HISTORIOGRAFI ASIA, AFRIKA, DAN ISLAM

BAB III HISTORIOGRAFI ASIA, AFRIKA, DAN ISLAM

1. Historiografi Asia Selatan dan Asia Tenggara 32 Ada dua jenis historiografi yang berkembang di kawasan ini yaitu histo-

riografi tradisional dan historiografi modern. Masing-masing menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan. Ciri-ciri dari historiografi tradisional yang ber- kembang di wilayah ini adalah sebagai berikut.

a) Kuat dalam genealogi, tetapi lemah dalam kronologi dan biografis.

b) Tekanannya pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot, dan pengguanan sejarah sebagai alat pengajaran agama.

c) Cenderung bersifat kingship dengan penekanan pada kontinuitas dan loyalitas yang ortodoks.

d) Kosmologis dan astrologis mengesampingkan kausalitas dan ide kemajuan Sementara itu, perbedaan yang muncul dalam historiografi tradisional itu adalah sebagai berikut.

a) Agama menjadi pemisah bentuk historiografi untuk masing-masing wilayah.

b) Persaingan nasional memberikan pengaruh signifikan terhadap karya yang dihasilkan di masing-masing wilayah.

c) Karya-karya itu hanya dimengerti untuk penduduk setempat mengingat bahasa yang dipergunakannya sangat rumit untuk dipahami.

32 Disunting dari tulisan Wang Gung Wu dalam Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomi- hardjo (eds.). 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia.

Hlm. 3-20.

d) Tidak semua kalangan bisa membaca historiografi yang dihasilkan; ada yang sengaja dibuat untuk konsumsi rakyatnya (karya Islam dan Melayu), tetapi ada juga yang dibuat untuk kalangan terbatas (karya orang Thailand, Myanmar, dan Vietnam).

Di Asia Selatan, historiografi tradisional telah dikenal ketika di wilayah India mulai berkembang agama Veda sebagai agama tertua yang berkitab suci. Tradisi pur na merupakan historiografi tradisional yang dihasilkan oleh bangsa India pada masa Veda. Isinya merupakan tarikh yang bersifat: tidak dikenal umum, dibesar-besarkan, kurang data otentik, topografi dan kronologi diabaikan. Epik Mah bh rata dan R may na merupakan karya historiografi tradisional ter- penting karena kemudin menjadi sumber bagi penulisan historiografi tradisional lainnya. Kedudukannya tidaklah jauh berbeda dengan epik yang dihasilkan oleh Homerus bagi bangsa Eropa. Kedua epik ini pun dipandang sebagai karya histo- riografi tradisional memiliki kedekatan dengan sejarah dibandingkan dengan kaya historiografi lainnya.

Untuk kalangan penganut agama Budha, mereka memiliki cerita Pa catantra dan J taka yang menjadi sumber bagi cerita jenaka dan tradisi ge- nealogi Buudhis dan kronik-kronik yang berkembang di daerah Sri Lanka dan da- ratan Asia Tenggara. Selain itu, di daerah Sri Lanka berkembang pula penulisan historiografi dalam tradisi vamsa berbentuk tarikh dan jenaka yang ditulis dalam bentuk sajak. Tradisi telah memiliki kedekatan dengan ciri-ciri karya sejarah.

Masuknya agama Islam ke India menunjukkan pengaruh sangat signifi- kan bagi perkembangan historiografi di kawasan Asia Selatan. Meskipun masih terikat terhadap kepentingan penguasa yang ortodoks, karya historiografi Islam di kawasan ini telah memberikan gambaran sejarah yang tidak diperoleh pada masa sebelumnya. Bagi Ziaudin Barani yang menulis Tarikh-i-Feroz-shahi (1357) seja- rah merupakan dasar yang tidak dapat diabaikan bagi kebenaran. Demikian juga dengan Mogbul Abd Fazl (1551-1602) yang menulis Akbar Nameh selangkah le- bih maju karena menggunakan arsip untuk menyusun karyanya tersebut.

Historiografi tradisional di Asia Tenggara, terutama yang berkembang di Myanmar dan Thailand, sedikit banyaknya mendapat pengaruh dari tradisi yang berkembang di Sri Lanka, meskipun bukan berarti tradisi asli tidak memberikan warna dalam perkembanga historiografi tradisional di wilayah ini. Yazawin ‘kro- nik’ merupakan bentuk historiografi asli masyarakat Myanmar yang bercorak animisme, rajasentris, dan dengan landasan kosmologis setempat. Demikian juga dengan historiografi yang berkembang di Jawa dan Melayu, sebelum abad ke-19 masih menunjukkan ketidaktepatan dalam kronologis sehingga masih sulit dike- lompokkan sebagai sejarah. Nagakartagama, Pararaton, dan Babad Tanah Jawi lebih cenderung memperlihatkan sebagai karya dari tradisi asli dalam hal kesada- ran sejarah. Baru setelah abad ke-19, terutama Babad Dipanegara dan Sajarah Banten telah menunjukkan kedekatannya dengan karya sejarah.

Karya yang dihasilkan oleh wilayah berbahasa Melayu justru lebih dekat dengan karya sejarah, seperti Sejarah Melayu dan sejumlah karya lainnya menge- Karya yang dihasilkan oleh wilayah berbahasa Melayu justru lebih dekat dengan karya sejarah, seperti Sejarah Melayu dan sejumlah karya lainnya menge-

Seiring dengan semakin mengakarnya kekuasaan dan pengaruh barat di Asia Selatan dan Asia Tenggara, perkembangan historiografi pun menunjukkan perubahan signifikan. Akan tetapi, perubahan itu baru terjadi sekitar pertengahan abad ke-19 ketika ilmu dan kebudayaan Barat mulai diajarkan dan dipelajari di wilayah jajahannya. Dengan demikian, sejak saat itu perkembangan historiografi memasuki fase modern meskipun dari sisi metodologisnya masih konvensional, seperti penerapan metode filologis olah William Jones melalui Asiatic Society yang dibentuknya tahun 1784.

