HISTORIOGRAFI DI TATAR SUNDA (PRIANGAN) 69

BAB VI HISTORIOGRAFI DI TATAR SUNDA (PRIANGAN) 69

1. Pengantar

Sebagaimana lazimnya perkembangan historiografi di berbagai belahan dunia, Historiografi Priangan memperlihatkan suatu perkembangan dari bentuk historiografi tradisional hingga historiografi modern (kritis). Sartono Kartodirdjo menegaskan bahwa historiografi tradisional memiliki fungsi sosial-psikologis untuk memberi masyarakat suatu kohesi, antara lain sebagai alat legitimasi

kekuasaan bagi sebuah dinasti. 70 Hal ini ditegaskan oleh Nina H. Lubis dengan mengatakan bahwa historiografi tradisional memiliki beberapa ciri sebagai berikut: a) geneaogi yang merupakan permulaan dari semua penulisan sejarah; b) asal-usul rajakula yang mithis-legendaris, yang merupakan bagian terpenting; c) mitologi Melayu Polinesia tentang perkawinan dengan bidadari; d. legenda pembuangan anak; e) legende Permulaan kerajaan; f) tendensi menjunjung tinggi rajakulanya; g) nama pengarang pada umumnya tidak dicantumkan dengan jelas atau tersamar; dan h) titi mangsa penulisan naskah pada umumnya tidak ditulis

dengan jelas. 71 Sementara itu, sebagai sebuah nama wilayah di Tanah Sunda (Jawa

Barat), Priangan telah dikenal paling tidak sejak abad ke-16 Masehi. Setidak-

69 Kertas kerja yang disampaikan dalam Seminar Sejarah Indonesia-Belanda Ke-3 di Lage Vuurche, Belanda, Bulan Juni 1980.

70 Sartono Kartodirdjo. 1982. op.cit. Hlm. 17. 71 Nina H. Lubis. Historiografi di Tatar Sunda. Makalah dalam Kursus Sejarah Sunda di Bandung.

Februari-Maret 2007.

tidaknya ada lima belas makna yang terkandung dalam kata Priangan seperti yang dikemukakan oleh Otto van Rees. 72 Di antara sekian banyak makna yang

terkandung dalam kata Priangan, terdapat dua makna yang sering dijadikan sebagai rujukan. Pertama, Priangan merupakan sebuah kata yang berasal dari kata dasar hiang dan rahiang yang berarti dewa. Kata dasar ini kemudian mendapat imbuhan para – an atau pa – an sehingga menjadi Parahiangan yang berarti daerah yang menjadi tempat tinggal para dewa. Kata Parahiangan ini

kemudian berubah bunyi menjadi Priangan. 73 Kedua, istilah Priangan berkaitan erat dengan peristiwa menyerahnya penguasa Sumedanglarang kepada penguasa Mataram yang terjadi sekitar tahun 1620. Penyerahan ini dilakukan secara sukarela dan seluruh wilayah kekuasaan Sumedanglarang kemudian berubah nama menjadi Priangan yang bermakna penyerahan diri dengan hati yang

suci. 74 Nama Priangan terus dipakai sampai sekarang dan dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang surut, baik dari sisi wilayahnya maupun statusnya. Priangan, dalam kertas kerja ini, merupakan sebuah wilayah yang membentang antara Cianjur sampai dengan Ciamis. Dengan demikian, kajian ini akan meliputi beberapa kabupaten: Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Pertanyaannya adalah bagaimana perubahan wilayah dan status Priangan

72 Lihat Otto van Rees. 1880. “Overzigt van de Geschiedenis der Preanger Regentschappen”. VBG. XXXIX. Hlm. 1-156. Pendapat van Rees ini sebagian besar diambil dari tulisan J. Hageman

yang berjudul “Geschiedenis der Soendalanden” yang dimuat di TBG tahun 1867 (XVI, hlm. 193-251), 1869 (XVII, hlm. 178-257), dan 1870 (XIX, hlm. 201-269).

73 Ayatrohaedi. 1969. “Toponimi Daerah Sunda, Priangan”. Mangle. Hlm. 13 dan 23. 74 Hageman. 1869. Op.cit. Hlm. 181.

dari waktu ke waktu? Juga perlu dipertanyakan bagaimana historiografi tradisional berkembang di wilayah ini?

