TEMA MAKRIFATULLAH DAN TAUHID
BAB IV TEMA MAKRIFATULLAH DAN TAUHID
Di antara para mufassir Syiah, Makârem al-Syîrâzî termasuk salah seorang yang mengemukakan penafsirannya mengikuti prinsip-prinsip yang diyakini
Syiah 1 , dan hal ini terkemas dalam tema-tema yang kemudian disebut tafsir tematik. Sebagaimana telah dikemukakan di bab sebelumnya, ia juga mengklaim
bahwa tafsir model tematik yang diterapkan terhadap tema-tema yang terdapat di dalamnya merupakan metode baru (al-Uslûb al-Jadîd). Karena itu, pada bagian ini penulis mencoba membuktikan klaim tersebut melalui penelusuran terhadap tema-tema yang memiliki kesesuaian dengan keyakinan yang ada di Syiah (al- ushul al-khamsah), seberapa besar metode tematik dapat menjawab persoalan masyarakat pada masa sekarang khususnya di lingkungan dimana Makârem al-
Syîrâzî hidup, dan ayat-ayat apa saja yang sudah dikumpulkannya menjadi satu- kesatuan tema yang diharapkan dan terdapat dalam tafsir tersebut.
A. Tema Makrifatullah
a.1. Akal sebagai Sumber Makrifat
Di dalam al-Qur'an banyak terdapat ungkapan yang digunakan sebagai sinyalemen atau isyarat tentang akal sebagai salah satu sumber yang dipakai manusia untuk bermakrifat dengan bahasa yang sederhana, yakni al-Tafkîr atau berpikir. Di antara ungkapan-ungkapan yang menjelaskan tentang akal baik sebagai sumber maupun sebagai fungsi akal itu sendiri ialah al-'Aql, al-Lubb, al- Fu`ad, al-Qalb, al-Nuhâ, al-Shadr, al-Rûh, al-Nafs, al-Dzikr, al-Fikr, al-Fiqh, al- Syu'ûr, al-Bashîrat, dan al-Dirâyat. 2
1 Yang dimaksud prinsip Syiah adalah ushûl Khamsah Syiah yaitu Ma'rifatullah dan tauhid, Nubuwwah, Imamah, Eskatologi (al-Ma'âd), dan Keadilan. 2
Selain ungkapan-ungkapan yang telah disebutkan, al-Qur'an juga dalam mendefinisikan akal mencakup beberapa tingkatan pengertian seperti prasangka (zhan), dugaan (za'm), perkiraan (hisban), yakin (tayaqun), ilmu yakin ('ilm al-Yaqin), 'ain al-Yaqin dan haq al-Yaqin, dan semua ini dimulai dari rasa girang dan hentakan rasa yang datang hingga akan berujung pada yakin yang merupakan tingkatan tinggi di antara tingkatan-tingkatan lainnya, bahkan yakin tidak dapat digambarkan oleh stelsel dan tingkatan yang paling tinggi apapun. Lihat, Nasher Makarem al-
Penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi menyebutkan, paling tidak dalam tema akal sebagai sumber atau jalan menuju makrifat ini terdapat 14 ayat al- Qur'an yang menjelaskan ungkapan-ungkapan tersebut, ialah 1) Q.s. Al-Baqarah/2 : 242, 2) Q.s. Ali Imran/4 : 190, 3) Q.s. Al-Nahl/16 : 78, 4) Q.s. Al-Qaaf/50 : 36-
37, 5) Q.s. Thaha/20 : 54, 6) Q.s. Al-'Ankabut/29 : 49, 7) Q.s. Al-Hijr/15 : 29, 8) Q.s. Al-Syams/91 : 7-8, 9) Q.s. Al-Baqarah/2 : 221, 10) Q.s. Al-An'am/6 : 50, 11) Q.s. Al-An'am/6 : 65, 12) Q.s. Al-Baqarah/2 : 154, 13) Q.s. Al-A'raf/7 : 201, dan
14) Q.s. Luqman/31 : 34. 3 Delapan dari empat belas ini menjelaskan tentang kedudukan akal (qîmat al-'Aql) dan yang enam lainnya menjelaskan perbuatan,
aktivitas, atau tugas akal. Di bawah ini akan dijelaskan penafsiran-penafsiran Makarem al-Syîrâzî terhadap ayat-ayat yang telah dikumpulkan, sehingga dari penafsiran ini akan terlihat sebagai satu-kesatuan tema sebagaimana yang diharapkan. Berikut ini
penafsiran Q.s. Al-Baqarah/2 ayat 242. Asal kata al-'Aql pada kalimat ta'qilûn dalam kamus Lisân al-'Arab dan
Mu'jam Mufradât Alfâzh al-Qur'ân, 5 berasal dari kata al-'Iqal atau al-'Uqal yang berarti "tali" atau "ikatan yang digunakan untuk mengikat tempat minum seekor
onta agar tidak bergerak dan memudahkan jika ia menginginkannya", dan karenanya akal dapat menahan atau menjauhi seseorang untuk melaksanakan perbuatan-perbutan jahat.
Hal serupa juga disebutkan kamus Mukhtâr al-Shihhâh, 6 yang mengartikan kata al-'Aql sebagai al-Hijr wa al-Man'u yang berarti "terhindar dan
Syarazi, Nafahat al-Qur'an; Uslub Jadid fi al-Tafsir al-Maudhui li al-Qur'an al-Karim. Cet. I. Juz. I. (Al-Haydari : Muassasat Abi Shalih li Nasyr wa al-Tsaqafah, 2000), h. 137-138.
4 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 138-140. Q.s. Al-Baqarah/2 ayat 242 :
Artinya: "Demikianlah Allah swt. menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) agar kamu memahaminya."
5 Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisân al-'Arab. Cet. 1. Jld. 11. (Beirut : Dar Shadir, 1410 H./1990 M.), h. 458-459; lihat juga, Abu al-Qâsim al-Husain bin
Muhammad atau lebih dikenal al-Râghib al-Ashfahâni (w. 503 H.), Mu'jam Mufradât Alfâzh al- Qur'ân, telah ditahqîq dan ditashhîh oleh Ibrahim Syamsuddin. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Ilmiyat, 1425 H./ 2004 M.), h. 383.
6 Muhammad al-Din 'Abd. al-Humaid & Muhammad 'Abd. al-Lathîf al-Subkî, Mukhtar min al-Shihhah al-Lughat. (Beirut : Dar al-Surur, t.th.), h. 351.
tercegah" seperti ungkapan dari sebagian penulis-penulis kamus mengatakan; akal ialah mengetahui segala sesuatu dengan sifat-sifatnya seperti baik, buruk,
sempurna, dan kurang. Demikian dalam Majma' al-Bahrain, 7 yang menggambarkan subyek, atau isim fâil, atau sebagai "orang yang mampu mengukir hatinya dan mengalahkan hawa nafsunya hingga tidak ada kecenderungan terhadapnya".
Berdasarkan keterangan tersebut, Makarem al-Syirazi sepakat dengan pendapat yang mengemukakan tentang akal bermakna "terhindar dan tercegah," dan jika diucapkan bagi seseorang yang terhalang lisannya dari bicara maka ucapan bahasa yang sama ialah i'taqala lisânuh, seperti halnya kata li al-Diyat sama dengan 'aqlun karena makna kata diyat di sini bukan pindah atau memindahkan tapi juga bermakna "mengalir," atau "keluarnya darah sebanyak- banyaknya," dan demikian pula jika ungkapan terhadap wanita yang senantiasa
menjaga dirinya, memakai jilbab dan suci, maka bahasa yang dipakai adalah 'aqîlah. 8 Bahkan pemaknaan ini juga didukung oleh kitab Al-'Ain, 9 yang memaknai akal secara mutlak sebagai "benteng dan penjaga," dan makna demikian ini mencakup semua makna meskipun terdapat pemisah (perbedaan makna) antara kata al-'Aql dan al-Man'u dalam penerapan atau pemakaian kalimat tersebut.
Jika secara bahasa akal dimaknai sebagai "sesuatu yang dapat menghindari atau mencegah," atau juga "benteng dan penjaga," maka surah al-Baqarah/2 ayat 242 yang telah disebutkan menegaskan, akal dan pemikiran merupakan tujuan utama penciptaan, membuka hakekat, mampu menangkap maksud dan tujuan turunnya ayat, dan demikian ini diisyaratkan dalam kata la'alla, bahkan hal yang sama pada ayat lain, kata akal yang terambil atau terdapat pada kalimat afalâ
7 Fakhruddin al-Thirihi (w. 1085), Majma al-Bahrain, telah ditahqiq oleh Ahmad al- Husaini. Juz. 5. (Haidari / Teheran : Al-Maktabah al-Murtadhawi li Akhbar al-Atsar al-Ja'fariyah,
1375), h. 425. 8 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 140-141.
9 Abu 'Abd. al-Rahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahîdî (w. 175 H.), Kitab Al-Ain, telah ditahqiq oleh Mahdi al-Makhzumi dan Ibrahim al-Samira`î. Juz. 1. Cet. 2. (Iran : Muassasat Dar
al-Hijrah, 1409 H.), h. 160.
ta'qilûn, menegaskan peringatan terhadap manusia jika tidak menggunakan pemikiran dan akalnya secara maksimal. 10
Lebih jauh, pengulangan kata akal berkali-kali dalam bentuk kalimat syarat yang terdapat dalam al-Qur'an seperti qad bayyannâ lakumul-âyâti inkuntum ta'qilûn juga menegaskan tentang arti pentingnya sebuah akal dalam
organ tubuh manusia. 11 Hal serupa juga, kata akal dalam al-Qur'an diungkapkan dalam bentuk yang beragam (seperti inkuntum ta'qilûn, afalâ ta'qilûn, la'allakum
ta'qilûn) menerangkan dengan jelas tentang hakekat tersebut, yaitu sesungguhnya akal adalah pemberian Allah kepada manusia agar dapat semaksimal mungkin menemukan dan memahami berbagai hakekat, dan seseorang akan dicaci dan diancam jika tidak memanfaatkan potensi yang ada pada akal. 12
Jadi, kata akal (dalam bahasa Indonesia) merupakan adopsi dari bahasa Arab dalam bentuk yang beragam terdapat dalam al-Qur'an dan semuanya
menggunakan kata kerja yang secara fungsinya telah diisyaratkan al-Qur'an itu sendiri, dan melalui bahasa atau penggunaan yang beragam ini mengindikasikan bahwa tidak saja akal merupakan anugerah Allah swt. yang paling penting tapi juga alat atau mediasi untuk mengenal Allah sebagai Maha Pencipta-Nya.
Dari sini dapat dikatakan, penafsiran Makârem al-Syîrâzî terhadap ayat tersebut, mengajarkan untuk mengenal Allah swt; keharusan menggunakan akal dan logika. Hanya dengan akal seseorang dapat menangkap hakikat dan realitas.
Akal yang menjelaskan sebagai sumber makrifat dalam al-Qur'an disebut juga al-Lubb atau al-Albab. Berikut ini teks Q.s. Ali 'Imran/3 ayat 190, 13 yang
menegaskan hal tersebut.
10 Nasher Makarem al-Syarâzî, Nafahât al-Qur'ân. Juz. I., h. 146. Untuk penggunaan redaksi afalâ ta'qilûn dalam al-Qur'an tidak kurang dari 10 surah, di antaranya: 1) Q.s. 'Ali Imran/3
: 65, 2) Q.s. al-An'am/6 : 32, 3) Q.s. al-A'raf/7 : 169, 4) Q.s. Yunus/10 : 61, 5) Q.s. Hud/11 : 51, 6) Q.s. Yusuf/12 : 109, 7) Q.s. al-Anbiya/21 : 10 dan 67, 8) Q.s. al-Mu'minun/23 : 80, 9) Q.s. al- Qashash/28 : 10, dan 10) Q.s. al-Shaffat/37 : 138. 11
Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahât al-Qur'an. Juz. I., h. 146. Kemudian mengenai ayat al-Qur'an di atas, lihat Q.s. 'Ali 'Imran / 3 : 118.
12 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 146-147. 13 Q.s. Ali 'Imran/3 ayat 190
Penelusuran Makârem al-Syîrâzî terhadap mayoritas ahli bahasa menuturkan bahwa kata al-Lubb atau al-Albâb pada kalimat uli al-albâb sebagai al-Khâlish dan al-Shafwah yang berarti "murni" dan "jernih atau tidak tercampur dengan sesuatu apapun," dan karenanya yang dimaksud al-Lubb dalam ayat ini ialah sesuatu yang terletak pada tingkat paling tinggi dari akal, karena setiap yang dianggap al-Lubb sudah pasti disebut akal, akan tetapi tidak semua akal dapat dianggap al-Lubb, dan posisi al-Lubb bisa digambarkan sebagai akal yang ada pada tingkatan paling tingggi dan murni (tidak tercampur dengan apapun), dan karena sebab inilah segala sesuatu dalam al-Qur'an dinisbatkan kepada uli al- Albâb yang tidak akan ditemukan kecuali oleh tingkatan akal paling tinggi, sebagaimana asal kata al-Lubb secara bahasa berarti "isi yang paling dalam dari
buah-buahan karena tidak tercampur dari kulitnya." 14 Kata al-Lubb yang terdapat pada ayat tersebut oleh Makarem al-Syirazi,
selain ditafsirkan sebagai nama lain dari akal, juga suatu isyarat tentang penciptaan langit-bumi dan pergantian malam-siang yang menunjukkan adanya Allah swt., dan menemukan tanda-tanda itu adalah sesuatu yang mudah bagi uli al-Albab. 15
Al-Qur'an juga menyebutkan akal sebagai sumber makrifat dengan penyebutan al-Fu`âd. Penyebutan ini dijelaskan dalam teks Q.s. al-Nahl/16 ayat
Artinya: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (Q.s. Ali Imran/4 : 190)
14 Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab. Cet. 1. Jld. 1. h. 733; lihat juga, Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 500; lihat juga,
Fakhruddin al-Thirihi, Majma al-Bahrain. Juz. 2., h. 165. 15 Yang dimaksud uli al-Albab ialah para ulama yang senantiasa mencurahkan segala
akalnya, menjauhkan diri dari tenggelam terhadap dugaan (angan-angan), memahami keteraturan penciptaan, melihat keindahan sang Pencipta dari semua hasil ciptaan-Nya, dan demikian inilah yang akan membuka tentang urgensi akal sebagai jalan untuk bermakrifat kepada Allah swt. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 147.
16 Q.s. al-Nahl/16 ayat 78 :
Kata al-Fuad pada kalimat al-af`idah ayat di atas berasal dari kata fa`ada yang secara asal bermakna "meletakkan roti di atas bara api" atau "membakar roti atau daging di atas kerikil panas agar roti itu enak (gurih) pada saat dimakan
seperti layaknya seseorang memanggang daging." 17 Berdasarkan makna bahasa tersebut, Makârem al-Syîrâzî menjelaskan
istilah ini ketika akal telah menerima objek dengan matang dan terkunyah maka hal itu disebut sebagai fu`âd, yang memiliki bentuk jamak af`idah seperti yang
digunakan dalam redaksi al-Qur'an di atas. 18 Penjelasan tentang makna al-Fuad ini didukung oleh al-Raghib dalam al-Mufradât menyebutkan bahwa al-Fuad
adalah hati yang bersinar dan bercahaya. 19 Bahkan, ayat ini ditafsirkan Makârem al-Syirazi sebagai isyarat yang
menjelaskan media-media atau perantara seseorang untuk bermakrifat kepada Allah swt. setelah menguraikan kondisi manusia keluar dari rahim sang ibu dalam
keadaan tidak mengetahui apa-apa, maka ayat ini pada akhirnya dimulai dengan al-Sam'u yang dapat mentransfer berbagai ilmu yang kemudian disebut ilmu-ilmu hikayat (sekarang; sejarah), al-Abshâr (kemampuan melihat dengan mata hati) yang dapat membedakan objek setelah diperhatikan secara mendalam, al-Af`idah yang dapat menemukan hakikat-hakikat tanpa melalui penginderaan dan fungsi sesuai dengan perkataan; "al-Fu`âd itu ialah akal yang kematangannya adalah
paling tinggi dari tingkatan akal." 20 Dengan demikian, penafsiran Makarem al-Syirazi terhadap Q.s. al-Nahl/16
ayat 78 menggambarkan tentang akal yang diisyaratkan oleh penggunaan bahasa al-Qur'an, yakni al-Af`idah. Ia adalah media atau sarana yang dianugerahkan Allah swt. untuk manusia agar dapat bermakrifat kepada-Nya setelah melalui proses mendengar, mentransfer, mengamati, menganalisa dan sebagainya.
Artinya: "Dan Allah swt. mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu senantiasa bersyukur."
17 Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab. Cet. 1. Jld. 3, h. 328; lihat juga, Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 414; lihat juga,
Muhammad Murtadha al-Husaini al-Wasithi al-Zubaidi, Syarh al-Qamus al-Musamma Taj al- 'Arus min Jawahir al-Qamus. Juz. II. (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), h. 447.
18 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 141. 19 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 414. 20 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 147.
Al-Qur'an juga menyebutkan akal sebagai sumber makrifat dengan bahasa qalb, sebagaimana teks Q.s. al-Qaf/50 ayat 36-37. 21
Kata al-Qalb pada ayat di atas secara asal oleh Makarem al-Syirazi, diartikan sebagai "berubahnya sesuatu hal dan berpindah," dan biasanya kata qalb memiliki dua makna, yaitu; pertama, qalb yang berarti anggota tubuh yang memompa darah ke seluruh tubuh, dan kedua, qalb yang berarti ruh, akal, ilmu, pemahaman dan perasaan, dan makna ini mutlak ditinjau dari sebuah orientasi bahwa hati jasmaniah dan hati ruhaniah ada dalam satu gerakan dan perubahan yang berkesinambungan." 22
Bahkan Makârem al-Syîrâzî juga menggambarkan qalb sebagai pusat segala hal laksana pusat laskar atau bala tentara, karena hati merupakan pusat dari jasmani dan ruh seseorang, dan semua ini telah dijelaskan dalam kamus bahwa
(tempat) kemurnian segala sesuatu itu dapat disebut qalb. 23
Lebih jauh, makna kata qalb juga ditafsirkan dengan "akal" bagi siapapun yang mendengar dan menyaksikan tentang kaum-kaum kuat yang nyata-nyata telah hancur disebabkan kesewenang-wenangan mereka sendiri, sehingga akhir ayat di atas seolah-olah mengatakan; "sesungguhnya pada kemulian [lalu kebinasaan mereka] terdapat peringatan bagi siapapun yang memiliki qalb (akal), atau yang menggunakan pendengarannya sebagai nasihat, pada hal dia
menyaksikannya." 24 Dengan demikian, penafsiran di atas menegaskan bahwa tidak saja akal itu
sebagai pusat dari anggota jasmani dan ruhani seperti yang dijelaskan secara
21 Q.s. Al-Qaaf/50 : 36-37 :
Artinya: "Dan berapa banyaknya umat-umat yang Kami binsakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan) telah pernah menjelajah di bebrapa negeri. Adakah mereka mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?. "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya."
22 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 141-142. 23 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 141-142. 24 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 147.
bahasa tapi juga akal menjadi titik sentral pada saat seseorang tidak menemukan jalan keluar ketika dihadapkan atau mendengar dan menyaksikan kemulian kaum- kaum terdahulu di satu sisi, dan di sisi lain ia juga menyaksikan kehancuran kaum-kaum terdahulu disebabkan kesewenang-wenangan mereka di muka bumi ini. Karena itu, jika akal telah difungsikan seperti demikian adanya, maka sangatlah mudah ia menjadi alat atau perantara untuk bermakrifat (ma'rifatullah).
Al-Qur'an juga menyebutkan akal sebagai sumber makrifat dengan bahasa al-Nuhâ. Penyebutan ini dijelaskan dalam Q.s. al-Thaha/20 ayat 54. 25
Kata al-Nuha pada kalimat li ulin-nuhâ ayat di atas secara pola kalimat bahasa Arab mengikuti bentuk sa'ya, yang berarti "terhindar atau menghindar dari sesuatu yang bisa diperoleh atau didapatkan," dan makna ini memiliki kesesuaian dengan mayoritas para imam bahasa (al-Aimmat al-Lughat) yang menamakan akal sebagai nuhâ atau al-Nuhâ, karena ia dapat mencegah dari perbuatan-
perbuatan buruk dan jahat. Bahkan penafsiran kata nuhâ dalam ayat tersebut tidak dimaknai secara sempit oleh Nasher Makarem al-Syirazi tapi juga dianggap sebagai isyarat bahwa tentang kehidupan pada umumnya dan tumbuhan-tumbuhan pertanian yang ada ditanah atau di bumi ini yang dapat dimakan oleh manusia dan hewan, dan ayat ini juga menunjukkan kepada tanda-tanda kekuasaan Allah swt. yang hanya bisa dipahami dan ditangkap oleh orang-orang yang memiliki akal (al-Ashab al-Nuhâ), juga mengisyaratkan bahwa nuhâ atau al-Nuhâ ialah akal yang dapat menahan
seseorang dari perbuatan jahat. 27 Dengan demikian, jika dilihat dari penafsiran yang diungkapkan maka
yang dimaksud nuhâ atau al-nuhâ ialah akal, dan karena ia dapat menemukan dan
25 Q.s. Thaha/20 : 54 :
Artinya: "Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu, sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekauasaan Allah bagi orang-orang yang berakal." 26
Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 563-564; lihat juga, Fakhruddin al-Thirîhi, Majma al-Bahrain. Juz. 1., h. 425-426; lihat juga, Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhûr, Lisan al-'Arab. Cet. 1. Jld. 15, h. 346; lihat juga, Muhammad Murtadha al-Husaini al-Wâsithi al-Zubaidi, Syarh al-Qâmûs al-Musamma Taj al-'Arûs min Jawâhir al- Qâmûs. Juz. II., h. 380-381.
27 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 148.
menangkap tanda-tanda kekuasaan Allah swt., seperti adanya kehidupan tanah dan tumbuh-tumbuhan yang diperuntukkan atau dimanfaatkan bagi manusia sendiri. Menemukan, menangkap, dan memanfaatkan kehidupan atau penghidupan yang ada di sekitarnya merupakan satu langkah awal seseorang untuk bermakrifat kepada-Nya.
Al-Qur'an juga menyebutkan akal sebagai sumber makrifat dengan bahasa shadr atau al-Shudûr. Penyebutan ini dijelaskan dalam Q.s. al-'Ankabut/29 ayat
49. 28 Kata al-Shadr atau shadr pada kalimat fî shudûr ayat di atas secara asal diartikan sebagai "bagian depan yang berada di bawah kepala (dalam jasad/
tubuh)," dan atas dasar makna ini maka semua bagian yang paling tinggi dan paling terdepan untuk sesuatu apapun dapat disebut sebagai shadr. Hal serupa juga ketika kata shadr disandingkan dengan kata al-Majlis [shadr al-Majlis] yang berarti "pusat majlis", shadr disandingkan dengan al-Kalâm [shadr al-Kalâm]
yang berarti "inti pembahasan," shadr disandingkan dengan al-Nahar [shadr al- Nahar] yang berarti "siang" (tengah hari). 29
Ketika kata shadr secara bahasa memiliki arti yang beragam maka pada saat yang sama istilah al-'Aql didefinisikan juga oleh Makarem al-Syirazi sebagai anggota tubuh yang paling penting dan berada di bagian paling tinggi dari organ tubuh manusia, dan gambaran inilah yang dimaksud shadr, sedangkan yang dimaksud hati jasmaniah [al-Qalb al-Jasmâni] terletak di tengah-tengah al-Shadr
(anggota tubuh yang terkenal dari organ badan). 30
Karena itu, istilah al-Shudûr pada ayat di atas secara sederhana ditafsirkan Makarem al-Syirazi sebagai alat rekam yang dapat menangkap ayat-ayat yang agung (al-Qur'an), dan keistimewaan ini diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki Allah swt. untuk diberi atau dianugerahi ilmu, atau dalam bahasa
28 Q.s. al-'Ankabut/29 ayat 49 :
Artinya: "Sebenarnya, al-quran adalah ayat-ayat yang nyata didalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim."
29 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 309-310; lihat juga, Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab. Cet. 1. Jld. 4, h. 445-446.
