TEMA AL-WILAYAT DAN ESKATOLOGI (AL-MA'ÂD)
BAB V TEMA AL-WILAYAT DAN ESKATOLOGI (AL-MA'ÂD)
Bab ini menguraikan tentang corak pemikiran tafsir dan metode Makarem al-Syirâzî dalam tema lanjutan al-ushul al-khamsah Syi'ah. Tema-tema tersebut adalah : a) Al-wilâyah (kepemimpinan) yang mencakup dua ushul Syi'ah yaitu Kenabian (al-wilâyat al-'âmmah) dan Imamah (al-wilâyat al-Khâshshah). Dalam keyakinan Syiah, kedua wilayat ini adalah orang-orang maksum (suci) sebagai khalifah Tuhan di muka bumi yang bertanggung jawab mengajak umat kepada kebaikan. kerena itu dalam bab ini penulis mengangkat argumentasi Makarem al- Syirâzî dalam menafsirkan ayat yang berkenaan kemaksuman kedua wilayah tersebut; b) Eskatologi (al-Ma'âd). Sebagai sampel dari corak pemikiran tafsir Makarem al-Syirâzî berkaitan dengan ini penulis mengangkat tema tajsîd/tajassum al-a'mâl (amal perbuatan yang berubah bentuk menjadi sosok) dan
kemustahilan melihat Tuhan di dunia dan di akhirat.
A. Tema Al-Wilâyat (kepemimpinan)
Al-Wilâyat 1 secara singkat dapat diartikan kepemimpinan atau otoritas kepemimpinan. Jika Nabi sebagai mahluk pilihan Allah diyakini memiliki otoritas kepemimpinan atas seluruh kaum Muslimin maka imampun mempunyai wilayah dalam menggantikan peranan nabi di dalam mengatur urusan dan kepentingan masyarakat dengan menegakkan keadilan, memberantas kezaliman, dan mengatasi persengketaan di antara mereka. Syiah juga meyakini kalau pada setiap zaman wajib ada seorang imam yang menunjukkan ke jalan terang, menggantikan peran para Nabi di dalam tugas-tugasnya sebagai pemberi petunjuk kepada manusia, mendorong kepada kebaikan dan kebahagiaan.
1 Wilayat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti wilayah. Wilayah dalam kamus ini diartikan sebagai daerah kekuasaan, pemerintahan, pengawasan, dan sebagainya; termasuk di
dalamnya mencakup propinsi, kabupaten, kawedanan/karesidenan. Dari kata dasar yang sama, kata "wilayah" dalam kalimat bahasa digunakan pula bentuk "mewilayahi", "sewilayah," dan "perwilayahan", yang ketiganya ini tidak jauh berbeda arti konotasinya. Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. I. (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), h. 1011.
Karena itu, mayoritas ulama Syiah mengartikan imamah sebagai kelanjutan dari kenabian, atau juga menyamakan imamah dengan kenabian. 2
Bahkan, tidak sedikit sumber-sumber hadis dan sejarah Sunni mengungkapkan penunjukkan Nabi langsung kepada 'Ali bin Abi Thalib ra. sepeninggalnya, seperti
Al-Mushannaf 'Abd. al-Razzâq, 3 Musnad Ahmad bin Hanbal, 4 Mustadrak, 5 Usud
6 al-Ghabah, 7 dan Al-Ishâbah fi Tamyîz al-Shahâbah. Dari sini kita dapat melihat bahwa selain mayoritas ulama Syiah yang
mengidentikan imamah dengan kenabian, kalangan ulama Sunni pun demikian jika dicermati secara teliti dan mendalam. Meskipun pengakuan mereka ini hanya sebatas memberikan informasi yang sifatnya deskriptif.
Hal tersebut sama persis dengan penjelasan Nasher Makarem al-Syirazi, yang membagi posisi al-Wilâyah atau otoritas kepemimpinan menjadi dua bagian. Pertama, kepemimpinan secara umum (al-Wilâyah al-'Ammah), yang
mengharuskan adanya pemimpin spiritual di tengah-tengah masyarakat sebagai wakil Allah dalam setiap masa, dan boleh jadi ia menduduki kenabian dan rasul atau juga menempati wilayah saja. Kedua, kepemimpinan imam secara khusus (al-Wilâyah wa al-Imâmah al-Khashshah), yang otoritas kepemimpinannya hanya dipimpin oleh seseorang yang menduduki posisi atau maqam spiritual setelah Nabi Muhammad saw. 8
2 Lihat, Bab II pada sub atau bagian terakhir. 3 Abu Bakar 'Abdillah bin Muhammad bin Abi Syaibah (w. 235 H.), Al-Kitab al- Mushannaf fi al-Ahadits wa al-Atsar, telah ditashhih dan tarqim oleh Muhammad 'Abd. al-Salam Syahin. Jld. 6. Cet. II. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1426 H./2005 M.), h. 368-375.
4 Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 H.), Al-Musnad Ahmd bin Hanbal. Juz. II. Cet. I. (Kairo : Dar al-Hadits, 1416 H./1995 M.), h. 255.
5 Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Abdillah al-Hakim (w. 405 H.), Al-Mustadrak 'ala al- Shahîhain. Juz. 4. Cet. II. (Beirut : Dar al-Ma'rifat, 1427 H./2006 M.), h. 106-107. Perlu
diinformasikan disini bahwa banyak sekali hadis-hadis yang berisi tentang nabi berwasiat atau berkata langsung kepada 'Ali dalam berbagai hal termasuk urusan wilayat. Selain itu, di kitab ini juga menyebutkan hadis-hadis manaqib termasuk sebagian hadis-hadis khusus yang menceritakan Ahli Bait Rasulullah saw.
6 Abu al-Hasan 'Ali bin Muhammad Ibn al-Atsir al-Jazari, Usd al-Ghâbat fi Ma'rifat al- Shahâbat, tahqîq oleh Khalid Thurthusi. Juz. 3. Cet. I. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Arabi, 1427
H./2006 M.), h. 405-406. 7 Ahmad bin 'Ali bin Muhammad bin Muhammad bin 'Ali al-'Asqalani, Al-Ishâbah fî
Tamyîz al-Shahâbab. Jld. II. (Beirut : Dâr al-Kitâb al-'Arabi, t.th.), h. 501-503. 8 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qur'ân Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû'î li
al-Qurân al-Karîm. Jld. 9. Cet. I. (Qom-Iran : Al-Haidari Muassasah Abi Shâlih li al-Nasyr wa al- Tsaqâfah, 2000), h. 33.
Paling tidak menurut Makârem al-Syîrâzî ada tiga ayat yang menjadi dasar atau landasan dalam pembagian kepemimpinan atau al-Wilâyat tersebut, antara lain : 1) Q.s. al-Ra'du/13 ayat 7, 2) Q.s. al-Taubah/9 ayat 119, dan 3) Q.s. al- Nisa/4 ayat 59. Berikut ini uraian tafsir ketiga ayat yang dimaksud :
Al-Qur'an surah al-Ra'du/13 ayat 7 ini 9 dinamakan ayat peringatan dan petunjuk (al-Indzâr wa al-Hidayat), karena menjelaskan tentang penegasan Allah swt. kepada Rasul bahwa Muhammad adalah orang yang memberi peringatan kepada seluruh manusia di bumi.
Penegasan ini juga diungkapkan oleh al-Râzi (w. 604 H.) dalam tafsirnya yang menjelaskan ayat tersebut dengan tiga pembahasan. Pertama, kata al- Mundzir dan al-Hâdi adalah satu jenis, sehingga seolah-olah ayat ini berbunyi innamâ anta mundzirun wa hadin li kulli qaumin yang berarti engkau (Muhammad saw. adalah pemberi peringatan juga pemberi petunjuk kepada setiap
kaum). Kedua, yang dimaksud al-Mundzir adalah Nabi saw. dan yang dimaksud al-Hâdi adalah Allah swt. Ketiga, yang dimaksud al-Mundzir adalah Nabi saw.,
sedangkan yang dimaksud al-Hadi adalah sahabat Ali bin Abi Thalib ra. 10 Bahkan dalam menguatkan pendapat yang telah dikemukan tersebut, al-
Razi juga mendasarinya dengan perkataan Ibn Abbas yang menjelaskan tentang Nabi telah meletakkan tangannya di atas dadanya sendiri sambil mengatakan; "aku pemberi peringatan", kemudian beliau meletakkan tangannya di pundak Ali ra. sambil bersabda; "engkau adalah pemberi petunjuk wahai Ali", melalui
tanganmu orang-orang akan mendapat petunjuk setelah aku. 11 Namun demikian, penafsiran yang dikemukakan al-Razi terhadap ayat
tersebut oleh Nasher Makarem al-Syirazi dianggap tidak konsisten, bahkan ia juga dinilai sebagai seorang fanatik dengan ke-Sunni-annya.
9 Q.s. al-Ra'd/13 ayat 7 :
Artinya : "… Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap- tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.
10 Fakhruddin Muhammad al-Razi (w. 604 H.), Tafsîr al-Fakhr al-Râzi al-Musytahir bi al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib. Juz. 19. (Beirut : Dar al-Fikr, 1410 H./1990 M.), h. 15.
11 Fakhruddin Muhammad al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jld. 19. h. 15.
Hal ini karena al-Razi hanya berpegang pada pendapat atau pembahasan pertama dan kedua yang telah dikemukakannya di atas, sementara makna ketiga diingkarinya karena tidak sesuai dengan pemikiran (ideologi) Syi'ah. Padahal penafsiran ayat pertama jelas-jelas tidak sesuai dengan zahir ayat, karena jika kedua sifat (al-Mundzir dan al-Hâdi) ini adalah milik Rasulullah saw., maka ungkapan yang diibaratkan al-Razi (innamâ anta mundzirun wa hâdin likulli qaumin) kurang tepat, sehingga tidak perlu mendahulukan kata li kulli qaumin
dari kata hâdin. 12 Di sini kita melihat secara cermat bahwa perdebatan antara al-Razi dan al-
Syarzi sebenarnya tidak lepas dari perbedaan pemahaman yang ditimbulkan dari susunan kalimat al-Qur'an itu sendiri. Susunan kalimat al-Qur'an tentu tidak dapat dirubah akan tetapi jika seseorang menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan gramatikal Arab maka sah-sah saja untuk melakukan hal tersebut. Kalimat atau
lafal yang dahulu akan dapat diakhirkan dan demikian sebaliknya asalkan sesuai atau mengikuti tata aturan bahasa Arab tersebut.
Lebih lanjut, Nasher Makarem al-Syirazi menawarkan bahwa kedua sifat itu baik al-Mundzir maupun al-Hâdi harus didahulukan, sehingga ayatnya seolah- olah akan berbunyi innamâ anta likulli qaumin mundzirun wa hâdin. Ringkas kata, dalam ayat itu tidak dapat dibenarkan meniadakan (lafal/kalimat) karena mendahulukan kata likulli qaumin yang jelas-jelas menjadi sifat dengan mengakhirkan yang lainnya. 13
Demikian pula penafsiran yang kedua dari al-Razi, yang juga oleh Nasher Makarem al-Syirazi dianggap kurang relevan, karena jika Allah sebagai pemberi petunjuk (al-Hâdi) dalam kehidupan manusia di dunia ini maka sebenarnya tidak diragukan oleh siapa pun dan niscaya memerlukan keterangan lebih lanjut. Apalagi ungkapan mengemuka yang menyebutkan bahwa pada setiap zaman ada seorang yang akan memberi petunjuk. Sementara Allah swt. itu ahad yang tak satupun menyerupai-Nya, sehingga keesaan-Nya tidak ada yang dapat mengatur- Nya, dan sementara yang berbilang menerima (sesuai) dengan ungkapan likulli
12 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qurân. Juz. 9. h. 34. 13 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qurân. Juz. 9. h. 34.
qaumin hâd. Atas dasar pendapatnya ini, ia juga hanya menerima penafsiran yang menganggap Nabi sebagai pemberi peringatan (al-Mundzir) dan bagi setiap kaum di setiap masa terdapat seorang yang memberi petunjuk (al-Hâdi). 14
Bahkan Nasher Makarem al-Syirazi, memunculkan sebuah pertanyaan yang seolah-olah jika dijawab orang lain akan mengikuti jawabannya; apakah pemberi petunjuk (al-Hâdi) itu mengisyaratkan kepada ulama? Jawabannya adalah bahwa pada setiap zaman tidak hanya satu orang ulama saja, tetapi terdapat banyak ulama, sedangkan Nabi diutus hanya satu orang saja pada setiap zamannya, maka yang memberi petunjuk (al-Hâdi) bagi kaum Muslimin pada setiap zaman juga satu orang. Dengan ungkapan lain, Nabi saw. adalah seorang pembawa agama dengan tugas memberi peringatan (indzâr) dan para imamlah
yang meneruskan jalannya dalam memberikan petunjuk (al-Hâdi). 15
Meskipun demikian, Nasher Makarem al-Syirazi juga menyadari kalau apa
yang telah diuraikannya merupakan poin yang bisa diperoleh secara akomodatif jika melihat konteks ayat itu sendiri. Demikian pula dalam menyikapi riwayat- riwayat yang didapatkan atau dinukil dari ahli sunnah dan syi'ah dengan metode yang sama, sehingga permasalahan tersebut di atas akan lebih jelas.
Hal yang sama diungkapkan oleh Jaluddin al Suyuthi (w. 911 H.) dalam tafsirnya Al-Durr al-Mantsûr yang juga beraliran Sunni seperti Tafsir al-Razi. Di tafsir ini banyak menyebutkan berbagai riwayat dalam menguatkan penafsiranya terhadap surah al-Ra'du/13 ayat 7 yang berkenaan dengan siapa pemberi petunjuk (al-Hâdi) dan pemberi peringatan (al-Mundzir). Dengan bahasa lain, ketika Rasul sebagai seorang pemberi peringatan maka apakah 'Ali bin Abi Thalib seorang pemberi petunjuk.
Paling tidak terdapat lima riwayat yang disebutkan al-Suyuthi tentang hal tersebut di tafsirnya : 16
1) Dari Ibn Jarir, Ibn Marduyah, Abu Nua'im, al-Dailami, Ibn 'Asyakir, dan Ibn Najjar mengatakan bahwa ketika ayat tersebut (innamâ anta
14 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qurân. Juz. 9. h. 35. 15 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qurân. Juz. 9. h. 35. 16 'Abd. al-Rahman Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma'tsûr. Juz.
4. Cet. I. (Beirut : Dar al-Fikr, 1403 H./1983 M.), h. 607-608.
mundzirun wa likulli qaumin hâd) turun, Rasulullah meletakkan tangan di dadanya sambil mengatakan: "Akulah pemberi peringtan", kemudian ia juga meletakkan tangannya di pundak Ali ra. sambil mengucapakan; "Engkau pemberi petunjuk wahai Ali", dan melalui tanganmu inilah orang- orang akan mendapat petunjuk setelahku " 17
2) Dari Abu Barzah al-Aslami yang menyebutkan bahwa dirinya pernah mendengar dari Nabi saw. tentang ayat tersebut sambil meletakkan tangan di dadanya sambil membaca ayat; "innamâ anta mundzirun", dan ia juga meletakkan tangannya di dada Ali sambil membaca "wa likulli qaumin
hâd". 18
3) Dari Abdullah Ibn Ahmad, Ibn Abi Hatim, al-Thabrani, al-Hakim, Ibn Marduyah dan Ibn Asyakir yang semuanya bersumber dari tafsir Ali ra. yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata: "Rasulullah
adalah pemberi peringatan (al-Mundzir) dan aku adalah pemberi petunjuk (al-hâdi). 19
4) Dari Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Nabi sa. bersabda: "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan (al-Mundzir) dan Ali ra. adalah pemberi petunjuk (al-Hâdi), serta ditangan Ali-lah orang-orang akan mendapat petunjuk." 20
5) Hadis tentang 'Ali bin Abi Thalib terdapat juga dalam Mustadrak al- Hâkim, yang diriwayatkan dari sahabat Abi Buraidah al-Aslami dengan uraian yang luas bahwasanya Rasulullah saw meminta untuk disediakan air wudhu sementara Ali ra. berada bersamanya, ia juga memegang tangan Ali as. Setelah berwudhu Rasul menempelkan tangan Ali ra di dadanya sambil berkata: ”innamâ anta mundzir”, kemudian beliau meletakkan
17 'Abd. al-Rahmân Jalâluddin al-Suyûthi, Al-Durr al-Mantsûr. Juz. 4., h. 45. 18 'Abd. al-Rahmân Jalâluddin al-Suyûthi, Al-Durr al-Mantsûr. Juz. 4., h. 45.
20 'Abd. al-Rahmân Jalâluddin al-Suyûthi, Al-Durr al-Mantsûr. Juz. 4., h. 45. Hadis-hadis seperti ini cukup banyak dalam riwayat ahli sunnah. Seperti al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Dzahabi dalam al-Talkhis, Fakhruddin Muhammad al-Razi dalam Mafâtih
al-Kabîr dan Ibn Katsir dalam Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm atau Tafsîr Ibn Katsîr, Ibn Subbagh al Maliki dalam al fushûl al-Muhimmah, al-Kalabanji al-Syafi'î dalam kifâyah al-Thâlib, al-Thabari dalam Jami' al-Bayân Ibn Hayyan al Andalusi dalam al-Bahr al-Muhîth, al-Naisaburi dalam tafsirnya, al-Hamwini dalam Farâid al-Samthaini, dan sebagainya.
kembali tangan Ali di dadanya sambil bersabda: “wa likulli qaumin hâd (dan setiap kaum memiliki seorang pemberi petunjuk),” kemudian Rasul berkata lagi: "Engkaulah menara manusia, puncak dari segala petunjuk, pemimpin para qari', dan aku juga bersaksi bahwa engkau adalah seperti demikian." 21 Karena itu, Makârem al-Syîrâzî menganggap, tidak mustahil dan tidaklah
berlebihan kalau nabi benar-benar telah mengatakan dan menguraikannya berulang kali hadis-hadis tersebut. Hal ini disebabkan ungkapan kata dalam hadis itu menggunakan kalimat yang berbeda-beda, dan hal ini juga menunjukkan sebagai bukti dari urusan kepemimpinan atau wilâyat tersebut.
Sebagaimana juga terdapat beragam riwayat yang di keluarkan oleh Ahl al-Bait, akan tetapi cukup diungkapkan sebagian saja. Seperti pada tafsir Nûr tsaqalain, 22 yang mencapai 15 hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bâqir as.
dan Imam al-Shâdiq as. di mana keduanya mengatakan bahwa setiap imam adalah pemberi petunjuk (al-Hâdi) bagi setiap kaum di setiap zaman, atau dengan kata
lain, setiap imam adalah pemberi petunjuk bagi suatu abad dimana ia hidup. 23 Selain itu, Nasher Makarem al-Syirazi juga mengkritik sebagian mufassir
yang dianggap telah melupakan riwayat-riwayat tentang wilâyat, bahkan menggantikan riwayat-riwayat itu dengan makna yang lain sehingga jauh dari maksud al-Qur'an. Mereka seolah-olah beranggapan kalau dirinya bersandar kapada riwayat sahabat yang tidak meriwayatkan dari nabi secara langsung seperti tafsir Mujahid yang menyebutkan maksud al-Mundzir dalam ayat itu adalah Muhammad, sedangkan yang dimaksud li kulli qaumin hâd adalah setiap kaum
terdapat nabi yang tugasnya mengajak mereka kepada Allah swt. 24 Demikian juga riwayat dari Said bin Jubair yang dianggap tidak sesuai
oleh Nasher Makarem al-Syirazi dalam menafsirkan kalimat al-Munzdir dan al-
21 Muhammad Husain al-Thabathabai, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân. Juz. 11. (Beirut : Muassasat al-A'lami li al-Mathbu'at, t.th.), h. 327. 22
'Abd. 'Ali Jum'at al-'Arusi al-Huwayzi, Tafsir al-Nur al-Tsaqalain, telah ditahqiq oleh sayyid 'Ali 'Asyur. Jld. 2. Cet. 1., (Beirut : Muassasat al-Tarikh al-'Azabi, 1422 H./2001 M.), h. 482-485.
23 'Abd. 'Ali Jum'at al-'Arusi al-Huwayzi, Tafsir al-Nur al-Tsaqalain. Jld. 19 dan 20, h. 483.
24 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qurân. Juz. 9. h. 37.
Hâdi. Karena riwayat ini menyebutkan al-Mundzir adalah Muhammad dan sementara al-Hâdi adalah Allah ! padahal secara zahir ayat di atas menunjukan tentang pemberi petunjuk (al-Hâdi) setiap kaum berbeda dengan pemberi petunjuk yang lain, karena Allah swt. adalah pemberi petunjuk kepada setiap kaum. Karenanya, apakah layak meninggalkan riwayat-riwayat mutawatir dari Rasulullah dan berjalan ke penafsiran yang salah karena ingin menghindari dari Syiah ? 25
Dengan demikian, jika kita perhatikan dari uraian di atas maka jelaslah bahwa yang dimaksud pemberi peringatan (al-Mundzir) dalam Q.s. al-Ra'du/13 ayat 7 adalah Muhammad bin 'Abdillah saw., sementara yang dimaksud pemberi petunjuk (al-Hâdi) dalam ayat tersebut adalah 'Ali bin Abi Thalib ra. Penafsiran demikian ini tidak saja didasarkan oleh riwayat dari Ahl Bait tapi juga dari riwayat-riwayat Sunni. Karenanya, ayat ini dianggap sebagai payung atau dasar
hukum bagi otoritas kepemimpinan atau wilâyat sepeninggal Nabi saw., karena tidaklah mustahil kalau Nabi benar-benar bersabda tentang hal tersebut.
Selain itu, baik kalangan tafsir Sunni maupun tafsir Syiah yang telah disebutkan semuanya menggunakan riwayat-riwayat hadis dalam menguatkan penafsiran mereka terhadap ayat di atas. Bahkan, hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang digunakan mereka relatif sama dalam maknanya, meskipun redaksinya berbeda-beda.
Kalau pada ayat pertama Nasher Makarem al-Syirazi menamakannya sebagai ayat al-Indzâr wa al-Hidâyat, maka pada ayat kedua yaitu al-Qur'an surah al-Taubah/ 9 ayat 119, 26 yang juga mejadi dasar wilayat atau kepemimpinan menyebutnya dengan âyat al-Shâdiqîn. Pada âyat al-Shâdiqîn ini menjelaskan ajakan Allah swt. kepada orang-orang yang beriman untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya, setelah itu ayat ini juga memerintahkan mereka agar selalu bersama orang-orang yang jujur (al-Shâdiqîn), sehingga tidak menyimpang apalagi sampai
25 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qur'ân. Juz. 9. h. 37. 26 Q.s. al-Taubah/9 ayat 119 :
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)." Artinya : "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)."
Dengan nada kritik Nasher Makarem al-Syirazi mempertanyakan siapakah yang dimaksud al-Shâdiqîn dalam ayat tersebut? Karena ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud orang-orang jujur (al-Shâdiqîn) ialah pribadi Nabi saw., ayat ini hanya berlaku di masa Rasul saja, dan pembicaran ayat ini sama seperti pembicaraan-pembicaraan al-Qur'an secara umum yang penunjukkannya mencakup seluruh orang-orang yang beriman di setiap masa dan kota. 27
Demikian juga kritik terhadap pendapat lain yang menganggap kata "ma'a" (bersama) pada ayat di atas dengan "min" (dari), yang berarti "jadilah
kamu sekalian dari / termasuk golongan orang-orang yang jujur (al-Shâdiqîn)! 28 Dalam artian lain, penafsiran ini menurutnya secara darurat bisa dianggap sebagai
contoh penggunaan takwil dan pemaksaan penafsiran, bahkan hal ini tidak terbiasa dikalangan sastra Arab dan para sastrawan untuk menggunakan kata ma'a yang berarti min (dari). Bahkan hal tersebut juga dianggap memiliki kesesuaian
27 Yang dimaksud sebagian pendapat di atas ialah tafsir-tafsir Sunni. Misalnya saja, Tafsîr Rûh al-Ma'ânî karya al-Alusi yang menyebutkan penafsiran kata al-Shâdiqîn secara ekstensif.
Artinya, al-Shâdiqîn yang dimaksud dalam ayat di atas tidak saja ditujukan kepada Nabi saw. dan para sahabatnya, atau orang-orang yang bersalah/terlambat di antara tiga orang (Ka'ab bin Malik, Mirarah bin Rabi' dan Hilal bin Umayyah) di masa Rasulullah saw. apalagi ayat ini secara sebab turunnya menjelaskan tentang mereka bertiga, atau juga ditujukan kepada sahabat Abu Bakar dan 'Umar bin al-Kaththab berdasarkan riwayat Ibnu 'Umar dan Ibnu 'Asakir, atau juga berkenaan dengan 'Ali bin Abi Thalib berdasarkan riwayat Ibnu Marduyah. Pendapat terakhir inilah yang dipegangi oleh para ulama Syiah termasuk Nasher Makarem al-Syirazi dalam menafsirkan ayat tersebut, sedangkan untuk panafsiran ditolaknya. Lihat, Mahmud al-Alusi al-Baghdadi (w. 1270 H.), Rûh al-Ma'âni fî Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, telah ditashhîh 'Ali 'Abd. al-Bâri 'Athiyyah. Jld.
4. Cet. I. (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1422 H./2001 M.), h. 43; Bandingkan dengan penafsiran al-Zamakhsyari yang menafsirkan al-Shâdiqîn dengan tiga orang bersalah/terlambat seperti disebutkan al-Alusi di atas, kelompok sahabat Muahajirin dan Anshar, dan adapun penunjukan ayat hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari kalangan Ahli Kitab (Yahudi & Nashara). Lihat, Mahmud bin 'Umar Muahammad al-Zamakhsyari (w. 538 H.), Al- Kasysyâf 'an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzîl wa 'Uyûn al-Aqâwil fî wujûh al-Ta'wîl, telah ditashhîh Muhammad 'Abd. al-Salâm Syâhîn. Juz. II. Cet. I. (Beirut : Dâr al-Kutûb al-'Ilmiyah, 1415 H./1995 M.), h. 307-310; lihat juga, Muhammad Jamâluddin al-Qâsimi (w. 1914 H./1332 M.), Tafsîr Al-Qâsimi al-Musamma Mahâsin al-Ta'wîl. Juz. 5. Cet. I. (Beirut : Dâr al-Kutûb al- 'Ilmiyah, 1418 H./1997 M.), h. 520-523.
28 Kritik bahasa yang dilakukan Nasher Makarem al-Syirazi terhadap Abu Hayyan yang mengungkapkan makna "ma'a" memilki maksud tertentu, termasuk dalam kalimat "ma'a al-
Shâdiqîn" pada ayat di atas. Untuk lebih jelas lihat, Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, telah ditahqîq dan ta'lîq 'Adil Ahmad 'Abd. al-Maujud dan 'Ali Muhammad Ma'rad. Juz. 5. Cet. I. (Beirut : Dâr al-Kutûb al-'Ilmiyah, 1422 H./2001 M.), h. 114.
dengan zahir ayat di atas, karena semua orang Islam akan dituntut untuk berada pada barisan orang-orang yang jujur (al-Shâdiqîn) dan bersama-sama mereka di setiap zaman. 29
Jika dicermati dari penafsiran Nasher Makarem al-Syirazi yang sekaligus kritiknya terhadap tafsir Sunni maka sebenarnya dapat dipastikan bahwa ia tidak saja melakukan takwil terhadap ayat tapi juga melakukan rekonstruksi penafsiran yang cukup jauh dari konteks ayat tersebut. Karena secara sebab turunnya, ayat di atas hanya berkenaan dengan tiga orang yang bersalah/terlambat di masa Rasulullah pada saat perang Tabuk.