2. Bentuk Historiografi Priangan

Prasasti merupakan bentuk historiografi sederhana yang dikenal oleh masyarakat di Tatar Sunda sejak abad ke-5 Masehi. Beberapa buah prasasti yang dikeluarkan oleh Purnawaman, Raja Tarumanagara, ditemukan di wilayah Tatar Sunda. Prasasti-prasasti itu menceritakan sejumlah peristiwa yang terjadi dan keadaan yang hidup pada masa itu. Tradisi itu terus dilakukan oleh Kerajaan Sunda meskipun dalam jumlah sedikit. Prasasti biasanya ditulis di atas batu atau lempengan logam.

Bentuk historiografi lainnya yang dihasilkan pada masa Kerajaan Sunda adalah naskah yang ditulis pada lontar, nipah, dan lain-lain. Naskah bercerita mengenai serangkaian peristiwa yang terjadi. Tradisi ini dikenal pula dengan istilah historiografi tradisional. Carita Parahyangan, sebuah historiografi Sunda yang disusun sekitar abad ke-16 Masehi, menuturkan sejarah Kerajaan Sunda sejak awal hingga akhirnya termasuk di dalamnya menyebutkan urutan raja-raja Sunda mulai dari Rayangta di Medangjati hingga Nusia Mulya, raja terakhir Kerajaan Sunda. Tradisi pembuatan naskah terus berlanjut walaupun eksistensi Kerajaan Sunda digantikan oleh beberapa Kesultanan Cirebon dan Banten serta beberapa buah kabupaten di Priangan. Di Cirebon di antaranya dijumpai Babad

Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari; dan di Banten di antaranya dijumpai Babad Banten dan Hikayat Banten.

Bagaimana tradisi ini berkembang di Priangan? Terdapat tiga petunjuk mengenai lingkungan tempat pembuatan historiografi (naskah sejarah). Pertama, lingkungan pertapaan dari kebudayaan pra-Islam yang melanjutkan tradisi historiografi Kerajaan Sunda. Contohnya adalah Carita Ratu Pakuan yang disusun pada awal abad ke-18 masehi merupakah naskah yang dibuat di atas lontar di daerah pertapaan Gununglarang Srimanganti, sekitar Gunung Cikuray, Garut. Kedua, lingkungan pesantren yang menghasilkan historiografi yang bertalian dengan Islamisasi dan riwayat hidup tokoh-tokoh Islam (hagiografi). Ketiga, lingkungan pemerintahan setempat yang mengkulturkan historiografi mengenai daerah setempat. Misalnya, Sajarah Galuh dan Wawacan Sajarah Galuh (Galuh), Sajarah Bopati dan Sajarah Sukapura (Sukapura), Kitab Pancakaki dan Babad Sumedang (Sumedang), Sajarah Bandung dan Carita Ukur (Bandung), Babad Limbangan (Limbangan), dan Sajarah Cikundul (Cianjur). Tradisi ini memadukan antara historiografi Islam dan historiografi Jawa dan

kemudian dikatakan sebagai historiografi Priangan. 75 Kemungkinan besar historiografi Priangan mulai muncul pada abad ke-

18 Masehi dan sebagian besar dihasilkan padda abad ke-19 masehi. Dari aspek kronologi, sebagian historiografi Priangan mencantumkan penanggalan penulisan secara lengkap, tetapi sebagian lagi penanggalan penyusunanannya tidak lengkap

75 Nina H. Lubis. loc. cit.

atau sama sekali tidak ada penanggalan penyusunan. 76 Historiografi Priangan yang ditulis sebelum pertengahan abad ke-19, umumnya ditulis dalam bahasa

Jawa dan huruf Jawa-Sunda. 77 Sementara itu, historiografi Priangan yang dihasilkan setelah waktu itu ditulis dalam bahasa Sunda atau Melayu dengan

menggunakan huruf pegon atau latin. Sebelum abad ke-19, penyusun historiografi Priangan biasanya tidak dicantumkan, tetapi setalah masanya biasanya si penyusun tertera dalam naskah sejarah itu. Para penyusunnya berasal dari kalangan bangsawan yang dapat dilihat dari gelar yang disandang para penyusun

historiografi Priangan, di antaranya: Arya Sukmandana (Galuh), 78 Raden Kanduruan Kertinagara (Sukapura), 79 dan Raden Rangga Sastranagara. 80 Meskipun mereka telah berhasil menyusun historiografi daerahnya masing-masing, tetapi tingkat kesadaran sejarahnya berbeda-beda. Mereka

76 Contohnya, Sajarah Sukapura selesai disusun pada Sabtu sore tanggal 5 bulan Haji tahun 1303 Hijriah, Tahun Dal yang jatuh pada tanggal 4 September 1886 Masehi. Dalam Sajarah

Bandung hanya disebutkan bahwa naskah itu disusun ketika salah seorang pengarangnya berusia 67 tahun dan Raden Mukharam, putra R. Adipati Kusumadilaga (1874-1893), berusia sebelas bulan. Oleh para filolog, Sajarah Bandung disusun sekitar tahun 1890. Wawacan Sajarah Galuh sama sekali tidak menyebutkan penanggalan penyusunannya. Berdasarkan informasi dari naskah itu sendiri dan dari luar naskah, diperkirakan wawacan itu disusun antara tahun 1874-1851.

