P engorbanan, Itu yang menjadi catatan pertama, ketika mencoba

P engorbanan, Itu yang menjadi catatan pertama, ketika mencoba

melakukan kilas balik dan belajar dari kehidupan Mami menjaga perkawinan selam a nyaris empat puluh tahun.

Terlahir dengan nama Liauw Min Hoa, ibunda saya adalah putri dari Leo Arifin, pengusaha berdarah Jawa dan Cina yang sukses mem bangun bisnis transportasinya kala itu.

Menikah dengan Papa baran gkali menjadi ke-putusan paling besar dalam hidup Mami. Sebab menikah dengan lelaki berdarah Aceh itu berarti Mami haru s meninggalkan tradisi Katholiknya dan menjadi seorang muslim. Keputusan yang m enim bulkan konflik baru: menikah tanpa restu.

Saya mem bayangkan kisah cinta romantis ketika mengetahui hal ini. Keberanian Papa,ketabahan dan kekuatan hati Mami. Pastilah ibunda saya memiliki banyak pertimbangan,

kenapa

tidak

menem puh cara seperti yang belakangan popular di tanah air, pernikahan beda agam a. Padahal sebagai gadis belia paras Mami tergolong cantik dan menarik, keturunan keluarga terpandan g di Medan pula. Artinya tidak akan sulit bagi Mami untuk m endapatkan pendamping lain.

D engan kata lain Mami bukan tidak memiliki bargai- ning position ke Papa. Meski mu ngkin tidak akan mudah, sebab Papa berasal dari keluarga mu slim yang dihormati baran gkali di seluruh Sum atra. Untuk satu titik temu itulah Mami berkorban.

D an mengikuti kehidupan gadis Liauw Min Hoa yang kemudian berubah nama menjadi Siti Maryam itu, berarti mengikuti tahap demi tahap kehidup an yang penuh perjuangan dan pengorbanan.Sebab Pa pa dengan profesi pemain musik kala itu tidak bisa mem berikan kehidup an mewah yang dulu m enjadi ke seharian Mami.

Hijrah ke Jakarta, pasangan itu bertekad hidup mandiri.

Saya masih ingat meski samar, betapa kami berempat (waktu itu adik saya belum lahir); Papa, Mami, saya dan kakak sempat tinggal di wilayah kumu h di samping rel kereta api G unung Sahari. Sebelum berpindah-pindah dari rumah petak satu (yang hanya memiliki satu kamar, dan kamar mandi di luar menyatu dengan rumah induk) ke rumah petak yang lain.

Sebagai pencipta lagu dan pemain m usik, Papa bukanlah sosok yang malas. Beliau berusaha sekuatn ya untuk menafkahi istri dan anak-an ak. Berm ain mu sik hingga menjelang pagi di tempat-tem pat hiburan, sementara menjual lagu ke produser rekam an begitu sulitnya, hingga bisa dibilang keluarga kami nyaris tidak memiliki pemasukan tetap setiap bulannya.

Saya kembali mem bayangkan perubahan drastis gadis bernam a Liauw Min Hoa dalam mengikuti kata hatinya.

Tetapi pernahkah saya melihat sedikit saja Mami mengeluh kepada kami, anak-an aknya? Tidak!

Pernah kah sedikit saja terbersit perasaan menyesal telah menikah dengan Papa? Tidak!

Pernah kah Mami termenung-menung lama bernostalgia dengan masa lalunya sebagai gadis cantik dari keluarga am at berada? Tidak.

D i mata kami, Mami selalu terlihat bersemangat dan tidak pernah putus asa.

Kami tiga kakak beradik tum buh rem aja dan mencatat perjuangan Mami yang luar biasa. Sebagai ibu dari tiga orang anak, Mami mendidik kami dengan tegas tapi juga hangat. Keluarga kami mem ang m inim secara m ateri, tetapi Mami mem astikan anak-anak berpakaian pantas, memiliki peralatan sekolah juga seluruh buku pelajaran. Tidak jarang Kami tiga kakak beradik tum buh rem aja dan mencatat perjuangan Mami yang luar biasa. Sebagai ibu dari tiga orang anak, Mami mendidik kami dengan tegas tapi juga hangat. Keluarga kami mem ang m inim secara m ateri, tetapi Mami mem astikan anak-anak berpakaian pantas, memiliki peralatan sekolah juga seluruh buku pelajaran. Tidak jarang

Saya tidak mengatakan Mami berhasil mendidik anak- anaknya hingga jadi 'orang'. Sebab secara materi dan prestasi anak-anak Mami rasanya biasa saja. Malah masih banyak yang belum bisa kami berikan kepada oran g tua, terutam a Mami sebagai rasa hormat dan cinta kami pada perjuangan beliau.