Karena itu pula, selain ia tidak menggunakan instrument sebab turun ayat seperti di Sunni dalam menafsirkan al-Qur'an tapi juga melakukan penakwilan yang hasil penakwilan tersebut hanya terbatas pada Ahl al-Bait seperti 'Ali ra., Fathimah, Hasan, Husain, dan para keturunannya hingga Hari Kiamat. Meskipun
sebab turun ayat atau asbâb al-Nuzûl bukanlah satu-satunya instrument yang harus ada di komunitas tafsir Sunni apalagi komunitas tafsir Syi'ah.
Karena itu, Nasher Makarem al-Syirazi memberikan tawaran bahwa untuk memahami makna al-Shâdiqîn sebaiknya kembali kepada al-Quran itu sendiri agar dapat dilihat apa saja sifat atau kriteri dari al-Shâdiqîn itu? Di antara ayat yang menurutnya menunjukkan kepada sifat al-Shâdiqîn, seperti Q.s. Al-Hujurât /
49 ayat 15 dan Q.s. al-Baqarah / 2 ayat 77. Jika di ayat pertama ini Allah swt. mensifati al-Shidq sebagai bagian dari iman dan perbuatan yang bersih dari segala macam bentuk keraguan dan kebimbangan, maka pada ayat kedua ini memaksudkan bahwa setelah menyebutkan hakekat iman tertuju pada keimanan kepada Allah, hari akhirat, malaikat, kitab samawi, para nabi, berinfak di jalan Allah, membantu orang-orang lemah dari siksaan orang-orang yang zhalim, mendirikan sholat, menunaikan zakat, menepati janji, sabar dan istiqamah saat ada problema dan jihad, kemudian diakhiri dengan kalimat ulâ`ikal-ladzîna shadaqû yang berarti jika sifat tersebut ada padanya maka mereka inilah yang dimaksud orang-orang yang benar/jujur. 30
29 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qur'ân. Juz. 9. h. 38. 30 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qur'ân. Juz. 9. h. 39.
Berdasarkan dua ayat di atas, Nasher Makarem al-Syirazi, mensinyalir tanda keistimewaan al-Shâdiqîn adalah keimanan terhadap segala kesucian Tuhan, ketaatan terhadap perintah Allah, terutama shalat, zakat, berinfak, istiqamah dalam berjihad dan menghadapi segala problema, dan gambaran seperti ini sama persis dengan maksud Q.s. al-Hasyr / 59 ayat 8. 31
Dari kumpulan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kaum Muslimin di tuntut agar mengikuti orang-orang yang memiliki tingkatan keimanan dan ketakwaan yang tinggi dan mengikuti orang yang memiliki tingkatan keilmuan, perbuatan, istiqamah, dan jihad yang tinggi.
Oleh sebab itu, akhir Q.s. al-Taubah / 9 ayat 119 menurut Nasher Makarem al-Syirazi tidaklah berbunyi kûnû min al-Shâdiqîn, akan tetapi berbunyi kûnû ma'a al-Shâdiqîn. Analogi ini sama persis apabila ada perkataan atau kalimat kûnû min al-Zâhidîn maka perkataan ini menunjukkan kepada kedudukan yang
tinggi yang dapat dicapai oleh manusia, yakni kedudukan para ma'shûmûn (orang- orang yang terhindar dari dosa) di satu sisi, sedangkan di sisi lain adalah perintah untuk mengikuti al-Shâdiqîn dalam bentuk bebas/umum yang tidak memisahkan diri dari mereka tanpa ikatan syarat apapun, atau dalil lain yang menunjukkan kepada ke'ishmahannya (terhindar dari dosa), karena mengikuti mereka dengan tanpa ikatan atau syarat tidaklah ada artinya kecuali jika berkaitan dengan ke-
ma'shûm-an. 32 Bahkan penafsiran-penafsiran yang dikemukakan Nasher Makarem al-
Syirazi tersebut seolah-olah mendapat dukungan dari tafsir Sunni seperti al-Razi, yang tidak mengingkari isi ayat tentang adanya orang yang ma'shûm pada setiap zaman dan tempat. Akan tetapi karena ia tidak meyakini akidah pengikut Ahl al- Bait maka ke-ma'shum-an yang dimaksudkan adalah seluruh umat, atau umat
secara keseluruhan. 33 Padahal permasalahan atau ke-ma'shum-an yang dimaksud hanya terbatas pada umat tertentu, dan adapun mengikuti al-Shâdiqîn (orang yang
31 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qur'ân. Juz. 9. h. 39. 32 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qur'ân. Juz. 9. h. 39. 33 Fakhruddin Muhammad al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, Jld. 19. h. 15-17.
jujur) merupakan tuntutan atau beban umum yang ada pada setiap keadaan apapun. 34
Bukti lain dari persoalan wilâyat atau kepemimpinan ini adalah tidak adanya seorang yang harus ditaati pada masa Rasulullah selain dari dirinya. Padahal ayat tersebut secara konteksnya dapat dipastikan mencakup zaman nabi, sehingga jelaslah makna ayat di atas bukan berarti para nabi itu berjumlah banyak di satu zaman tapi juga di beberapa zaman. 35
Dari keterangan ini terlihat bahwa tawaran Nasher Makarem al-Syirazi tidak saja terlihat dari penafsiran yang didasarkan secara analogi bahasa yang berimplikasi kepada adanya kedudukan tinggi (kema'shuman) pada umat tertentu dan tapi juga kesejarahan tentang tidak adanya seseorang yang harus ditaati sepeninggal Rasul dalam keyakinan mereka yang sepihak dalam melakukan penafsiran. Ringkasnya, penafsiran al-Shâdiqîn yang dimaksud pada ayat adalah
Ahl al-Bait dan para keturunan-Nya. Karena itu, urusan wilâyat hanya pantas dipegang atau dipimpin oleh mereka dan kepada merekalah harus patuh.
Selain al-Qur'an yang dijadikan sebagai dasar dalam urusan kepemimpinan (wilâyat) terdapat pula berbagai riwayat Ibnu 'Abbas yang berkenaan dengan hak Ali bin Abi Thâlib, telah dinukil oleh ulama-ulama Sunni baik dari kalangan ahli
tafsir maupun ahli hadisnya. 36 Bahkan jika riwayat-riwayat Sunni ini dikomparasikan dengan riwayat-riwayat Ahl al-Bait maka akan terlihat jelas riwayat yang satu menguatkan dan mengukuhkan kepada riwayat lain. Salah satu riwayat Ahl al-Bait yang menjelaskan hal tersebut, seperti riwayat Jabir ibn Abdillah al-Ansharî dan Barîd ibn Mu'awiyah dari Imam Baqir as. yang
menyebutkan ayat wa kûnû ma'ash-Shâdiqîn itu Muhammad dan keluarganya. 37 Demikian tafsir Al-Burhan fi Tafsir al-Qur'an yang juga ditulis oleh
seorang ulama Syiah kenamaan, menyebutkan bahwa yang dimaksud al-Shâdiqîn
35 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qur'ân. Juz. 9. h. 40. Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qur'ân. Juz. 9. h. 40.
36 Salah satu contoh dari riwayat Ibnu 'Abbas seperti telah disebutkan di halaman sebelumnya atau tepatnya di catatan kaki ke-20 dan untuk lebih jelas mengenai pencantuman letak
riwayat-riwayat yang dimaksud dapat dilihat pada catatan kaki tersebut. 37 'Abd. 'Ali Jum'at al-'Arusi al-Huwayzi, Tafsir al-Nur al-Tsaqalain. Jld. 2., h. 280, no.
hadis 392-393.
dalam Q.s. al-Taubah / 9 ayat 119 adalah Ali ra., Fatimah, al-Hasan, al-Husain dan anak keturunan mereka yang suci hingga hari kiamat. 38
Dengan demikian, secara sederhana bahwa riwayat-riwayat ini pada kenyataannya merupakan penjelasan atau keterangan bagi sumber yang benar dan tidak terdapat pertentangan dengan pemahaman umum ayat, karena mencakup pribadi nabi saw. sebagai orang yang memiliki kedudukan yang utama kemudian para imam ma'shum pada setiap zaman. Karena itu, ayat di atas menegaskan adanya kepemimpinan secara umum (al-Wilâyat al-'Ammah) dan kepemimpinan secara khusus (al-Wilâyat al-Khâssah).
Sebagai landasan lain yang di gunakan Makarem al-syirâzî untuk mendukung ayat wilâyah adalah Al-Qur'an surah al-Nisa /4 ayat 59, 39 ayat ini disebut ayat uli al-Amr, karena berbicara tentang kewajiban ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya serta ketaatan kepada uli al-Amr. Ketaatan kepada Allah dan
rasul-Nnya sudah dapat dipahami dengan jelas, akan tetapi siapa yang dimaksud sebagai uli al-Amr yang ketaatan kepadanya diakui oleh Allah dan rasul-Nya, terdapat banyak perdebatan di antara para mufassir.
Menurut penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi, terdapat berbagai penafsiran ketika para ulama melihat uli al-Amr. Menurutnya, para ulama Syiah dan pengikut mazhab Ahl al-Bait beranggapan bahwa uli al-Amr adalah para imam ma'shum yang menjadi pemimpin masyarakat secara maknawi dan materi di setiap aspek kehidupan, dan bukan yang lainnya, karena ketaatan dengan tanpa ada ikatan atau syarat yang di tentukan ayat al-Quran dan ketaatan yang diakui setelah kataatan kepada Allah dan rasul saw. tidak mungkin terwujud kecuali kepada imam yang ma'shum, sedangkan ketaatan kepada yang lain terbatas
38 Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhan fi Tafsir al-Qur'an. Cet. I. Jld. I. (Beirut : Muassasat al-Bi'tsah, 1419 H./1999 M.), Jld. 2., h. 170.
39 Q.s. al-Nisa / 4 ayat 59 :
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu."
Sementara mayoritas ulama dan ahli tafsir Sunni berbeda pendapat dalam menafsirkan uli al-Amr. Al-Thabari (w. 310 H.) 41 misalnya, menafsirkan uli al-
Amr dengan para pemimpin pemerintahan (al-Umarâ`), pemimpin-pemimpin perang atau panglima perang pada masa Rasul (ashhâb al-Sarâya), para penguasa secara umum (al-Salathîn), yang memiliki pemahaman baik secara agama maupun akal (uli al-Fiqh fî al-Dîn wa al-'Aql), ahli fikih dan para ulama, sahabat- sahabat Rasul, dan Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab. Demikian penafsiran al-Baghawi (w. 516 H.), yang juga menafsirkan uli al-Amr dengan ahli fikih, para ulama yang mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada orang masyarakat, para pemimpin pemerintahan dan yang punya kekuasaan (al-Umara` wa al-Wulat), Abu Bakar dan Umar, dan sahabat Muhajirin dan Anshor. 42
Penafsiran-penafsiran al-Thabari maupun al-Baghawi oleh Nasher Makarem al-Syirazi dianggap sebagai pendapat yang tidak mengedapankan dalil
yang jelas. 43 Padahal jika diperhatikan secara cermat tafsiran-tafsiran al-Thabari dan al-Baghawi keduanya bersumber dari para sahabat dan tabi'in. Dari kalangan
sahabat seperti Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, dan 'Atha' bin al-Saib, sedangkan dari kalangan tabi'in seperti Mujahid dan 'Ikrimah. Terlepas dari kritik yang ditujukan kepada kedua penafsir Sunni ini, yang jelas bahwa mereka sama sekali tidak menyinggung 'Ali dan keturunan-keturunannya seperti tafsir-tafsir Syiah. Meskipun di antara mereka ada yang menggunakan riwayat 'Ali ra. sebagai dalil atau alasan yang dapat menguatkan penafsirannya terhadap ayat tersebut.
Ada juga dari penafsir Sunni yang hanya mengkhususkan uli al-Amr kepada para ulama secara umum dan tidak yang lainnya, karena mereka inilah yang dapat menjaga syariat Allah dan menjaga apa yang diperbolehkan-Nya untuk
40 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qur`ân. Juz. 9. h. 42.
41 Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsîr al-Thabari al-Musamma Jâmi' al- Bayân fî Ta'wîl al-Qur'ân. Jld. 4. Cet. III. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1420 H./1999 M.), h.
150-153. 42 Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ud al-Farra al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi al-
Musamma Ma'alim al-Tanzil. Cet. 1. Juz. 1. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1414 H./1993 M.), h. 353-354.
43 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahât al-Qurân. Juz. 9. h. 42.
manusia dari segala yang diperbolehkan tersebut. 44 Hal ini merujuk pada surah al- Nisa / 4 ayat 83:
45 . Pendapat ini dikritik juga oleh Makârem al-Syîrâzî, karena secara sekilas
ayat ini merupakan tempat (dasar) yang membahas suatu ketaatan tanpa ikatan atau syarat dan adapun ayat 83 dari surah al-Nisa' hanya berkenaan dengan sebuah pertanyaan dan perintah mendalami suatu hal, sehingga pendalaman dari seorang yang 'alim adalah satu sisi dan sementara kataatan tanpa ikatan/syarat adalah sisi lain. Adapun sisi yang kedua ini tidak akan terwujud kecuali pada orang-orang
yang ma'shum, dan demikian sisi yang pertama sangat luas pemahamannya. 46 Karena itu, menurut Makârem al-Syîrâzî, jika dilihat dari pendapat-
pendapat Sunni yang telah disebutkan maka penafsiran terhadap uli al-Amr dapat diapresiasikan atau berkisar pada lima pemahaman; pertama, uli al-Amr adalah mereka yang memiliki kedudukan atau status sosial di masyarakat, kedua, uli al- Amr adalah para hakim, ketiga, uli al-Amr adalah para pemimpin, keempat, uli al- Amr adalah para ulama, dan kelima, uli al-Amr adalah orang yang memiliki kedudukan atau kecakapan di segala aspek kehidupan. 47
Dengan kata lain, yang dimaksud uli al-Amr adalah orang yang dapat memecahkan masalah (ahl al-Hal wa al-'Aqd) yang disepakati wajib ditaati tanpa ada ikatan atau syarat dari satu golongan yang sama sebagaimana syarat yang disebutkan dalam ayat di atas, tidak menentang sunnah rasul, tidak berpaling karena paksaan (tekanan) dalam urusannya, dan selalu senang (mengakomodir) kesepakatan berbagai pendapat dalam setiap permasalahan.
44 Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm. Jld. 4. h. 64.
45 Terjemah ayat di atas : "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil-amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil-Amri)." (Qs. al-Nisa / 4 ayat 83)
46 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 9. h. 42-43. 47 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 9. h. 43.
Namun demikian, Rashid Ridha (w. 1935 M.) yang juga memiliki ideologi Sunni menganggap semua yang diungkapkan oleh tafsir Sunni tersebut tentang penafsiran ayat tersebut hanya menunjukkan kewajiban taat pada masalah- masalah yang belum ada dalil nashnya, atau boleh jadi ayat tersebut ingin mengatakan bahwa uli al-Amr itu adalah orang-orang yang ma'shum, dan
karenanya ayat ini keluar perintah ketaatan dengan tanpa ikatan atau syarat. 48 Dari perbedaan penafsiran yang ada, Nasher Makarem al-Syirazi melihat
bahwa yang dimaksud uli al-Amr adalah sekelompok ulama dan seseorang yang dapat menyelesaikan masalah yang memiliki lima syarat, antara lain: 1) Islam, 2) tidak bertentangan dengan sunnah nabi, 3) Tidak dipaksa atau terpaksa dalam mengemukakan pendapat; 4) Mengungkapkan pendapat yang belum memiliki dalil nasnya, 5) Menikmati atau mengakomodir kesepakatan berbagai pendapat dan menilai keputusan kolektif sebagai yang terjaga (ma'shum). Meskipun
demikian, ia juga masih mensangsikan dan mempertanyakan; apakah demikian yang dimaksud dari uli al-Amr pada ayat di atas? apakah orang-orang baik seperti sahabat dan rasulullah saw. mereka setuju dengan makna ini? atau makna ini telah dipaksakan terhadap ayat yang memerlukan perhatian agar tidak digiring kepada
ayat imam ma'shûm yang dianggap oleh mereka adalah syiah? 49 Bahkan Makârem al-Syîrâzî tidak berhenti pada penyangsian dan
pertanyaan tentang penafsiran uli al-Amr setelah melihat penafsiran Rashid Ridha yang dianggap mendukung atau seide dengannya (Syiah) dalam melihat ayat tersebut. Hal ini terlihat dari penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi secara arkeologis terhadap pembahasan tafsir al-Mannar yang merujuk dari penafsiran al-Razi.
48 Di sini perlu dijelaskan bahwa penafsiran Rashid Ridha terhadap ayat telah disebutkan di atas menjadi satu bukti penafsiran bagi Nasher Makarem al-Syirazi dalam masalah hak
kepemimpinan atau wilayat, bahkan ia juga menyetujuinya, karena penafsiran yang diberikan Ridha seolah-olah memberikan angin segar pada saat penafsir-penafsir Sunni menafsirkan uli al- Amr dengan penafsiran yang sama sekali tidak mendukung atau kecenderungan terhadap hak Ali ra. sebagai pemimpin yang hak kemudian dilanjutkan oleh para imam yang ma'shum seperti di kalangan Syiah sekarang ini. Padahal sebenarnya, Rashid Ridha dalam tafsirnya tidak hanya mengkritik tafsir-tafsir yang bernotabene Sunni tapi juga tafsir Syi'ah. Untuk lebih jelas tentang kritik ini lihat, Muhammad Rashid Ridha, Tafsir al-Qur'an al-Hakim al-Masyhur bi Tafsir al- Mannar. Juz. 5. Cet. I. (Beirut : Dar al-Kitab 'Ilmiyah, 1420 H./1999 M.), h. 146-151.
49 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 9. h. 43-44.
Al-Razi menafsirkan uli al-Amr sebagai kesepakatan umat yang menjadi hujjah, karena Allah swt. telah memerintahkan untuk taat kepadanya secara kokoh, dan orang yang diperintahkan oleh Allah untuk taat kepadanya secara kokoh itu diharuskan orang yang terhindar atau bebas dari kesalahan (ma'shuman 'an al-Khatha`). Kemudian apabila ia bukan seorang yang ma'shum maka dapat dipastikan ia akan melangkah pada kesalahan, sementara kesalahan terlarang padanya. Inilah yang menyebabkan mencampur adukkan perintah dan larangan dalam satu perbuatan adalah perbuatan yang mustahil, karena Allah telah menetapkan perintah taat kepada uli al-Amr dalam bentuk pelarangan dan Ia juga menetapkan semua perintah-Nya melalui taat kepada uli al-Amr secara kokoh, dan harus terhindar dari kesalahan, sehingga uli al-Amr haruslah orang yang
ma'shum. 50 Lebih lanjut, al-Razi juga menyebutkan secara tegas bahwa jika terdapat
ucapan yang mengatakan boleh jadi ma'shum itu menurut seluruh ummat atau sebagian saja, maka yang dibenarkan adalah seluruh umat bukan sebagian ummat, karena Allah telah mewajibkan taat kepada uli al-Amr secara qath'i (pasti) dalam ayat tersebut, karena kewajiban taat secara qath'i itu merupakan syarat untuk mengetahui keadaan mereka sehingga mampu untuk sampai kepadanya dan dapat mengambil manfaat darinya. Sedangkan untuk mengetahui imam ma'shum pada masa sekarang ini sangat sulit, apalagi sampai kepada mereka dan mengambil manfaat ilmu agama dari mereka juga sangat sulit. Jika demikian kondisinya, maka dapat dipahami bahwa al-Ma'shum yang Allah perintahkan kepada Kaum Mukminin agar taat kepadanya adalah bukanlah termasuk sebagian atau kelompok umat saja. Karena itu, kesepakatan (ijma') umat itu merupakan hujjah yang pasti (qath'i). 51
Dengan demikian, apa yang digagas oleh al-Razi dan Rasyid Ridha dianggap Nasher Makarem al-Syirazi sebagai penafsiran yang membuatnya dapat diterima di kalangan Syiah, karena siapapun dari sebagain sahabat rasulullah tidak akan dapat memahami saat ayat ini turun, bahkan hal ini merupakan pernyataan
50 Fakhruddin Muhammad al-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jld. 4. h. 125-124. 51 Fakhruddin Muhammad al-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jld. 4. h. 125.
progressif yang akan menggantikan pemahaman ayat tentang para imam Ahl al- Bait yang ma'shum dengan tanpa pembahasan yang mendalam, disamping penunjukkan ayat terhadap kemaksuman uli al-Amr secara jelas dan gamblang.
Jadi, di satu sisi mereka (para ulama Sunni) berniat untuk tidak menyerahkan sepenuhnya kepada seorang imam yang ma'shum, dan disisi lain mereka juga membahas tafsir yang sebenarnya belum dipahami oleh sahabat- sahabat Rasul di saat ayat ini turun. Inilah rasanya yang dialami Nasher Makarem al-Syirazi pada saat menafsirkan ayat tersebut di atas.
Selain itu, yang lebih mengherankan lagi bagi Makârem al-Syîrâzî terhadap tafsir yang dipilih oleh para ulama Sunni adalah ketika mereka (para ulama sunni) menafsirkan uli al-Amr itu sebagai para penguasa, pemimpin, dan raja, serta wajib mengikuti para penguasa yang memerintah kaum muslimin, baik mereka bertindak adil ataupun tidak, berjalan di jalur yang benar atau di jalur
yang melenceng, mengajak ketaatan kepada Allah atau mengajak kemaksiatan kepada-Nya. 52
Hal tersebut juga tercermin dalam perkataan Rashid Ridha dalam tafsirnya yang menunjukkan isyarat secara tersirat tentang sebagian dari mereka yang mengatakan uli al-Amr adalah para pemimpin dan taat kepadanya adalah wajib
hukumnya. 53 Bahkan menurut penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi, untuk memperkuat pendapat-pendapat yang telah disebutkan, para ulama Sunni juga mengungkapkan riwayat-riwayat yang diragukan dan dibuat-buat (al-Riwayat al- Masykukat wa al-Maudhu'ah) yang kemudian dinisbahkan kepada Rasul, sehingga seolah-olah riwayat-riwayat itu bersumber darinya. 54
Misalnya saja, riwayat yang menjelaskan jawaban Nabi terhadap pertanyaan Jabir al-Ju'fi tentang seputar kepemimpinan, 55 riwayat Abu Dzar al-
52 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 9. h. 45.
54 Muhammad Rashid Ridha, Tafsir al-Mannar. Juz. 5. h. 147. Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 9. h. 45.
55 Adapun riwayat tentang pertanyaan Jabir al-Ju'fi kepada Rasulullah saw. mengenai kepemimpinan lengkapnya berbunyi : "Wahai baginda rasul! apa pendapat baginda jika ada
seorang pemimpin memaksa kami untuk memberikan hak mereka dan mereka tidak memberikan hak kami, apa yang harus kami perbuat? Beliau bersabda : "dengarkan dan taatlah !. Sementara hadis riwayat Abu Dzar al-Ghifari lengkapnya berbunyi: "Sesungguhnya temanku (nabi)
Ghifari yang menjelaskan tentang bolehnya mengangkat seorang pemimpin atau penguasa meski dari kalangan hamba mujadda' al-Athraf atau hamba habasyi
yang mujadda' al-Athraf, 56 dan riwayat yang menjelaskan tentang tidak boleh taat kepada manusia dalam bermaksiat kepada Allah. 57
Dari penafsiran ketiga ayat yang telah disebutkan di atas (ayat al-Indzar wa al-Hidayat, ayat al-Shadiqin, dan ayat uli al-Amr dapat disimpulkan bahwa Nasher Makarem al-Syirazi sebenarnya ingin mengatakan penafsiran yang benar terhadap ketiga ayat tersebut adalah penafsiran yang mengikuti para imam maksum. Betapa tidak dikatakan yang benar, karena imam ma'shum hanya satu orang pada setiap zaman, akan tetapi jika melihat keumuman ayat yang menunjukkan seluruh zaman, maka imam ma'shum dengan jumlah mereka (diseluruh zaman) membentuk kelompok. Gambaran seperti ini banyak terdapat pada pembicaraan orang Arab, seperti perkataan : "Assalâmu 'alaikum wa 'ala
arwâhikum wa ajsâdikum," maka tidak mungkin mengingkari salam ini yang mana manusia tidak memiliki ruh dan jasad lebih dari satu. Maka mengapa disebut arwâh dan ajsâd di sini dalam bentuk jamak? jawabannya adalah karena jamak ini dalam konteks kelompok. Dengan ungkapan lain, nabi memiliki seorang pemberi nasehat setiap zaman (penerus nabi) akan tetapi mereka berjumlah banyak pada kumpulan zaman maka kita menggunakan kata dalam bentuk jamak untuk mereka.
Kemudian, jika ayat hanya melihat kepada zaman nabi saja maka akan muncul landasan hukum seperti ini, dan dia dianggap sebagai hukum yang umum
mewasiatkan aku agar mendengar dan taat meski kapada seorang hamba majda' al-Athrâf." Lihat, Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 9. h. 45.
56 Hadis di atas tidak saja populer di kalangan Syiah tapi juga dikalangan Sunni. Hanya saja, kelompok pertama menganggap hadis ini tidak sahih atau dalam artian lain, disebut riwayat
yang dibuat-buat bahkan dianggap maudhu' riwayat tersebut. Untuk lebih jelas mengenai alasan penilaian ini lihat, Abu al-Hasan Muhammad al-Ridha bin al-Hasan al-Musawi, Nahj al-Balaghat. Cet. 3. (Lubnan/ Libanon : Makatabah al-Madrasah/Dar al-Kitab al-Lubnani, 1983), h. 500. min kalam amir al-Mu'minin li Kumail bin Ziyad al-Nakhai. No. 165. Sementara kelompok kedua (Sunni) mengnggap hadis riwayat Abu Dzar al-Ghifari dan hadis-hadis semisalnya memiliki kesamaan makna tapi tetap dianggap sahih dalam riwayat yang berbeda. Agar lebih jelas tentang riwayat hadis ini lihat, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim. Jld. II. (Beirut : Dar al-Fikr, 1412 H./1992 M.), h. 193-194;
57 Hadis di atas juga dikutip oleh al-Suyuthi, karena dalil yang menguatkan penafsirannya dalam urusan kepemimpinan. Untuk lebih jelas lihat, Jalaluddin 'Abd. al-Rahman al-Suyuthi,
Tafsir al-Dur al-Mantsur. Jld. 2. h. 577.
untuk seluruh Muslimin hingga hari kiamat kelak dan landasan hukum itu tidak ditolak dan akan tetap dipakai, maka pada masa rasulullah beliau menjadi imam dan pada setiap masa nantinya akan ada imam-imam yang ma'shum, dan bukankah pemahaman perkataan "wajib bagi muslimin untuk mentaati nabi dan para washi (penerima washiat kenabian) nya?, dan keberadaan para washinya menjadi wajib ada di masa nabi.
a.1. Al-Wilâyah al-'Ammah
Al-Wilâyah al-'Ammah adalah kepemimpinan atau otoritas kepemimpinan secara umum. Menurut al-Qur'an, kepemimpinan secara umum hanya bisa dipegang atau dijabat oleh para Nabi. Mereka bukan saja makhluk pilihan Allah swt. tapi juga orang-orang yang dipercaya untuk memimpin atas seluruh kaum Muslimin, atau juga memimpin seluruh alam ini. Karena itu, kelompok seperti Ahl
al-Bayt dan para imam Syiah meyakini para nabi ini adalah orang-orang suci, terhindar dari dosa (ma'shum) baik sudah dewasa maupun sejak kecil, baik sebelum kenabian maupun sesudah risalah kenabian datang kepadanya, terhindar dari lupa dan salah dalam penyampaian risalah kenabian.
