D engan visa turis kami berdua, aku dan anakku, terbang menuju N egeri Kincir Angin, tepatnya 29 Juni 1986.

D engan visa turis kami berdua, aku dan anakku, terbang menuju N egeri Kincir Angin, tepatnya 29 Juni 1986.

Esoknya kami tiba di Bandara Schiphol, Amsterdam. Ya, inilah negeri bangsa kolonial. Pada zaman revolusi, ayahku bersama pasukan pejuang pernah menyabung nyawa, melawan Belanda.

Sekarang, di sinilah aku dan anakku, putri dan cucu seorang pejuang '45. D emi mengadu nasib, demi meraih masa depan, demi melacak jejak surga yang kudamba.

"Ya Tuhan ku... kami mo hon. Lindungilah kami berdua, lindungilah," desisku mengambang di udara mu sim panas negeri asing.

Beberapa saat aku mengh irup aroma N egeri Kincir Angin sebanyaknya-banyaknya, seluas paru -paruku mampu menam pungnya. Berharap bahwa ini ha nya mimpi belaka Beberapa saat aku mengh irup aroma N egeri Kincir Angin sebanyaknya-banyaknya, seluas paru -paruku mampu menam pungnya. Berharap bahwa ini ha nya mimpi belaka

"Mama... dia siapa?" suara mungil anakku merenggut seluruh khayal dan kenyataan yang sempat nyaris tak bisa kubedakan lagi.

Aku tersentak, mengikuti telunjuk mu ngil yang mengarah kepada seorang lelaki bule. Sosok itu, ya, ternyata berwajah keras, terkesan angkuh dan show-o ff dalam berbusana. Ini persis sekali dengan mantan suami. Seketika ada yang berdesiran dalam dadaku, sesuatu yang seharusnya kum aknai sebagai pertanda buruk.

Lelaki itu, G ez, menghampiri kami diikuti oleh beberapa orang yang diperkenalkannya sebagai keluarga besarn ya.

D ia menyalam iku, tepatnya menciumi pipi-pipiku dengan atraktif. Apabila tak kucegah dengan gerakan tegas, bibirnya mem aksa akan m encium bibirku saat itu juga.

"Yeah... inikah jagoan kecilmu, hem?" ujarnya seraya hendak m emangku anakku dengan gerakan kasar.

Peter spontan mengh indarinya, berlari dan bersembunyi di balik tubuhku sambil memegangi ujung blazerku.

"Mama... gak

mau!"

protes

Aku bisa melihat perubahan pada raut wajah G ez, perpaduan antara geram dengan hasrat menguasai. D ia

berhasil mengekang dirinya dengan bersikap santun terhadap diriku, penyayang terhadap anakku. Empat lelaki dan tiga perempuan, keluarganya itu, berusaha pula menyam but kami bedua dengan ramah dan sukacita.

"N ah, kita berpisah di sini," berkata G ez saat berada di parkiran. "Mereka akan pulang ke apartemen masing- "N ah, kita berpisah di sini," berkata G ez saat berada di parkiran. "Mereka akan pulang ke apartemen masing-

"Urusanmu ?" buruku tak paham, sedetik kemudian kami sudah berad a di dalam mobilnya dengan an akku meringkuk di jok belakang.

"Maksudku urusan kita, D arling... jangan takut, semuanya akan mem buat dirimu puas, yakinlah!" sahutnya disertai kekehannya yang aneh. Aku berusaha keras mem bunuh rasa takut yang mu lai membayan gi setiap helaan napasku. Kulihat anakku sudah kelelahan dan tertidur lelap. Sungguh, dia anak yang m anis, tenang, sama sekali tak pernah rewel. Itu bukan anakku yang biasanya periang, banyak bertanya dan berkom entar. N amu n, aku tak bisa berpikir banyak lagi tentang perubahan sikap anakku. Benakku dipenuhi berbagai rencana, pengharap an dan kecemasan.

"Minum lah ini, D arling," G ez menyodorkan botol minuman, baru kusadari ada boks minuman keras di antara kaki-kaki kami.

"Bolehkah nanti saja supaya tetap segar?" Mu ngkin dia mengartikannya lain, bahwa aku m enjaga kesegaran selam a mendampinginya,meladeninya. Ya Tuhan, bulu kudukku merinding mendengar tawanya yang terbahak-bah ak, dan sorot m atanya yang ceriwis liar. N am un, lagi lagi semu anya

telah telanjur. Tahu-tahu kami sudah sampai di apartemennya di Hilversurn. D alam sekejap kami pun telah berada di dalam ruangan yang segera dikunci dengan sigap oleh lelaki itu.

"Apaaa... mau apa kamu ?!" seruku kaget saat G ez dengan gerakan tak terduga, tiba-tiba menodongkan pistol ke kepalaku.