Tetapi tidak satu dua teman lama Mami yang masih mengh ubunginya hingga saat ini (Mami mem ang sangat

menjaga silaturahirn, ini satu lagi nilai penting yang saya catat namu n belum

bisa contoh dengan baik), mengo mentari Mami sebagai ibu yang beruntung karena berhasil mendidik anak-anaknya hingga semua mapan.

Ah, inikah jawaban bagi pertanyaan saya, ketika mendengar kisah hidup mereka yang berhasil padahal terlahir dari keluarga rniskin?Benarkah itu berpulang pada bagaimana sosok ibu dalam keluarga mem besarkan, mem beri energi positif dan menem patkan pendidikan sebagai prioritas bagi anak-anak nya, apapun kendalanya? Meski harus berhutang ke kanan kiri, meski harus bolak balik ke sekolah mem inta keringan an, meski harus berjuang hingga kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki?

Pendidikan anak itu nomor satu! Situasi berbeda yang saya temui ketika menem ani

wartawan dari harian Boston, mencoba m enelusuri sindikat penjualan bayi. Kami mewawancarai seorang ibu yang pada awalnya dicurigai polisi telah menjual 3 anak kandu ngnya.

Belakangan terkuak bahwa perempuan itu telah dibodohi hingga mau 'm enitipkan' bayinya ke seorang ibu yang kemudian menjualnya ke pasangan asing secara ilegal.

Sebagai imbalan (yang sebetulnya nyaris tak ada) maka biaya melahirkan ditanggu ng dan ada ha diah berupa beras lim a kilogram, minyak tanah, gula dan susu beberapa kaleng yang diserahkan kepada keluarga yang m elahirkan.

Selama wawancara, saya perhatikan perempuan yang tam pak pucat karena baru saja melahirkan anak ke tujuhnya. Sang suami yang tidak memiliki pekerjaan , duduk di lantai dekat istrinya. Sementara ketiga anak mereka yang lain tampak bermain di luar.

D ari manakah sumber pendapatan keluarga? Jawabannya tertumpu pada sosok anak lelaki mereka

yang baru berusia 12 tahu n,yang telah berhenti sekolah sejak lama. Setiap hari anak lelaki ini pergi ke pasar menjual plastik atau memban tu ibu-ibu, mem bawakan barang belanjaan mereka yang berat.

"Sebulan bisa dapat tiga ratus ribu, mbak." Hati saya miris membayangkan kehidup an bocah berusia

12 tahu n yang putus sekolah, juga adik-adiknya, yang bisa jadi tum buh besar kemudian menapaki siklus kemiskinan yang sama, yang telah dilakoni orang tuanya tanpa punya keteram pilan untuk mengubah nasib.

Yang paling menyedihkan adalah saya tidak m enemukan buku kecuali buku tulis di rumah mereka. Saya tahu pasti karena pada kedatangan kedua dan ketiga, saya mengikuti Jonathan, fotografer dari tabloid asing tersebut masuk hingga ke sudut-sudut rumah.

Saya ingat Mami dan kehidupan kami yang sama miskinnya dulu. D i luar hal-hal lain yang mem bedakan, Saya ingat Mami dan kehidupan kami yang sama miskinnya dulu. D i luar hal-hal lain yang mem bedakan,

Ahh, kembali pada ibunda yang saya cintai. Seolah ujian tidak cukup menghampiri beliau, di usia ke tujuh saya

divonis dokter menderita gegar otak, jantung dan paru-paru hingga mem butuhkan pengobatan yang intensif bertahun- tahu n dengan biaya yang tidak sedikit.

Ru ntuhkah pertahanan Mami? Tidak! Mem ang Mami sering menan gis di hadapan kami, tapi

selalu menangisi orang lain. Anak cacat yang dilihatnya dalam perjalanan ke pasar.

Pengemis tua yang nyaris tak bisa lagi berjalan, ibu-ibu yang berpakaian lusuh dan tanpa alas kaki yang

mencegatnya meminta tambah an ongkos. Kami bahkan biasa melihat Mami menan gis ketika dari layar tivi yang hitam putih, terpampang peristiwa pem bongkaran pedagang kaki lim a yang dikejar-kejar aparat, atau berita kebakaran dan musibah lain di tanah air.

"Kasihan..." ucap beliau dengan isak yang keras seolah salah satu keluarga dekat kami baru saja m eninggal dunia.

Ibunda kam i tak pernah kehilangan syukur, harap an juga doa.