Namun demikian, penjelasan ini rasanya tidak sesuai dengan ungkapan zahir al-Quran yang (seoalah-olah) menggambarkan bahwa para nabi Allah adalah orang-orang yang tidak ma'shum dan pernah melakukan perbuatan maksiat baik sebelum kenabian maupun sesudahnya. Padahal kelompok lain juga meyakini kalau para nabi itu adalah orang-orang mulia yang terpilih menjadi wakil Allah dimuka bumi dan mengemban amanat risalah yang besar guna memberi petunjuk jalan yang benar dan bimbingan hidup bagi umatnya.
Dalam konteks tersebut, Nasher Makarem al-Syirazi membantah anggapan-anggapan yang dianggap keliru dan menyesatkan tersebut, mengingat kemaksuman merupakan syarat yang paling vital bagi nabi sebagai penyampai risalah Tuhan dan wakil-Nya di bumi ini. Hal ini karena maksud zahir al-Qur'an tidaklah seperti yang diungkapkan secara tekstual akan tetapi mungkinkan Dalam konteks tersebut, Nasher Makarem al-Syirazi membantah anggapan-anggapan yang dianggap keliru dan menyesatkan tersebut, mengingat kemaksuman merupakan syarat yang paling vital bagi nabi sebagai penyampai risalah Tuhan dan wakil-Nya di bumi ini. Hal ini karena maksud zahir al-Qur'an tidaklah seperti yang diungkapkan secara tekstual akan tetapi mungkinkan
segala ujian (Q.s. al-Baqarah / 2 : 124). 59
Oleh karena itu, Makârem al-Syîrâzî dalam tafsirnya menawarkan
argumentasi pembahasan tentang kemaksuman mereka sebagai seorang pilihan Allah dan pemimpin atas seluruh kaum Muslimin. Berikut ini akan dijelaskan tentang beberapa nabi sebagai mahluk pilihan Allah swt. yang memiliki kemaksuman sebagai salah satu kriteria kepimpinan bagi kaum Muslimin, antara lain :
a). Nabi Adam as.
Paling tidak terdapat dua ayat yang menjelaskan tentang Nabi Adam as. berkaitan dengan kemaksumannya sebagai Nabi, yaitu Q.s. Thaha / 20 : 121 60 dan Q.s. Thaha / 20 : 115. 61 Jika ayat pertama disinyalir menunjukkan kedurhakaan
58 Adapun tuduhan-tuduhan kepada para nabi yang disinyalir dari ungkapan-ungkapan zahir al-Qur'an ialah seperti Adam as. yang dituduh telah memakan makanan haram dan
melanggar perintah Allah atau bermaksiat kepada-Nya, Nabi Yusuf as. yang dituduh telah melakukan perbuatan maksiat dan berkeinginan untuk berzina dengan Zulaikha, Nabi Musa as. yang dituduh telah membunuh seorang dari masyarakat Qibthi, serta nabi Ibrahim as. yang dituduh telah berdusta dihadapan kaum dan raja Namrudz karena tidak mengakui perbuatanya (menghancurkan berhala terbesar).
59 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 7. h. 56. 60 Q.s. Thâha / 20 : 121 :
Artinya : "…..dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.”
61 Q.s. Thâha / 20 : 115 : 61 Q.s. Thâha / 20 : 115 :
Menjawab pertanyaan tersebut para mufassir memiliki beberapa pendapat baik yang menggunakan dalil akal maupun dalil naql. Di antara kelompok yang menggunakan dalil naqli diwakili oleh kalangan Sunni, sedang yang menggunakan dalil 'aqli diwakili oleh kalangan Muktazilah, seperti al-Jubai, Abu
Bakar al-Baqilani, al-Jahami dan sebagainya. 62 Di kalangan Sunni seperti al-Thabari (w. 310 H.) berpendapat bahwa ayat
pertama menjelaskan tentang nabi Adam benar-benar telah melakukan dosa atau kemaksiatan, atau juga melanggar perintah Allah berupa memakan makanan yang dilarang-Nya. Hal demikian juga diperkuat dengan ayat selanjutnya yang menjelaskan bahwa nabi Adam as. telah dipilih Allah untuk bertaubat hingga
63 mendapat petunjuk-Nya, karena Ia telah memilihnya sebagai nabi dan rasul.
Demikian juga Ibnu Katsir (w. 774 H.) yang penafsiranya menyandarkan kepada hadis riwayat Abu Hurairah yang menjelaskan tentang perdebatan antara Adam
Artinya : " Dan Sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat"..
62 Sebenarnya kelompok Muktazilah sebagai wakil dari kaum aqli dalam urusan agama tidak secara spesifik membahas kemaksuman nabi Adam akan tetapi kemaksuman para nabi secara
umum, atau lebih dikenal masalah kenabian dan imamah. Dalam masalah kenabian dan imamah ini, mereka tidak sepakat dalam artian berbeda meski sama-sama mendasarkan pada akal. Muktazilah Baghdadi berbeda dengan pendapat dengan Muktazilah Bishri (Bashrah). Di antara guru-guru mereka ini ada yang cenderung kepada kelompok Rafidhah dan ada juga yang cenderung kepada Khawarij. Sementara al-Jubai dan Abu Hasyim dalam masalah imamah sepakat dengan pendapat Sunni atau Ahl al-Sunnah, karena imamh hanya dapat diupayakan dengan pemilihan. Demikian juga dalam kemaksuman nabi dimana al-Jubai dan Abu Hasyim lebih menganggap bahwa nabi tetap dianggap melakukan dosa, sehingga dalam penyelesaian ini mereka berdua menggunkan takwil. Ada juga kelompok Muktazilah mutaakhirin seperti Qadhi 'Abd. al- Jabbar dan selainnya tidak mengikuti para pendahulu mereka, sehingga kelompok ini dalam masalah tersebut dikenal berbeda dengan metode yang digunakan Abu Hasyim. Lihat, Abu al-Fath Muhammad bin 'Abd al-Karim al-Syahrasytani (w. 548 H.), Al-Milal wa al-Nihal. Cet. 1. (Beirut : Dar Ibn Hazm, 1426 H./2005 M.), h. 54.
63 Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsîr Jâmi' al-Bayân. Jld. 8. h. 468-469; lihat juga, Muhammad Sayyid al-Thanthawi, Al-Tafsir al-Wasith li al-Qur'an al-Karim. Jld. 9.
(Al-Qahirah : Dar al-Ma'arif, 1984), h. 162-163.
dan Musa as., karena merasa bersalah atau melanggar aturan (syari'at) Allah swt. 64
Jadi, jika kita cermati dari beberapa penafsiran sebelumnya maka penafsiran ayat tersebut mensinyalir bahwa nabi Adam as. yang telah jelas-jelas melakukan dosa dan dianggap sebagai sebuah kewajaran serta fitrah kemanusiaan Adam sebelum menjadi nabi, karena sesuai dengan zahir ayat yang telah disebutkan. Bahkan dosa yang dilakukan oleh Adam ini adalah tergolong kepada dosa kecil.
Penafsiran-penafsiran yang dilakukan tafsir Sunni di atas dianggap cacat oleh Makârem al-Syîrâzî, bahkan ia juga mempertanyakan hasil penafsiran atau diterimanya tafsir tersebut. Salah satu tawaran yang diberikan dalam tafsirnya adalah bahwa ayat-ayat sebelumnya tidak saja menjadi bukti ke'ismahan (keterjagaan) para nabi, kedudukan tinggi yang telah diberikan Allah swt. kepada
mereka khususnya kedudukan sebagai khalifah Allah di muka bumi tapi juga sebagai bukti keagungan dan kemulian yang sangat berkaitan dengan Adam as.
Makârem al-Syirâzi memberikan beberapa argumen yang merupakan jalan keluar untuk diterimanya Adam sebagai nabi yang ma'shum antara lain :
1. Larangan Allah kepada Adam merupakan latihan dan pelajaran baginya sebagai makhluk yang disiapkan untuk hidup di dunia (bukan di surga), dan masa keberadaan Adam di surga adalah masa latihan dan bukan masa taklif (pembebanan syariat). Jadi segala perintah Allah dan larangan yang ada pada saat di surga bertujuan untuk penggemblengan dan persiapan bagi Adam, sehingga sesuai dengan kajadian akan datang yang terkait dengan masalah halal dan haram. Berkaitan dengan konteks ini maka Adam telah melanggar perintah dalam posisinya sedang dilatih dan bukan melanggar perintah agama yang qath'i.
64 Abu al-Fida Isma'îl bin 'Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-Azhîm. Cet. 4. Jld. 3. (Riyadh : Dâr Thaybah li al-Nasyr wa al-Tauzî', 1428 H./2007), h. 321-322. Untuk lebih lengkap
mengenai penyandaran Ibnu Katsir terhadap sebuah hadis dapat lihat, Abu 'Abdillah Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Al-Jami' al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar min Umur al-Rasulillah saw. wa Sunanihi wa Ayyâmihi, telah ditahqîq Abu Shuhaib Hisân 'Abd. al-Mannân. (Jordan : Bait al- Afkâr al-Dauliyah, 1998), h. 540. kitâb al-Tafsîr (65), no. 4738.
2. Larangan terhadap Adam merupakan bersifat bimbingan, atau dalam artian bahwa seluruh perintah dan larangan memiliki unsur bimbingan terhadap para nabi termasuk Adam. Seperti perintah seorang dokter terhadap pasien agar memakan suatu obat dan melarang memakan makanan tertentu, dan jika suatu saat pasien ini tidak menuruti perintah dokter maka akan membahayakan dirinya sendiri dikarenakan ketidakpatuhannya terhadap bimbingan dokter. Dengan demikian ada kemungkinan pasien tidak mematuhi perintahnya berkaitan dengan opsi tersebut, akan tetapi hal ini berkenaan dengan masalah kesehatan pasien dan bukan bekaitan dengan merendahkan kedudukan dokter tersebut. Karena itu, Allah memerintahkan kepada Adam untuk tidak memakan bagian dari "pohon", dan jika tidak patuh maka Adam akan diusir dari surga, dijauhkan dari nikmat-Nya, mendapatkan kesusahan dan azab
65 sebagaimana ditegaskan firman-Nya dalam surah Thaha / 20 : 117-119.
Berdasarkan ayat di atas maka Adam telah melanggar larangan masa bimbingan dan bukan perintah wajib Tuhan yang dapat menyebabkan dia sengsara. Adapun ungkapan "'ashâ" (durhaka/bermaksiat) pada ayat tersebut tidak menodai kema'shumannya sebagai nabi dan Rasul jika ingin mengambil pelajaran perbandingan pada seluruh ayat. Demikian pula tafsir dari kata "faghawâ" (maka sesatlah) pada akhir ayat ini dimaksud adalah larangan mendapatkan nikmat surga, bukan berarti kesesatan yang timbul dari keyakinan yang salah, dan jika Adam tidak melakukan larangan yang bersifat bimbingan ini maka ia selamanya akan tinggal di surga serta tidak menjadi khalifah di bumi.
65 Q.s. Thâha / 20 : 117-119 :
Artinya : Maka Kami berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka(117). Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang (118). Dan Sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya."
3. Apa yang dilakukan nabi Adam tidak lebih dari perilaku meninggalkan atau tidak melakukan perbuatan paling utama (tarku al-Awlâ). Pendapat ini didukung oleh banyak pendapat bahkan pada hal yang dikaitkan kepada dosa para nabi sekalipun selalu ditafsirkan dengan cara seperti ini, yakni dosa dan maksiat dimana memiliki dua jenis jika dilihat subyeknya a) mutlaq yaitu dosa yang pelakunya dianggap berdosa jika melakukannya seperti, memakan harta haram, berbuat kezaliman, berzina dan sebagainya, dan b) nisbi yaitu dosa jika dilakukan oleh pelaku yang dianggap sebagai kelalaian yang tidak diinginkan dengan perbandingan kedudukan dan pengetahuan pelaku. Seperti sumbangan seadanya seorang karyawan rendahan yang hanya cukup untuk mengganjal makan kesehariannya untuk membangun fasilitas umum seperti membangun sekolah atau rumah sakit dianggap perbuatan baik, akan tetapi sumbangan sebesar itu bagi orang
kaya merupakan hal yang hina jika dibandingkan dengan kemampuannya. Ibarat pepatah "perbuatan baik para dermawan sebanding dengan perbuatan dosa seorang muqarrabin (orang yang dekat dengan Tuhan)." Berkenaan dengan itu maka perbuatan yang muncul dari nabi dapat disebut "dosa" disebabkan kedudukan dan pengetahuannya yang tinggi akan tetapi perbuatan itu disebut "ketaatan" jika dilakukan oleh orang awam. Sedikit sholat dengan khusu' dianggap perbuatan "baik" bagi orang awam, tapi dianggap "dosa" (dosa nisbi) bagi seorang nabi atau imam, dikarenakan mereka sebenarnya harus melakukan sholat melebihi dari itu. Dengan demikian segala perbuatan dosa yang dilakukan oleh para nabi adalah menunjukkan hal yang serupa ini yaitu tarku al-Awlâ (meninggalkan perbuatan paling utama). 66 Selain itu, ungkapan maksiat atau durhaka yang terdapat pada kata "asha"
memiliki kaitan dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang sifatnya sunnah (tark al-Mustahabbât) sebenarnya telah terdapat dalam riwayat Islam, seperti hadis dari Imam al-Baqir yang mengungkapkan tentang perbuatan harian yang
66 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 7. h. 106-109.
sifatnya sunnah. 67 Pemaknaan maksiat atau durhaka ini juga sesuai dengan definisi makna kata al-'ishyân yang diungkapkan oleh al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H.) dalam kitab Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, karena segala apapun yang keluar dari wilayah ketaatan, baik berupa ketaatan terhadap perintah-perintah wajib maupun perintah-perintah sunnah. 68
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Nabi Adam as. hanyalah perilaku atau perbuatan sehari-hari yang sifatnya sunnah. Dengan ungkapan lain, perbuatan memakan makanan yang dilarang itu merupakan sah-sah saja dilakukannya. Artinya jika ia menjauhi larangan tersebut maka ia akan mendapat pahala, dan jika tidak melakukannya maka ia juga tidak mendapatkan apapun. Demikian alasan-alasan kemaksuman nabi Adam as. yang diungkapkan al-Qur'an dalam pandangan Nasher Makarem al-Syiarazi.
b). Nabi Yusuf as.
Jika membaca surah Yusuf / 12 : 24 69 seolah-olah tergambar bahwa nabi Yusuf as. bersama Zulaikha sama-sama ingin melakukan perbuatan maksiat, yakni justru perbuatan yang tidak layak untuk dilakukan oleh seorang nabi yang membawa risalah kenabian.
Menurut Makârem al-Syîrâzî, tidaklah demikian dari apa yang dilihat secara sekilas, karena kemaksuman nabi Yusuf cukup terlihat pada kelanjutan
67 Hadis riwayat imam Baqir ini berbunyi : "Sesungguhnya semuanya ini adalah sunnah (tathawwu'), bukanlah yang diwajibkan, karena orang yang meninggalkan kewajiban itu kafir dan
sementara orang yang meninggalkan sunnah ini bukanlah kafir melainkan telah bermaksiat." Lihat, 'Abd. 'Ali Jum'at al-'Arusi al-Huwayzi, Tafsir al-Nur al-Tsaqalain. Jld. 3., h. 404., no. hds. 165.
68 Mengenai makna kata "asha" lihat, Abu al-Qasim al-Husain bin al-Ashfahani / al- Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat fi Alfazh al-Qur'an, ditahqiq oleh Muhammad Khalil
'Itani. Cet. 4. (Beirut : Dar al-Ma'rifah, 1426 H./2005 M.), h. 339.
69 Q.s. Yusuf/12 : 24 :
Artinya : Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
ayat tersebut di atas yaitu lau lâ an ra`â burhâna rabbihi. Ayat ini menunjukkan bahwa nabi Yusuf tidak bermaksiat disebabkan telah melihat burhân (bukti) Tuhan. Karena, burhân dalam bahas Arab artinya segala petunjuk kuat dan kokoh telah menjadikan kebenaran dan kejelasannya sebagaimana sesuai dengan asal katanya "baraha/bariha" yang berarti telah jelas menjadi putih. 70
Penafsiran demikian ini telah dilakukan oleh berbagai ahli tafsir, termasuk kalangan tafsir Sunni dan para mutakkillimin, dan yang paling utama di antara pendapat mereka ialah pendapat yang mengatakan bahwa nabi Yusuf telah diperlihatkan (ingat) asma-asma Allah, sifat-sifat-Nya dan Ia Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar serta Maha Melihat, sehingga tidak akan mungkin melakukan maksiat. Dalam ungkapan lain, burhâna rabbih menurut mereka adalah pertolongan dan kekuatan Tuhan yang secara cepat menyelamatkan hamba-hamba yang beriman dan bertakwa dari syaitan dan godaan-godaannya,
termasuk nabi Yusuf as.. Dalil yang memperkuat perkataan ini adalah akhir dari surah Yusuf / 12 : 24, karena memberikan penjelasan bahwa hamba Allah yang ikhlas selalu diliputi dengan pertolongan khusus dari Tuhan, sebagaimana kisah nabi Yusuf tersebut. 71
Pembahasan ini jelaslah menunjukkan bahwa hamba Allah swt. yang ikhlash telah diliputi pertolongan ketuhanan secara khusus dalam sekejap panca inderanya, sehingga perbuatannya terjaga dan terhindar dari hal-hal yang mengarah kepada kemaksiatan. Singkatnya, meski Zulaikha menggoda tapi nabi Yusuf as. menolak ajakanya.
70 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 7. h. 120. 71 Fakhruddin Muhammad al-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jld. 6. h. 95-101. Bandingkan dengan
tafsir lain seperti tafsir al-Sinqithi yang memperhatikan kemaksuman nabi Yusuf sebagai nabi dan rasul yang maksum. Hal ini tercermin dari ungkapan penafsirannya yang mengedepankan atau mengumpulkan ayat-ayat yang memiliki korelasi atau munasabat dalam mendukung kemaksuman nabi untuk tidak berbuat jahat atau juga adanya campur 'tangan' Tuhan dalam menjaga hamba- hamba pilihan-Nya secara khusus. Selain korelasi, al-Sinqithi juga memperhatikan beberapa riwayat dan pemaknaan yang dihasilkan dari ungkapan al-Qur'an secara zahir. Untuk lebih jelasnya lihat, Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jakini al-Syinqithi, Adhwa al- Bayan fi Îdhâh al-Qur'an bi al-Qur'an. Juz. 2. (Beirut : Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, t.th.), h. 33-
40. Demikian al-Qurthubi yang juga memberikan penjelasannya dengan mengedapankan makna dilihat dari redaksi bahasa (antara "laula" dan "la" sebagai jawabul qasam; mana yang harus diakhirkan dan didahulukan) dalam melihat kemaksuman Yusuf as. sebagai seorang nabi yang terhindar dari maksiat. Lihat, Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al- Jami' li Ahkam al-Qur'an. Juz. 9. (Al-Qahirat : Dar al-Hadits, 1423 H./2002 M.), h. 151-152.
Meski Makârem al-Syîrâzî mengapresiasi dan memuji penafsiran- penafsiran yang dilakukan sebagian tafsir Sunni, akan tetapi ia tetap mengkritisi sebagian penafsiran lainnnya dari kalangan mereka. Hal ini karena dalam melakukan penafsiran, mereka menggunakan riwayat israiliyât yang menjelaskan bahwa nabi Yusuf sesuai kontek ayat di atas telah berada di pinggir jurang perbuatan maksiat, bahkan perilaku nabi Yusuf bersama Zulaiha diketahui oleh
ayahnya (nabi Ya'qub as.) lalu menepuk dadanya. 72 Riwayat ini oleh Nasher Makarem al-Syirâzî menunjukkan adanya celah syaitan untuk menggoda nabi, sementara kedudukan nabi adalah ma'shum terjaga dari dosa dan tidak ada celah
syaitan untuk menggodanya. 73 Dengan demikian, penafsiran sebagian kalangan Sunni yang pertama
dianggap lebih baik oleh Makârem al-Syîrâzî daripada penafsiran yang barusan, karena penafsiran sebagian kalangan Sunni yang pertama memperhatikan
kemaksuman seorang nabi secara mutlak. Bahkan penafsiran demikian inilah yang dianggap sesuai dengan penafsiran al-Syirazi, karena panafsiran terhadap ayat tersebut tidak dilihat secara zahir ayat melainkan dengan penakwilan.
c). Nabi Musa as.
Terdapat beberapa ayat dari surah-surah yang ada di al-Qur'an memiliki pertalian dalam menjelaskan maqam kemaksuman nabi Musa as. Akan tetapi ketika dihadapkan pada surah al-Qashash / 28 ayat 15, yang menggambarkan bahwa nabi Musa as. memukul salah seorang penduduk Qibty (pengikut Fir'aun) hingga mengakibatkan kematian karena sebelumnya berselisih dengan Bani Israil. Peristiwa kematian ini membuat Musa as. menyesal, bahkan tersipu dihadapan
72 Riwayat lain menyebutkan, bukan ayahnya yang memergokin nabi Yusuf tapi malaikat yang diutus Allah swt. untuk menyerupai ayahnya agar menegurnya. Bahkan penggambaran Yusuf
sebagai nabi yang melakukan maksiat pun digambarkan layaknya manusia lain yang memiliki keinginan dengan lawan jenisnya. Untuk lebih jelas mengenai riwayat yang mengungkapkan apresiasi ini lihat, Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr al-Thabari, Tafsîr Jâmi' al-Bayân. Jld. 7., h. 181-189; lihat juga, 'Abd. al-Rahmân bin Muhammad bin Idrîs al-Râzî atau lebih dikenal Ibnu Abi Hâtim al-Râzî (w. 327 H.), Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm; Musnadan 'an Rasûlillah saw. wa al- Shahâbat wa al-Tâbi'în, telah ditahqîq As'ad Muhammad al-Thayyib. Cet. 3. Jld. 7. (Riyadh : Maktabah Nizâr Musthafâ al-Bâz, 1424 H./2003 M.), h. 2123-2125.
73 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur`ân. Juz. 7. h. 120.
Tuhan seraya berdoa rabbî innî zhalamtu nafsî faghfirlî. 74 Pemukulan yang dilakukan Musa as. dianggap sebagai perbuatan Syaitan (Qs. al-Qashash/28 : 15) alias Musa tergoda dengan godaan Syaitan sehingga marah dan memukul laki-laki tersebut hingga mati. Bahkan hal tersebut juga seolah-olah diperkuat dengan perkataan Firaun dan jawaban Musa yang menganggap dirinya termasuk sebagian
orang yang tersesat [khilaf] (Qs. al-Syu'ara'/26 : 19-20). 75 Menurut Makârem al-Syîrâzî, ungkapan penyesalan dan doa yang
dipanjatkan Musa as. akankah dapat ditafsirkan sebagai perbuatan dosa yang dilakukannya? Meski kisah ini terjadi ketika Musa belum menjadi seorang nabi akan tetapi kejadian ini menjatuhkan kedudukannya sebagai seorang yang ma'shum. Bukankah pemahaman kemaksuman nabi atau Rasul itu terjaga dari segala macam dosa baik dari masa kanak-kanak maupun dewasa, sebelum atau sesudah menjadi nabi? 76
Jika diperhatikan dari pertanyaan yang dikemukakan oleh Makârem al- Syîrâzî terlihat bahwa dirinya tetap mengakomodir atau menerima perbedaan penafsiran yang tidak seirama dengannya. Sehingga pertanyaan-pertanyaan yang muncul seolah berdialog dengan penafsiran yang berbeda dengannya.
Paling tidak ada empat hal yang dianggap Makârem al-Sîrâzî menjadi jawaban dalam permasalahan kemaksuman nabi Musa as. setelah melihat penafsiran zahir ayat al-Qur'an, di antaranya :
1. Pemukulan yang dilakukan Musa as. terhadap salah seorang pengikut Fir'aun hingga menyebabkan kematiannya tidaklah dapat dikatakan pembunuhan berencana tapi layak disebut pembunuhan yang tidak disengaja, sehingga tidak termasuk perbuatan maksiat. Apalagi orang tersebut telah jelas-jelas menzalimi Bani Israil dan sementara Musa datang untuk menolong orang yang tertindas.
74 Potongan ayat yang telah disebutkan merupakan lanjutan dari surah.al-Qashash / 28 : 16.
75 Qs. Al-Syu'ara'/26 : 19-20 :
Artinya : "Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu [membunuh orang Qibti] dan kamu Termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas jasa. Berkata Musa: "Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf."
76 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur`ân. Juz. 7. h. 123-124.
Singkatnya, membunuh untuk membela diri dapat diperbolehkan. Dengan demikian nabi Musa as. tetaplah seorang nabi yang maksum dan terhindar dari tuduhan dosa yang dilakukan.
2. Pengakuan penyesalan dan ucapan doa Musa as. seperti "zhalamtu nafsî" (Qs. Al-Qashash/28 : 16) merupakan satu keterlibatannya pada permasalahan yang tidak mudah untuk dilakukan dan tidak pula dikatakan sama bahwa menghindari yang utama (melakukan sesuatu yang diperbolehkan) kecuali orang tersebut telah diharamkan untuk melakukannya.
3. Apa yang dilakukan Musa as. mengisyaratkan bahwa pertikaian antara salah seorang pengikut Fir'aun dan Bani Israil tergolong pada perbuatan syaitan, sehingga ia meminta pengampunan kepada Allah disebabkan ia meninggalkan perbuatan yang utama dan tidak seharusnya ikut campur dalam urusan tersebut, akan tetapi ia terlibat pada masalah orang Qibty dan Bani Israil. Keempat,
ungkapan Musa as. yang menganggap dirinya sebagai sebagian orang yang sesat [khilaf] (Qs. al-Syu'ara'/26 : 19-20) merupakan satu bentuk penghindarannya dari jalan yang lurus (tarku al-Tharîq al-Sawy) alias meninggalkan jalan selamat. Karena tersesat (al-Dhallin) dalam ayat ini memiliki makna yang luas dan tidak terbatas pada penyimpangan agama dan kebenaran saja tapi juga termasuk kedudukan Musa as. yang menjerumuskan dirinya pada bahaya (membunuh orang), tidak mencari jalan yang lebih selamat bagi dirinya, dan bahkan memilih jalan yang membahayakan, sehingga ia meninggalkan Mesir dan lebih memilih
lari ke lembah-lembah pegunungan hingga mencapai negeri Madyan. 77
d). Nabi Ibrahim as.