"Sini, anak setan, siniiii!" G ez merenggut anakku dari tanganku, sedetik kemudian dia telah menyeret tubuh mu ngil kesayanganku itu ke dalam toilet, lalu m enguncinya rap at-rapat.

Mataku melotot hebat dan tubuhku lunglai, sendi-sendi tulangku bagai berlepasan.Seketika aku merasa hanyalah seonggok daging yang tak bernyawa. Separu h jiwaku, belahan nyawaku telah direnggu t dari dekapanku.

"Kamu diamlah! Jangan coba-coba melakukan tindakan bodo h. Kalau tidak, aku akan bunuh anak kesayanganmu itu!" ancamnya terdengar tidak main-m ain. G ez, sosok yang tam pak gentle dalam video itu, telah berubah dalam sekejap.

"Kumohon, kumo hon... demi Tuhan yang kamu sembah..." aku mulai meratap, mem ohon dengan segenap jiwaku. "Jangan sakiti anakku... D ia sama sekali tak berdosa." Hancur hatiku mendengar tangisan anakku lam at- lamat dari dalam toilet, hingga tak terdengar lagi, mungkin kelelahan atau pingsan?

G ez terbahak-bahak, semakin gencar menenggak minuman keras, sedang tangan nya yang satu lagi mu lai liar menggerayangi tubuhku.

Baru kusadari koper, tas, perhiasan, uang, paspor, semua bawaanku dari Indo nesia sudah diam ankan oleh G ez.

Mengapa profilnya di video yang direkomendasi biro jodoh internasional itu tamp ak begitu simpatik, ganteng dan lembut? Belakangan baru kutahu bahwa semuanya mem ang telah direkayasa. G ez adalah seorang interniran militer, penipu, pemabuk dan... psikopat. Sejak saat itu, dia sering mengh ajar tubuhku hingga babak-belur.

Sejak saat itu pula, aku dipaksa melayani kebutuhan seksualnya secara biadab, kapan pun dan di mana pun. Bila Sejak saat itu pula, aku dipaksa melayani kebutuhan seksualnya secara biadab, kapan pun dan di mana pun. Bila

Aku berusaha keras untuk tidak menjerit, menan gis apalagi meratap-ratap, memohon belas kasihnya. D alam ketakberdayaan sekalipun, aku sungguh ingin tetap mem berontak. Beberapa kali aku mencoba mem bebaskan diri dari kungkungannya. N amu n, sebanyak itu aku mencoba lolos, sebanyak itu pula aku dipergoki, kemudian tanp a amp un lagi dihajar habis-habisan.

Yang paling tidak tahan adalah kalau dia mengancam akan mem bunuh anakku, tidak mem beri makan dan

minum. Jika aku dibiarkan menem ui anakku, kami berpelukan dan kutahan sedemikian rupa air mataku agar tidak tump ah. Kuperhatikan anakku sudah seperti robot, sepasang mata bintangnya yang cemerlang telah hilang, disilih oleh dua butir mutiara hitam yang kelam , dingin dan suwung...

Suatu malam aku menem ukannya dalam keadaan mengenaskan, meringkuk di sudut kamar mandi, demam

dan menggigil. D aya tahan tubuhnya anjlok drastis, tubuhnya seakan-akan menciut. Selain kelaparan niscaya mentalnya pun tak tahan lagi haru s sering dijauhkan dari ibunya.

"N ak, Anakku... aduuuh, demi Tuhan!" jerit tangisku kini tak terbendung lagi. Aku sungguh panik, dan merasa

sangat berdosa karena tak mampu melindun ginya. "Bangunlah, N ak, bangun lah! Jangan tinggalkan Mama sekarang, jangaaan..." ratapku histeris, tak peduli lagi akan angkara G ez yang melongo k di belakang tubuhku. Melihat keadaan gawat begitu agaknya Laki-laki itu tergerak juga hatinya. Pasti dia hanya menakutkan dampak terhadap keselam atan nya sendiri.

"D iamlah, perempuan dun gu! Kamu jangan berteriak- teriak terus!" sergahnya, diangkutnya sosok mu ngil kesayanganku, kemudian ditaruhnya di ruangan lain apartemen itu. Sejak malam itu anakku diperbolehkan menem pati ruangan yang layak huni, meskipun kemungkinan cuma gudang, sebab banyak barang. Hatiku agak lega, setidaknya anakku berangsur mem baik dan tidak selam anya dikurung di kamar mandi. Kami berdua diperbolehkan bersama kem bali. Pada saat-saat G ez 'm embutuhkanku', terpaksa kuberi pengertian anakku.

"Peter, Cinta, jangan berteriak-teriak, jangan nangis selam a Mama pergi, ya? Kalau kamu lakukan itu kita akan

dipisahkan lagi," bisikku sambil menah an bendungan air mata yang nyaris tak tertahankan. Kubelai wajahnya, ooh, baru kusadari tamp ak tirus. Tubuhnya pun tidak lagi gemuk, pipi-pipinya yang tembam... ke mana gerangan?

