sumber Cina yang membicarakan bangsa asing kebanyakan memberikan informasi mengenai nama negara yang pernah dikunjunginya dengan uraian singkat mengenai adat istiadat dan produknya. Kesulitan utamanya adalah dalam melakukan identifikasi nama-nama geografi terutama sumber tua dari masa sebelum Diasti Sung. Untuk mengatasinya, para ahli menerapkan dua metode yaitu filologis dan geografis. Secara filologis, teks itu direkonstruksi bunyi kuno dari huruf Cina dengan bantuan fonologi sejarah; sementara secara geografi, rekonstruksi itu dilakukan dengan cara mencocokkan informasi yang terdapat di dalam teks itu. Berdasarkan kedua metode itu, P’o-li diidentifikasikan sebagai pulau (Schlegel); Bali (Pelliot); Pati (Moens); Sumatera (Groeneveldt); dan Kalimantan (Bretschneider).

Pengetahuan tentang bangsa asing diperoleh melalui hubungan langsung atau tidak langsung: orang asing tiba di Cina sebagai utusan atau pedagang yang berpura-pura sebagai utusan suatu kerajaan; atau Kaisar Cina yang mengutus Pengetahuan tentang bangsa asing diperoleh melalui hubungan langsung atau tidak langsung: orang asing tiba di Cina sebagai utusan atau pedagang yang berpura-pura sebagai utusan suatu kerajaan; atau Kaisar Cina yang mengutus

Bahan-bahan rujukan di Jepang yang berkaitan dengan masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945 masih sedikit sekali dipergunakan. Walaupun demikian, bahan-bahan tersebut merupakan sumber informasi yang kaya sehingga tidak dapat diabaikan dalam penelitian sejarah di Indonesia, terutama yang menyangkut tentang kebijakan Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia. Selain itu, bahan-bahan ini pun berguna sebagai bahan keterangan untuk menganalisis keadaan Indonesia selama masa Perang Dunia II, khususnya yang berkenaan dengan persiapan menjelang Kemerdekaan Indonesia. Koichi Ishi membuat daftar bahan-bahan sejarah dari Jepang ini ke dalam beberapa kelompok.

A. Dokumen-dokumen yang menyangkut dasar politik Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia selama tahun 1942-1945. Kebijakan politik Jepang atas A. Dokumen-dokumen yang menyangkut dasar politik Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia selama tahun 1942-1945. Kebijakan politik Jepang atas

B. Dokumen-dokumen yang mencantumkan opini utama mengenai masa depan wilayah pendudukan bagian selatan (Asia Tenggara). 63

C. Dokumen-dokumen pemerintah pusat mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia. Sejak tahun 1943, pemerintah Jepang mulai melakukan pembicaraan secara intensif mengenai rencana kemerdekaan Indonesia. Pembicaraan ini merupakan bagian dari strategi perang Jepang untuk mengamankan posisinya di Indonesia yang sangat strategis dalam pandangan militer Jepang. Sebagian besar dokumen ini hangus terbakar, tetapi masih ada

dalam jumlah kecil yang masih utuh. 64

D. Laporan penelitian mengenai kondisi Islam di Pulau Jawa yang dikelaurkan oleh Osamu Shudan Gunshireibu (Markas Besar Komando Militer) tahun 1943.

E. Buku Tahunan Jawa (Jawa Shinbunsha; Jawa Nenkan).

62 Dokumen-dokumen yang memuat kebijakan umum politik Jepang di wilayah pendudukan, antara lain (semuanya diterbitkan tahun 1941): Nanpo Senry chi Gy sei Jisshi Y ry (Prinsip-

prinsip Dasar Pemerintahan Daerah Pendudukan Selatan; Senry chi Gunsei Jisshi ni kansuru Rikukaigun Chu Ky tei (Perjanjian Dasar antara AD dan AL mengenai Pemerintahan daerah Pendudukan); dan Nanp Keizai Taisaku Y k (Prinsip-prinsip Kebijakan Ekonomi untuk Wilayah Selatan). Sementara itu, dokumen khusus dia antaranya: Jawa no Gunsei Shid Y ry (Pedoman Dasar Pemerintahan Militer di Jawa), New Guinea Gunsei Jisshi Y k (Prinsip- Prinsip Pemerintahan Militer di Irian Barat), dan Sumatra Gunsei Jisshi Y ry (Prinsip-Prinsip Pemerintahan Militer di Sumatera) yang semuanya ditulis tahun 1943.