Jika dilihat sepintas ada beberapa ungkapan ayat yang menggambarkan perbuatan dosa dilakukan oleh Ibrahim as. sebagai seorang nabi, yaitu Qs. al- Anbiya'/21 : 62-63. Ayat ini menjelaskan tentang interogasi raja Namrudz
77 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur`ân. Juz. 7. h. 124-125. Berkenaan dengan kata "al-Dhallin" terdapat pula pendapat yang mengartikannya dengan ketidakhati-hatian, lupa
sehingga dalam konteks nabi Musa as. ini dirinya tidak mengetahui bahwa pukulan akan menyebabkan kematian, dan arti demikian ini juga dapat dikategorikan membunuh dengan tidak sengaja (qatlu khatha'). Lihat, Abu al-Qasim al-Husain bin al-Ashfahani / al-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat fi Alfazh al-Qur'an, h. 334.
terhadap nabi Ibrahim as. karena diketahui telah menghancurkan berhala-berhala yang disembah dan dipertuhankan Namrudz. Akan tetapi dalam interogasi ini, Ibrahim as. mengingkari perbuatan yang dilakukannya, bahkan seraya memberikan jawaban bal fa'alahû kabîruhum hâdza fas`alûhum in kânû yanthiqûn (Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara). Hal ini juga seolah- olah diperkuat dengan keinginan atau doa Ibrahim as. kepada Allah swt. agar Ia mengampuni dosa-dosanya di Hari Kiamat nanti (Qs. al-Syu'ara / 26 : 82), termasuk dosa berbohong ketika ditanya raja Namrudz. Demikian juga sikap Ibrahim yang terkesan mencampuradukan keyakinan yang lurus dengan syirik seperti ungkapan tentang Tuhan yang ditujukan terhadap bintang-bintang, rembulan dan matahari (Qs. al-An'am / 6 : 76-78). Semuanya ini memberikan pemahaman tentang Ibrahim as. sebagai nabi yang tidak maksum jika dilihat
sepintas dari zahir ayat. Namun demikian, Makârem al-Syîrâzî membantah penafsiran tersebut dengan mengedepankan tiga pendapat yang dianggap otoritatif dalam menyikapi ketiga ayat di atas, antara lain :
Pertama, ungkapan al-Qur'an tidak menyebutkan bahwa berhala besar yang melakukan penghancuran ini akan tetapi sebagaimana bunyi al-Qur'an. Artinya ungkapan ini boleh jadi menunjukkan pemahaman bersyarat (al- Qadhiyyah al-Syarthiyyah), sehingga maknanya bahwa nabi Ibrahim telah menyandarkan atau menisbahkan pekerjaan itu kepada berhala yang paling besar dengan syarat jika para patung itu dapat menjawab dan berbicara, serta terlihat
jelas bahwa ia tidak pernah berdusta dalam konteks pengertian syarat tersebut. 78
78 Berkaitan dengan ungkapan pertama di atas, Imam Ja'far al-Shadiq pernah ditanya tentang apa yang dikatakan nabi Ibrahim di hadapan umatnya berkaitan dengan penghancuran
berhala, Imam Ja'far menjawab: "Nabi Ibrahim tetap (ma'shum) dan tidak pernah berdusta, dan adapun ungkapan ayat bal fa'alahû kabîruhum hâdzâ fas alûhum in kânû yanthiqûn merupakan ungkapan syarat yang seolah-olah nabi Ibrahim mengatakan: "Tanyakanlah kepada mereka!, jika mereka dapat berbicara maka berhala yang paling besarlah pelakunya, akan tetapi jika mereka tidak dapat berbicara maka berhala tidak melakukan apa-apa, karena ia itu tidak bisa berbicara maka Ibrahim tidak dapat dikatakan telah berdusta. Lihat, 'Abd. 'Ali Jum'at al-'Arusi al-Huwayzi, Tafsir al-Nur al-Tsaqalain. Jld. 3., h. 434., no. hds. 84.; lihat juga, Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jami'ah li Durar al-Akhbar al-Aimmat al-Athhar. Jld. 11. Cet. 1. (Beirut : Dar al-Ta'aruf al-Mathbu'at, 1423 H./2001 M.), Bab 'ishmat al-Anbiyâ'., h. 76., no. hds. 4.
Kedua, penyandaran atau penisbahan Ibrahim kepada perbuatan pemukulan hingga ke berhala besar termasuk dari ungkapan kiasan (kinâyah) yang lebih utama daripada non kiasan (al-Tashrîh). Artinya nabi Ibrahim ingin mengakhiri penyembahan berhala yang menyebabkan penyimpangan akidah umatnya dari jalan yang lurus, memberikan pemahaman kepada mereka bahwa batu-batuan dan kayu-kayu keras adalah benda mati yang lemah, tidak dapat berbicara walau bersatu dalam jumlah besar, bahkan ia sendiri memerlukan penyembahnya. Maka, apakah mungkin batu-batuan dan kayu-kayu tersebut dapat melepaskan kesylitan mereka. Dalam ungkapan lain, ungkapan atau bahasa kiasan biasanya disertai dengan qarînah (sesuatu yang menunjukkan maksud pembicaraan), yaitu nabi Ibrahim berkata demikian tidak dengan sungguh- sungguh bahkan ia bertujuan menghina perbuatan mereka. Ungkapan-ungkapan yang diucapkan Ibrahim ini seringkali terjadi dan dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Ketiga, boleh jadi "bal fa'alahû" yang merupakan jawaban Ibrahim itu kalimat yang mutlak. Artinya realitas yang ada mengisyaratkan suatu analisis logika yang sesuai dengan keyakinan-keyakinan para penyembah berhala dari segala tingkatan masyarakat. Dengan pengertian lain, janganlah kalian mengira bahwa kejadian (penghancuran berhala) di dalam biara atau candi diakibatkan oleh perbuatan pihak luar biara, karena kejadian itu terjadi di dalam biara! Bahkan berhala paling besar yang dianggap mereka paling kuat tidak mengalami kehancuran melainkan tetap tegar dengan kapak melingkar dilehernya. Dengan demikian, analisa logika di atas menunjukkan bahwa pelaku penghancuran adalah berhala paling besar, analisa ini sebenarnya sesuai dengan pemikiran para penyembah berhala, akan tetapi akal sehat mereka mengalihkan logika pemikiran
ini dan tidak membenarkan perkataan Ibrahim. 79 Selain nabi Adam as., Yusuf as., Musa as., dan Ibrahim as., Makârem al-
Syîrâzî juga mengungkapkan kemaksuman para nabi yang seringkali disebut- disebut al-Qur'an dalam pemberitannya, seperti nabi Nuh as. (Qs. Hud/11 : 47), nabi Daud as. (Qs. Shad/38 : 24-25), nabi Sulaiman as. (Qs. Shad/38 : 34-36),
79 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur`ân. Juz. 7. h. 114-115.
nabi Yunus as. (Qs. al-Anbiya/21 : 87-88, Qs. al-Qalam/68 : 48-50, dan Qs. al- Shaffat/37 : 143-144), dan nabi Muhammad bin 'Abdillah saw. (Qs. al-Fath/48 : 1- 2). 80
Terlepas dari beberapa nabi yang telah diungkapkan di sini, yang jelas bahwa pemberitaan tentang kenabian di al-Qur'an dalam konteks kemaksuman mereka dan pemimpin kaum Muslimin terkadang menggunakan bahasa atau ungkapan yang zahir dan sepintas terkesan tidak memberikan nuansa kemaksuman kepada para mereka, akan tetapi tidaklah demikian maksudnya.
Karena itu, Makârem al-Syîrâzî dalam beberapa ayat tentang nabi Adam as. hingga ayat-ayat yang berkenaan dengan nabi Ibrahim as. ini terlihat menggunakan penakwilan yang ditimbulkan dari redaksi bahasa al-Qur'an, yang oleh sebagian penafsir kalangan Sunni berimbas pada pemahaman tentang penafian keismahan para nabi secara mutlak. Sangat wajar kalau kalangan Syiah
menganggap keismahan para nabi itu ada sejak masa kecil hingga wafat, dan keyakinan ini menjadi satu prinsip dalam akidah mereka pada saat beriman kepada para Nabi yang merupakan salah satu pilar dari sekian rukun iman dalam Islam.
Berbeda dengan kalangan Sunni atau sebagian tafsir Sunni yang menganggap kemaksuman para nabi itu hanya pada saat mereka sudah dewasa atau setelah menerima risalah kenabian. Jadi, baik sebagian Sunni maupun Syiah sama-sama meyakini adanya kenabian sebagai pembawa risalah dari Allah, wakil Allah swt. di muka bumi dan sebagainya. Akan tetapi berbeda dalam melihat kemaksuman.
a.2. Wilayah al-Khâshshah
Setelah menguraikan salah satu kriteria kepemimpinan secara umum (al- Wilâyah al-'Ammah) yang hanya bisa dipegang oleh seorang Rasul dalam memimpin kaum Muslimin maka pada kepemimpinan secara khusus (al-Wilayah al-Khashshah) ini tidaklah demikian kondisinya. Kepemimpinan secara khusus merupakan urusan hak tentang siapa yang memimpin atau meneruskan estafet
80 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur`ân. Juz. 7. h. 111, 132, 136, 142, dan 145.
sepeninggal Rasulullah sebagai pemimpin atau imam, baik dalam urusan spiritual maupun kenegaraan.
Dalam konteks tersebut, Makârem al-Syîrâzî mengkategorikan ayat-ayat al-Qur'an menjadi dua kelompok : Kelompok pertama, ayat-ayat yang berkenaan secara langsung dengan imamah yang merupakan kepemimpinan secara khusus, seperti ayat tabligh dan kejadian ghadir khum (Q.s. al-Mâ`idah/5 : 67), ayat wilayah [kekuasaan] (Q.s. al-Mâ`idah/5 : 55), ayat uli al-Amr (Q.s. al-Nisa/4 : 59), ayat al-Shadiqin (Q.s. al-Taubah/9 : 119), dan ayat al-Qurbâ (Q.s. al-Syûrâ/42 : 23). Kelompok kedua, ayat-ayat yang tidak berkenaan secara langsung dengan
imamah tersebut, dan ayat-ayat ini cukup populer di kalangan Sunni. 81
81 Ayat-ayat yang tidak berkenaan secara langsung dengan imamah, di antaranya : 1) ayat Mubahalah [Q.s. al-Imran/3 : 61], 2) ayat al-Khair al-Bariyyah [Q.s. al-Bayyinah/98 : 7-8], 3) ayat
lailat al-Mabit [Q.s. al-Baqarah/2 : 207], 4) ayat hikmah [Q.s. al-Baqarah/2 : 269], 5) ayat surat hal ata [Q.s. al-Insan/76 : 5], 6) ayat awal surah Bara'ah [Q.s. al-Taubah/9 : 1], 7) ayat siqayat al-
Haj [Q.s. al-Taubah/9 : 19], 8) ayat shalih al-Mu'minin [Q.s. al-Tahrim/66 : 4], 9) ayat wuzarah [Q.s. Thaha/20 : 29], 10) ayat surah al-Ahzab [Q.s. al-Ahzab/33 : 23], 11) ayat surah al-Ahzab [Q.s. al-Ahzab/33 : 25], 12) ayat al-Bayyinah wa al-Syahid [Q.s. Hud/11 : 17], 13) ayat Shiddiqun [Q.s. Q.s. al-Hadid/57 : 19], 14) ayat nur [Q.s. al-Hadid/57 : 28], 15) ayat indzar [Q.s. al- Syu'ara/26 : 214-215], 16) ayat maraja al-Bahrain [Q.s. al-Rahman/55 : 19-22], 17) ayat najwa [Q.s. al-Mujadalah/58 : 12-13], 18) ayat sabiqun [Q.s. al-Waqi'ah/56 : 10-14], 19) ayat udzunuw wa'iyyah [Q.s. al-Haqqah/69 : 12], 20) ayat mawaddah [Q.s. Maryam/19 : 96], 21) ayat Munafiqin [Q.s. Muhammad/47 : 30], 22) ayat idza [Q.s. al-Ahzab/33 : 57], 23) ayat infaq [Q.s. al-Baqarah/2 : 274], 24) ayat mahabbah [Q.s. al-Maidah/5 : 54], 25) ayat mas'ulun/mas'ulin [Q.s. al-Shaffat /37: 24]. Ayat-ayat ini menjelaskan keistimewaan, sama sekali tidak menyinggung khilafah dan wilayat secara langsung kecuali hanya penetapan keistimewaan-keistimewaan yang menjadi hak pimpinan / penguasa kaum Muslimin, sifat umat Muhammad saw. yang lebih utama daripada umat-umat lain, ciri-ciri kepribadian yang layak atau berhak memimpin sepeninggal nabi. Singkatnya, dalam urusan kepemimpinan haruslah mengedapankan logika yang jelas, sehingga tidak ada kekeliruan dalam mengangkat seorang pemimpin. Lihat, Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur`ân. Juz.
9. h. 213-337. Ayat-ayat ini disanyalir sebagai sumber-sumber dalam urusan kepemimpinan oleh kalangan Sunni. Kemudian, Salah satu perbedaan yang mengemuka dalam menggunakan sumber- sumber ayat al-Qur'an baik di kalangan Syiah maupun Sunni adalah perbedaan pandangan terhadap hakekat imamah, kompetensi dan syarat menjadi imam / pemimpin. Misalnya saja, al- Kalbaikânî seorang tokoh Syiah, menganggap imamah sebagai kepemimpinan secara umum yang mencakup urusan agama dan dunia, sehingga imamah adalah masalah paling urgen dan termasuk akidah. Lihat, Ali al-Rabbânî al-Kalbaikânî, Muhâdharât fî al-Ilâhiyât li Ja'far Subhânî, Cet.5. (Qom ; Muassasah Imam Ja'far al-Shâdiq, 1423H). h.343-345. Ibnu Khaldun menganggap imamah sebagai kepemimpinan pembawa syariat dalam menjaga agama dan politik dunia, sehingga kajian imamah termasuk dalam masalah furuiyah. Lihat Ibn Khaldûn, Muqaddimah (Beirut : Dâr al- Qalam, t.th.). h.191. Adapaun untuk syarat-syarat menjadi imam / pemimpin baik Sunni maupun Syiah memiliki persepsi masing-masing. Di kalangan Sunni, diwakili al-Baghdadi yang mempersyaratkan pemimpin harus memiliki ilmu pengetahuan, adil, menguasai politik, kemampuan managemen yang baik, dan harus dari keturunan Bani Quraisy. Lihat Abu Manshûr al-Baghdâdî (w.429H), Ushûl al-Dîn. (Beirut : Dâr al- kutûb al-'ilmiyyah.tt) h. 277. Sementara di kalangan Syiah diwakili al-Bahrani, menganggap karena imamah merupakan kelanjutan pemerintahan rasul maka imam harus maksum (terhindar dari dosa), terkumpul dalam dirinya
Namun demikian, dari dua kelompok ayat ini penulis hanya menjelaskan kelompok yang pertama saja, mengingat ayat-ayat di kelompok pertama merupakan sumber-sumber yang digunakan kalangan Syiah dalam urusan kepemimpinan. Bahkan dari ayat-ayat kelompok pertama hanya tiga yang akan dijelaskan nanti, karena ayat uli al-Amr (Q.s. al-Nisa/4 : 59) dan ayat al-Shadiqin (Q.s. al-Taubah/9 : 119) telah dijelaskan di sub sebelumnya di bab ini.
Berikut ini ketiga ayat dari kelompok pertama yang akan dijelaskan sebagai berikut, antara lain :
a. Ayat Tablîgh dan Kejadian Ghadîr Khûm. 82
Tidak sedikit karya-karya atau kitab-kitab baik yang ditulis oleh Syiah maupun Sunni, seperti tafsir, hadis, dan sejarah menjelaskan bahwa ayat tabligh atau surah al -Mâ`idah/5 : 67 turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib dan haknya sebagai pemimpin. Penelusuran Makârem al-Syîrâzî menyebutkan,
banyak riwayat dari kalangan sahabat seperti Abu Said al-Khudzri, Zaid bin Arqam, Jabir bin 'Abdillah al-Anshari, Ibnu 'Abbas, Barra bin 'Ajib, Khudzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Mas'ud, dan 'Amir bin Abi Laila mengungkapkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib dan kejadian hari Ghadir
Khum. 83 Riwayat-riwayat dari para sahabat tentang turunnya ayat berkenaan
dengan 'Ali dan haknya sebagai pemimpin sepeninggal nabi juga diungkapkan secara luas dan ekstensif oleh Abu al-Hasan al-Wahidi (w. 468 H.) dalam Asbab
seluruh sifat kesempurnaan yang mulia seperti ilmu pengetahuan, sopan, berani, adil, manusia terbaik umat. Lihat Kamaluddin Mîtsam ibn Ali ibn Mitsam al-Bahrânî, Qawâ'id al-Marâm fî 'ilmi al-Kalâm, (Cairo : Mathba'at al-Mahr 1977 M) h. 179 -180.
82 Ayat tablîgh dan kejadian Ghadîr Khum (Q.s. Al-Mâ`idah/5 : 67) :
Artinya : Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Mâ`idah/5 : 67)
83 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur`ân. Juz. 9. h. 161-162 83 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur`ân. Juz. 9. h. 161-162
H.) dalam al-Dur al-Mantsur, 87 al-Syaukani (w. 1250 H.) dalam Fath al-Qadir, al-Alûsî dalam Ruh al-Ma'ani, Muhammad 'Abduh dalam Tafsir al-Mannar 88 dan
84 Dalam kitab Asbab al-Nuzul, paling tidak ada tiga opsi menurut al-Wahidi tentang turunnya Q.s. Al-Mâ`idah/5 : 67. Pertama, ayat yang berbunyi "ya ayyuha al-Rasul balligh ma
unzila ilayka min rabbik" turun berkenaan dengan masa akhir risalah Rasul, dan di akhir masa risalahnya ini Muhamammad bin 'Abdillah mengetahui kalau sebagian kaummnya akan membohongi dirinya. Riwayat ini tidak disandarkan dengan sanad yang jelas, karena hanya menyebutkan periwayat al-Hasan saja. Sementara, dalam ungkapan selanjutnya al-Wahidi juga berpendapat bahwa potongan ayat yang telah disebutkan ini turun berkenaan dengan 'Ali bin Abi Thalib yang terjadi pada hari Ghadir Khum. Riwayat ini diceritakan oleh sahabat Abu Sa'id al- Khudzri dengan sanad yang lengkap. Kedua, ayat yang berbunyi "wa Allahu ya'shimuka min al- Nas" turun berkenaan dengan kepanikan Rasul pada malam hari sehingga mengganggu tidurnya, lalu Aisyah ra. menanyakan tentang keadaan yang dialaminya dan Rasaul pun menjawab bahwa akan ada seseorang yang menjaga kita pada malam hari nanti. Riwayat ini tidak disandarkan dengan sanad yang jelas, karena hanya menyebutkan periwayat Aisyah ra. saja. Sementara, dalam ungkapan selanjutnya al-Wahidi juga berpendapat bahwa potongan ayat yang barusan ini turun berkenaan dengan permintaan Rasul kepada Abu Thalib untuk menjaga dirinya, lalu Abu Thalib
mengutus orang-orang dari keturunan Bani Hasyim untuk menjaganya. Riwayat diceritakan oleh sahabat Ibnu 'Abbas dengan sanad lengkap. Namun dari dua opsi pendapat yang ada, Wahidi tidak
memberikan tarjih atau menilai riwayat mana yang sahih. al-Lihat, Abu al-Hasan 'Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul. (Beirut : Maktabah al-Tsaqafiyah, t.th.), h.115-116. 85
Al-Razi di kitab tafsirnya tidak saja menyebutkan ayat di atas turun berkenaan dengan 'Ali as. saja akan tetapi ayat tersebut turun memiliki 10 sebab turun ayat, termasuk berkenaan dengan Ali as. Bahkan dari 10 sebab turun ayat ini hanya satu yang dianggap lebih utama atau paling utama yang pantas menjadi sebab turunnya ayat tersebut, yaitu Allah memberikan rasa aman kepada nabi dari tindakan makar yang dilakukan orang Yahudi dan Nashrani kepadanya, serta perintah Allah swt. kepada nabi agar berdakwah dengan tidak sembunyi-sembunyi tanpa harus memperdulikan mereka. Hal ini karena sesuai dengan konteks ayat sebelum dan sesudahnya yang menjelaskan tentang mereka (larangan mereka terhadap dakwah Rasul. Lihat, Muhammad al- Razi, Tafsir al-Kabir. Jld. 6. h. 52-53.
86 Al-Suyuthi mengungkapkan bahwa turunnya ayat di atas berkenaan dengan 'Ali as., dan keterangan ini didukung oleh berbagai riwayat seperti Ibnu Mas'ud, Sa'id al-Khudzri, Ibnu
'Abbas dan sebagainya. Untuk lebih jelas, Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Dur al-Mantsur. Jld. 3, h. 117- 120.
87 Al-Syaukani dalam karyanya menyebutkan beberapa riwayat tentang sebab turunnya ayat, termasuk yang berkenaan dengan 'Ali bin Abi Thalib pada hari Ghadir Khum. Akan tetapi
dari beberapa riwayat ia tidak memberikan tarjih atau memberikan penilaian sahih atau tidaknya riwayat-riwayat yang ada tersebut. Untuk lebih jelas, Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al- Syaukani, Fath al-Qadir; al-Jami' baina Fannay al-Riwayat wa al-Dirayat min 'Ilm al-Tafsir. Juz. 2. Cet. 3. (Beirut : Dar al-Ma'rifat, 1417 H./1997 M.), h. 75-77.
88 Memang benar Muhammad Abduh mengungkapkan penafsiran ayat tersebut berkenaan atau ada keterkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum yang di dalamnya pemberian mandat kepada
Ali as. Akan tetapi apa yang diungkapkan Muhammad Abduh itu bukan dalam konteks mendukung dalil-dali yang digunakan para penafsir Syiah dalam soal berhak atau tidaknya Ali sebagai pemimpin tapi mengkritik pendapat-pendapat yang digunakan oleh ulama Syiah. Di antara kritiknya adalah bahwa riwayat (man kuntu maulâhu fa 'Ali maulâhu) yang digunakan untuk mendukung penafsiran ayat al-Maidah itu maudhu', ayat di atas bukan berkenaan dengan 'Ali tapi anjuran tablig di awal masa Islam secara umum. Bahkan ia juga menganjurkan kepada para penafsir atau pembaca untuk mentarjih hadis-hadis yang digunakan sebagai pendukung. Singkatnya, hendaknya dalam menyikapi penafsiran ayat tersebut haruslah dalam kaca mata dan Ali as. Akan tetapi apa yang diungkapkan Muhammad Abduh itu bukan dalam konteks mendukung dalil-dali yang digunakan para penafsir Syiah dalam soal berhak atau tidaknya Ali sebagai pemimpin tapi mengkritik pendapat-pendapat yang digunakan oleh ulama Syiah. Di antara kritiknya adalah bahwa riwayat (man kuntu maulâhu fa 'Ali maulâhu) yang digunakan untuk mendukung penafsiran ayat al-Maidah itu maudhu', ayat di atas bukan berkenaan dengan 'Ali tapi anjuran tablig di awal masa Islam secara umum. Bahkan ia juga menganjurkan kepada para penafsir atau pembaca untuk mentarjih hadis-hadis yang digunakan sebagai pendukung. Singkatnya, hendaknya dalam menyikapi penafsiran ayat tersebut haruslah dalam kaca mata dan
Berbeda dengan kalangan Syiah, menganggap ayat tersebut turun saat peristiwa Ghadîr Khûm, yakni ketika nabi saw. berpidato 89 dan membicarakan
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang menerima wasiat (kenabian) dan sebagai wali setelah sepeninggalan rasul. Riwayat peristiwa ini menurut Nasher Makarem al-Syirazî yang mengutip dari al-Amini al-Najafi (w. 1390 H) dalam Kitab al-Ghadir menyebutkan bahwa hadis tentang peristiwa ghadir khum tidak saja diriwayatkan oleh 110 sahabat Rasul dengan sanad yang dapat dipercaya tapi juga diceritakan oleh 84 tabiin, bahkan telah diakui oleh para ulama dan para penulis tentang peristiwa tersebut di karya-karya mereka. Singkatnya, sanad yang
menunjukkan hadis ghadir khum merupakan riwayat paling kuat, sumber
ungkapan yang obyektif. Untuk lebih jelas, Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur'an al-Hakim al-Syahir bi Tafsir al-Mannar. Cet. 2. Jld. 6. (Beirut : Dar al-Ma'rifat, t.th.), h. 463-467.
89 Isi pidato nabi pada peristiwa Ghadîr Khûm : nabi bertanya : "Bagaimankah kamu bersaksi atas kebenaran risalahku" ? Mereka menjawab : "Kami bersaksi bahwa baginda telah
menyampaikan dan memberi nasehat dan berjuang semoga Allah mengganjar baginda dengan kebaikan". Beliau kemudian bertanya lagi : "Bukankah anda bersaksi tiada Tuhan selain Allah ? dan aku utusan-Nya untuk kamu sekalian, Sesungguhnya hari kebangkitan itu adalah benar adanya dan Allah akan membangkitkan siapa-siapa dari dalam kubur "? Seraya mereka menjawab : "Kami bersaksi terhadap apa dikatakan". Lalu nabi melanjutkan pidatonya : "wahai Allah aku bersaksi, wahai manusia dengarkanlah !" Suasana saat itu menjadi hening dan nabi bersabda lagi : "perhatikanlah apa yang telah kamu lakukan terhadap tsaqalain (dua tsaqal/pegangan) setalah aku kelak ?" . Salah seorang dari mereka bertanya : " apa yang dimaksud dengan tsaqalain (dua tsaqal/pegangan) itu wahai baginda rasul ?". Ia bersabda : " Tsaqal (pegangan) besar pertama adalah kitab Allah ibarat tali yang memanjang di salah satu ujungnya di tangan Allah dan ujung yang lain ditangan kamu sekalian, maka janganlah kamu tinggalkan ! Tsaqal (pegangan) kecil kedua yaitu anak dan keturunanku dan Allah yang maha Lemah Lembut telah memberitakan kepadaku bahwa keduanya tidak akan terpisah hingga keduanya dikembalikan kepada telaga (al- kautsar di akhirat), maka janganlah kamu sekalian mendahului mereka atau ketinggalan dari mereka niscaya kamu sekalian akan hancur." Peristiwa ini disaksikan oleh semua orang lantas rasulullah menoleh seolah mencari seseorang dan ketika matanya tertuju kepada Ali bin Abi Thalib, seraya mengambil tangannya dan berkata : " Wahai manusia siapakah orang yang paling mulia dari pada orang-orang yang beriman ?". Mereka menjawab : Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui, lalu ia bersabda : "Allah adalah pelindung dan tuanku, aku adalah pelindung dan tuan orang-orang yang beriman juga aku orang yang terbaik di antara mereka, maka barang siapa yang aku sebagai pelindung dan tuannya maka Ali juga sebagai pelindung dan tuannya. Perkataan ini diulang hingga tiga kali. Kemudian nabi berdoa : "wahai Allah lindungilah orang yang melindunginya (Ali ra.), sakitilah orang yang menyakitinya, cintailah orang yang mencintainya, dan murkalah terhadap orang yang memurkainya "! Setelah khutbah nabi ini berakhir turunlah wahyu terakhir : "al-yauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu 'alaikum ni'matî…(QS. al- Mâ`idah/5 : 3)" Lihat, Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân Juz. 9. h.166-167.
kebenaran dalam menjelaskan hadis mutawatir, dan barang siapa meragukan kemutawatiran hadis maka selamanya ia akan meragukannya. 90
Terlepas dari perdebatan yang ada, paling tidak tafsir ayat tabligh (Q.s. Mâ`idah/5 : 67) dan peristiwa Ghadîr Khûm setidaknya memiliki tiga catatan penting dalam pandangan Makârem al-Syîrâzî, antara lain :
Pertama, ayat tabligh turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib dan terjadi pada peristiwa Ghadîr Khûm, menunjukkan adanya peristiwa penting yang merupakan perintah Allah kepada nabi untuk disampaikan kepada umatnya. Perintah itu sesuatu yang berhubungan dengan penerus estafet risalah kenabian dengan wilayah imâmah, bahkan pada teks dari lafaz ayat disebutkan; jika tidak dilakukan oleh nabi maka nabi dianggap belum menyampaikan risalah kenabian seperti dalam ungkapan " fa in lam taf'al fa mâ ballaghta risâlatah."
