Konteks Kehadiran: Relevansi Sosio antropologis dan Politik

1. Konteks Kehadiran: Relevansi Sosio antropologis dan Politik

Untuk pertama kalinya, setelah hampir 70 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia, kebijakan negara tentang desa --atau yang disebut dengan nama lain – tidak lagi terperangkap upaya penyeragaman. Seturut azas rekognisi yang dikandung oleh Pasal

18 (sebelum amandemen) dan kemudian Pasal 18 B ayat (2) (pasca amandemen) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Desa – selanjutnya disebut UU Desa – mengakui keberadaan dua jenis desa, yaitu desa dan desa adat, atau disebut dengan nama lain. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 6, kedua-duanya merupakan “… kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Sebagaimana diatur lebih lanjut pada Bab XIII, Bab khusus tentang desa adat, khususnya pada Pasal 97 ayat (1), disebutkan bahwa masyarakat hukum adat yang dapat ditetapkan sebagai desa adat itu adalah masyarakat hukum adat yang memenuhi syarat sebagai berikut:i

(a) kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih

hidup;ii (b) kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai

dengan perkembangan masyarakat;iii dan (c) kesatuan masyarakat hukum adat beserta tradisional sesuai dengan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia.iv

15 Praktisi antropologi. Pemerhati desa dan masyarakat (hukum) adat. Pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM; dan Fellow pada Lingkar Pembaruan Desa dan

Agraria(KARSA), Yogyakarta. Saat proses legislasi UU Desa menjadi Tenaga Ahli Pansus RUU Desa DPR RI. Tulisan Ini dimungkinkan oleh keterlibatan Penulis sebagai short time consultant(STC) pada KOMPAK, program kerjasama Pemerintah RI dan Pemerintah Australia, Juli2015. Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab personal penulis.

Agar masyarakat hukum adat itu dapat ditetapkan sebagai desa adat melalui peraturan daerah tentang penetapan desa adat di tingkat kabupaten/kota (Pasal 101 ayat 2), keberadaan desa adat pertama-tama harus diatur dalam sebuah peraturan daerah tentang pengaturan penerapan desa adat di Propinsi (Pasal 109).v

Pada dasarnya, sebagai fakta sosial tentunya ‘desa adat’ bukanlah sesuatu yang sama sekali baru ataupun yang diada-adakan. Sekedar menyebut dua contoh saja, desa adat umum terdapat di Propinsi Bali dan disebut desa pekramanvi dan apa yang disebut nagari Sumatera Barat.vii

Melalui UU Desa, berbeda dengan apa yang telah terjadi pada masa sebelum ini, desa adat tidak lagi dilihat sekedar sebagai fakta sosial dan budaya belaka, melainkan

‘ditinggikan derajatnya’ sebagai ‘fakta politik dan hukum’. Hal ini secara ekplisit dicerminkan oleh diberikannya hak pada desa adat itu untuk ‘mengatur dan mengurus pemerintahan dan pembangunan’ sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 6 itu.

Secara umum tidak ada perbedaan hak dan kewajiban antara desa dan desa adat. Perbedaan dua nomenklatur ini terletak pada kewenangan, struktur kelembagaan, dan dasar pembentuk dari desa dan desa adat.

Sebagaimana diatur pada Pasal 19, baik desa maupun desa adat pada dasarnya memiliki kewenangan yang sama. Meski begitu, sebagaimana diatur pada Pasal 103, sesuai dengan asas rekognisi (pengakuan) sebagaimana yang diatur pada Pasal 3, desa adat dapat dikatakan memiliki kewenangan yang lebih luas dari pada desa. Perbedaan itu terletak pada keluasan makna hak asal usul pada desa adat yang mencakup hal-hal: (a) pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasaran susunan asli; (b) pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; (c) pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat; (d) penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; (e) penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (f) pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan (g) pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.

Nomenklatur desa adat pada dasarnya adalah salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi. Sejak awal kontitusi Republik Indonesia memang telah mengakui hakhak ‘susunan asli’ yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat jelas pada Penjelasan untuk Pasal 18 UUD 1945. Pada Butir II disebutkan bahwa “Dalam territoir Negara Indonesia Nomenklatur desa adat pada dasarnya adalah salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi. Sejak awal kontitusi Republik Indonesia memang telah mengakui hakhak ‘susunan asli’ yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat jelas pada Penjelasan untuk Pasal 18 UUD 1945. Pada Butir II disebutkan bahwa “Dalam territoir Negara Indonesia

Meski begitu, alih-alih menterjemahkannya ke dalam kebijakan yang lebih operasional, yang terjadi pada masa setelahnya adalah justru pelanggaran ataupun pengingkaran terhadap sejumlah hak asal-usul yang berupa hak-hak sosial-ekonomi, hakhak sosial-politik, dan hak-hak sosial- budaya yang melekat ‘susunan asli’ tersebut, dan telah menimbulkan dampak sosial dan ekologi yang tidak kecil.viii

Oleh sebab itu, dalam konteks pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana yang amanatkan oleh konstitusi itu, nomenklatur desa adat ini adalah salah satu upaya melibatkan kelompok masyarakat hukum adat ini ke dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang selama ini telah menyingkirkannya.