63 Dokumen-dokumen itu antara lain Senry chi Kizoku Fukuan (Rencana-Rencana bagi Masa Depan Wilayah-Wilayah Pendudukan), Gunsei S kan Shiji (Perintah Inspektur Jenderal

Pemerintahan Militer), dan Jawa no Kizoku ni kamsuru Iken (Usul tentang Masa Depan Pulau Jawa).

64 Sumber-sumber itu di antaranya adalah sebagai berikut. Th indo Kankei Dai 1 &4 G ; Th indo Dokuritsu Shisaku ni kansuru Ken (Dokumen No. 1 & 4 mengenai Kebijakan Kemerdekaan

Hindia Timur) dan Th indo Kankei Dai 2 G ; Jawa t no Dokuritsu Shisaku ni kansuru Ken (Dokumen No. 2 mengenai Kebijakan Kemerdekaan Pulau Jawa).

Karya ini memuat bahan-bahan tentang masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan hukum di Pulau Jawa selama masa pendudukan Jepang. Karya ini kemudian dijadikan bahan utama bagi De Japanse Bezetting van Indonesië en haar Volkenrechterlijke Zijde yang ditulis oleh A. A. Zorab tahun 1954.

F. Terbitan Berkala selama masa pendudukan militer Jepang. Terbitan berkala merupakan alat komunikasi antara Pemerintah Militer Jepang dan penduduk di wilayah pendudukannya. Beberapa terbitan berkala, di antaranya: Djawa Shinbun (Jawa), Borneo Shinbun (Kalimantan), Celebes Shinbun (Sulawesi), Sumatra Shinbun (Sumatera), dan Ceram Shinbun (Maluku). Terbitan berkala ini memuat bahan-bahan yang berhubungan dengan perkembangan sehari-hari pemerintahan militer Jepang di masing- masing wilayah pendudukan. Di dalamnya juga terdapat banyak artikel yang ditulis oleh tokoh Indonesia yang tentunya memiliki hubungan khusus dengan Pemerintah Militer Jepang, terutama yang diterbitkan oleh koran Shin Djawa (Djawa Baru).

G. Sejarah singkat pendudukan militer di Pulau Jawa (Jawa Gunsei Ryakushi) dan Memorandum mengenai Kegiatan di Pulau Jawa pada akhir perang (Jawa Shusen Shori Ki ).

Selain sumber-sumber resmi yang diterbitkan oleh Pemerintahan Militer, sumber-sumber Jepang untuk historiografi Indonesia pun dapat diambil dari beberapa karya sarjana Jepang yang memiliki perhatian terhadap sejarah

Indonesia. Para penulis itu ada yang menggunakan sumber-sumber dari Cina 65 dan VOC 66 . Ada juga artikel yang menulis tentang sejarah politik modern dan karya-

karya yang mengkaji bidang lain, seperti kegiatan misionaris, masalah ekonomi di Pulau Jawa Abad Ke-17 dan Ke-18, dan kebudayaan di Indonesia.

Mengenai sumber-sumber sejarah dari Portugis, J. C. van Leur mengatakan bahwa sumber-sumber sejarah ini sangat penting karena akan memberikan gambaran tentang dunia Indonesia sebelum ada pengaruh Eropa manapun. Bahkan seorang sejarawan Inggris menyatakan bahwa sumber-sumber sejarah Portugis, meskipun memiliki keterbatasan, ditulis agak terburu-buru, tidak mendalam, dan dikuasai oleh prasangka; tetapi berisi banyak keterangan, jujur, dan bernilai ilmiah. Pernyataan ini jelas menempatkan sumber Portugis tidak dapat diabaikan begitu saja untuk historiografi Indonesia. C. R. Boxer mengelompokkan sumber Portugis menjadi tiga kategori, yaitu catatan-catatan resmi yang dibuat antara tahun 1511-1650, cerita dan laporan saksi mata, serta karya-karya dari penyebar agama. Selain itu, ada juga karya sejarah yang menyinggung Indonesia yang ditulis oleh para sejarawan akademis.