77 Jauh sebelum masa itu, historiografi yang disusun dalam bahasa Sunda dan huruf Sunda kuno. Perubahan itu merupakan pengaruh langsung dari kekuasaan Mataram di Priangan sehingga

unsur-unsur budaya Mataram men jadi bagian integral dari historiografi Priangan, seperti: undak-usuk bahasa, bentuk tembang, penanggalan Jawa, dan isinya lebih banyak menceritakan keadaan di Mataram.

78 Nama aslinya adalah R. A. Natadireja, putra R. A. A. Nata di Kusumah, Bupati Galuh (1801- 1806). Ia pernah memegang jabatan sebagai Jaksa kabupaten Galuh dan membuat karangan

setelah memasuki usia pensiun.

79 R. K. Kertinagara (1835-1935) bukanlah keturunan bangsawan Sukapura, melainkan keturunan seorang ulama terkenal di daerah itu. Meskipun demikian, ia pernah memegang jabatan sebagai

wedana di Manonjaya dan setelah pensiun, ia menyusun karangannya. Setelah beribadah haji namanya berbah menjadi Haji Abdullah Soleh.

80 Raden Rangga Sastranagara atau Raden Haji Muhammad Gajali merupakan salah seorang anak R. A. Wiranatakusumah III, Bupati Bandung (1829-1846). Ia pernah menjabat sebagai Mantri

Pulisi di Bandung dan Kumetir Besar Kebun Kopi di Bandung. Sekembalinya dari Ambon, diasingkan tanpa alasan yang jelas, ia menulis Sajarah Bandung sekitar tahun 1890.

bukanlah penulis yang secara serius menulis sejarah, seperti yang dilakukan oleh seorang sejarawan profesional. Mereka menulis historiografi karena didorong oleh motivasi mengisi waktu luang (pensiun), keperluan keluarga, dan kepentingan politik tertentu. Selain itu, sifat sakral (religi magi) tidak begitu menonjol karena

mereka mengerjakannya lebih bersifat duniawiyah. 81 Hal tersebut sangat berbeda dengan historiografi yang dihasilkan di keraton-keraton Jawa. 82 Bagaimana pola

yang digunakan dalam historiografi Priangan? Bagaimana pula struktur isi dari historiografi Priangan?

Historiografi Priangan menunjukkan dua pola penuturan ceritanya. Pertama, sebagai sebuah kesatuan cerita secara keseluruhan seperti Wawacan Sajarah Galuh, Sajarah Sukapura, dan Babad Sumedang; serta kedua, merupakan sejumlah catatan dan atau cerita yang masing-masing berdiri sendiri mengenai peristiwa-peristiwa dan masalah-masalah yang bertalian dengan daerah setempat, seperti Sajarah Bandung, Kitab Pancakaki, dan Carita Ukur.

Mengenai struktur isinya, pada umumnya diawali oleh uraian mengenai silsilah para bupati setempat. Semua bupati di Priangan menarik garis keturunannya sampai kepada Prabu Siliwangi yang dianggap sebagai Raja Sunda termashur. Pada garis lainnya, mereka ada yang menarik keturunannya sampai kepada Nabi Adam, leluhur setempat, bahkan ada yang sampai kepada Jaka Tingkir, penguasa Kerajaan Pajang. Historiografi Priangan biasanya mengandung

81 Sartono Kartodirdjo. 1968. “Beberapa Fatsal dari Historiografi Indonesia” dalam Lembaran Sejarah . No. 2. Yogyakarta: Universitas Gadjah mada. Hlm. 26.

82 C. C. Berg. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terj. S. Gunawan. Jakarta: Bhratara. Hlm. 44-105. Lihat juga M. C. Ricklefs. 1973. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792; A History of

the Division of Java . Ithaca: Cornell University. Hlm. 273-320.

cerita yang bersifat legenda, seperti yang terdapat di dalam Wawacan Sajarah Galuh tentang hubungan antara para bupati Galuh dan Ciung Wanara, yang dipandang sebagai tokoh legendaris setempat. Hal yang menarik juga adalah hampir sebagian besar historiografi Priangan menceritakan tentang Dipati Ukur, Wedana Bupati Priangan yang memberontak kepada Sultan Mataram.