Walaupun pengaruh metodologis Barat telah masuk ke dalam wilayah penelitian sejarah di India, namun baru pada abad ke-20, historiografi Asia Sela- tan mulai terpengaruh secara langsung dan kuat oleh metodologi Barat. Diawali oleh penerbitan Cambridge History of India (1932) penelitian terhadap sejarah India mulai menunjukkan perkembangan signifikan. Tidak hanya didominasi oleh sejarawan barat, tetapi juga sejarawan setempat seperti R. C. Majumdar, H. C. Raychaudhuri, K. A. A. Nilakantasastri, dan K. M. Panikar mulai memberikan perhatian penuh, dengan metodologi barat, terhadap sejarah India. Sementara itu, perkembangan historiografi modern di Pakistan dan Sri Lanka agak terlambat di- Walaupun pengaruh metodologis Barat telah masuk ke dalam wilayah penelitian sejarah di India, namun baru pada abad ke-20, historiografi Asia Sela- tan mulai terpengaruh secara langsung dan kuat oleh metodologi Barat. Diawali oleh penerbitan Cambridge History of India (1932) penelitian terhadap sejarah India mulai menunjukkan perkembangan signifikan. Tidak hanya didominasi oleh sejarawan barat, tetapi juga sejarawan setempat seperti R. C. Majumdar, H. C. Raychaudhuri, K. A. A. Nilakantasastri, dan K. M. Panikar mulai memberikan perhatian penuh, dengan metodologi barat, terhadap sejarah India. Sementara itu, perkembangan historiografi modern di Pakistan dan Sri Lanka agak terlambat di-

Kegiatan penelitian sejarah yang menghasilkan historiografi modern di Asia Tenggara pada awal perkembangannya tidaklah segencar yang terjadi di Asia Selatan. Pembentukan Bataviaach Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen tahun 1778 serta penerbitan buku History of Sumatra karya William Marsden dan History of Java karya Sir Thomas Stamford Raffles tidaklah begitu mendorong terhadap kegiatan penelitian sejarah. Pada akhir abad ke-19, kegiatan penelitian dan penulisan sejarah yang dilakukan oleh bangsa Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia mulai bergairah. Meskipun demikian, kegiatan mereka tidak sampai mempengaruhi bentuk historiografi tradisional yang tetap hidup. Demi- kian juga di wilayah Myanmar dan Thailand bahwa tradisi yazawin dan p’ongsawadan masih tetap hidup di kalangan para penulis setempat, meskipun telah berdiri majalah-majalah ilmiah, seperti Journal of the Burma Research So- ciety dan Journal of the Siam.

Kenyataan tersebut mendorong adanya tiga bidang historiografi yang hi- dup di Asia Tenggara dalam kurun waktu abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20. Pertama, sejarah kuno yang diungkapkan oleh para filolog, epigraf, dan arkeolog. Jenis karya ini tidak begitu dikenal oleh penduduk asli. Kedua, sejarah kolonial sebagai bidang perhatian khusus dari orang-orang Eropa dan penduduk Kenyataan tersebut mendorong adanya tiga bidang historiografi yang hi- dup di Asia Tenggara dalam kurun waktu abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20. Pertama, sejarah kuno yang diungkapkan oleh para filolog, epigraf, dan arkeolog. Jenis karya ini tidak begitu dikenal oleh penduduk asli. Kedua, sejarah kolonial sebagai bidang perhatian khusus dari orang-orang Eropa dan penduduk

Di antara ketiga bidang historiografi tersebut, sejarah kuno ternyata me- miliki mutu yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sejarah kolonial. Karya N. J. Krom (sejarah kuno Indonesia), Coedes (epigrafi Asia Tenggara sebelum Islam), Winstead (Sejarah Malaya), dan G. H. Luce (inskripsi untuk sejarah Myanmar) mutunya sangat baik dibandingkan dengan sejarah kolonial. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa penulisan sejarah merupakan persoalan orang- orang amatir yakni mereka yang memanfaatkan waktu luangnya di tengah kesibu- kannya sebagai pegawai pemerintahan, pemilik perkebunan, dan sebagainya.

Meskipun demikian, metode penelitian sejarah modern tetap diperkenal- kan di masing-masing wilayah, tentunya dengan tingkat yang berbeda. Di Thai- land dan Filipina, metode penelitian sejarah modern telah diberikan kepada para mahasiswa sejarah, misalnya di Universitas Chulalongkorn (1911) dan di Univer- sitas Filipina (1908). Sementara itu, histriografi modern di Indonesia, Vietnam, dan Myanmar selalu dikonfrontasikan dengan nasionalisme. Oleh karena itu, per- kembangan historiografi modern di wilayah ini tidaklah semaju dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.

2. Historiografi Cina 33 Cina merupakan sebuah bangsa yang memiliki sejarah tertua yang tidak

terputus. Pada awal perkembangannya, sejarah Cina merupakan perpaduan antara magico-religi 34 dan penyimpanan catatan. Fokus utama dalam penulisan sejarah

Cina pada zaman dinasti adalah deskripsi mengenai sejarah keturunan para kaisar, tata cara, dan legitimasi politik. Historiografi kuno ini dikenal dengan nama shu cing atau sejarah klasik. Tradisi ini muncul di Cina sejak abad ke-8 SM atau ke- tika Dinasti Chou (1111-221 SM) berkuasa di Cina.

Penting juga dicatat bahwa inti moral yang terkandung dalam catatan- catatan peristiwa di masa lampau, apabila dikaji secara saksama akan mampu me- nyingkapkan norma-norma moral kehidupan manusia. Itulah substansi sejarah dalam pandangan Konfusius (551-479) seperti yang tertuang dalam Ch’un

Ch’iu . 35 Ketika negara kesatuan terbentuk pada tahun 221 SM, para sejarawan is-

tana yang ditunjuk oleh kaisar masih memperlihatkan pengaruh kuat dari Konfu- sius terutama dalam penggunaan moral dan didaktis dalam penulisan sejarah. Da-

lam pengaruh tersebut, sejarawan agung Ssu Ma-ch’ien 36 menulis Shih Chi sebagai kitab sejarah pertama yang menguraikan sejarah Cina mulai dari zaman

33 Disunting dari tulisan Arthur W. Wright dalam Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomi- hardjo (eds.). 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif. Jakarta:

Gramedia.Hlm. 71-88. 34 Merupakan tulisan yang bersifat magis seperti ramalan. Di Cina para sejarawan istana, yang

telah dikenal sejak Kaisar Kuning (Huang Ti), sejak Dinasti Shang (1751-1111 SM) telah menuliskan ramalan-ramalan di atas tulang dan batok kura-kura.