"Iya... aku gak akan nangis, Mama. G ak akan jerit-jerit, Mama. Asalkan Mama ke sini lagi, hati-hati, ya Mama...

D ia mengiyakanku sambil berlinangan air mata, di tahu, dan tak mau mengu ngkitnya di kemudian hari; apakah

selam a ibunya ini diperlakukan keji, anak yang malang itu tetap tinggal di tempatnya? Ataukah dia diam-diam mengintip?

"Ya Tuhan, jangan tinggalkan kami, kumo hon, jangan tinggalkan kami," jeritku mengawang nun kelapisan

ketujuh.Apabila laki-laki itu meninggalkan rumah, kami akan dikunci dari luar. Tiada televisi, tiada telepon, bahkan aliran listrik pun akan dimatikan. Makanan yang diberikan alakadarnya; sepotong roti keras, semangkuk sup krim dingin dan segelas susu tawar. Adakalanya aku diperbolehkan mem unguti rem ah-remah roti atau pizza bekas makanann ya.

"Aku masih lapar, Mama," pinta anakku takut-takut, mengerling secuil roti yang baru saja akan kumasukkan ke mu lutku.

"Ya, tentu saja... ini boleh buatmu, Cinta," segera kusuapkan roti jatahku itu ke mu lutnya. Tangisku pecah jauh di dalam dada melihat hasrat dan kelahapan anakku. Secuil roti yang hanya pantas buat mainan tikus dan kecoa saat di Tanah Air. Nam un, lihatlah, Tuhan! Hari-h ari ini begitu dibutuhkan anakku sebagai pengganjal perutnya. Entah bagaimana reaksi kakek-neneknya jika mengetah ui hal ini.

Adakalanya otakku berputar-putar dengan berbagai kemungkinan, berbagai macam hal. Apakah ayahnya masih peduli akan keberadaan kami, terutama anakku? Masihkah dia bernafsu untuk menculik dan menguasai anaknya? Mengapa aku begitu panik menghadapi ancaman- ancam annya? Bagaimana kalau itu hanya om ong kosong belaka? Bukankah sejak bercerai, dia tak peduli lagi, terbukti kewajibannya (janji hitam di atas putih, disaksikan

pejabat KUA) untuk mem biayai anaknya pun telah diabaikan. Tak pernah m emberi biaya sepeser pun lagi sejak palu hakim diketukkan. Pikiran-pikiran itu acapkali sangat menyiksa diriku, mem buatku tak bisa mem ejamkan mata sekejap pun. Sungguh, rasan ya aku nyaris menjadi gila!

N am un, segera aku disadarkan akan realita yang tengah kuhadapi. Aku tak boleh menyerah,tak boleh mem biarkan diriku stress, frustasi. Aku harus menjaga otakku tetap sehat, waras, sebab dibutuhkan untuk mengatur strategi agar bisa keluar dari situasi buruk ini, melawan G ez!

(Oo-dwkz-oO)

Setelah dua pekan dikurung di dalam apartemen sumpek itu, akhirnya G ez mengajak kami ke luar rumah. Kami diperkenalkan kepada beberapa kenalannya. G ez berlagak gentle mem biarkanku bersosialisasi. D ia wara-wiri di antara teman -tem annya sambil menikmati makanan dan m inuman yang terhidang. Sikapnya berlagak penuh kasih sayang terhadap anakku.

"Lihatlah, Kawan! Sekarang aku punya seoran g anak yang hebat, padahal dia berasal dari negara terbelakang... segalanya!" celotehnya kacau.

"Eeeh, apakah kamu baik-baik saja?" Paul Van Mo orsel, nam a lelaki itu, memandan gi wajahku lekat-lekat. D ialah

satu-satunya yang berani menghampiri dan berkomunikasi dengan ku. Ia bertanya banyak hal tentang Indonesia, tentang alasanku m eninggalkan negeriku dan lain-lain.

"Aku tidak apa-ap a," sahutku pelan, kurasai sesungguhnya G ez tetap mengawasiku dari kejauhan. "Yah... tidak apa-apa, hanya sedikit tak enak badan. Terima kasih."