D oa dengan caran ya yang lugu, sebab Papa dengan kesibukannya mencari nafkah tidak cukup punya waktu D oa dengan caran ya yang lugu, sebab Papa dengan kesibukannya mencari nafkah tidak cukup punya waktu

Setelah dua anaknya menikah dan mulai bisa memberi, berapa pun pemberian kami, rasa terima kasih Mami jauh lebih besar.

"Terima kasih ya, sayang. Mami doakan semoga kamu sekeluarga sehat dan diberikan kelapangan rejeki."

"Terima kasih banyak, Rani... memban tu sekali." "Terima kasih banyak Evy..." "Eron juga sekarang sudah

bisa bantu, Mami. Alhamdulillah anak-anak Mami sayang sama Mami."

Padahal pemberian kami tidak seberap a. Padahal M ami layak mendapatkan lebih dari itu! Ketika saya mendengar kisah dari teman-teman yang

sudah menikah dan kerap 'direcoki' orang tua, saya nyaris tidak menem ukan itu. Mami tidak pernah meminta kepada anak-anaknya.

Mami masih sosok perempuan yang sama yang mem besarkan kami tanpa keluh kesah. Yang am at 'tahu diri' dan berusaha keras tidak merepotkan an ak-anaknya setelah mereka m enikah.

"Kalian kan punya keluarga sendiri sekarang, harus hemat-hem at, nggak usah kasih Mami apa-apa."

Kalaupun sangat terdesak, Mami akan memilih mem injam ke teman-temannya ketim bang mengadu pada anak. Hal yang m embuat saya kembali ingin menan gis.

"Anak-anak Mami mu ngkin belum kaya, tapi Mami nggak perlu pinjam ke orang lain untuk urusan ini itu," tegur saya suatu hari.

Sementara Mami hanya menatap sayang kepada saya dan menjawab hati-hati,

"Mami takut kam u lagi susah." Bukan hanya perkara uang yang mem buat saya haru,

tetapi bagaiman a Mami mencatat kebaikan, sedikit apapun dari anak-anaknya dengan rasa syukur yang luar biasa.

"Rani itu anak istimewa," cetusnya suatu hari ketika seorang wartawan dari Bandun g mewawancarai saya dan

kebetulan menemukan sosok M ami.

D an Mami pun menjelaskan panjang lebar kepada si wartawan, betapa anaknya yang bernama Rani itu selalu prihatin sejak kecil dan tidak pernah m elawan orang tua.

"Sampai besar pun dia tidak pernah m enyakiti hati saya," lanjut M ami lagi.

Apakah anaknya nomor dua itu tidak pernah berbuat salah?

"Bagaimana dia sempat menyakiti atau bikin dosa kepada, saya jika sehabis bertemu selalu mencium tangan dan minta maaf? Co ba bayangkan, orang gajian misalnya, kan wajar jika ada keterlam batan. Tetapi Rani jika mem berikan bulanan misalnya terlambat satu atau dua hari,

pasti dia sms atau telepon, kasih tahu dan meminta maaf. Itu sebabnya... bagi saya dia anak istimewa."

Allah.. . Saya mendengar cerita itu dari Mami di taksi, setelah

saya bertanya sebenarnya apa saja yang Mami obrolkan dengan si wartawan.

Saya geleng-geleng kepala dengan 'anak istimewa' yang Mami bicarakan. Julukan itu sunggu h tidak pantas saya sandang. Sebagai manusia kesalahan saya bertump uk, sebagai anak, saya masih belum bi sa mem balas kebaikan orang tua.

Saya tatap Mami lekat-lekat dalam sisa perjalanan, dengan hati mengucap doa:

Semoga Allah mencatat setiap pengorbanan, setiap rasa syukur, setiap keikhlasan Mami dan memberinya kebaikan yang berlim pah. Allahum ma Amin.

(Oo-dwkz-oO)

Se telah 11 tah un

" Tahukah cinta, betapa tam pan dan berseri-serinya w ajahm u m alam itu? Saat kau m em inta m aaf berulang- ulang. "

A pa yang D isa kukatakan tentangmu ? Suam iku yang bertanggung jawab.

Lelaki pengertian, yang selalu mem perlakukan istri, anak, orang tua, sanak saudara dan tetangga-tetan gganya

dengan am at baik. Engkau m engajariku hidup apa adanya. "Jangan pernah lupa mensyukuri nikmat," nasihatmu

berulang kali.

Engkau juga yang mengajariku untuk tidak mem permasalahkan hal-hal yang kecil.

Sebelas tahu n menikah, sulit bagiku untuk mencari kekuranganm u, sebaliknya harus kukatakan begitu banyak pelajaran yang kau ajarkan padaku, dengan sayang... dengan cinta.