35 Ch’un Ch’iu merupakan kitab yang mungkin dikarang oleh Konfusius. Kitab ini berisi tentang berbagai kejadian di negara Lu dan dipandang sebagai prototipe dari sejarah moral-normatif.

36 Ssu Ma-ch’ien hidup pada masa Dinasti Han Awal (Ch’ien Han) sekitar 206 SM – 8 M. Ia menulis sejarah setelah ditunjuk sebagai sejarawan keraton menggantikan ayahnya.

samar-samar sampai sekitar tahun 100 SM. Bahan yang dipergunakannya adalah catatan keraton, catatan kejadian, inskripsi masa lalu, dan tradisi sejarah lisan. Pada masa Dinasti Han Kemudian (Hou Han; 25 – 220 M) seorang sejarawan keraton bernama Pan Ku menulis Ch’ien Han Shu ‘Sejarah Dinasti han Awal’ yang merupakan buku pertama dari rangkaian sejarah dinasti ‘tuan-tai shih’.

Historiografi yang lebih bebas dimulai ketika Dinasti Han runtuh dan Cina dilanda pergolakan politik dari tahun 220 – 589 M. Meskipun demikian, dari aspek pemikiran masa perpecahan ini justru melahirkan pemikir-pemikir yang di- pengaruhi oleh Budhisme. Pemikiran yang mendalam dan imajinatif itu tidak ke- luar dari persoalan mengenai manusia, masyarakat, dan kosmos. Akan tetapi, pe- ngaruh Budhisme tidaklah begitu dominan terhadap perkembangan historiografi seperti yang tercermin dari karya sastra yang dihasilkan oleh Liu Hsieh (465-522). Ia membahas berbagai persoalan historiografi, yaitu: pentingnya prinsip-prinsip umum, batasan-batasan untuk memilih hal yang khusus, ukuran untuk memper- cayai materi, dan masalah objektifitas dan prasangka.

Ketika T’ang berhasil menyatukan Cina, arah perkembangan historio- grafi cenderung berusaha untuk melepaskan diri dari tradisi catatan-catatan di- nasti. Hal ini tercermin dari karya Tu Yu (735-812) yang menulis T’ung Tien yang berbentuk ensiklopedi dan dipandang sebagai sejarah institusi Cina pertama. Se- lain itu, sejarawan istana tidak diberikan kepada individu saja, melainkan diubah menjadi sebuah komisi. Perubahan ini yang melahirkan jenis historiografi resmi dan tidak resmi serta mendorong timbulnya perdebatan sekitar bagaimana menulis Ketika T’ang berhasil menyatukan Cina, arah perkembangan historio- grafi cenderung berusaha untuk melepaskan diri dari tradisi catatan-catatan di- nasti. Hal ini tercermin dari karya Tu Yu (735-812) yang menulis T’ung Tien yang berbentuk ensiklopedi dan dipandang sebagai sejarah institusi Cina pertama. Se- lain itu, sejarawan istana tidak diberikan kepada individu saja, melainkan diubah menjadi sebuah komisi. Perubahan ini yang melahirkan jenis historiografi resmi dan tidak resmi serta mendorong timbulnya perdebatan sekitar bagaimana menulis

sudah dihasilkan karya yang berisi kritik terhadap sejarah. 37 Dalam perkembangan selanjutnya, empirisme sejarah dan kesarjanaan

yang kritis memberikan pengaruh yang begitu kuat terhadap historiografi Cina. Pengaruh ini sebagai akibat bangkitnya Konfusianisme yang berhasil memperba- harui diri dalam bentuk Neo-Konfusianisme. Ajaran ini mendorong ke arah sema- kin ditinggalkannya kejadian-kejadian gaib dan interpretasinya. Tzu-chih t’ung- chien (Ssu Ma-kuang; 1019-1086) merupakan historiografi terpenting pada masa ini yang menuliskan sejarah Cina dari tahun 430 SM – 959 M yang disusun dalam bentuk tahunan. Tradisi seperti ini terus berkembang sampai Dinasti Sung berkua- sa di Cina.

Ketika Dinasti Manchu (1644-1911) berkuasa, muncullah ketidakpuasan terhadap pandangan Neo-Konfusionisme dalam historiografi Cina. Ku Yen-Wu (1613-1682) merupakan pioner dalam gerakan menentang pandangan Neo-Konfu- sianisme. Dengan landasan empirisme-rasional, ia memperkenalkan prinsip dan metode riset induktif dalam penulisan sejarah. Pemikiran Ku Yen-Wu, dikem- bangkan lebih lanjut oleh Hsueh-ch’ing (1738-1801) yang mengajukan sintesis sejarah: sebagai sesuatu yang baru dalam tradisi Cina. Mereka berkeyakinan bahwa sejarah ditulis untuk menerangkan kebenaran moral dan untuk mengubah

37 Adalah Liu Chih-Chi (661-721) yang melakukan kritik terhadap historiografi yang dihasilkan pada masa Dinasti T’ang Awal. Dalam kitabnya yang berjudul Shih-T’ung ‘Ikhtisar Sejarah’, ia

membicarakan berbagai masalah dalam penulisan sejarah: kredibilitas sumber, gaya dan bentuk sejarah, mutu sejarawan, dampak dari tekanan politik dan prasangka, dan pilihan moral bagi se- jarawan.

dunia, yang dipadukan dengan gagasan-gagasan baru dan metode-metode yang kaku. Pikiran ini yang mendorong lahirnya skeptisisme dalam modernisasi histo- riografi Cina di kemudian hari.

Modernisasi historiografi Cina berawal dari runtuhnya sistem kekaisaran dan mendapat pengaruh dari pemikiran barat. Pada awalnya, pera pemikir Cina berusaha untuk menolak pemikiran barat, tetapi kemudian bersikap kompromistis dan akomodatif. Lembaga-lembaga ilmu pengetahuan kuno digantikan oleh universitas-universitas yang telah bercorak barat. Di univeritas-lah penelitian seja- rah dilakukan dengan menggunakan metode baru, yakni metode yang dibawa oleh para guru besar yang telah dididik secara barat atau Jepang.