Kedua, masalah yang ada pada ayat tabligh ini sama sekali tidak
menyangkut masalah ibadah seperti sholat, zakat, puasa, dan haji, akan tetapi menunjukkan pesan kepada masalah akidah yang sangat penting untuk disampaikan di saat kritis dan akhir-akhir kehidupan nabi.
Ketiga, kelanjutan ungkapan ayat di atas ("wa Allâhu ya'shimuka min al- Nâs") menunjukkan bahwa masalah kewalian dan imâmah merupakan masalah besar yang akan memicu ketidaksetujuan sebagian kelompok, dan karena inilah Allah swt. tetap akan menjamin keamanan kepada nabi bahwa Allah-lah yang menjaga nabi dari seluruh umat. Bahkan ungkapan di atas juga dikuatkan dengan akhir ayat bahwa Ia tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang
mengingkarinya (innallâha lâ yahdîl-Qaum al-Zhâlimîm). 91
Dengan demikian, ayat tabligh atau surah al-Mâ`idah/5 : 67 dan peristiwa Ghadîr Khûm tidak saja menjadi salah satu dalil bagi kalangan Syiah dalam urusan kepemimpinan secara khusus tapi juga sebagai hak Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasul sebagai orang yang berhak memimpin. Hal ini karena didukung
90 Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân Juz. 9. h 163. Lihat juga 'Abd al-Husein ahmad al-amînî al-Najafî, al-Ghadîr fî al-Kitâb wa al- Sunnah wa al- Adab. (Beirut : Muassasah al-a'lâm
lil mathbûat 1994 ) h. 234. 91 Nasher Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân Juz. 9. h.168-169.
berbagai riwayat baik pada sumber-sumber Syiah maupun Sunni yang menginformasikan secara ekstensif tentang hal tersebut.
Meskipun secara implisit, Makârem al-Syîrâzî dalam penafsirannya tidak menyebutkan atau tak ada cenderung memihak kepada Ali as. sebagai orang yang layak dan berhak atas kepemimpinan sepeninggal nabi as. Akan tetapi, apa yang disebutkan Makârem al-Syîrâzî tentang tiga catatan penting yang dihasilkan dari penafsiran ayat dan peristiwa Ghadir Khum menunjukkan kepemimpinan secara khusus itu harus ada, dan kepemimpinan khusus di sini adalah imamah yang siapapun tidak akan berhak kucuali hanya Ali as. karena telah mendapat wasiat langsung dari nabi dalam peristiwa tersebut.
b. Ayat Wilâyat (Q.s. al-Mâ`idah/5 : 55) 92
Ayat wilayat atau kepemimpinan secara khusus ini telah disebutkan al- Qur'an dalam surah al-Maidah/5 : 55. Tidak sedikit riwayat yang menceritakan
tentang ayat wilayat ini turun berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib ra.
Misalnya saja dari kalangan Sunni, al-Suyûthi dalam tafsinya al-Dur al- Mantsûr menyebutkan, ketika menafsirkan ayat ini dirinya menukil riwayat Ibnu 'Abbas, Salamah bin Kahil, dan Ali bin Abi Thalib sendiri yang menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Ali as. yang pada saat itu sedang ruku lalu datanglah seorang pengemis kepadanya untuk meminta sesuatu. 93 Demikian dikemukakan oleh al-Razi dalam tafsirnya yang menyebutkan suatu
kisah yang sama persis diriwayatkan Ibnu 'Abbas. 94 Hal yang sama juga
92 Ayat wilayah (Q.s. al-Mâ`idah/5 : 55) :
Artinya : Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk ruku' (kepada Allah). (QS. al-Mâ`idah/5 : 55)
93 Adapun riwayat dari Ibn Abbas ra. bahwa Ali ra. sedang ruku' lalu datang seorang pengemis kepadanya maka Ali memberikan cincin yang ada ditangannya, kemudian Rasulllah
bertanya kepada pengemis: "Siapa gerangan yang memberikan cincin itu? pengemis itu menunjuk kepada Ali dan berkata: "Orang yang ruku' itu. Kemudian, turunlah ayat 55 dari surah al-Mâ`idah. Lihat, Jalaluddin al-Suyûthî, al-Dur al-Mantsûr. Jld. 2. h. 293.
94 Riwayat yang dinukil oleh al-Razi adalah riwayat Abu Dzar al-Ghifari. Adapun riwayat yang dimaksud ialah dari Abi Dzar berkata : Suatu hari aku sholat bersama rasulullah pada shalat
zuhur, kemudian datang seorang pengemis meminta-minta di masjid namun tak seorangpun yang memberinya, lantas pengemis berdoa mengangkat tangannya ke langit dan berkata : "Ya Allah saksikanlah aku berdoa di masjid rasulullah dan tidak seorangpun yang memberi sesuatu, zuhur, kemudian datang seorang pengemis meminta-minta di masjid namun tak seorangpun yang memberinya, lantas pengemis berdoa mengangkat tangannya ke langit dan berkata : "Ya Allah saksikanlah aku berdoa di masjid rasulullah dan tidak seorangpun yang memberi sesuatu,
Dalam konteks tersebut, kalangan ulama Syiah juga melakukan apa yang dilakukan Sunni dalam pengkajian ayat tersebut. Misalnya, al-Amini al-Najafi (w.1390 H) seorang ulama Syiah telah mencatat dalam karyanya Kitab al-Ghadir tentang berbagai sumber-sumber Sunni yang tidak kurang dari 20 kitab membicarakan tentang turunnya ayat yang berkenaan dengan Ali as. dan peristiwa
Ghadir Khum. 96 Demikian juga penelusuran yang dilakukan Nurullah al-Syusytari / al-Tustari (w. 1019 H./1610 M.) dalam karyanya Ihqaq al-Haq wa Izhaq al-
Bathil, 97 dan bahkan Syarafuddin al-'Amuli (w. 1377 H./1957 M.) yang mencatat dalam karyanya al-Muraja'at tentang berbagai sumber-sumber Sunni yang
menyebutkan lebih dari 20 sumber seperti dikatakan al-Amini. 98 Dengan demikian, baik yang dikatakan sumber Sunni maupun Syiah
semuanya menunjukkan bahwa Q.s. al-Mâ`idah/5 : 55 ini turun berkenaan dengan hak Ali as. yang tidak perlu diragukan lagi, atau kenapa ragu dengan peristiwa atau kejadian tersebut?
Bahkan Makârem al-Syîrâzî dengan mengutip dari penulis Minhâj al- Barâ`ah fi Syarh Nahj al-Balâghah menyebutkan bahwa sungguh riwayat yang disebutkan baik dari sumber Sunni maupun Syiah di atas tidak saja saling menguatkan satu sama lain tapi juga mutawatir, karena diriwayatkan dari jalur
sedangkan Ali saat itu sedang ruku' seraya mengulurkan tangan kanannya yang di jari manisnya terdapat cincin (setelah mendengar doa), maka pengemis itu mengambil cincin tersebut. Kejadian ini diketahui oleh rasul maka ia berdoa : "Ya Allah saudaraku Musa memohon kepada-Mu dengan berdoa, ya Tuhanku lapangkanlah dadaku -- hingga doa Musa ini mencapai – jadikanlah ia sekutu dalam urusanku (Q.s. Thaha/20 : 25-32)" maka al-Quran yang berbicara turun : "Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar (Q.s. Al-Qashash/28 : 35). Kemudian, setelah doa ini diminta Rasul maka turun ayat 55 dari surah al- Mâ`idah. Untuk lebih jelasnya lihat, Fakhruddin Muhammad al-Razî, Tafsir al-Kabir Mafatih al- Ghaib. Jld. 12. h. 26.
95 Nadîm Mir'asyalî dan Usamah Mir'asyalî, Kanz al-'Ummal fî Sunan al-Aqwâl wa al-
Af'âl, Cet. 3 Jld. 11 ( Beirut : Muassasat al-Risâlah 1409H/ 1989M ) hadis no. 32938. 96
'Abd. al-Husain Ahmad al-Amini al-Najafi, Al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah, wa al- Adab. Juz. 2. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Arabi, 1387 H.), h. 52-53.
97 Nurullah al-Syusytari, Ihqaq al-Haq. Juz. 2. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Arabi, t.th.), h. 399-407.
98 Abdullah al-Husain al-Musawi al-'Amuli atau lebih dikenal Syarafuddin al-'Amuli, al- Muraja'at. (Shaida : Mataba'ah al-'Irfan, 1355 H.), h. 123.
Sunni juga Syiah. 99 Meski demikian, ia dengan berbagai dedikasi, kapabilitas, dan kritisnya tetap menyadari bahwa yang terpenting adalah bagaimana penunjukan ayat (al-Dilalat al-Ayat) terhadap urusan wilayat dan khilafah kenabian. 100
Jika dilihat dari komentar Makârem al-Syîrâzî yang mengutip perkataan dari penulis Minhaj seolah-olah terlihat bahwa ia menerima secara mentah- mentah pendapat yang diungkapkan Sunni juga taklid terhadap para pendahulu (mufassir Syiah) yang seideologi dengan dirinya. Akan tetapi, tidaklah demikian, karena ia sendiri tetap memberikan komentar yang pada intinya ia menginginkan penafsiran apresiatif dan proporsional terhadap ayat tersebut. Dengan ungkapan lain, ia mempertanyakan ayat tersebut disinyalir menunjukkan pada permasalahan khilafah, dan di sisi lain bagaimana mengelaborasi pertentangan dan keraguan penafsiran-penafsiran yang ada tentang ayat tersebut.
Paling tidak ada dua hal penting untuk mencapai penafsiran yang apresiatif
dan proposional atau mencapai penunjukan ayat terhadap masalah wilayat dan khilafah nabi dalam konteks penafsiran Q.s. al-Mâ`idah/5 ayat 55 sebagai kepemimpinan secara khusus, antara lain :
Pertama, bagaimana melihat penunjukan ayat (al-Dilalat al-Ayat) dalam urusan khilafah. Artinya, ayat di atas disebut ayat wilayat, karena adanya pemahaman dari kata "al-Wali," yang penuturannya menggambarkan bahwa al- Wali yang dimaksud ialah wali atau pemimpin atas kaum Muslimin. Benar kalau kata atau kalimat al-Wali memiliki makna yang banyak, sehingga al-Wali terkadang diartikan penolong dan teman, dan disisi lain, al-Wali juga diartikan sebagai penguasa yang mengatur dan pembela yang membimbing. 101 Adapun hubungan yang ada dalam ayat tersebut adakalanya kata "al-Wali" di sini berarti mengurus suatu perkara, membimbing, dan orang yang terbaik atau terpilih.
99 Nasher Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân Juz. 9. h.182. 100 Nasher Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân Juz. 9. h.182.
Nasher Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân Juz. 9. h.182. Arti atau makna kata "al-Wali" memiliki makna sama seperti dungkapkan al-Raghib yang yang mengartikan asal kata tersebut sebagai keberhasilan seseorang terhadap dua hal atau lebih secara gemilang yang keberhasilan antara keduanya tidak dihasilkan dari dua hal tersebut, sehingga apabila kata tersebut dibaca al-Wilayat (dengan kasrah huruf wawu) maka berarti penolong dan apabila dibaca al- Walayat (dengan fathah huruf wawu) maka berarti mengurus suatu perkara. Lihat, Al-Râghib al- Ashfahani, Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an. h. 606.
Karena, jika kata ini diartikan sebagai penolong, teman, dan yang membantu maka akan mencakup semua orang yang beriman sebagaimana yang dimaksud pada surah al-Taubah/9 : 71 (al-Mu'minûna wa al-Mu'minâtu ba'dhuhum awliyâ`u ba'dh). Maka, akan tampak sebuah ungkapan yang hanya terbatas pada keadaan tertentu, seperti orang yang berinfak dalam keadaan ruku', dan demikian pula kata "innamâ" menunjukkan pada pembatasan atau tertentu (hasr). Dengan demikian, ungkapan yang meyakinkan kepada kita adalah bahwa wilayat pada ayat di atas bukan berarti sedekah dan membantu saja, dan atas dasar ini tidak ada alasan lagi untuk memaknai al-Wali sebagai orang yang mengurus suatu perkara dan memiliki perkara yang sifatnya membimbing, yang kewalian atau kepemimpinannya bertentangan dengan wilayat Allah dan nabi-Nya. Kemudian, ayat lain yang juga menunjukkan makna wilayat adalah kelanjutan ayat di atas, yaitu al-Mâidah/5 : 56. Jika ayat ini diperhatikan maka akan tampak hubungan
yang menggambarkan bahwa tafsir wilayat menjelaskan penunjukkan urusan yang mulia, karena ungkapan "hizballâh" yang ada pada ayat 65 ini merupakan ungkapan kemenangan mereka (kaum Muslimin) terhadap musuh-musuhnya dengan bukti terbentuknya pemerintahan Islam. Karena arti kata "hizb" adalah perumpamaan dari pada penghormatan dan toleransi masyarakat demi tujuan pemberian keamanan bersama.
Kedua, bagaimana menyikapi pertentangan dan keraguan dalam penafsiran, mengingat secara penunjukan ayat (al-Dilalat al-Ayat) menjelaskan urusan imamah dan khilafah sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan sisi lain, ada yang berpendapat bahwa ayat tersebut tidak turun berekanaan dengan 'Ali as. atau hak Ali as. sebagai pemimpin. Boleh jadi ada dua upaya obyektifikasi dalam melihat keraguan dan pertentangan penafsiran ini, di antara 1) sebagian keraguan atau pertentangan ini dianggap sebagai bentuk ilmiah yang zahir, sehingga dapat dikembalikan dalam bentuk yang ilmiah, kecuali sebagian ini disandarkan kepada apa yang disaksikannya, dan 2) menawarkan atau memberikan pendapat yang Kedua, bagaimana menyikapi pertentangan dan keraguan dalam penafsiran, mengingat secara penunjukan ayat (al-Dilalat al-Ayat) menjelaskan urusan imamah dan khilafah sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan sisi lain, ada yang berpendapat bahwa ayat tersebut tidak turun berekanaan dengan 'Ali as. atau hak Ali as. sebagai pemimpin. Boleh jadi ada dua upaya obyektifikasi dalam melihat keraguan dan pertentangan penafsiran ini, di antara 1) sebagian keraguan atau pertentangan ini dianggap sebagai bentuk ilmiah yang zahir, sehingga dapat dikembalikan dalam bentuk yang ilmiah, kecuali sebagian ini disandarkan kepada apa yang disaksikannya, dan 2) menawarkan atau memberikan pendapat yang
Demikianlah dua prosesi yang digambarkan Makârem al-Syîrâzî dalam menempuh penafsiran yang disinyalir menengah-nengahi pendapat yang berkembang seputar penafsiran ayat tersebut. Meskipun ia sendiri dalam urusan imamah pada ayat-ayat selain ini larut dalam keraguan, bahkan memplesetkan penafsiran ulama Sunni lalu menjadikannya sebagai hujjah atau bukti dalam mengkritik mereka dalam beberapa keterangan di sub ini (lihat, catatan kaki).
c. Ayat al-Qurbâ (Q.s. al-Syûrâ/42 : 23). 103
Ayat 23 surah al-Syura ini Allah swt. berfirman kepada Rasul agar tegas mengucapkan bahwa "Qul la as`alukum 'alaihi ajran illa al-Mawaddatan fi al- Qurba" (Katakanlah; aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih-sayang dalam kekeluargaan). Demikianlah bunyi
potongan ayat 23 dari surah tersebut. Menurut Makârem al-Syîrâzî, ungkapan maksud "al-Qurba" pada potongan ayat ini kerapkali disebutkan dalam pendapat-pendapat ahli tafsir Syiah, sementara para ahli tafsir Sunni menyebutnya dengan "qarabat al-Nabi" (kerabat
Adapun dua gambaran secara umum atau bentuk global yang dimaksud menurut Nasher Makarem al-Syirazi ialah bahwa 1) dalam mengupayakan obyektifikasi pertentangan atau keraguan yang ada, para penafsir hendaknya memperhatikan dhamir-dhamir dan isim maushul dalam bentuk jamak yang ada pada ayat, seperti "al-Ladzîna âmanû", "al-Ladzina yuqîmûn al- Shalat", "yu`tûna al-Zakât", dan "hum râki'ûn", sehingga bagaimanapun bentuk lafalnya tetap dapat diterapkan secara mufradnya ( tidak jamak). Banyak sekali disaksikan dalam sastra Arab bahwa pengungkapan dengan bentuk lafal jamak tapi yang dimaksud mufrad, seperti dalam kalimat "nisâ`unâ" (bentuk jamak) pada ayat al-Mubâhalah tapi yang dimaksud wanita puteri Rasul, yakni Fathimah al-Zahra. Pengungapan demikian ini dimaksudkn untuk menjelaskan sebab turunnya ayat yang dimaksudkan. Demikian juga pengungkapan jamak pada kata "anfusanâ" di ayat al-Mubahalah yang memaksudkan nabi Muhammad saw. dengan 'Ali bin Abi Thalib. Kaidah demikian ini berlaku juga pada ayat yang di bahas di atas. Sigkatnya, meski ayat menggunakan ungkapan jamak akan tetapi yang dimaksud mufrad, yakni 'Ali bin Abi Thalib. Selain alasan bahasa Nasher Makarem al-Syirazi juga memberikan alasan yang lain dalam menyikapi pertentangan atau keraguan penafsiran yang ada. Untuk lebih jelas dan panjang lebarnya lihat, Nasher Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân. Juz. 9. h.183-189.
103 Ayat al-Qurbâ (Q.s. al-Syûrâ/42 ;23) :
Artinya : Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan." Artinya : Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan."
Karena itu, paling tidak ada tiga tafsiran yang muncul dalam mempertahankan sebagian urusan imamah dan khilafah serta hal-hal yang melemahkan terhadap Ahl al-Bait, antara lain:
Pertama, upah (ajr) dan pahala risalah pada ayat tersebut adalah mencintai hal-hal yang dapat mengajak semua orang untuk dekat kepada Allah swt. Berarti, yang dimaksud dengan al-Qurbâ ialah segala hal yang mendatangkan atau menyebabkan seseorang dekat kepada-Nya. Dari sebagian penjelasan ini tampak jelas bahwa tafsir seperti ini tidak tercela, bahkan zahir ayatpun menunjukkan secara mutlak. Karena, hal penting untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah
shalat, puasa, jihad dan hal-hal lain yang juga dapat mendekatkan kepada-Nya adalah melaksanakan hal tersebut, bukan sekedar suka dan mencintainya tapi juga melakukannya. Adapun ungkapan "al-Mawaddah" (rasa senang atau cinta) pada ayat ini dapat dianggap tidak sesuai dengan permasalahan ini, kecuali jika terdapat seseorang di antara orang yang diajak bicara (mukhatab) oleh nabi yang tidak menyukai hal ini (imamah dan wilayah), sehingga ada sebagian dari mereka yang membatasi kecintaannya terhadap masalah tersebut dengan ketergantungannya terhadap hukum Allah dan al-Qur'an, meskipun mereka tidak mengamalkannya. 105
Kedua, sebagian mufassir menyebutkan bahwa yang dimaksud "al-Qurba" pada ayat tersebut menunjukkan kepada orang-orang muslim agar mencintai kerabatnya sebagai balasan risalah. Sementara mencintai kerabat mereka tidak ada kaitannya dengan risalah. Karena, yang lebih pantas untuk dicintai adalah kerabat
104 Nasher Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân. Juz. 9. h.199.
Penjelasan di atas hanya terbatas pada kata "al-Qurba" yang memiliki makna "al- Qurbu" dan "al-Dunuwwu" (dekat), bukan al-Muqarrib yang memiliki makna orang yang mendekatkan diri. Karena, dalam bentuk al-Muqarrib ini banyak digunakan di al-Qur'an yang tidak kurang dari 15 ungkapan. Selain alasan ini, sebab penafsiran pada ayat yang di bahas berbeda dengan 15 ungkapan ini, sehingga apa sebenarnya yang dibangun dari pemahaman kalimat ini? dan apakah ada penolakan terhadap keterangan yang mengisyaratkan kepada hal tersebut. Lihat, Nasher Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân. Juz. 9. h. 200.
Ketiga, sebagian penafsir-penafsir lain menyebutkan bahwa yang dimaksud "al-Qurba" pada ayat tersebut adalah jagalah kerabatku sebagian dari kalian sebagai balasan risalah, karena aku memiliki kerabat nasab bersama
kabilah-kabilah kamu yang banyak maka janganlah menyakitiku! 106
Menurut Makarem al-Syirazî penafsiran ini juga kurang sesuai karena balasan (ajr) risalah hanya dituntut dari orang-orang yang menerima risalah kenabian saja. Dan tidak dituntut dari orang-orang yang menyakiti rasul. Dan jika yang dimaksud dari ayat di atas adalah musuh-musuh yang menyakiti rasul maka sesungguhnya mereka tidak menerima risalah nabi selamanya.
Menurut Makarem al-Syirazî, penafsiran yang dibenarkan yaitu jika melihat kepada firman Allah sebagai berikut : 1) wa mâ as`alukum 'alaihi min
ajrin in ajriya illâ 'alâ rabbil- 'âlamîn. 2) Qul lâ as`alukum 'alaihi ajran illâl- mawaddatam fil-qurbâ. 3) Qul mâ as'alukum 'alaihi min ajrin illâ man syâ'a ayyattakhidza ilâ rabbihî sabîlâ. 4) Qul mâ as'alukum min ajrin fahuwa lakum in ajriya illâ 'alallâh.
Dari urutan ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nabi adalah nabi terakhir dan tidak meminta balasan apa-apa dari seseorang akan tetapi hanya mencintai kerabatnya yang berakibat mendapat ridha Allah. Karena dengan mencintai kerabat rasul akan berlanjut kepada imâmah dan khilâfah kenabian sebagai penerus kepemimpinan rasul terhadap umat dan memberi petunjuk kepada manusia. Pendapatnya ini diperkuat dengan dalil dari Sa'id bin Jubair dari Ibn Abbas : " bahwa ketika turun Qul lâ as`alukum 'alaihi ajran Illâl-mawaddatan fil- qurbâ, para sahabat bertanya : " Wahai baginda rasul ! Siapakah kerabat yang Allah perintah agar kami mencintainya ? Beliau bersabda : Ali, Fathimah dan anak mereka berdua. 107 Selain dari pada ini Makarem al-Syirazi juga berpegang
Lihat, Nasher Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân. Juz. 9. h. 200.
Abdullah ibn Abdullah ibn Ahmad Al-Hakim al-Huskânî , Syawâhid al-tanzîl li qawâid al-Tafdhîl fî al-âyât al-nâzilah fî ahl al-bayt, Cet. I jld 1. (Thahran Iran : Muassasât al- thab' wa al-nasyr al-Tâbi'ah li al-wazârât al-Tsaqâfah wa al-irsyâd al-Islâmî 1411 H / 1990 M) h. 554.
mengaminkan. 108
a.3. Para Imam adalah orang-orang yang ma'shûm.
Sarat lain bagi seorang imam Syiah yaitu keterjagaan dari kesalahan dan
kelupaan. Dan dalil yang mengisaratkan bahwa para nabi adalah orang-orang yang ma'shum secara langsung menunjukkan bahwa para imam juga orang-orang yang ma'shum. Hal ini disebabkan tanggungjawab mereka yang serupa.
Nabi orang yang meletakkan syariat dan berhubungan dengan wahyu sedangkan para imam adalah orang-orang yang memposisikan sebagai kepanjangan dari pada nabi, mereka adalah penjaga syartiat meski tidak turun kepada mereka wahyu akan tetapi mereka mengikuti peninggalan nabi dalam memberikan petunjuk kepada manusia.
Dalil al-Quran yang mengisyaratkan bahwa para imam adalah orang yang ma'sûm QS. Al-Ahzâb/33 ;33. 109
Abu Nu'aim Ahmad ibn Abdillah al-Ashfahânî (w. 430 H), Hilyat al-awliyâ' jld 3 (Beirut : Dâr al-Fikr tt) h. 201.
QS. Al- Ahzab/ 33 ; 33 .
Artinya : Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al- Ahzab/ 33 ; 33)
Untuk mengurai ayat diatas Makârem al-Syîrâzî mengorelasikan dengan ayat 124 dari surah al-Baqarah, yaitu surah yang berkaitan dengan kemulyaan dan kedudukan imamah dan wilayah dalam kisah nabi Ibrahim as. Allah swt telah menguji nabi Ibrahim dengan berbagai cobaan, dan ketika ia dapat lulus dari cobaan itu Allah berfirman kepadanya innî jâ'iluka lin-nâsi imâman (aku jadikan kamu pemimpin bagi manusia). Ketika nabi Ibrahim menginginkan kedudukan ini agar di peruntuk anak dan cucunya, Allah menjawab dengan memberi syarat lâ yanâlu 'ahdizh-zhâlimîn (perjanjianku tidak berlaku untuk orang-orang yang zalim). Dalam arti kata bahwa yang akan menjadi imam adalah keturunan yang
bersih dan ma'shum saja. 110 Dengan demikian maka penafsiran Makârem al-Syîrâzî terhadap ayat
diatas adalah ayat tersebut menekankan syarat untuk menjadi imam hanya orang yang ma'shum sedangkan orang yang menghabiskan hidupnya pada kezaliman
akidah atau perbuatannya melakukan hal-hal yang zalim tidak akan mendapatkan kedudukan ini. Dan kezaliman itu mencakup secara umum baik akidah atau perbuatan maksiat.
Ayat al-Quran yang dibahas ini lebih spesifik dan lebih fokus dalam memberikan syarat bagi seorang imam yaitu kema'shuman. Akan tetapi ayat di atas meliputi anak dan keturunan nabi yang perempuan, apakah mereka juga akan menjadi imam ? Jawabannya adalah bahwa ayat tersebut di atas menggunakan jamak mudzakkar (jamak untuk laki-laki) sedangkan untuk perempuan harus menggunakan jamak muannats (jamak untuk perempuan), dan pada permulaan ayat ini sudah menggambarkan adanya larangan bagi ahl-Bait perempuan untuk berprilaku sebagaimana yang dilakukan perempuan kafir. Keseluruhan larangan itu menggunakan jamak muannats, sedangkan pada kelanjutan ayat menggunakan jamak mudzakkar.
Awal dan akhir ayat memiliki tujuan yang sama, hanya pembahasan ini secara sepakat tidak terdapat qarinah (maksud/tujuan pembicaraan) tertentu. Untuk itu dapat menimbulkan persepsi bahwa ayat ini berbicara tentang istri-istri
110 Nasher Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân. Juz. 9. h. 118.
nabi, akan tetapi dapat juga menimbulkan persepsi sebaliknya yaitu disesuaikan dengan qarînah yang terdapat pada dhamîr (kata ganti) yang ada.