João de Barros merupakan sejarawan kolonial besar yang pertama dan seorang orientalis perintis. Dalam catatan perjalanannya, de Barros mengkisahkan

65 Karya sejarah Jepang yang menyinggung Indonesia dengan menggunakan sumber dari Cina, antara lain Kesan-Kesan Perjalanan Nenek Moyang Yuan ke Pulau Jawa; Khususnya mengenai

Jumlah Prajurit dan Kapal Perang yang ditulis oleh Tomosaburo Niwa dan Sebuah Pengantar Sejarah Islam di Jawa dan Kalimantan oleh Kozo Tasaka.

66 Karya sejarah Jepang yang menyinggung Indonesia dengan menggunakan sumber dari VOC, antara lain Orang-Orang jepang di Batavia pada Abad Ke-17 dan Perdagangan Budaknya oleh

Seichi Iwao, Peranan Perdagangan dengan Siam pada Tahap Awal Pemerintahan Hindia Belanda yang ditulis oleh Akira Nagazumi, dan Sebuah Contoh dari Administrasi dan Manajemen Kolonial-VOC yang ditulis oleh Ryosei Kobayashi.

keadaan Pulau Sumatera yang dipandang lebih lengkap dan paling tepat sebelum terbit karya Valentijn yang berjudul Oud en Nieuw Oost-Indien tahun 1724. Namun demikian, gambarannya tentang Pulau Jawa tidak sedalam Sumatera dan mengandung berbagai kesalahan, seperti pernyataannya bahwa suku Jawa merupakan keturunan Cina dan bagian barat Pulau Jawa (Sunda) merupakan bagian yang tidak menyatu dengan Pulau Jawa. Selain de Barros, perlu juga disunggung catatan yang ditulis oleh Fernão Lopes de Castanheda (1500-1559) yang melayari Indonesia sampai ke daerah Maluku. Atan tetapi, catatannya tidak lebih bagus dari de Barros, karena Castanheda kurang membicarakan kerajaan- kerajaan penduduk asli dan pandangannya terlalu sempit.

Kelompok kedua dari sumber Portugis merupakan cerita biasa dan laporan pandangan mata. Karya terpenting bagi historiografi Indonesia adalah Suma Oriental yang ditulis Tomé Pires dan Informação yang ditulis oleh Gabriel Rebello tahun 1569. Tentang Suma Oriental yang memberikan gambaran memikat tentang Asia Tenggara ketika Portugis pertama kali muncul dan sebelum Indonesia banyak mendapat pengaruh dari bangsa Eropa lainnya, tidak perlu ditekankan pentingnya tulisan ini karena nilai historis telah diakui oleh para sejarawan. Sementara itu, Informação merupakan karya yang memuat tiga bagian, yakni gambaran rinci mengenai adat istiadat, ciri-ciri fisik, pakaian dan tingkah laku, olah raga, dan kepercayaan masyarakat di Kepulauan Maluku; sejarah penemuan Kepulauan Maluku oleh Portugis; dan masa di bawah pemerintahan nakhoda Bernaldim de Sousa di Ternate (1549-1552). Ada juga sebuah buku Kelompok kedua dari sumber Portugis merupakan cerita biasa dan laporan pandangan mata. Karya terpenting bagi historiografi Indonesia adalah Suma Oriental yang ditulis Tomé Pires dan Informação yang ditulis oleh Gabriel Rebello tahun 1569. Tentang Suma Oriental yang memberikan gambaran memikat tentang Asia Tenggara ketika Portugis pertama kali muncul dan sebelum Indonesia banyak mendapat pengaruh dari bangsa Eropa lainnya, tidak perlu ditekankan pentingnya tulisan ini karena nilai historis telah diakui oleh para sejarawan. Sementara itu, Informação merupakan karya yang memuat tiga bagian, yakni gambaran rinci mengenai adat istiadat, ciri-ciri fisik, pakaian dan tingkah laku, olah raga, dan kepercayaan masyarakat di Kepulauan Maluku; sejarah penemuan Kepulauan Maluku oleh Portugis; dan masa di bawah pemerintahan nakhoda Bernaldim de Sousa di Ternate (1549-1552). Ada juga sebuah buku