Sebelas tahu n, mungkin cukup lama menurut orang, tapi masih terlalu singkat untukkku. D an selam a sebelas tahu n ini tidak sedetikpun perasaanku terhadapmu berubah. Jika saja boleh dan tidak diledek oleh para ABG , akan kuteriakkan perasaanku pada dunia:

Kau pujaanku, tambatan hatiku. Panutanku, kebanggaanku, Pahlawanku... Kau, yang selalu mengalirkan kekuatan dalam setiap

denyut nadiku. Kekuatan yang kini coba kutemukan, dalam kesendirian,

dengan mem bayangkan sosokm u. Tahukah cinta, betapa tamp an dan berseri-serinya

wajahm u malam itu? Saat kau mem inta maaf berulang- ulang. Awalnya kukira permintaan maaf itu karena keterlam batan pulang. Sebab kau masuk rum ah ketika jam berdentang dua kali di pagi hari. Selepas melawat salah satu tetangga kita yang ibu nya baru saja m eninggal.

"Maafkan ayah, Bu. Maafkan ayah..." Cinta, harusnya kau tahu betapa aku selalu mempercayaimu.Sebab tidak pernah ada kesalahanmu yang terlalu besar untuk kurnaafkan. Tapi seolah tak yakin, kau masih mengu lang- ulang kalim at yang sama hingga tiga kali,

Suaramu terdengar amat bersungguh-sungguh sambil mem eluk dan mencium keningku. Meski tidak mengerti kuanggukkan kepala, dan mengingatkanmu jika belum shalat isya.

Aku masih ingat bagaiman a kau langsung bangkit dan melaksanakan shalat. Setelahnya kau kembali mem eluk dan mencium ku, sembari m engulang-ulang permintaan maaf.

Ah, kesalahan apa yang harus kumaafkan, Cinta? Tapi kubiarkan kau mem elukku erat hingga beberapa

lama. Kutatap wajahm u yang tampak bercahaya. D ari lisanm u terlempar kalimat itu sekali lagi,

"Maafkan, ayah..." Setelah kalim at itu kau sempat menyebut asma Allah

lirih, sebelum terdiam. Hanya suara dengkuran lambat- lambat yang terdengar, kemudian kepalamu jatuh di bahuku.

Seharusnya aku mengerti. Maafkan aku yang mengira kau hanya tertidur pulas karena kecapekan. Sempat kubiarkan kau tertidur menelungkupiku. Tetapi karena merasa berat, aku coba rnernbangunkanm u agar berpindah ke sisiku.

"Ayah, bangun sayang..." Tapi hingga berulang-u lang tubuhmu tetap bergeming.

Kaku dalam pelukanku. Ketika akhirnya berhasil mem indah kan tubuhm u ke samping, aku mu lai panik.

Kugoyang-go yangkan badanmu, tapi tak ada reaksi. Panikku bertam bah saat kaki dan tanganmu terasa dingin, hanya badanmu yang m asih hangat.

D alam keadaan bingun g dan perasaan bercampur adu k, kupanggil kedua orangtuaku yang tidur di ruangan sebelah, D alam keadaan bingun g dan perasaan bercampur adu k, kupanggil kedua orangtuaku yang tidur di ruangan sebelah,

Orang-orang mu lai datan g. Sebagian memang berasal dari rum ah tetangga kita yang baru kau jenguk,mereka yang mengaji dan melawat sampai pagi. Seperti aku, mereka coba m enyadarkanmu dengan berbagai cara. Sementara kau terbaring tak ubahnya seseoran g yang tertidur pulas karena lelah, bahkan m asih terselip senyuman di wajah.

Perasaan ku semakin tak menentu. Lim bung. Kudengar orang-orang bertanya jika aku ingin memanggil dokter atau mem bawamu ke rumah sakit.

Aku menganggu k, tak sepenuhnya mengerti, meski dalam

hati aku mu lai mem ohon: Cinta, jangan pergi...Jangan sekarang!

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku masih berharap kau hanya pingsan. Tetapi kenyataan berkata lain.

Setelah samp ai dan dilakukan pemeriksaan yang teliti, dokter mengucapkan kata-kata yang seolah menggodam kepalaku dengan

keras. Badanku luluh lantak. Persendianku terasa copot. Jantungku bagai berhenti

berdenyut. "Maaf, bu. Kami tidak bisa menolongnya." Masya Allah! Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Sebelas tahu n

perkawinan kita Cinta, dan inilah ujian terberat untukku. Kepergianm u...