Inti uraian dari historiografi Priangan adalah sejarah lokal tiap kabupaten dan bupati beserta keluarganya merupakan pokok ceritanya. Kehidupan rakyat hampir tidak pernah diungkapkan, kecuali yang bertalian dengan para bupati. Dengan demikian, visi historiografi Priangan bersifat kabupatensentris. Panjang pendeknya sebuah cerita tentang bupati bergantung pada kedekatan masa pemerintahan dengan masa penyusunan historiografi, jasa bupati, peristiwa yang

dihadapi bupati, dan saling membantu di antara para bupati. 83 Selain itu, adakalanya sebuah historiografi Priangan menceritakan tentang konflik

antarbupati atau antarbangsawan di Priangan. 84

83 Dalam Sajarah Sukapura diceritakan kesediaan R. T. Wiratamubaya Bupati Parakanmuncang (1724-1773) mendidik putra R. T. Wiradadaha. Pada waktu itu, R. T. Wiradadaha diasingkan ke

Batavia karena difitnah bawahannya yang berambisi menjadi bupati. Wiratanubaya berusaha untuk mempromosikan anak didiknya itu untuk menduduki jabatan Bupati Sukapura yang ditinggalkan oleh Wiradadaha (1747-1765). Sebelum anak didiknya dewasa, Wiratanubaya bertindak sebagai walinya dan untuk sementara waktu memegang menduduki jabatan Bupati Sukapura. Kebaikan ini ternyata tidak dapat dilepaskan dari hubungan kekerabatan di antara mereka, yakni Wiradadahan merupakan menantu dari Wiratanubaya. Lihat lebih lanjut Emuch Hermansoemantri. 1979. Sajarah Sukapura; Sebuah Telaah Filologi. Jakarta: Universitas Indonesia; Said Raksakusumah et al. 1978. Babad Sumedang Karya R. A. A. Martanagara. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.

84 Naskah Sajarah Bandung menceritakan konflik yang terjadi antara Sumedang dan Parakanmun- cang. Konflik ini dipicu oleh keputusan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengangkat

bangsawan Parakanmuncang R. Tumenggung Tanubaya sebagai Bupati Sumedang. Para bangsawan Sumedang tidak menerima mereka diperintah oleh bangsawan Parakanmuncang sehingga berusaha mengusir mereka dari Sumedang. Bahkan lebih jauhnya, para bangsawan berusaha mempengaruhi pejabat kolonial agar Kabupaten Parakanmuncang dihapus dalam peta politik Hindia Belanda. Lihat lebiha jauh R. Memed Sastrahadiprawira. 1930. Pangeran Kornel.

Dalam historiografi Priangan terungkap pula bahwa para bupati di Priangan menganggap Sultan Mataram dan kemudian Gubernur Jenderal VOC/Hindia Belanda sebagai atasan mereka. Terungkap dalam Sajarah Sukapura bahwa bupati Sukapura secara tegas menyatakan bahwa wilayah kekuasaannya berada di bawah kekuasaan Mataram dan kemudian VOC/Pemerintah Hindia Belanda. Para Bupati Sukapura pun merupakan penguasa di Priangan yang paling loyal kepada Mataram sehingga menerima kekuasaan VOC dan Pemerintah Hindia Belanda di wilayahnya karena diserahkan dan dikehendaki oleh Sultan Mataram. Hal senada terungkap pula dalam Babad Sumedang walaupun dalam Kitab Pancakaki disebutkan bahwa salah seorang anak Aria Suriadiwangsa memperlihatkan sikap ketidaksenangnya atas kematian ayahnya di Mataram.

Sementara dalam Sajarah Bandung, penguasa setempatnya tidak secara langsung mengakui kekuasaan Mataram atas wilayah Bandung. Wilayah ini memang dipandang rendah tingkat loyalitasnya sehingga pernah memberontak kepada Sultan Mataram. Paling menarik adalah cerita yang terkandung dalam Babad Cikundul yang menyatakan bahwa Bupati Cianjur berserah diri kepada Sultan Mataram walaupun daerah ini didirikan setelah Mataram menyerahkan sebagian Priangan kepada VOC tahun 1677.

Weltervreden: Balai Pustaka. Kondisi yang sama dialami pula oleh bangsawan Sukapura ketika Pemerintah Hindia Belanda mengangkat R. A. Suryalaga, bangsawan Sumedang, sebagai Bupati Sukapura (1813-1814). Lihat Emuch Hermansoemantri. 1979. op.cit. Hl. 427-431.

3. Beberapa Contoh Historiografi Priangan