Sejarah tradisional yang menekankan pada moral politis dibantah dari berbagai aspek. Karya-karya tersebut tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral, melainkan diteliti ulang dengan menggunakan berbagai metode baru. Bi- dang historiografi pun tidak hanya sebatas kehidupan istana, tetapi juga sudah mulai menyentuh bidang sosial dan budaya. Akan tetapi, sejak komunisme ber- kuasa di Cina, penelitian sejarah bergerak mundur sehingga seorang sejarawan dari Peking menggambarkan bahwa historiografi Cina bergerak ke tepi kematian.

Dari uraian ringkas tersebut, dapat dirumuskan bahwa konsepsi Cina tentang sejarah (shih) ditentukan oleh unsur-unsur yang terdapat dalam pandangan orang Cina tentang dunia. Pertama, etnosentrisme sebagai dampaok dari isolasi kebudayaan Cina. Kedua, holisme yang berpandangan bahwa manusia dan keja- dian alam saling berkaitan secara menyeluruh. Ketiga, sejarah merupakan tang- Dari uraian ringkas tersebut, dapat dirumuskan bahwa konsepsi Cina tentang sejarah (shih) ditentukan oleh unsur-unsur yang terdapat dalam pandangan orang Cina tentang dunia. Pertama, etnosentrisme sebagai dampaok dari isolasi kebudayaan Cina. Kedua, holisme yang berpandangan bahwa manusia dan keja- dian alam saling berkaitan secara menyeluruh. Ketiga, sejarah merupakan tang-

Dalam proses penulisan sejarah, metode yang dipergunakan oleh para sejarawan Cina dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, metode pencatatan kejadian-kejadian kontemporer. Para sejarawan istana bertugas mencatat setiap peristiwa di istana: audiensi, upacara, usul-usul kepada kaisar, keputusan kaisar, dan laporan dari berbagai daerah di luar ibu kota. Kedua, metode kompilasi ber- dasarkan urutan waktu dari catatamn-catatan di atas. Para sejarawan istana me- ngumpulkan, mengedit, dan mengambil intisari dari catatan-catatan di atas dan menyusunnya berdasarkan urutasn waktu. Akan tetapi, si sejarawan dituntun oleh tradisi untuk menjelaskan moral sejarah dengan cara penyembunyian yang wa- jar dan pemilihan terminologi yang tepat.

3. Historiografi Jepang 38

Ciri khusus historiografi Jepang adalah berkembang lebih menjurus un- tuk menghasilkan sejarah domestik daripada membentuk sistem tafsiran yang penting. Sejarah tidak hanya populer, tetapi juga penting bagi rakyat Jepang dalam pencarian identitas mereka. Pandangan sejarah tertua dan paling asli yang dianut oleh Jepang adalah suatu kepercayaan bahwa Jepang merupakan pusat dunia. Seiring dengan persentuhan dengan Cina, India, dan barat, pandangan tersebut

38 Disunting dari tulisan John Whitney Hall dalam Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomi- hardjo (eds.). 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia.

Hlm. 89-105.

mendapat tekanan yang mendorong bangsa Jepang untuk menyesuaikan penulisan historiografinya baik dalam konsep maupun metodologinya.

Tradisi menulis sejarah telah dilakukan oleh Jepang sejak abad ke-8 me- lalui Kojiki (720) yang berisi “Catatan Mengenai Masalah-Masalah Kuno” dan Nihon Shoki (720; Babad Jepang). Keduanya merupakan bentuk penjelasan dari penguasa tentang tata politik. Sumber yang dipakai dalam Kojiki tidaklah jelas dan konsepsi historiografinya sangat sulit untuk diberi penanggalan. Kojiki tidak mengandung cerita tentang proses penciptaan alam, para pahlawan, dan para dewa. Penciptaan yang diceritakan oleh Kojiki hanya sebatas tentang penciptaan sepasang manusia yang kelak menurunkan kaisar sebagai penguasa di Jepang.

Nihon Shoki memiliki kelebihan dibandingkan Kojiki karena para penu- lisnya memiliki kesadaran diri yang lebih dibandingkan dengan para penulis Ko- jiki . Mereka mencoba untuk memberikan penanggalan terhadap kejadian-kejadian yang tidak begitu jelas. Dari usaha itu, terciptalah suatu keyakinan bahwa Jimmu,

Kaisar Jepang I memerintah pada 660 SM. 39

Tradisi historiografi yang berpusat di sekitar istana masih terus berlanjut walaupun terjadi pergeseran kekuasaan dari tangan kaisar ke tangan para aris- tokrat. Pada masa ini, historiografi yang dihasilkan berpusat pada penulisan seja- rah-sejarah partikelir, seperti: Monogatori (Hikayat-hikayat), Kagamii (Cermin- cermin), dan yang terkenal adalah Okagami (Cermin Besar) yang merangkaikan suatu perpaduan mengenai bangkitnya kelurga Fujiwara.

39 Oleh para sejarawan modern, penanggalan tersebut diragukan karena walau bagaimanapun Nihon Shoki masih terpengaruh oleh cerita-cerita mitos. Para sejarawan modern Jepang,

memberikan penanggalan pada peristiwa itu sekitar abad ke-3 atau abad ke-4 masehi.

Pada abad ke-12, historiografi Jepang mendapat pengaruh konep karma dan keselamatan dari Budhisme. Penulisan sejarah umumnya dilakukan oleh para pendeta dengan memperhatikan belas kasihan terhadap penderitaan, kesedihan umat manusia, dan kekhawatiran akan keabadian masa kebobrokan. Gukansho (Bunga Rampai dari Pandangan-pandangan yang Kurang Mengerti) karya Pendeta Fujiwara Jien (1155-1225) merupakan contoh pertama dari penulisan sejarah de- ngan penuh maksud sehingga penulis tidak hanya mencatat, tetapi juga melakukan survai, menafsrkan, dan menjelaskan sementara sambil melatih menyendiri. De- mikian juga dengan Jinno Shotoki karya Kitabatake Chikafusa (1291-1354) me- miliki nilai penting karena berhasil menghidupkan kembali pokok pikiran eung- gulan Jepang sebagai suatu bangsa karena kebajikan yang tiada taranya dari garis kekaisaran yang tidak pernah terputus.