30 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 142.
lain, tanda-tanda kekuasaan-Nya tertanam di dada (hati) orang-orang yang di berikan ilmu. Karena itu, kata "shadr" di ayat ini berarti bagian muka dari segala sesuatu, dan hal ini menunjukkan bahwa akal dapat dianggap sebagai bagian dari sumber-sumber penting untuk bermakrifat juga menggambarkan betapa paling mulianya bagian yang ada dalam diri manusia. 31
Dengan demikian, penegasan shadr atau al-Shudûr selain ditujukan sebagai bagian organ tubuh manusia yang paling sempurna tapi juga sebuah alat yang dapat menangkap atau merekam ayat-ayat mulia Allah swt. dan pada saat yang sama ia juga menjadi media manusia untuk makrifat kepada-Nya.
Al-Qur'an juga menyebutkan akal sebagai sumber makrifat dengan bahasa rûh atau al-Rûh. Penyebutan ini ditegaskan dalam Q.s. Al-Hijr/15 ayat 29. 32 Kata rûh atau al-Rûh pada kalimat min rûhî secara asal berarti "napas" atau "bernapas," dan makna ini dalam ayat tersebut memiliki keterkaitan erat
antara "bernapas" dan "hidup", dan kata rûh atau al-Rûh juga bermakna "jiwa" (al-Nafs), "pusat akal," dan "pemahaman tentang manusia." 33 Sedangkan sebagian yang lain membedakan antara makna rûh dan makna rîh dengan mengatakan, baik kata al-Rûh maupun al-Rîh keduanya berasal dari satu derivasi, dinamakan al-Rûh karena ia ada-nya sendiri, tanpa yang lain, dan sekiranya sifat ini ditemukan pada
al-Rîh karena ia hidup, bergerak, dan tidak terlihat. 34
Kemudian, yang dimaksud ruh dalam ini ialah rûh ilâhiyah yang tidak lain merupakan akal yang berharga (jauhar al-'Aql), karena kata ini dalam penggunannya bermakna sebagai "sesuatu yang penting dan mulia" disebabkan penyandarannya atau disandingkan dengan kalimat Allah swt., sehingga bisa dibedakan antara Dzat Allah swt. dan ruh, Ia bukan ruh dan juga bukan jasad,
31 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 148. 32 Q.s. Al-Hijr/15 ayat 29 :
Artinya: "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ruh kedalamnya (ciptaan-Ku), maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud."
33 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 142.
34 Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhûr, Lisan al-'Arab. Cet. 1. Jld. 2, h. 455-468; lihat juga, Muhammad Murtadha al-Husaini al-Wasithi al-Zubaidi, Syarh al-Qamus al-
Musamma Taj al-'Arus min Jawahir al-Qamus. Juz. II., h. 147-154.
sebagaimana seluruh malaikat tunduk kepada Adam as., dan jika tidak maka tentunya unsur penciptaan Adam as. yang terdiri dari debu dan tanah tidak akan ada harganya. 35
Dengan demikian, penegasan akal dengan bahasa rûh selain sebagai pembeda antara substansi angin dan ruh itu sendiri, antara dzat Allah swt. dan ruh, dan sebagainya juga menjadi media atau perantara manusiu untuk bermakrifat kepada Allah swt., bahkan pemakaina al-Qur'an dengan ungkapan rûh juga menunjukkan betapa pentingnya akal yang ada pada manusia.
Al-Qur'an juga menyebutkan akal sebagai sumber makrifat dengan bahasa nafs atau al-Nafs. Penyebutan ini dijelaskan dalam Q.s. al-Syams/91 ayat 7-8. 36
Kata nafs atau al-Nafs pada kalimat wa nafsin ayat di atas secara bahasa berarti "ruh atau jasad yang hidup dan semua manusia memiliki nafs baik laki-laki maupun perempuan termasuk Nabi Adam as. mahluk yang pertama diciptakan." 37
Sedangkan penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi terhadap makna kata itu mengikuti penjelasan al-Qur'an yang menuturkan istilah nafs menjadi tiga tingkatan, yakni al-Nafs al-Ammârah, al-Nafs al-Lawwâmah, dan al-Nafs al- Muthma`innah. 38
Karena itu, ayat tersebut memberikan isyarat tentang adanya penciptaan "al-Nafs" yang tidak lain ialah ruh dan akal itu sendiri, dan semenjak diciptakan Allah swt. istilah al-Nafs telah memberikan dua potensi (jalan); potensi jahat (fujûr) dan potensi baik (taqwâ), dan dua jalan ini merupakan sekilas pelajaran
35 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 148. 36 Q.s. al-Syams/91 ayat 7-8 :
Artinya: "Dan jiwa serta penyempuranaannya (ciptaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."
37 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 557; lihat juga, Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab. Cet. 1. Jld. 6, h. 234-235; lihat
juga, Abu 'Abd. al-Rahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahîdî, Kitab Al-Ain. Juz. 7., h. 270. 38 Al-Nafs al-Ammarat ialah nafs yang memerintahkan manusia untuk berbuat maksiat
dan menyenangi perbuatan tersebut. Al-Nafs al-Lawwamat ialah nafs yang senantiasa mengupayakan kepada manusia untuk berbuat maksiat meskipun ia juga mencaci perbuatan yang dilakukannya tersebut. Sedangkan al-Nafs al-Muthmainnat ialah nafs yang memerintahkan atau memutuskan keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan hingga mencapai tingkat ketenangan (marhalat al-Ithminan). Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I.,
h. 143.
penting dan baik bagi kemampuan fitrah yang telah membekali manusia sejak awal penciptaan hidupnya. 39
Dengan demikian, dari ungkapan-ungkapan di atas menjelaskan bahwa setiap tema dari tema kedelapan ayat yang telah digunakan di al-Quran mengisyaratkan tentang setiap bagian menggambarkan akan kemuliaan akal, dan ayat ini telah menunjukkan isyarat pada tiap-tiap bagian yang diistilahkan juga menggambarkan bahwa akal itu sangat berharga dan mulia, bahkan tema kedelapan ayat yang bermacam-macam ini menjadi sumber penting bagi manusia untuk bermakrifat kepada Allah swt.
Selain menggambarkan akan kemuliaan akal, uraian-uraian yang telah disebutkan juga menjelaskan bahwa banyak mufradat (kosa kata) al-Qur'an yang digunakan sebagai isyarat untuk menunjuk kepada kedudukan akal manusia. Apa yang telah dibahas di atas semuanya merupakan pembahasan kemuliaan akal
(jauhar al-'Aql), dan masih banyak bahasan ayat-ayat al-Qur'an tentang kewajiban dan tugas akal yang berhubungan dengan tema dan semuanya saling menguraikan
tentang kegiatan atau tugas akal. Seperti Q.s. Al-Baqarah/2 : 221 40 salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut.
Kata al-Dzikr dalam kalimat la'allahum yatadzakkarûn pada ayat di atas berarti "lawan" atau "kebalikan dari lupa" sebagaimana makna yang diberikan al- Raghib yang menganggap al-Dzikr sebagai satu kondisi atau keadaan seseorang yang mungkin saja mengerti atau hapal terhadap sesuatu yang ia lihat dan ada di hadapan hatinya pada saat ia menginginkan sesuatu tersebut, dan makna inilah yang menggambarkan kesempurnaan hati yang pernah dihasilkan melalui proses
pengucapan atau perasaan. 41 Sementara Makarem al-Syirazi menafsirkan istilah al-Tadzakkur dalam
ayat tersebut sebagai tujuan dari sebagian penjelasan tanda-tanda kekuasaan Allah
40 Q.s. Al-Baqarah/2 : 221 : Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 148-149.
Artinya: "…dan Allah swt. menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."
41 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 200-202.
swt., dan dalam istilah "al-Tazdakkur" juga menyimpan makna tentang pemeliharaan apa yang terbesik di dalam hati yang merupakan salah satu yang terpenting dari tugas akal, bahkan ketika "al-Tadzakkur" ini tidak menghasilkan
faidah sedikitpun maka tidak ada gunanya manusia tersebut memiliki ilmu. 42 Karena itu, ungkapan-ungkapan yang berbeda di dalam al-Qur'an tentang
istilah tersebut akan terbantu penyebutan maknanya melalui "la'alla" yang berarti menjelaskan tujuan yang ingin dicapai di satu sisi, dan di sisi lain, "la'alla" juga terkadang menjelaskan tema yang berkenaan dengan metode ungkapan makna hinaan dan cacian seperti dalam kalimat afalâ tatadzakkarûn (apakah kamu tidak
dapat mengambil pelajaran [daripadanya]?). 43 Demikian juga ketika menjelaskan ungkapan metode makna celaan seperti
ditujukan pada mereka yang tidak memanfaatkan akal dan pikirannya sehingga tidak menjaga kebenaran-kebenaran dan mereka juga tidak dapat mengambil
pelajaran, sebagaimana disebutkan dalam ungkapan; qalîlan mâ tadzakkarûn (sedikit sekali di antara mereka yang telah mengambil pelajaran). 44
Dengan demikian, jika secara bahasa kata tadzakkarûn menjelaskan tentang gambaran seseorang yang mengerti atau paham setelah melalui proses penginderaan maka kata itu juga memiliki arti tujuan yang beragam sesuai konteks dan potongan makna ayat sebelumnya. Demikian pula apabila kata tersebut menggunakan atau disandingkan dengan kata la'alla maka kata itu selain akan menunjukkan makna yang memudahkan tentang suatu tujuan atau harapan ke depan seseorang, juga menunjukkan makna ungkapan hinaan dan celaan.
Yang tidak kalah penting ialah pada saat kata tersebut memiliki arti kontribusi makna yang berbeda maka pada saat yang sama makna itu juga menggambarkan satu aktivitas dan tugas akal yang diberikan Allah swt. kepada mahluk-Nya, yakni manusia.
42 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 149. 43 Paling tidak terdapat beberapa ayat al-Qur'an yang menyebutkan redaksi afalâ
tatadzakkarûn, antara lain 1) Q.s. al-An'am/6 : 80, 2) Q.s. Hud/11 : 24, 3) al-Mukminun/33 : 85, dan 4) al-Shaffat/37 : 155. lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 149.
44 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 149.
Dalam ayat lain, al-Qur'an juga menyebutkan perbuatan, aktivitas atau tugas akal dengan bahasa al-Fikr atau al-Tafakkur. Penyebutan ini dijelaskan dalam Q.s. Al-An'am/6 ayat 50. 45
Kata al-Fikr atau al-Tafakkur pada kalimat afalâ tatafakkarûn secara sederhana diartikan sebagai "perbuatan-perbuatan akal," dan makna ini didasarkan pada pendapat al-Raghib yang mengatakan bahwa al-Fikr atau al-Tafakkur ialah "potensi" atau kekuatan yang akan mendatangkan kepada ilmu hingga menjadi sesuatu yang biasa diketahui, dimengerti, dapat dipahami, dan menjadi biasa adanya. 46
Makna tersebut dianggap sesuai oleh Makârem al-Syîrâzî karena memperkuat sebagian keyakinan ahli filsafat yang menganggap hakikat al-Fikr itu tersusun dari dua gerak; gerak pengantar yang kemudian dilanjutkan gerakan kedua, yakni gerakan pengantar menuju kepada suatu hasil atau konklusi dan dua
gerakan ini akan menumbuhkan kepada ilmu dan makrifat, dan ini pula yang seringkali dikenal dengan sebutan al-Fikr. 47
Bahkan penyebutan al-Tafakkur setelah kalimat istifham inkar seperti Qul hal yastawî al-A'mâ wa al-Bashîr yang kemudian diakhiri dengan afalâ tatafakkarûn menunjukkan adanya sebuah aktivitas berpikir sebagaimana telah diungkapkan bahwa berpikir adalah menganalisa dan menguraikan bagian-bagian masalah hingga mencapai kedalaman atau akar masalahnya yang merupakan jalan pemahaman terhadap sebagian besar dan yang paling utama (lebih baik). 48
Karena itu, penelusuran Makârem al-Syîrâzî menyebutkan, banyak sekali ungkapan dalam al-Qur'an tentang objek ini, dan al-Qur'an sendiri terkadang menggunakan ungkapan seperti la'allakum tatafakkarûn (Q.s. al-Baqarah/2 : 219), atau li qaumi yatafakkarûn (Q.s. Yunus/10 : 24), (Q.s. al-Ra'd/13 : 31), (Q.s. al-
45 Q.s. Al-An'am/6 ayat 50 :
Artinya: "Katakanlah; "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"
46 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 430. 47 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 144. 48 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 150.
Nahl/16 : 11), atau juga awa lam yatafakkarû fî anfusihim seperti dalam Q.s. al- Rum/30 ayat 8. 49
Dengan demikian, baik makna secara bahasa maupun makna secara Qur'ani, kata atau istilah al-Tafakkur dengan berbagai variasi penggunaan dan maknanya menunjukkan adanya aktivitas atau tugas akal. Hanya saja apabila kata atau istilah itu disandingkan atau menggunakan kalimat istifham inkar maka implikasi maknanya berbeda dengan kalimat yang tidak menggunakan kalimat istifham inkar, akan tetapi keduanya tetap menunjukkan aktivitas dan tugas akal manusia, yakni al-Fikr atau al-Tafakkur (berpikir).
Al-Qur'an juga menyebutkan perbuatan, aktivitas atau tugas akal dengan bahasa al-Fiqh atau al-Tafaqquh. Penyebutan ini ditegaskan dalam Q.s. Al-
An'am/6 ayat 65. 50 Kata al-Fiqh atau al-Tafaqquh pada kalimat yafqahûn di ayat tersebut
secara singkat oleh Ibn al-Manzhur diartikan sebagai al-Fahm yang berarti "paham" atau "pemahaman." 51 Berbeda dengan al-Raghib yang mengartikan kata al-Fiqh dengan lebih luas, yakni mengedapankan atau memperlihatkan sesuatu yang samar dengan bantuan (melalui) sesuatu yang zahir dan nyata, dan atas dasar makna ini al-Fiqh dapat disebut sebagai ilmu yang menghasilkan dalil-dalil, atau dalam artian lain bahwa istilah al-Fiqh itu bersifat perilaku yang tidak lain adalah
ilmu yang membahas tentang hukum-hukum Islam. 52 Sementara Makarem al-Syirazi menafsirkan istilah al-Fiqh dalam ayat di
atas sebagai pemahaman yang mendalam terhadap berbagai bukti atau tanda-tanda kekuasaan Allah swt. setelah Ia memerintahkan kepada mahluk-Nya agar
49 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 150. 50 Q.s. Al-An'am/6 : 65 :
Artinya:"…Perhatikanlah betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih-berganti agar mereka memahaminya."
51 Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab. Cet. 1. Jld. 13, h. 522.
52 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 430.
senantiasa memperhatikan tanda-tanda tersebut, dan karenanya pada ayat ini diakhiri dengan la'allahum yafqahûn yang berarti pemahaman mendalam. 53
Dari tafsiran yang diberikan Makarem al-Syirazi mengindikasikan sebuah penjelasan bahwa ia mencoba menggabungkan kedua makna yang diberikan ahli bahasa dengan tidak melupakan atau memperhatikan ayat tersebut secara sempurna dan lengkap.
Bahkan, penafsiran terhadap kata al-Fiqh ini tidak saja berlaku pada ayat yang telah disebutkan sebelumnya tapi juga berlaku pada ayat-ayat lain, seperti kata al-Fiqh pada redaksi li qaumi yafqahûn (Q.s. al-An'am/6 : 98), atau pada ayat lain dengan redaksi lau kânû yafqahûn (Q.s. al-Taubah/9 : 81), dan juga ayat lain dengan redaksi bal kânû lâ yafqahûn illâ qalîla (Q.s. al-Fath/48 : 15), dan semuanya ini menjelaskan tentang akal sebagai hal yang terpenting bagi sebuah perwujudan pemahaman dan pemikiran mendasar dalam diri manusia. 54
Jadi, kata al-Fiqh pada beberapa ayat al-Qur'an yang telah disebutkan dapat didefinisikan sebagai menemukan perkara-perkara atau sesuatu yang samar dengan dibantu pengamatan atau penyaksian terhadap perkara-perkara yang tampak dan nyata, dan penemuan seperti ini yang disebut sebagai salah satu
pangkal atau ujung penemuan secara pikiran (akal). 55 Dengan demikian, penyebutan kata al-Fiqh dalam al-Qur'an merupakan
istilah mendasar dari sebuah pemikiran dan pemahaman setelah dilakukan pendefinisian terhadap objek yang samar (abstrak) melalui pengamatan atau menyaksikan objek tampak (konkrit), atau secara singkat dikenal dengan pemahaman mendalam. Pemahaman mendalam yang diintisarikan dari bahasa al- Qur'an semuanya menunjukkan sebagai perbuatan atau tugas akal manusia.
Al-Qur'an juga menyebutkan perbuatan, aktivitas atau tugas akal dengan bahasa al-Syu'ûr. Penyebutan ini dijelaskan dalam Q.s. Al-Baqarah/2 ayat 154. 56
53 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 150. 54 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 150. 55 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 150.
56 Q.s. Al-Baqarah/2 ayat 154
Kata al-Syu'ûr (rasa) pada kalimat tasy'urûn di ayat tersebut secara sederhana dan singkat oleh mayoritas ahli bahasa dimakanai sebagai "ilmu dan makrifat." 57 Definisi ini berbeda dengan yang diberikan al-Raghib yang menganggap al-Syu'ûr sebagai al-Ihsâs atau panca indera secara umum, tanpa menyebutkan panca indera apa yang dimaksudkan. 58
Meskipun terlihat ada perbedaan antara mayoritas ahli bahasa dengan al- Raghib tapi penelusuran Makarem al-Syirazi tetap memiliki maksud yang sama dalam artian al-Syu'ûr ialah al-Ihsâs al-Bâthinî, dan jika demikian maknanya maka penjelasan terhadap makna al-Syu'ûr tidak ada perbedaan yang penting baik
menurut mayoritas ahli bahasa maupun al-Raghib. 59 Bahkan Makarem al-Syirazi juga menganggap penggunaan kata al-Syu'ûr dalam berbagai ayat di al-Qur'an
semuanya menjelaskan tentang al-Ihsâs al-Bâthinî (ilmu), kecuali dalam beberapa tempat lain di al-Qur'an yang tidak menjelaskan hal tersebut, atau dengan kata lain
menjelaskan al-Ihsâs al-Khârijî bukan al-Ihsâs al-Bâthinî yang dimaksud ilmu tersebut. 60
Meskipun demikian, ada pula kata al-Syu'ûr dalam al-Qur'an yang memiliki dua arti, yakni al-Syu'ûr bermakna al-Ihsâs al-Bâthinî juga al-Ihsâs al- Khârijî. Hal ini terlihat pada saat Makarem al-Syirazi menafsirkan ayat tersebut, yakni al-Syu'ûr dimaknai sebagai "perasa atau perasaan" seperti ditegaskan pada ayat di atas yang mengatakan bahwa setelah menjelaskan larangan Allah swt. terhadap orang-orang beriman tentang sebutan orang-orang mati sahid yang disifati dengan kematian maka ayat inipun diakhiri dengan "sesungguhnya mereka itu hidup tapi mereka tidak merasakannya" (innahum ahya walâkin la tasy'urûn), dan keterangan ini menunjukkan makna al-Syu'ûr pada ayat ini dapat bermakna
Artinya: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah swt., (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya." 57
Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab. Cet. 1. Jld. 4, h. 413; lihat juga, Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughat. Cet. 3. Jld. 3. (Mesir : Maktabah al-Khaniji, 1402 H./1981 M.), h. 193.
58 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 294-295. 59 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 144. 60 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 144.
al-Ihsâs al-Zhâhirî atau juga al-Ihsâs al-Bâthinî, dan kedua makna ini terdapat dalam al-Qur'an. 61
Selain makna-makna tersebut, terdapat pula ayat-ayat al-Qur'an yang mencela dalam konteks makna al-Syu'ûr tersebut, 62 sehingga seolah-olah orang
yang tidak mengupayakan akalnya secara al-Syu'ûr dapat dianggap "kurang memfungsikan dan memaksimalkan al-Syu'ûrnya dan yang demikian ini adalah mereka yang tidak pernah merasakan dan mengupayakan al-Syu'ûr mereka (dalam hidup dan kehidupannya).
Dengan demikian, al-Syu'ûr yang terdapat di al-Qur'an memiliki beragam arti. Karena itu, jika kata itu diartikan dengan ilmu dan makrifat maka ini sesuai dengan pendapat mayoritas ahli bahasa. Jika kata itu diartikan dengan al-Ihsâs (panca indera) saja maka masih dapat pula dianggap secara bahasa. Jika kata itu diartikan dengan al-Ihsâs al-Bâthinî dan al-Ihsâs al-Khârijî maka penafsiran ini
sesuai dengan penafsiran yang diharapkan oleh Makarem al-Syirazi, meskipun terdapat pula beberapa ayat al-Qur'an yang mencela tentang aktifitas makna kata al-Syu'ûr jika diperuntukan bagi orang yang tidak memaksimalkan atau mengupayakan akalnya secara al-Syu'ûr itu sendiri.
Terlepas dari semua makna yang ada tentang kata al-Syu'ûr, yang jelas makna-makna tersebut menunjukkan adanya perbuatan akal yang bersifat atau memiliki fungsi al-Syu'ûr sebagaimana yang digambarkan sebelumnya.
Al-Qur'an juga menyebutkan perbuatan, aktivitas atau tugas akal dengan bahasa al-Bashr, al-Bashîrah, atau al-Abshâr. Penyebutan ini dijelaskan dalam Q.s. Al-A'raf/7 ayat 201. 63
61 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 151. 62 Dalam konteks makna al-Syu'ur yang digambarkan oleh al-Qur'an tentunya terdapat di
beberapa titik dalam al-Qur'an, seperti Q.s. al-Syu'arâ'/26 : 113, Q.s. al-Hujurât/49 : 2, Q.s. al- Baqarah/2 : 9, Q.s. Ali Imran/3 : 69, Q.s. al-An'âm/6 : 36 dan 123, Q.s. al-Mu'minûn/23 : 56. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 151.
63 Q.s. Al-A'raf/7 ayat 201:
Artinya: "sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah swt., maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya."
Kata al-Bashr, al-Bashîrat, atau al-Abshâr pada kalimat mubshirûn pada ayat di atas merupakan derivasi dari al-Bashr, dan kata ini memiliki tiga arti; pertama, al-Bashr yang berarti "mata (al-'Ain)," kedua, al-Bashr yang berarti "kekuatan atau potensi mata" (al-Quwwat al-Ain), dan ketiga, al-Bashr yang berarti "kekuatan atau potensi perasaan dan ilmu" (al-Quwwat al-Idrâk). 64 Sebagian pendapat lain mengatakan, yang dimaksud kata al-Bashr secara asal ialah ilmu yang dihasilkan melalui pengamatan panca indera dan penalaran
logika. 65 Karena itu, penelusuran Makârem al-Syirâzî menyebutkan, secara singular
kata al-Bashîrah berarti "perasaan hati dan ilmu", dan makna ini sesuai dengan makna yang diberikan oleh Lisân al-Mîzân yang mengartikan kata itu sebagai "keyakinan hati", sementara sebagian pendapat lain lagi menafsirkan al-Bashîrah
sebagai "kecerdasan hati" (al-Dzakâ' al-Dzihni). 66 Adapun untuk makna yang
terakhir di antara makna al-Bashîrah sebagaimana diceritakan pada Q.s. Yusuf/12 ayat 108. 67
Kemudian, mengenai al-Bashîrat pada Q.s. Al-A'raf/7 ayat 201 di atas, Makârem al-Syîrâzî menafsirkan, setelah Allah swt. memberikan isyarat terhadap orang-orang yang bertakwa, maka seolah-olah ayat itu berbicara tentang kondisi mereka dimana pada saat dicoba oleh berbagai godaan setan maka mereka langsung teringat kepada Allah swt. dan melihat dengan mata batinnya bahkan merasakan kembali hadirnya kebenaran sehingga mereka juga selamat dari
godaan-godaan tersebut. 68
65 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfâzh al-Qur'ân, h. 59-60. Pendapat ini setelah dilakukan penelitian oleh Makârem al-Syîrâzî terhadap kalimat-
kalimat yang terdapat dalam al-Qur'an dan salah satu di antara kalimat itu ialah materi bishr (mâdat bishr). Sayangnya hasil penelitian Makarem al-Syîrâzî tidak disebutkan; apakah didapatkan dari sumber orang lain atau memang penelitiannya sendiri yang kemudian dibukukan tapi tidak disebutkan nama judul buku tersebut, sehingga sumber ini tidak diketahui identitasnya.
67 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 145. Qs. Yusuf/12 ayat 108 :
Artinya: "Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (kecerdasan hati)… "
68 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 151.