Kelompok ketiga adalah tulisan-tulisan yang ditulis oleh para penyebar agama Kristen. Tulisan-tulisan ini dibuat di atas landasan bahwa Portugis mengemban tugas suci untuk menyebarkan Kristen ke dunia timur. Meskipun dipandang tidak lebih baik dari catatan atau cerita para petualang, tulisan ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena dapat menyediakan bahan bagi historiografi Indonesia meskipun dalam jumlah yang tidak begitu banyak. Tulisan-tulisan kuno ini kemudian dijadikan bahan penulisan bagi para penulis Portugis modern sehingga menghasilkan karya yang jauh lebih baik, tentunya dengan interpretasi si penulis.

Historiografi Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sumber-sumber Belanda, meskipun dapat dipastikan bahwa informasi yang terkandung didalamnya berupa gambaran mengenai kehidupan dan tindakan orang Belanda bukan orang Indonesia. Akan tetapi, sumber-sumber Belanda itu akan tetap saja diperlukan bagi historiografi Indonesia, tentunya dengan menerapkan kritik yang lebih ketat dan sistematis. Bagi Graham Irwin, yang berkedudukan sebagai Lektor Kepala Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, catatan-catatan pada masa VOC memiliki nilai yang cukup tinggi karena kedudukannya sebagai bahan pembanding bagi historiografi tradisional yang sebelumnya telah berkembang di Historiografi Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sumber-sumber Belanda, meskipun dapat dipastikan bahwa informasi yang terkandung didalamnya berupa gambaran mengenai kehidupan dan tindakan orang Belanda bukan orang Indonesia. Akan tetapi, sumber-sumber Belanda itu akan tetap saja diperlukan bagi historiografi Indonesia, tentunya dengan menerapkan kritik yang lebih ketat dan sistematis. Bagi Graham Irwin, yang berkedudukan sebagai Lektor Kepala Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, catatan-catatan pada masa VOC memiliki nilai yang cukup tinggi karena kedudukannya sebagai bahan pembanding bagi historiografi tradisional yang sebelumnya telah berkembang di

secara pasti setelah mencocokkan dengan catatan dari VOC. 67 Selanjutnya, Irwin melakukan pengelompokkan sumber Belanda menjadi

dua bagian yaitu manuskrip dan sumber yang diterbitkan. Catatan-catatan naskah VOC yang dikenal dengan Koloniaal Archief (1594-1803) yang disimpan di Arsip Negara Den Haag, setengahnya boleh diabaikan oleh sejarawan yang sedang meneliti Sejarah Indonesia karena hanya menynagkut masalah dalam negeri Belanda dan pabrik-pabrik VOC terpencil di Cina, Persia, India, Tanjung Harapan, dan lain-lain. Setengahnya lagi harus dipertimbangkan untuk dijadikan sumber bagi penelitian sejarah Indonesia, di antaranya:

1. Catatan-catatan Voorcompagniën (jilid 1-107) yang berisi tentang surat-surat mengenai wilde vaart Belanda di perairan Indonesia antara tahun 1595-1602.

2. Arsip urusan rumah tangga dan perdagangan Dewan Perniagaan Amsterdam yang memuat notulen rapat Tujuhbelas Tuan beserta dengan surat dan instruksi untuk bawahannya di timur.