Ketika memasuki zaman Tokugawa (1600-1868), penulisan sejarah me- ngalami masa kebesaran. Pada masa ini, penulisan sejarah tidak didasarakan atas ilmu mistik dari Budha, tetapi lebih berdasarkan pada akal. Selain itu, ada juga upaya untuk mengkaji kembali nilai-nilai asli Jepang dengan melakukan studi mengenai Kojiki dengan mengembalikan lagi perhatiannya kepada keluarga kai- sar. Untuk maksud ini, keluarga Tokugawa menulis sebuah sejarah nasional Han- cho Tsugan (Cermin Besar Mengenai Jepang) yang diselesaikan oleh keluarga Hayoshi tahun 1670. Sementara itu, Dai Nihon Shi (Sejarah Jepang) yang disusun di bawah lindungan cabang Mito dari keluarga Tokugawa merupakan histoiografi yang jauh lebih berpengaruh dari Hancho Tsugan. Sedikit berbeda dengan Arai

Hokuseki yang menuli buku Dokushi Yoron (Komentar tentang Sejarah), tidak hanya memuat peristiwa, tetapi juga mengajukan argumen betapa perlunya studi filologi untuk menyelami zaman klasik Jepang. Ia juga membuat periodisasi Seja- rah Jepang yang didasarkan atas masa perubahan kekuasaan politik Khosi Tsu (Survai Sejarah Kuno).

Menjelang abad ke-18, penulisan sejarah di Jepang tidak hanya dilakukan sekitar istana, melainkan telah menyebar ke tingkat yang lebih kecil lagi. Para daimyo hampir seluruhnya menuliskan kisah keluarganya masing-masing atau se- tidak-tidaknya mengumpulkan berbagai dokumen yang memiliki kaitannya de- ngan mereka. Tradisi penulisan sejarah di Jepang semakin mantap seiring dengan mulai bersinggungan dengan kekuatan barat dan para cendekiawannya menda- patkan ilmu pengetahuan dari mereka. Meskpiun Jepang dengan cepat menerima metode dan filsafat sejarah yang disodorkan Barat, namun mereka memiliki pan- dangan sama untuk mempertahankan kenedikiawan dan kesejarahan mereka seba- gai sebuah bangsa.

Tradisi penulisan sejarah yang mantap diawali dengan didirikannya Kantor Pengumpulan Bahan-bahan Sejarah dan Penyusunan Sejarah Nasional ta- hun 1869. Pada zaman Meiji ini, terjadi perdebatan dalam bidang ideologi sejarah. Sebagian sejarawan menginginkan sejarah sebagai mediia untuk membangkitkan patriotisme dan menghidupkan terus kenangan kesatriaan di masa lampau. Mereka merujuk Rai Sanyo sebagai model penulisan sejarah. Sebagian lagi menginginkan adanya kemajuan dan kebebasan intelektual dalam menuliskan sejarah. Mereka Tradisi penulisan sejarah yang mantap diawali dengan didirikannya Kantor Pengumpulan Bahan-bahan Sejarah dan Penyusunan Sejarah Nasional ta- hun 1869. Pada zaman Meiji ini, terjadi perdebatan dalam bidang ideologi sejarah. Sebagian sejarawan menginginkan sejarah sebagai mediia untuk membangkitkan patriotisme dan menghidupkan terus kenangan kesatriaan di masa lampau. Mereka merujuk Rai Sanyo sebagai model penulisan sejarah. Sebagian lagi menginginkan adanya kemajuan dan kebebasan intelektual dalam menuliskan sejarah. Mereka

Dari situ, era historiografi modern Jepang dimulai yang ditandai oleh ha- sil nyata menurut empat garis besar: 1) kesempurnaan dari suatu metodologi seja- rah modern; 2) studi-studi monografi dan aspek yang khas dari peradaban Jepang;

3) persiapan survai sejarah secara umum; dan 4) penerbitan buku referensi dan bahan-bahan sejarah. Kokushi no kenkyu karya Kuroita Katsumi (1908) merupa- kan karya utama masa historiografi modern Jepang. Bidang historiografi diperluas sehingga lahirlah karya-karya sejarah kebudayaan, ekonomi, dan corak-corak khusus lainnya. Menjelang pertengahan tahun 1930, masa-masa ekspansi Jepang, sejarah diperdebatkan kembali untuk suatu kemungkinan dijadikan sebagai media bagi usaha membangun keyakinan bangsa Jepang atas keunggulan tiada tara di- rinya dibandingkan dengan bangsa lainnya. Ketika Perang Dunia II berakhir, his- toriografi Jepang pun mulai dengan menempatkan kembali pada jalur akademik, meskipun filsafat sejarah dan ideologi masih menjadi masalah bagi para sejarawan Jepang.

4. Historiografi Afrika 40 Unsur inti yang mendasari historiorafi tradisional Afrika adalah adanya

kepercayaan yang asasi terhadap adanya kelanjutan hidup yang terdapat di antara semua orang Afrika. Tradisi itu sendiri dikembangkan di setiap komunitas dan memusatkan perhatiannya pada cerita mengenai asal mula. Ketika suatu kondisi komunitas berubah, maka tradisi itu diformulasikan kembali untuk mengakomo- dasi kondisi yang berubah tersebut. Demikian juga dengan kondisi di mana suatu komunitas ditaklukkan oleh komunitas lainnya, maka tradisi pun diubah sedemi- kian rupa sehingga melahirkan tradisi yang baru. Tradisi inilah yang mendasari pandangan komunitas mengenai sejarah.

Sampai batas-batas tertentu, sejarah dan mitos menjadi satu serta menjadi salah satu bagian dari filsafat hidup suatu komunitas. Oleh karena itu, kronologi dan kausalitas menjadi tidak relevan. Penjelasan yang diberikan dalam tadisi me- nyangkut tentang asal mula: tanah, laut, manusia, makhluk hidup lainnya, negara, hukum, adat istiadat, dan kekuasaan para dewa, tidaklah diakukan secara historis, melainkan lebih ke arah filsafat, sastra, dan pendidikan. Para pendeta merupakan penjaga dari tradisi tersebut, dan mereka tidaklah tepat kalau dikatakan sejarawan dari sudut pandangan modern.