Aku menundu kkan kepala dalam-dalam , menatap lantai di ujung kakiku. Cepat-cepat kulindu ngi pelipisku dengan syal yang m enutupi sebagian wajah dan kepalaku. Sepasang kacamata berukuran raksasa juga menclok di wajahku. Semuanya itu kupakai demi menyembunyikan bilur-bilur

ungu , tapak kekerasan yang kuterima selam a dua pekan. "Jangan sungkan, N yonya, katakan kepadaku kalau

kalian butuh sesuatu ," ujar Paul setengah berbisik, kemudian diraihnya tubuh anakku, dan didudukkannya di atas pangkuann ya. Anakku berjingkrak kegirangan saat lelaki itu mem berinya seraup perm en. Aku terharu sekali dengan perhatian yang diberikannya terhadap kami berdua. Sedangkan yang lainn ya bersikap acuh tak acuh, kalian butuh sesuatu ," ujar Paul setengah berbisik, kemudian diraihnya tubuh anakku, dan didudukkannya di atas pangkuann ya. Anakku berjingkrak kegirangan saat lelaki itu mem berinya seraup perm en. Aku terharu sekali dengan perhatian yang diberikannya terhadap kami berdua. Sedangkan yang lainn ya bersikap acuh tak acuh,

G ez, mengingat perilakunya yang kasar.

"Mama dan aku... sakit, Om Paul," gumam anakku dalam bahasa Inggris patah-patah. Jantu ngku sampai berdetak keras mendengarn ya, kuatir diketahui oleh G ez. Tapi lelaki itu tamp ak sedang asyik berbincang dan tertawa keras dengan seorang peremp uan beram but pirang.

"Aku sudah mendugan ya," desis Paul mu ram. "Kalian mendapat perlakuan... G ez menyakitimu dan anakmu, bukan?"

"Mm, jangan m emaksa." bisikku mencoba m enghindar "D engar," dia menundukkan kepalanya di belakang

punggung anakku. "Kalian masih mem egang dokumen perjalanan?"

Aku menggeleng. W ajah Paul seketika rnengelam. "Carilah! Kamu harus menem ukan dokumen perjalanan

kalian. Aku akan berusaha mem bantu kalian." Secercah cahaya sekejap mem bernas dalam gulita hidupku. Titik air

mataku bahna terharu. Semula aku mengira takkan pernah ada yang sudi mem edulikan kami berdua. Bahkan aku ham pir menganggap bangsa ini identik dengan si jahanam.

"Kamu harus secepatnya pergi dari apartemennya. Laporkan ke polisi!" Paul terus m enyemangatiku.

"Yeah... terima kasih," tangisku merebak dalam dada. Ketika Paul kemudian tampak lebih akrab dengan anakku, mo nster yang mu lai mabuk itu mendatangi tempat kami.

"Sudah saatnya kita pulang!" dengusnya seraya m encekal tanganku dengan kasar. Bau alkohol meru ap dari mu lutnya. Betapa sering hasratku untuk mengh abisi nyawanya nyaris "Sudah saatnya kita pulang!" dengusnya seraya m encekal tanganku dengan kasar. Bau alkohol meru ap dari mu lutnya. Betapa sering hasratku untuk mengh abisi nyawanya nyaris

"Masih sore, G ez, biarlah mereka..." Mo orsel mencoba menah an kami.

"Tak ada yang menan yakan pendapatm u, Moorsel!" sergahnya galak. Kemu dian tanpa melepaskan botol mi num annya,tangannya mencoba menggaet leher anakku hingga minuman beralkohol itu tumpah. Paul bergerak refleks menepiskan tangan G ez, sehingga kepala anakku terhindar dari tump ahan minuman keras itu.

Plaaakkk! "Aduuuh!" G ez menjerit tertahan. Agaknya pergelangan

tangannya ditepis sekaligu s dipelintir keras oleh Paul Van Mo orsel. D alam sekejap keributan terjadi, suara G ez yang lantang menghamburkan kata-kata tak senonoh. Kurasa mereka berdua akan berbaku hantam, andaikan tak segera dilerai oleh teman-tem annya.

"N eem me niet kwaklijk... sterkte, ya Mevrouw. (Maafkan aku... kuatkan dirim u, ya N yonya.)”

Masih kudengar suara anak bungsu aktivis gereja, Mo orsel itu, tatkala G ez menggelandangku keluar dari klub.

Simpati seorang Moorsel, meskipun hanya sebatas itu dan nyaris tak berpengaruh apa-apa terhadap keadaan kami, bagiku sunggu h berkesan. Keberaniannya menyadarkan diriku bahwa tak semua lelaki di negeri bekas penjajah bangsaku ini seperti

G ez. Keberadaannya pun menyadarkan diriku akan pengharapan yang nyaris raib, ditelan kekejian seorang manusia berhati iblis. Malam itu, G ez. Keberadaannya pun menyadarkan diriku akan pengharapan yang nyaris raib, ditelan kekejian seorang manusia berhati iblis. Malam itu,

Lam at-lam at kutangkap suara isak anakku. Ya, berkat isak tangis belahan jiwaku itulah, diriku masih mampu bertahan, mengh abiskan sisa-sisa malam jahanam.