3. Keputusan Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia sejak 30 November 1613 s.d. 31 Desember 1791. Dalam keputusan ini biasanya disertakan pula sebuah

67 Dalam tulisannya yang berjudul Sumber-Sumber Sejarah Belanda (hlm. 204-221), Graham Irwin memberikan pendapatnya terhadap sekelompok sarjana Indonesia yang menentang

penggunaan sumber Belanda untuk historiografi Indonesia. Pertama, harus diberi tekanan bahawa seluruh sumber Belanda memiliki arti yang penting bagi historiografi Indonesia. Kedua, para pegawai Belanda tidak hany bekerja sesuai dengan keahliannya, tetapi acapkali menuliskan berbagai laporan mengenai keadaan di daerahnya masing-masing. Ketiga, oleh karena memiliki hubungan yang lebih erat dibandingkan dengan Inggris atau Perancis, Pemerintah Belanda biasanya memiliki komentar lebih canggih dan tepat, dibandingkan dengan kedua negara penjajah itu, atas wilayah jajahannya meskipun tidak selamanya bersifat objektif.

mukaddimah yang menguraikan latar belakang dikeluarkannya surat keputusan ini. Mukaddimah inilah yang dapat dijadikan bahan pembanding bagi sumber lain tentang sebuah peristiwa.

4. Buku-buku Surat Keluar Pemerintah Tertinggi di Batavia

5. Brieven en Papieren Overgekomen, 1602-1794. Di antara sumber-sumber kolonial itu, yang terpenting bagi studi sejarah Indonesia adalah dokumen nomor 4 dan nomor 5. Buku-buku Surat Keluar Pemerintah Tertinggi di Batavia memuat lembaran asli dari surat, laporan, kenangan, dan sebagainya yang ditulis oleh Pemerintah Tertinggi di Batavia kepada Tujuhbelas Tuan di Amsterdam. Di antara lembaran arsip itu, yang paling berguna bagi studi sejarah Indonesia adalah Generale Miisiven yakni laporan resmi yang dibuat secara teratur (biasanya Maret atau Desember tiap tahunnya) tentang keadaan harta milik Belanda di Dunia Timur. Sementara Brieven en Papieren Overgekomen berisi tembusan surat dan laporan yang diterima Gubernur Jenderal dari bawahannya. Kesulitannya adalah membaca arsip itu karena baik dari bentuk huruf dan tata bahasanya agak berbeda dengan bahasa Belanda sekarang.

Untuk periode VOC, sumber-sumber yang diterbitkan pun tidak dapat diabaikan begitu saja. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.

1. De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indië; Verzameling van onuitgegevene stukken uit het oud-koloniaal archief (1595-1814) yang ditulis oleh J. K. J. de Jonge dan kawan-kawan antara tahun 1862 dan 1909. Seri 1. De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indië; Verzameling van onuitgegevene stukken uit het oud-koloniaal archief (1595-1814) yang ditulis oleh J. K. J. de Jonge dan kawan-kawan antara tahun 1862 dan 1909. Seri

2. Dagh Register gehouden int Casteel Batavia, yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh J. A. van der Chijs dan kawan-kawan antara tahun 1887 dan 1931. Segala macam informasi bercampur menjadi satu: jumlah perahu yang ada di Batavia, ringkasan laporan sidang Dewan Hindia, rencana kebijkan di masa yang akan datang, dan laporan rinci mengenai peristiwa yang terjadi di Batavia.

3. Corpus Diplomaticum Neerlandico Indicum yang diedit oleh Heeres dan Stapel. Semua kontrak serta perjanjian dan traktat antara VOC dan para raja di Asia merupakan isi dari sumber sejarah ini.

4. Jan Pitersz. Coen; Bescheiden Omtrent zijn Bedrijf in Indië yang diedit oleh Colenbrander dan Coolhaas dan diterbitkan antara tahun 1919 dan 1953).