Pendapat ini menurut Makârem al-Syîrâzî diperkuat dengan banyaknya riwayat baik sunni atau syiah yang meriwayatkan bahwa mukhâthab (orang kedua) adalah nabi saw., Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husein dan bukan istri-
istri nabi. Hal ini akan diperjelas dengan pembahasan tafsir ayat di atas. 111 Kata innamâ adalah untuk hashr (pembatasan) ini menunjukkan bahwa
pemberian pensucian ini hanya terbatas dan dikhususkan kepada keluarga nabi saja.
Dan kata kerja yurîdu pada ayat di atas menunjukkan keinginan takwînî Allah untuk menciptakan, membersihkan dan menjaga mereka dari kesalahan dan tetap suci, bukan keinginan tasyrî'i yaitu keinginan yang dibebankan kepada mereka agar berusaha menjaga diri tetap suci, jika demikian maka tidak ada
perbedaan antara keluarga nabi dengan seluruh muslim lain yang dibebankan agar tetap berusaha untuk mensucikan diri. Dengan demikian akan tergambar bahwa kema'shuman adalah suatu keutamaan yang istimewa.
Adapun arti al-rijs menurut etimologi adalah sesuatu yang kotor atau yang menjijikkan sesuai kebiasaan manusia, menurut hukum akal, dan syariat atau menurut keduanya. 112
Apa yang ditafsirkan oleh sebagian ulama kata rijs mengandung arti yang bervariasi diantaranya dosa, syirk, akidah yang sesat, atau kikir dan dengki, semua ini menunjukkan makna hal-hal yang kotor. Sedangkan alif dan lâm pada kata al- rijs ini menunjukkan jenis yang berarti umum, yang maksudnya bahwa Allah menjauhkan segala macam jenis kotoran dari mereka.
Ungkapan ayat "wa yuthahhirakum tathhîra" yang maksudnya adalah pensucian yang ditegaskan, dalam kaitan peniadaan segala macam kotoran. Sedangkan kata tathhîra dalam kaidah bahasa Arab dinamakan maf'ul muthlaq
Lihat, Nasher Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân. Juz. 9. h. 119.
Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad ibn al-Mufadhal al-Raghib al-Ashfahanî (w.503 H), Mu'jam al-Mufradât al-fâzh al-Quran (Beirut : Dâr Kutub al-'Ilmiyah 1425 H / 2004 M) h. 212.
Sebagian mufassir ahli sunnah menafsirkan bahwa yang dimaksud ahli bait adalah istri-istri nabi 113 , akan tetapi sebagaimana yang telah diuraikan oleh
Makârem al-Syîrâzî bahwa perubahan dhamir (kata ganti) dari jamak muannats menjadi jamak mudzakaar menunjukkan bahwa ayat ini mencakup dua hal yang terpisah. Ini menunjukkan keindahan ungkapan sastra al-Quran.
Menurut ulama lain bahwa ungkapan ayat tersebut dikhususkan bagi rasulullah, Ali as, Fathimah, al-Hasan dan al-Husein, pendapat ini bersandar kepada riwayat-riwayat yang terdapat pada sumber-sumber syiah dan ahli-sunnah yang menunjukkan kesesuaian seperti riwayat Ummu Salamah, Abi Sa'id al-
Khudrî, Aisyah, Ibn Abbas, Zaid ibn Arqam. 114 Sedangkan Thabathabâ'î, menukil dalam kitabnya riwayat hadis ini
sebanyak kurang lebih 70 riwayat. Makârem al-Syirâzî memperkuat pendapatnya ini dengan sebab nuzul ayat ini yaitu dengan mengutip hadis riwayat Ummu Salamah ra. (istri nabi saw.) bahwa nabi sedang berada di rumahnya. Kemudian Fatimah datang dengan membawa makanan lantas rasulullah mengatakan kepadanya : wahai fatimah panggilkan untukku suamimu dan kedua anakmu! Maka mereka datang dan menyantap makanan. Kemudian nabi menghamparkan kain (dikerudungkan) terhadap mereka lalu berdoa : "Ya Allah mereka semua adalah keluargaku dan
Pemaknaan kata Ahl al-Bait oleh al-Thabari dalam menafsirkan ayat ini ia mengungkapkan banyak riwayat hadis dari jalur rawi yang berbeda yang keseluruhannya berkenaan dengan Nabi, Ali ibn Abi Thalib, Fatimah, al-Hasan dan al-Husein. Akan tetapi ayat ini adalah lanjutan ayat sebelumnya yang memerintahkan istri-istri nabi agar tidak berperangai sebagaimana perempuan kafir. Dengan demikian perintah Allah dan pensucian pada ayat mencakup seluruh istri-istri nabi, Lihat Abi Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabarî , Jâmi' al-Bayân fî ta'wîl al-Qurân, jld. 10 Cet. 3 (Beirut : Dâr Kutub al-'Ilmiyyah 1420 H / 1999 M) h. 293-298..
Tampak di sini Makarema Al-Syirazi ingin mengungkapkan riwayat-riwayat tafsir ayat ini dengan mengambil dalil dari ahl sunnah yang mendukung kesyiahannya. Padahal al- Suyûthi juga meriwayatkan dalam tafsirnya hadis yang mendukung bahwa yang dimaksud ahl al- Bait adalah istri-istri nabi, yaitu hadis dari Ikrimah, Said ibn Jabir, 'Urwah ra. Lihat Jalâl al-Dîn 'Abd al-Rahmân ibn Abi al-Bakr al-Sayûthî, Al-Durr al-Mantsûr fi al-tafsîr bi al-Ma`tsûr, jld.5. Cet. I (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah 1421 H / 2000 M) h. 374 –378.
Muhammad Husain Al-Thabathabai, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân. jld 16. (Beirut : Muassasat al-A'lami li Al-Mathbu'at, 1403 H/1983 M) h. 311.
B. Tema Eskatologi (al-Ma'ad)
Pembahasan ma'âd atau akhirat merupakan kajian yang tidak kalah penting dalam kitab Nafahât al-Qur`ân sebagaimana pembahasan tema-tema lain yang ada di tafsir tersebut. Apalagi secara hirarkis persoalan tentang akhirat dalam akidah atau keyakinan agama Islam ada pada posisi setelah pembahasan tauhid.
Penelusuran Makârem al-Syîrâzî di tafsir maudhû'inya Nafahât al-Qurân, menyebutkan bahwa tidak kurang dari 1200 ayat di al-Qur'an sepertiganya menjelaskan tentang akhirat dalam berbagai ragam. Dari tanda-tanda akhirat, kehidupan setelah mati, surga dan neraka hingga keadilan Tuhan dipaparkan di al- Qur'an. 117
Pembahasan ma'ad dianggap perlu untuk dibahas dalam tafsir ini disebabkan beberapa hal berikut ini 118 :
1. Kesempurnaan iman kepada Allah dan mengenal hakikat keadilanNya akan sempurna bila beriman akan adanya ma'ad.
2. Beriman terhadap ma'ad memposisikan manusia pada jalur yang jelas guna kesempurnaan hidup. Mencakup mengimani pengamalan setiap sunnatullah yang sedang dijalani.
3. Beriman terhadap ma'ad melemahkan kecintaan kepada dunia yang merupakan sumber dari segala kesalahan.
4. Beriman terhadap ma'ad memberikan kontribusi kekuatan bagi manusia dalam menghadapi cobaan dan musibah. Dan menyadarkan akan hakikat penciptaan. Nasher Makârem al-Syirâzî menguraikan tentang urgensi pembahasan
ma'ad, dengan mengumpulkan 10 ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema tersebut, yaitu : 1. (QS. Al-Nisa'/4 ; 87), 2. (QS. Al-Taghâbun/64; 7), 3. (QS.
Makarem al-Syirâzi, Nafahât al-Qurân, jld. 5. h 11. dan lihat juga al-Thabrisi, Majma' al-Bayân, jld. 4 h. 559.
Makârem al-Syirazî, Nafahât al-Quran Jld.5 h.11.
Makarem al-Syirâzî, Nafahât al-Quran Jld.5 h.12.
Yunus/10 ; 53), 4. (QS. Saba'/34 ; 3), 5. (QS. Ali Imran/3 ; 9), 6. (QS. Al- Syûrâ/42 ; 18), 7. (QS. Al-A'râf/ 7; 147), 8. (QS. Al-Isra'/17 ;10), 9. (QS. Al- Jâtsiyah/45 ; 34), 10. (QS. Al-Ra'd/13 ; 5).
Ayat-ayat tersebut di atas memiliki kesamaan tema tetapi dalam kontek yang berbeda, Surah al-Nisa'/4 ; 87 119 , berisi penegasan (ta`kîd) akan keberadaan pengumpulan manusia pada hari yang tidak diragukan lagi kedatangannya (hari kiamat). Penegasan itu diperkuat dengan wa man ashdaqu minallâhi hadîsan (siapakah yang paling benar perkataannya).
Seluruh bagian ayat ini menurutnya berisi penegasan akan kedatangan hari akhirat, kata kunci penegasannya adalah kata rayb (ragu) pada ayat 87 surah al- Nisa' yang menjadi titik tekan pembahasan, menurut ulama bahasa kata rayb berarti syak (bimbang) yang bercampur dengan ketakutan dan gundah, sedang pengungkapan kata rayb lebih ditekankan kepada sesuatu yang diharapkan, oleh
karena itu seorang yang sedang mengharapkan sesuatu biasanya memiliki rasa ragu akan tercapainya dan keraguan itu dibarengi dengan rasa takut gagal.
Kata rayb biasanya keraguan yang telah didahului dengan tuduhan dan tantangan, maka al-Quran menggunakan kata rayb pada perihal hari akhirat disebabkan keingkaran dan keraguan orang kafir akan terjadinya hari ini dengan menuduh bahwa hal ini buatan nabi Muhammad 120 .
Pembahasan ini masih meninggalkan pertanyaan yaitu mengapa al-Quran dalam ayat ini hanya menyebutkan mudda'â (hari akhirat) dan tanpa menyebutkan bukti-buktinya ?
Di al-Quran pembahasan tentang hari akhirat terdapat pada beberapa tempat, ayat dan surah yang dibahas secara berkesinambungan, maka pembahasan ini sudah dianggap jelas sehingga tidak memerlukan pengulangan kembali, dan ayat ini seolah menerangkan suatu kebenaran bahwa bukti-bukti terhadap
QS. al-Nisâ'/4 ; 87 :
Artinya : Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ? (QS. al-Nisâ'/4 ; 87)
120 Makârem al-Syirazî, Nafahât al-Quran Juz.5 h.14 .
keberadaan akhirat sangat jelas sekali sehingga tidak ada alasan untuk diragukan lagi.
Surah al-Taghâbun/64 ; 7 121 , Ayat ini merupakan sumpah yang benar- benar ditekankan bahwa keberadaan hari kiamat, dan pengumpulan manusia di mahsyar adalah benar ada. Bersumpah dalam setiap hal oleh Makarem al-Syirazî
tidak baik untuk dilakukan, terutama bersumpah dengan nama Tuhan 122 , akan tetapi pada hal-hal tertentu sumpah sangat diperlukan agar menjadi penegasan
yang kuat bahwa hal tersebut (yang disumpah) adalah hal benar-benar urgen. Ayat ini berisikan penegasan pada kata latub'atsunna (benar-benar kamu akan di bangkitkan) dan latunabba`unna (benar-benar kamu akan di beritakan) yang menjelaskan bahwa pembangkitan dan pemberitaan benar-benar sangat mudah untuk dilakukan oleh Allah dengan demikian janganlah ada keraguan terhadap berita ini 123 .
Surah Yunus/10 ; 53 , ayat ini diungkap dalam bentuk diskusi antara nabi saw. dan orang-orang musyrik wa yastanbi'ûnaka a haqqun huwa ?
Pembahasan ayat ini dimulai dengan melihat kepada kata yastanbi`ûnaka yaitu berasal dari al-naba` artinya pemberitaan penting, sedangkan menurut al- Raghib dalam mufradatnya arti al-naba' adalah pemberitaan yang bermanfaat yang di barengi dengan sesuatu yang menakutkan dan keagungan bagi manusia
121 Qs. Al-Taghâbun/64 ; 7 :
Artinya : Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Qs. Al-Taghâbun/64 ; 7)
122 Al-Baqarah/2 ; 224 : ( ﻢُﻜِﻧﺎ ﻤ ﯾ ﻷِ ًﺔ ﺿ ﺮ ﻋ َﷲا ا ﻮُﻠ ﻌ ﺠَﺗ ﻻو َ ) artinya : " Dan
janganlah kamu sekalian menjadikan nama Allah dalam sumpahmu.
124 Makârem al-Syirazî, Nafahât al-Quran Juz.5 h.15. Qs. Yunus/10 ; 53 :
Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu: "Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: "Ya, demi Tuhanku, Sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)". (Qs. Yunus/10 ; 53) Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu: "Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: "Ya, demi Tuhanku, Sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)". (Qs. Yunus/10 ; 53)
Pada lanjutan ayat diatas Allah memerintahkan nabi-Nya untuk mengatakan : " Qul iy wa rabbî innahû lahaq". Penggunaan kata rabbi disini adalah untuk mengisyaratkan bahwa kiamat adalah kelanjutan rububiyyah sang
Pencipta dan kiamat adalah fenomena yang timbul dari sifat rubûbiyyah Tuhan 126 . Dan akhir dari ayat ini ditegaskan lagi dengan : "wa mâ antum bimu'jizîn”.
para mufassir berkeyakinan bahwa ayat ini menunjukkan kepada kebenaran al- Quran dan kerasulan Muhammad saw., sesudah dan ayat yang akan datang
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-naba' adalah hari akhirat dan hari pembalasan bagi orang yang berdosa, keberadaan hari ini tidak diragukan lagi disebabkan banyaknya penegasan tentang itu. Seperti kata : " iy" dan sumpah dengan nama "rabbî" huruf "inna" dan huruf "lâm" pada kata lahaqq serta kata "haqq" itu sendiri yang tergolong kedalam kata kerja ismiyyah ditambah dengan akhir ayat ditutup dengan wa mâ antum bimu'jizîn jelas menunjukkan penegasan
terhadap keterangan keberadaan hari akhirat ini. 127 Surah Saba'/34 ; 3 128 , ayat al-Quran ini, menguraikan dengan bentuk baru
yaitu memindahkan perkataan orang kafir : " lâ ta'tînâs-sâ'ah" kemudian
125 Al-Raghib al-Ashfahanî, Mu'jam Mufradat al-fâzh al-Quran, h. 534 126 Menurut al-Thûsî (w.460 H) bahwa sumpah iy wa rabbî mengandung makna : "Benar,
Demi kebenaran Allah bahwa berita itu adalah haq dan benar". Sedangkan untuk validitas kebenaran itu dilihat dari dalil-dalil yang mewajibkan seseorang untuk mengetahui keberadaan hari itu (kiamat) atau setidaknya manusia mengetahui keberadaannya sebatas sangkaan dan perkiraan. Lihat penafsiran ayat ini oleh Abi Ja'far Muhammad ibn al-Hasan al-Thûsî, al-Tibyân fî al-tafsîr al-Qurân. Cet.I (TK : Maktab al-I'lâm al-Islâmî 1409 H) h. 392.
128 Makârem al-Syirazî, Nafahât al-Quran Jld.5 h.16. Qs. Saba'/34 ; 3 :
Artinya : Dan orang-orang yang kafir berkata: "Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami". Katakanlah: "Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. (Qs. Saba'/34 ; 3) Artinya : Dan orang-orang yang kafir berkata: "Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami". Katakanlah: "Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. (Qs. Saba'/34 ; 3)
Maka dapat dikatakan bahwa ungkapan : 'âlimul-ghaybi adalah pengalihan (iltifat) kepada sebab terjadinya mengingkaran terhadap ma'ad dari mulut orang kafir yang mengatakan : "siapa yang dapat mengumpulkan tulang belulang yang hancur yang tersebar di muka bumi ini ?". Dan siapa yag dapat meghitung amal perbuatan manusia yang nampak dan yang sudah terhapus dan tidak ada sedikitpun bekas perbuatan untuk mendapat balasan ?. Maka al-Quran disini menjawab dengan sigkat dan padat : " Allah mengetahui hal yang gaib dan mengenal apa yang disimpan oleh manusia ".
Akan tetapi mengapa al-Quran disini menggunakan kata al-sâ'ah untuk penamaan hari kiamat ? Karena kata al-sâ'ah menurut keterangan ahli bahasa biasanya digunakan untuk bagian kecil dari waktu (sebentar), maksudnya adalah
bahwa hari tersebut dapat terjadi dalam waktu singkat dan cepat, dengan demikian penghitungan (hisâb) terhadap amal hamba dapat dilakukan dengan cepat pula. 129
Ada juga yang berpendapat bahwa al-sâ'ah itu di bagi menjadi tiga : 1) al- Sâ'at al-kubrâ , yaitu hari manusia dikumpulkan; 2) al-Sâ'at al-wusthâ, yaitu hari kehancuran suatu kaum dengan tiba-tiba seperti hari kehancuran kaum Nuh; 3) al- Sâ'ah al-sughrâ, hari kematian bagi setiap orang. 130
Surah Ali Imran/3 ; 9 131 , ayat kelima ini menguraikan tentang perkataan orang yang beriman dan berilmu disaat berdoa, mereka adalah orang-orang yang
meyakini kejadian akhirat dan menegaskan bahwa urusan itu termasuk urusan yang sudah jelas, hal ini terlihat dari doanya yang dipanjatkan : "rabbanâ innaka
Kata sâ'ah digunakan untuk dua makna : (1) bagian dari waktu 24 jam dari siang dan malam; (2) Bagian singkat dari waktu siang atau malam (sebentar) yang kemudian istilah ini dipinjam untuk penamaan hari kiamat yang sangat besar, akan tetapi kejadian yang besar itu berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (sebentar). Lihat. Ibn Mandzur, lisan al-Arab, jld. 8. h.169. 130
Al-Raghib al-Ashfahanî, Mu'jam Mufradat al-fâzh al-Quran, h. 279
Qs. Ali Imran/3 ; 9 :
Artinya : "Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya". Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Qs. Ali Imran/3 ; 9) Artinya : "Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya". Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Qs. Ali Imran/3 ; 9)
Ayat ini sebagaimana ayat sebelumnya menggunakan banyak kata penegas seperti innâ, kata kerja ismiyyah, susunan kalimat lâ rayba fîh, dan susunan kalimat innallâha lâ yukhliful-mî'âd. Keseluruhan ini menurut Makarem al-
Syirazî sebagai (ta'kîd) penegas akan adanya hari akhirat. 132 Dalam pembahasan urgensi uraian tentang hari kiamat ini Makarem al-
Syirazî tidak saja mengumpulkan ayat-ayat yang menegaskan (ta'kîdat) keberadaan hari itu, lima ayat selanjutnya adalah ayat-ayat yang telah dikumpulkannya yang inti uraiannya berisi ancaman bagi orang - orang yang
mengingkari keberadaan hari kiamat ini. Seperti surah Al-Syûrâ/42 ; 18 133 .
Kata yumârûna pada ayat tersebut berasal dari kata al-mirâ' atau al- mariyyah. Al-Raghib mengutip dari maqâyîs al-lughâh, kata ini mengandung dua
134 arti : 1) menggenggam dengan kencang untuk memerah susu binatang;
2) sesuatu yang tetap dan keras. Akan tetapi makna yang kedua ini tidak disebutkan
oleh al-Râghib dalam kitabnya 135 . Kata ini (yumârûna) bagi Makarem al-Syirâzi dapat juga berarti keraguan yang berulang, meskipun menurutnya al-Raghib
memaknai dengan makna yang lebih sempit dari arti syak (keraguan) akan tetapi dapat diartikan sebagai keraguan yang diiringi dengan pencarian (karena penasaran) sebagaimana keadaan seorang pemerah susu yang bersungguh- sungguh saat memerahnya 136 .
Adapun kata al-mamârât berarti berdebat dengan rasa taassub dan kedua kelompok yang berdebat ingin membaca pemikiran lawannya atau sebagaimana pendapat penulis maqâyîs berarti saling mengeras.
132 Makârem al-Syirazî, Nafahât al-Quran Juz.5 h.17.
Qs. Al-Syûrâ/42 ; 18 :
Artinya : ketahuilah bahwa Sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya kiamat itu benar-benar dalam kesesatan yang jauh. (Qs. Al-Syûrâ/42 ; 18)
Al-Râghib al-Ashfahanî, Mu'jam Mufradât, h. 521. Lihat Abu al-Husain Ahmad bin Faris Ibn Zakaria, Mu'jam Maqayis al-Lughah. (Mesir : Maktabah al-Khaniji, 1402 H./1981 M.) h. 432.
135 Makarem al-Sirâzî, Nafahât al-Qur'ân, Juz.. 5 h. 18. 136 Makarem al-Sirâzî, Nafahât al-Qur'ân, Juz.. 5 h. 18.
Penggunaan kata "dhalâlin ba'îd" menurut penelitian Makarem al-Syirazi dalam al-Quran hanya terdapat di 10 ayat saja, kata ini selalu ditujukan kepada orang kafir atau orang musyrik yang keras kepala. Dengan demikian menunjukkan bahwa "dhalâl ba'îd" (kesesatan yang jauh) itu hanya diperuntukkan mereka, hal ini disebabkan karena orang yang percaya kepada Allah dan beriman kepada hari akhirat tidak akan tersesat dengan kesesatan yang jauh, dan jika tersesat ia akan kembali ke jalan semula.
Riskas kata bahwa dalil-dalil tentang pengenalan kepada Allah dan penetapan keberadaan ma'ad adalah dalil-dali yang sudah jelas seperti hal yang dapat diraba, dan orang yang mengingkari kedua urusan ini akan tersesat yang jauh 137 .
Surah Al-A'râf/ 7 ; 147 138 , yaitu surah yang ketujuh yang dikumpulkan oleh Makarem al-Syirazi untuk menguraikan urgensi penjelasan keberadaan hari
kiamat, ayat ini berisikan tentang kesia-siaan pekerjaan (habthu al-a'mâl) orang yang tidak mengimani keberadaan hari akhirat. Kata Al-habthu pada ayat diatas berarti batal dan hancur, dalam beberapa riwayat bermakna pahala suatu perbuatan terhapus disebabkan melakukan perbuatan dosa 139 .
Sedangkan para ulama kalam berdebat dalam masalah al-habthu, yaitu apakah al-habthu (kesia-siaan) ini selalu menjadi penentu bagi orang yang berdosa atau yang taat? yang jelas pembahasan akhirat tidak diragukan keberadaannya dikalangan mereka, serta kekafiran itu merupakan sebab habthu (kesia-siaan) amal perbuatan. Dan seorang yang mati dalam kekafiran maka
137 Makarem al-Sirâzî, Nafahât al-Qur'ân, Juz.. 5 h. 19. 138 Qs. Al-A'râf/42 ; 147 :
Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. mereka tidak diberi Balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. Al-A'râf/42 ; 147)
Ibn manzhûr, lisân al-'arab, jld. 2 (Cairo : Dâr al-Ma'ârif tt) h. 756.
seluruh amal perbuatannya akan diperlihatkan ibarat seperti debu yang ditiup angin. 140
Surah Al-Isra'/17 ; 10 141 , ayat ini mengancam dalam bentuk terang- terangan akan memberi siksaan bagi orang yang tidak beriman keberadaan akhirat. : "alladzîna lâ yu`minûna bil-âkhirah a'tadnâ lahum 'adzâban alîma". Yaitu pemberitaan bahwa siksaan bagi orang yang mengingkari hari akhirat telah tersedia dan bukan hanya sekedar janji.
Dalam ayat ini siksaan yang dijanjikan adalah siksaan yang bersifat alîm (pedih), diungkap dalam shighah mubâlaghah (ungkapan yang berlebihan) menunjukkan bahwa janji itu benar-benar ada.
Al-Quran menggambarkan 'adzâb alîm (siksaan yang pedih) hanya 10 kali pada ayat-ayat yang berbeda, dan selalu orang kafir dan orang munafik yang menjadi objek yang diajak bicara.
Surah Al-Jâtsiyah/45 ; 34 , ayat kesembilan dari yang dikumpulkan Makarem al-Syirâzî dalam membahas urgensi beriman kepada hari akhirat. Pada ayat ini menguraikan jenis 'adzab alîm (siksaan yang pedih) yang telah di sediakan bagi kafir dan munafiq yaitu : 1) Ketidak pedulian Tuhan terhadap mereka "nansâkum kamâ nasîtum liqâ`a yaumikum hâdza"; 2) Tempat kembali adalah neraka "wa ma`wâkumun-nâr"; 3) Ketiadaan penolong bagi mereka "wa mâ lakum min nâshirîn".
Adapun kata nisyân (lupa/tidak peduli) bukan berarti Allah memiliki sifat kurang akan tetapi maksudnya disini adalah bahwa orang kafir dan munafiq itu benar-benar dijauhkan diri dari rahmat-Nya sejauh mungkin. Surah Al-Ra'd/13 ;
140 Makarem al-Sirâzî, Nafahât al-Qur'ân, Juz.. 5 h. 19.
Qs. Al-Isrâ'/17 ; 10 :
Artinya : Dan Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih. (Qs. Al-Isrâ'/17 ; 10) 142
Qs. Al-Jâtsiyah/45 ; 34 :
Artinya : Dan dikatakan (kepada mereka): "Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan Pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong". (Qs. Al-Jâtsiyah/45 ; 34)
5 143 , Mengancam orang-orang kafir dengan siksaan yang kekal : "ulâ`ikal-ladzîna kafarû bi rabbihim ulâ`ikal-aghlâlu fî a'nâqihim wa ulâ`ika ashhâbun-nâri hum fîhâ khâlidûn". Al-quran menggambarkan keadaan orang yang tidak mengimani hari akhirat dengan gambaran narapidana yang lehernya terbelenggu dengan rantai, gambaran ini sebenarnya jauh lebih mengikat mereka dibandingkan mereka tetap pada kebodohan dalam kungkungan nafsu kekafiran seperti yang diungkapkan pada permulaan ayat ini.