(Oo-dwkz-oO)

Tengah malam menjelang dinihari, tepatnya dua puluh satu hari dalam cengkeraman G ez. Aku sudah bertekad bulat, apapun yang terjadi, kami berdua harus keluar dari tempat yang bagaikan neraka ini. Kulihat anakku sudah terlelap tidur. Sementara G ez tengah keluar untuk mabuk- mabukan. Aku berjingkat mencari dokumen perjalanan milik kami. Aku menyisir dengan sangat cermat setiap laci- laci, lemari pakaian, gudang, basement, seluruh penjuru

ruangan. Tidak juga kutemukan! "Ya Tuhan ku, di mana paspor dan tiket milikku itu?

Kumohon, bantulah aku menyelamatkan diriku dan anakku, Tuhan? Kumohon, bukankah Engkau Maha

Pengasih?" lolongku melindap dalam dad a. Saat aku hampir putus asa, mataku sekonyong melihat

sesuatu di sudut kamar G ez. Yup, sebuah kotak kecil yang terkunci. Semangatku bangkit kembali, dad aku seketika dipenuhi debar-debar asa. Adakah demikian perasaan ayahku, ketika bersama pasukan pejuang hendak merebut tangsi militer di Cimahi zaman revolusi dah ulu? D emikian sesuatu di sudut kamar G ez. Yup, sebuah kotak kecil yang terkunci. Semangatku bangkit kembali, dad aku seketika dipenuhi debar-debar asa. Adakah demikian perasaan ayahku, ketika bersama pasukan pejuang hendak merebut tangsi militer di Cimahi zaman revolusi dah ulu? D emikian

Aku terus mengo tak-atik kunci kotak itu sambil berdoa, menyeru nam a Tuhanku, ayahku, ibuku, ka kakku, adik- adikku, seluruh keluarga besarku. Ya, semu anya saja kuseru dalam dad aku. Entah mengapa, seketika itu, sesuatu yang nyaris raib dari benakku mu ncul kembali. Ya, ternyata aku masih punya keyakinan, bahwa mereka niscaya masih mengingatku, masih mendoakan ku, terutama kedua orang tuaku yang m engasihi kami berdua.

Setelah kucoba dengan berbagai nomer serabutan, akhirnya kotak itu terbuka dengan angka-an gka kelahiran

G ez. Benar saja, di sinilah agaknya pasporku disembunyikan. Hanya pasporku, sedangkan tiket, seluruh perhiasan dan uang milikku tidak kutemukan.

"Tidak mengapa, biarlah, ini juga sudah bagus," gum am ku penuh sukacita. D engan mengu cap rasa syukur untuk pertam a kalinya, aku mengambil paspor dan kusembunyikan baik-baik di dalam jaket anakku. Sejak bentrok dengan Paul, G ez bersikap hati-hati terhadap anakku. Mungkin karena diancam oleh Paul akan mem erkarakannya, apabila diketahuinya dia menyakiti anakku.

"N ak, bangunlah, Cinta," kuraih tubuh mu ngil kesayanganku, tanpa menunggu reaksinya lagi secepatnya

kukenakan pakaiannya. "Ke mana kita, Mama?" tanyan ya setengah mengantuk

saat kutuntun bocah yang m alang itu menuju pintu keluar. "Kita harus pergi dari sini, N ak. Kuatkan dirimu dan

hatimu, ya Cintaku, Buah Hatiku," bisikku meracau seraya mem bungkuk, sekali lagi kubetulkan kerah jaketnya.

Udara akhir Juli mu lai dingin dan aku tak tahu entah apalagi yang bakal menghadang kami di luar sana. Ketika ku baru saja hendak membongkar pintu depan dengan paksa, sebelum nya berhasil kurusak, seketika pintu terkuak. Sosok yang ingin sekali kubakar hidup-hidup itu, terhuyung-huyung limbung dengan botol minum an keras di tangannya.

"He... kalian mau ke mana?" suaranya menan dakan sedang m abuk parah.

"D engar, kami tidak akan membuat keributan di sini. Kami hanya ingin pergi dari sini, oke?" Sekali ini

kutegakkan tubuhku dan bicara dengan sangat tegas. "Jadi... m enyingkirlah!" Kurasa jika mem ang diharu skan, diriku sudah bertekad

akan melakukan apapun demi kebebasan kami berdua. Aku sudah tak peduli lagi jika haru s menjadi seorang pembunuh, atau menjadi mayat sekalipun. Aku tak sudi menjadi pecundang.

"Apa kamu bilang, perempuan tolol? Mem angn ya siapa dirimu itu, hah?" tangannya yang bebas meng gapai-gapai

di udara,tubuhnya semakin limbung.Bagus, keadaannya menam bah keberanian dalam dadaku!