Ketika wilayah Indonesia dikuasai langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, maka resmilah berdiri Pemerintahan Hindia Belanda. Wilayahnya sama dengan wilayah kekuasaan VOC. Selain itu, banyak sumber sejarah yang ditinggalkan oleh pemerintah yang berkuasa dari tahun1800 s.d. 1942. Pertama,

Arsip Kementrian Urusan Daerah Jajahan, yang meliputi: a) Gewoon Archief (Arsip Biasa) yang meliputi surat-surat masuk dan keluar dari Kementerian Urusan Daerah Jajahan yang pada waktu itu dianggap bukan surat rahasia; b) Geheim Archief (Arsip Rahasia) sehingga memiliki penjelasan yang lebih kaya dibndingkan dengan gewoon archief. Arsip ini meliputi rencana kebijakan pemerintah di masa akan datang, pendapat tentang tindakann pemerintah di masa lampau, dan uraian tentang perundingan dengan negara atau orang asing; c) Kabinetsarchief (Arsip Kabinet) yang memuat keterangan mengenai transaksi dan keputusan pribadi para Menteri Urusan Daerah Jajahan. Kedua, Berkas-Berkas Pemerintah Hindia Belanda yang memuat transaksi-transaksi Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian dikenal juga dengan sebutan Dekrit Hindia Timur.

Selain arsip dalam bentuk manuskrip, sumber sejarah yang berasal dari masa Pemerintahan Hindia Belanda berupa terbitan resmi. Pertama, Koloniale Verslagen yang diterbitkan sebagai pelengkap bagi Staatscourant sejak tahun 1851/2. Kedua, Almanak van Nederlandsch-Indië yang memuat fakta, angka resmi, rincian undang-undang, ordonansi, dan peraturan pemerintah. Ketiga, Staatsblad van Nederlandsch-Indië . Keempat, Bijblad op het Staatsblad van

Nederlandsch-Indië e . Kelima, Javasche Courant. Keenam, Handelingen der 1 en

2 e Kamer der Staten-Generaalsraad . Untuk dapat melacak sumber-sumber sejarah Belanda itu, diperlukan

pengetahuan mendalam tentang bibliografi. Untuk memperlancar dan mempermudah proses heuristik, ada baiknya kita mengenal dua buah karya pengetahuan mendalam tentang bibliografi. Untuk memperlancar dan mempermudah proses heuristik, ada baiknya kita mengenal dua buah karya

Oleh karena masa penjajahan Belanda yang tergolong lama, tidaklah salah kalau ada anggapan bahwa semua sumber sejarah Indonesia ditulis dalam bahasa Belanda. Akan tetapi, pendapat itu harus segera ditinggalkan karena pada kenyataannya sumber sejarah yang dibutuhkan bagi historiografi Indonesia ada juga yang ditulis dalam bahasa Inggris. John Bastin memberikan informasinya mengenai berbagai sumber Inggris bagi studi sejarah Indonesia modern. Pertama, laporan perjalanan yang dibuat oleh para pedagang, nakhoda kapal, petualang, atau orang Inggris yang menetap di Hindia Belanda. Sebagai contoh, Laporan John Davis, nakhoda kapal yang membawa Cornelis de Houtman sampai di Banten. Dalam laporannya itu, diceritakan mengenai keadaan konflik intern di Aceh pada masa Sultan Alaudin Ri’yat Shah, dan hubungan Aceh dengan Portugis di Malaka serta dengan Johar di Malaysia. Kedua, tulisan artikel atau bahan