Bentuk umum dari tradisi adalah cerita, fabel, dan peribahasa yang di- sampaikan secara lisan oleh orang tua kepada mereka yang lebih muda. Proses penyampaian tradisi itu merupakan bagian dari pendidikan umum yang diterima

40 Disunting dari tulisan K. O. Dike dan J. F. A. Ajayi dalam Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo (eds.). 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif. Jakarta:

Gramedia.Hlm. 106-120.

oleh generasi muda dari suatu komunitas. Informalnya, tradisi itu disampaikan di suatu komunitas sehabis makan malam atau pesta menyambut bulan purnama; se- dangkan secara formal, tradisi itu disampaikan dalam acara ritual seperti: inisiasi ke dalam tingkatan umur, inisiasi kelompok rahasia, atau selama pendidikan ke- pendetaan. Demikian juga dengan pergantian raja, tradisi menjadi bagian tak ter- pisahkan dari ritual pentahbisan raja baru: genealogi, nama-nama keluarga, gelar- gelar kebesaran, dan nyanyian pujaan terhadap nenek moyang.

Meskipun antara mitos dan sejarah dalam tradisi sulit dipisahkan, tetapi pada kenyataannya terdapat dua bentuk dari tradisi yang berkembang di Afrika. Pertama, tradisi faktual yaitu tradisi yang dibuat berdasarkan kenyataan. Tradisi ini pun dibedakan menjadi dua: kenyataan yang baru saja terjadi, yang masih diingat, atau berdasarkan pengalaman kakek/nenek dan ayah/ibu mereka; dan kenyataan yang jauh ke belakang di masa lampau. Keaslian dari bentuk tradisi ini sebagian besar bergantung kepada pranata-pranata khusus yang telah mampan terbentuk. Hasilnya berupa daftar formal para raja, pejabat pemerintahan, kronik dari setiap masa pemerintahan, pemberian gelar, puisi pujian, genealogi, dan hukum atau adat istiadat.

Kedua, tradisi yang dibuat secara sastra dan filsafat yang meliputi peri- bahasa, ungkapan, nyanyian, dan lirik yang dapat bersifat umum atau terkait de- ngan kelompok-kelompok sosial tertentu. Demikian juga dengan doa-doa suci dan proses pengkultusan yang terkait dengan kekuasaan dewa, merupakan bentuk tra- disi yang dibuat dengan pandangan filsafat.

Meskipun secara umum awal perkembangan historiografi di Afrika di- pengaruhi oleh tradisi demikian, namun tidak berarti tradisi sejarah tidak dikenal di wilayah ini. Di Ethiopia, tradisi sejarah menunjukkan dua gejala: sebagian ber- sifat Afrika (tradisi) dan sebagian lagi dipengaruhi oleh Yudea-Kristen. Sifat Afrika diperlihatkan dari sebuah karya berjudul Buku Raja-Raja yang mengurai- kan keungguan Dinasti Solomon, kesatuan antara gereja dan negara, dan integritas dari gereja. Akan tetapi, semuanya itu dihubungkan dengan Tanah Suci sehingga tercerminlah suatu kehidupan intelektual yang bersifat teologi daripada sejarah. Tradisi tertulis dalam bentuk annals dan kronik telah dihasilkan lewat kreativitas para pendeta di biara-biara.

Tradisi orang Berber sedikit berbeda dengan tradisi pada umumnya dan tradisi ini dipandang memiliki hubungan dekat dengan historiografi. Mereka sadar bahwa ada hubungan abadi dengan masa lampau. Ketika Kristen yang dibawa oleh bangsa Romawi dan Islam dari tanah Arab masuk ke Ethiopia, bangsa Berber memperlihatkan reaksi yang bersifat mistik dan mengkombinasikannya dengan penghormatan kepada nenek moyang. Reaksi tersebut menghasilkan karya dalam bentuk hagiografi atau biografi orang-orang suci. Satu sisi, hagiografi ini meru- pakan karya kesusastraan yang berisi penghormatan terhadap norma dan kebaikan para nenek moyang. Jadi, karya ini tidaklah berbeda dengan tradisi yang berkem- bang di bagian wilayah Afrika lainnya. Demikian juga unsur genealogi yang be- gitu amat penting bagi orang Arab, diterima oleh bangsa Berber, namun tetap da- lam kerangka penghormatan terhadap nenek moyang.

Pengaruh Islam tidak hanya penting di Afrika Utara, tetapi juga di Afrika Timur, Sudan, dan sebagian pedalaman Afrika. Dalam kurun waktu antara abad ke-11 sampai dengan abad ke-17, mereka telah menghasilkan karya dalam bentuk tarikh dan kronik. Keduanya dibuat berdasarkan catatan pengamatan, tradisi lisan, dan catatan-catatan yang dibuat pada periode sebelumnya. Para penulis Islam be- gitu tertarik untuk menuliskan tentang penyebaran dan pengaruh Islam, kehidupan keagamaan, dan kehidupan ekonomi di pusat-pusat agama Islam. Para penulis yang berada di pusat-pusat Islam di Afrika Barat, Tengah, dan Timur pun melesta- rikan tradisi lisan Afrika dengan menuliskannya baik menggunakan bahasa Arab atau bahasa lokal dengan huruf Arab.

Karya terpenting dari historiografi Afrika adalah Prolegomena karya Ibn Khaldun pada abad ke-14. Dalam karyanya itu, ia menegaskan betapa pentingnya penggunaan sosiologi bagi penulisan sejarah. Ia tidak hanya menganalisis masa lampau dari sisi individual saja, tetapi juga dari sisi sosialnya, seperti: hukum, adat istiadat, dan pranata sosial dari berbagai bangsa. Meskipun demikian, penga- ruh Ibn Khaldun terhadap historiografi Afrika begitu kecil sehingga sampai abad ke-18, studi teologi, hukum, dan retorika menjadi lebih penting dibandingkan se- jarah.