"Aku, putri seorang pejuang' 45, bangsa Indonesia!" sergahku lantang. D engan sisa-sisa kesadaran yang masih

dimilikinya, telunjuknya menuding-nuding wajahku. "Jij ben niks waard en je heb niks geen pass-port en geen

tiket, dus godverdomm e wegwezen juiiie!" ("Kamu tidak punya apa-ap a, tidak berarti apa-apa, tidak punya paspor dan tiket, jadi pergilah kamu dari sini!")

Ya Tuhan, sunggu hkah ini? Ternyata begini mu dah kah kami terlepas dari cengkeram annya? Mengapa tidak dari Ya Tuhan, sunggu hkah ini? Ternyata begini mu dah kah kami terlepas dari cengkeram annya? Mengapa tidak dari

Bagaikan sinting rasan ya diriku mencekal kuat-kuat tangan anakku. Setengah berlari kuseret langkah kami berdua, bergegas pergi. Kami tak mem bawa apapun selain yang melekat di tubuh dan paspor, ditam bah beberapa lembar gulden yang kutemukan di laci dap ur. Aku tak mem ikirkan apapun lagi. Bagiku yang terpenting pergi sejauh mu ngkin. Samar-sam ar suaranya masih terdengar meracau tak jelas.

(Oo-dwkz-oO)

Udara dingin di penghujung bulan Juli pada dini-hari itu seketika menyergap tubuh kami. Beberapa saat kupangku anakku dan kudekap erat tubuhnya yang gemetar. Selang kemudian anakku minta diturunkan, tentu merasa kasihan kepadaku yang terhu yung-h uyung lim bung.

Kami berjalan kaki menuju stasiun terdekat selam a kurang lebih 20 menit. Tak ada pejalan kaki lainn ya kecuali kami berdua. Aku berjuang keras menah an rasa sakit yang menusuk-nusuk di bagian bawah tubuhku. Kuyakinkan pada diriku bahwa rasa sakit badaniah itu sungguh bukan apa-apa, jika dibandingkan dengan kebebasan yang baru kami dapatkan.

"Mama... sakit ya?" anakku merandek, lalu menengad ahkan wajahnya, sepasang bintang mencari-cari jawaban di wajahku.

"Tidak apa-apa, N ak... Mama baik-baik saja," sahutku seraya mem belai pipi-pipinya yang putih. "Masih kuat berjalan, Sayang?"

"Ya, Mama... aku sudah kuat, kuat sekali!" dia tersenyum manis dengan selaksa bintang yang berbi nar- binar di m atanya. Itulah bintang asa dan citaku!

"Kita lanjutkan perjalanan, Cinta?" tanyaku seraya menah an gelomban g keharuan yang bagai me nggumpal- gum pal di leher, di tenggorokan, di dada terus menusuk ke persendian tulang, ke sekujur jiwa dan ragaku.

"Siaaap!" jawab anakku bersemangat sekali, walau kutahu itu hanya demi mengh ibur hatiku. Kami pun terus

berjalan, tanp a berkata-kata lagi.Aku telah mem elajari peta yang sempat kuam bil begitu menginjakkan kaki di bandara Schiphol. Tujuan yang terlintas di benakku adalah Kedutaan Besar Indonesia di D en Haag. Aku membeli tiket kereta api senilai 25 gulden (saat itu mata uang Belanda gulden) dari Hilversurn ke Utrecht.

Beberapa saat kurasai aura keheningan, kesenyapan yang ajaib mem balut diriku. Anakku merebahkan kepalanya di

atas pangkuanku,sesaat kemudian dia telah tertidur lelap. N apasnya mengalun lembut

melalui hidungn ya. Mencerm ati tubuhnya yang mungil dan kurus, tak tahan air mataku berderaian yang segera kuhapus, khawatir mengu sik tidurnya. Kurasa inilah saat tidurnya yang terlena sejak meninggalkan Tanah Air.

Beberapa jenak kubiarkan pula diriku menikmati udara kebebasan, walaupu n masih ada kekhawatiran si jahanam mem buru kami. Sewaktu kereta api berhenti di stasiun Utrecht, aku tak mem bangunkan anakku melain kan menggendon gnya pelan-pelan. Se mangat hidupku serasa Beberapa jenak kubiarkan pula diriku menikmati udara kebebasan, walaupu n masih ada kekhawatiran si jahanam mem buru kami. Sewaktu kereta api berhenti di stasiun Utrecht, aku tak mem bangunkan anakku melain kan menggendon gnya pelan-pelan. Se mangat hidupku serasa

"Ya, kita harus bertahan hidup, Anakku... Harus, haruuus!" desisku berulang kali, tak terhitung lagi sebagai upaya mengu atkan benteng pertahanan diri yang baru kuraih.

