D ering telepon berulang. Perhatian saya kontan terarah kepada nama yang tertera di layar ponsel. Kang G ito.

D ering telepon berulang. Perhatian saya kontan terarah kepada nama yang tertera di layar ponsel. Kang G ito.

Kontak batin mu ngkin. Sehari sebelum nya saya sempat menelpon ke rumah beliau, namu n tidak ada yang Kontak batin mu ngkin. Sehari sebelum nya saya sempat menelpon ke rumah beliau, namu n tidak ada yang

D ana beasiswa dari D iknas yang saya peroleh mem ang saya pergunakan untuk mengadakan PULPEN di 3 kota; Jakarta dan sekitarnya, Pekalongan, dan terakhir di Aceh.

Untuk keperluan itu, semu a hal nyaris diurus sendiri. Mu lai mem persiapkan bingkisan buku dan notes untuk

seluruh peserta, sertifikat, mengcopy makalah, termasuk buku-buku doorprize. Hasilnya sekard us besar yang luar biasa berat untuk saya angkut sendiri ke Pekalongan.

D an dering telepon di ponsel terdengar, ketika saya belum lama akhirnya berhasil beristirahat setelah beberapa menit berpikir di m ana saya harus meletakkan kardus besar, yang ternyata tidak muat di deck yang ada di atas kursi penum pang kereta api ini.

Kang G ito. Saya berhutang janji untuk menjenguknya. Telepon

terakhir lelaki itu menceritakan pengapuran di tulang belakang yang harus dioperasi. D i kemudian hari saya tahu

ternyata ada sel-sel kanker yang kembali mu ncul merongrong kesehatan beliau.

Kang G ito dan saya, sejujurnya hanya beberapa kali bertemu. Tetapi uniknya seperti teman baik yang kemudian

saling 'm encemburui'. Saya sejujurnya cemburu, bahkan iri pada komitm en taubat dan hijrah beliau, mantan vokalis The Rollies, yang juga mengenal baik papa saya. Sebaliknya Kang G ito sering mengu ngkapkan kecemburuann ya pada saya, yang menurutnya terus 'berjalan', apa pun kondisinya. Juga ruang aktivitas yang menurutnya kondusif terhadap upaya m embangun keikhlasan.

W allahu alam. Bagi saya kata ikhlas memiliki ran jau- ran jau yang mem buat orang dengan mudah tergelincir dari niat semula. Ikhlas menjadi tidak ikhlas. Sesuatu yang sulit diraih tetapi sangat m udah hilang dari genggaman hati.

D ari obrolan selama nyaris dua puluh m enit itu, ada satu cerita yang saya rasakan mengiris hati dan lagi-lagi mem buat saya tidak bisa m engerti benak laki-laki.

Saya tahu dunia tidak hitam putih. Tidak semua lelaki jahat. Seperti tidak semua perempuan baik. Tetapi seperti saya, bagaimanakah anda akan mencerna cerita ini?

"Seorang mu slimah, Asma... datan g ke tempat saya. Rapi dengan jilbab yang tidak ketat seperti jilbab kamu ,"

Kang G ito m embuka ceritanya. Mu slim ah tersebut sudah menikah dan mem iliki tiga

orang anak. Kedatangann ya ke tempat Kang G ito untuk mem inta bantuan. Entah bagaiman a ceritanya si mu slim ah yang masih kuliah di salah satu kamp us Islam terkenal di Jakarta itu, terlibat hutang dalam jumlah yang cukup besar.

Berbagai upaya dilakukan, termasuk meminta bantuan ustadz dan ustadzah terkenal, namu n konon dibukakan

pintu pun tidak. Saya berprasan gka baik, baran gkali rum ah ustadz/ ustadzah tersebut da lam keadaan kosong dan mereka sedang tidak berada di tempat.

Terakhir mu slimah ini meminta bantuan kepada seorang dosen yang mengajar di kampusnya. Seperti ada kesejukan

yang m eniup saat Pak D osen menganggu k. Alham dulillah, akhirnya ada jalan keluar. Akhirnya ada seseoran g yang mengangkat beban yang

menggayuti pundak si muslimah. Benarkah?

"D engan satu syarat," lelaki itu melanjut, "kamu harus tidur dengan saya."

Si muslimah tersentak kaget. Saya yang hanya mendengar cerita itu dari orang kedua

pun tersentak. Tak percaya. Sebagai penulis yang kerap berim ajinasi, seketika kepala saya mem bayangkan, jika cerita itu benar, bagaimanakah ekspresi Pak D osen saat mengu capkan kalimat itu?

Apalagi dalam gamang si mu slimah sempat bertanya ragu kepada dosen tersebut,

"Sekali saja, ya Pak?" Lelaki di hadapannya menggeleng, "Pokoknya sampai

saya anggap lunas!" Masya Allah.

D i mana nurani? D imana ketulusan? D i manakah mo ralitas ?

Saya tidak tahu apakah sang dosen sudah menikah, mem punyai anak atau masih lajang. Kisah serupa pernah saya dengar sebelum nya. Seoran g teman yang bekerja di dun ia film sempat menceritakan, betapa peluang terbuka lebar bagi pekerja film, terutama sutradara atau asistennya untuk 'm engerjai' calon pemain yang minta peran. Meluluskan dengan imbalan calon pemain yang biasanya gadis-ga dis mu da itu, bersedia tidur dengan m ereka.

D an gadis-gadis yang gelap mata karena ambisi, tidak sedikit yang m enerima syarat tersebut.

Tetapi untuk kasus yang satu ini? Tetap saja dengan logika mana pun saya sulit mengerti bagaimana laki-laki bisa melihat 'kesemp atan ' sedemikian, saat seorang Tetapi untuk kasus yang satu ini? Tetap saja dengan logika mana pun saya sulit mengerti bagaimana laki-laki bisa melihat 'kesemp atan ' sedemikian, saat seorang

Terlukis di benak saya, rau t mem elas dan putus asa dari mu slim ah tersebut ketika bertanya terakhir kali kepada Kang G ito,

"Apa saya harus bercerai dulu dari suam i, terus m enikah dengan dosen itu, Kang? Baru setelahnya kembali pada suam i?"

Saud ariku sayang, saya tidak mengenalm u. Tetapi semoga Allah mem beri kemudahan dan kekuatan, untuk tidak pernah menuruti kehendak lelaki yang telah kehilangan mata hati.

ArgoAnggrek, 15 Maret 2007

(Oo-dwkz-oO)

C in ta Ta k Se mpur na

" Sungguh sia-sia m en emukan alasan ken apa suam inya m en ceraikannya begitu saja. "