Pengaruh Eropa di Afrika yang mulai diterima sejak abad ke-19, membe- rikan suatu kondisi bahwa para sejarawan barat tidak berdiri di atas tradisi sejarah yang kuat. Tradisi sejarah yang dibawa oleh orang Eropa didasarkan pada bahan- bahan dokumenter dan pada kenyataannya di Afrika bahan-bahan itu tidak bisa Pengaruh Eropa di Afrika yang mulai diterima sejak abad ke-19, membe- rikan suatu kondisi bahwa para sejarawan barat tidak berdiri di atas tradisi sejarah yang kuat. Tradisi sejarah yang dibawa oleh orang Eropa didasarkan pada bahan- bahan dokumenter dan pada kenyataannya di Afrika bahan-bahan itu tidak bisa

pembenaran bagi imperialisme Eropa di Afrika. 41 Para intelektual tidak memiliki cukup bukti tertulis untuk menentang teori rasis tersebut, tetapi juga para sejara-

wan menggunakan bahan tertulis tanpa kritik sehingga melahirkan mitos-mitos baru dalam sejarah Afrika. Pada tahun 1940-an, para peneliti barat yang tidak se- pendapat dengan teori tersebut menegaskan bahwa sejarah Afrika haruslah sejarah mengenai orang Afrika dan bukan sejarah orang Eropa di Afrika. Caranya, mereka harus menerima tradisi lisan Afrika sebagai salah satu bahan penelitian sejarah Afrika seperti yang dilakukan oleh Dike (1956) dengan karyanya berjudul Trade and Politics in the Niger Delta dan Biobaku (1957) dengan karyanya berjudul The Egba and Their Neighbours .

Historiografi Afrika dalam bentuk paling berhasil dilahirkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner. Pendekatan ini didorong oleh tiga fak- tor, yaitu: dibentuknya pusat-pusat studi Afrika; adanya proyek-proyek penelitian sejarah khusus; dan pembentukan organisasi profesi dan penyelenggaraan berbe- gai kegiatan ilmiah.

41 Para sejarawan Eropa memberikan penjelasan tentang perbudakan di Atlantik dengan menyodorkan teori bahwa orang-orang Afrika merupakan keturanan dari Ham yang dikutuk

oleh Nabi Nuh untuk menjadi pemotong kayu dan penimba air bagi masyarakat yang memiliki kulit putih.

5. Historiografi Islam 42

Historiografi Islam adalah karya sejarah yang ditulis oleh penganut agama Islam dari berbagai aliran. Bahasa Arab, Persia, dan Turki merupakan ba- hasa yang paling banyak dipergunakan dalam historiografi Islam. Bentuk, teknik, dan nilai yang menjiwai historiografi Islam yang dihasilkan pada abad pertenga- han sampai abd- ke-19, berbeda dengan historigrafi Islam yang dihasilkan setelah abad ke-19.

Bangsa Arab pra-Islam telah mengenal tradisi lisan yang isinya berupa silsilah dan peristiwa-peristiwa penting. Tradisi historiografi baru mulai berkem- bang pada abad ke-17 seiring dengan penaklukan beberapa wilayah Byzantium dan Persia oleh Islam. Dampak penaklukan itu adalah terjadinya kontak antara kaum muslim dan cendekiawan non-muslim. Kontak itu telah mendorong ke arah penelitian sejarah dalam upaya menulis historiografi Islam.

Perkembangan historiografi Islam tidak dapat dilepaskan dari konsep Is- lam sebagai agama yang mengandung sejarah. Oleh karena itu, pada diri seorang muslim telah terbentuk kesadaran sejarah yang kemudian mendorong mereka un- tuk melakukan penelitian kesejarahan. Walaupun terdapat motivasi untuk menulis historiografi di kalangan muslim, namun tidak ada mekanisme yang menciptakan historiografi tersebut. Yang pasti bahwa karya tersebut disampaikan secara lisan (oral transmition) yang dilengkapi dengan catatan pelapor. Baru sejak tahun 750, seiring penemuan kertas pada masa awal Dinasti Abassiah, penulisan sejarah mu-

42 Disunting dari tulisan Frans Rosenthal dalam Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomi- hardjo (eds.). 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia.

Hlm. 21-55.

lai dilakukan dan dipastikan tidak beradar secara luas. Dalam perkembangannya, dapatlah disebut beberapa karya sarjana muslim, meskipun semuanya tidak dapat dipandang sebagai karya sejarah murni, di antaranya Urwah bin az-Zubyar, (± 650-711) menulis Peperangan Nabi, al-Zuhri (± 670-740) menulis tentang silsilah bangsanya, dan Musa bin Uqbah (758/759) menulis fragmen singkat tentang masa kekhalifaan Islam. Karya utama pada masa awal perkembangan historiografi Is- lam adalah Sirah Nabawiyah karya Ibn Ishaq (± 704-767) yang berisi tentang se- jarah pra-Islam, kehidupan Nabi secara terperinci, dan masa kekuasaan khalifah.

Tradisi Arab sebelum Islam telah menekankan unsur fakta konkret dalam sejarah yang terus dipelihara tanpa diubah oleh proses berpikir manusia. Oleh ka- rena itu, pernyataan sederhana, peristiwa-peristiwa lepas, dan penonjolan watak disusun sekaligus tanpa penjelasan mengenai kausalitasnya, merupakan bentuk dasar dari historiografi Islam. Kebenaran sejarah telah dijamin oleh kejujuran dari orang yang menyampaikan suatu informasi secara berantai yang kemudian dikenal dengan istilah isnad.

Kronik merupakan karya sejarah paling pertama yang dihasilkan oleh sarjana muslim ketika tahun hijriah mulai diperkenalkan pada tahun 638 Masehi. Mereka menyambungkan data baru terhadap karya sejarah sebelumnya lengkap dengan pencantuman tanggal dari peristiwa tersebut. Kronik tertua yang dihasil- kan pada masa awal perkembangan historiografi Islam adalah karya dari Khalifah bin Khayyat yang ditulis pada abad ke-9 dan karya Ya’kub bin Sufyan pada per- Kronik merupakan karya sejarah paling pertama yang dihasilkan oleh sarjana muslim ketika tahun hijriah mulai diperkenalkan pada tahun 638 Masehi. Mereka menyambungkan data baru terhadap karya sejarah sebelumnya lengkap dengan pencantuman tanggal dari peristiwa tersebut. Kronik tertua yang dihasil- kan pada masa awal perkembangan historiografi Islam adalah karya dari Khalifah bin Khayyat yang ditulis pada abad ke-9 dan karya Ya’kub bin Sufyan pada per-

Arah penulisan dimaksud adalah mulai diperkenalkannya biografi seba- gai bidang penulisan dari historiografi Islam. Nabi Muhammad merupakan fokus utama dari karya biografi dalam historiografi Islam. Setelah itu adalah para tokoh yang memiliki peranan dalam penegakan agama dan hukum Islam serta kaitannya dengan daerah, guru, pengikut, sifat, akhlak, karya, dan kegiatan mereka. Bentuk biografi yang dikenal oleh masyarakat Islam berupa daftar riwayat tokoh-tokoh terkemuka yang disusun dalam kelompok-kelompok (kelas) yang lazim disebut tabaqah . Sejak abad ke-10, metode penyusunan biografi mulai memperkenalkan sistem alfabetis, meskipun tidak berarti tabaqah ditinggalkan. Tradisi ini telah melahirkan beberapa penulis biografi terkenal di antaranya Yaqut (1229) dengan karyanya Irshad al-arib ila ma’rifat al-adib, Abi Usaybiah (1270) yang berjudul Ujun al-anba’ fi tabaqat al-atibba’ yang merupakan kumpulan para tokoh di bi- dang kedokteran, dan kumpulan beberapa orang tokoh terkemuka karya Ibn Khal- likan (1282) berjudul wafayat al-a’yan.