D i sebuah bangku panjang di sudut stasiun Ut-recht, kubiarkan waktu berjalan dengan semestinya. Penampilan kami pasti aneh di mata mereka, tidak sesuai dengan mu sim. Aku mengenakan celana jins, kaos dalam yang dirangkap baju hangat. Anakku masih m engenakan piyama dirangkap celana jins dan jaketnya. Tak kupedulikan oran g- orang yang melintas di hadapan kami, sekilas mem andangiku ter heran-heran. Hari, apa peduliku?

Sebaliknya aku yang harus heran. Mengapa tiada seorang pun yang meluangkan waktunya, sekadar menan yakan keadaan karni? Bukankah kami tamp ak sangat menyedihkan, wajahku amat pucat dengan bilur kebiruan di pipi dan keningku? Sosok mu ngil dalam pangkuanku tam pak mengerut kecil, diliputi ketakberdayaan dan keringkihan. Mengapa kalian tak peduli?

D i sinilah di daratan Eropa kami kini berada. Di negeri sebuah bangsa yang konon sangat menjunjung tinggi kesopanan , peradaban luhur,di mana para nyonya begitu senang menata rumah, dan menyediakan makanan yang lezat untuk keluarganya. D i mana salah seorang warganya begitu kejam mem erlakukan kami berdua, tak punya hati, tak punya nurani, hanya nafsu iblis yang menjelma utuh dalam dirinya...

Ops, ternyata ada juga yang mau mem erhatikan keberadaan kami. Seorang gadis mu da mengh ampiri kami, mem bungkuk di samping anakku, kemudian mem andan gi Ops, ternyata ada juga yang mau mem erhatikan keberadaan kami. Seorang gadis mu da mengh ampiri kami, mem bungkuk di samping anakku, kemudian mem andan gi

"Anda harus melanjutkan perjalanan dengan kereta lagi, Mevrouw," berkata gadis yang kutaksir mahasiswa atau karyawati itu.

"D ia ini... apakah anak Anda?" selidiknya. "Iya, dia anakku, mengapa?" balik aku bertanya. "Mmm, kasihan... tidak apa-apakah dia?" tanyan ya pula

dengan sorot mata ingin tahu, kemudian sejenak lebih mencerm ati keadaan anakku. Aku berusaha tersenyum.

"Tidak, Sister, dia hanya kelelahan ."

G adis itu menatap wajahku dan tersenyum simp ati. Entah apa yang ada dalam pikiran nya, saat kemudian ia mengingatkanku agar berhati-hati. Ia juga mengatakan ingin mem bantuku, tapi menyesal sekali karena sudah ada janji. Ia berpamitan dengan ram ah, setelah minta izinku untuk mengelus pipi anakku, dan meletakkan sekotak cokelat di dekat tangan anakku.

Kupan dan gi tas punggungnya sambil kuhela napas dalam -dalam . Setidaknya pengetahuanku bertambah, pengharapanku mem bernas tentang peradaban bangsa ini.

G adis itu, siapapun dia, telah mem buat hatiku terharu. Sikapnya terhadap anakku sungguh telah menggoyah

benteng kebencian dan dendam dalam dad aku. Ya, tidak semua warga Belanda seperti si G ez!

D an tiba-tiba benakku disergap berbagai macam pikiran. Kesadaran itu, kesadaran akan segala keputusan dengan sebab akibatnya itu... Menggugatku!

"Kita mau ke mana lagi, Mama?" Pada saat bersamaan anakku

bisa menan gkap kebimban ganku. Kubiarkan dia menikmati cokelatnya sebagai pengulur waktu. Aku mem ang tak bisa langsung menyahut, kugigiti ujung-ujung bibirku. Benakku mendadak suntuk, dikejar bayangan-bayangan yang belum pasti untuk masa depan kam i. Bagaimana reaksi keluargaku jika mengetah ui lakonku di Belanda ini? Tensi ayahku niscaya akan melejit, bisa-bisa stroke.

terbangun,

agaknya

Apa yang harus kukatakan kepada mereka, andaikan kami pulang ke Indo nesia dalam keadaan serba kacau-

balau, dan sangat mengenaskan begini? Lagipula, aku tak punya tiket untuk pulang, tak punya uang selain 50 gulden di saku jaketku. Bagaimana kalau aku tak mendapatkan apa yang kuinginkan di Kedutaan Besar Indonesia?

"Mama, ingat tidak Om Paul? Yang mem beriku cokelat dan permen di pesta?" anakku mengu sikku lagi. Oh, dia mengira klub itu temp at pesta? Aku meliriknya dan terheran-h eran, mengapa anak ini masih mengenan g sosok yang telah mem elintir tangan si G ez m alam itu?

"Ya, N ak, ada apa dengan orang itu?" "Om Paul sudah janji mau bantu kita, Mam a. Aku ingat

janjinya itu, Mam a," cetus anakku terdengar mengamban g.Aku mem andan gi wajahnya lekat-lekat .D i

mataku pipi-pipinya tampak semakin tirus, kelelahan , kesakitan dan ketakutan yang sangat.Ya Tuhan, aku sunggu h telah mengingkari hak-haknya.