Kupeluk kedua putri kita yang histeris melihatku menan gis. Aku sendiri berusaha keras untuk tetap berpijak pada amban g kesadaran, bahwa kau telah dipanggil Sang Pencipta. Aku peluk kedua putri kita lebih erat. Sungguh, jika tidak karena mereka, mu ngkin aku sudah putus asa, atau hilang kewarasan.

Kepergianm u yang tiba-tiba, bagaimana bisa? Usiam u baru 40 tahun, sehat dan tidak kurang apa pun

sebelum nya. Hari itu Jum at, tepat pukul 3 pagi. Saat kau pergi

meninggalkan aku dan dua putri kita yang masih mem butuhkan perhatianmu .

Cinta... Sam pai saat ini aku masih sering tidak percaya jika kau

benar-benar sudah pergi. Meninggalkan Tari gadis kita yang manis yang baru duduk di kelas 5 Sekolah D asar, dan Hana yang baru berusia 6 tahun.

Aku tahu , untuk mereka berdua aku harus kuat dan berjuang. Tetapi beratnya Cinta, betapa beratnya harus

melakukan itu semua sendiri, tanpamu. Alham dulillah semua prosesi pemakam an berjalan

lancar. Banyak sekali oran g yang melayat, rnenyolatkan di masjid, hingga m engantar ke kuburan.

Hingga detik ini aku tidak pernah berhenti mengenan gm u, Cinta. Mengenan g perjalanan singkat

kebahagiaan kita. Mem ang kehidupan kita sederhana dan tidak melimp ah dengan harta. Tetapi nyaris tak pernah terjadi perselisihan di antara kita. Sebaliknya begitu banyak hari di mana kau dan aku mensyukuri kebersam aan kita, juga karunia Allah berupa dua putri yang m embanggakan.

Tetapi takdir berkata lain, dan aku harus menerima. Meski terkadang aku m asih m erasa hamp a. Terlebih bulan- bulan pertam a kepergianmu . Begitu beratnya hingga aku tak yakin bisa melalui ujian ini. Tanpamu, setiap hari aku berjalan bagai tak m enapak, limbung dan kehilangan arah.

Aku nyaris tak bisa makan. Kalaupun akhirnya menyuapkan nasi ke m ulut, tak lebih mem enuhi kebutuhan fisik semata. Setiap malam tiba, mataku sulit dipicingkan. Terkadan g aku membayan gkan sosokmu , namu n dengan cepat angan ini hempas ketika melihat ruang kosong di sisi tempat tidur yang dulu terisi olehm u.

Allah, kusebut nam anya berulang-ulang. Jika saja tak ada iman, Cinta, aku nyaris tak kuasa

melanjutkan hidup tanpamu . (T ak sabar kutunggu pertemuan itu, semoga Aliah

mempertemukan cinta kita nanti, ketika maut menjemputku...)

(Oo-dwkz-oO)

Enam lembar surat curahan hati dari mbak Yayu, ibunda Hana, teman seperm ainan Adam, putra kedua saya, sampai ke tangan saya beberap a hari setelah kepergian suaminya.

Enam lembar yang ditulis dengan sepenuh hati dan mem berikan gambaran detik-detik sakaratul maut sang suam i, dan beratnya kehidup an setelah itu. Ketika berlembar-lembar tulisan yang diketik rapi itu sampai ke tangan saya, ide menyusun buku ini bahkan belum lagi mu ncul.

Saya menerima sambil mencatat dalam hati, suatu hari saya akan menulis ulang catatan hati mbak Yayu. Pada kenyataannya saya hanya mampu mengu bah penyajian Saya menerima sambil mencatat dalam hati, suatu hari saya akan menulis ulang catatan hati mbak Yayu. Pada kenyataannya saya hanya mampu mengu bah penyajian

Terima kasih saya karena mbak Yayu berkenan menuliskannya untuk saya. Hal yang am at saya saran kan kepada perempuan-perem puan Indonesia. Menulis agar kita mem iliki sesuatu untuk dikenang. Menulis apa saja tentang hari-hari yang kita lalui sebagai istri dan ibu.

Apakah anda akan mem baginya dengan orang yang bisa anda percaya, atau tidak... tidak jadi soal. Paling tidak

dengan menuliskannya bisa menjadi terapi tersendiri, saat hati terbebani ribuan masalah dan kesedihan.

(Yayu Purwaningsih dan Asma N adia)

(Oo-dwkz-oO)

C atatan 11

Obrolan Pagi di Kereta

" Jika cerita itu ben ar, bagaim anakah ekspresi Pak

D o sen saat mengucapkan kalim at itu?"