dokumenter yang memuat informasi tentang wilayah tertentu di Indonesia. Sebagai contoh, sebuah artikel yang ditulis oleh Edmund Scott yang berjudul An Exact Discourse of the Subtilties, Fashishions [sic.], Policies, Religion, and Ceremonies of the East Indians, as well Chyneses as Javans, there abyding and dweling … at Bantam yang terbit pertama kali tahun 1606. Artikel ini memuat laporan pandangan mata mengenai orang-orang di Jawa Barat serta cara hidup bangsa Eropa pertama yang mentap di Indonesia. Ketiga, karya sejarah yang ditulis oleh beberapa orang sarjana barat tentang Indonesi. Dalam hal ini, peranan dan tulisan Raffles tidak bisa diabaikan mengingat Letnan Gubernur Jenderal Inggris memiliki perhatian cukup dalam terhadap kebudayaan yang berkembang di Indonesia. Raffles memerintahkan untuk meneliti tentang masyarakat Indonesia di Bengkulu dan hasilnya diterbitkan tahun 1821 di bawah judul Proceedings of the Agricultural Society Established in Sumatra 1820 . Keempat, arsip-arsip yang berasal dari awal abad ke-19 ketika Indonesia dikuasai oleh Inggris. Namun sayangnya, arsip ini belum banyak dimanfaatkan untuk kepentingan studi sejarah Indonesia. Di India Office Library, terdapat koleksi arsip Java Factory Record, Raffles Collection , dan Koleksi Pribadi naskah Collin MacKenzie. Demikian juga di British Museum dikoleksi sejumlah naskah tentang Jawa pada awal abad ke-19. Di Royal Asiatic Society terdapat sebuah karya berjudul Java Antiquities yang memuat sejumlah catatan pribadi pembantu Raffles, Kapten G. P. Baker, yang bertanggung jawab atas pembuatan laporan dan survai tentang sejumlah besar monumen kuno di Jawa. Tidak bisa diabaikan adalah History of Java karya

Raffles, History of Sumatra karya Marsden, dan History of the Indian Archipelagi karya John Crawfurd.

Sementara itu, sumber-sumber Soviet untuk historiografi Indonesia lebih banyak berhubungan dengan aktivitas atau perkembangan komunis di Indonesia. Artinya, seorang sejarawan yang hendak meneliti tenang komunisme di Indonesia harus meneliti sumber sejarah berbahasa Rusia. Tokoh komunis Indonesia seperti Muso, Alimin, dan Darsono menulis berbagai artikel atau pamflet yang isinya tidak lepas dari perjuangan kaum komunis untuk menegakkan fahamnya di

Indonesia. 68 Ada juga sumber sejarah Soviet tentang Indonesia yang ditulis oleh para sarjana Uni Soviet. Misalnya, A. A. Guber, sejarawan terkemuka Rusia yang menulis tentang aspek-aspek sosial ekonomi Indonesia di bawah judul Indoneziia; Sotsial’no-ekonomicheskie Ocherkie (Indonesia; Aspek-aspek Sosial Ekonomi) yang diterbitkan tahun 1932 dan 1933. Pada tahun 1950-an, studi Indonesia yang dilakukan oleh para sarjana Soviet semakin meningkat karena didorong oleh kebijakan luar negeri Soviet terhadap Asia yang semakin bersahabat. Walaupun demikian, studi Indonesia masih terkonsentrasi pada aspek politik, ekonomi, dan sejarah kontemporer. Karya terpenting bagi sejarawan dan ilmuwan politik di antaranya adalah Pembentukan Kelas Buruh di Indonesia dan Oktober Agung dan

68 Dalam tulisan Ruth T. McVey yang berjudul Sumber-Sumber Soviet untuk Hitoriografi Indonesia (hlm. 240-262), dimuat berapa judul tulisan dan pamflet yang dibuat oleh kaum

revolusioner Indonesia, di antaranya yang dibut oleh Muso yakni “Kerja Paksa di Indonesia” terbit tahun 1930 dan “Indonesia, Jajahan Imperialisme Belanda” oleh Muso yang diterbitkan di Moskow tahun 1931; Darsono menulis tentang “Situasi Gerakan Rakyat Indonesia” yang diterbitkan oleh Komunis Internasional (KI) tahu 1926; Semaun menulis “Indonesia dalam Belenggu Imperialis” yang diterbitkan oleh Profintern tahun 1927; dan masih banyak lagi.

Perjuangan Pembebasan Nasional Indonesia yang ditulis oleh O. I. Zabozlaeva, Irian Barat Harus Dikembalikan kepada Indonesia (Iu. G. Barsego), Indonesia di Jalan Menuju Perkembangan Independen (V. Val’kov), Indonesia dalam Perjuangan Memperkuat Ekonomi dan Keuangannya (V. Arkhipov), Diponegoro yang ditulis oleh M. A. Kolesnikov, dan masih banyak lagi.