Karena itu, baik al-Bashîrat maupun al-Abshâr secara definitif digambarkan sebagai penglihatan, dan penglihatan ini dapat dianggap sempurna jika melalui penglihatan kasat mata (bi wasîthat al-'Ain al-Zhâhirah) yang kemudian disebut penglihatan inderawi (basharan hissiyan), dan demikian pula dapat dianggap sempurna jika dengan perantara mata batin yang kemudian disebut sebagai definisi akal (pikiran), sedangkan yang dimaksud al-Bishr pada ayat Q.s.
Al-A'raf/7 ayat 201 adalah makna yang kedua tersebut. 69
Sebagai salah satu contoh terhadap makna tersebut, Makârem al-Syîrâzî mengungkapkan, terkadang (setiap) manusia menganggap dirinya memiliki
bashîrah seperti ditegaskan dalam Q.s. al-Qiyamat/75 ayat 14, 70 demikian juga bashîrah yang dianugerahkan kepada para rasul dan para pengikutnya
sebagaimana ditegaskan dalam Q.s. al-Yusuf/12 ayat 108. 71 Dua ayat ini menunjukkan al-Bashirat dapat diberikan kepada semua manusia baik kalangan
para Nabi yang merupakan manusia pilihan atau utusan Allah swt. maupun manusia biasa pada umumnya. Hanya saja dalam penerapan fungsi al-Bashirat itu sendiri berbeda secara kualitasnya, khususnya manusia biasa tergantung dengan upaya yang dilakukan seseorang dalam memaksimalkan akalnya yang sudah dibekali fungsi bashirat tersebut.
Meski demikian, Makârem al-Syîrâzî juga berpendapat, kata al-Bashîrat ini dapat digunakan pada semua tempat asalkan dimaknai sebagai suatu pengetahuan yang didapatkan dengan jalan / cara akal (berpikir). 72
69 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 151. 70 Q.s. al-Qiyamat/75 ayat 14 adalah sebagai berikut :
Artinya : "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri." (Q.s. al-Qiyamat/75 : 14)
71 Qs. Yusuf/ 12 : 108, sebagai berikut :
Artinya: "Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik." (Q.s. al-Yusuf/12 : 108)
72 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 151.
Dengan demikian, al-Bashîrat pada kalimat mubshirûn dalam Q.s. Al- A'raf/7 ayat 201 memiliki ragam makna, dan semua makna ini menunjukkan betapa pentingnya bashîrat yang diberikan Allah swt. kepada manusia karena dapat menembus batas-batas atau melihat wujud abstrak melalui penglihatan terhadap wujud konkrit setelah dilakukan penginderaan secara maksimal.
Apalagi al-Bashîrat dapat diberikan kepada siapa saja tanpa terkecuali, dan tidak menutup kemungkinan jika orang yang memaksimalkan dan senatiasa mengasah fungsi bashîratnya maka penglihatannya akan lebih tajam dibandingkan yang lain. Yang tidak kalah penting dan perlu disadari oleh seorang manusia bahwa al-Bashirat ialah salah satu ciri atau sifat dari akal seorang manusia dalam berfirasat (pembacaan secara alam abstrak), dan semuanya ini menunjukan kepada perbuatan dan tugas akal.
Selain yang telah disebutkan tentang perbuatan atau tugas akal, al-Qur'an
juga menyebutkan hal tersebut dengan menggunakan bahasa al-Dirâyah. Penyebutan ini dijelaskan dalam Q.s. Luqman/31 ayat 34. 73
Kata al-Dirâyah pada kalimat tadrî yang disebut dua kali dalam ayat di atas berarti "kecerdasan dalam memahami permasalahan yang abstrak secara terperinci." Sedangkan makna yang diberikan oleh Mu'jam Maqâyis al-Lughat menyebutkan sebagai al-Iltifât ila syai` (mengalihkan / memalingkan kepada sesuatu yang lain), kemudian makna ini juga digunakan untuk arti "pengetahuan tentang sesuatu hal" yang dimaksudkan, sedangkan penyebutan kata al-Dirâyat
yang berulang kali dalam al-Qur'an menunjukkan "pemahaman tentang ilmu." 74 Lebih lanjut perbuatan dan tugas akal oleh Makârem al-Syîrâzî dalam
penggunaannya dibedakan sebagaimana berikut : jika pembahasan secara empirik dan detail dinamakan al-dirâyah, jika pembahasan secara analisis keilmuan
73 Q.s. Luqman/31 ayat 34 :
Artinya: "…Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah swt. Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
74 Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu'jam Maqâyis al-Lughat. Cet. 3. Jld. 2., h. 272-273.
dinamakan al-fikr, jika pembahasan dan pemahaman hal-hal yang bersifat abstrak dengan bantuan indera disebut al-fiqh, jika pembahasan yang timbul dari pengalaman yang dibarengi dengan penjagaan kehadiran hati disebut al-dzikr,
demikian perbedaan penggunaan kata-kata tersebut. 75 Dari sini dapat dikatakan, susunan atau penempatan makna bahasa atau
lafal yang digunakan menunjukkan bahwa setiap lafal yang singular (mufradah) dalam kalimat bahasa Arab akan menempati pada tempatnya dan setiap lafal akan sesuai pada tempatnya masing-masing.
Bahkan makna al-Dirâyah saja secara asal kata yang telah disebutkan sebelumnya juga menunjukkan ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah yang digunakan di al-Qur'an itu menjelaskan signifikansi akal manusia yang memiliki
beberapa tingkatan (hirarkis), antara lain : 76 1) Al-Syu'ûr (yakni menemukan atau sebatas pendefinisian yang melimpah ruah terhadap sebuah objek); 2) Al-Fiqh
(yakni mendefinisikan masalah-masalah yang sifatnya masih samar [abstrak] dari sesuatu yang sifatnya jelas / tampak [konkrit]; 3) Al-Fikr (yakni menganalisis secara akal [logika]); 4) Al-Dzikr (menjaga dan senantiasa melekat dalam hati); 5) Al-Nuhâ (yakni dapat menemukan atau mendefinisikan terhadap hal-hal yang sifatnya substantif, dan 6) Al-Bashîrat (yakni pengamatan hati yang mendalam).
Penjelasan inilah yang disebut dalam kajian bahasa Arab sebagai makna balaghah dan fushah (al-Balâghah wa al-Fashâhah). Selain pemaknaan secara bahasa di atas, Makârem al-Syîrâzî menafsirkan kata al-Dirâyat pada ayat itu sebagai suatu kecerdasan, pengetahuan, dan penguasaan terhadap masalah-masalah yang sifatnya masih abstrak dan tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, atau dalam artian yang lain, sifatnya masih gaib seperti apa yang akan dilakukan seseorang di waktu besok dan di mana seseorang
akan mati. 77
76 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 145. Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 145-146. 77 Untuk lebih jelas mengenai bahwa akal yang memiliki fungsi dirâyat dapat menangkap
hal yang abstrak dan bersifat gaib seperti apa yang akan dilakukan seseorang esok hari, dan di mana seseorang akan mati. Agar contoh yang diberikan Makârem al-Syîrâzî tidak janggal dan pada 'wilayah' mana yang dimaksud dengan informasi al-Qur'an yang menyebutkan bahwa ada lima hal gaib yang tidak diinformasikan kepada manusia (hanya Allah semata yang mengetahui,
Karena itu, penggunaan kata al-Dirâyah dalam al-Quran selalu menggunakan bentuk kalimat penegasian , dan penggunaan istilah ini menunjukkan bahwa kata al-Dirâyat merupakan tahap atau tingkatan yang paling mendalam dari proses pemahaman dan pendefinisian akal hingga setiap orang tidak akan dapat mencapainya. 78
Dengan demikian, tidak saja kata al-Dirâyat itu memiliki berbagai makna sebagaimana lazimnya setiap mufradat Arab yang secara asal memiliki beberapa arti sesuai dengan penempatan dan penggunaannya yang cocok tapi juga kata itu memiliki perbedaan dengan yang lain (seperti; al-Syu'ûr, al-Fiqh, al-Fikr, al- Dzikr, dan al-Nuhâ) yang juga sama-sama menunjukkan kepada perbuatan atau tugas akal manusia yang diberikan oleh Allah swt. sebagai Maha Penciptanya.
Dari penjelasan-penjelasan yang telah disebutkan baik ayat-ayat yang membahas kedudukan akal maupun aktivitas atau perbuatan akal dapat ditarik
benang merah bahwa al-Qur'an mengungkapkan akal sebagai sumber utama untuk bermakrifat dengan berbagai keutamaannya, mengajak kepada setiap manusia untuk menggunakan akal dan senantiasa berpikir dalam segala hal, memperhatikan dan memprioritaskan tentang materi atau substansi berbagai "ruh" yang pada puncaknya terbagi menjadi berbagai macam dan ini saling menguatkan satu sama lain, bahkan mengungkapkan semangat "ruh" dalam berbagai macam yang mengungkapkan definisi yang ekstensif.
Meski demikian, al-Quran juga tetap menggarisbawahi tentang beberapa larangan yang menghawatirkan terhadap penggunaan akal tidak pada tempat dan pengetahuan yang dibenarkan.
seperti kapan terjadi kiamat, kapan turun hujan, apa dan siapa yang di dalam rahim seorang ibu, akan melakukan apa besok, dan kapan atau di mana seseorang akan mati. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 152. Bahkan pengetahuan tentang lima hal gaib yang hanya diketahui Tuhan, dalam penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi baik terhadap tafsir Sunni maupun tafsir Syiah tidak ada perselisihan. Hal ini tercermin dari hadis yang dirujuknya bersumber dari tafsir al-Durr al-Mantsur yang bernotabene Sunni dan tafsir Nur al-Tsaqalain yang bernotabene Syiah, meskipun ada sedikit redaksi hadis yang berbeda. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. IV., h. 72-73; lihat juga, 'Abd. al-Rahman al-Kamal Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma`tsûr. Cet. 1. Jld. 6. (Beirut : Dar al-Fikr, 1403 H./1983 M.), h. 531-532; lihat juga, 'Abd. 'Ali Jum'at al-'Arusi al-Huwayzi, Tafsir al-Nur al-Tsaqalain, telah ditahqiq oleh sayyid 'Ali 'Asyur. Jld. 5. Cet. 1., (Beirut : Muassasat al-Tarikh al-'Azabi, 1422 H./2001 M.), h. 440-442.
78 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. I., h. 152.
a.2. Motivasi Akal, Kecenderungan (Naluri), dan Fitrah sebagai Motivasi Mengenal Tuhan
Jika pada sub sebelumnya menjelaskan akal sebagai salah satu sumber makrifat kepada Allah swt., maka di bagian ini akan diungkapkan beberapa motifasi atau dorongan seseorang mengenal Tuhan hingga membahas tentang-Nya. Motivasi yang lebih mendalam ke arah sana merupakan keharusan pertama kali bagi setiap manusia. Apalagi manusia merindukan kesempurnaan, keinginan ini selalu ada pada setiap manusia, ia akan melihat dimana letak kesempurnaan dirinya, maka ia akan menghampirinya ke sana, namun ada juga yang mengejar fatamorgana seolah-olah nyata air di tengah kehausan padahal hanya angan-angan dan khayalan belaka.
Titik tolak seperti ini yang oleh Makârem al-Syîrâzî dinamakan dengan "insting cinta terhadap hal-hal yang mendatangkan manfaat dan menolak
marabahaya", dan insting ini mendorong manusia untuk mendapatkan perlakuan baik pada setiap aspek yang ia inginkan. Bahkan ungkapan kata insting seperti ini tidak dapat diterima begitu saja, karena kata insting itu biasanya diungkapkan untuk hal-hal yang membekas pada tingkah laku manusia dan akan selalu ada tanpa pengaruh pikiran. Oleh karena insting juga digunakan oleh hewan, maka atas dasar ini menurut Makârem al-Syîrâzî lebih tepat menggunakan istilah "kecendrungan suci" (al-Muyûl al-Sâmiyah), istilah ini sering digunakan oleh para ulama. 79
Lebih dari itu, Makârem al-Syîrâzî mengatakan, keinginan manusia untuk mendapat kesempurnaan, kecendrungan kepada hal-hal yang bersifat maknawi dan materi serta menolak segala jenis marabahaya, memaksa manusia untuk lebih teliti pada hal-hal yang bersifat belum pasti, semakin besar hal-hal yang belum pasti itu ada maka keuntungan dan bahayapun semakin besar. Maka atas dasar ini mencari kebenaran secara teliti dan serius adalah wajib hukumnya. Mustahil bagi manusia untuk mendapatkan hasil yang baik dari hal-hal yang belum pasti dalam hidupnya dengan tidak meperhatikan kewajibannya untuk mencari dengan lebih teliti dan seksama terhadap apa-apa yang ada di sekitarnya. Karena itu,
79 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 19.
menurutnya, pemahaman iman kapada Allah dan pembahasan tentang agama dianggap bagian dari masalah-masalah yang tidak diragukan untuk diteliti dan dicari, karena dalam tataran itu ada pembahasan agama yang berkembang yang
berkaitan erat dengan masalah kebaikan dan keburukan manusia. 80 Meski demikian, ada sebagian orang yang memberikan analogi untuk
menjelaskan masalah ini dengan sebuah contoh, yakni penggambaran seseorang yang dalam dorongan dirinya harus memilih antara jalan selamat dan jalan
berbahaya dalam hidupnya. 81 Terlepas dari anggapan sebagian orang di atas, yang jelas secara tegas
Makârem al-Syîrâzî juga mengatakan, tidak ada suatu gerak tanpa penggerak- Nya, tidak mungkin ada suatu dorongan untuk mengenal asal-muasal mikrokosmos tanpa pendorong-Nya, dan dari sini pula para ulama dan filosof (ahli filsafat) menyebutkan tiga dorongan atau motivasi seseorang untuk mencari
Tuhan dan semua ini telah di ungkapkan oleh al-Quran dengan jelas, yaitu 1) motivasi akal, 2) motivasi naluri, dan 3) motivasi fitrah.
Berikut ini akan dijelaskan ketiga motivasi yang telah disebutkan tersebut, antara lain :
1. Motivasi Akal (al-Hafiz al-'Aqli)
Dalam al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang motivasi akal seseorang untuk mencari, mengenal hingga membahas tentang Tuhan. Di antara ayat-ayat yang menerangkan hal tersebut, yaitu
Q.s. al-Anfal/8 ayat 24. 82
80 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 19. 81 Untuk melihat ceritera tentang gambaran di atas secara lengkap lihat, Nasher Makarem
al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 19.
82 Q.s. al-Anfal/8 ayat 24
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan."
Ayat di atas menurut Makârem al-Syîrâzî, mengungkapkan makna tentang ajakan dan seruan Rasul kepada Islam, hidup dan kehidupan hakiki, dakwah ini menunjukkan semua hal yang tercakup pada Islam dalam memahami kehidupan ini yaitu kehidupan maknawi dan kehidupan materi secara keseluruhan. 83
Al-Qurthubi (w. 671 H.) dan Al-Alusi (w. 1270 H.) yang notabene Sunni menafsirkan makna "kehidupan" (yuhyîkum) pada ayat di atas itu
secara khusus dan lebih spesifik, yakni al-Quran, iman atau jihad. 84 Sementara Muhammad Husein al-Thabathabai (w. 1402 H.) menafsirkan
sebaliknya, yakni kehidupan yang mencakup segala kehidupan seperti kehidupan duniawi, baik kehidupan duniawi secara umum maupun khusus dan kehidupan hakiki yang merupakan kebahagiaan manusia yang sangat didambakan dan diharapkan. 85
Makârem al-Syîrâzî nampak sejalan dengan penafsiran yang diberikan al-Thaba`thaba`i dalam memaknai "kehidupan" yang terdapat pada kalimat lima yuhyîkum dalam ayat tersebut, bahkan ia juga mengkhawatirkan terhadap kehidupan itu sendiri karena semua kehidupan baik secara maknawi maupun materi akan berpengaruh dalam kehidupan manusia. 86
Betapa perhatian Makârem al-Syîrâzî dalam masalah kehidupan yang diisyaratkan al-Qur'an. Tidak saja permasalahan kehidupan itu tercakup atau yang diatur dalam Islam saja, tapi juga kehidupan secara maknawi atau materi yang akan memberikan pengaruh dalam kehidupan seseorang, termasuk perilaku seseorang dalam hidup dan kehidupannya.
83 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 20.
84 Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam al- Qur'an. jld. 4. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Ilmiyat, t.th.), h. 247; lihat juga, Mahmud al-Alusi al-
Baghdadi, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azhim wa al-Sab'i al-Matsani (untuk selanjutnya ditulis Tafsir Ruh al-Ma'ani), telah ditashhih oleh 'Ali 'Abd. Al-Bari 'Athiyyah. Cet. 1. Jld. 4. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Ilmiyat, 1422 H./2001 M.), h. 177-178.
85 Muhammad Husain al-Thabathabai, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân. Cet. 5. Jld. 9. (Beirut : Muassasat al-A'lami li Al-Mathbu'at, 1403 H/1983 M.), h. 42-45.
86 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 20.
Bahkan Makârem al-Syîrâzî juga mengkritik penafsiran-penafsiran tersebut dengan pernyataan, jika seseorang mengajak kepada suatu ajakan seperti yang disebutkan sebelumnya maka apakah layak ia berpaling dan tidak mengindahkan ajakan itu, atau apakah yang diajak tidak pernah memperhatikan sebagian kewajibannya sampai ia meneliti secara mendetail terhadap hal itu. Karena itu, yang dimaksud dengan ungkapan "kehidupan" dalam al-Qur'an itu menurut Makârem al-Syîrâzî ialah adanya suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk bergerak lebih teliti dan mendalam tentang seputar agama dalam setiap aspek bagi siapa pun yang
menerima gerak tersebut. 87 Makna itu diamini juga oleh al-Raghib seorang pakar bahasa, yang
memandang arti "kehidupan" dalam ayat di atas tidak lepas dari potongan ayat sebelumnya (al-Istijâbah), karena hal itu dianggap memiliki korelasi,
dan salah satu korelasinya ialah makna hakikat dari kata istijâbat yang berarti upaya dan menerima jawaban secara patuh dan tunduk, bahkan jawaban ini biasanya menjadi akhir dari para penafsir dalam mengartikan istilah al-Istijâbah dengan makna al-Ijâbah di tema ini. 88
Dengan demikian, ayat di atas selain menekankan pada dakwah atau seruan Allah swt. dan Rasul-Nya kepada orang-orang yang beriman terhadap berbagai kehidupan tapi lebih spesifik, baik kehidupan materi maupun maknawi, yang sedang dan akan dialami manusia akan berpengaruh kepadanya, bahkan pengaruh ini lambat-laun akan mendorong atau memotivasinya kepada hal-hal yang sifatnya Hakiki dan Nyata, yakni Tuhan atau Allah swt .
Motivasi atau dorongan akal seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan-Nya dijelaskan juga dalam Q.s. 'Ali 'Imran/3 ayat 163. 89
87 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 20. 88 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 116. 89 Q.s. 'Ali 'Imran/3 : ayat 163 :
Ayat di atas menurut Makârem al-Syîrâzî, menggambarkan ungkapan tentang Nabi yang diutus oleh Allah swt. kepada manusia merupakan sebagian kenikmatan paling besar yang diberikan untuk orang- orang beriman, dan kenikmatan penting yang dititipkan atau diagendakan kepada Rasul ini ada tiga; pertama, membacakan ayat-ayat ketuhanan seperti ditegaskan dalam bunyi ayat yatlu 'alayhim âyâtih, kedua, membersihkan dan menyucikan (akidah sesat dan kekufuran) seperti ditegaskan dalam bunyi ayat wa yuzakkîhim, dan ketiga, mengajarkan kitab dan hikmah seperti ditegaskan dalam bunyi ayat wa yu'allimuhum ul-
Kitab wa l-Hikmah. 90 Lebih jauh, Makârem al-Syîrâzî juga menganggap ketiga agenda
Allah swt. yang dititipkan kepada Rasul ini akan menyelamatkan orang- orang beriman dari kesesatan yang nyata (al-Dhalâl al-Mubîn) seperti
ditegaskan dalam bunyi ayat "wa in kânû min qablu lafî dhalâlin mubîn." Karena itu, semua ungkapan yang digambarkan tersebut merupakan sebagian tujuan yang akan menghidupkan gerak ke arah Islam pada setiap manusia dan sebagian tujuannya menganggap minoritas manusia akan senantiasa menilai dirinya teliti dan mendalam terhadap Islam, karena boleh jadi akan lebih bermanfaat sekaligus berbahaya (mengancam)
seseorang jika hal itu disembunyikan dalam dirinya. 91
Belum lagi, kata "al-Minnah" pada kalimat laqad manna berasal dari manna yang berarti secara asal terputus atau lepas seperti yang diyakini oleh sebagian pendapat, dan atas dasar makna demikian inilah
Artinya : "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar- benar dalam kesesatan yang nyata." (Q.s. 'Ali 'Imran/3 : ayat 163)
90 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 20-21. 91 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 21.
kalimat ajrun ghairu mamnûn (Q.s. al-Thîn/95 : 6) disebut sebagai pahala yang tiada putus-putusnya, dan demikian pula "manna" yang juga diartikan sebagai tetesan-tetesan air di atas pohon laksana tetesan yang meresap dengan rasa manis yang merekat dan menetesi pepohonan tersebut. 92
Meski makna kata itu dianggap jauh, al-Raghib tetap berkeyakinan terhadap kata "manna" yang ada di ayat itu pada mulanya bermakna batu yang dapat digunakan untuk hiasan atau berhias dan segala apapun yang dapat digunakan untuk berhias maka dapat disebut sebagai nikmat yang
berat dan besar. 93 Walau kalangan ulama bahasa menganggapnya terlalu jauh dalam
memaknai kata tersebut, Makârem al-Syîrâzî tetap yakin bahwa ketika mufrad atau singular lafal "manna" itu disandingkan dengan lafal "Allah"
maka makna yang dimaksud ialah manhu al-Ni'am yang berarti Maha Pemberi Nikmat, dan ketika lafal itu juga disandingkan dengan lafal "al- Basyar" maka secara umum makna yang dimaksud ialah al-Tahadduts bi al-Ni'mat yang berarti menceritakan kenikmatan yang diperolehnya karena orang lain, dan dari sinilah makna pertama disebut makna kalimat positif dan makna kedua disebut makna kalimat negasi dan pencelaan. 94
Dengan demikian, ayat di atas menunjukkan tiga kenikmatan Allah swt. (membacakan ayat-ayat ketuhanan, membersihkan dan menyucikan, dan mengajarkan kitab dan hikmah) yang telah dititipkan melalui mahluk pilihan atau manusia utusan-Nya benar-benar diperuntukkan untuk orang- orang yang beriman, dan kenikmatan yang diperuntukkan ini tidak akan terputus seperti ditegaskan pada kalimat laqad al-Manna, dan ayat ini juga dikuatkan pula dengan ayat lain yang berbunyi ajrun ghairu mamnûn (Q.s. al-Thin/95 : 6).
Jika ketiga kenikmatan tersebut dipikirkan, direnungkan khususnya oleh orang-orang yang beriman (seperti yang dimaksudkan dalam ayat)
92 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 21. 93 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 529-530 94 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 21.
dan umumnya semua orang yang ada di jagat raya ini secara mendalam maka tidak menutup kemungkinan akan mendorong mereka untuk bertanya dan mengenali siapa Maha Pemberi Nikmat yang pemberian-Nya itu senantiasa tidak pernah berhenti (berkesinambung), tanpa mengenal siapapun; apakah mereka beriman atau tidak, takwa atau bermaksiat, dan sebagainya.
Motivasi atau dorongan akal seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan-Nya dijelaskan juga dalam Q.s. Al- Hadid/57 ayat 25. 95
Jika ayat sebelumnya (Q.s. 'Ali 'Imran/3 : 163) menegaskan tentang Allah mengutus Rasul kepada manusia itu merupakan sebagian kenikmatan yang paling besar karena mereka telah membawakan tiga hal seperti yang disebutkan sebelumnya maka Makârem al-Syîrâzî
menegaskan ayat ini (Q.s. al-Hadid/57 : 25) tidak saja diutusnya para Rasul itu sebagai kenikmatan yang paling besar tapi juga memiliki tujuan lain, dan di antara sebagian tujuan-tujuannya ialah "al-'Adâlat al- Ijtimâ'iyyah" (keadilan sosial), dan karenanya ketika mereka (para Rasul) menyampaikan dakwahnya kepada umat manusia Allah swt. membekalinya dengan tiga hal, antara lain : 96
1. Bukti-bukti atau hujah-hujah yang jelas termasuk mukjizat dan argumentasi-argumentasi akal seperti ditegaskan dalam bunyi ayat "laqad arsalnâ rusulanâ bil-Bayyinât."
