K am ar sempit dengan penerangan yang minim. Tempat tidur kecil memanjang adalah satu-satu nya

K am ar sempit dengan penerangan yang minim. Tempat tidur kecil memanjang adalah satu-satu nya

benda yang ada di ruangan itu. D i atasnya tampak ham paran sprei berwarna putih yang sudah kusam dan

tam pak kotor dengan nod a di mana-ma na. Saya menah an perasaan ketika mengam bil posisi dud uk di atasnya,agar

berhadap-hadapan dengan seorang perempuan yang usianya barangkali sebaya saya.

D i luar pintu kami yang tertutup, terdengar gelak tawa dan lengking suara mu sik dan gdut. Suasan a rutin malam- malam di lokalisasi. "Kalau boleh tahu, mu lai kerja di sini gimana m bak?"

Saya menyodorkan pertanyaan itu kepada perempuan yang mengenakan celana panjang hitam dan kaus berwarna merah. D andanannya biasa saja, jauh dari kesan menor. Tapi yang paling mencengangkan saya adalah banyaknya kalim at-kalimat tauhid yang keluar dari lisannya.

"Astaghfirullah... ya, saya juga tahu ini salah mbak..." "Ya pengin berhenti juga sih kadan g Mbak, malu sama

Yang D i Atas. Malu sama an ak-an ak kalau sampai tahu." "Oh, setiap harinya? Kalau lagi ram ai alhamd ulillah bisa

empat orang, mbak!"

Penam pilan serta gaya bicara m bak, yang dapat saya kira berasal dari satu daerah di Jawa Tengah itu, sunggu h telah mengu bah bayangan saya tentang mereka yang menyandan g predikat pelacur di m ata m asyarakat.

Kembali ke pertanyaan awal saya,perempuan itu tampak tercenung sejenak. Matanya sedikit berkabut ketika mu lai bertutur,

"Awalnya karena suami saya, M bak. Suami sering nggak pulang. Akhirnya suatu hari saya ikuti diam-diam. Saya jadi tahu ternyata suami suka ke tempat ini..."

Saya mendengarkan, mem biarkan peremp uan itu meneruskan ceritanya kapan saja dia m erasa nyaman.

"Lalu saya ribut sama suami. Sebab suami tetap nggak mau berhenti ke sini.Soalnya di sini dia sudah punya cem- ceman. Akhirnya suami malah ninggalin saya, Mbak... pergi dan nggak ada kabarnya."

Saya tersenyum kecil mendengar istilah yang digunakannya barusan.Di hadapan saya, peremp uan dengan rambut pendek itu m enarik napas panjang.

"Ya, ditinggal begitu saya bingun g. Akhirnya saya coba cari suami ke sini kali aja dia nemu in pacarn ya lagi."

Perempuan berkulit kuning langsat itu menatap saya, mencoba menyunggingkan senyum, ketika bibirnya yang bergetar terbuka,

"Tapi saya nggak nemuin dia. Pikiran saya pengin pulang ke kampung tapi malu. Pulang kok sendiri, nggak sama suami. Lagian mikir anak saya mau dikasih makan apa? Saya nggak punya keterampilan."

Jadi?

Sosok di depan saya tersenyum salah tingkah, "Akhirnya saya malah kerja di sini, mbak. Tempat yang dulu sering dikunjungi laki saya..." Ironis.

Tetapi bisakah saya begitu saja menyalahkan profesinya yang kerap mengancam ketenangan setiap istri? Berkata seharusnya perempuan itu lebih kuat, seharusnya dia kembali saja kepada keluarganya di kamp ung. Bukankah lebih baik m enganggur daripada m elacur?

Tetapi bukan saya yang berada di posisinya. Saya tidak mengetah ui persis situasi yang dia hadapi, latar belakang keluarga, usia dan kondisi sebenarnya anak dari peremp uan di hadap an saya ini, dan karenanya tidak pantas mengh ukum dengan alasan apapun, apalagi berdasarkan asum si.

Saya menjabat tangann ya dan mengu capkan terima kasih, seraya menyelipkan sejum lah uang atas waktu yang telah diberikannya. Perempuan itu tamp ak kaget sejenak, kemudian mem eluk saya dan mengu capkan terima kasih berkali-kali, sambil berbisik,

"D oakan saya ya mbak, suatu hari nanti..." Kalimat itu tidak selesai, tapi saya tahu apa yang harus saya lakukan. Mengamininya.

Tanah Abang, 31 D esember 2003

(Oo-dwkz-oO)

Sa ya Ingin D ia Memilih

" Jika pergi berduaan ke ho tel, aktivitas apa yang biasanya m erek a lakuk an? Silahkan cek kem bali. "