Maka menurut Makarem al-Syirâzî hendaknya iltifat (pengalihan) kepada teks ayat bahwa kungkungan belenggu atau rantai kebodohan, taklid dan nafsu kekafiran itu mengharuskan mereka terkungkung dan terbelenggu di kemudian hari. Makarem al-Syirâzî juga menambahkan pendapat mufassir lain yang mengisyaratkan bahwa ayat di atas adalah gambaran keadaan mereka (orang kafir) di akhirat terbelenggu dengan rantai yang mengikat leher. Sedangkan menurut al-
Razi terbelenggu sebagaimana yang di gambarkan ayat di atas dapat terjadi di dunia dan di akhirat. 144 Adapun Taba'thaba'î sebagai mufassir Syiah
Qs. al-Ra'd/13 ; 5 :
Artinya : Dan jika (ada sesuatu) yang kamu herankan, Maka yang patut mengherankan adalah Ucapan mereka: "Apabila Kami telah menjadi tanah, Apakah Kami Sesungguhnya akan (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru?" orang-orang Itulah yang kafir kepada Tuhannya; dan orang-orang Itulah (yang dilekatkan) belenggu di lehernya; mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Qs. al-Ra'd/13 ; 5) 144
Di antara pendapat mufassir lain dalam menafsirkan ayat wa ulâ`ikal-aghlâlu fî a'nâqihim yaitu gambaran keadaan orang kafir di akhirat dengan leher terbelenggu akan tetapi dapat juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan belenggu disini yaitu belenggu kekafiran yang mengikat leher mereka Lihat al-Thabarsî, Tafsir Majma' al-Bayan. Jld.3 h. 426; Penafsiran yang serupa juga dilakukan oleh al-Razi dan al-Alûsî. Lihat Fakhruddin Muhammad al-Razi, Tafsîr al-Kabîr Mafâtih al-Ghaib, Jld. 7 h. 13; Dan lihat Abi al-Fadhal Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsî, Rûh al-Ma'ânî fî tafsîr al-Qurân al-'Azhîm wa al-Sab'u al-Matsânî, Cet. I. Jld. 7(Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah 1422 H/ 2001 M) h. 100-101; dan adapun menurut al- Qurthubî tentang uraian ayat ini menggambarkan keadaan orang kafir di akhirat dalam keadaan terbelenggu tangan dan leher, akan tetapi ia juga menggambarkan bahwa belenggu-belenggu itu adalah perbuatan-perbuatan jahat yang mendatangi mereka pada hari kiamat. lihat al-Qurthubî, al- Jâmi' li ahkâm al-Qurân, Jld. 5 h.187.
menggambarkan hal ini dengan keadaan orang kafir yang tetap terkungkung dengan nafsu kebodohan dan ingkar di dunia saja bukan diakhirat. 145
Ringkas kata Makarem al-Syirâzî tetap meyakini belenggu-belenggu ini meski terjadi didunia juga akan terjadi di akhirat, yang membelenggu orang-orang kafir di neraka. Dengan demikian penafsiran Makarem al-Syirazî tentang ayat di atas berbeda dengan al-Thaba`thabâ'î yang juga sama-sama beraliran Syiah, pemikiran penafsirannya sedikit lebih mendekat kepada tafsir al-Razî dari aliran sunnî.
b.1. Tajsîd / tajassum al-A'mâl
Para peneliti al-Quran mengetahui bahwa salah satu pembahasan penting yang berkenaan hari akhir adalah balasan terhadap ganjaran yang dilakukan oleh manusia selama hidupnya. Ganjaran tersebut sesuai perbuatan yang dilakukan
selama di dunia, perbuatan baik akan mendapat pahala dan jahat mendapat dosa atau siksa, dan semua itu akan diperlihatkan di akhirat kelak.
Menurut Makârem al-Syîrâzî tidak banyak mufassir dapat mengurai keadaan akhirat yang berkenaan dengan hal ini, kebiasaan yang dilakukan mereka hanya sebatas menceritakan bahwa manusia di akhirat hanya menyaksikan (musyâhadah) balasan pahala dan siksaan yang akan diterima. 146
Berhubungan dengan perbuatan manusia ini Makârem al-Syîrâzî, mempertanyakan eksistensi perbuatan itu sendiri, yang menurutnya adalah rangkaian gerak-gerik yang menghilang setelah perbuatan itu berlangsung. Dan bagaimana mungkin perbuatan itu dapat diperlihatkan kepada pelakunya di hari akhirat sedang perbuatan yang dilakukan telah berlalu di dunia ? Apakah perbuatan manusia itu dapat berubah wujud berbentuk manusia atau berwujud
yang lain untuk dipertunjukkan kepada pelakunya di akhirat ?. 147 Menurutnya tidak ada dalil yang jelas untuk tidak menerima keyakinan
pendapat bahwa amal perbuatan itu kelak akan berubah wujud menjadi sosok sesuai amal perbuatan di dunia. Bahkan untuk memperkuat alasan ini ia
145 Muhammad Husain al-Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an. Jld.11 h. 300. 146 Makarem al-Syirâzî, Nafahât al-Qur`ân Juz. 6 h. 97 147 Makarem al-Syirâzî, Nafahât al-Qur`ân Juz. 6 h. 97.
mengumpulkan ayat-ayat yang bertema ini sebanyak 12 ayat ; 1) Qs. Al- Zalzalah/99 : 6, 7, 8 ; 2) Qs. Al-Kahf/18 : 49 ; 3) Qs. Ali Imran/3 : 30 ; 4) Qs. Al- Zumar/39 : 48 ; 5) Qs. Ali Imran/3 : 30; 6) Qs. al-Takwîr/81 : 12-14; 7) Qs. al- Ahqâf/46 : 19; 8) Qs. al-Zumar/39 : 70; 9) Qs. al-Baqarah/2 : 272; 10) Qs. al- Baqarah/2 : 281 atau Qs. Ali Imran/3 : 161; 11) Qs. al-Taubah/9 : 35; 12) Qs. al- Thûr/52 : 16 atau Qs. al-Tahrîm/66 : 7.
Ayat mengenai akhirat ini oleh Makârem al-Syîrâzî ditafsirkan berdasarkan zahir lafal yang ada. Yaitu dimulai dari :
1) Qs. Al-Zalzalah/99 : 6, 7, 8 148 ; ini adalah tiga ayat terakhir dari surah al-Zalzalah yang mendukung bahwa amal perbuatan di akhirat akan berbentuk dan bewujud sosok.
Kata asytâtan pada ayat di atas adalah kata jamak dari syat yang berarti al- tafarruq (terpisah-pisah). Hal ini terjadi disebabkan manusia akan datang pada
hari kiamat bersama imam atau pemimpin mereka masing-masing atau boleh jadi datang berkelompok - kelompok ada yang beriman, ada yang kafir dan
sebagainya 149 . Kata mitsqâl bermakna bagian terkecil sekali sehingga sering diartikan
sebagai dzarrat yang terkadang bermakna debu atau semut yang kecil. Ayat di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa amal perbuatan baik dan buruk pada hari akhirat berubah bentuk menjadi sosok di hadapan pelakunya.
Makârem al-Syîrâzî mengkritik para mufassir yang tidak menerima pendapat ini (tajsîm al-a'mâl) dengan menentukan dan menafsirkan ayat hanya sebatas balasan atau ganjaran (jazâ') saja, atau maksudnya hanya penyaksian
148 Qs. Al-Zalzalah/99 : 6, 7, 8 sebagai berikut :
Artinya : "Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka (6). Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya (7).Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula (8). (Qs. Al-Zalzalah/99 : 6, 7, 8)
149 Muhammad Murtadha al-Husaini al-Wasithi al-Zubaidi, Syarh al-Qamus al-Musamma Taj al-'Arus min Jawahir al-Qamus. (Beirut : Dar al-Fikr, t.th).h. 321.
balasan perbuatan (jazâ' al-a'mâl) saja 150 . Sedang sebagian mufassir menafsirkan kata ru'yat (melihat) pada ayat ini bermakna mengetahui dengan menggunakan penglihatan mata batin, bukan penglihatan mata zahir. Penafsiran seperti ini menurut Makarem al-Syirâzî juga tidak sesuai dengan zahir ayat yang jelas menggunakan satu objek (maf'ûl) sedangkan menurutnya tafsir yang mengatakan penglihatan dengan mata batin selalu menggunakan dua objek (maf'ûl).
Ibnu Abbas sebagai mufassir dalam menafsirkan ayat ini berpedoman pada hadis yang diriwayatkannya sendiri : " Orang beriman atau kafir tidak melakukan suatu perbuatan baik atau buruk kecuali Allah tunjukkan kepadanya, bagi orang yang beriman maka akan diampunkan seluruh kesalahannya dan akan menjumpai perbuatan baiknya. Adapun orang kafir perbuatan baiknya ditolak sebagai
penghinaan baginya " 151 . Adapun hadis yang diriwayat berasal dari ahl-bait sangat jelas mendukung
tajsîm al-a'mâl sebagaimana yang dikata oleh Ali ibn Abi Thalib : "barang siapa dari orang yang beriman melakukan perbuatan baik didunia ini sebesar biji sawi ia akan menjumpainya (perbuatan baik itu) dan barang siapa dari orang yang beriman melakukan perbuatan jahat di dunia ini sebesar biji sawi maka ia akan
menjumpainya (perbuatan jahat itu)". 152
2) Qs. Al-Kahf/18 : 49 153 ; ayat kedua ini memiliki ungkapan yang berbeda dari ayat terdahulu. Ayat ini setelah mengisyaratkan : wa wajadû mâ 'amilû hâdhiran (dan mereka menemui apa yang telah mereka lakukan datang
Penafsiran seperti ini juga dilakukan oleh Muhammad Sayyid Thanthâwî, ia mengatakan sebesar apapun dan seberat apapun perbuatan, ganjarannya (jazâ') akan diperlihatkan kepada pelakunya. Dengan tanpa menentukan siapa yang menunjukkan dan memperlihatkan amal perbuatan manusia tersebut. Hal ini disebabkan karena lafal ayat tersebut menggunakan kata kerja abstrak (majhûl) yang berarti pelaku penglihatan amal perbuatan tersebut tidak diketahui. Lihat ! Muhammad Sayyid Thanthâwî, al-Tafsîr al-Wasîth li al-Qurân al-Karîm. Jld. 15. (Cairo : Dâr al- Ma'ârif 1992) h. 478-479.
151 Ismail Haqî al-Barusawî, Tafsir Rûh al-Bayân, jld 10 h. 494. 152 'Abd. 'Ali Jum'at al-'Arusi al-Huwayzi, Tafsir al-Nur al-Tsaqalain, telah ditahqiq oleh
sayyid 'Ali 'Asyur. Jld. 5. Cet. 1., (Beirut : Muassasat al-Tarikh al-'Azabi, 1422 H./2001 M.), h. 650.
Qs. Al-Kahf/18 : 49 sebagai berikut :
Artinya : "… dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak Menganiaya seorang juapun". (Qs. Al-Kahf/18 : 49)
[hadir]). Dan Allah melanjutkan firmannya : wa lâ yazhlimu rabbuka ahadan (dan Tuhanmu tidak akan menzalimi seorangpun),
Makarem al-Syirazî mengkritisi mufassir yang menjauhi pemikiran penafsiran tajassum al-a'mâl. Menurut dia hal ini disebabkan mereka hanya menafsirkan dengan makna datangnya berita-berita perbuatan dalam kitab
perbuatan saja atau menafsirkan dengan hadirnya balasan perbuatan saja 154 , padahal menurut dia ada terdapat penafsiran lain tentang ayat di atas yaitu
kehadiran sosok/tubuh perbuatan itu sendiri. Dalam menafsirkan ayat ini Makarem al-Syirazi sependapat dengan Thaba'thaba'î yang menafsirkan bahwa amal perbuatan manusia di akhirat berubah menjadi sosok/tubuh. Dan kelanjutan ayat (wa lâ yazhlimu rabbuka ahadan) menggambarkan memberi penegasan (ta'kîd) bahwa Tuhan tidak akan menzhalimi hambanya. Dengan demikian perubahan perbuatan menjadi sosok/tubuh dan mendatangi pelakunya itu menjadi
penegas (ta'kîd) bahwa Tuhan tidak menzhalimi siapapun .
3) Qs. Ali Imran/3 : 30 156 , ayat ketiga ini mengungkapkan lebih jelas dan lebih memberi perbedaan. Hal ini karena pembahasan ayat sebelumnya membahas tentang orang-orang kafir dan pelaku dosa, sedangkan ayat ini menggambarkan dua keadaan :
Pertama ; Setiap manusia menemukan setiap perbuatan baik dan buruk yang telah dilakukan dihadirkan di hadapannya pada hari kiamat.
Menurut penafsiran Al-Alûsî tentang wa wajadû mâ 'amilû, yaitu mereka menemui jazâ' (balasan) perbuatan jahat yang telah dilakukan selama di dunia sesuai dengan catatan yang tertulis dalam kitab amal perbuatan, sedangkan maksud bahwa Tuhan tidak menzhalimi siapapun dari kelanjutan ayat di atas wa lâ yazhlimu rabbuka ahadan yaitu jazâ' (balasan) yang Tuhan berikan sesuai dengan perbuatan mereka di dunia tidak berlebihan dan tidak pula kurang. Lihat Al- Alûsî, Rûh al-Ma'ânî. Jld 8 h. 276.
Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6 h. 100. Lihat juga Thaba'thab`î, al- Mîzân fî tafsîr al-Qurân. Jld 13 h. 325.
Qs. Ali Imran/3 : 30 sebagai berikut :
Artinya : "Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh…. (Qs. Ali Imran/3 : 30)
Kedua ; Setiap manusia menemukan perbuatan baiknya yang dihadirkan di hadapannya dan ia menginginkan terdapat (adanya) pemisahan waktu antara dirinya dengan perbuatan buruknya.
Perbedaan ini bersumber dari perbedaan penafsiran tempat waqf (berhenti), ada yang berpendapat bahwa waqf setelah (muhdharan) dan yang lain
berpendapat bahwa waqf setelah (sû`in). 157 Akan tetapi hasil dari kedua perbedaan tafsir tersebut adalah sama, karena
yang penting dari makna yang kedua adalah kehadiran perbuatan buruk yang mereka harap adanya pemisahan antara diri mereka dengan perbuatan yang telah dilakukan.
Ada kemungkinan terdapat jenis penafsiran lain yaitu bahwa para pelaku dosa menginginkan jika antara dirinya dan perbuatan buruk yang dilakukannya terdapat jarak waktu yang jauh atau antara dirinya dan hari ini ada jarak yang
158 jauh.
Manusia selalu berangan-angan agar dirinya dapat dipisahkan dari hal-hal yang tidak disukainya dalam tempo waktu yang lama (amadan ba'îdan) sebagaimana dijelaskan di ayat dengan jarak pemisahan baik waktu dan tempat. Ungkapan ini desebabkan oleh kemungkinan kehadiran dan perjumpaan (dengan perbuatan buruk) kerap terjadi pada batasan tempat, dan tidak pada batasan waktu. Sebagai contoh bahwa orang yang hidup pada masa perang dunia merasakan kebimbangan dan ketakutan meskipun jauh daripada operasi militer. Adapun orang yang terpisah oleh batasan waktu (jauh) dari perang tersebut mereka tidak merasakan kebimbangan dan ketakutan itu.
Dan kata (al-amad) selalu berkaitan dengan zaman (waktu) sebagaimana yang dikatakan al-Raghib dalam mufradât nya bahwa artinya hampir sama dengan makna abad dengan sedikit perbedaan, bahwa abad tidak memiliki batas waktu sedangkan amad terbatas tetapi dalam batasan waktu yang belum ditentukan. 159
Keadaan pertama (waw) wa mâ 'amilat min sû`in adalah isti`nâfiyah sedangkan keadaan kedua dikarenakan (waw) 'athaf dan kalimat "tawaddu" adalah kalimat hâl (keadaan).
158 Ismail Haqî al-Barusawî, Tafsir Rûh al-Bayân jld 2 h. 21. dan lihat Sayyid Quthb, Fî zhilâl al-Qur`ân jld 1 h. 569.
159 Al-Raghib al-Ashfhânî, Mu'jam Mufradât alfâzh al-Qurân. h. 31.
Pembahasan pada ayat lalu tentang kehadiran perbuatan dan kolerasi pembahasan ayat ini tentang hal yang sama yaitu dihadirkannya perbuatan manusia di akhirat, akan tetapi pada ayat ini pembahasannya lebih terfokus kepada segala kekuasaan Allah untuk menghadirkan amal baik dan amal buruk yang di sukai oleh pelakunya atau tidak. Dengan demikian ayat ini berimplikasi jauh lebih menakutkan dari pada ayat sebelumnya.
4) Qs. Al-Zumar/39 : 48 160 ; ayat keempat ini mengungkapkan hal baru berkaitan dengan tema ini . Kata badâ berasal dari kata badawa yang berarti muncul dengan sempurna. Sedangkan kalimat (sayyi`âti mâ kasabû) bermaksud perbuatan- perbuatan jahat, dan sebagian orang mengatakan balasan (jazâ') dari perbuatan ini, atau mereka menentukan sebuah makna dari kata jazâ'. Akan tetapi zahir lafal menunjukkan bahwa perbuatan jahat mereka nampak jelas nyata pada hari kiamat.
Dan kata sayyi`âtu merupakan kata jamak dari sayyi`atu berarti amal yang jahat. Dengan demikian ungkapan ini mengisyaratkan keberadaan amal perbuatan yang jahat di alam ini yang bentuk aslinya tersembunyi. Seperti perbuatan riya yang bertujuan bukan untuk Allah. Akan tetapi pada hari ini adalah hari pengungkapan (kasyf) segala rahasia, dan hari ini juga dinamakan hari penampakan bentuk hakiki dari semua amal perbuatan sebagaimana yang disebut dalam hadis rasulullah saw. dalam menafsirkan ayat ini yaitu (amal perbuatan yang mereka kira baik akan tetapi mereka menemukannya sebagai perbuatan jahat). Hadis ini merupakan
bukti lain dari teori tajassum al-a'mâl (amal perbuatan berubah menjadi sosok). 161
5) Qs. Ali Imran/3 : 180 162 ; ayat kelima ini menggambarkan keadaan orang-orang yang bakhil di akhirat serta memberitakan bahwa sifat bakhil itu
160 Qs. Al-Zumar/39 : 48 sebagai berikut :
Artinya : Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya. (Qs. Al- Zumar/39 : 48)
161 Ismail Haqî al-Barusawî, Tafsir Rûh al-Bayân, jld 8. h. 121. 162 Qs. Ali Imran/3 : 180 sebagai berikut : 161 Ismail Haqî al-Barusawî, Tafsir Rûh al-Bayân, jld 8. h. 121. 162 Qs. Ali Imran/3 : 180 sebagai berikut :
Dapat dipahami dari ungkapan ini bahwa harta-harta yang belum dikeluarkan hak-haknya dan belum dimanfaatkan oleh seseorang pada hari kiamat akan berubah bentuk seperti beban yang memberatkan leher mereka. Beratnya membebani leher di akhirat sebagaimana berat yang membuat orang tersebut keberatan untuk mengeluarkan hak-hak hartanya.
Diriwayatkan dalam tafsîr al-'Iyâsyî dari Imam al-Bâqir dalam menguraikan makna ayat ini ia berkata : " tak seorangpun yang tidak mengeluarkan zakat hartanya kecuali Allah jadikan pada hari kiamat seekor ular yang dikalungkan dilehernya". 163
Akan tetapi apakah yang dimaksud dengan bakhil pada (mimmâ âtâhumu llâhu min fadhlih) ?
Selain penafsiran sebagaimana di atas terdapat juga penafsiran lain bahwa maksud bakhil dalam ayat tersebut yaitu bakhil dalam hal ilmu dan pengetahuan, hal ini disesuaikan dengan sebab turun ayat sebagaimana yang dinukil dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut berhubungan dengan orang yahudi yang
menyembunyikan tanda-tanda kenabian Muhammad. 164 Kebanyakan riwayat menyebutkan bahwa ayat ini berkaitan dengan zakat
akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ayat ini meliput pemahaman yang luas yang mencakup "seluruh apa" yang telah Allah karuniakan sebagaimana yang telah disebutkan atau belum.
Makarem al-Syirâzî mengkritisi mufassir yang menafsirkan tidak melihat zahir ayat tetapi menafsirkan dengan jazâ' al-a'mâl (balasan perbuatan), sebagian mereka mengatakan yang dimaksud dengan al-bukhalâ` mereka adalah orang yang dibebankan pada hari kiamat dilehernya seberat harta-harta ini dan para
Artinya : "….. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat." (Qs. Ali Imran/3 : 180)
163 Tafsîr al-'Iyâsyî jld 1 h. 207 hadis ke 108 164 Al-Qurthubî, al-Jâmi' li ahkâm al-Quran. Jld 2. Juz. 4 h. 186.
mufassir belum menentukan bahwa yang dikalungkan adalah beban berat bukan harta-harta itu, penafsiran seperti ini menurutnya disebabkan kekurangan dalil, dengan itu maka penafsiran tidak sesuai dengan zahir ayat dan tidak sejalan dengan penafsiran kebanyakan riwayat-riwayat naqli dari para Imam dalam menafsirkan. 165
6) Qs. al-Takwîr/81 : 12-14 166 ; ayat keenam menggambarkan kehadiran dan dihadirkannya amal perbuatan.
Menurut al-Thabarsî dalam tafsirnya Majma' al-Bayân. Arti dari kalimat mâ ahdharat apa yang di wujudkan hadir dari amal perbuatan, Makarem al- Syirazî mungkin setuju dengan pendapat ini, tetapi ia tidak sependapat dengan Thabarsî yang juga mengatakan bahwa menghadirkan amal perbuatan disini berarti majaz (kiasan) dikarenakan perbuatan itu bukanlah sesuatu yang kekal dan dia akan hilang setelah perbuatan itu terlaksana. Dan sementara disisi lain
167 Thabarsî menafsirkan dengan kehadiran buku lembaran amal perbuatan.
7) Qs. al-Ahqâf/46 : 19; 168 ayat ke tujuh, delapan, sembilan dan sepuluh. Adalah ungkapan lain tentang tajassum al-a'mâl, diungkapkan pada ayat ini amal baik dan buruk kembali kepada manusia (pelakunya) dengan sempurna pada hari kiamat. Dan lafal zahir dari setiap ayat-ayat ini adalah kalimat liyuwaffiyahum, wa wuffiyat, yuwaffa, tuwaffâ yang dirangkum dalam istilah istîfâ` al-amal (penyempurnaan perbuatan). Maksudnya bahwa istîfâ`al-'amal itu adalah amal perbuatan itu sendiri dan bukan balasan jazâ` atau kitab amal.
165 Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6 h.103.
Qs. al-Takwîr/81 : 12-14 sebagai berikut :
Artinya : " Dan apabila neraka Jahim dinyalakan (12). Dan apabila syurga didekatkan (13). Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya (14) (Qs. al-Takwîr/81 : 12- 14)
167 Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6 h. 104. Lihat juga Al-Thabarsî, Majma' al-Bayân jld 5 h. 675. 168
Qs. al-Ahqâf/46 : 19 sebagai berikut :
Artinya : Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan. (Qs. al-Ahqâf/46 : 19)
8) Qs. al-Zumar/39 : 70 169 ; menurut Makarem al-Syirazî, ayat ini mengisyaratkan setelah persidangan hari kiamat, pensaksian kitab amal perbuatan dan penegasian kezaliman, seolah-olah ayat ini menguraikan illat dari hukum dengan sebenarnya dan tanpa ada kezaliman Tuhan terhadap yang lain sebagaimana yang diungkapkan pada ayat sebelumnya. Seolah ada pertanyaan, bagaimana bisa kezaliman dan kejahatan terjadi terhadap seseorang sedangkan disaat yang sama perbuatan tersebut dihadapkan kepada pelakunya ? Dan sebagai tambahan bahwa persidangan ini berlangsung di hadapan pelaku sendiri yang lebih mengetahui perbuatan itu. 170
9) Qs. al-Baqarah/2 : 272 171 ; ayat ini juga menguraikan hal yang sama. Demikian juga pada ayat yang kesepuluh (10) Qs. al-Baqarah/2 : 281 atau Qs. Ali
Imran/3 : 161 172 , hanya saja menurut Makarem al-Syirazî ayat ini menguraikan dengan ungkapan yang lebih umum dan holistik. 173
Kata wa wuffiyat, tuwaffâ, dan yuwaffâ, adalah derevasi dari kata wafâ bermakna al-wushûl ilâ al-kamâl (sampai kepada kesempurnaa). Sedangkan kata taufîyah adalah mendorong sesuatu dengan gambar yang sempurna. Dan kata tawaffâ berarti mengambil sesuatu secara sempurna.
Qs. al-Zumar/39 : 70 sebagai berikut :
Artinya : Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Qs. al-Zumar/39 : 70)
170 Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6 h. 104.
Qs. al-Baqarah/2 : 272 sebagai berikut :
Artinya : "....dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Qs. al- Baqarah/2 : 272 )
Qs. al-Baqarah/2 : 281 atau Qs. Ali Imran/3 : 161) sebagai berikut :
Artinya : "…kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (Qs. al-Baqarah/2 : 281 dan Qs. Ali Imran/3 : 161).
173 Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6 h. 105
Menurut Makarem al-Syirâzî sebagai catatan penting bahwa al-Quran terkadang menggunakan kata : "innamâ yuwaffâs-shâbirûna ajrahum bighairi hisâb." (Qs. Al-Zumar/39 ; 10). Pada ayat ini atau pada ayat lain bahwa sesungguhnya mereka sendiri yang menyempurnakan amal mereka sendiri (berbeda dengan ayat-ayat sebelumnya). Namun bagi Makarem al-Syirâzî antara keduanya tidak terdapat penghapusan, dan dengan pengumpulan ayat demikian itu dapat diambil manfaat bahwasanya tambahan ketergantungan kepada upah dan balasan terhadap perbuatan, dan amal perbuatan manusia akan disempurnakan pada hari kiamat. 174
Terhadap pendapat mufassir yang menafsirkan bahwa ayat ini adalah kinâyah (kiasan) tentang mengambil jazâ` dari amal perbuatan, menurut Makarem al-Syirazî pendapat seperti ini tidak berlandaskan dalil bahkan sebagaimana yang diperhatikan bahwa banyak terdapat ayat al-Quran dan hadis nabi yang
menunjukkan isyarat adanya tajassum al-a'mâl manusia pada hari kiamat, maka pola penafsiran Makarem al-Syirazî terhadap ayat-ayat ini berpedoman kepada zahir ayat.
11) Qs. al-Taubah/9 : 35 175 ; ayat kesebelas ini mengisyaratkan bahwa orang-orang yang menumpuk-numpuk emas dan perak serta tidak menafkahkan hartanya di jalan Allah, bahwa azab yang pedih telah menunggu mereka. Maka ayat ini mengingatkan dengan jelas bahwa dirham dan dinar yang dikumpulkan atau ditimbun dan tidak diinfakkan di jalan Allah akan menjelma dihari kiamat. Dan mereka akan digiring ke neraka jahannam, serta dahi, lambung dan punggung
174 Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6 h.105. 175 Qs. al-Taubah/9 : 35 sebagai berikut :
Artinya : Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (Qs. al-Taubah/9 : 35) Artinya : Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (Qs. al-Taubah/9 : 35)
Dengan ini ada pertanyaan yaitu mengapa harus hanya tiga anggota badan saja yang disiksa ? Ada yang menafsirkan bahwa ini meliputi/ mewakili seluruh anggota
badan. 177 Ada juga yang menafsirkan bahwa tujuan dari mencari harta adalah untuk mendapatkan kebahagiaan di hati dan dampaknya akan tampak pada wajah,
lambung kenyang, dan menggunakan pakaian kebanggaan untuk menutup punggung. Tiga anggota ini yang selalu menuntut untuk dihiasi. Maka karena itu
siksaan di tujukan kepada dahi (muka), perut (lambung), dan punggung. 178 Makârem al-Syîrâzî mengakui bahwa dalam ayat ini tidak terang-terangan
mengatakan tajassum al-a'mâl, ayat ini menjelaskan kehadiran harta pada hari kiamat. Akan tetapi menurut dia ungkapan ayat tersebut menunjukkan indikasi
keberadaan tajassum al-a'mâl, meski ayat menunjukkan zahir harta akan tetapi untuk hukum ma'âd harta tersebut akan berubah wujud yang akan menggiring
mereka ke jahannam dan menyetrika muka, perut dan punggung mereka. 179 Guna memperluas pembahasan penafsiran ayat ini Makarem al-Syirazî
tampak mengikuti al-Razi yaitu mengelaborasi dengan mengemukakan beberapa pertanyaan dan jawaban, seperti :
Apa yang dimaksud oleh ayat dengan kata al-kanz ? banyak pendapat mengenai jawaban pertanyaan ini. Dan jelas tidak diragukan lagi bahwa al-kanz memiliki pemahaman yang luas mencakup segala harta yang berharga yang dikumpulkan atau ditimbun di suatu tempat. Maka apakah ayat tersebut menunjukkan pemahaman terhadap larangan pengumpulkan (penimbunan)
176 Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6 h. 106. 177 Tiga anggota tubuh ini adalah sebagai wakil dari seluruh anggota badan. penafsiran ini
bersandar kepada perkataan Abu Dzar al-Ghifârî yang berkata : " beritakan kepada para penimbun harta bahwa mereka akan di setrika di dahi (muka), perut (lambung) dan punggung agar merasakan panas siksaan hingga ke anggota dalam tubuh ". Perkataan ini menurut al-Thabarsî mengisyaratkan makna siksaan dikhususkan pada bagian muka sebagai tempat terhormat dan tempat sujud yang tidak mengindahkan hak-haknya, dan siksaan di perut adalah bagian dalam yang meliput hati yang tidak ikhlas dalam beragama, sedangkan siksaan di punggung adalah tempat untuk memikul beban dosa. Lihat al-Thabarsî, Majma' al-Bayan. Jld 3 h. 14.