"Maafkan Mama, ya N ak, maafkan segala kelemahan Mama, m aafkan..."

Aku meracau penuh penyesalan. Seketika kupeluk erat- erat tubuhnya, kuciumi pipi putihnya, berharap bisa menyatukan seluruh daya yang masih kami miliki.

Akhirnya kubiarkan, kubiarkan, ya, kubiarkan saja segala kepedihan itu membuncah ruah. Semo ga air mata ini menjadi terapi bagi hati kami, jiwa kami, fisik kami yang telah porak-poranda.

"Mama nangis... aku juga m au nangis, hikkksss” "Iya N ak, Cinta, tidak m engapa kita m enangis saja, ya," Pada saat bersamaan di dalam hati aku pun mengu cap

sum pah. "Tuhanku, dengarlah sumpahku ini, jika Engkau tetap

ada untuk kami berdua... D emi Engkau Yang M aha Tinggi, aku akan mem besarkan anakku, dan mem berinya masa

depan sebaik-baiknya! D engarlah sump ah seorang ibu yang teraniaya ini, ya Tuhan, dengarlah!"

Betapa ingin kulengkingkan, kujeritkan, kulo-longkan sum pahku. Tidak, ternyata hanya mampu kuperdengarkan untuk diriku sendiri, di dalam hatiku sendiri. Kupahatkan dengan tinta nurani seorang ibu di relung-relung jiwaku. Sehingga aku takkan pernah mampu mengingkarinya sepanjang hayat dikandung badan.

"Kita cari Om Paul saja, ya Mama?" tanya anakku setelah puas kami bertangisan, masih di bangku di sudut stasiun Utrecht. Kubersit hidung dan kuhapus air mata yang mem basahi pipi-pipiku. Anakku mengikuti kelakuanku, cepat-cepat mengh apus air matanya dengan ujung-ujung

jaketnya. Ya, Tuhan! Aku berjanji dalam hati, sejak saat itu aku takkan pernah menangis lagi di hadapan siapapun. Terutama di hadapan anakku, mata hatiku, sumber semangat hidupku, kepada siapa aku telah berutang janji.

"Baiklah, kita kan cari Om Paul!" kuputuskan untuk menerima gagasan anakku. Kupikir sudah saatnya mem beri kesempatan kepada anak kecil ini, lima tahu n setengah . Ya, "Baiklah, kita kan cari Om Paul!" kuputuskan untuk menerima gagasan anakku. Kupikir sudah saatnya mem beri kesempatan kepada anak kecil ini, lima tahu n setengah . Ya,

Kami kembali ke Hilversurn dengan sangat waspada, supaya tidak bertemu lagi dengan "monster" itu. Setelah bertanya kesana-kemari akhirnya kami menemukan tempat tinggal keluarga Moorsel.

"Oh, mijn G od, rnijn G od!" seru Paul menyam but kedatangan kami, langsung bereaksi begitu mencerm ati kondisi kami berdua. "Malang sekali kalian, malang sekali kalian. .. Maafkan, aku tidak bisa mem bantu kalian tempo hari."

"Tidak beradab, binatang itu pantas mati!" "Kita harus segera m elaporkannya ke pihak berwajib!" Kemarah an dan kegeraman dalam sekejap menggema di

ruangan yang hangat dan nyam an itu. Kedua orang tua Paul, belakangan aku mem anggil mereka Muder dan Fader, segera bergabung dan mem beri bantuan. Aku mengatakan kepada mereka bahwa untuk saat ini, kami berdua hanya ingin kedamaian, perlindun gan dan

kenyamanan. Segalanya yang di luar itu biarlah belakangan dibenahi.

"Tentu saja, N ak, jangan pikirkan apa-ap a lagi. Tinggallah di rumah kami, ya N ak. Kami jamin, kalian am an dan akan baik-baik saja berada di sini," ujar ayah Paul dengan sorot mata mem ancarkan kebajikan, mengingatkanku kepada ayahku nun di kampung halaman.

Selama beberapa hari kemudian aku mem biarkan oran g- orang baik itu merawat diriku dan anakku. Sekilas lakonku di apartemen G ez kuungkap, tetapi rincinya kusimpan baik- baik dalam diari hatiku. Suatu kekejian luar biasa yang telah menimbulkan kerusakan lahir-batin, trauma pada jiwaku dan anakku hingga berbelas tahu n kemudian.

(Aliet Sartika)

(Oo-dwkz-oO)

C o retan 7

Label Baru Seorang Istri

" T indakan mereka telah memberikan pelabelan baru yang tidak m en genakkan bagi istr i pertam a. "