Selain biografi, sejarah politik pun mendapat perhatian dari para sejara- wan muslim meskipun baru sebatas pada aspek administrasi dan tindakan militer para penguasa. Mereka pun menulis sejarah umum dengan titik tolak ketika dunia mulai berkembang atau sejak kelahiran Islam sampai masa kehidupan para penu- lis.

Kebudayaan kemudian menjadi bidang kajian dalam historiografi setelah para cendekiawan Muslim bersentuhan dengan kebudayaan Hellenisme. Mereka mulai menuliskan berbagai gejala penting dari peradaban-peradaban yang pernah dikenal, seperti yang telah dilakukan oleh Ya’kubi dan al Mas’udi. Karya yang memiliki pengaruh terhadap generasi berikutnya adalah Muruj az-Zahab. Meski- pun demikian, perhatian sejarawan Islam masih ditujukan terhadap peristiwa yang terjadi di dunia Islam. Sedikit sekali perhatian mereka terhadap dunia non-Islam. Di antara mereka yang memiliki perhatian terhadap dunia luar Islam adalah al- Mas’udi yang memasukkan daftar raja-raja Eropa. Demikian juga dengan Rashid ad-Din Fadlallah (1318) mengenai Jami’at tawarikh yang menguraikan sejarah Islam secara universal. Sejarah lokal pun dikembangkan dengan penekanan pada sejarah politik dan agama; dan dalam jumlah kecil berbicara mengenai sejarah so- sial.

Sebagian besar dari karya historiografi Islam dihasilkan oleh sarjana yang terdidik di bidang agama. Akan tetapi, kegiatan penulisan mereka mencakup juga penulisan sejarah, seperti yang dilakukan oleh Bukhari. Ia dikenal sebagai pengumpul hadis kuat (sahih), tetapi juga berhasil menulis biografi singkat tokoh- tokoh agama dan menamakan karyanya itu dengan Sejarah. Setidak-tidaknya, para sejarawan yang memberi corak pada historiografi Islam dapat dikelompok menjadi tiga. Pertama, sejarawan istana yaitu para penulis sejarah yang memiliki hubungan dekat dengan kalangan istana. Mereka begitu berjasa dalam menghasil- kan karya terbaik sejarah Islam, di antaranya Mishkawayh (1030) dan Hilal as-

Sabi (1036) yang memiliki pengetahuan mendalam tentang politik, filsafat, dan ilmu-ilmu sekuler lainnya. Demikian juga dengan Imad ad-Din al-Ishfahani (1201) yang menulis Barq ash’sha’bi yang dipandang karya besar dalam historio- grafi diplomatis dalam Islam. Kedua, sejarawan amatir yaitu mereka yang terma- suk ke dalam kelompok pertama, karena mereka menulis sejarah bukan digerak- kan oleh rasa cinta dan kesadaran untuk memelihara catatan-catatan historis. Ke- tiga, sejarawan profesional adalah mereka yang mengabdikan dirinya dalam me- nyusun karya-karya sejarah dan mereka menganggap atau ingin dianggap oleh tradisi Islam sebagai sejarawan, seperti al-Mas’udi dan al-Maqrizi.

Bagi sejarawan, penulisan sejarah memiliki tujuan untuk mengajarkan contoh-contoh, baik yang positif maupun yang negatif. Sejarah mengajarkan ke- pada setiap orang bagaimana menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi di dunia. Sejarah mengajarkan kepada para pemimpin politik bagaimana mengenda- likan pemerintahan dengan baik. Sejarah pun merupakan petunjuk (tuntunan) dan pengawal agama yang membuktikan kebenaran Islam dan pandangan sehat me- ngenai dunia yang diungkapkannya.

Untuk tujuan itu, tugas pokok sejarawan adalah menyusun apa yang be- nar-benar terjadi dan masalah pokok yang mereka hadapii adalah menyelidiki ke- benaran informasi yang diperoleh, baik lisan maupun tertulis. Kebenaran diartikan sebagai jalan untuk mengecek dugaan bahwa informasi diperoleh dari seorang ahli. Untuk memperoleh kepastian atau kebenaran informasi, mereka mengguna- kan metode dalam pengecekan hadis. Dengan kata lain, proses pengujian terhadap Untuk tujuan itu, tugas pokok sejarawan adalah menyusun apa yang be- nar-benar terjadi dan masalah pokok yang mereka hadapii adalah menyelidiki ke- benaran informasi yang diperoleh, baik lisan maupun tertulis. Kebenaran diartikan sebagai jalan untuk mengecek dugaan bahwa informasi diperoleh dari seorang ahli. Untuk memperoleh kepastian atau kebenaran informasi, mereka mengguna- kan metode dalam pengecekan hadis. Dengan kata lain, proses pengujian terhadap

Pada kenyataannya, para sejarawan berpandangan bahwa sejarah meru- pakan media pilihan Tuhan untuk memperbaiki manusia dan sebagai persiapan menghadapi hari perhitungan kelak. Dengan demikian, historiografi Islam mengu- sung keabsahan teologi Islam. Akan tetapi, sebagian lagi berpandangan bahwa sejarah itu merupakan gejala sosial manusia belaka. Pandangan ini memang begitu dicurigai karena bertentangan dengan pandangan umum yang dianut dunia Islam. Salah seorang tokohnya bernama Ibn Khaldun yang pada tahun 1377 menyusun suatu sistem yang masuk akal untuk proses sejarah ditinjau dari sudut manusia belaka yang diungkapkan dalam Muqaddimah dari karyanya yang berjudul Kitab al-Ibar .