2. Kitab samawi atau lebih dikenal dengan wahyu yang menjelaskan pengetahuan dan kewajiban-kewajiban setiap manusia, dan
95 Q.s. Al-Hadid/57 ayat 25 sebagai berikut :
Artinya : "Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…".
96 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 21-22.
3. Tolak-ukur atau barometer yang digunakan untuk mengukur antara yang hak dan batil, atau antara kebaikan dan kejahatan, atau dalam istilah lain, antara aturan-aturan Tuhan (al-Qawânin al-Ilâhiyat) yang lurus dengan yang tidak lurus atau menyimpang (al-Qaym wa al-Laqîm) seperti ditegaskan dalam
bunyi ayat "wa anzalna ma'ahumu l-Kitab wa l-Mîzan." 97 Karena itu, Nasher Makarem al-Syirazi juga membenarkan kalau
apa yang diungkapkan itu tertulis dalam kitab samawi (wahyu), akan tetapi penyebutan itu terkemas dalam bentuk yang tersendiri dan terpisah karena anggapan tentang Rasul diutus oleh Allah swt. menjadi barometer antara yang hak dan batil, yang lurus dan menyimpang merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Dengan artian lain, bahwa konklusi dari penjelasan di atas adalah apakah mungkin manusia mendengar atau
memperhatikan seseorang yang mengakui adanya kebenaran-kebenaran tapi senantiasa tidak memperhatikan varian-varian kebenaran itu secara
teliti dan mendalam? 98 Apalagi manusia dalam kehidupannya di dunia ini memiliki
tingkatan yang bermacam-macam jika dilihat dari jenis jiwanya. Hal ini tercermin dari argumentasi Makârem al-Syîrâzî setelah mengutip pendapat Fakhruddin al-Razi (w. 604 H.) bahwa : "Manusia itu terbagi menjadi tiga jenis tingkatan; pertama, manusia pada tingkatan al-Nafsu al- Muthmainnah, yakni mereka yang dimaksudkan dalam ayat wa anzalnâ ma'ahum al-Kitab; kedua, manusia pada tingkatan al-Nafsu al-Lawwâmah, yakni mereka adalah golongan atau kelompok kanan yang memerlukan barometer atau analogi baik untuk tujuan pengetahuan maupun tujuan
97 Penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi menyebutkan, kata "al-Mizan" dalam bunyi ayat wa anzalna ma'ahum al-Kitab wa al-Mizan secara asal kosa kata bermakna perantara atau
media, dan dalam konteks makna ini ia juga mengkritik sebagian para penafsir yang memaknai kata itu sebagai makna yang jauh dari makna yang diberikannya, terutama ketika mayoritas para penafsir meninggalkan atau membuang makna yang diberikannya tersebut, bahkan mereka juga mengatakan bahwa yang dimaksud al-Mîzân itu ialah perantara yang membatasi / menjauhkan manusia dari keadilan yang proforsional, dan makna demikian inilah yang oleh Nasher Makarem al-Syirazi dimaksud dalam perkataannya di atas. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al- Qur'an. Juz. II., h. 22.
98 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 22.
akhlaknya agar mereka selamat dan terhindar dari kecerobohan, dan mereka inilah yang dimaksud dalam ungkapan ayat al-Mîzân, dan terakhir atau ketiga, manusia pada tingkatan syariat atau al-Nafs al-Ammârah, yakni mereka yang dimaksudkan dalam ayat wa anzalnâ al-Hadîd adalah kelompok yang berhak atau boleh jadi mendapat siksa dan pahala. 99
Dengan demikian, ayat di atas selain menegaskan tentang terutusnya Rasulullah saw. sebagai salah satu atau sebagian dari kenikamatan Allah swt. yang paling besar bagi orang-orang yang beriman (Q.s. 'Ali 'Imran/3 : 163) tapi juga memiliki tujuan (Q.s. Al-Hadid/57 : 25), yakni bagaimana terciptanya kedilan sosial dalam kehidupan umat manusia dimuka bumi ini melalui terutusnya para Rasul dan Nabi.
Namun demikian, ketika keadilan sosial ingin diharapkan oleh semua umat manusia secara proporsional tapi pada penerapannya naif dan
tak kunjung datang maka tentunya keadilan siapa yang dimaksudkan tersebut, dan hal inilah yang akan mendorong seseorang senantiasa untuk mencari, mengenal, ingin mengetahui keadilan yang hakiki, yakni keadilan Allah swt. yang dibawa atau dititipkan melalui hamba pilihan-Nya (Para Rasul dan Nabi khususnya nabi Muhammad bin 'Abdillah saw.).
Motivasi atau dorongan akal seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan-Nya dijelaskan juga dalam Q.s. Al-A'raf/7 ayat 157. 100
Ayat ini menegaskan isyarat tentang sisi lain yang beragam dari terutusnya para Nabi dan diturunkannya agama-agama samawi, terutama
99 Fakhruddin Muhammad al-Razi, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî al-Musytahar bi al-Tafsir al- Kabir wa Mafatih al-Ghaib (untuk selanjutnya ditulis al-Tafsir al-Kabir). Juz. 29. (Beirut : Dar al-
Fikr, t.th.), h. 228.
Q.s. Al-A'raf/7 ayat 157 sebagai beikut ;
Artinya : "…yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…".
yang berkenaan dengan masalah sosial dan politik, dan pada ayat ini disebutkan pula sebagian sifat-sifat Rasulullah saw. yang menjadikannya sebagai mahluk yang dicintai oleh semua manusia dan panutan bagi mereka seperti ditegaskan sebagian ayat yang telah disebutkan di atas, dan karenanya Nasher Makarem al-Syirazi tidak meragukan hal itu, bahkan ia juga melihat hubungan ayat yang sangat erat dengan kesempurnaan manusia, baik dan buruknya, bahkan kesunyian atau ketiadaan yang dapat mendorong terhadap penjelasan itu hanya bisa dilakukan dengan sebuah penelitian. 101
Salah satu penelitian yang diberikan para ulama tafsir dan ahli bahasa terhadap ayat tersebut ialah kata al-Ishr pada kalimat ishrahum.
Penelusuran mereka menyebutkan, 102 istilah atau kata al-Ishr ini mengikuti bentuk pola seperti mishr yang berarti "ikatan dan menahan
sesuatu dengan segala kekuatan," kemudian kata ini digunakan pula untuk semua istilah beban berat dan pekerjaan-pekerjaan yang melelahkan seseorang hingga menguras energinya, bahkan ketika sebutan gunung- gunung dan paku-paku sebagai pengikat atau tiang patok maka kata yang digunakan (dalam bahasa Arab) ialah Ashâr, dan dari makna inilah kata al- Ishr dalam ayat tersebut bermakna al-'Ahd, al-Wa'd, dan al-Dzanb (janji, ancaman, dan dosa).
Ungkapan-ungkapan tentang makna kata al-Ishr yang diberikan para ulama tafsir dan ahli bahasa ini disimpulkan oleh Makârem al-Syîrâzî dengan sebuah anggapan bahwa kata al-Ishr ialah benda berat yang diikatkan pada kaki narapidana agar ia tidak dapat berlari (bergerak), dan penyebutan istilah ini hingga ke al-Aghlâl yang berarti kalung-kalung
101 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 22-23.
Mereka yang dimaksud di atas ialah ulama tafsir dan ahli bahasa, yakni al-Thibrisi, Fakhruddin al-Razi, dan al-Lusi dari kelompok ulama tafsir, sedangkan dari kelompok ahli bahasa ialah al-Raghib al-Ashfahani dan penulis kamus al-'Ain. Untuk lebih jelas tentang pendapat mereka ini, lihat, Abu 'Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thibrisi, Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an. Juz. 4. (Beirut : Dar al-Ma'rifat, t.th.), h. 750; lihat juga, Fakhruddin Muhammad al-Razi, Tafsir al- Kabir. Juz. 15., h. 22; lihat juga, Mahmud al-Alûsi al-Baghdadi, Tafsir Ruh al-Ma'ani. Jld. 4., h. 77; lihat juga, Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 25-26; lihat juga, Abu 'Abd. al-Rahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahîdî, Kitab Al-Ain. Juz. 7., h. 147.
Bahkan yang tidak kalah penting dari konklusi makna al-Ishr yang diberikan Makârem al-Syîrâzî ialah pada saat ia menelusuri pendapat- pendapat mayoritas para penafsir yang juga dianggap memiliki kesamaan makna dengan ungkapan dirinya, yakni kata "al-Ishr" dan "al-Aghlâl" pada ayat di atas ditafsirkan dengan beban-beban berat dan ujian-ujian sulit yang menimpa umat-umat terdahulu, akan tetapi kedua kata ini secara zahir memiliki pemahaman yang lebih luas dan lebih komplit karena mencakup setiap bentuk penahanan tawanan dan beban berat yang menyebabkan timbulnya kebodohan, menuruti hawa nafsu, melakukan dosa, bertindak diktator, penjajahan dan bentuk-bentuk lain, dan semua ini
terungkap setelah datang atau diutusnya Rasulullah dan ia pun mengajarkan pembebasan dan kemerdekaan dari hal tersebut. 104
Dengan demikian, jika ayat di atas secara umum menegaskan tentang tugas para Nabi dan Rasul seperti memerintah kebaikan, melarang kejahatan, menghalalkan yang baik, dan mengharamkan yang buruk seperti ditegaskan pada ayat yang telah disebutkan maka secara khusus dalam ayat kelanjutannya menegaskan pula tentang masalah sosial dan politik yang secara implisit ditegaskan dalam kata "wa yadha'u 'anhum ishrahum wa al-Aghlâl al-Lati kânat 'alaihim."
Ketika sosial dan politik dipahami secara luas seperti yang diungkapkan Makârem al-Syîrâzî di atas maka tentu tidak akan ada bentuk-bentuk kebodohan, penindasan, kekejaman, kediktatoran, penjajahan, kolonialisme dan sebagainya di muka bumi, dan inilah yang diajarkan sekaligus hikmah diutusnya Nabi dalam pesan ayat di atas. Hal- hal inilah yang kemudian menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan dalam hati umat manusia tentang siapa yang mengajarkan kepada Rasulullah
103 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 23. 104 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 23-24.
saw. dan dari mana datangnya sumber pesan tersebut. Pertanyan- pertanyaan mendasar seperti ini akan mendorong akal seseorang untuk mencari, mengenal, ingin tahu Siapa Sumber Pesan itu dan Siapa Maha Pengajar dari pesan tersebut?, yakni Allah swt.
Motivasi atau dorongan akal seseorang untuk mencari, mengenal, membahas tentang Tuhan-Nya dijelaskan juga dalam Q.s. al-Syu'ara/26 ayat 72, 73 dan 77. 105
Ayat-ayat di atas ini menurut Makârem al-Syîrâzî, menegaskan sebuah pembicaraan atau dialogis antara ucapan Nabi Ibrahim as. dengan para penyembah berhala. Ketika Nabi Ibrahim as. menghancurkan berhala- berhala mereka seraya mengejek perbuatannya yang salah itu, dan perkataan ejekan inilah yang sebenarnya bertujuan membangunkan pikiran mereka yang sedang 'tidur pulas', seperti ditegaskan dalam bunyi ayat "hal
yasmaûnakum idz tad'ûna aw yanfa'ûnakum aw yadhurrûn?!", apalagi pada dasarnya manfaat dari ibadah (penghambaan) itu adalah untuk mendapatkan keuntungan dan manfaat atau menolak marabahaya dan siksaan. 106
Karena itu, pertanyaan atau ucapan Nabi Ibrahim as. kepada para penyembah berhala tidak dapat dijawab dengan baik, bahkan mereka hanya tetap berpegang dan mengikuti para pendahulunya seperti ditegaskan dalam bunyi ayat "bal wajadnâ âbâ`ana kadzâlika yaf'alûn" (sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian) yang
105 Q.s. al-Syu'ara/26 ayat 72, 73 dan 77 sebagai berikut :
Artinya: "Berkata Ibrahim: "Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)? [72], Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?" [73]. …Karena Sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam [77]."
106 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 24.
merupakan kelanjutannya, yakni Q.s. al-Syu'ara/26 ayat 74 yang kemudian diperkuat juga dengan ayat 77 dari surah tersebut. 107
Bahkan, ungkapan-ungkapan tentang kisah para penyembah berhala dalam ayat tersebut oleh Makârem al-Syîrâzî dinilai sebagai motivasi atau dorongan seseorang untuk mendapat manfaat dan terbebas
dari bahaya, 108 dan hal ini pula yang dianggap sebagai pendorong akal seseorang untuk mengenal Allah swt. yang bersifat materi atau bersifat
maknawi. Dengan demikian, penafsiran ayat di atas tidak saja memberikan penjelasan atau gambaran yang sifatnya dialogis antara Nabi Ibrahim dengan para penyembah berhala itu tanpa makna tapi juga makna yang dikandung dalam ayat mendorong akal seseorang mengenal tauhid atau keyakinan tentang Tuhan yang benar, dan akal dan pikiran seseorang yang
senantiasa 'tidur lelap' tidak akan dapat mencapai Tuhan yang hakiki, yakni Rabb al-'Alamin (Q.s. al-Syu'ara/26 : 77)
Motivasi atau dorongan akal seseorang untuk mencari, mengenal, membahas tentang Tuhan-Nya dijelaskan juga dalam Q.s. al-Fushilat/41
ayat 13. 109 Ayat 13 dari surah al-Fushshilat ini menurut Nasher Makarem al-
Syirazi hanya bisa ditafsirkan dengan dua kemungkinan penegasan yang terkandung pada ayat ini; pertama, boleh jadi ayat itu menjelaskan tentang ancaman atau menakut-nakuti orang-orang yang berpaling dari dakwah atau seruan Nabi Muhammad saw. atau bahkan menolaknya sebagaimana al-Walid bin al-Mughirah dan para pemuka Quraish yang lain dan
107 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 24. 108 Adapun bahaya dan manfaat yang dimaksud ialah boleh jadi bahaya dan manfaat
bersifat materi juga maknawi, akan tetapi yang dimaksud oleh ayat di atas ialah manfaat dan bahaya yang sifatnya maknawi, dan yang maknawi inilah yang lebih utama dan lebih tinggi dibandingkan yang sifatnya materi.
109 Q.s. al-Fushilat/41 ayat 13, sebagai berikut :
Artinya : "Jika mereka berpaling Maka Katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan Tsamud." Artinya : "Jika mereka berpaling Maka Katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan Tsamud."
Tauhid. 110 Penafsiran Makârem al-Syîrâzî yang bertolak dari ceritera sebab
turunnya ayat ini dianggap memiliki kesesuaian dengan pendapat al- Majlisi (w. 1111 H.) dan beberapa tafsir lain yang juga menyebutkan
makna dan hikmah tentang sebab turunnya ayat tersebut. 111 Karena itu, menurutnya, baik ancaman maupun sumber-sumber agama yang
termanifestasi dalam ajakan Nabi Muhammad saw. semuanya menjadi pendorong akal seseorang khususnya mereka yang tidak beriman agar
senantiasa bergerak lebih teliti dan mendalam. 112 Dengan demikian, al-Asbâb al-Nuzûl atau sebab turunnya ayat
selain menjadi instrumen sebuah penafsiran tapi juga secara substansi memberikan hikmah kepada seseorang untuk senantiasa lebih teliti dan mendalam dalam segala hal. Termasuk memilih dan memilah hikmah yang terdapat dalam kisah Abu Jahal yang bertanya kepada al-Walid bin
111 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 25. Adapun sebab turunnya atau asbab al-Nuzul yang dimaksud ialah "Suatu hari Abu Jahal bertanya kepada al-Walid bin Mughirah dan beberapa pemuka Quraish lain yang menjadi
rujukan ketika terjadi keresahan-keresahan di lingkungan sekitarnya; "Apa sebenarnya yang diucapkan Muhammad itu? apakah ucapannya itu sihir?, atau apakah ia seorang dukun yang sedang mempraktekan perdukunannya?, maka Walid pun menjawab; "Aku harus datang untuk mencermati dan mengawasinya," dan akhirnya Walid mendatangi Nabi yang ketika itu sedang membaca sebagian ayat dari surah al-Fushshilat hingga ke ayat yang telah disebutkan di atas. Walid merasa gemetar dan sekujur tubuhnya terasa seperti dikuliti, seraya ia bangun dari tempat duduknya dan kembali ke rumahnya sambil mengunci pintunya. Pemuka-pemuka Quraisy mengira bahwa ia telah masuk Islam, dan ketika keadaannya membaik, mereka datang kembali kepadanya dan menanyakan perihal yang dialaminya saat bertemu nabi, bahkan Walid juga menjawab : "Tidak benar apa yang kalian ucapakan itu (aku belum masuk Islam), aku tetap pada agama pengikutku dan agama kakek-nenek moyangku, akan tetapi aku mendapatkan perkataan yang sulit untuk dimengerti yang terasa menguliti tubuhku, perkataan itu bukan syair, atau khutbah dan mantra yang dibacakan." Kemudian jika demikian kondisinya, lalu ucapan apa yang akan dikatakan tentang yang dirasakan tersebut?. "Katakan saja Muhammad itu tukang sihir! karena ia bisa mengambil hati manusia", jawab Walid bin Mughiurah. Lihat, Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jami'ah li Durar al-Akhbar al-Aimmat al-Athhar. Cet. 1., Jld. 17. Cet. 1. (Beirut : Dar al-Ta'aruf al-Mathbu'at, 1423 H./2001 M.), h. 112; Bandingkan dengan sumber Tafsir al-Amtsal atau Tafsir Namuneh (berbahasa Persia), lihat, Nasher Makarem al-Syirazi, Al-Amtsal fi Tafsir Kitabillah al-Munzal. Jld. 15. Cet. 1. (Beirut : Muassasat al-Bi'tsah, 1413 H./1992), h. 337- 338.
112 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 25.
Mughirah dan para pemuka Quraisy, yakni tentang kebenaran ajakan yang dibawa Muhammad saw. dan kebatilan mereka yang menganggap nabi sebagai dukun dan penyihir.
Dakwah atau seruan kepada kebenaran yang ditujukan terhadap orang-orang seperti mereka inilah yang akan membawa akal seseorang kepada Tuhan, karena ia adalah sumber kebenaran dan Dialah Yang Maha Benar.
Selain itu semua, motivasi atau dorongan akal seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan-Nya dijelaskan juga
dalam Q.s. al-Saba'/34 ayat 46. 113 Ayat 46 dari surat al-Saba' ini menegaskan tentang perintah Allah
swt. kepada Rasulullah sebagai mahluk utusan-Nya agar mendialogkan atau membicarakan perintah kepada semua yang menentangnya lalu
mengikatnya menjadi satu masalah, dan adapun satu masalah yang bersumber dari kata-kata yang mencakup muatan pelajaran dalam ungkapan ayat di atas, antara lain;
1. Kata innamâ yang berfungsi sebagai al-Hashr yang berarti untuk menyatakan suatu objek tertentu atau khusus (li ta'yîn), 114 atau
Q.s. al-Saba'/34 ayat 46 :
Artinya : "Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras."
Dalam konteks makna di atas al-Jauhari salah seorang ahli bahasa mengatakan, jika kata ma ditambahkan pada kata inna yang berarti innama maka yang dimasud ialah menyatakan obyek tertentu, seperti ditegaskan dalam firman Allah swt. yang berbunyi: "innama al-Shadaqat li al-Fuqara". Karena, kata innama menyatakan suatu penentuan dan penafian terhadap satu hukum yang disebutkan dari yang lainnya. Sehingga maksud hukum di ayat yang telah disebutkan ini ialah sedekah hanya khusus diberikan kepada para fakir saja bukan kelompok yang lainnya. Selain sebagai "al-Ta'yin", kata innama juga berfungsi sebagai "al-Ta'kid" (penguat), dan untuk lebih jelas mengenai pemaknaan kata tersebut, dapat lihat, Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Muqri al- Fayyumi (w. 770 H.), Al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafii. Juz. 1. (Jakarta : Dinamika Berkah Utama, t.th.), h. 26-27.
2. Kata al-Maw'izhah yang berarti istilah untuk berbagai hal yang dapat digunakan oleh akal dalam menghukumi sesuatu, akan tetapi karena manusia seringkali melupakannya maka istilah yang dimaksud ialah seseorang yang semangat untuk menyadarkan dan mengingatkan yang lupa tersebut.
3. Kata al-Qiyâm yang berarti alasan, argumentasi, atau bukti untuk persiapan yang sempurna guna merealisasikan tujuan-tujuan baru yang terarah dan jitu.
4. Kata matsna dan furâdâ yang berarti menunjukkan etos masyarakat, individu, dan upaya-upaya lain yang menyeluruh dengan jalan yang tidak diragukan lagi bahwa manusia berpikir itu
dengan pemikiran yang mendalam di saat kesendiriannya, akan tetapi ia juga akan berpikir dengan pemikiran yang sempurna ketika ia bersama yang lain, karena pemikiran apapun akan selalu terasah ketika bersama yang lain nya, dan dengan menggabungkan dua pemikiran yang ada (antara individu dan yang lain atau kelompok) itu adalah cara yang lebih utama.
5. Kata al-Tafkîr yang berarti sesuatu yang bersumber dari kebutaan (tidak tahu apa-apa) yang kemudian tahu bahkan menunjukan kepada orang lain dengan argumentasi-argumentasi yang logis dan lugas.
6. Kata lakum yang berarti akhir yang menyatukan persoalan indzâr (peringatan-peringatan) dan iltifât (pengalihan pandangan) hingga siksaan yang pedih, dan hal ini mengisyaratkan sebuah tema yang dapat memberikan manfaat dan bahaya saja, dan tidak
Untuk pemaknaan yang sederhana tentang kata innama seperti yang telah disebutkan tentunya terdapat di berbagai kamus, misalnya saja lihat, Adib Bisri & Munawwir AF., Al-Bisri; Kamus Arab-Indonesia. Cet. 1. (Surabaya : Pustaka Progressif, 1999), h. 18; lihat juga, Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta : Hidakarya Agung, 1411 H./1990 M.), h. 50.
Karena itu, dalam kondisi yang telah digambarkan di atas, Makârem al-Syîrâzî juga mempertanyakan hal itu dengan ucapan; Apakah tidak wajib orang-orang atau umat manusia ini turut-serta mengambil andil dakwah
memikirkan dan mengkonfrontasikannya secara teliti dan mendalam lalu mengikutinya ? Dengan demikian, pemahaman ayat di atas menjelaskan tentang ungkapan yang penuh muatan pelajaran dan ungkapan pemahaman ini hanya bisa dilalui dengan merealisasikan maw'izhah, al-Qiyâm, matsna dan furâdâ, al-Tafkîr, dan lakum seperti telah disebutkan sebelumnya. Jika unsur-unsur yang memiliki muatan pelajaran ini dapat bisa direalisasikan seseorang maka akan mengarakahkan atau menjadi titik tolak akalnya
untuk menuju kepada pencarian dan pengenalan Tuhan, bahkan akan membahasnya; Siapa Dia sebenarnya ?.
Dari penafsiran-penafsiran yang diuraikan, jelasnya dapat dikonklusikan bahwa ayat-ayat di atas dan ayat yang serupa lainnya dalam al-Qur'an membuka tabir secara baik tentang dorongan akal kepada jalan makrifat kepada Allah swt. Selain itu, dorongan atau motivasi akal juga menunjukkan bahwa tidak mungkin bagi setiap manusia yang berakal untuk tidak mematuhi ajakan utusan-utusan Tuhan agar mengikuti ajakan kepada Allah yang memiliki hubungan erat dengan segala kejadian yang ada, bahkan inilah yang dianggap sebagai dorongan pertama untuk mencari kedalaman agama (al-Tahqîq al-Dîniyyah).
2. Motivasi Kecenderungan [Naluri] (al-Hafiz al-'Athifi)
Berbicara motivasi kecenderungan atau naluri seseorang untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik seolah-olah tak lepas dari peribahasa yang mengatakan manusia sebagai hamba kebaikan. Makna ini dalam konteks motivasi kecenderungan atau naluri dianggap sama persis
116 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 25-26.
dengan perkataan sahabat 'Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan; "al- Insan 'Abd al-Ihsan," 117 atau "kebaikan hanya bisa muncul dari hati
nurani," 118 atau juga "muliakan (utamakan) siapa saja yang kamu inginkan maka niscaya kamu akan menjadi rajanya." 119
Sumber pemahaman ini memiliki kesamaan makna dengan hadis Rasul ketika ia bersabda; "sesungguhnya Allah swt. menjadikan hati hamba-Nya senantiasa mencintai orang-orang yang berbuat baik
kepadanya dan membenci orang-orang yang berbuat jahat kepadanya." 120 Baik perkataan 'Ali bin Abi Thalib maupun hadis Rasul menurut
anggapan Nasher Makârem al-Syirazi seolah-seolah mereka ingin berpesan bahwa orang yang berbuat baik (berkhidmat) kepada seseorang atau memberikan kenikmatan kepada seseorang itu lalu akan menjadi tempat tambatan belas kasihannya, dan bahkan seseorang ini akan
menyukai orang yang berkhidmat dan memberi nikmat tadi, maka ia akan mengenal dengan sepenuhnya serta bersyukur padanya, serta ketika kenikmatan ini dirasa penting dan bertambah maka gerak kecenderungan- kecenderungan untuk mengenal atau mencari Maha Pemberi Nikmat (al- Mun'im) dan bermakrifat kepada-Nya akan lebih sering (senantiasa muncul). Bahkan penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi menyebutkan, dalam sejarah Islam para ulama ilmu kalam (al-'Ulama al-'Aqâ`id) sejak dahulu telah menjadikan masalah bersyukur kepada pemberi nikmat sebagai salah satu motivasi-motivasi untuk lebih teliti dan mendalam tentang seputar agama dan makrifat pada Allah swt., akan tetapi ia juga menekankan bersyukur kepada yang Maha memberi nikmat itu sebagai aturan yang sifatnya naluri sebelum ia diputuskan oleh akal. 121
117 Abd. al-Wahid ibn Muhammad al-Tamimî al-Amûdî, Ghurar al-Hikam wa Dhurar al- Kalim (Qom : Dâr al-Kutub al-Islamî, t.th.), h. 50.
119 Abd. al-Wahid ibn Muhammad al-Tamimî al-Amûdî, Ghurar al-Hikam. h. 50. Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jami'ah li Durar al-Akhbar al- Aimmat al-Athhar. Cet. 1., Jld. 77., h. 421.
120 Abu Muhammad ibn al-Hasan ibn Ali ibn al-Husain ibn Syu'bah al-Harrânî, Tuhaf al- 'Uqul 'an Ali al-Rasûl, telah ditashhîh wa tahqiq oleh 'Ali Akbar al-Ghifârî, (Qom : Muassasat al-
Nasyr al-Islami, 1421H), bab Al-Mawâizh al-Nabi saw. wa Hikamuh., h.37.
121 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 31.
Jadi, baik perkataan 'Ali bin Abi Thalib, hadis Nabi maupun penekanan para ulama kalam terhadap masalah bersyukur kepada Maha Pemberi Nikmat sebenarnya menggambarkan atau menunjukkan hal itu bersumber dari al-Qur'an.
Hal ini tercermin dari beberapa ayat yang menjelaskan tentang motivasi naluri seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan. Berikut ini ayat-ayat yang menerangkan hal tersebut, yaitu
Q.s. al-Nahl/16 ayat 78 122 . Ayat ini oleh Nasher Makarem al-Syirazi, dianggap menegaskan
tentang pentingnya kenikmatan Tuhan karena kenikmatan inilah yang akan menggerakkan rasa (naluri) sukur manusia dan mengajaknya kepada al- Mun'im (Maha Pemberi Nikmat / Rezeki), dan demikian pula bercerita atau menceritakan kenikmatan ialah satu perantara makrifat yang
menerangkan al-Qur'an tentang al-'Ain (mata), al-Udzun (telinga) dan al- 'Aql (akal). 123
Bahkan menurutnya, melalui pendengaran (al-Sam'u) manusia akan dapat mengetahui berbagai ilmu-ilmu agama dan pengetahuan- pengetahuan yang lain, melalui penglihatan mata hati (al-Abshâr), penyaksian rahasia-rahasia tabiat dan keajaiban-keajaiban penciptaan alam akan mengenalkan manusia kepada ilmu-ilmu empiris, sedangkan melalui akal (al-'Af`idah) manusia juga akan mengenal ilmu-ilmu logika dan
analisis-analisis filsafat. 124 Pendapat Nasher Makarem al-Syirazi ini diamini juga oleh
analisis-analisis bahasa yang menyebutkan bahwa meskipun penyebutan kata al-Sam'u, al-Abshâr dan al-Af`idah dihubungkan dengan huruf 'athaf
122 Q.s. al-Nahl/16 ayat 78 , sebagai berikut :
Artinya : "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur."
123 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 32. 124 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 32-33.
(waw) yang menunjukkan pentingnya urutan dalam ayat tersebut, akan tetapi urutan tabiat dan dasar penciptaan pada manusia dalam menerima pengetahuan lebih dahulu menggunakan pendengaran, penglihatan dan barulah penyebutan hati (akal), karena manusia tidak akan memiliki kemampuan melihat (al-Nazhar) dan menyaksikan (al-Musyâhadat) kepada batas-batas keletihan setelah ia dilahirkan, kedua matanya pun tidak dapat menembus kegelapan yang menutupi hingga batas tertentu, bahkan ketika itu juga telinga untuk pertama kalinya mendengar berbagai suara. Singkatnya, kemampuan akal dengan berbagai tugas dan fungsinya seperti membedakan dan merasakan dapat menghidupkan manusia setelah adanya penglihatan dan pendengaran, sedangkan yang dimaksud al-Fu`âd adalah akal yang telah matang dan mendalam, dan ia tidak akan berguna apa pun tanpa malalui proses inderawi, 125 seperti yang dijelaskan di sub
sebelumnya yang masih di bab ini. Semua yang dijelaskan pada ayat di atas tentang kecenderungan naluri atau motivasi naluri memberikan isyarat bahwa tercapainya kesempurnaan akal secara utuh itu setelah kesempurnaan bagian-bagian inderawi melaluinya, bahkan hal ini yang menunjukkan suatu tujuan dari sebagian dinding kenikmatan, yakni menggerakkan indera manusia untuk senantiasa bersyukur, mengajak yang lain untuk mencintai Maha Pencipta, makrifat terhadap-Nya, dan ta'at kepada peritah-perintah-Nya.
Karena itu, anggapan ini oleh Nasher Makarem al-Syirazi, tidak bertentangan dengan sebagian ilmu-ilmu manusia baik dari segi ilmu maupun fitrahnya itu sendiri, karena pengetahuan-pengetahuan yang bersifat fitrah pada saat seseorang dilahirkan ke dunia ini sebenarnya ia sudah pasti ada dalam tabiat kemanusiaan yang siap-siaga dan menerima, dan tabiat ini bukanlah kebiasaan yang sifatnya perilaku atau perbuatan-
perbuatan yang kemudian muncul dan datang setelahnya. 126
125 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 33. 126 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 33.
Dengan demikian, ayat di atas menegaskan tentang gambaran motivasi kecenderungan atau dorongan naluri seseorang untuk melakukan sesuatu hal, termasuk mensyukuri kenikmatan kepada Sang Pemberi Nikmat dan proses kearah sana bisa dilalui setalah adanya inderawi yang kemudian memfungsikan inderawi tersebut dengan semaksimalkan mungkin.
Bahkan dorongan naluri juga tidak sebatas itu tapi juga mengenalkan manusia kepada ilmu-ilmu empiris, sedangkan melalui akal manusia juga akan mengenal ilmu-ilmu logika dan analisis-analisis filsafat. Jadi, motivasi seseorang untuk mengenal atau mencari Tuhan dapat dibuktikan dengan kecenderungan atau naluri manusia itu sendiri.
Motivasi kecenderungan atau naluri seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan-Nya dijelaskan juga dalam Q.s.
al-Nahl/16 ayat 14. Ayat ini ditafsirkan Makârem al-Syîrâzî dengan mensyukuri nikmat Allah swt. atau manusia sudah seharusnya bersyukur kepada-Nya. Hal ini karena dalam ayat tersebut menyebutkan indikasi tiga kenikmatan yang berhubungan dengan dipilihnya lautan sebagai pendukung kelancaran rezeki Allah swt. dan wajib untuk disyukuri oleh manusia
sebagai hamba sekaligus yang memanfaatkannya, di antaranya: 128
127 Q.s. al-Nahl/16 ayat 14, sebagai berikut :
Artinya : "Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur."
Dalam konteks kenikmatan yang ketiga tentang keberkahan laut ini, penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi menyebutkan, jika diperhatikan bahwa permukaan bumi 70 % tertutup oleh lautan yang menghubungi setiap kota, dan sebagian besar harta perdagangan diangkut dengan jalur ini bahkan transportasi juga menggunakan jalur ini. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 33-34. Kemudian, mengenai kata "mawakhira" dalam kalimat "wa Tara al-Fulka mawakhira fihi" menurut sebagain penafsir lain (al-Fakhruddin Muhammad al-Razi, al-Lusi dan al-Qurthubi) menyebutkan, kata "mawakhira" ialah kata plural dari kata makhirah dan terderivasi dari asal kata fakhara yang mengikuti pola kalimat fakhara yang berarti "al-Syaqqu dan
1. Kenikmatan berupa daging-daging yang didapat dari laut seperti ditegaskan dalam kalimat lahman thariyya (daging segar), yakni daging yang selamanya tidak diupayakan oleh budidaya manusia akan tetapi kuasa Tuhanlah yang membudidayakannya, kemudian manusia diberikan izin untuk mengambil atau memilikinya sebagai nikmat yang besar, khususnya di masa sekarang banyak daging yang rusak (membusuk) sehingga ia berupaya mengawetkannya di waktu tertentu dan ada pula yang mengeringkannya dengan sengatan matahari, dan pada saat yang sama daging ini juga menimbulkan penyakit dan beracun bagi para pemburunya, meskipun daging-daging itu dengan mudah didapatkan baik dalam perjalanan laut maupun perjalanan pantai.
2. Kenikmatan berupa bahan-bahan kecantikan yang dikeluarkan
dari tengah lautan dan senantiasa diupayakan oleh manusia seperti ditegaskan dalam kalimat wa tastakhriju minhu hilyatan talbasûnaha, dan hal ini menunjukkan bahwa Allah swt. juga tidak saja menganugerahkan bahan-bahan makanan seperti telah disebutkan tapi juga bahan-bahan kecantikan dan perhiasan untuk manusia.
3. Kenikmatan berupa keberkahan laut yang juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia saat ini, yaitu memanfaatkan laut sebagai jalan transportasi untuk pengangkutan barang, jasa dan keperluan manusia seperti ditegaskan dalam kalimat wa Tara l-Fulka mawâkhira fîhi. Kemudian, penjelasan tentang tiga kenikmatan yang telah
disebutkan oleh Nasher Makarem al-Syirazi dianggap sebagai jalan untuk menumbuhkan rasa syukur yang dapat mendorong untuk mengenal
al-Kharaqa" (membelah dan menghancurkan) seperti ungkapan amwaj al-Ma (gelombang air) atau amwaj al-Riyah (gelombang angina), karena itu jika secara umum gelombang itu dibarengi dengan suara maka kata ini secara mutlak disebut sebagai hembusan angin kencang. Lihat, al- Fakhruddin Muhammad al-Razi, Tafsir al-Kabir. Jld. 7., h. 6-7; lihat juga, Mahmud al-Alusi al- Baghdadi, Tafsir Ruh al-Ma'ani. Jld. 5., h. 356; dan lihat juga, Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam al- Qur'an. Jld. 5., h. 59-60.
(makrifat) Allah, sifat-Nya dan gerakan menuju kepada kesempurnaan yang mutlak, dan karena itu ayat ini menurutnya diakhiri dengan kalimat li tabtaghû min fadhlihî wa la'alakum tasykurûn. 129
Dengan demikian, ayat di atas selain menjelaskan tentang tiga kenikmatan Allah swt. yang berpusat pada laut yang keberadaannya dapat menunjang dan bisa dimanfaatkan oleh manusia tapi juga dengan tiga kenikmatan ini akan mendorong kecenderungan atau naluri seseorang untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya. Jika ia telah bersyukur maka berarti ia telah mengenal Maha Pemberi nikmat.
Selain dua ayat yang telah disebutkan sebelumnya, motivasi kecenderungan atau naluri seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan-Nya dijelaskan juga dalam Q.s. al-Nahl/16 ayat 114. 130
Jika dilihat dari penafsiran yang diberikan oleh al-Zamakhsyari (w. 538 H.) terhadap ayat 114 dari surah al-Nahl ini maka pembicaraan yang ada dalam ayat ini hanya tertuju kepada para penyembah berhala di zaman Jahiliyah, sehingga seolah-seolah ayat itu berbunyi; "Jika kalian hendak menyembah maka sembahlah Dzat yang mengatur (memberi) nikmat kalian, lalu mengapa kalian menyembah berhala yang tidak memiliki
peran apa-apa?". 131 Demikian juga al-Alûsi yang melihat ayat itu secara zahirnya, sehingga pembicaraan yang terkandung dalam ayat hanya tertuju
kepada orang-orang yang beriman. 132 Sementara al-Thabathabai menganggap pembicaraan atau
penunjukkan ayat tersebut tidak saja tertuju kepada orang-orang yang
129 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 34-35. 130 Q.s. al-Nahl/16 ayat 114 :
Artinya : "Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah."
131 Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin 'Umar bin Muhammad al-Zamakhsyari, Tafsir al- Kasysyâf 'an Ghawamidh al-Tanzil wa 'Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil, telah ditashhih dan
tartib oleh Muhammad 'Abd. Al-Salam Syahin. Cet. 1. Juz. 2. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Ilmiyat, 1415 H./1995 M.), h. 615.
132 Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Ruh al-Ma'ani. Jld. 5., h. 480.
beriman tapi juga yang lainnya, yakni Kaum Musyrikin yang menyembah berhala-berhala dan tuhan-tuhan selain Allah swt. 133
Karena itu, Makârem al-Syîrâzî mencoba menyempurnakan pendapat mereka dengan melihat pembicaraan ayat di atas tidak saja tertuju kepada orang-orang yang beriman saja tapi juga orang-orang kafir, karena secara zahir ayat memang tertuju kepada mereka semua, dan demikian pula karena ayat sebelum dan sesudahnya menunjukan pada pembicaraan orang-orang mukmin lebih sering disebut ketimbang kepada orang-orang kafir. 134
Dari sini, jika dicermati tentang penafsiran Nasher Makarem al- Syirazi maka tentu terdapat perbedaan baik antara Nasher Makarem al- Syirazi dengan al-Zamakhsyari dan al-Alusi yang boleh dibilang kontras, maupun dengan al-Thabathabai yang sangat tipis atau tidak begitu kontras
perbedaannya. Bahkan Makârem al-Syîrâzî juga melihat sebagian kemulian atau keagungan ayat ini terletak pada korelasi antara pembicaraan nikmat, syukur, ibadah, yang kemudian dilanjutkan dengan makrifat kepada Tuhan
dan Maha Pengatur atau Pemberi nikmat. 135 Dengan demikian, baik penafsiran yang diberikan para mufassir
maupun Makârem al-Syîrâzî terhadap ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa perintah menyembah atau beribadah terhadap Dzat yang memberi kenikmatan tidak saja ditujukan kepada orang-orang kafir tapi juga orang-orang beriman yang dikhawatirkan lalai atau lupa. Kemudian, terlepas dari pembicaraan tentang ayat tertuju kepada siapa, yang jelas bahwa penjelasan semua ini akan menghubungkan kepada kecenderungan atau naluri seseorang untuk senantiasa makrifatullah, yakni bersyukur terhadap Maha Pemberi Nikmat.
Selain beberapa ayat yang telah diungkapan, terdapat pula beberapa hadis yang oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap mendukung
133 Muhammad Husain al-Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an. Jld. 12., h. 364. 134 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 35. 135 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 35.
masalah motivasi kecenderungan atau naluri seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Allah swt. yang ditimbulkan dari rasa bersyukur kepada-Nya. Misalnya saja, hadis yang berbunyi:
"Dari Amir al-Mukminin' Ali bin Abi Thalib as. berkata: "Jikalau Allah tidak menjanjikan hukuman terhadap orang yang melakukan maksiat maka perbuatan yang diwajibkan adalah tidak berbuat
maksiat sebagai rasa syukur terhadap nikmat-Nya." 136 Ungkapan "wajib" dalam kalimat diwajibkan pada hadis ini oleh
Makârem al-Syîrâzî dianggap sebagai kawajiban yang timbul dari kecenderungan atau naluri kasih-sayang manusia. 137
Demikian juga hadis lain yang menyebutkan: "Dari Imam Baqir berkata: Pada suatu malam Nabi berada di
rumah Aisyah, dan ia bertanya kepada Nabi; mengapa dirimu senantiasa memaksakan beribadah padahal Allah swt. telah menghapus dosa-dosa yang telah lampau dan yang akan datang? Beliau menjawab: apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang
selalu bersyukur?!" 138 Dengan demikian, dua riwayat yang telah disebutkan ini memiliki
hubungan secara erat antara tema mensyukuri nikmat, mengenal Allah dan mematuhi segala perintah-Nya.
Selain motivasi akal dan motivasi kecenderungan atau naluri, urusan mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan juga dapat dicapai melalui motivasi fitrah. Akan tetapi pembahasan tentang motivasi fitrah ini tidak seperti kedua motivasi sebelumnya yang membahas ayat- ayat al-Qur'an maupun hadis-hadis yang mendukungnya.
Karena, pembahasan terhadap motivasi yang ketiga ini hanya sebatas kelanjutan penjelasan dari kedua motivasi tersebut, sehingga ungkapan penjelasan yang disebutkan nanti akan bersifat kritik terhadap
Abu al-Hasan Muhammad bin al-Husain al-Musawi atau lebih dikenal Al-Syarif al- Ridha, Nahj al-Balaghat, telah disyarh oleh Syekh Muhammad 'Abduh. Jld. IV. (Cairo : Markaz al-Nasyr Maktab al-I'lam al-Islamî , 1411 H.), bab Mukhtar al-Hikam Amir al-Mu'minin., no. hds. 291., h. 727.
137 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 36.
Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi (w. 329 H.), Al-Ushul min al-Kafi. Juz. 2. Cet. 6. (Teheran : Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1375 H.), bab Syukur, no. hds. 6., h. 95.
3. Motivasi Fitrah (al-Hafiz al-Fithri)
Fitrah atau al-Fithrat ialah perasaan mendasar dan mendalam yang tidak memerlukan bukti atau dalil akal apapun. Ketika manusia melihat pemandangan yang indah, atau bunga berwarna-warni yang mengeluarkan aroma dan semerbak wangi maka timbul perasaan mendalam untuk tertarik kepadanya, dan hal inilah yang dimaksud tanpa memerlukan bukti atau dalil akal di sini. Apalagi perasaan keindahan merupakan sebagian kecenderungan yang tinggi bagi etos manusia dan penggerak kepada agama khususnya bermakrifat kepada Allah swt. yang juga sebagian dari
perasaan-perasaan substantif dan esensial, bahkan hal ini lebih kuat daripada motivasi-motivasi tabiat yang mendalam dan semua semangat
manusia. 139 Oleh sebab itu, penelusuran Makârem al-Syîrâzî terhadap
persoalan tersebut menyebutkan bahwa umat manusia baik sejak dahulu hingga kini tidak akan memiliki sebagian akidah-akidah agama yang dapat mengatur pemikiran dan ruh mereka, dan inilah yang disebut tanda atau ciri perasaan yang mendalam. 140
Terlepas dari hal tersebut, Makârem al-Syîrâzî juga berpendapat, sebagian dari fitrah tauhid ialah menghindari bukti-bukti makrifat kepada Allah swt. seperti bukti yang disertai dengan ciri-ciri tauhid yang dianggap kurang memperhatikan seputar masalah tersebut, dan hal ini dapat dicapai dengan menyebutkan satu titik dan menyegerakan sebagian penjelasan tambahan hingga ke pembahasan yang dimaksud. Karena itu, ketika al- Quran menyebutkan tentang kisah-kisah kebangkitan para Nabi yang agung maka sebenarnya telah menguatkan beberapa tempat dari titik ini,
139 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 39. 140 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 39.
yaitu risalah asli kenabian terwujud dengan hilangnya pengaruh-pengaruh syirik dan penyembahan kepada berhala (tidak ada penetapan keberadaan Allah karena objek ini tersembunyi di balik ke dalaman tabiat semua
manusia). 141 Dengan ungkapan lain, Makârem al-Syîrâzî ingin mengatakan,
mereka belum dipaksa menanam "bibit penghambaan kepada Allah swt." di hati mereka, akan tetapi hanya diperintah untuk menjaga, memelihara dan menyirami "bibit" yang sudah ada dengan membuang dan membersihkan dari 'duri-duri' yang membahayakan dan dalam kondisi tertentu terkadang dapat membunuh bahkan menyuburkan dengan pertumbuhan sempurna. Misalnya saja, kalimat allâ ta'budû illâ Allah dan allâ ta'budû illâ iyyâh di sebagian besar perkataan para nabi dalam al- Quran merupakan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan pada peniadaan
atau penegasian berhala-berhala dan bukan penetapan keberadaan Allah swt. seperti yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad bin 'Abdillah saw. (Q.s. Hud/11 : 2), Nuh as. (Q.s. Hud/11 : 26), Yusuf as. (Q.s. Yusuf/12 : 40), dan Hud as. (Q.s. al-Ahqaf/46 : 21). 142
Bahkan dengan melihat salah satu keistimewaan manusia, Makârem al-Syîrâzî menganggapnya sebagai mahluk yang dalam semangatnya memiliki perasaan-perasaan fitrah lain yang mendasar, dan di antara sebagian dari fitrah-fitrah lain ini ialah rasa fitrah yang ada dalam jiwanya senantiasa sangat tertarik kepada ketinggian ilmu, pengetahuan dan pandangan-pandangan (views), dan lebih jauh, ia juga mempertanyakan apakah mungkin rasa fitrah ini dapat menyaksikan keteraturan alam yang menakjubkan dan luas ini sementara dirinya tidak
ada rasa ingin tahu (ma'rifat) terhadap Sumber Keteraturan tersebut? 143 Selain itu, Makârem al-Syîrâzî juga seolah-seolah menyangsikan
hasil penelitian yang diberikan para ilmuan peneliti. Hal ini tercermin dari pernyataan yang ditujukan kepada mereka dengan ucapan apakah mungkin
141 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 39. 142 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 39-40. 143 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 40.
seorang ilmuan dapat meneliti kehidupan semut dengan baik selama 20 tahun, atau ilmuan lain, yang juga ingin mengetahui sebagian kehidupan burung, pepohonan, atau ikan-ikan laut dengan tanpa motivasi rasa cinta yang masuk kepada ilmu? Apakah mereka mungkin tidak mengharapkan pengetahuan yang menjadi sumber keluasan tanpa henti mencakup
berbagai hal sejak azali hingga selamanya? 144 Dengan demikian, motivasi-motivasi atau dorongan-dorongan
demikian inilah yang oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap akan mengajak manusia untuk makrifat kepada Allah swt., atau akal akan mengajak kepada-Nya, atau juga motivasi-motivasi yang beroreintasi kepada-Nya, atau juga fitrah yang dapat menerima orientasi tersebut, dan inilah kesimpulan sementara tentang motivasi-motivasi yang terjadi dan semua ini pada hakikatnya bertujuan menjelaskan agama dan ma'rifatullah.
Tak kalah penting dari uraian-uraian yang telah disebutkan, Makârem al-Syîrâzî juga memberikan catatan-catatan penting yang sifatnya kritik terhadap teori-teori yang dianggap tidak berdasar bahkan menyimpang, bahkan ia juga heran dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan tersebut.
Misalanya saja, dalam penelusuran Makârem al-Syîrâzî menyebutkan, ada sebagian pendapat dari kalangan sosiolog dan kaum Materialis Barat maupun Timur yang menganggap sumber kemunculan agama dan keyakinan pada tauhid disebabkan oleh kebodohan, atau rasa takut, atau faktor-faktor lain yang serupa dengannya. Penjelasan tentang hal ini dianggap tidak aneh bagi kelompok tertentu, karena merekalah yang memulai atau pertamakali berpendapat dan seolah-olah mereka juga yang membuat prosedur-prosedurnya sendiri dengan berbagai kesepakatan yang lebih maju, bahkan segala sesuatu yang berada di sekelilingnya tidak lain hanyalah alam materi, dan karenanya pula mereka berhak menafsirkan
144 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 40.
semua yang zahir (tampak / kongkrit) melalui bantuan unsur-unsur materi tersebut. 145
Di sisi lain, Makârem al-Syîrâzî mengetahui kalau adanya keyakinan-keyakinan agama akan mengancam pilar-pilar (paham) materialis, dan jika hal ini memberikan makna pada peristiwa pertikaian
sengit antara gereja dengan para ilmuan (saintis) di abad pertengahan, 146 maka boleh jadi dapat disimpulkan bahwa penafsiran-penafsiran materi
terhadap agama dan keyakinan kepada Allah swt. itu adalah satu bagian dari kekalahan-kekalahan diskursus materi melawan agama. 147
Belum lagi, pembahasan tiap-tiap teori dengan formulasi terpisah akan memerlukan cerita panjang yang memposisikan kita untuk masuk di dalamnya hingga jauh dari pola (warna) pembahasan tafsir, akan tetapi secara pasti di sana akan tampak sebuah isyarat dengan bentuk yang
ringkas, bahkan akan berkali-kali terulang bahwa setiap tafsir-tafsir atau penjelasan-penjelasan ini berlandaskan atas dasar-dasar aturan yang maju (progresif), yakni menyerahkan pandangan dengan tanpa adanya alam di belakang tabiat dan adanya alam akan teringkas dalam alam tabiat jiwa tersebut. Karena itu, secara umum Makârem al-Syîrâzî mencoba memprediksi kemungkinan teori-teori atau ungkapan yang lebih mendalam tentang konteks permasalahan yang terbatas dalam lima dugaan-dugaan atau perkiraan-perkiraan, yaitu: 148
1. Dugaan kebodohan (al-Fardhiyat al-Jahl)
Dalam dugaan ini, Makârem al-Syîrâzî mengkritik pendapat Samuel Knick seorang sosiolog yang menganggap ilmu dan kesenian dapat membuka sebab-sebab rahasia, hanya saja
145 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 41.
Untuk lebih jelas mengenai pertikaian atau pergulatan antara gereja dengan para ilmuan dalam masalah ilmu dan moral ini dapat lihat, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Cet. 13. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 233-236. Dalam keterangan yang sama juga dapat di lihat pada, Haniah, Agama Pragmatis; Telaah atas Konsepsi Agama John Dewey. Cet. 1. (Magelang : Indonesia Tera, 2001), h. 121.
147 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 41. 148 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 41.
sebagian besar dari sebab-sebab ini keluar dari kondisi keilmuan hingga ia tetap menjadi kumpulan rahasia, dan kebutuhan yang pasti terhadap sebab-sebab itu akan dapat mewujudkan kepada
kemenangan agama. 149
Demikian juga kritik Makârem al-Syîrâzî terhadap dugaaan atau asumsi salah seorang filosof materialis yang berpendapat bahwa jika manusia melihat dari sudut pandang sejarah maka akan terlihat anggapan bahwa ilmu pengetahuan dan agama adalah musuh yang tidak akan pernah berdamai, dan demikian ini sebabnya jelas sekali, bahkan orang-orang yang meyakini gerakan alam ini dengan sudut pandang hukum alam maka mereka tidak akan memberikan toleransi sedikitpun, karena dalam akalnya terdapat gambaran atau konsep tentang adanya kemungkinan sebab
penciptaan terhadap hal-hal yang melarang atau mencegah (al- Mawani') dan hal-hal yang membuka (al-'Atsarât) dalam berbagai
kejadian alam. 150 Atau dengan ungkapan yang luas, mereka mengaku kalau ketidaktahuan manusia terhadap ilmu pengetahuan
alam disebabkan oleh tabiat yang dapat menimbulkan gambaran (konsep) terhadap adanya kekuatan dibalik tabiat, atau yang menjadikan alam ini dan yang mengaturnya. Karena itu, ketika sebab-sebab telah menjadi jelas termasuk sebab tabiat maka ia juga akan mengembalikan agama dan keyakinan yang penuh kehambaan kepada Allah swt.
Pendapat itu oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap sebagai kesalahan yang mendasar, dan kesalahan-kesalahan mendasar mereka dalam dugaan atau perkiraan bodoh itu bersumber dari dua hal; pertama, mereka mengira kalau beriman kepada adanya Allah
149 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 42. 150 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 42. Filosof materialis yang
dimaksud di sini adalah Augus Comte yang dianggap oleh kalangan ilmuan Barat sebagai bapak sosiolog, dan untuk lebih jelas mengenai pendapatnya dapat lihat pada, Tom Campbell, Seven Theories of Human Society yang telah diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman, Tujuh Teori Sosial; Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Cet. 6. (Yogyakarta : Kanisius, 1994), h. 165-166.
dianggap sebagai penolakan terhadap hukum-hukum alam, dan mereka juga seolah-olah membedakan hal itu kepada sebab-sebab tabiat atau adanya Allah swt., dan demikian pula Filsafat Ketuhanan yang menganggap bahwa jika seseorang telah meyakini adanya hukum alam dan terbukanya sebab-sebab tabiat maka dapat dianggap sebagai salah satu keistimewaan dari cara makrifatullah, 151 dan kedua, kelalaian mereka terhadap hal ini, bukankah manusia sejak dahulu hingga kini selalu berpandangan atau mengacu kepada aturan-aturan khusus yang mengatur alam? Aturan-aturan yang tidak akan mungkin lepas dari sebab-sebab atau asal-muasal yang tidak dirasakan oleh mereka, dan selamanya hal ini dapat diungkapkan sebagai tanda keberadaan Allah swt., bahkan setiap masalah yang timbul akan menunjukkan bahwa
pengetahuan manusia tentang aturan-aturan ini dikenal sangat minim dimasa lampau dan ketika ilmu manusia berkembang maka hal-hal yang detail akan lebih tampak, yang kecil terlihat baru dan besar, dan demikian pula ilmu pengetahuan dan kemampuan kearah sana akan terlihat jelas dan mampu menjadikan adanya alam yang lebih banyak lagi. 152
Dari sini dapat diyakini bahwa keimanan terhadap adanya Allah dan agama akan berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan setiap penemuan baru terhadap rahasia- rahasia alam ini sebenarnya merupakan terobosan baru untuk mengenal Allah dengan wajah yang lebih istimewa, dan demikian pula pengetahuan tentang Allah menurut orang-orang terdahulu
Anggapan kesalahan-kesalahan mendasar yang pertama disebutkan di atas bukan dalam konteks membahas tentang Allah ditengah perdebatan dan kejadian-kejadian misteri, tetapi hanya sekedar memberi masukan ditengah cahaya makrifat dan keteraturan alam yang ada, karena adanya keteraturan yang tersususun rapih merupakan tanda yang jelas bagi keberadaan sumber ilmu dan kemampuan atau kekuasaan terhadap alam yang ada ini. Lihat, Nasher Makarem al- Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 43.
152 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 43.
dengan tingkatan keilmuannya berbeda dengan apa yang dikenal oleh orang-orang sekarang dalam perkembangan keilmuanya.
2. Dugaan Ketakutan (al-Fardhiyat al-Khouf) Will Durant seorang sejarawan Barat terkenal berpendapat, rasa takut adalah induk pertamakali bagi adanya Tuhan, dan takut dari kematian menempati tempat terpenting dari sekian banyak rasa takut dan karenanya orang-orang dahulu tidak dapat membenarkan bahwa kematian itu sebagai gejala alam sehingga selamanya kematian dapat digambarkan sebagai penyebab dibalik kejadian alam. 153
Hal serupa juga dikatakan Bertrand Russsell yang oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap sebagai pengulangan saja dari Will
Durant. Menurutnya, sumber agama itu berawal dari rasa takut dan hal-hal yang menyeramkan sebelum segala sesuatu seperti takut akan bencana alam, peperangan dan sebagainya, dan di antara sebagian rasa takut itu ialah perbuatan-perbuatan yang tidak layak
dilakukan seseorang pada saat ia dikuasai oleh hawa nafsu. 154 Dua pendapat di atas oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap
sebagai dugaan atau perkiraan yang tidak absah, sehingga seolah- olah mereka telah sepakat bahwa tidak ada sesuatu dibalik agama dan keyakinan yang penuh kehambaan kepada Allah swt., dan sudah sepantasnya jika penyebab semua ini adalah tabiat, yang berarti sebab yang kembali kepada jenis praduga dan khayalan belaka, dan karena inilah mereka selamanya menganggap urusan-
Pemikiran ini muncul ketika sosiolog Barat ini mencoba membahas tentang sumber- sumber kematian dari filosof Romawi yang bernama Lukrotius. Lihat, Will Durant, The Story of Philosophy. Jldd. 1., (New York : The Free Press, 1965), h. 89.
Apa yang digambarkan atau diartikulasikan Nasher Makarem al-Syirazi terhadap pendapat Bertrand Russell dalam konteks hubungan ilmu dan moral sebenarnya tidak sesederhana itu, dan karena itu lebih jelasnya dapat lihat, Bertrand Russell, The Scientific Outlook. (New York : W.W. Norton, 1962), h. 261.
Karena itu, Makârem al-Syîrâzî membenarkan kalau keimanan kepada Allah itu akan memberi ketenangan bagi jiwa, menumbuhkan rasa berani menghadapi kematian, bencana dan musibah, hingga mendorong jiwa seseorang untuk berani berkorban, akan tetapi ia lupa oleh apa yang ada didepan matanya seperti aturan-aturan yang mengatur bumi, langit, tumbuh- tumbuhan, sesuatu yang hidup, dan keberadaannya itu sendiri
(sebagai manusia). 156
Dengan kata lain, Makârem al-Syîrâzî ingin mengatakan, meski manusia menguasai ilmu pengetahuan, fisiologi dan sebagainya akan tetapi jika ia melihat susunan kedua mata, telinga,
hati, tangan atau kaki maka niscaya ia akan terkagum dan tak terbayangkan untuk menguraikannya, yang dilihat hanya struktur yang unik dan menakjubkan, dan demikian juga jika melihat fenomena lain seperti terbitnya matahari bulan, tumbuhnya ranting dan bunga.
Bahkan Makârem al-Syîrâzî menganggap kalau semuanya itu adalah hal yang selalu dihadapi oleh manusia dan ini merupakan sebab utama timbulnya iman kepada Allah swt., akan tetapi mereka tetap saja masa bodoh dan bertahan pada pendapatnya, yakni pada dugaan ketakutan dan kebodohan? Apakah karena mereka takut akan tumbuhnya akidah atau keyakinan agama? Jika tidak, mengapa mereka meninggalkan jalan baik yang mendasar dan melangkah kepada jalan-jalan yang menyimpang?
sebelumnya yang menyebabkan beralihnya pandangan mereka. 157
Kecuali
aturan-aturan
155 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 44. 156 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 44. 157 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 44.
3. Dugaan Faktor Ekonomi (al-Fardhiyyat al-'Awâmil al- Iqtishâdiyyah)
Pengikut-pengikut dari dugaan ini oleh Makârem al-Syîrâzî adalah mereka yang meyakini kalau kekuatan yang menggerakkan atau merubah sejarah itu adalah bentuk dari media-media produksi, dan mereka juga mengungkapkan seluruh fenomena sosial sama dengan kebudayaan seperti pengetahuan, filsafat, politik hingga agama timbul disebabkan hal ekonomi. Mereka juga memiliki pemikiran bebas yang aneh dalam urusan agama dan problem- problem ekonomi, dan di antara sebagian kebebasan yang dikatakannya ialah tingkat penjajah pada komunitas manusia telah mewujudkan timbulnya agama yang berguna untuk mengatur dan memutuskan usaha sebagai perlawanan terhadap kemakmuran dan
158 memberinya kekhawatiran-kekhawatiran (racun) memabukkan.
Anggapan ini menurut penelusuran Makârem al-Syîrâzî, mengacu pada pendapat yang dicetuskan oleh Wladmir Ilyic Ulyanow alias Lenin dalam bukunya Sosialis Dan Agama (terj.) yang menyebutkan :
"Agama bagi masyarakat adalah ibarat benda yang memabukkan dan candu". 159
158 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 45.
Pandapat Lenin atau Wladmir Ilyic Ulyanow tentang agama di atas bersumber dari Karl Max. Max dalam anggapannya telah menemukan sesuatu yang penting setelah ia mengikuti paham filsafat Ludwig Feuerbach (1804-1872) dalam kritiknya terhadap agama, dan kritik agama Feuerbach ini yang kemudian menjadi titik tolak pemikiran Max kemudian. Paling tidak terdapat tiga hal yang dianggap sangat penting oleh Max sebelum sampai kepada anggapan bahwa agama adalah candu masyarakat atau rakyat yang beracun, anatara lain : 1) agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasarnya, dan keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam, 2) agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri, dan terakhir atau 3) agama adalah realisasi hakikat manusia dalam angan-anagan karena hakikat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh- sungguh. Jadi menurutnya, agama adalah sekaligus ungkapan penderitaan yang sungguh-sungguh dan protes terhadap penderitaan yang sungguh-sungguh. Agama adalah keluhan mahluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu rakyat atau masyarakat. Lihat, Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Max; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Cet. 5., (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 71-73.
159
Di antara sebagian yang mengikuti dugaan Kaum Sosialis adalah mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai pendapat- pendapat yang bertentangan, dan mereka juga mengira pada saat menghadapi Islam, faktor ekonomi menjadi penyebab bangkitnya beberapa umat di dunia ini seperti Kaisar Romawi, raja-raja yang bertindak seperti Fir'aun di Mesir, dan raja-raja yang bertindak seperti Tubâba'ah di Yaman terpaksa mengecualikan Islam dalam kancah potongan sejarah. Bahkan ketika mereka memperhatikan gerakan-gerakan dan kebangkitan Islam sekarang melawan penjajahan Barat dan Timur juga gerakan intifadhah di palestina terhadap zionis Israel, maka mereka tidak memiliki jalan lain selain mengeluh mencari jalan keluar dengan menutup mata mereka terhadap agama. 160
Karena itu, Makârem al-Syîrâzî dalam kritiknya, mengingatkan mereka (ilmuan Barat) agar memperhatikan sejarah modern dan sejarah lampau khususnya Islam, maka jelas sekali bahwa agama berbeda dengan apa yang mereka kira selama ini sebagai racun atau candu yang memabukkan, dan hal ini juga yang menjadi pendukung untuk timbulnya kekuatan masyarakat, problem ekonomi yang memiliki peran dalam kehidupan manusia dan membatasi manusia pada masalah ekonomi yang dianggap
sebagai kesalahan besar dalam pengetahuan manusia. 161
4. Dugaan Seksualitas (al-Fardhiyyat al-Jinsiyyah)
al-Syîrâzî lebih mengedepankan pendapat Sigmund Frued (1856-1939), yang dianggap orang pertama kali yang membahas hubungan insting seksual (libido) dengan agama, dan ia juga mencoba menjembatani antara timbulnya agama dan insting seksual tersebut.
Makârem
160 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 45. 161 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 45-46.
Hubungan dan jembatan antara agama dan seksualitas yang dibuat oleh Freud dan para pengikutnya didasarkan pada kisah fiktif kelompok masyarakat kuno yang menakutkan, 162 yang kemudian disebut Totem dan Taboo, dan berdasarkan dua hal inilah ia juga berpendapat bahwa timbul atau munculnya keyakinan agama seseorang tidak bisa lepas atau sangat erat kaitannya dengan seksualitas yang ada pada manusia atau masyarakat itu sendiri. 163
Dugaan seksualitas yang dikatakan Frued dan para pengikutnya dibantah oleh Makârem al-Syîrâzî dengan argumentasi bahwa cerita-cerita bohong atau mitos kelompok masyarakat tidak dapat diselesaikan dengan penyerupaan mitos dan tahayul, karena hal ini muncul disebabkan oleh ruh dan jasad manusia memiliki kecendrungan naluri yang bermacam-macam, ia
juga memiliki insting sek tapi keberadaannya utuh atau sempurna, tidak dibatasi dengan insting sek saja, jasad cendrung kepada
insting ini akan tetapi ruh akan cendrung kepada kebaikan. 164 Dengan demikian, baik pandangan Frued, para ilmuwan
sosialis maupun filosof materialis semuanya hanya terjebak pada satu sisi sudut pandang saja. Sudah seharusnya mereka merubah sandaran pandang mereka yang salah dalam melihat dan
Adapun kisah fiktif ini mengisahkan ada seorang ayah yang memiliki banyak istri, sedangkan pemuda-pemudanya menjadi musuh bagi sang ayah, mereka mengadakan unjuk rasa dan berujung pada pembunuhan sang ayah dan mayat sang ayah dimakan beramai-ramai, setelah itu mereka semua bertobat dan menyesali perbuatannya. Kejadian ini tidak membuat mereka perduli dengan kabilahnya, mereka selalu menjelek-jelekkan perbuatannya sendiri dan lambat laun dari sini timbul di antara mereka larangan dan aturan yang mereka namakan "taboo" dan "kapt", dan inti aturannya adalah larangan menikah dengan saudara perempuan (mahram). Frued menambahkan ceritanya dengan kisah kabilah lain yang juga tidak kalah buruknya dengan kisah tadi yang kemudian diberi nama "totem," dan adapun kisah yang dimaksud lebih buruk adalah ada seorang ayah pada salah satu kaum yang dianggap oleh kaum itu sebagai pelindung dan selalu memberikan nikmat. Karena masyarakat menghormati "totem" maka mereka menggambarkan bahwa mereka harus meniru menyerupai pemimpin itu, dan dari sinilah keyakinan terhadap "totem" bersumber dari keyakinan mitos pada kabilah tersebut. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 45; atau untuk lebih jelas mengenai ceritera fiktif tersebut di atas dapat lihat juga, Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama. Cet. 4., (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 39-41
163 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 46-47. 164 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 47.
mengamati hakekat kebenaran, karena manusia dari awal diciptakan hingga kini senantiasa memperhatikan aturan-aturan yang mengatur alam, dan keberadaan yang mengatur ini tidak dapat diuraikan dengan hukum alam, dan dari hal-hal seperti inilah yang akan menyebabkan timbulnya keyakinan keberadaan Allah swt..
5. Dugaan Kebutuhan terhadap Etika (al-Fardhiyyat al-Hâjât al- Akhlâqiyyah)
Dalam dugaan atau asumsi ini, Makârem al-Syîrâzî mengkritik Albert Einstein dalam pembahasannya tentang agama dan berbagai ilmu yang menguraikan sedikit sekali tentang perasaan atau indera yang menyebabkan munculnya kemenangan
agama yang berbeda dan sangat jelas sekali, dan hal ini telah diisyaratkan dengan sebuah gambaran tentang kematian masyarakat menurut pandangan manusia merupakan salah satu sebab kemenangan agama. Setiap individu akan melihat bapak, ibu, sahabat, kerabat, atau pemimpinnya akan mati dan pergi dari sisinya satu persatu, bahkan ketika senang dalam petunjuk dan cinta akan menjadi harapan masyarakat dan setiap individu karena inilah yang yang mengantar manusia untuk menerima iman kepada
Allah. 165 Karena itu, Makârem al-Syîrâzî mengkritik pendapat Einstein yang juga mengharapkan kalau kemunculan agama dapat
mengharuskan seseorang untuk menerima etika (akhlak) dan sosial. 166
Meski seolah-olah Einstein terlihat santun dan perhatian terhadap persoalan tersebut, Makârem al-Syîrâzî tetap menganggapnya sebagai perkiraan atau dugaan yang salah, karena ia telah mencampur adukan antara dampak atau pengaruh (atsar)
165 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 47-48. 166 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 48.
dan pendorong (dâfi') dan terkadang menilai dampak bukanlah sebagai pendorong atau akibat, seperti orang yang menemukan harta karun ketika ia menggali sumur dan penemuan ini yang disebut dampak, dan dalam keadaan yang sama juga pendorong orang untuk menggali sumur adalah hal lain, yaitu mencari air. Karena itu, ia juga membenarkan kalau agama dapat menyembuhkan penyakit-penyakit jiwa manusia, dan iman kepada Allah akan melepaskan dirinya dari perasaan kesendirian (keterasingan) ketika ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintai dan sahabat, dan inilah yang disebut sebagai dampak (atsar) bukan pendorong (dâfi'). 167
Bahkan, Makârem al-Syîrâzî menilai dorongan atau akibat tersebut sebagai hal mendasar untuk beragama, sangat masuk akal
disaat manusia melihat dirinya di tengah keteraturan alam, seringkali ia merenung maka pengenalannya akan bertambah dalam, ia tidak dapat mengungkapkan fenomena yang menakjubkan walau hanya sekuntum bunga, atau mata dengan keteraturan susunannya yang sangat detil. Tetap tidak sanggup mengungkapkan apa yang ditimbulkan dari alam kecuali orang yang berakal, dan inilah yang dinamakan permulaan pembahasan manusia terhadap keteraturan susunan ini sebagaimana hal-hal lain yang mendukung apa yang telah di isyaratkan diatas. Lebih jauh, Makârem al-Syîrâzî juga menganggap aneh terhadap Einstein karena mengkritik dugaannya (asumsi) yang telah diyakini sendiri dengan mengubah pendapatnya, di sisi lain Einstein tetap menguraikan keyakinan tentang adanya alam yang nyata dan kebenaran terhadap pendapatnya tersebut dengan uraian yang menarik, dan hal ini menunjukkan bahwa ia sebenarnya mengingkari adanya keyakinan yang bercampur dengan hal-hal
167 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 48.
yang khurafat, ia juga tidak mengingkari ajaran tauhid yang suci dan murni dari segala khurafat tersebut. 168
Hal ini tercermin dari ucapan Einstein seperti yang digambarkan oleh Nasher Makarem al-Syirazi : "Dibalik semua misteri ini terdapat suatu makna yang
menyatakan adanya Allah swt. yang tidak dapat dicapai kecuali hanya oleh segelintir manusia," lalu ia juga menjelaskan keyakinannya dan keyakinan para ilmuan besar lain yang menyebutkan keimanan beragama ialah "perasaan beragama melalui penciptaan" atau "keberadaan" dan pada kesempatan lain dirinya mengajak kepada "kebingungan yang mengasyikkan karena keteraturan susunan kosmos adalah keajaiban yang sangat mendalam dan luar biasa." 169
Bahkan Nasher Makarem al-Syirazi juga menilai Einstein sebagai seorang ilmuan yang lebih toleran dan penuh pengakuan
dalam persoalan tersebut. 170
Demikian ini tentunya merupakan bahasan yang panjang jika berbicara pemikiran seperti yang telah disebutkan, akan tetapi karena pembicaraan akal dengan berbagai fungsi, tugas dan ungkapannya tidak hanya dibicarakan di Barat atau Timur tapi empat belas abad yang silam al-Qur'an telah menegaskan hal tersebut. Sehingga pem bahasan seolah-olah keluar dari pembahasan penelitian, yakni tafsir maudhu'i yang tema dari pembahasan tesis ini.
Oleh sebab itu, kewajiban membahas tentang motivasi munculnya agama dalam kajian ilmu penciptaan pertama (dorongan akal atau logika), kemudian dilanjutkan kajian kecenderungan yang menarik dengan keras hingga ke dorongan fitrah, serta kajian dalam mengarah kepada titik tolak untuk
168 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 48. 169 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 48. 170
Salah satu ucapan Enstein yang digambarkan Nasher Makarem al-Syirazi ialah perkataan; "Sesungguhnya beriman terhadap agama adalah jalan lancarnya pembahasan dalam kehidupan ulama". Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 49.
menikmati kenikmatan-kenikmatan yang tiada batas (motivasi belas kasihan). Semuanya ini terungkap dalam al-Qur'an dengan pengemasan yang indah dan menakjubkan
B. Tema Tauhid
b.1. Tuhan Maha Suci dan Dzat yang Tidak Berjisim
Di al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang Tuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak sedikit ayat-ayat yang digunakan oleh para ahli tafsir sebagai argumentasi bahwa Allah swt. adalah pencipta alam semesta, sehingga tercipta kesan keagungan, ilmu dan kekuatan-Nya terhadap segenap mahluk-Nya; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, tatasurya, segenap jagad raya ('Alam al-'Ulya) juga yang lain.
Mengenal atau mengetahui Tuhan dalam pilar rukun iman yang diyakini
masyarakat Islam pada umumnya merupakan persoalan yang paling utama dan harus diketahui lebih awal sebelum seseorang meyakini adanya malaikat, kitab-
kitab, Rasul, hari akhir dan qadha' dan qadar. 171 Karenanya, secara hirarkis, iman atau percaya kepada Allah swt. ada pada urutan pertama, kemudian diikuti Rasul,
kitab-kitab dan seterusnya. Hirarkis tersebut menunjukkan persoalan mengenal Tuhan harus diutamakan sebelum keyakinan terhadap yang lain, termasuk perintah, larangan, dan sebagainya. Karena, Tuhan selain Maha Pencipta alam semesta juga Dzat Allah swt. yang bebas dari segala cacat dan kekurangan. Dia disifati dengan semua sifat kesempurnaan. Keyakinan ini dipercaya dan dipegang oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia, tanpa terkecuali kelompok Syi'ah yang sangat menjauhkan dan menghindari anggapan berjisim (al-Tajsîm), atau penyerupaan (al-Tasybih) terhadap Tuhan, Ia adalah Dzat yang Maha Suci dari hal tersebut.
171 Untuk lebih jelas mengenai hal tersebut dapat dilihat misalnya, Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim. Cet. 1. Jld. I. (Beirut : Dar al-Fikr, 1412 H./1992 M.), bab 1
[kitab al-Iman], no. 5., h. 28; lihat juga, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri al-Hizami al- Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi. Cet. III. (Beirut : Dar al-Fikr, 1398 H./1978 M.), h. 144-157 dalam "Kitab al-Iman".
Persoalan Tuhan dalam diskursus kelompok Syiah menjadi tema paling utama, dan hal ini terlihat pada saat kita membaca salah satu karya tafsir yang ditulis oleh para ulama mereka. Salah satu contoh tafsir yang memprioritaskan tema tentang Tuhan sebagai urutan yang paling utama adalah Tafsir Nafahat al- Qur'an yang ditulis Makârem al-Syîrâzî. Tafsir ini ditulis oleh penulisnya dengan menggunakan metode tematik, dan tidak sedikit ayat-ayat terkemas dalam tema- tema yang telah ditafsirkan dalam kitab tersebut, sebagaimana telah disinggung di bab III.
Dalam tema tauhid, khususnya pada tauhid dzat dan sifat terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang Tuhan tidak berjisim, tidak diserupakan, dan Ia Maha Suci dari hal tersebut. 172 Adapun ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut yang dikumpulkan Makârem al-Syîrâzî adalah : 1) Q.s. al-Syûrâ/42 : 11, 173 2) Q.s. al- Maidah/5 : 73, 174 dan 3) Q.s. Al-Ikhlash/112 : 1-4. 175
Menurut Makârem al-Syîrâzî, ayat pertama (Q.s. al-Syura/42 ayat 11) yang disebutkan di atas menjelaskan tentang kesucian Allah swt. dari segala
Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an, h. 253. Kemudian mengenai Tuhan tidak berjisim dan Maha Suci dari hal tesebut adalah salah satu pemikiran atau dasar-dasar yang di yakini kalangan Syiah dalam tafsir dan memahami al-Qur'an, sebagaimana telah disebutkan di bab II.
173 Q.s. al-Syûrâ/42 : 11 :
Artinya: "…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat."
174 Q.s. al-Maidah/5 : 73 :
Artinya: "Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga," padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih." 175
Q.s. Al-Ikhlash/112 : 1-4 :
Artinya: "Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Artinya: "Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
dapat menemukan hakikat dzat-Nya. 176 Pengakuan tentang hakikat dzat Tuhan dalam ayat di atas juga diakui al-
Majlisi (w. 1111 H.) yang juga sama-sama mufassir Syiah. Hal ini terlihat dari perkataannya yang menilai hakikat dzat Tuhan adalah puncak atau akhir dari kondisi seseorang dalam menaiki tangga ma'rifatnya terhadap Allah swt., dan pendapatnya ini dikuatkan dengan hadis populer yang berbunyi: "Kami tidak
dapat (dianggap) makrifat terhdap-Mu dengan sebenar-benar makrifat." 177 Bahkan hadis populer yang dirujuk oleh al-Majlisi dianggap Makârem al-Syîrâzî
sebagai hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah saw., karena menjelaskan gambaran atau apresiasi keindahan pengetahuan manusia terhadap
Tuhan-Nya. 178 Dengan demikian, persoalan dzat Tuhan atau hakikat dzat Tuhan sangat
sulit dan paling sulit dibayangkan karena ia tidak bisa dilogikakan dengan akal dan pikiran manusia yang hanya ciptaan-Nya, dan argumentasi ini tidak saja
176 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an Juz. III., h. 253-254.
Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jami'ah li Durar al-Akhbar al- Aimmat al-Athhar. Cet. 1. Jld. II., h. 14.
Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an Juz. III., h. 254. Sayangnya, pada hadis tersebut di atas, Nasher Makarem al-Syirazi tidak menyebutkan sanad dan tidak malakukan penilaian sebagaimana pada tradisi di Sunni meskipun ia sendiri ulama moderat dari kalangan Syiah. Karenanya, hadis itu hanya disandarkan kepada Rasulullah saw. secara langsung tanpa menyebutkan para imam sebagai periwayat setelah Rasul.
Karena itu, bagi Makârem al-Syîrâzî, ayat pertama (Q.s. al-Syura/42 ayat
11) ini ditafsirkan, penjelasan atau penegasan Tuhan tidak serupa atau tidak dapat diserupakan dengan yang lain ini menunjukan pembahasan tentang satu dalil tauhid yang di dalamnya mengandung arti bahwa Tuhan itu Ada, Tidak ada akhir dan batasan-Nya dari segala sisi, segala sesuatu selain-Nya ada akhir dan batasannya, dan karenanya tidak akan mungkin menganalogikan-Nya dengan yang lain, bahkan eksistensi kita, akal kita, pemikiran kita semuanya itu terbatas,
kita tidak akan sampai kepada-Nya karena hakikat-Nya tidak terbatas. 179 Penafsiran tersebut juga tidak saja diamini oleh penafsir Syiah seperti al-
Majlisi tapi juga oleh mufassir Sunni seperti al-Alusi (w. 1270 H.). Karena menurutnya, penggunaan huruf al-Kaf pada ayat laisa ka-mitslihi syai`un selain
merupakan huruf tambahan (zâ`idah) tapi juga huruf penguat (ta'kîd) yang berarti selamanya tidak akan ada sedikitpun yang serupa dengan-Nya, mungkin saja keberadaan, ilmu, dan kekuasaan-Nya ada dalam alam ini akan tetapi apa yang diciptakan-Nya itu tidak akan menyerupai-Nya, termasuk proyeksi secara fisik
seperti tajsîm sekalipun. 180 Meski alasan telah disebutkan oleh al-Alûsi, Makârem al-Syîrâzî tetap
tidak sepakat dengan anggapan mereka yang mengatakan penggunaan huruf al- Kaf dalam redaksi ayat bukanlah huruf tambahan (zâidah), sehingga maknanya; "Tidak akan ditemukan sesuatu keserupaan dengan Allah swt.", dan demikian pula pada kata "mitsl" dalam redaksi ayat itu diartikan "dzat-dzat" sehingga seolah-olah maknanya dalam ungkapan bahasa seperti; serupa denganmu tidak ada orang yang melalui jalan yang sesat ini" atau "tidak pantas bagimu berbuat
179 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an Juz. III., h. 254.
Kata atau kalimat "mitsl" dalam redaksi ayat di atas dalam penulusuran al-Alûsi menuturkan bahwa sebagian para mufassir menganggap kata itu sebagai zaidah (tambahan), akan tetapi Abu Hayyan menganggap kata tersebut sebagai isim dan semua isim tidak dapat dianggap sebagai zaidah, bahkan sangat berbeda dengan huruf "kaf" atau al-Kaf yang juga memiliki kesamaan makna (seperti), karena huruf ini merupakan kalimat huruf yang pantas sebagai zaidah, dan karenanya ia juga menganggap kalimat isim dalam bahasa Arab tidak selamanya dianggap sebagai zaidah. Untuk lebih jelas tentang keterangan ini lihat, Mahmud al-Alûsi al-Baghdadi, Ruh al-Ma'ani. Jld. 9., h. 19-21.
akan tersifatkan dengan sifat-sifat Allah swt." 181 Jika diperhatikan tentang penafsiran Makârem al-Syîrâzî yang memiliki
kesesuaian baik dengan al-Majlisi maupun al-Alusi melalui instrument bahasa maka sebenarnya ia ingin mengkritik sebagian penafsir lain yang menganggap Tuhan bisa serupa dan dapat diserupakan dengan yang lain meskipun penyerupan itu berbeda, atau dalam bahasa lain, Tuhan dapat diproyeksikan dengan apa yang ada di mahluk-Nya.
Dengan demikian, penafsiran terhadap ayat pertama bukan saja Makârem al-Syîrâzî sepakat terhadap tafsir yang dianggap seide dengannya dalam mengemukakan masalah tersebut atau juga kritik terhadap sebagian tafsir yang
kurang seide dengannya. Akan tetapi yang lebih penting jika dilihat dari kronologi kemunculan tafsir ialah bagaimana ia dapat menjawab sebagian besar
masyarakatnya, 182 yang beranggapan Tuhan itu Tunggal dan bukan Dua (dalam proyeksi), dan pemahaman ini dianggap menyimpang bahkan tidak sesuai dengan
hadis yang diriwayatkan oleh 'Ali bin Abi Thalib dalam menafsirkan ayat tersebut, karena pemahaman tentang tunggal dalam bilangan yang ada pada ayat memaksudkan Tuhan itu Tunggal, tidak dapat diproyeksikan dua dan tidak pula ada wujud-wujud di luar bagi-Nya.
Oleh karena itu, pemahaman yang benar tentang tauhid dzat dalam pandangan Makârem al-Syîrâzî yaitu Allah itu Esa dan tidak dapat diproyeksikan dua, atau dalam ungkapan lain, tidak ada yang serupa dan tidak ada yang menyamai-Nya, juga tak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya, karena Ia adalah wujud sempurna yang layak disifati dengan kesempurnaan tersebut, bahkan Makârem al-Syîrâzî juga menguatkan pendapatnya dengan mengutip hadis singkat dari imam al-Shadiq yang menjelaskan bahwa "Allah swt. lebih besar
181 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an Juz. III., h. 254.
Masyarakat yang dimaksud di sini masyarakat yang ada di lingkungan dimana Nasher Makarem al-Syirazi hidup dan berinteraksi bersama mereka, yakni masyarakat hauzah ilmiyah (seminari) dan masyarakat akademis (lihat, latar belakang ditulisnya Tafsir Nafahat al-Qur'an...).
Dari beberapa penjalasan di atas tentang penafsiran Q.s. al-Syura/42 ayat
11, Nasher Makarem al-Syirazi sangat tidak setuju kalau Tuhan dapat diproyeksikan dengan apapun, karenanya penafsiran tentang Tuhan tidak berjisim, Ia tidak serupa, dan tidak dapat diserupakan itu benar-benar berbeda dan tidak dapat dianalogi, diduga atau diangan-angan oleh akal dan pikiran mahluk-Nya.
Selain penafsiran yang telah disebutkan tersebut, Nasher Makarem al- Syirazi dalam menguatkan penafsirannya didukung dengan beberapa hadis, 184 yang semuanya berasal dari jalur riwayat para imam. Misalnya saja, hadis riwayat Amir al-Mukminin, Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan:
"Segala sesuatu itu tidak akan menyibukkan Allah swt., masa (waktu) tidak akan merubah kepada-Nya, tempat-tempat tidak akan menaungi-
185 Nya, dan lisan-lisan tidak akan dapat menyifatinya kepada-Nya." Demikian hadis riwayat 'Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan :
"Bagaimana mungkin seseorang yang lemah dari sifat mahluk semisalnya dapat menyifati Tuhannya." 186
Hal serupa juga hadis riwayat 'Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan :
Adapun hadis singkat yang dimaksud ialah ketika salah seorang murid imam al- Shiddiq bertanya kepadanya; "Adakah sesuatu lebih besar daripada Allah swt.?" imam al-Shadiq menjawab: "Allah swt. Maha Besar daripada segala sesuatu," lalu "apakah segala sesuatu itu kemudian lebih besar daripada-Nya?", kemudian seorang murid tersebut bertanya kembali; "apakah maksud kalimat yang terakhir itu?" imam al-Shadiq menjawab: "Allah swt. Maha Besar daripada apa yang disifatkan kepada-Nya." Lihat, Abu Ja'far Muhammad bin 'Ali bin al-Husnain bin Babuyah al-Qumi atau lebih dikenal al-Shaduq, (w. 381 H.), Ma'ani al-Akhbar. (Qum : Majmu'ah Baqir al-'Ulum al-Tsaqafiyah, 1412 H.), h. 7., no. hds. 1.
Perlu dijelaskan di sini bahwa dalam masalah kesucian Tuhan dalam tauhid atau keyakinan, Nasher Makarem al-Syirazi dapat dianggap salah seorang ulama Syiah yang sangat ekstrim, karena dalam anggapannya, menyebutkan al-Tasybih atau menyerupakan Allah swt. dengan sesuatu yang lain merupakan sebagian dari dosa besar, dan pendapatnya didasarkan dari beberapa hadis riwayat imam 'Ali bin Abi Thalib dan salah satunya ialah ketiga hadis di atas ini. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an Juz. IV., h. 199-200.
Hadis di atas merupakan khutbah kedua yang disampaikan 'Ali bin Abi Thalib ketika ia masih hidup. Lihat, Abu al-Hasan Muhammad bin al-Husain al-Musawi atau lebih dikenal Al- Syarif al-Ridha, Nahj al-Balaghat. telah ditadhbith oleh Shubhi al-Shalih. Cet. 3., h. 46-47.
Hadis tersebut merupakan khutbah pertama yang disampaikan 'Ali bin Abi Thalib ketika ia menjelaskan suatu isyarat terhadap lemeh atau ketidakberdayaan manusia dalam memahami masala-masalah yang bertalian dengan urusan kehidupan dan kematian. Lihat, Lihat, Abu al-Hasan Muhammad bin al-Husain al-Musawi atau lebih dikenal Al-Syarif al-Ridha, Nahj al-Balaghat. telah ditadhbith oleh Shubhi al-Shalih. Cet. 3., h. 39.
"Tak ada nama, tak ada jasad, tak ada contoh, tak ada serupa, tak ada gambar, tak ada penyerupaan, tak ada batas, tak ada yang membatasi, tak ada tempat, tak ada pertanyaan; kapan, bagaimana, di mana, sedang apa, tidak berdiri dan tidak duduk, tidak ada tenang dan tidak ada gerak, tak ada kegelapan dan tak ada yang menerangi, tidak ada ruh dan tidak berjiwa, tidak ada tempat yang kosong dari-Nya, tidak ada warna kepada- Nya, tak ada gerakan hati kepada-Nya, tak ada rasa kepada-Nya." 187
Demikianlah riwayat-riwayat yang dipakai atau digunakan ulama Syiah dalam urusan kesucian Tuhan atau Tuhan tidak serupa dan tidak pula dapat diserupakan dengan yang lain, dan semua riwayat yang bersumber dari para imam tentu merupakan salah satu ciri khas para ulama Syiah dalam menggunakaan sebuah hadis sebagai sumber otoritas setelah al-Qur'an.
Kemudian, jika ayat pertama di atas berkenaan dengan tauhid dzat Tuhan maka ayat kedua (Q.s. al-Maidah/5 ayat 73) dan ketiga (Q.s. al-Ikhlash/112 ayat 1-4) ini berkenaan dengan tauhid sifat dan dalilnya.
Potongan ayat dari Q.s. al-Maidah/5 ayat 73 yang berbunyi "laqad kafaral-ladzîna qâlû innallâha tsâlisun tsalâtsah" ditafsirkan Makârem al-Syîrâzî dengan suatu apresiasi yang mengibaratkan redaksi ini (seolah-seolah) menyatakan, "Allah swt. itu salah satu dari yang tiga" atau "orang-orang yang meyakini Tuhan itu tiga maka mereka telah kufur", dan jika demikian ibarat
redaksinya maka menurutnya diperlukan sebuah iltifat, 188 sehingga ungkapan itu menjadi "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Allah swt. itu berasal
dari tiga atau tiga dzat maka mereka telah kufur." 189 Di sinilah salah satu iltifat yang digunakan sebagai instrument penafsiran oleh Makârem al-Syîrâzî, karena
Hadis tersebut merupakan penafsiran Ali bin Abi Thalib ketika menafsirkan kata "al- Shamad" dalam surah tauhid atau ikhlash. Lihat, Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Jld. 3., h. 309.
188 Iltifat yang dimaksud di sini adalah iltifat menurut ahli tafsir dan ahli bahasa, karena iltifat merupakan sebagian dari metode-metode mu'tamad dalam al-Qur'an. Menurut mereka, iltifat
ialah al-'Udul aw al-Sharf yang berarti "berpindah atau berpaling / memalingkan," dan adapun iltifat dalam ilmu kalam bermakna mengalihkan sesuatu hal kepada sesuatu yang lainnya. Untuk lebih jelas mengenai iltifat ini baik jenis-jenisnya, sejarah maupun contoh-contohnya secara ringkas dapat lihat, Majmu'ah min al-Muallifin, Dirasat fi Tafsir al-Nash al-Qur'ani; Abhats fi Manahij al-Tafsir. Cet. 1. Juz. 1. (Beirut : Markaz al-Hadharat li Tanmiyat al-Fikr al-Islami, 2007), h. 261-267.
189 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 255.
secara zahir ayat yang telah disebutkan terkesan tasybih dalam pemahamnnya, sehingga diperlukan iltifat dalam menafsirkannya.
Selain melalui instrumen iltifat dalam menafsirkan ayat di atas, Makârem al-Syîrâzî juga memberikan kritik terhadap perdebatan penafsiran para ulama tafsir. Misalnya saja, pendapat Fakhuddin al-Razi (w. 602 H./1209 M.) yang mengatakan, keyakinan terhadap Allah swt. itu adalah satu dalam tiga substansi;
ab (bapak), ibn (anak), dan roh kudus, dan mereka berkata; Ia adalah Satu dalam substansi bilangan-Nya laksana matahari yang mencakup putaran, cahaya, dan panasnya, dan semua ini adalah satu dalam matahari. 190 Dalam perkataan lain, sebenarnya Fakhruddin al-Râzî dalam pandangan Makârem al-Syîrâzî ingin mengatakan, yang dimaksud akidah atau tauhid dalam tatslits, 191 itu pendapat yang menjelaskan tentang substansi keberadaan Tuhan itu satu, karena selamanya bilangan tiga tidak sama dengan satu kecuali salah satu dari kedua itu metafor
(majazi) dan yang satu hakikat-Nya. Demikian pula al-Qurthubi (w. 671 H.) yang masih dianggap sepaham dengan Fakhruddin al-Razi tentang ayat tersebut, karena ia hanya memberikan isyarat pada kelompok-kelompok Kristen seperti al-Malkiyat (al-Malkaniyat), Nasthariyat dan Ya'qubiyat, karena mereka menganggap bapak, ibu dan roh kudus itu ilahun wahid (Tuhan Satu). 193 Kedua pendapat di atas baik yang dikatakan Fakhruddin al-Razi maupun al-Qurthubi dianggap kurang tepat oleh Makârem al- Syîrâzî, karena mereka hanya menisbatkan akidah atau tauhid itu kepada semua
190 Fakhruddin Muhammad al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir. Jld. 4., h. 52. 191 Tatslits atau trinitas yang terambil dari penafsiran "tsalitsu tsalatsah" di masa modern
ini disebut trinitas. Trinitas ini dalam bahasa kamus memiliki tiga istilah lain yang sebenarnya maksudnya sama. Di antara tiga istilah yang sama tersebut ialah trinitas, trinitarian, dan trinitarianisme. Trinitas adalah pengakuan Imam Rasuli dalam Kristen katolik terhadap tiga tunggal, yaitu: Allah Bapak, Roh Kudus, dan Yesus Kristus. Trinitarian adalah penganut ajaran trinitas; umat katolik. Sedangkan trinitarianisme adalah pengajaran agama katolik tentang trinitas. Lihat, Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya : Arkola, t.th.),
h. 761.
192 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 255.
Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an. Jld. 3., h. 161. Bandingkan dengan penafsiran yang diberikan, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1925), Tafsir al-Qur'an al-Hakim al-Masyhur bi Tafsir al-Mannar. Juz. 6. (Beirut : Dar al-Kutub al- 'Ilmiyah, t.th.), h. 399.
Kritik Makârem al-Syîrâzî tidak saja ditujukan kepada tafsir yang notabene Sunni sebagaimana di atas tapi ditujukan juga kepada tafsir Syiah seperti Tafsir al-Mizan karya Muhammad Husain al-Thabathabai (w. 1402 H./1981 M.), karena tafsir ini masih menafsirkan tsâlitsun tsalâtsah atau tatslits dalam ayat tersebut sebagai segala yang satu berasal dari yang tiga (bapak, ibu dan roh kudus) itu adalah Tuhan yang sama dengan segala yang satu di antara tiga tersebut, yakni tiga esensi dalam satu waktu yang bersamaan. 195
Ketidaksetujuan Makârem al-Syîrâzî terhadap ketiga mufassir di atas didasarkan oleh alasan bahwa ayat yang ditafsirkan itu tidak dapat dimaknai secara zahir seperti yang dilakukan oleh mereka (ketiga penafsir), sehingga pembahasan yang ada hanya berkisar keyakinan seseorang dianggap kufur jika
meyakini Allah swt. sebagai salah satu dari tiga dzat atau tak ada keyakinan yang mengharuskan kufur bagi siapapun yang beranggapan Tuhan itu tiga, dan ketidaksetujuan itu dibantah dengan apresiasi dan ucapan yang sangat kritis, yakni "bukankan Allah menjadikan segala benda-benda yang tampak termasuk bayangan atau angan-angan yang dianggap bisa menangkap-Nya sebagai salah satu dari ketiga dzat tersebut." 196
Bahkan yang paling menarik ketika mengkritik ketiga mufassir, Makârem al-Syîrâzî mengutip hadis riwayat Ali bin Abi Thalib dengan tujuan dapat
mendukung alasan yang diberikannya itu. 197
194 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 255-256. 195 Muhammad Husain al-Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an. Jld. 6., h. 70-73. 196 197 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 256. Ceritera lengkap tentang hadis riwayat 'Ali bin Abi Thalib ialah seorang Arab Badui
yang datang kepada Ali bin Abi Thalib dalam suasana perang Jamal ingin menanyakan tentang "apakah benar Tuhan itu satu?". Dijawab oleh Imam 'Ali as. sebagai berikut : "Allah swt. itu satu atas empat bagian; dua bagian pertama, tidak diperkenankan bagi Allah dan dua bagian kedua, harus tetap kepada-Nya. Adapun dua bagian pertama ialah perkataan orang yang mengatakan satu tapi dengan maksud masih terdiri dari bilangan-bilangan, karena tidak ada bilangan yang cocok untuk-Nya, betapa kalian tidak melihat orang yang dikatakan kufur itu ialah orang yang menganggap Allah itu salah satu dari yang tiga dan perkataan yang mengatakan satu dengan maksud satu dari bagian jenis, dan dua perkataan ini dilarang karena dianggap tasybih, sedangkan dua bagian kedua, harus tetap kepada-Nya ialah perkataan orang yang mengatakan satu, tak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya dan perkataan orang yang mengatakan, Allah swt. itu satu makna, yakni Ia tidak terbagi baik dalam wujud, logika, maupun angan-angan,
Selain alasan hadis yang telah disebutkan, Makârem al-Syîrâzî juga memberikan uraian tambahan secara tegas diakhir penafsirannya, dengan mengatakan bahwa pemahaman tentang tauhid sifat yang ada pada ayat kedua itu tidak saja satu cabang dari sekian cabang tauhid, tapi juga dibutuhkan pemahaman yang benar tentang hal itu, yakni Allah swt. itu azali dan abadi, sifat-sifat yang dimiliki-Nya seperti ilmu, kuasa dan sebagainya juga azali dan abadi, sifat-sifat itu bukanlah substansi-Nya, tidak akan ditemukan pada sifat-sifat-Nya sesuatu yang baharu dan diperbaharukan, dan sifat tidak akan terpisah dari sebagian sifat yang lain seperti ilmu dan kekuasan-Nya itu satu dan keduanya ialah esensi dzat- Nya, Ia tidak dapat digambar oleh berbagai makna dan pandangan tentang sifat apapun, serta tidak ada jalan untuk menuju-Nya kecuali dengan kekuatan logika (al-quwwat al-manthiqiyyah) dan dalil-dalil yang halus dan mendalam ( al-istidlâl al-daqîq wa al-latîf). 198
Dengan demikian, uraian atau penjelasan di atas tentang penafsiran Q.s. al-Maidah/5 : 73, sebenarnya menjelaskan kesucian Tuhan, atau dalam artian yang lain, Tuhan itu azali dan abadi, dan demikian pula sifat-sifat yang dimiliki-Nya juga azali dan abadi. Ia dan kekuasaa-Nya itu satu dan keduanya ialah esensi-Nya bukan yang lain-Nya.
Kemudian, mengenai ayat ketiga (Q.s. al-Ikhlash/112 : 1-4) yang juga menjadi penguat atau pendukung ayat kedua (Q.s. al-Maidah/5 : 73), atau lebih tepatnya menjelaskan dalil terhadap tauhid sifat yang telah disebutkan sebelumnya.
Pada potongan surah tauhid, 199 yang berbunyi "qul huwallâhu ahad " ini, tidak saja ditafsirkan Makârem al-Syîrâzî sebagai ungkapan yang mencatatkan tentang keesaan Allah swt. dengan keindahan 'gambar-Nya' (konsep) dan
dan demikianlah Tuhan kita. Lihat, Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jami'ah li Durar al-Akhbar al-Aimmat al-Athhar. Cet. 1. Jld. III., h. 206. no. hds. 1. 198
Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 261.
Surat Tauhid yang dimaksud ialah Q.s. al-Ikhlash/112 : 1-4. Nama lain ini diberikan oleh Nasher Makârem al-Syarâzî pada saat ia menafsirkan surah itu di kitab tafsirnya, Nafahat al- Qur'an, bahkan ketika menyebutkan surah tersebut masuk dalam tema tauhid ia tidak menyebutnya surah ikhlash tapi surah tauhid. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al- Qur'an. Juz. III., h. 253 dan 257.
Allah swt. tapi juga menunjukan banyaknya pertanyaan tertuju kepada Nabi Muhammad saw. tentang Tuhan yang benar disembah dan ia juga mengajak mereka kepada-Nya, dan karenanya ia diperintahkan untuk menjelaskan kepada mereka tentang tauhid yang benar melalui penjelasan yang singkat dan terpusat dalam satu makna. 201
Penjelasan tentang tauhid yang benar dan terpusat pada satu makna juga diakui oleh al-Majlisi dalam tafsirnya ketika menganalisa kata (ahad) yang disinyalir memiliki akar kata (wahada) dan (wahdah), dan karenanya ungkapan (ahad) dan (wâhid) oleh mayoritas orang berarti bermakna satu seperti telah diisyaratkan oleh kandungan sebagian riwayat, dan kedua kata tersebut semuanya menunjukan tentang Dzat yang sama sekali tidak ada yang serupa dengan-Nya. 202
Namun dalam penelusuran Makârem al-Syîrâzî tentang kata tersebut tidaklah sama hasilnya seperti al-Majlisi, bahkan sebagian para ulama cenderung membedakan makna dua kata tersebut, dan paling tidak menurutnya terdapat lima analisis pendapat yang berbeda dalam melihat makna kata tersebut, 203 antara lain:
1. Kata ahad merupakan sebagian sifat khusus bagi Allah swt., karena ia tidak mutlak bagi manusia dan yang lainnya, sementara kata wahid tidaklah demikian maknanya.
2. Kata wahid pada penerapan maknanya digunakan untuk penetapan dan penegasian, sementara kata ahad hanya digunakan untuk menegasikan atau mentiadakan saja.
Dualisme memiliki dua arti; pertama, pandangan/teori yang mengatakan bahwa realitas itu terdiri atas dua substansi yang berlainan, yang satu tak dapat dimasukkan dalam yang lain. Jiwa dan materi, nyawa dan badan, baik dan jahat, semua itu sering dilukiskan sebagai realitas yang bertentangan; dan kedua, dipakai untuk menunjukkan sifat yang mendua. Lihat, Pius
A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, h. 124-125. Jadi, dualisme yang diyakini Majusi ialah keyakinan terhadap matahari dan Tuhan seperti halnya Nashrani meyakini tastlits (trinitas), dan karenanya orang-orang Majusi disebut itsnawiyah atau al-Ibadat al-Itsnain.
201 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 257.
Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jami'ah li Durar al-Akhbar al- Aimmat al-Athhar. Cet. 1. Jld. III., h. 222.
203 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 257-258
3. Kata ahad mengisyaratkan pada kesatuan dzat (al-Wihdat al-Dzat) sementara wahid mengisyaratkan pada kesatuan sifat (al-Wihdat al-Shifat).
4. Kata ahad mutlak atau hanya digunakan untuk dzat yang tidak dapat berbilang dan tidak pula yang terlintas dalam benak, dan karenanya, kata itu tidak dapat dianggap sebagai kebalikan dari kata wahid yang akan menggambarkan atau menerima (bilangan) lain seperti dua, tiga dan seterusnya.
5. Kata ahad mengisyaratkan pada keluasan dzat Allah swt. dan meniadakan segala bagian apapun dari-Nya, sementara kata wahid mengisyaratkan kepada keesaan zat-Nya yang masih menerima perumpamaan atau keserupaan terhadap-Nya. Berbeda dengan empat penafsiran sebelumnya yang tidak didasari dengan dalil-dalil yang jelas, seperti kata yaum al-Ahad, dan adapun kata wâhid yang dinisbatkan
kepada Allah swt. dalam al-Qur'an seperti ayat yang berbunyi; (ilâhun wâhid), 204 sebagaimana kata (ahad) digunakan pada kalimat penetapan seperti pada ayat yang telah dibahas di atas dan ayat-ayat yang lainnya di al-Qur'an. 205 Karena itu, anggapan yang benar dalam pandangan Makârem al-Syîrâzî
tentang makna kata tersebut ialah pada saat kedua kata itu ditafsirkan dengan satu makna. Anggapan demikian ini didukung juga oleh Fakhuruddin al-Razi yang mengatakan, kalimat (Allahu ahad) itu tidak lain menunjukan kesempurnaan sifat untuk mengetahui Allah swt. yang mungkin saja akan terekam dalam akal manusia, karena kata (Allâh) mengisyaratkan pada dzat yang memiliki segala sifat kesempurnaan, dan sementara kata (ahad) mengisyaratkan penegasian atau penafian terhadap seluruh sifat-sifat kebalikan-Nya. 206
Dalam lanjutan ayat berikutnya yang berbunyi (Allâhus-shamad), Makârem al-Syîrâzî menafsirkan, Tuhan yang berdiri dengan zat yang tidak
Potongan ayat di atas lengkapnya berbunyi: "Wa ilahukum ilahun wahid, la ilaha illa huwa al-rahman al-Rahim." (Q.s. al-Baqarah/2:163)
205 Adapun ayat-ayat lain, seperti Q.s. al-Taubat/9 : 6, Q.s al-Nisa/4 : 43, Q.s. Maryam/19 : 26, Q.s. al-Baqarah/2 : 180, Q.s. al-Kahfi/18 : 19, dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang
menyebutkan tentang hal tersebut.
206 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 258.
memerlukan segalanya dan seluruh makhluk akan selalu menuju kepada-Nya, dan makna demikian ini didasarkan atas kajian terminologi yang menyebutkan kata (al-shamad) dalam Maqayis al-Lughat memiliki dua makna asal; pertama, kata shamad yang berarti tujuan; dan kedua, kata shamad yang berarti keras dan kuat (kokoh), 207 dan ketika kata itu disandarkan pada Allah swt. maka maknanya ialah Maha tidak memerlukan (Ghanî) dari segala apapun yang berharap kepada-Nya, atau dengan kata lain, Ia adalah dzat yang wajib ada-Nya dan Ia berdiri dengan
dzat-Nya sendiri. 208 Bahkan, selain argumentasi bahasa yang diberikan, Makârem al-Syîrâzî
juga menambahkan alasannya secara tegas dalam karyanya yang lain, boleh jadi kedua makna itu kembali pada makna yang satu, karena dzat yang kuat, kokoh, dan berdiri dengan dzat-Nya sendiri merupakan Maha tidak memerlukan (Ghanî) dan sudah pasti menjadi tempat bagi siapapun yang memerlukan-Nya, dan atas
dasar makna demikian, maka kata shamad memberikan isyarat secara umum tentang seluruh sifat yang tetap dan negatif bagi Allah swt., sehingga dengan alasan-alasan yang ada kata shamad dapat menunjukkan banyak arti dalam riwayat-riwayat Islam yang sekiranya memunculkan segala arti hingga ke salah
satu di antara sifat-sifat yang dimiliki Allah swt. 209 Dengan demikian, tidak diragukan lagi, hubungan antara ayat Q.s. al-
Ikhlash/112 : 1-4 dan ayat sebelumnya terletak pada pembahasan keesaan Allah swt., karena Ia selain wâjibul wujûd, tidak memerlukan yang lain, dan karena semua mahluk membutuhkan kepada-Nya maka Ia tetap Satu dan Esa. Sementara untuk ayat berikutnya tentu menjadi penguat yang lain bagi kebenaran tauhid terhadap seputar keyakinan Nashara atau Umat Kristiani yang meyakini trinitas Tuhan (bapak, anak, penghubung antara keduanya), mengahapus atau membantah keyakinan orang-orang Yahudi yang menganggap Uzair anak Allah swt., dan
207 Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughat. Cet. 3. Jld. 3., h. 309.
208 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 258. 209 Nasher Makarem al-Syarazi, Al-Amtsal fi Tafsir Kitabillah al-Munzal. Jld. 20., h. 500-
keyakinan kaum Musyrikin Arab yang meyakini malaikat sebagai anak-anak perempuan Tuhan.
Penjelasan inilah yang dimaksud oleh Makârem al-Syîrâzî sebagai penegasian atas semua yang dituduhkan kepada Allah swt., sedangkan untuk membantah dan mengkritik tentang penyerupaan yang dituduhkan kepada-Nya ialah ayat yang berbunyi; "lam yalid wa lam yûlad" dan satu hal yang bisa diterima akal dari potongan ayat ini ialah tentang keberadaan-Nya yang dianggap memiliki anak dan kedua orang tua yang oleh mereka disebut penyamaan dan penyerupaan, karena bagi mereka tidak memiliki alasan untuk menolak antara penyamaan dan penyerupaan, dan jika demikian alasannya maka ia tidak akan mungkin disebut Yang Satu dan semua itu tidak pula dapat diserupakan dengan-
Nya. 210 Karena itu, potongan ayat selanjutnya atau akhir ayat tersebut berbunyi "
wa lam yakun lahû" oleh Makârem al-Syîrâzî ditafsirkan, selain menguatkan terhadap Satu-Nya Allah Yang Maha Suci dan keesaan-Nya juga tidak ada penyamaan dan penyerupaan kepada-Nya, atau dengan bahasa lain, setiap ayat dari Q.s. al-Ikhlash/112 : 1-4 menjadi tafsir atau penjelas terhadap Q.s. al- Syura/42 : 11 dan Q.s. al-Maidah/5 : 73, dan ketiga surat ini menjelaskan tentang permasalahan tauhid dengan bentuk yang komprehensif dan sempurna laksana
pohon tauhid yang indah dirimbuni berbagai dahan dan daun. 211 Dari beberapa urain yang telah disebutkan, jelaslah terdapat dua hal yang
dapat digarisbawahi; pertama, secara isi, Makârem al-Syîrâzî ingin menjelaskan Tuhan itu Maha Suci dan tidak berjisim, dan karena dalam keyakinan di Syiah, selain Tuhan merupakan prioritas utama sebagaimana kelompok lain tapi Tuhan itu azali dan abadi, sifat-sifat yang dimiliki-Nya juga azali dan abadi, Ia dan kekuasaa-Nya itu satu dan keduanya ialah esensi-Nya. Ia tidak dapat diproyeksikan, dianalogikan, atau diserupakan dengan yang lain, sebagaimana kelompok Muslim yang lain; dan kedua, secara metodologi, ia juga ingin menjelaskan tiga ayat yang telah disebutkan sebagai satu kesatuan tema dalam
210 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 259. 211 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 259.
permasalahan keesaan Tuhan dengan segala kesempuranaan-Nya, mengutip atau mengambil hadis dari jalur para imam yang berkenaan terhadap tema sebagai pendukung atau penguatnya, dan melakukan penakwilan secara iltifat seperti terhadap ayat "innallâha tsâlitsu tsalâtsah."
b.2. Al-Hidayat dalam Kehidupan Manusia
Sebagaimana disebutkan di bab III yang menjelaskan tentang para ulama selain Syiah berselisih dalam menyikapi kemungkinan sebagian ayat al-Qur'an yang menjelaskan kepada sebagian sekelompok manusia tentang petunjuk dan kesesatan itu bersumber dari Allah swt. berdasarkan ayat-ayat, seperti Q.s. al-Nahl / 16 : 93 dan Q.s. Ibrahim / 14 : 4.
Berbeda dengan pandangan mereka, ahl al-Bait atau para imam Syiah mengatakan bahwa Allah swt. adalah sumber petunjuk dalam kehidupan manusia,
kesesatan bersumber dari manusia itu sendiri, akan tetapi pada saat yang sama petunjuk dan kesesatan berjalan dalam kehidupan manusia sesuai dengan ikhtiyar dan ketetapan yang dilakukan orang tersebut, serta manusia itu sendiri yang mentiadakan petunjuk dan kesesatan itu sebagai bentuk perintah yang pasti dari kehendak-Nya. Karena itu, mereka juga meyakini kalau kehidupan manusia di muka bumi ini tidak lepas dari petunjuk (al-Hidâyat) dan kesesatan (dhalâlah). 212
Pandangan tersebut juga sama persis dengan Makârem al-Syîrâzî pada saat menjelaskan sifat-sifat perbuatan Allah swt. khususnya dalam menjelaskan nama- Nya sebagai al-Hâdi. Menurutnya, al-Hidâyat atau petunjuk itu seluruhnya datang dari Allah swt., baik berupa penciptaan, hukum-hukum alam (sunnatullah), perintah syariat, ajaran-ajaran, pendidikan maupun hukum-hukum syariat atau agama. Karena itu, hidayah dapat juga berupa pemeliharaan Allah swt. terhadap sperma yang hina lalu mengarahkannya ke tahap-tahap janin yang sempurna hingga menjadi sebagian manusia yang agung, karenanya hidayah dapat juga berupa penyelamatan Allah swt. terhadap hamba-Nya dari lembah kesesatan, bahkan hidayah juga dapat digambarkan sebagai wahyu yang diturunkan, serta
Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhan fi Tafsir al-Qur'an. Cet. I. Jld. I. (Beirut : Muassasat al-Bi'tsah, 1419 H./1999 M.), h. 35.
Nabi dan Rasul yang diutus untuk memberikan petunjuk kepada mereka, dan karena inilah pada setiap salat seseorang diperintahkan membaca Ihdina al- Shirâth al-Mustaqîm, karena Allah adalah al-Hâdi (Pemberi Petunjuk). 213
Paling tidak penelusuran Makârem al-Syîrâzî dalam melihat kontek Allah swt. disifati sebagai al-Hâdî, terdapat dua ayat yang menjelaskan hal tersebut,
yaitu Q.s. al-Furqan/25 ayat 31 215 dan Q.s. al-Hajj/22 ayat 54 : Kata
(hâdî) 216 merupakan derivasi dari (hidâyah) yang secara asal bermakna petunjuk dan bimbingan yang dibarengi dengan lemah lembut, dan
demikian pula disebut al-Hadiyyah karena sebab yang sama. 217 Makna ini berbeda dengan makna yang diberikan oleh Mu'jam Maqayîs al-Lughah yang menyebutkan dua makna; pertama, bermakna al-Irsyâd yang berarti "pemberian bimbingan," dan kedua, bermakna irsâl al-Hadiyyah yang berarti "pemberian hadiah." 218
Meskipun pendapat pertama (bermakna petunjuk dan bimbingan) oleh Makarem al-Syirazi tetap dianggap makna asal yang kembali kepada satu makna yang lebih banyak digunakan daripada makna yang lainnya. Hal yang sama juga menurutnya, kata (hâdî) secara mutlak sering dipakai setiap hari di Arab, karena
213 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. IV., h. 325. 214 Q.s. al-Furqan/25 ayat 31:
Artinya : "Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong."
215 Q.s. al-Hajj/22 ayat 54 :
Artinya: "Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus."
Kata ىدﺎھ pada kalimat ﻦﯾﺬ ﻟا دﺎ ﮭﻟ di atas dalam beberapa tempat yang lain menggunakan lafal دﺎ ھ (tanpa huruf ya) dalam sepuluh titik / tempat di al-Qur'an, dan dari sepuluh ini hanya dua pemakaian saja yang seperti ئرﺎ ﺒﻟاsecara tulisan atau lafalnya. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. IV., h. 325-326.
217 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 569-570. 218 Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughat. Cet. 3. Jld.
2., h. 42.
kata ini menjadi sarana untuk menunjukkan kepada yang lain, dan demikian pula kata al-'Ashâ (tongkat) yang digunakan sebagai penunjukan jalan bagi tuna netra dinamakan hâdiyat (alat penunjuk), dan demikian pula untuk istilah leher-leher
kuda dan hewan-hewan yang berjalan di awal malam dinamakan al-Hawâdî. 219 Selain derivasi-derivasi yang telah disebutkan, terdapat juga kata "hadya"
yang mengikuti bentuk pola seperti "sa'ya", dan kata ini secara mutlak digunakan untuk menyebutkan hewan onta baik al-Ba'îr maupun al-Nâqah yang disembelih untuk persembahan kepada ka'bah (baitullah), karena ia merupakan hadiah orang- orang beriman terhadap tempat tersebut. 220
Terlepas dari bahasa atau derivasi yang digunakan, Makarem al-Syirazi menyebutkan, ketika kata tersebut digunakan seperti untuk sifat-sifat perbuatan Allah swt. maka ia sebenarnya telah menunjukkan kepada masalah hidayah-Nya terhadap seluruh aspek kehidupan baik materi maupun maknawi, zahir atau batin,
hukum alam atau hukum syariat (agama). Karena menurutnya, Dia yang menutup gelombang-gelombang hidayah terhadap siapa saja yang ada, dan ketika Ia menahan sebagian hidayah-Nya baik berupa hukum alam maupun hukum syariat dalam sejenak maka niscaya seseorang akan tersesat dan binasa. 221
Bahkan kata atau istilah al-Hidayat menurut penuturan kitab Al-Mufradat memiliki empat tingkatan makna jika mengacu pada beberapa ayat al-Qur'an, yaitu :
1. Hidayah secara umum mencakup seluruh mukallafîn (orang yang dibebani syariat atau agama) adalah satu jenis dari hidayah hukum alam yang di dalamnya termasuk akal, kecerdasan, pengetahuan-pengetahuan fitrah dan pengetahuan dasar, semuanya ini ditegaskan dalam Q.s. Thaha/20 ayat 50 (yakni; rabbunâ al-Ladzî a'thâ kulla syai`in khalqahû tsumma hadâ),
219 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. IV., h. 326. 220 Abu 'Abd. al-Rahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitab al-Ain. Juz. 4., h. 77; Al-
Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 571-572; lihat juga, Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughat. Cet. 2. Jld. 2., h. 42-43; lihat juga, Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab. Cet. 1. Jld. 15, h. 359; lihat juga, Muhammad Murtadha al-Husaini al-Wasithi al-Zubaidi, Syarh al-Qamus al-Musamma Taj al-'Arûs. Jld. 10., h. 408-409; lihat juga, Fakhruddin al-Thirihi, Majma' al-Bahrain. Juz. 1., h. 474.
221 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. IV., h. 326.
2. Hidayah yang terimplikasi melalui perantaraan para rasul dan Nabi, dan kita-kitab samawi yang biasa disebut hidayah syariat atau agama (al- Hidayah al-Tasyrî'iyah), dan semuanya ini ditegaskan dalam Q.s. Al- Sajdah/32 ayat 24 (yakni; wa ja'alnâ minhum aimmatan yahdûna bi amrinâ),
3. Hidayah dalam artian pertolongan (al-Tawfîq), yang khusus diberikan kepada sebagian hamba, dan hal ini ditegaskan dalam Q.s. Muhammad/47 ayat 17 (yakni; wal-Ladzîna ihtadau zâdahum hudâ), dan
4. Hidayah akhirat atau pahala-pahala Allah swt. yang dapat mengantarkan kepada seseorang untuk masuk surga, sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni surga yang ditegaskan dalam Q.s. Al-A'râf/7 ayat 43 (yakni;
al-Hamdulillâhi l-Ladzî hadânâ li hâdza). 222 Empat tingkatan hidayah yang diungkapkan ini jika dicermati maka tentu
dapat diraih secara berurutan, dan apabila tingkatan hidayah pertama, kedua dan seterusnya dapat dicapai maka ketiga dan keempat juga dapat dicapainya, dan demikian pula sebaliknya.
Karena itu, Makârem al-Syîrâzî dalam menafsirkan hidayah Allah swt. paling tidak ada dua sisi yang dapat mengantarkan keinginan seseorang kepada sifat-Nya sebagai al-Hadi; sisi pertama, adanya anggapan bahwa segala sesuatu yang ada dapat ditundukkan dengan perintah Allah swt. sebagai petunjuk-Nya, dan siapapun yang senantiasa memanfaatkan jalan-jalan ini, memenuhi panggilan- Nya dengan mengikuti langkah-langkah-Nya melalui ketaatan terhadap hukum alam dan hukum syariat atau agama maka ia akan selamat dari kesesatan, dan sisi kedua, adanya anggapan bahwa berakhlak dengan akhlak Tuhan akan mengharuskan setiap individu untuk senantiasa menunjukkan kepada orang lain, membantu anak bangsanya, dan berjalan bersama dengan langkah-langkah sempurna dan variatif agar dapat mengantarkan kepada tempat tujuan atau tujuan yang diinginkan, yaitu bermakrifat kepada Allah dengan menyibakkan nama- nama dan sifat-sifat-Nya. 223
222 Al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an, h. 570. 223 Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. IV., h. 327.
Selain penjelasan secara Qur'ani, hidayah juga dalam riwayat Islam dalam pandangan Makarem al-Syirazi digambarkan sebagai sosok konsep yang sejalan dengan al-Qur'an seperti al-Faydh (pancaran). 224
Dengan demikian, meski al-Hidâyat memiliki derivasi yang begitu beragam akan tetapi ketika kata itu disandingkan atau disandarkan dengan sifat- sifat perbuatan Allah swt. maka yang dimaksud adalah petunjuk-Nya. Petunjuk Allah ini mencakup berbagai aspek baik zahir maupun batin, baik hukum alam mapun hukum syariat (agama), dan sebagainya. Akan tetapi, gelombang hidayah akan senantiasa berhembus dan berpengaruh dari kehendak-Nya dan kekuasaan- Nya, karena ia adalah hak pereogratif-Nya. Bahkan, agar seseorang dapat menghampiri dan dekat dengan citra Tuhan sebagai al-Hâdi maka ia harus memiliki dua anggapan atau asumsi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.
Demikianlah dari uraian-uraian yang telah disebutkan dalam berbagai sub
bab dalam bab ini maka terlihat jelas bahwa selain penjelasan-penjelasan itu menunjukkan kepada tema makrifat dan tema tauhid dan tema hidayat sebagai pemberian yang memencar dalam hukum-hukum alam, juga menggambarkan kepada prinsip-prinsip keyakinan Syiah, dan prinsip ini terlihat atau mengemuka pada saat mengelaborasi penafsiran-penafsiran ayat dari tema-tema tersebut secara kritik.
224 Makârem al-Syîrâzî menggambarkan hidayah sejalan dengan al-Quran seperti pancaran (al-Fayd). Hal ini tampak pada nasehat imam Ali as. kepada anaknya imam Hasan as.
sebagai berikut : “Ketahuilah! wahai anakku, jika Tuhan itu memiliki sekutu maka niscaya akan datang kepadamu utusan-utusan sekutu Tuhan itu, dan engkau akan melihat tanda-tanda kerajaan-Nya dan kekuatannya, dan engkau pasti mengetahui perbuatan-perbuatan-Nya dan sifat- sifat-Nya akan tetapi Ia adalah Tuhan yang satu sebagaimana Ia menyifati diri-Nya." Lihat Abu al-Hasan Muhammad bin al-Husain al-Musawi atau lebih dikenal Al-Syarif al-Ridha, Nahj al- Balaghat, telah disyarh oleh Syekh Muhammad 'Abduh., bagian 3 dari tema Washiyat Amir al- Mu'minin li al-Hasan ibn Ali as bihadhirîn munsharifan min Shiffîn., h.559. Kemudian, mengenai riwayat Islam atau riwayat hadis di atas memiliki makna bahwa sungguh Allah itu maha Bijaksana, dan Tuhan yang maha Bijaksana itu memiliki pengaruh hidayat dan al-Faydh (pemancaran) di alam kejadian dan penciptaan demikian juga terjadi di alam penetapan hukum dan agama, dan karenanya, bagaimana mungkin akan ada Tuhan lain dan kita juga tidak melihat dampak atau pengaruh ciptaannya pada alam nyata, bahkan kita juga tidak menyaksikan tanda- tanda utusannya? Ini tentu tidak sesuai dengan hikmah Tuhan selamanya karena hal ini merupakan pembatas bagi manusia untuk mengenal kebesaran-Nya dan kekuasaan-Nya. Lihat, Nasher Makârem al-Syirâzî, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 191.