178 Fakhruddin Muhammad al-Râzî, Tafsîr Kabîr Mafatih al-Ghaib. jld. 6 h. 42. 179 Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6 h. 106.
seluruh harta sehingga menyebabkan adanya hukuman (diakhirat) ? ataukah ayat tersebut dikhususkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan hak-hak agama ? Adapun mereka yang menunaikan hak-hak agama tentu tidak tergolong orang
yang akan dihukum dalam ayat ini. 180 Pendapat umum para fuqaha', mufassirin dan muhadditsin berpegang
kepada pendapat kedua. Pendapat ini didukung dengan riwayat-riwayat naqli dari ahli sunnah dan syi'ah, seperti hadis nabi saw. :"harta yang mana saja jika telah
dikeluarkan zakatnya maka tidak dinamakan kanz (penumpukan). 181
Atau ada kemungkinan lain yaitu bahwa masyarakat Islami jika tampak padanya dampak pembekuan modal yang menyebabkan krisis ekonomi, maka wajib bagi pemilik modal untuk mengeluarkan hartanya dalam bentuk infak atau menginves pada sektor-sektor pekerjaan demi keamanan tuntutan rakyat yang mendasar. Maka jika mereka menimbun harta dalam keadaan seperti ini, dan tidak
mengeluarkan hartanya sebagaimana mestinya maka mereka juga termasuk dalam kontek ayat diatas. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat Imam Ali : " Harta yang melebihi empat ribu adalah tergolong kanz (penimbunan) maka keluarkanlah zakatnya, jika tidak menunaikannya dan tidak pula menfkahkannya
maka beritakan kepadanya dengan siksa yang pedih." 182
12) Qs. al-Thûr/52 : 16 atau Qs. al-Tahrîm/66 : 7, 183 ayat kedua belas ini oleh Makârem al-Syîrâzî dijadikan sebagai ayat penutup dalam pembahasan tajassum al-a'mâl. Ayat ini menurutnya menggambarkan bahwa balasan jazâ' pada hari kiamat adalah perbuatan itu sendiri. Ia mencoba untuk mengumpulkan ayat-ayat dengan lafal yang serupa yang terdapat pada surat-surat lain. Dalam Qs.
181 Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6 h. 106. Hadis di atas di keluarkan oleh Malik, al-Syâfi'î, dan Ibn Abi Syaibah dari jalur Ibn Umar ra. Lihat Muhammad Rasyîd Ridha (w. 1925 M), tafsîr al-Qurân al-hakîm al-Masyhûr bi
Tafsir al-Mannâr Cet. I jld 10 (Beirut : Dâr kutub al-'Ilmiyyah 1420H / 1999M) h. 358. Lihat juga Imam al-Bukhari, Jami' al-Shahih pada bab mâ addâ zakâtahu fa laisa bi kanz. Jld 1 juz 3 h. 345 . lihat juga 'Abd. 'Ali Jum'at al-'Arusi al-Huwayzi, Nûr al-Tsaqalain. jld 2 h. 213. 182
Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6. h. 107. 183 Qs. al-Thûr/52 : 16 atau Qs. al-Tahrîm/66 : 7 sebagai berikut :
Artinya : "… kamu diberi Balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Qs. al-Thûr/52 : 16 atau Qs. al-Tahrîm/66 : 7)
Yasîn/ : 54, menggunakan lafal : " wa lâ tujzauna illâ mâ kuntum ta'malûn ". Pada Qs. al-Naml/ : 90 dengan lafal : "hal tujzauna illâ mâ kuntum ta'malûn". Pada Qs. Yûnus/ : 52 menggunakan lafal : "hal tujzauna illâ bimâ kuntum ta'malûn". Demikianlah ungkapan yang berbeda-beda digunakan al-Qur`an. Bagi Makarem al-Syirazî melihat zahir ayat sudah cukup untuk menjelas bahwa jazâ' (balasan) manusia adalah perbuatan mereka sendiri, maka perbuatan mereka kembali kepada mereka sendiri, maka inilah penyebab ketakutan dan kabahagian mereka (manusia di akhirat). Ayat diatas adalah bukti nyata dan jelas tentang tajassum al- a'mâl, hal ini juga membuktikan letak keadilan Tuhan. 184
Namun Makârem al-Syirâzî menambahkan pendapat atau ungkapan yang berbeda dari pada zahir ayat tidak dapat dibenarkan jika tidak didukung illat atau dalil, maka berkaitan dengan ayat di atas menurutnya tidak ada larangan bahwa yang hadir pada hari kiamat adalah perbuatan manusia itu sendiri sebagai bagian
dari balasan (jazâ'). Makârem al-Syîrâzî dalam tajassum al-a'mâl tampak sejalan dengan penafsiran Thaba'thaba`î seperti dalam menafsirkan akhir ayat 7 dari surah al- Tahrîm yaitu bahwa siksaan yang akan menyiksa adalah perbuatan jahat itu sendiri yang pernah dilakukan, dan menampakkan hakikat dirinya pada hari kiamat. 186
Maka kesimpulan dari kumpulan ayat pada tema ini menggambarkan kepada kita bahwa kita jika tidak bermain dengan zahir ayat-ayat dan tidak menakwilkannya kepada makna yang lain dan juga tidak kita tentukan dengan suatu keputusan seperti kalimat atau kata atau dengan menafsirkan zahir ayat sebagaimana layaknya akan memberikan penjelasan bahwa perbuatan manusia akan tatajassad (berubah menjadi jasad) pada hari kiamat sesuai amal perbuatan dan ini bukti keadilan Tuhan.
184 Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6. h. 108. 185 Makarem.al-Syirazî, Nafahât al-Qurân, Juz. 6. h. 108. 186 Al-Thaba`thaba'î, al-Mizân fî tafsîr al-Qurân, jld 19 h.335.
b.2. Kemustahilan Melihat Tuhan.
Di antara pembahasan ilmu tauhid yaitu keesaan zat Tuhan, keberadaan (wujûd)Nya, penegasian bagian (nafy juz`iyyah) dan tasybîh terhadap Tuhan. Namun hal yang mengundang perdebatan para ulama adalah bahwa Allah itu tidak berjisim dan tidak dapat dilihat, tidak dibatas oleh waktu dan tempat. Jika Allah dapat dilihat maka Ia harus memiliki jisim dan menduduki suatu tempat, dan jika Ia tidak menempati suatu tempat dan tidak berjisim maka Allah tidak dapat dilihat.
Pemahaman ini beranjak dari pengetahuan bahwa Allah itu mustahil kloningan dari suatu jisim berdasarkan kepada dalil-dalil pengenalan Allah, akan tetapi berdasarkan pembahasan pemikiran para pakar menyebabkan mereka
terjebak kepada pemikiran yang mengharuskan Tuhan itu berjisim. 187
Akan tetapi berkaitan dengan Allah, al-Qur`ân menegaskan masalah nafy
al-jismiyyah (penegasian bertubuh), penegasian tergantung pada tempat dan arah. Oleh Makarem al-Syirazi ulasan penafsiran tentang ini terangkum dalam beberapa ayat-ayat al-Quran sebagai berikut : 1) Qs. Al-An'âm/6 : 103; 2) Qs. Al-A'râf/7 : 143; 3) Qs. Al-Nisâ`/4 : 153; 4) Qs. Al-Furqân/25 : 21 :
Pembahasan ayat pertama Qs. Al-An'âm/6 : 103, 188 : " lâ tudrikuhul- abshâr wa huwa yudrikul-abshâr ", dan diakhiri dengan "wa huwal-lathîful-
khabîr". Menggambarkan ketiadamungkinan melihat Allah sama sekali baik itu di dunia atau di akhirat.
Secara sederhana maksud dari makna la tudrikuhul- abshâr bahwa manusia tidak memiliki kekuatan untuk melihat dengan menggunakan mata kepala, dan kata al-abshâr dalam bentuk jamak mengisyaratkan penegasian penglihatan secara umum yang mencakup segala macam mata dan pandangan meski pandangan yang memiliki kemampuan yang sangat kuat, sementara dari
187 Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân juz.4 h. 201 188 Teks Qs. Al-An'âm/6 : 103 adalah sebagai berikut :
Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (Qs. Al-An'âm/6 : 103) Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (Qs. Al-An'âm/6 : 103)
Al-Razi dan para pendukungnya dalam menafsirkan ayat ini berpendapat bahwa Allah swt. dapat dilihat. Lebih tegasnya al-Razi dan menjelaskan tentang ayat ini bahwa pada hari kiamat Allah swt. dapat dilihat dengan cara bermacam- macam :
1. Sesungguhnya kalimat al-Quran lâ tudrikuhul- abshâr mengandung madh (pujian) jika penglihatan itu benar (jika tidak dapat melihat). Akan tetapi firman Allah : lâ tudrikuhul- abshâr ini berindikasi bahwa Allah mungkin (dapat) dilihat. Indikasi ini akan sempurna jika dapat membantah pendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dan sesuatu yang ada pada-Nya (Allah) mencegah untuk dapat dilihat, dengan demikian maka ayat ini tidak harus ada madh (pujian) dan pengagungan sesuatu jika ketiadaan kemampuan
melihat Tuhan. Setelah menentukan bahwa adanya kemungkinan untuk melihat Tuhan, maka harus berserah bahwa masalah ini berbicara dalam kontek akhirat, hal ini disebabkan tidak ada opsi lain kecuali pertama : Dapat melihat Tuhan, sedangkan orang-orang mukmin tidak dapat melihatnya sama sekali. Kedua : Bisa (adanya kemungkinan) melihat Tuhan, sedangkan tak seorangpun dari orang beriman dapat melihat-Nya, maka pendapat seperti ini adalah batal dan kurang tepat.
Tetap pada pendapat bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Allah bisa (dapat) dilihat.
2. Allah swt. tidak dapat dilihat dengan mata kepala akan tetapi dilihat dengan penglihatan indra keenam yang Allah ciptakan untuk hambanya pada hari kiamat.
3. Firman Allah "lâ tudrikuhul- abshâr" mengandung makna bahwa Allah swt. tidak dapat dilihat oleh segala macam penglihatan. 189
Demikian ringkasan pendapat al-Razî dan pendapat ini menurut Makarem al-Syirâzî membingungkan.
Fakhruddin Muhammad al-Razî, Tafsîr Kabîr Mafatih al-Ghaib. jld 5 h. 107-109.
Makarem al-Syirazi mengkritisi pendapat al-Razi ini, baginya tidak layak menarik ungkapan ini dengan atau untuk keadaan apapun, akan tetapi jika cara ini lebih umum digunakan manusia untuk membuktikan tuntutan tertentu dengan hal- hal yang menunjukkan pemahaman terbalik, dan menggunakan alasan apa saja untuk membuktikan segala sesuatu maka akan terungkap hakekat yang terhapus dan hilang, maka akan memungkinkan mendapatkan dalil al-Quran untuk segala tuntutan apa saja, dengan demikian hendaklah berbicara dengan cara/metode seperti ini, untuk lebih menjelaskan keterangan ini hendaknya mencoba untuk menganalisa cara/metode ini dengan hal sebagai berikut :
1. Allah swt. memiliki sifat salbiyyah (negatif), dan sifat-sifat ini sebenarnya bagi Allah adalah mustahil seperti contoh ungkapan bahwa Allah itu "tidak fana'" dan "tidak rusak", dengan dalil :"kullu syai`in hâlikun illâ wajhahû". Dan yang dapat diterima akal bahwa rusak (halâk) adalah sifat
yang wajib ada (wajib al-wujûd) maka hal ini adalah mustahil. Apakah mungkin seorang beralasan dengan sifat yang dapat rusak (halâk) nya Allah Ta'âla ? Dengan maksud alasan jika hal ini mustahil maka pujian (madh) ketiadarusakan (halak) itu benar, sebagaimana yang dikatakan al- Razî.
Demikian juga madh (pujian) al-Quran terhadap Allah dengan mensucikan-Nya dari kepemilikan bapak, teman, anak, dan sekutu sementara al-Quran berbunyi : "annâ yakûnu lahû walad wa lam yakun lahû shâhibah" (Qs. Al-An'âm/6 : 101), dan : "lam yalid wa lam yûlad wa lam yakun lahû kufuwan ahad" (Qs. Al-Ikhlas/112 : 3-4). Pada dasarnya sifat salbiyah adalah hal yang mustahil bagi Allah karena sifat-sifat tersebut tergolong sifat yang mumkinat (yang mungkin terjadi) sedangkan Allah bersifat wajib al-wujub(wajib adanya).
2. Pada ayat di atas atau pada kita-kitab ushul tidak terdapat isyarat yang mengatakan bahwa pada hari akhirat kelak manusia akan memiliki indera keenam, maka dengan demikian berarti penetapan sesuatu tidak berarti menunjukkan penegasian suatu yang lain demikian juga sebaliknya. Maka 2. Pada ayat di atas atau pada kita-kitab ushul tidak terdapat isyarat yang mengatakan bahwa pada hari akhirat kelak manusia akan memiliki indera keenam, maka dengan demikian berarti penetapan sesuatu tidak berarti menunjukkan penegasian suatu yang lain demikian juga sebaliknya. Maka
Sebagai tambahan uraian apakah yang dimaksud dengan indera keenam ? Jika yang dimaksud dari indera keenam adalah melihat Tuhan dengan mata hati, maka dipahami bahwa penglihatan itu menggunakan penglihatan akal dan ini tentu tidak dipungkiri, dan tidak mempunyai kolerasi dengan pandangan mata kepala (bashariyyah). Jika yang dimaksud adalah selain dari yang telah diuraikan di atas maka ia memerlukan uraian yang lain untuk menguatkan pembahasan itu. Jika tidak maka uraian ini tidak jelas.
3. Firman Allah : "lâ tudrikuhul-abshâr" berarti tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melihat-Nya. Dan ayat ini dengan jelas menunjukkan
penegasian kemampuan itu.
Pembahasan ayat kedua atau Qs. Al-A'râf/7 : 143 191 , yaitu membahas tentang kisah bani Israel yang meminta kepada Musa agar dapat melihat Tuhan.
Maka dengan demikian Musa membuat suatu perjanjian dengan Tuhannya di bukit Tursina untuk mendapatkan jawaban dari permohonan kaumnya. Maka
190 Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân jld.4 h. 204-205. 191 Teks Qs. Al-A'râf/7 : 143 sebagai berikut :
Artinya : Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".( Qs. Al-A'râf/7 : 143).
terjadilah kejadian yang luar biasa dan terbukalah segala hakekat yang berkaitan dengan tema ini.
Maka Allah berfirman : "wa lammâ jâ`a mûsâ limîqâtinâ wa kallamahû rabbuhû qâla rabbi arinî anzhur ilaika". Maka Musa mendengar jawaban Tuhannya dengan jelas : "lan tarâniya wa lâkin unzhur ilâl-jabali fa`inistaqarra makânahû fa saufa tarânî". Maka Musa dan tujuh puluh bani Israel yang mengikuti Musa melihat Tuhan bertajalli pada gunung : "fa lammâ tajallâ rabbuhû liljabali ja'alahû dakkaw wa kharra mûsâ sha'iqa". Demikian juga keadaan bani Israel yang mengikuti Musa : "fa lammâ afâqa qâla subhânaka tubtu ilaika wa ana awwalul-mu`minîn".
Adapun sebagai penyempurna uraian tafsir ini perlu di menjawab pertanyaan berikut : Jika melihat kesempurnaan Allah itu mustahil sebagaimana ungkapan
ayat: "lan tarâniya" , maka mengapa Musa memohon kepada Tuhannya agar dapat melihat-Nya sedangkan dia adalah seorang rasul ?
Jawabannya dengan menggunakan munasabah ayat lain, yaitu bahwa munculnya permohonan ini disebabkan oleh pertanyaan bani Israel yang bodoh tentang Tuhan sebagaimana yang tergambar dalam ayat 155 surat al-a'râf, bahwa Musa berkata setelah kajadian ini dan berdoa : "atuhlikunâ bimâ fa'alas- sufahâ`u minnâ" (apakah Engkau [Tuhan] akan menghancurkan kami disebabkan perbuatan orang-orang yang bodoh diantara kami ?).
Dapat diambil kesimpulan bahwa permohonan ini sebenarnya bukan permohonan Musa akan tetapi permohonan kaumnya yang memaksanya untuk bertanya kepada Tuhannya agar mendapatkan jawaban pasti secara langsung.
Sebagai tambahan alasan di atas terdapat ayat lain tentang permintaan bani Israel terhadap Musa agar dapat melihat Tuhan yaitu Qs. Al-Baqarah/2 : 55 dan Qs. al-Nisâ`/4 : 153. Jadi Musa disini hanya mentrasfer pertanyaan kaumnya tersebut kepada Tuhannya agar mereka secara langsung dapat menerima jawaban itu.
Meski menurut al-Razi bahwa melihat Tuhan dengan mata kepala itu suatu kemungkinan yang bisa terjadi, sesuai dengan permohonan Musa yang berkali- Meski menurut al-Razi bahwa melihat Tuhan dengan mata kepala itu suatu kemungkinan yang bisa terjadi, sesuai dengan permohonan Musa yang berkali-
Dan suatu keanehan menurut dia bahwa Qs. Al-A'râf/7 : 143, sebenarnya telah menguraikan kemustahilan dapat melihat Tuhan dengan kata-kata : "lan tarâniya" dengan di dahului oleh huruf "lan" yang berarti tidak mungkin (selamanya) al-nafy al-abadî. Dengan demikian maka arti ayat di atas adalah kamu selamanya tidak bakal dapat melihat-Ku. Sedangkan pengulangan permohonan ini dilakukan oleh bani Israel sehingga Allah memberikan balasan kepada mereka dengan petir guntur.
Dan yang dimaksud dengan tajalli Tuhan pada ayat ini yaitu datangnya kilat-petir (shâ'iqah) itu sendiri yang merupakan bagian dari makhluk Tuhan yang bersinar disebabkan oleh perbuatan Tuhan. Bahasa yang dipakai al-Quran adalah
kiasan seolah maknanya jika kamu sekalian tidak memiliki kemampuan untuk melihat kilat-petir (shâ'iqah) yang dianggap sebagian kecil dari tanda kebesaran Tuhan yang dapat menimbulkan rasa ketakutan, dia dapat memecahkan gunung dan menggoncangkan bumi, bagaimana kamu sekalian dapat melihat Tuhan ? Dan yang dimaksud tajalli Tuhan itu serbenarnya merupakan hukuman bagi Bani Israel. 192
Adapun permohonan taubat Musa as. kepada Tuhannya setelah mereka sadar disebabkan dua hal : Pertama, Permohonan Musa as. agar dapat melihat Tuhan adalah sebagai juru bicara dari Bani Israel kepada Tuhan mereka, demikian juga permohonan taubat Musa as. adalah sebagai wakil dari kaumnya.
Kedua, Musa as. khawatir bahwa perbuatan yang telah dilakukan (juru bicara dari Bani Israel) itu dapat memengaruhi kualitas keimanannya, maka oleh itu dia bertaubat dan mengumumkan taubatnya kepada kaumnya. 193
Pembahasan ayat ketiga Qs. Al-Nisâ`/4 : 153 194 , merupakan penjelasan tambahan dari ayat sebelumnya. Allah menghitung permintaan Bani Israel kepada
192 Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân juz.4 h. 206-207. 193 Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân juz.4 h. 207
Musa as. agar dapat melihat Allah : "arinallâha jahratan" permohonan ini merupakan dosa besar, karena permohonan ini berakibat pada datangnya siksaan dari Tuhan : "fa akhadzathumus- shâ'iqah".
Dosa besar yang dilakukan oleh Bani Israel di sini menurut Makârem al- Syirazî adalah karena permohonan mereka menurunkan kekudusan Tuhan ke wujud jasad dan materi, agar dapat dilihat. Maka oleh sebab itu mereka disiksa dengan kedatangan kilat-petir, yang merupakan pelajaran agar mereka mengetahui bahwa ketidakmampuan melihat makhluk (kilat-petir) yang kecil bagaimana mungkin dapat melihat pencipta matahari, planet dan jagat raya. 195
Selanjutnya Makarem al-Syirazi juga mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa siksaan dunia yang dirasakan Bani Israel disebabkan keinginan mereka melihat Tuhan di dunia. Melihat wujud Tuhan baik di dunia atau di akhirat menurut Makarem al-Syirazî bukan penyebab datang siksaan
Tuhan, akan tetapi ayat di atas menunjukkan kejelekan perbuatan Bani Israel terhadap kekudusan zat Tuhan, yaitu mereka mensifati Tuhan dengan sifat yang tidak layak bagi-Nya, dan bahkan apa yang dilakukan menuju kepada kepada syirik. 196
Sedangkan yang dimaksud pada ayat diatas tentang permohonan Bani Israel agar diturunkan sebuah kitab dari langit menurut penafsiran Makarem al- Syirazî memiliki dua alternatif : Pertama, penghinaan terhadap al-Quran, yang mereka inginkan adalah lembaran firman Tuhan sebagaimana yang turun kepada
194 Teks Qs. Al-Nisâ`/4 : 153 sebagai berikut :
Artinya : Ahli kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada Kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi[374], sesudah datang kepada mereka bukti- bukti yang nyata, lalu Kami ma'afkan (mereka) dari yang demikian. dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata. (Qs. Al-Nisâ`/4 : 153).
195 Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân juz.4 h. 208. 196 Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân jld.4 h. 209.
Musa as.; Kedua, bahwa mereka meninginkan kitab yang khusus dari Allah yang mengajak mereka untuk beriman kepada risalah Muhammad. Yang pasti hal ini menggambarkan keras kepala ahl-kitab terhadap ajaran nabi saw. 197
Ayat keempat Qs. Al-Furqân/25 : 21, 198 ini dalam penafsiran Makarem al- Syirazî adalah gambaran peringatan keras terhadap orang-orang yang memohon
agar dapat melihat Allah. Dengan firmannya : "wa qâlal-ladzîna lâ yarjûna liqâ`anâ law lâ unzila 'alainâl- malâ`ikatan aw narâ rabbanâ". Kesombongan dan ketidak percayaan adanya maad (hari akhirat) membuat mereka meminta dua hal yaitu diturunkannya malaikat kepada mereka dan dapat melihat Tuhan sebagaimana yang tercantum dalam ayat ini.
Malaikat yang mereka maksud adalah malaikat Jibril as. agar tampak sebagaimana mestinya sebagai pengganti dari diri nabi Muhammad dalam berdakwah, atau agar malaikat itu dapat bersaksi membenarkan dakwah nabi saw.
Al-Quran telah menjawab yang dikhususkan dengan permintaan mereka : "laqad istakbarû fî anfusihim" yaitu berkenaan kesombongan yang telah dilakukan. Sedangkan permintaan mereka agar dapat melihat Tuhan al-Quran menjawab : " wa 'ataw 'utuwwan kabîran" yang dimaksudkan bahwa pekerjaan itu telah melampaui batas, hal ini disebabkan mereka telah membandingkan zat Ketuhanan dengan jisim dan materi yang ada, dengan demikian membatasi Tuhan dengan waktu, tempat dan bersosok tubuh. Sedangkan ayat di atas dengan jelas menggambarkan ketiada-mungkinan untuk melihat Tuhan. 199
197 Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân jld.4 h. 209. 198 Teks Qs. Al-Furqân/25 : 21 sebagai berikut :
Artinya : Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami: "Mengapakah tidak diturunkan kepada kita Malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?" Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas(dalam melakukan) kezaliman". (Qs. Al-Furqân/25 : 21)
199 Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân jld.4 h. 210.
Berkenaan dengan tema melihat Tuhan, Makârem al-Syîrâzî tetap berpendapat bahwa Tuhan mustahil dapat dilihat baik di dunia atau di akhirat. Hal ini di jelaskan dengan beberapa alasan :
1. Bahwa dalil akal setelah melihat ayat-ayat di atas menetapkan bahwa sesuatu yang dapat dilihat menjadikannya harus terbatas oleh tempat, waktu dan arah. Sedangkan hal-hal ini mustahil bagi Allah, karena segala yang berjisim pasti terdiri dari unsur-unsur bagian, dan setiap jisim pasti dapat berubah dan kemungkinan akan menunjukkan corak ukuran batas besar dan batas jauh. Sedangkan zat wajibul- wujud (Tuhan) tidak
memiliki batasan dan tidak terdiri dari bagian. 200
2. Keberadaan dalil naqli bahwa Tuhan mustahil dapat dilihat, diriwayatkan bahwa Dza'lab al-Yamanî bertanya kepada Amir al-Mu'minîn Ali ibn Abi Thalib : "Apakah engkau melihat Tuhanmu ?" maka Amir al-Mu'minîn
menjawab : "apakah aku harus menyembah apa yang tidak aku lihat ?". Maka Dza'lab bertanya : " bagaimanakah engkau melihat-Nya ? ". Maka beliau menjawab : "tidak akan diketahui oleh mata melalui penyaksian mata kepala, akan tetapi diketahui dengan hati melalui penglihatan hakekat
keimanan. 201
Demikianlah Bab ini menguraikan tentang corak, metodologi dan pemikiran Makârem al-Syirâzî dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran pada tema- tema tersebut di atas : a) Pada tema Al-wilâyah (kepemimpinan) orientasi pemikiran Syiah yang menjadi landasan penafsirannya sangat kental. Dalam penafsiran ayat-ayat yang yang terkait tidak melihat pada kontek ayat dan banyak menggunakan takwil. b) Pada tema eskatologi (al-Ma'âd) yang mengangkat tema tajsîd/tajassum al-a'mâl (amal perbuatan yang berubah bentuk menjadi sosok) dan kemustahilan melihat Tuhan di akhirat atau di dunia, ayat-ayat terkait tema tersebut ditafsirkan berdasarkan zahir ayat dengan bersandarkan dalil aqlî dan riwayat ahl-bayt.
200 Makarem al-Syirazî, Nafahât al-Qur`ân jld.4 h. 211. 201 Abu al-Hasan Muhammad bin al-Husain al-Musawî, Nahj al-Balaghat. Khutbah ke