Langkah-langkah Strategis ke Depan

4. Langkah-langkah Strategis ke Depan

Seperti telah dijelaskan nomenklatur desa adat adalah salah satu cara menterjemahkan amanat konstitusi. Hal ini dimungkinkan karena, pasca-amandemen Pasal 18 pada tahun 2000, pengaturan tentang pengakuan hak- hak ‘susun asli’ itu semakin terang adanya. Hal ini ditandai oleh lahirnya pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya Seperti telah dijelaskan nomenklatur desa adat adalah salah satu cara menterjemahkan amanat konstitusi. Hal ini dimungkinkan karena, pasca-amandemen Pasal 18 pada tahun 2000, pengaturan tentang pengakuan hak- hak ‘susun asli’ itu semakin terang adanya. Hal ini ditandai oleh lahirnya pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

Meski begitu, setidaknya hingga tahun 2013 lalu, bagaimana persisnya amanat konstitusi itu diwujudkan belumlah terlalu jelas juga. Salah satu alasan yang mengemuka dalam wacana publik soal ini adalah, lagi-lagi, rumusan pasal dimaksud dinilai masih terlalu abstrak dan juga masih mengandung kondisionalitas tertentu. Keadaan menjadi berbeda sama sekali ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007. Pada intinya Putusan ini mengatur 3 kriteria pokok pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu, lengkap dengan penjelasan tentang kondisionalitas yang perlu dipenuhi, sebagaimana telah diadopsi ke dalam Pasal 97 yang telah diuraikan di atas.

Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi telah merumuskan kriteria dan penjelasan kondisionalitas yang harus dipenuhi ini dalam, sekurang-kurangnya, 4 Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dikeluarkan pada masa-masa sebelumnya. Keistimewaan Putusan MK 35/2012 ini, jika dapat dikatakan begitu, adalah bahwa Mahkamah Konstitusi tidak lagi sekedar merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang diperlukannya saja, melainkan telah menggunakannya dalam menilai legal standing dua komunitas masyarakat adat yang mengajukan judicial review atas beberapa pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.xlvii

Dalam Putusan MK 35/2012 itu Mahkamah Konstitusi menganggap masyarakat hukum adat itu adalah masyarakat yang dinamis dan tidak statis. Sementara itu, ahli hukum tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshaddiqi, SH, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, mengatakan bahwa kebijakan untuk mengakui hak-hak masyarakat adat itu, karena telah dirusak sendiri oleh berbagai kebijakan negara, haruslah bersifat – istilah saya - affirmative action. xlviii

Berdasarkan kedua pandangan itu UU Desa menerapkan pendekatan baru dalam pemenuhan ‘pengakuan bersyarat’ yang masih dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. Berbeda dari yang pernah ada sebelumnya, undang-undang ini memperkenalkan nomenklatur baru, yakni apa yang disebut sebagai ‘desa adat’, yang menggunakan pendekatan pemenuhan syarat secara fakultatif, tidak secara akumulatif sebagaimana yang dianut berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengakuan hak- hak masyarakat hukum adat ini.xlix

Demikianlah, mewujudkan nomenklatur desa adat di berbagai wilayah yang relavan sejatinya adalah upaya untuk merawat kemungkinan terus berlangsungnya negara-bangsa Indonesia ini. Saat ini adalah momentum untuk menjawab protes masyarakat adat di negeri ini, yang pernah mengatakan: “kami tidak akan mengakui negara, jika negara tidak mengakui kami”, sebagaimana yang disampikan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999 lalu.l

Oleh sebab itu, Pemerintah harus memiliki strategi tertentu untuk menyiasatinya, agar peluang yang sejatinya diupayakan dalam memenuhi mandat konstitusi itu dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak/masyarakat adat, dan tidak hanya bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok etnik tertentu saja.

Tentu saya bukan bermaksud mengatakan bahwa peluang untuk menjadi desa adat ini relevan bagi seluruh komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia. Saya menyadari banyak komunitas yang tidak lagi memerlukan dan/atau mampu mendirikan desa adatnya. Toh masih ada jalur lain yang dapat ditempuh oleh komunitas-komunitas masyarakat adat itu untuk mendapatkan pengakuan negara atas hak-haknya, seperti melalui jalur pengakuan atas hak-hak adat atas tanah ataupun melalui penetapan keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri.li

Namun, yang hendak dikatakan adalah jangan sampai ada komunitas adat yang tersisih dari peluang yang terbuka akibat dari tidak terciptanya kondisi-kondisi pemungkin yang dibutuhkan, yakni berupa kelengkapan peraturan yang lebih operasional; adanya kemauan politik yang jelas dan kapasitas yang cukup untuk memformasikan kebijakan di tingkat Daerah; dan tersedianya kapasitas komunitas itu sendiri dalam menyongsong pengakuan hak-hak konstitusionalnya itu.lii

Untuk memungkinkan itu semua, hal-hal yang mendesak yang harus segera dikerjakan oleh Pemerintah Pusat adalah sebagai berikut:liii

1. Menyusun Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat;