TAFSIR TEMATIK (MAUDH Ǚ'I) ANTARA SUNNÎ DAN SYI'Î

BAB II TAFSIR TEMATIK (MAUDH Ǚ'I) ANTARA SUNNÎ DAN SYI'Î

Bab ini membahas tentang sebuah tinjauan terhadap tafsir tematik atau tafsir yang menggunakan metode tematik. Terutama tafsir tematik Syiah yang mencoba dipadukan dengan tafsir tematik Sunni. Di antara tinjuan ini ialah bagaimana pengertian tafsir tematik menurut para ulama baik Syiah maupun Sunni, sejarah dan perkembangan tafsir tematik di Sunni juga di Syiah, dan perbedaan mendasar dari keduanya. Salah satu perbedaan mendasar dari perbedaan tersebut adalah orientasi pemikiran yang dibangun mereka dalam menulis tafsir. Termasuk orientasi Makârem al-Syîrâzî dalam menulis tafsir Nafahât al-Qur'ân; Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû'î li al-Qur'ân al-Karîm yang sarat dengan keyakinan atau prinsip Syiahnya.

A. Pengertian Tafsir Tematik (Maudhu'i)

a.1. Tafsir Tematik Menurut Ulama Sunni

Berbagai metode penafsiran dilakukan oleh para penafsir pada saat menafsirkan al-Qur'an dengan tujuan dapat menangkap pesannya. Dewasa ini tafsir yang dianggap paling komprehensif dan dibutuhkan oleh masyarakat Islam tanpa terkecuali dalam menggali pesan al-Qur'an adalah tafsir menggunakan metode tematik. Hal ini karena metode tersebut memiliki ciri khas dan keistimewaan jika dilihat secara definisi metode tersebut, dan karenanya para pengkaji memberikan berbagai definisi metode tematik.

Musthafa Muslim memberikan pandangan yang bertolak dari pemahaman terlebih dahulu pada defenisi dua kata yang terdapat di dalamnya, yakni "tafsîr" dan "maudhû'î". 1 Kata tafsîr menurutnya, adalah ilmu yang mengupas tentang makna-makna ayat al-Qur’an dan menjelaskan keinginan atau maksud Allah swt. dalam ayat-ayat tersebut sesuai dengan kemampuan (ilmu) manusia. Sedangkan makna kata "maudhû'î" adalah permasalahan atau semua yang berhubungan

1 Musthafa Muslim, Mabâhits fi al-Tafsîr al-Maudhû'i. Cet. I. (Beirut : Dâr al-Qalam, 1989 M.), h. 15-16.

dengan aspek-aspek kehidupan seperti akidah, tingkah laku, sosial, atau gejala alam yang digambarkan oleh ayat-ayat al-Quran. Karena itu, al-Tafsîr al- Maudhû'î atau tafsir tematik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membahas berbagai masalah sesuai dengan tujuan-tujuan al-Quran, baik secara ayat perayat

atau satu surah atau lebih. 2

Sedangkan Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî tidak mendefenisikan tafsîr maudhû'î secara terminologi, akan tetapi ia mendefenisikannya melalui pembagian jenis atau corak dengan metode dan langkah-langkah dari tafsîr maudhû'î itu sendiri. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa tafsîr maudhû'î adalah suatu ilmu yang memiliki kaidah-kaidah, dan dasar-dasar yang mempunyai

metode dan cara-cara yang harus ditempuh oleh penafsir. 3 Adapun definisi yang dihasilkan melalui pembagian jenis atau corak tafsîr maudhû'î terbagi menjadi 1) Tafsir maudhû'î untuk istilah-istilah al-Qurân, 2) Tafsir maudhû'î untuk tema-

4 tema yang terdapat di al-Quran, dan 3) Tafsir maudhû'î untuk surah al-Quran.

Dari setiap jenis atau corak di atas, Shalâh ‘Abd. al-Fattâh al-Khâlidî memberikan uraian dan langkah-langkah yang harus diimplementasi oleh penafsir dan hal ini ia jelaskan dalam bukunya yang berjudul "Al-Tafsîr al-Maudhû'î baina

al-Nazhariyat wa al-Tathbîq." 5 Selain dua pendapat di atas, terdapat pula Abd. al-Hayy al-Farmâwi

seorang ulama dan teoritikus metode maudhû'î yang mendefinisikan istilah tafsîr mudhû'î melalui penggabungan pendapat-pendapat ulama kontemporer. 6 Ia

2 Perlu dijelaskan di sini bahwa Musthafa Muslim tidak sekedar memberikan definisi tafsîr maudhû'i begitu saja akan tetapi ia juga memiliki beberapa opsi pengertian dalam

mendefinisikan kalimat tersebut. Tidak kurang dari lima opsi pendapat yang dikemukakan dari kalimat itu, dan pendapat di atas itulah yang menurutnya dianggap paling arjah (unggul). Karena, pendapat yang dikemukakan di atas itu dianggap menafikan pengulangan dan memberikan isyarat kepada dua jenis pengulangan yang paling pokok / utama, yakni "tafsir" dan "maudhû'i". Kemudian, untuk lebih jelas mengenai lima opsi pendapat tentang definisi yang dimaksud lihat, Musthafa Muslim, Mabâhits fi al-Tafsîr al-Maudhû'i. Cet.I., h. 15-16.

3 Shalâh Abd. Fattâh al-Khâlidi, Al-Tafsir al-Maudhû'i baina al-Nazhariyah wa al- Tathbîq Cet. I. (Jordan : Dâr al-Nafâis, 1998 M.), h. 30. 4

Al-Khâlidi, Al-Tafsir al-Maudhû'i, h. 52. 5 Untuk lebih jelasnya tentang langkah-langkah dan uraian corak tafsir dan jenis maudhu'i

di atas lihat, Al-Khâlidi, Al-Tafsir al-Maudhû'i, h. 52-59. 6 Pendapat-pendapat ulama kontemporer yang dimaksud di sini ialah pendapat Ali Khalîl

dalam bukunya yang berjudul "Al-Mudzakkarât Al-Khaththiyyah" dan Muhammad Mahmud Al- Hijâzi dalam bukunya yang berjudul "Al-Wihdah Al-Maudhû'iyyah fi al-Qurân al-Karîm." Lihat, dalam bukunya yang berjudul "Al-Mudzakkarât Al-Khaththiyyah" dan Muhammad Mahmud Al- Hijâzi dalam bukunya yang berjudul "Al-Wihdah Al-Maudhû'iyyah fi al-Qurân al-Karîm." Lihat,

Jika dilihat dari definisi yang diberikan Abd. Hayy al-Farmâwi sebenarnya belum memberikan defenisi yang relevan bagi tafsîr maudhû'î, akan tetapi langkah dan syarat dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran untuk sebuah tema secara ekplisit telah include pada definisi tafsîr maudhû'î tersebut.

Karena itu, lebih lanjut al-Farmâwi memperjelas pendapatnya dengan membagi tafsîr maudhû'î menjadi dua jenis, yaitu 1) maudhû'î dalam arti pembahasan tentang satu surah sacara keseluruhan dengan memberi uraian, tujuan surah secara umum dan khusus, kemudian memperhatikan hubungan antara setiap tema yang ada, sehingga tampaklah surah itu terurai dengan sangat terperinci dan sempurna, 2) maudhû'î dalam arti mengumpulkan ayat-ayat al-Quran pada suatu tema lalu meletakkan tema itu ke dalam judul tertentu untuk ditafsirkan sesuai dengan metode tematik yang diharapkan. 8

Dari beberapa pendapat di atas, hanya pendapat Musthafâ Muslim yang hemat penulis dianggap relevan dalam mendefinisikan istilah tafsir maudhu'i, sedangkan ulama lain hanya menggambarkan penjelasan tentang cara, corak atau jenis dan langkah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tema-tema yang dibahas.

'Abd. Al-Hayy al-Farmawy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui; Dirasat Manhajiyat Maudhû'iyah. Cet. II. (Mesir : Maktabah Jumhuriyah, 1397 H./1977 M.), h. 52.

7 Al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui, h. 52. 8 Al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui, h. 52.

a.2. Tafsir Tematik Menurut Ulama Syi'ah

Tafsir tematik tidak hanya dikenal dalam kelompok Sunni tapi juga di Syiah. Hanya saja tematik yang dilakukan di Syiah berkisar pada hal-hal tertentu dan pada tema khusus, dan hal demikian ini telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu mareka, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk menemukan seorangpun dari mereka yang melakukan tafsir maudhû’î di setiap masalah.

Di antara ulama dari kalangan Syiah yang melakukan tafsir jenis ini adalah al-Majlisi (w. 1111 H.) 9 dalam karya masterpeace-nya yang berjudul Bihar al-

Anwar. Di karya ini, ia telah berusaha mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu tema dalam membahas setiap bagian dari kitab tersebut, kemudian ia memberikan uraian yang lengkap dan terkadang mencantumkan beberapa pendapat mufassir untuk berusaha menjelaskan apa yang disebutkan di antara ayat-ayat yang ada. Inilah yang dimaksud dengan defenisi dan operasional tafsir

tematik yang dilakukan al-Majlisi di karyanya tersebut. Misalnya saja, dalam jilid 27 ketika menguraikan tentang tema Qalb (hati kecil), sama’ (pendengaran), bashar (penglihatan) dan makna keselurahan dari al- Quran, ia mengumpulkan 10 ayat yang saling berkaitan. Setelah itu mencamtumkan beberapa riwayat dari kitab al-Kâfi, lalu menguraikan semua

tema-tema di atas hingga tidak kurang dari 10 halaman. 10 Demikian pula pada jilid 23 dari tafsir Bihar al-Anwar pada pembahasan tema hakekat mimpi dan ta’birnya, ia mencantumkan lebih dari sepuluh ayat al-Quran yang berkenaan dengan tema itu, kemudian memberikan pembahasan dan tafsir hingga mencapai beberapa lembar halaman. 11

Selain di jilid 27 dan 23 yang telah disebutkan, pada jilid 9 khususnya bab pertama yang membahas tentang apa yang seharusnya atau menjadi kebiasaan

9 Al-Majlisi ini memiliki nama lengkap Muhammad Baqir al-Majlisi. Ia lahir pada tahun pertama / awal 1037 H. dan wafat pada 1111 H. dalam usia kurang lebih 70 tahun. Ia dijuluki

sebagai al-Majlisi al-Tsani, al-'Allamah al-Majlisi, Syaikhul Islam al-Majlisi, al-Fadhil al-Majlisi, al-Muhaddits al-Majlisi, dan penulis tafsir Bihar al-Anwar yang cukup besar. Untuk lebih jelasnya tentang sebutan tersebut dapat lihat, Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jami'ah li Durar al-Akhbar al-Aimmat al-Athhar. Jld. I. Cet. 1. (Beirut : Dar al-Ta'aruf al-Mathbu'at, 1423 H./2001 M.), h. 19-21.

10 Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Jld. 27. Cet. 1. Juz. 2. Kitab al-Iman, bab 44. h. 185- 208. 11 Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Jld. 23. Cet. 1. Juz. 2. Kitab al-Sama' wa al-'Alam, bab 45.

h. 365- 422.

orang-orang Yahudi, Nasrani dan kaum Musyrikin setelah hijrah, Al-Majlisi menyebutkan 10 ayat dari surah-surah yang berbeda seputar tema yang ada,

kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut. 12 Demikian pula al-Majlisi melakukannya pada bagian-bagian lain dengan menggunakan metode yang sama. Selain dari pada al-Majlisi adalah Muhammad Bâqir al-Sadr (w. 1980

M.) 13 yang juga ulama modern Syiah. Ia menganggap tafsir tematik sebagai suatu kajian atau diskursus tentang tema atau maudhû'î karena adanya realitas objek

luar yang dikembalikan kepada al-Qur'an sehingga seolah-olah mengajaknya berdialog, atau dengan menarik ayat-ayat al-Quran yang membicarakan tema yang sama dan mengumpulkannya dari surah-surah yang terpisah pada satu pembahasan yang kemudian ditafsirkan. 14

12 Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Jld. 9. Cet. 1. Juz. 3. Kitab Tarikh Nabiyyina Muhammad /

Rasul, bab 37. h. 530- 649. 13 Muhammad Baqir al-Sayyid Haidar Ibn Ismail al-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru

dan tokoh politik. Ia lahir di Kazamain, Bagdad, Irak pada tahun 1350 H/1931 M. dari keluarga Sayyid (turunan Rasulullah saw.) dan keturuna religius termasyhur yang telah melahirkan sejumlah tokoh kenamaan di Irak, Iran, dan Lebanon. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir al-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki- lakinya, Isma'il, yang juga seorang mujtahid kenamaan di Irak (mujtahid adalah seorang yang sangat alim yang telah mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog Muslim). Muhammad Baqir al-Shadr menunjukan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak. Ketika berusia sepuluh tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia mampu menangkap isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang gurupun. Pada usia 11 tahun, dia mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filosof. Pada usia 13 tahun, kakaknya mengajarkan kepadnya ilmu usul fikih (asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum Islam yang terdiri atas al-Qur'an dan hadis, ijma', dan qiyas). Pada usia sekitar 16 tahun, dia pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis sebuah ensiklopedi tentang Ushul, Ghayat al-Fikr fi al-Ushul (pemikiran puncak dalam Ushul), sembari mengajar fikih bahkan pada usia 30 tahun dia telah menjadi mujtahid. Karena ajaran-ajaran dan keyakinan- keyakinan politiknya, ia mengutuk rezim Ba'ats (Partai Saddam Husein) di Irak sebagai pemerintahan yang melanggar hak-hak asasi manusia dan Islam, dan karenanya ia ditahan dan dipindahkan dari Najaf ke Bagdad yang tidak lama dibebaskan lalu ditahan lagi di Najaf pada tahun 1979. Saudara perempuannya, Bint al-Huda, yang juga seorang sarjana dalam teologi Islam, mengorganisasikan protes menentang penahanan atas seorang marja'. Sejumlah protes lain seperti organisasi dari dalam dan luar Irak, menentang pemenjaraan tersebut, hingga ia pun dibebaskan dari penjara akan tetapi ia tetap dikenai tahanan rumah selama 9 bulan. Ketegangan antara dia dan Partai Ba'ats terus tumbuh. Dia mengeluarkan fatwa bahwa haram bagi seorang muslim bergabung dengan Partai Ba'ats yang dianggap komunis itu. Pada 5 April 1980 dia ditahan lagi dan dipindahkan ke Bagdad. Dia dan saudara perempuannya, Bint al-Huda, dipenjarakan dan dieksekusi 3 hari kemudian. Jasad mereka dibawa dan dimakamkan di al-Najaf. Lihat, Muhammad Baqir Sadr, Al-Madrasat al-Qurâniyyah telah diterjemahkan menjadi Pedoman Tafsir Modern. Cet. I. (Jakarta Pusat : Risalah Masa, 1992), h. cover belakang buku ini.

14 Muhammad Baqir Shadr, Pedoman Tafsir Modern (terj.). Cet. I., h. 23-25.

Jika dibandingkan kedua pendapat di atas terlihat jelas bahwa pendapat Baqir Sadr boleh dibilang telah menemukan formulasi secara metode atau langkah, sementara Al-Majlisi memberikan gambaran aplikasi atau langkah suatu tafsir tematik dan belum memberikan defenisi yang pasti dari tafsir tersebut.

Senada dengan Baqir al-Shadr adalah definisi yang diberikan oleh Muhammad Baqir Hakim salah seorang muridnya. Penjabaran secara luas tentang pengertian itu diperluas oleh muridnya tersebut. Menurutnya, tafsir maudhû'î ini dapat disebut sebagai pembahasan yang bertolak atas adanya studi tematik tertentu yang dipaparkan oleh al-Quran pada satu masalah atau beberapa aspek, dan hal ini untuk membatasi teori al-Quran dengan uraian dan batasan-batasannya pada tema tertentu. 15

Karena itu, menurut Muhammad Baqir Hakim, agar dapat mengetahui tujuan tafsir maudhû'î dengan jelas seorang penafsir hendaknya memahami istilah

yang dibuat oleh gurunya (al-Shadr) yang telah mendefenisikan istilah tersebut menjadi tiga makna : 1) Maudhû'î atau tematik pada posisi ayat-ayat dalam surat. Tematik seperti ini memiliki konsistensi yang akurat dalam pembahasan dan tetap berpedoman pada metode-metode keilmuan yang diakui (legal) terhadap kebenaran realita dalam suatu masalah yang konkrit (real). Seorang peneliti tidak terpengaruh dengan perasaannya dan tidak pula berpihak pada hukum atau hasil yang didapatnya. Tematik seperti ini harus ada pada metode penafsiran tajzi'î dan tematik dengan tanpa pengecualian, 2) Maudhû'î atau tematik yang dimaksud tersebut dimulai dari pembahasan suatu obyek yang tidak lain ialah realitas luar, kemudian obyek ini dikembalikan kepada al-Quran dengan tujuan mengetahui posisi obyek luar tersebut. Berangkat dari obyek yang ada, penafsir dapat memfokuskan perhatiannya melalui metode tafsir tematik kepada sebuah tema dari tema-tema yang ada di kehidupan seperti permasalahan akidah, sosial atau juga permasalahan alam (kosmos). Salain itu, memberikan upaya pemahaman terhadap beberapa problem yang mempengaruhi pemikiran manusia seputar tema dan cara pemecahannya, serta melepaskan apapun yang telah merasuk ke dalam

15 Muhammad Baqir Hakim, 'Ulum al-Qur'an. Cet IV. (Beirut : Majma' al-Fikr al-Islami, t.th.), h. 344-346. !!! 15 Muhammad Baqir Hakim, 'Ulum al-Qur'an. Cet IV. (Beirut : Majma' al-Fikr al-Islami, t.th.), h. 344-346. !!!

kesimpulan dari pandangan al-Quran terhadap tema tersebut. Metode seperti ini dapat pula disebut sebagai metode tauhîdî (penyatuan) karena menyatukan ayat-

ayat kedalam teori tertentu. 16 Dengan demikian, jika dilihat dari tiga item di atas maka dapat di

simpulkan bahwa tafsir tematik di kalangan syiah lebih dikenal dengan nama tafsir tauhîdî, dan poin pertama pada tiga item di atas tidak termasuk dalam pembahasan tafsir tematik, meskipun dalam pembahasan dan sifatnya sama-sama membahas suatu tema namun perbedaannya tafsîr tajzî'î (klasifikasi) membahas tema pada posisinya yang terletak dalam tafsir tartîbî dan membahas tema-tema tertentu dalam tafsir tartîbî secara urut ayat-perayat. Sedangkan tafsîr maudhû'î (tematik) terlepas dari ikatan urutan ayat-ayat pada al-Quran.

Selain tiga ulama Syi'ah di atas adalah Makârem al-Syîrâzî, ia tidak menggunakan istilah tafsir tematik dengan tauhîdi, hal ini tampak dalam penamaan kitab tafsir tematiknya, meskipun dalam aplikasi dan langkah penafsirannya ia memilih menyatukan ayat-ayat al-Quran dalam tema tertentu.

Makârem al-Syîrâzî memberikan defenisi bahwa tafsîr maudhû'î sebagai pengumpulan atau mengumpulkan beberapa faktor baru dengan prasarananya

16 Muhammad Baqir Hakim, 'Ulum al-Qur'an. Cet IV., h. 344-346.

kemudian menyusunnya guna menyingkap orientasi pandangan sesuai dengan persoalan tema yang ada hingga tema-tema yang jauh dan sulit sekalipun. 17 Jika

dilihat dari definisi ini terkesan lebih luas jika dibandingkan dengan pendapat ulama-ulama di atas.

Meski pendapat Makârem al-Syîrâzî terlalu luas bahkan bersifat abstrak, ia juga menambahkan pendapatnya bahwa paling tidak tafsir tematik memiliki dua cara yang biasa dilakukan para ulama dalam mendefinisikan tafsir yang

menggunakan metode tematik, antara lain 18 :

1. Menentukan berbagai tema seperti tema-tema akidah (tauhid, akhirat, dan sebagainya), atau tema-tema akhlak (takwa, akhlak yang baik, dan sebagainya), kemudian menyebutkan bahasan-bahasan filsafat, ilmu kalam, atau juga bahasan-bahasan ahlak yang di dalamnya menyebutkan beberapa ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema yang ada;

2. Penafsiran dimulai dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema dari seluruh bagian al-Quran. Sebelum melakukan uraian terlebih dahulu mengumpulkan ayat-ayat, melakukan penafsiran secara bersamaan sambil mengumpulkan dan memperhatikan korelasi (munâsabah) antar ayat agar dapat menghasilkan gambaran penafsiran yang sempurna. Sehingga dengan metode ini seorang penafsir sama sekali tidak menambahkan pendapatnya, bahkan tafsir itu seolah-olah laksana bayangan yang berada di belakang ayat-ayat al-Quran, setiap tafsirnya adalah menyingkap kandungan ayat-ayat, dan jika diperlukan pendapat para ulama lain atau hadis-hadis yang mendukung terhadap penafsirannya maka akan diletakkan pada pembahasan tersendiri secara terpisah. Ciri dan langkah yang kedua tersebut di atas yang dimaksud oleh

Makarem al-Syirazi dalam kitab Nafahât al-Qur`ân Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al- Maudhû'î li al-Qur`ân al-Karîm sebagai metode baru dalam menyikapi al-Qur'an dengan menggunakan metode tematik. Dari metode ini pula dapat dibedakan

17 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran Uslûb Jadid fi al-Tafsîr al-Maudhû'i li al-Qurân al-Karîm. Juz. I. Cet. I. (Qom-Iran : Al-Haidari Muassasah Abi Shâlih li al-Nasyr wa al-

Tsaqâfah), h. 9.

18 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 1., h.19.

metode tematik yang digunakan oleh Makarem al-Syirazi dengan ulama lain baik dari Syiah maupun Sunni.

Di antara perbedaan yang mencolok ialah setelah menyebutkan tema-tema yang telah disebutkan, Makarem al-Syirazi seringkali menyebutkan bahasan filsafat, kalam, atau juga ahlak. Sebelum melakukan uraian ia juga terlebih dahulu mengumpulkan ayat-ayat dengan berurutan sesuai tujuan yang diinginkan dari penafsiran tersebut, setelah itu ayat-ayat ditafsirkan secara bersamaan dengan memperhatikan korelasi (munâsabah) yang dianggap semakna atau mendukung makna yang dimaksudkan dengan melihat pada uraian makna-makna leksikal ayat. Selain itu, dalam mendukung uraian tafsirnya, Makârem al-Syîrâzî juga merujuk kepada hadis-hadis yang berjalur dari riwayat 'Ali bin Abi Thalib atau juga para imam Syiah dan ahl Bayt, yang pembahasannya dipisahkan dari tafsir ayat-ayat yang telah dikumpulkan dan telah ditafsirkan. Dalil-dalil dari hadis atau

riwayat ahl bayt tersebut dikelompokkan dan dielaborasi dalam pembahasan tersendiri yang dinamakan idhâhât (uraian). Meski demikian Makârem al-Syîrâzî terkadang juga merujuk kepada hadis-hadis Sunny yang mendukung pemikirannya dan mengomparasikannya dengan sumber-sumber Syiah.

Meski dua metode tematik di atas sama-sama mengumpulkan ayat-ayat yang mempunyai kesamaan tema, namun sesuatu yang berbeda yang dilakukan Makârem al-Syîrâzî dari ulama lain yaitu terletak pada langkah penafsiran ayat- ayat al-Quran. Ulama lain sering menyisipkan ayat-ayat al-Quran di antara uraian dan tafsir ayat, sedangkan Makârem al-Syîrâzî terlebih dahulu mengumpulkan ayat-ayat dan uraiannya datang setelahnya.

Berlandaskan munâsabat al-âyât (korelasi ayat) dan berlandaskan setiap ayat-ayat al-Quran saling mendukung satu sama lainnya, maka akan tampak Makârem al-Syîrâzî dapat mengumpulkan ayat-ayat yang konteknya berbeda-beda tetapi mengarah kepada uraian tema yang sama.

B. Sejarah dan Perkembangan Tafsir Tematik

Jika secara umum tafsir atau aktivitas tafsir memiliki kronologi sejak masa Rasulullah saw. dan berkembang hingga sekarang maka secara spesifik tafsir Jika secara umum tafsir atau aktivitas tafsir memiliki kronologi sejak masa Rasulullah saw. dan berkembang hingga sekarang maka secara spesifik tafsir

Di Sunni, tafsir tematik dianggap menemukan bentuknya setelah adanya ide-ide dari para ulama tafsir, 19 lalu dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syathibi (w.

790 H./1388 M.). 20 Hal ini tercermin dari penelusuran Sonia Wafiq, 21 yang mengkategorikan al-Syatibi sebagai ulama yang paling awal dalam merumuskan gagasan tentang surah dalam al-Qur`an sebagai sebuah unit tematis, dan hal ini

jauh dilakukan sebelum al-Biqa‘i (w. 885 H.). 22 Gagasan al-Syatibi ini kemudian

19 Para ulama tafsir yang dimaksud tentunya telah disebutkan dan dapat dilihat di bab I. Untuk lebih jelasnya tentang para ulama yang memberikan gambaran perkembangan tafsir

maudhu'i masa awal pembukuan dapat lihat pada, Ziyad Khalîl Muhammad al-Daghâmin, Manhajiyat al-Bahts fî al-Tafsîr al-Maudhû'î li al-Qur'ân al-Karîm. Cet. I. ('Amman-Jordan : Dar

al-Basyir, 1416 H./1995 M.), h. 17-18. Bandingkan dengan kumpulan tulisan-tulisan yang berjudul "Dirasat fî Tafsîr al-Nash al-Qur'ani; Abhâts fi Manâhij al-Tafsîr" yang ditulis oleh al-Sayyid Ibrahim Sujjadi, Afâq al-Tafsir al-Maudhû'i fî al-Qarn al-Hijri al-Akhîr. Cet. I. Juz. 1. (Beirut : Markaz al-Hadhârat li Tanmiyat al-Fikr al-Islami, 2007), h.171-173.

20 Setidaknya ada tiga gagasan al-Syatibi yang sering dikutip dalam kajian-kajian tafsir. Pertama, tentang kesatuan tematis ayat-ayat al-Qur`an (al-Wihdah al-Maudhû‘iyyah li al-Qur`an

al-Karim). Kedua, gagasan al-Syatibi tentang turunnya al-Qur`an kepada bangsa Arab yang ummi sehingga tafsir yang benar terhadapnya tidak boleh melampaui kondisi nyata bangsa Arab saat itu. Gagasan ini biasa dikutip untuk membantah tafsir saintifik (al-Tafsir al-‘Ilmi) terhadap al-Qur`an, atau untuk menegaskan bahwa pemahaman yang benar terhadap al-Qur`an adalah pemahaman yang sesuai dengan fitrah dasar manusia. Di sisi lain, tidak semua ulama tafsir menerima pendapat al-Syatibi tersebut. Ketiga, pandangan al-Syatibi tentang penerjemahan al-Qur`an. Pada paruh pertama abad 20, berlangsung beberapa perdebatan di Mesir dan Turki tentang absah atau tidaknya upaya menerjemahkan al-Qur`an. Sebagian pemikir yang terlibat dalam perdebatan tersebut menggunakan konsep makna primer dan makna sekunder al-Syatibi untuk menyatakan bahwa penerjemahan al-Qur`an absah untuk dilakukan. Tetapi, pada sisi yang berlawanan, terdapat pemikir lain, seperti al-Zarqani, yang menggunakan konsep yang sama dari al-Syatibi untuk melarang upaya penerjemahan tersebut. Untuk lebih jelasnya lihat, Ghozi Mubarok, “Prinsip- Prinsip Tafsir al-Syatibi dan Ortodoksi Sunni” (Tesis pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008), h. 42-44. 21

Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsîr al-Maudhû‘î wa al-Hâjah ilaih”, dalam Buhuts Mu`tamar Manâhij Tafsîr al-Qur`an al-Karîm wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf (Kuala Lumpur : Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), h. 651. Kemudian, perlu dijelaskan di sini bahwa penelusuran Sonia Wafiq mengkategorikan al-Syathibi ke dalam persoalan tersebut ketika ia menafsirkan surah al-Mu'minun. Untuk lebih jelas mengenai ini lihat, Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwâfaqât fi Ushul al-Syarî‘ah. Vol. III. (Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, tt.) hlm. 311-314.

22 Al-Biqa‘i dianggap sebagai salah satu pelopor metode tafsir maudhu‘i di Sunni, terutama dalam hal yang menyangkut kesatuan tematis setiap surah dalam al-Qur`an. Lihat Shalah

‘Abd. al-Fattah al-Khalidi, Al-Tafsîr al-Maudhû‘i bayna al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq: Dirâsah Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah Muraffaqah bi Namâdzij wa Latha`if al-Tafsir al-Maudhu‘i. (Yordania : Dar al-Nafa`is, 1997), h. 57; lihat juga, komentar-komentar M. Quraish Shihab ‘Abd. al-Fattah al-Khalidi, Al-Tafsîr al-Maudhû‘i bayna al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq: Dirâsah Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah Muraffaqah bi Namâdzij wa Latha`if al-Tafsir al-Maudhu‘i. (Yordania : Dar al-Nafa`is, 1997), h. 57; lihat juga, komentar-komentar M. Quraish Shihab

munculnya metode tafsir 24 maudhû‘î. Berdasarkan penelusuran terhadap karya-karya metodologis di bidang

tafsir maudhû‘î, Mohamed El-Tahir El-Misawi menekankan adanya konvergensi antara tujuan serta pendekatan yang digunakan oleh para pendukung tafsir maudhû‘î dengan apa yang digagas oleh al-Syathibi dalam karyanya, al-

Muwâfaqât. 25 Hal ini pula yang membuat al-Syatibi dipandang sebagai salah satu pemberi inspirasi terpenting bagi kemunculan metode tafsir maudhu‘i pada

beberapa dekade terakhir. 26

Selain mengilhami Muhammad 'Abdullah Darraz, menurut penelusuran M. Quraish Shihab, ide al-Syathibi yang telah dikemukakan dianggap juga mengilhami Mahmud Syaltut, dan bahkan perwujudan ide itu terlihat dalam satu

kitab tafsir maudhu'i yang merupakan karyanya sendiri. 27

terhadap penerapan metode tematik yang digunakan oleh Biqa'i. Baca M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. ke-XIX. (Bandung : Mizan, 1999), h. 113. 23

Muhammad ‘Abdullah Darraz adalah putera dari ‘Abdullah Darraz. Ia salah seorang muhaqqiq kitab Al-Muwâfaqât, karya al-Syatibi. 24 Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Maudhu‘i: A

Comparative Historical Analysis” dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and Sunnah: Methodologies of Interpretation (Kuala Lumpur : Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), h. 134. Berdasarkan inspirasi dari para ulama terdahulu -- terutama al-Syatibi -- Muhammad ‘Abdullah Darraz kemudian mencoba menafsirkan surah al- Baqarah, surah terpanjang dalam al-Qur`an, dengan menekankan kesatuan tematis antar unsur- unsurnya. Lihat Muhammad ‘Abdullah Darraz, Al-Naba` al-‘Azhim; Nazharat Jadîdah fi al- Qur`ân. Cet. 4. (Kuwait : Dar al-Qalam, 1977), h. 163-210. Di karyanya ini, ia mengatakan; “Seberagam apa pun persoalan-persoalan yang dikandung oleh satu surah, ia tetap merupakan sebuah pernyataan tunggal (kalam wahid) di mana bagian awalnya mengkonfirmasikan bagian akhirnya, dan demikian pula sebaliknya. Dalam totalitasnya itu, seluruh bagian dari sebuah surah mengandung satu tujuan (garadh) yang sama, sebagaimana beberapa kalimat saling terjalin satu sama lain untuk mengekspresikan sebuah gagasan yang sama pula. Lihat, Muhammad ‘Abdullah Darraz, Al-Naba` al-‘Azhim, h. 159. Bandingkan pernyataan ini dengan Abu Ishaq al-Syatibi, Al- Muwâfaqât, vol. 3, h. 309-310.

25 Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A Comparative Historical Analysis”, h. 132.

26 Fahd ibn ‘Abd al-Rahman ibn Sulaiman al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir. (Beirut : Mu`assasah al-Risalah, 1407 H.), h. 232-233.

27 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Perang Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. h. 133. Untuk penerapan atau aplikasi metode tematik yang diberikan

Mahmud Syaltut tentu dapat lihat pada karyanya yang berjudul "Tafsir al-Qur'an al-Karim".

Menurut penelusuran al-Farmawi, 28 pencetus dari metode tafsir tematik itu adalah Muhammad Abduh, kemudian ide-ide pokoknya diberikan oleh Mahmud Syaltut, lalu diintroduksikan secara konkrit oleh Al-Qumi ke dalam bukunya yang

berjudul "al-Tafsir al-Maudhu'i, 29 bahkan dengan dukungannya beberapa dosen jurusan tafsir di fakultas Ushuluddin al-Azhar ketika itu berhasil menyusun

banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. 30 Dari keterangan di atas terlihat bahwa para ahli mengarahkan pandangan

mereka pada problem-problem baru dan berusaha memberikan jawaban-jawaban melalui petunjuk al-Qur'an sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran dan penemuan manusia, baik yang positif maupun negatif.

Sehingga dalam perkembangan berikutnya – di Sunni sekarang ini – banyak bermunculan karya ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu menurut pandangan al-Qur'an. Seperti al-Insân fî al-Qur'ân al-Karîm dan al-

Muqawwamat al-Insâniyah fî al-Qur'ân al-Karîm karya Ibrahim Muhnan atau al- Ribâ fî al-Qur'ân al-Karîm karya Abu al-A'la al-Maududi dan lain sebagainya, sebagaimana yang telah disebutkan di bab I.

Perkembangan metode tematik dalam kajian tafsir tidak saja berkembang di belahan Timur Tengah, tapi berkembang pula di Indonesia sekarang ini. Apalagi tafsir dengan menggunakan metode tersebut dirasa sangat dibutuhkan dewasa ini. Karya-karya tafsir maudhu'i di Indonesia ini dipelopori oleh M. Quraish Shihab, yang menulis banyak buku juga membahas metode tersebut. Di

28 'Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i; Dirasat Manhajiyat Maudhu'iyat., h. 74. 29

Al-Qumi adalah Ahmad al-Sayyid al-Qumi. Beliau ketika itu adalah Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Cairo sampai tahun 1982. Adapun al-Tafsir al-Maudhu'i merupakan salah satu karyanya tentang metode tematik. Lihat, 'Abd. Al-Hayy al- Farmawi, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû'î; Dirâsat Manhajiyat Maudhû'iyah, h. 61. Bandingkan dengan sumber yang diberikan dari Majalah "Pesantren" No. 1/Vol. VIII. 1991. h. 13.

30 'Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû'i; Dirâsat Manhajiyat Maudhû'iyat., h. 61. Adapun di antara karya ilmiah dalam hal tersebut ialah Al-Husaini Abu

Farhah menulis al-Futûhât al-Rabbâniyah fî al-Tafsîr al-Muadhû'iyyah li al-Âyat al-Qur`âniyyah dalam dua jilid dengan memilih banyak topik yang dibicarakan al-Qur'an. Selain buku ini, yang juga termasuk baru adalah karya Muhammad al-Ghazali yang berjudul Nahw al-Tafsîr al- Maudhû'î li al-Suwar al-Qur'ân al-Karîm. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Alqur'an. (Bandung : Mizan, t.th.), h. 144.

antaranya yang terkenal adalah Wawasan al-Qur'an, yang di dalamnya terdapat banyak tema, khususnya persoalan-persoalan kontemporer yang dialami umat. 31

Dengan munculnya tafsir metode maudhu'i 32 dipelopori M. Quraish Shihab, muncul pula berbagai karya di negeri ini yang juga menggunakan metode tematik, seperti Ensiklopedi Al-Qur'an karya Dawam Raharjo yang dianggap sangat kaya akan pembahasan, Argumen Kesetaraan Jender karya Nasaruddin Umar, Jiwa Dalam Al-Qur'an karya Achmad Mubarok dan Ahli Kitab dalam Al- Qur'an karya Muhammad Ghalib dan sebagainya.

Walaupun karya-karya tersebut kurang dianggap sebagai karya tafsir, akan tetapi dari sini mereka mendapatkan inspirasi baru, sehingga bermunculan karya- karya tafsir yang mengungkapkan satu topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat, atau beberapa surat, yang berbicara tentang topik tersebut, kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil

kesimpulan menyeluruh tentang pandangan tersebut menurut pandangan al- Qur'an.

Terlepas dari karya-karya yang telah disebutkan, yang jelas bahwa semua yang diungkapkan di atas tentu masih dalam konteks perkembangan tafsir tematik beraliran Sunni.

Sedangkan di Syiah, istilah tafsir maudhu'i ternyata dikenal pula di Najef, Irak yang diperkenalkan oleh Ayatullah Muhammad Bâqir al-Shadr dalam

31 M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur'an; Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks. Cet. I. (Bekasi : Gugus Press, 2002), h. 151. Bandingkan komentar yang diberikan M.

Yudhie R. Haryono dengan buku aslinya yang ditulis M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. VIII. (Bandung : Mizan, 1998). Menurut penuturan M. Yudhie R. Haryono dalam buku yang telah disebutkan menyatakan bahwa buku tersebut hasil dokumentasi dari materi-materi yang beliau ajarkan dalam pengajian rutin khusus untuk para pejabat pemerintah eselon I dan II di Masjid Istiqlal Jakarta, sejak tahun 1993. M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur'an; Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks. Cet. I. h. 152.

32 Munculnya karya-karya tafsir dengan metode maudhu'i menurut pandangan M. Yudhie R. Haryono, turut berperan menaikkan gengsi – atau setidaknya mengejar ketertinggalan umat

Islam di mata dunia Islam pada umumnya. Sebab metode ini termasuk baru dan di Timur Tengah sendiri masih dalam tahap pengembangan. Belum banyak karya-karya dalam metode ini yng dihasilkan oleh ilmuan-ilmuan di sana. Hal ini juga mengingat kondisi dunia tafsir di Indonesia sebelumnya termasuk tertinggal jauh. Tafsir dan terjemah al-Qur'an yang diterbitkan pemerintah Indonesia baru keluar tahun 1970-an, sementara saat ini tafsir metode maudhu'i telah mulai popular di dunia Arab. Beruntunglah bangsa kita memiliki putra-putri terbaik yang saat itu sedang menimba di sana. M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur'an; Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks. Cet. I., h. 151.

bukunya yang berjudul "al-Madrasat al-Qur'âniyah". 33 Buku tersebut dianggap sebagai buku pedoman tafsir modern yang ditulis oleh tokoh Syiah modern. Namun demikian, jika dilihat secara kronologi maka perkembangan tafsir Syiah sama seperti di Sunni, yakni muncul dan dimulai sejak masa Rasulullah saw. sebagai sumber inspirasi atau penafsir awal.

Misalnya saja, penelusuran yang dilakukan oleh al-Majlisi dalam Bihar al- Anwar menyebutkan bahwa ketika Nabi menafsirkan tentang mengecam kehinaan dunia ia menyebutkan beberapa ayat al-Qur'an seperti Q.s. al-Hadid/57 ayat 20, Q.s. Al-Zukhruf/43 ayat 33-34, dan Q.s. Al-Isra’/17 ayat 18. Bahkan menurutnya, Nabi tidak hanya mengungkapkan beberapa ayat tersebut tapi juga menyebutkan beberapa riwayat popular dan riwayat-riwayat panjang yang relevan dan berkaitan

dengan masalah kehinaan dunia tersebut. 34 Demikian pula di tempat lain, al-Majlisi menuturkan bahwa ketika

Rasulullah saw. juga menafsirkan masalah ketiadaan ilmu atau pengetahuan ia juga menyebutkan beberapa ayat seperti Q.s. Al-Isra’/17 ayat 36, Q.s. Al-Zukhruf

/43 ayat 19, Q.s. Qaf/50 ayat 18, dan Q.s. Qaf/50 ayat 16. 35 Hanya saja menurut sumber yang diberikan oleh Ahmad Ridha, 36 menyebutkan bahwa orang pertama

33 Harifuddin Cawidu, "Metode dan Aliran dalam Tafsir dalam Majalah" Pesantren No. 1/Vol. VIII/1991. h. 13.

34 Penafsiran ini diucapkan oleh Rasulullah saw. pada saat ia memberi teguran dan nasihat kepada Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.) tentang pengecamannya terhadap kehinaan dunia.

Di antara salah satu teguran atau nasihat Nabi kepada Abdullah ibn Mas’ud ialah perkataan; “Wahai Ibnu Mas'ud! sesungguhnya orang-orang bodohlah yang mencari dunia yang hina ini." Untuk lebih jelas tentang keterangan dan riwayat-riwayat yang disebutkan Rasul dapat lihat, Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jâmi'ah li Durar al-Akhbar al-Aimmat al- Athhar. Cet. II. Juz. 74. Kitab al-Riadhat, bab 5. (Beirut : Muassasat al-Wafa, 1403 H./1983 M.),

h. 93-94. 35 Perlu diinformasikan di sini, bahwa nasihat Nabi kepada Ibnu Mas'ud bukan saja dalam

urusan ilmu atau pengetahuan tapi juga berbagai hal yang yang menyangkut kehidupan dunia khususnya. Di antara salah satu teguran atau nasihat Nabi kepada Abdullah ibn Mas’ud ialah perkataan; “Wahai Ibn Mas’ud! janganlah engkau mengatakan sesuatu hal tanpa ilmu / pengetahuan dan janganlah engkau bersegera dengan sesuatu yang belum kamu dengar dan belum kamu lihat.” Untuk lebih jelas mengenai keterangan ini lihat, Muhammad Baqîr al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jâmi'ah li Durar al-Akhbar al-Aimmat al-Athhar. Cet. II. Juz. 74. Kitab al- Raidhat, bab 5. h. 105-106.

36 Ahmad Ridha ialah seorang ulama yang memberikan kata pengantar / prolog tentang seputar tafsir dan ruang lingkupnya dalam kitab "Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an" yang

ditulis oleh Abu 'Ali al-Fadhl bin Hasan al-Thabarsi. Di antara tafsir dan ruang lingkup yang dimaksud ialah term tafsir dilihat secara bahasa, kesamaan antara term tafsir dan takwil, materi tafsir, obyek tafsir dan tujuannya, kegunaan dan orientasi yang dibutuhkan tafsir, tingkatan- ditulis oleh Abu 'Ali al-Fadhl bin Hasan al-Thabarsi. Di antara tafsir dan ruang lingkup yang dimaksud ialah term tafsir dilihat secara bahasa, kesamaan antara term tafsir dan takwil, materi tafsir, obyek tafsir dan tujuannya, kegunaan dan orientasi yang dibutuhkan tafsir, tingkatan-

40 H), yang paling alim dan tidak diragukan kapabilitasnya dalam urusan kitabullah (al-Qur'an), hingga ia juga disinyalir sebagai pintunya kota ilmu. 37 Hal ini tercermin dari pujian sahabat 'Abdullah bin Mas'ud terhadap 'Ali bin Abi Thalib seperti dikatakan oleh al-Thabarsi : "Al-Qur'an diturunkan atas tujuh huruf, tak ada satu huruf pun di al-Qur'an

baik yang zahir maupun yang batin kecuali ia mengetahuinya, dan hanya di sisinyalah kedua urusan tersebut." 38

Salah satu dedikasi Ali ibn Abi Thalib as. dalam hal tersebut adalah ketika menjelaskan masalah al-Kufr dengan membagi term tersebut ke dalam 5 orientasi makna yang didukung oleh beberapa ayat sebagai dalilnya, yakni :

1) Term al-Kufr berarti tidak percaya dan menentang seperti orang inkar terhadap adanya wujud Allah swt., surga, neraka, dan kiamat, sebagaimana

diceritakan al-Quran dalam ungkapan orang-orang kafir, yakni Q.s. al- Jatsiyah/45 ayat 24,

2) Term al-Kufr berarti tidak percaya yang dibarengi karena mengetahui dan yakin, sebagaimana digambarkan dalam Q.s. al-Naml/27 ayat 14,

3) Term al-Kufr berarti maksiat / membangkang dan meninggalkan ketaatan seperti yang diceritakan Allah swt. tentang Bani Israil yang sebagian dari mereka beriman terhadap al-Kitab dan sebagian yang lain membohonginya, pada saat Allah swt. berfirman dalam Q.s. al-Baqarah/2 ayat 85,

4) Term al-Kufr berarti bebas dan lepas dari tanggung jawab, seperti firman Allah swt. tentang perkataan Nabi Ibrahim as. kepada penyembah berhala; Kafarna Bikum (Q.s. al-Mumtahanah/60 ayat 4), dan demikian pula firman Allah swt. dalam Q.s. al-'Ankabut/29 ayat 25,

5) Term al-Kufr berarti tidak bersyukur terhadap nikmat, seperti firman Allah swt. dalam Q.s. Ibrahim/14 ayat 7. 39

tingkatan para penafsir, dan bagian-bagian tafsir. Lihat, Abu 'Ali al-Fadhl bin Hasan al-Thabarsi, Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an. Juz. I. (Qum : Dar al-Ma'rifah, 1376 H./1418 M.), h. 68.

37 Al-Thabarsi, Majma' al-Bayan, h. 68. 38 Al-Thabarsi, Majma' al-Bayan, h. 68.

Hal yang sama juga disebutkan al-Majlisi tentang 'Ali bin Abi Thalib as. ketika mengumpulkan ayat-ayat lain yang berkenaan dengan syirk, kufr dan macam-macamnya dalam al-Quran, kemudian ia membagi keduanya menjadi; syirik akidah, syirik perbuatan, syirk ketaatan, syirk riya’, sedangkan kufr menjadi; kufr menentang kepada Allah swt, kufr meninggalkan perintah-perintah- Nya, kufr terhadap apa yang diceritakan Allah dalam kisah Ibrahim as. tentang perkataannya (Q.s. Ibrahim / 14 : 22), kufr nikmat seperti yang digambarkan dalam ucapan nabi Sulaiman as. (Q.s. al-Naml / 27 : 40), dan semuanya ini dijelaskan oleh 'Ali bin Abi Thalib dengan menyebutkan ayat-ayat al-Quran. 40

Keterangan di atas, menggambarkan bahwa 'Ali bin Abi Thalib as. dengan pembagian ayat-ayat tentang al-Kufr dan al-Syirk menunjukkan ia telah meletakkan pandangan umum terhadap sebuah tema, dan menerangkan kedua istilah itu dengan pengertian yang luas dan holistik. Ini berarti setiap term al-Kufr

mencakup semua penolakan terhadap kebenaran baik pada masalah akidah, perbuatan, atau pun pemberian-pemberian Tuhan, sedangkan term al-Syirk mencakup setiap hal yang menjadikan sekutu bagi Allah swt. baik berkenaan masalah akidah, perbuatan, ketaatan terhadap hukum. Maka jelaslah dengan pemaparan tafsir maudhu’i pada kedua contoh yang diberikan oleh 'Ali bin Abi Thalib as. menjadi peran yang sangat penting bagi tafsir ini untuk memperluas wawasan manusia dan pemahaman yang dalam terhadap ayat-ayat al-Qurân.

Semua yang disebutkan tersebut tentu merupakan beberapa contoh yang pernah dilakukan oleh 'Ali bin Abi Thalib untuk mengajarkan kepada kita tentang metode atau cara mengumpulkan ayat-ayat yang bertalian dengan tema tertentu dan sistematika ayat-ayat yang ada dengan menampilkan suatu tujuan.

Model penafsiran tematik yang dilakukan oleh 'Ali bin Abi Thalib as. berkembang hingga ke murid-muridnya. Salah satu dari murid-murid 'Ali bin Abi Thalib ialah 'Abdullah bin 'Abbas atau Ibnu 'Abbas (w. 68 H./687 M.), yang seringkali disebut-sebut sebagai "turjuman al-Qur'an" (juru bicara) dan "hibr al- Qur'an" (pena al-Qur'an), bahkan al-Thabarsi menganggapnya sebagai orang yang

39 Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Juz. 69. Kitab al-Iman wa al-Kufr, bab 98. h. 115-120. 40 Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Juz. 69. Kitab al-Iman wa al-Kufr, bab 98. h. 100-103.

mewarisi ilmu-ilmu dari Rasulullah saw., dan karenanya tidak sedikit riwayat hadis yang mendukung sebuah penafsiran yang datang darinya. 41 Dari jalur inilah

tafsir atau persoalan tafsir berkembang hingga kepada murid-murid atau sahabat- sahabat yang lain, khususnya di kalangan Syiah.

Dalam perkembangan selanjutnya atau memasuki abad ke-2, praktik penafsiran dengan menggunakan metode tematik juga dilakukan oleh Imam Musa ibn Ja’far (w. 183 H.) pada saat memberikan gambaran tentang kedudukan akal yang ada pada kalimat ulil albab di al-Qur'an kepada Hisyam ibn Hakam (w. 199

H.), 42 ia terlebih dahulu mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan seperti Q.s. al- Baqarah/2 ayat 269, Q.s. Ali Imran/3 ayat 7 dan 9, Q.s. Shad/28 ayat 29, dan Q.s. al-Mu’minun/ 23 ayat 54 sembari mengucapkan; "Perhatikanlah bagaimana Allah swt. memberikan sifat terhadap “ulil albab” dengan gambaran yang

baik!". 43

Kegiatan mengumpulkan ayat-ayat dan memperhatikannya satu sama lain akan memberikan wawasan yang dalam, dan karenanya dapat memahami makna "ulil albâb" dengan baik. Pencarian melalui tematik ini dianggap sempurna apabila upaya itu dilakukan hanya menggunakan metode tafsir maudhu’i dalam menangkap satu tema dan term-term yang terdapat di al-Qur'an. Ini adalah contoh dasar tafsir maudhû’i yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Islam, Nabi dan para Imam.

Praktek-praktek penafsiran tematik yang dilakukan oleh murid-murid 'Ali bin Abi Thalib tidak saja sebatas aktivitas tanpa rekam dan jejak, akan tetapi kondisi dan masa ini disebut juga yang paling awal dalam era pembukuan, meskipun masih sedikit ketika itu. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa

41 Al-Thabarsi, Majma' al-Bayan, h. 68.

42 Hisyam bin al-Hakam adalah Abu Muhammad maula Kindah. Ia lahir dari keturunan Bani Syaiban di Kufah. Ia seorang murid dan mendapatkan periwayatan hadis dari Abu 'Abdillah

dan Abu al-Hasan Musa. Dalam bidang periwayatan, ia juga dikenal sebagai periwayat yang terpercaya (tsiqat). Ia wafat ketika berpindah dari Kufah ke Baghdad sebelum sebelumnya singgah di Baghdad, Qishr, dan Wadhdhah. Lihat, Abu al-'Abbas Ahmad bin 'Ali bin Ahmad bin al-'Abbas al-Najasyi (w. 450 H), Rijal al-Najasyi. Cet. 6. (Qum : Muassasat al-Nasyr al-Islami, 1418 H.), h. 433-434.

43 Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi (w. 329 H.), Al-Ushul min al-Kafi. (Haidari : Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2002), Juz 1. kitab al-'Aql wa al-Jahl., h. 15.

Kemudian untuk arti ayat yang dimaksud tentunya dapat lihat pada al-Qur'an terjemah.

karya yang diberi judul "âyat al-Ahkâm" dimana di dalamnya disebutkan beberapa ayat yang bertalian dengan hukum-hukum fikih, seperti ayat-ayat yang berkaitan dengan bagian-bagian tertentu, misalnya syarat-syarat salat dan bagian-bagiannya, syarat-syarat puasa, haji, nikah, talak, hukum pidana dan sebagainya, disebutkan pula beberpa ayat lalu dijelaskan ayat-ayat tersebut secara komprehensif sesuai

tema secara bersamaan. 44 Di antara karya tafsir pertama yang menggunakan metode tematik menurut

penelusuran Makarem al-Syirazi adalah Ahkâm al-Qurân yang ditulis oleh Muhammad ibn Sâib al-Kalabî (w. 146 H.), 45 yaitu salah seorang sahabat Imam al-Bâqir as. (w. 114 H. ) dan Imam al-Shâdiq as. (w. 148 H ), Imam Syafi’i (w. 204 H) yang juga sama menulis kitab sejenisnya. 46

Memasuki abad ke-3 H. dan masa-masa berikutnya, perkembangan tafsir tematik telah memasuki masa pembukuan secara luas ditandai dengan munculnya

berbagai karya tematik yang dikategorikan sebagai tematik fikih atau tematik tentang ayat-ayat hukum, seperti karya-karya yang disebutkan oleh seorang ahli hadis Syiah, Agha Burzukg al-Thahrâni (w. 1355 H.) di kitabnya, Al-Dzarî’ah ilâ Tashânîf al-Syî’ah yang berjumlah 30 jilid. 47

44 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran. Juz. 1. h.16. Bandingakan dengan informasi yang diberikan Ja'far al-Subhani, Mafahim al-Qur'an. Juz. 1. Cet. 3. (Qum : Muassasat

al-Imam al-Shadiq, 1421 H./2000 M.), h. 8-9. 45 Ia adalah Muhammad bin al-Saib bin Bisyr bin 'Amr al-Harits al-Kalbi atau al-Kalabi

(Abu al-Nadhr). Ia seorang mufassir, muhaddits, ahli silsilah, dan perawi. Salah satu karya populernya adalah Tafsir al-Qur'an. Ia lahir dan wafat di Kufah tepatnya mati Syahid pada peperangan Dair al-Jamajim tahun 146 H./763 M.. Lihat, 'Umar Ridha Kahhalah, Mu'jam al- Muallifîn; Tarajim Mushannif al-Kutub al-'Arabiyah. Juz. 10. (Baeirut : Dar al-Turats al-'Arabi, t.th.), h. 15. Menurut sumber yang diberikan Ibnu Ahmad al-Duwudi, bahwa Muhammad al-Kalbi atau al-Kalabi adalah salah seorang murid dari ahli hadis yang bernama imam al-Sya'bi dan dari sinilah ia mendapatkan riwayat hadis. Ia meriwayatkan hadis kepada anaknya, Abu Mua'awiyah, Yazid, Ya'la bin 'Ubaid. Meski demikian ia juga dianggap sebagai orang yang dianggap berdusta (muttaham bi al-Kidzb) karena termasuk kelompok rofidhah. Lihat, Muhammad bin 'Ali bin Ahmad al-Dawudi, Thabaqât al-Mufassirîn. Jld. II. Cet. 1. (Kairo : Maktabah Maktabah Wahbah Syari' al-Jumhuriyah, 1392 H./1972 M.), 144. Menurut catatan sumber kedua ini, ia juga telah menulis tafsir seperti "Tafsîr al-Ayi al-Ladzi Nuzila fi Aqwâmi bi A'yânihim" dan "Nâsikh al- Qur'an wa Mansûkhuhu".

47 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. 1., h. 16. Agha Bazrakg al-Thahrâni, Al-Dzarî'ah ila Tashânif al-Syi'ah. Juz. 1. (Qum Iran : Muassasat Mathbu'at Isma'iliyan, t.th.), h. 41-43. Kitab ini merupakan kitab ensiklopedi kitab-

kitab Syiah, dan karenanya disebutkan berbagai kitab termasuk yang diberi judul "ayat al-Ahkam." Perlu di informasikan di sini, nama Agha Bazrakg al-Thuhrani itu berasal dari bahasa Persia yang berarti "Tuan Besar Teheran", sedangkan nama asli penulis tersebut menurut informasi kitab ini ialah Muhammad al-Muhsin.

Meskipun al-Thahrani telah menyebutkan karya ayat-ayat ahkam dalam bukunya, akan tetapi menurut beberapa sumber popular yang diberikan para ulama dan ahli fikih modern hanya memasukkan beberapa karya saja yang dikategorikan sebagai karya ayat-ayat hukum adalah Ahkam al-Qur'an yang ditulis oleh al-Rawandî (w. 573 H.), Manhaj al-Hidâyat fî Syarh Âyat al-Ahkâm yang ditulis Ibn al-Mutawwij al-Bahrani (w. 820 H.), Kanz al-‘Irfân fi Fiqh al-

Qur'ân 48 yang ditulis oleh al-Miqdâd bin 'Abdillah al-Suyuri (w. 826 H), Tafsir Syahi yang ditulis oleh al-Amir Abu al-Futuh al-Husaini al-Jurjâni (w. 976 H.) dengan bahasa Persia, Zubdat al-Bayân 49 yang ditulis oleh al-Ardabîlî (w. 993 H.), Masâlik al-Afhâm ilâ Âyat al-Ahkâm yang ditulis oleh Jawwad al-Kadzimi (abad ke-11), dan Tafsîr Âyat al-Ahkâm yang ditulis oleh al-Sayyid Muhammad

Husain al-Thabathabai al-Yazdi (w. 1386 H.). 50 Semua yang telah disebutkan merupakan karya-karya yang memiliki orientasi fikih yang disumbangkan para

ulama fikih Syiah (khususnya Syiah Imamiyah) terhadap khazanah Islam. Demikian pula karya yang sejenis adalah I’jâz al-Qur`ân fî al-‘Ulûm al-

Mu’âsharah, 51 al-Mujtama’ wa al-Târîkh, dan kitab al-Huqûq fî al-Qur`ân al- Majîd. 52 Semua karya-karya tersebut adalah satu wujud upaya yang dilakukan

oleh para ulama Syiah secara kesinambungan dalam mengungkapkan tafsir maudhû'î, sebagaimana kitab-kitab yang ditulis mereka tentang kisah-kisah al-

48 Menurut penulusuran Nasher Makarim al-Syirazi, Kanz al-'Irfan fi Fiqh al-Qur'an adalah karya yang cukup popular di sebagian kalangan ulama karena dikarya itu telah ditemukan

500 ayat di al-Quran tentang hukum fikih dengan hitungan mencakup ayat-ayat yang diulang, jika tidak dihitung jumlah ayatnya akan lebih sedikit. Lihat, Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al- Qur'an. Juz. 1., h. 17; lihat juga, Al-Miqdâd bin 'Abdillah al-Suyuri, Kanz al-‘Irfân fi Fiqh al- Qur'an. Cet. 1. (Qum : Maktabah Nuwaid Islam, 1422 H.), h. 5.

49 Kitab Zubdat al-Bayan ini lengkapnya berjudul Zubdat al-Bayân fi Barâhîn Ahkam al- Qur'an. Kitab ini ditulis oleh seorang peniliti Syiah bernama Ardibili. Di kitab ini ia juga

mengupayakan dalil atau bukti-bukti dari hukum-hukum al-Qur'an. Lihat, Muqaddas Ardibili, Zubdat al-Bayân fi Barahin Ahkam al-Qur'an. Cet. 2. (Qum : Intisyarat Mu'minin, 1421 H.), h. di muqaddimat Zubdat al-Bayan.

50 Muhammad 'Ali al-Ridha al-Ashfahani, Manahij al-Tafsir wa Ittijahatuhu; Dirasat Muqaranat fi Manahij Tafsir al-Qur'an al-Karim. Cet. I. (Beirut : Markaz al-Hadharat al-

Tanmiyat al-Fikr al-Islami, 2008), h. 360; lihat juga, Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al- Qur'an. Juz. 1., h. 17.

51 Di dalam kitab tersebut memuat ayat-ayat yang berkaitan dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern, dan karya itu dianggap pula sebagai mukjizat keilmuan al-Quran.

Lihat, Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. 1., h. 17.

52 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. 1., h. 17.

Quran yang kemudian di dalamnya dijelaskan kisah-kisah para nabi melalui pengumpulan ayat-ayat al-Quran.

Selain semua itu, terdapat pula karya tematik lain yang juga ditulis oleh ulama Syiah, yakni Bihar al-Anwar; al-Jâmi'ah li Durar al-Akhbar al-Aimmat al- Athhar karya al-Majlisi (w. 1111 H.). Penulis karya ini disinyalir oleh Makarem al-Syirazi sebagai satu-satunya ulama Syiah yang mengembangkan metode

tematik dalam bidang tafsir, 53 dan demikian pula karyanya disinyalir sebagai karya tafsir bermetodekan tematik yang berbeda dengan yang lain, karena ia mengumpulkan semua bab-bab mausu'ah yang sangat jarang dimiliki oleh tafsir lain di dalam tafsirnya itu, dan demikian pula metode tematik yang telah

diterapkannya tersebut. 54

Meski demikian, Makârem al-Syirazi mengakui karya-karya tersebut dengan sebuah kritikan bahwa kitab-kitab itu adalah sebuah kitab yang

memfokuskan tafsir maudhû’i pada bagian dan batasan tertentu, tidak termasuk dalam tafsir yang holistik yang meliput setiap tema-tema al-Quran,dan karena itu, dengan rasa tawadhu' dan mempromosikan metode tematik, ia mengatakan :

"Meski akhir-akhir ini sudah dilakukan penulisan tafsir tematik seperti mafâhîm al-Qurân tapi usaha ini masih muda dan perlu membutuhkan banyak waktu untuk bisa selaras antara tafsir ini dengan tafsir tartîbi, dan hal ini tak akan sempurna kecuali dengan adanya kesinambungan para ulama dan para penafsir dengan mengambil faidah dan tidak melupakan pengalaman para ulama sebelumnya, sehingga dapat mencapai ke tingkatan yang lebih sempurna dan paling diharapkan." 55

Kemudian, pada saat yang sama, selain berkembang tafsir menggunakan metode tematik, terdapat pula tafsir-tafsir lain yang tidak menggunakan metode tematik. Dalam konteks munculnya perkembangan tafsir tersebut Ayatullah Murtadha Muththahari (w. 1399 H./1980 M.) mengatakan, bahwa perkembangan tafsir Syiah dilihat secara kemunculan dan penulisnya dapat dikelompokkan menjadi dua periode antara lain :

53 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. 1., h. 16.

54 Untuk lebih jelas mengenai metode tematik al-Majlisi yang diterapkan dalam Bihar al- Anwar, selain langsung ke kitabnya tersebut dapat lihat pula pada, Ja'far al-Subhani, Mafahim al-

Qur'an. Juz. 1. Cet. 3. h. 9.

55 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. 1., h. 18.

1) Para mufassir yang hidup di masa 'Ali bin Abi Thalib,

2) Para mufassir Syiah di masa ghaybah (gaib). 56 Untuk periode pertama ditandai dengan munculnya para penafsir Syiah

yang tidak lain adalah murid-murid 'Ali bin Abi Thalib, seperti Qabil Abi Hamzah al-Tsumali, Abi Bashir al-Asadi, Yunus bin 'Abd. Al-Rahman, Husain bin Sa'id al-Ahwazi, 'Ali Ibnu Mahziyar, Muhammad bin Khalid al-Barqi al-Qumi, Fadhl bin Syadzan al-Naisaburi, dan lain-lainnya yang sebagian besar dari mereka

berasal dari Iran. 57 Sedangkan untuk periode kedua ditandai dengan munculnya berbagai kitab

tafsir Syiah populer yang sebagian besar ditulis oleh ulama-ulama dari Iran, antara lain :

a) Tafsir Ali bin Ibrahim al-Qumi (w. 307 H.). Tafsir ini merupakan karya tafsir yang paling populer di kalangan Syiah dan penulis karya tafsir itu adalah

maha guru dari seorang guru al-Kulaini (w. 329 H.),

b) Tafsir al-'Iyasyi. Al-'Iyasyi ialah Abi Nazhar Muhammad bin Mas'ud bin Muhammad bin 'Iyasy al-Samarqandi (w. 320 H.). Ia hanyalah orang biasa yang kemudian masuk ke Syiah dan sezaman dengan syaikh al-Kulaini,

c) Tafsir al-Nu'mani. Al-Nu'mani ialah Abu 'Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Nu'mani (w. 428 H.) yang memiliki kunyah / panggilan Ibnu Abi Zainab. Ia termasuk murid syaikh Kailâni,

d) Tafsir al-Tibyân / Tafsir al-Thusi. Al-Thusi ialah Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan bin 'Ali al-Thusi al-Khurasani. Ia seorang yang terkemuka dalam bidang fikih, hadis, tafsir, dan kalam. Ia dilahirkan pada tahun 385 H. dan wafat pada 460 H.,

56 Murtadha Muththahari, Al-Islâm wa Irân. (Iran / Thuhran : Rabithah al-Tsaqafah wa al- 'Alaqat al-Islamiyah, 1417 H./1997 M.), h. 350. Berkenaan dengan riwayat yang diceritakan Ibnu

'Abbas sebagai riwayat pendukung penafsiran tentunya cukup beragam dalam pandangan para ulama dalam melihat riwayat tersebut yang semuanya berujung kepada riwayat yang mu'tamad dan ghair mu'tamad. Dalam penulusuran Imam Syafii (w. 204 H.), berkenaan dengan konteks riwayat yang datang dari Ibnu 'Abbas khususnya riwayat-riwayat yang disebutkan tafsir "Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibnu 'Abbas" tidak kurang dari 100 riwayat. Lihat, 'Abd. Al-Rahman 'Uthbah, Ma'a al-Maktabat al-'Arabiyah; Dirasat fi Ummahat al-Mashadir wa al-Maraji' al-Muttashilat bi al-Turats. Cet. III. (Beirut : Dar al-Auzai, 1406 H./1986 M.), h. 369-370.

57 Al-Thibrisi, Majma' al-Bayan. Juz. 1., h. 68.

e) Tafsir Majma' al-Bayan / Tafsir al-Thabarsi. Kitab Majma' al-Bayan ini diselesaikan oleh penulisnya pada bulan Dzulqa'dah tahun 536 H. Karya ini disinyalir sebagai karya terbaik tafsir dari segi sastra, formulasi susunan, ketajaman bahasan, khususnya antara Syiah dan Sunni, serta telah diterbitkan berkali-kali di Iran, Beirut dan Mesir. Kitab ini telah memiliki ringkasan yang

diberi judul Jawami' al-Jami', 58

f) Tafsir Raudh al-Jinan wa Rauh al-Janan. Tafsir ini ditulis oleh Abu al- Futuh Husain 'Ali bin Muhammad bin Muhammad al-Khuza'i al-Razi al-Thuhrani Farisi (w. 552 H.). Ia berkebangsaan Naisabur yang kemudian berdiam di Rei. Secara nasab, ia memiliki keturunan Arab hingga ke 'Abdullah bin Budail bin Warqa al-Khuza'i, salah seorang dari murid-murid 'Ali bin Abi Thalib. Karya itu disinyalir sebagai paling kaya-kayanya tafsir di khazanah tafsir Syiah yang lain. Bahkan ada sebagian pendapat menyebutkan, tafsir al-Thabarsi atau Majma' al-

Bayan dan Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi banyak mengambil 'manfaat' dari tafsir tersebut,

g) Tafsir al-Shâfi / Tafsir al-Kasyani. Tafsir ini ditulis oleh Maula Muhsin al-Faidh al-Kasyani. Selain penulis tafsir, ia juga ahli dalam bidang fikih dan hadis, serta termasuk dalam kelompok ulama-ulama Syiah yang populer pada abad 11 H. dan wafat di Kasyan pada tahun 1019 H.,

h) Tafsir al-Maula Shadruddin al-Syairazi. Tafsir ini sangat terkenal dan kental dengan filsafat dan al-'Irfan (tasawuf), bahkan memiliki sekolah filsafat secara khusus. Tafsir ini juga telah dicetak berkali-kali di Iran. Para ulama sepakat, bahwa ia meninggal di Bashrah pada tahun 1050 ketika dalam perjalanan haji ke Mekkah,

i) Tafsir Manhaj al-Shâdiqîn. Tafsir ini ditulis oleh al-Maula Fathullah al- Kasyani. Ia salah seorang ulama Kasyan yang meninggal pada masa 1010 H. Tafsir ini ditulis dalam redaksi bahasa Persia dengan kemasan tiga jilid besar,

58 Selain Jawami' al-Jami' sebagai karya ringkasan dari karya Majma' al-Bayan yang ditulis oleh al-Fadhl bin al-Hasan al-Thibrisi juga dianggap sebagai karya yang menemukan sisi

kesusastraan al-Qur'an yang belum ditemukan dan kesusastraan yang tidak terdapat (luput) dalam tafsir al-Kasysyaf dari pembahasan yang ditulis oleh tokoh Sunni, Zamakhsyari. Lihat, Murtadha Muththahari, Al-Islam wa Iran., h. 351.

j) Tafsir Syibr. Syibr ialah Sayyid 'Abdullah Syibr al-Mu'ashir. Selain menulis karya tafsir, ia juga menilis karya-karya di bidang fikih, ushul, kalam (teologi), hadis, dan rijal. Ia wafat di Kadzimiyah pada tahun 1242 H.,

k) Tafsir al-Burhân. Tafsir ini ditulis oleh Sayyid Hasyim al-Husaini al- Bahrani. Ia wafat pada 1107 H. atau 1109 H., dan l) Tafsir Nur al-Tsaqalain. Tafsir ini ditulis oleh Syaikh 'Abd. Al-'Ali bin Jum'at al-'Arusi al-Khuwaizi (w. 1112 H.). 59 Semua karya yang telah disebutkan di atas adalah benar karya-karya tafsir Syiah yang terkenal dan siapa pun yang hendak merujuk kepada tafsir Syiah secara umum maka kembalilah ke tafsir-tafsir yang telah disebutkan tersebut. Jika dilihat dari karya-karya tafsir yang telah disebutkan di atas maka sebenarnya dapat dikatakan karya tafsir Syiah secara umum, bukan karya tafsir Syiah yang menggunakan metode tematik.

C. Perbedaan Tafsir Tematik Menurut Syiah dan Sunni

Ahl al-Bait bagi Syiah (pengikut-pengikutnya) adalah orang-orang yang istimewa dan memiliki berbagai kekhususan tersendiri. Demikian pula terjadi di Sunni. Karena itu, sebagian dari mereka – antara Syiah dan Sunni menganggap bahwa keistimewaan yang ada telah diberikan Allah swt. baik melalui nash-nash hadis maupun al-Qur'an. Perbedaan ini juga tidak saja pada persolan teologis dan politis, akan tetapi perbedaan itu juga berujung pada orientasi pemikiran, termasuk persoalan tafsir dan metodenya.

Dalam sumber yang berjudul Aqidat al-Imâmah 'Inda al-Syî'ah al-Itsna 'Asyriyah disebutkan tentang mereka (Syiah) yang menempatkan para imam laksana kedudukan Nabi Muhammad saw. dalam kemaksuman, sifat-sifat, dan

ilmunya. 60 Posisi keimaman ini dikuatkan oleh pendapat yang menyebutkan

60 Murtadha Muththahari, Al-Islam wa Iran., h. 350-354. Ali Ahmad al-Salus, Aqidat al-Imamah 'Inda al-Syi'ah al-Itsna 'Asyriyah, yang telah dialihbahasakan menjadi Ensiklopedi Sunnah-Syiah; Studi Perbandingan Aqidah & Tafsir (terj.).

Cet. I. (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 469; lihat juga, Nashir Makarim al-Syirazi, "Aqaiduna" telah dialibahasakan oleh Taha al-Musawa menjadi "Inikah Keyakinan Kita?". Cet. I. (Pekalongan : Muammal, 2007), h. 112. Bandingkan dengan pernyataan berikut ini: imam adalah pembela hukum Tuhan, dan kerja ini tidak bisa dipercayakan kepada tangan-tangan yang berdosa, Cet. I. (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 469; lihat juga, Nashir Makarim al-Syirazi, "Aqaiduna" telah dialibahasakan oleh Taha al-Musawa menjadi "Inikah Keyakinan Kita?". Cet. I. (Pekalongan : Muammal, 2007), h. 112. Bandingkan dengan pernyataan berikut ini: imam adalah pembela hukum Tuhan, dan kerja ini tidak bisa dipercayakan kepada tangan-tangan yang berdosa,

Walaupun di antara mereka ada perselisihan pendapat dalam masalah wahyu, namun mereka sepakat pada satu titik bahwa para imam itu terjaga dari perbuatan dosa (ma'shûm). Anggapan kemaksuman inilah yang kemudian dipegangi oleh mereka.

Karena itu, tidak menutup kemungkinan apabila merujuk tafsir yang ada di kalangan mereka baik bermetodekan tematik atau tidak maka akan tampak bahwa akidah atau keyakinan mereka dalam hal imâmah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam peletakkan pokok-pokok (ushûl) dan dalam menyikapi kitab

Allah swt. (al-Qur'an). Bahkan, dalam keyakinan atau prinsip Syiah, terdapat orientasi pemikiran yang menganggap ahl al-Bait itu tidak lain adalah al-Qur'an

yang berbicara (qur'ân al- nâthiq). 62 Selain itu, ahl al-Bait menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang

paling utama, mendasar dalam urusan tafsir dan memahami al-Qur'an, dan barang siapa mengambil ilmu ini dari mereka maka sebenarnya adalah ilmu Rasulullah

saw. yang seseorang tidak akan mampu memahaminya dengan benar. 63 Demikian

ataupun setiap orang bisa menjaga tugas-tugas secara tepat. Dengan demikian, kemaksuman merupakan syarat penting bagi seorang imam ataupun khalifah yang ditunjuk Tuhan yang merupakan penjaga atau penafsir terhadap hukum-hukum agama, sebagaimana didasarkan pada Q.s. an-Nisa / 4 : 59, yang berkaitan dengan penafsiran ulil amri yang harus maksum. Lihat, Rofik Suhud & dkk, Antologi Islam; Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi. Cet. II. (Jakarta : Al- Huda, 2007), h. 129-131.

61 Sebagian dari kalangan Syiah yang ekstrim dengan tanpa sandaran riwayat yang jelas menyebutkan bahwa sebagian malaikat selalu berada bersama Rasulallah saw. untuk

mengarahkannya, memberinya petunjuk, dan mengajarinya ilmu, serta tatkala Rasulullah saw. wafat menghadap Tuhan-Nya, malaikat tadi tetap tinggal di bumi dan tidak naik ke langit untuk menunaikan tugas serupa terhadap para imam. Lihat, Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah- Syiah, h. 469.

62 Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah; Studi Perbandingan Aqidah & Tafisir (terj.). Cet. I., h. 471.

63 Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhan fi Tafsir al-Qur'an. Jld. I. Cet. I. (Beirut : Muassasat al-Bi'tsah, 1419 H./1999 M.), h. 26.

pula al-Syahrastani (w. 469 H.) 64 dalam Al-Milal wa al-Nihal menyebutkan, al- Qur'an adalah petunjuk manusia secara umum, petunjuk dan rahmat bagi orang- orang yang beriman secara khusus, petunjuk dan pengingat yang lebih khusus bagi nabi dan kaumnya daripada yang pertama (utama) dan kedua berdasarkan Q.s. al-Zukhruf / 43 : 44.

Pendapat al-Syahrastani yang didasarkan atas Q.s. al-Zukhruf / 43 : 44 sebenarnya tidak spesifik berbicara tentang sebuah pembicaraan (khithab) yang ditujukan kepada Syiah atau ahl al-Bait. Apalagi redaksi bahasa yang digunakan dalam ayat tersebut adalah "li qaumika" bukan "li ahli baitika" jika dilihat redaksi tersebut secara cermat.

Di karya lain, al-Syahrastani juga menyebutkan tentang para sahabat yang menyetujui kalau ilmu al-Quran itu merupakan keistimewaan bagi ahl al-Bait, dan hal ini terlihat dari pengecualian al-Qur'an dengan menggunakan takhsis

(pengkhususan) yang menunjukkan kesepakatan mereka terhadap al-Qur'an, ilmu al-Qur`an, turun dan takwilnya dikhususkan untuk mereka. 65 Bahkan Hasyim al- Husaini al-Bahrani (w. 1107 H.) menyebutkan kekhususan atau keistimewaan mereka dalam bidang ilmu dan al-Qur'an hingga melebihi orang lain tidak semata- mata sebagai satu persoalan besar dari Allah swt. tapi juga terdapat nash-nash hadis dan penjelasan dari Rasulullah saw. tentang sebagian yang disepakati oleh kaum Muslimin atas keabsahan mereka dalam hal tersebut, seperti hadis al- Tsaqalain, al-Safînat, dan madînat al-'Ilm. 66

64 Al-Syahrastani adalah Muhammad bin 'Abd. Al-Karim bin Ahmad. Ia mempunyai kunyah / panggilan Abu al-Fath. Disebut Syahrastan karena ia berasal dari negeri Syahrastani.

Menurut catatan sejarah ia lahir pada 479 H. dan wafat pada bulan Sya'ban tahun 548 H. dalam usia 70 tahun. Dari madzahab ia mengikuti Syafi'i, dari segi ushul ia mengikuti Abu Hasan al- Asy'ari. Lihat, Muhammad bin 'Abd. Al-Karim bin Ahmad, Al-Milal wa al-Nihal, tahqiq Abd. Al- 'Aziz Muhammad al-Wakil. (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), h. 3-4.

65 Keterangan atau penjelasan ini disebutkan al-Syahrasytani pada saat para sahabat bertanya kepada 'Ali bin Abi Thalib. Adapun pertanyaan yang dimaksudkan ialah "Apakah kalian

telah diistimewakan dengan sesuatu selain al-Qur'an daripada kami? Ia menjawab: "tidak, demi dzat yang menumbuhkan biji-bijian dan mahluk-mahluk yang bernyawa kecuali sesuatu yang ada di sarung pedangku." Untuk lebih jelasnya lihat, Al-Syahrastani, Mafatih al-Asrar wa Mashâbîh al-Abrâr. (Qum : Majmu'ah Baqir al-'Ulum al-Tsaqafiyah, 1412 H.), h. 121.

66 Hadis al-Tsaqalain ialah hadis yang berbunyi : "Inni târikun fîkum mâ in tamassaktum bihî lan tadhillû ba'di kitâballâh wa 'itratî ahla baitî", hadis al-Safinah berbunyi : "matsalu ahla

baiti mitsla safînat Nûh ,man rakibahâ najâ, wa man takhallafa 'anhâ gharaqa". Lihat, Abu Nu'aim Ahmad bin 'Abdillah al-Ashfahani (w. 430 H.), Hilyat al-Auliya wa Thabaqat al-Ashfiya.

Dengan demikian, jika dilihat dari beberapa keterangan yang sifatnya pengkhususan dan pengistimewaan terhadap 'Ali bin Abi Thalib berikut para imam yang diyakininya maka akan tampak bahwa persoalan imam menjadi pokok bagi keyakinan yang sifatnya teologis, dan inilah ciri khas mereka yang membedakan dengan kelompok lain dalam Islam.

Selain orientasi pemikiran, di kalangan Syiah juga memiliki metode penafsiran berbeda dalam tafsir dan memahami al-Qur'an. Sedikitnya terdapat beberapa orientasi pemikiran mereka yang dianggap sebagai pedoman atau dasar- dasar pokok dalam menyikapi al-Qur'an. 67

Misalnya saja, dalam urusan Ketuhanan, mereka beranggapan kalau Tuhan itu tidak berjisim dan Ia adalah dzat yang Maha Suci dari hal tersebut. Anggapan ini berbeda dan bahkan berlawanan dengan kelompok seperti al-Musyabbihah

atau al-Mujassimah dan al-Mu'aththilah. 68 Dalam urusan Kenabian, mereka

Juz. 4. (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), h. 306; lihat juga, Abu Bakar Ahmad bin 'Ali al-Khathib al- Baghdadi (w. 463 H.), Tarikh Baghdad. Juz. 12. (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), h. 91; lihat juga, Abu al-Fida Ismail bin Katsir (w. 774 H.), Tafsir al-Qur'an al-'Azhim. Cet. II. Jld. 3. (Riyadh : Maktabah Dar al-Salam, 1418 H./1998 M.), h. 641. lihat juga, Nuruddin Ali bin Abi Bakr al- Haitsami (w. 807 H), Majma' al-Zawaid wa Manba' al-Fawâid. Juz 9. (Beirut : Dar al-Kutub al- 'Ilmiyah, 1408 H/1988 M), h. 162-163 dan 168. Kemudian, yang dimaksud hadis madinat al-'Ilm ialah hadis yang berbunyi : "Ana madînat al-'ilm wa 'Aliy bâbuha". Lihat, Abu Bakar Ahmad bin 'Ali al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H.), Tarikh Baghdad. Juz. 2, h. 377, Juz. 4, h. 348, Juz. 7, h. 173, dan Juz. 11, h. 48 dan 204; lihat juga, Abi al-Fida' al-Hâfizh Ibn Katsir, Al-Bidayat wa al- Nihayat. Jld. IV. Juz. 7. (Beirut : Dar al-Fikr, 1398 H./1978 M.), h. 358. Selain ketiga hadis di atas terdapat pula hadis lain yang menyebutkan; Dari Murazim bin Hakim dan Musa bin Bukair, berkata : Kami mendengar Aba Abdillah as berkata : "Kami adalah ahl al-Bait, Allah swt. senantiasa akan mengutus dari keturunan kami orang-orang yang mengetahui kitab Allah dari awal hingga akhirnya. Lihat, Sa'ad 'Abdullah al-Asy'ari (w. 301 H.), Mukhtashâr Bashâir al- Darajat. (Qum : Majmu'ah Baqir al-'Ulum al-Tsaqafiyah, 1412 H.), h. 59.

67 Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhan fi Tafsir al-Qur'an. Jld. I. Cet. I., h. 28-37. 68 Al-Musyabbihah atau al-Mujassimah ialah mereka yang beranggapan kalau dzat Tuhan

itu menyerupai atau serupa (al-Tasybih) dengan manusia, apa yang ada pada Tuhan ada juga pada manusia seperti daging, darah, tulang, rambut, kepala, mata, dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka ini merupakan komunitas terbesar dari kaum Muslimin yang lain. Sedangkan Al-Mu'aththilah ialah mereka yang beranggapan bahwa seseorang tidak akan mungkin mengetahui Tuhan dengan akalnya atau makrifat kepada-Nya kecuali ada sebagian nash-nash yang jelas dalam menjelaskan hal tersebut, seperti penafsiran Malik bin Anas al-Ashbahi (w. 179 H.) ketika ditanya tentang bagaimana penafsiran ayat yang berbunyi "tsumma istawa 'ala al- 'Arsy," di mana ia menjawab bahwa kata al-Istiwa diartikan semayam dan ini bisa diketahui tapi bagaimana bersemayam Tuhan itu tidak dapat diketahui; seperti apa dan bagaimana, iman dengan semua itu hukumnya wajib dan menanyakan tentang hal tersebut bid'ah. Lihat, Muhammad bin 'Abd. Al-Karim bin Ahmad, Al- Milal wa al-Nihal, h. 93. Kemudian untuk lebih jelas mengenai bantahan kaum Syiah terhadap pendapat atau jawaban yang diberikan imam Malik di atas dalam menyikapi urusan "Tuhan bersemayam", mereka menampilkan beberapa riwayat atau pendapat dari jalur para imam ketika mereka manafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan Tuhan secara itu menyerupai atau serupa (al-Tasybih) dengan manusia, apa yang ada pada Tuhan ada juga pada manusia seperti daging, darah, tulang, rambut, kepala, mata, dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka ini merupakan komunitas terbesar dari kaum Muslimin yang lain. Sedangkan Al-Mu'aththilah ialah mereka yang beranggapan bahwa seseorang tidak akan mungkin mengetahui Tuhan dengan akalnya atau makrifat kepada-Nya kecuali ada sebagian nash-nash yang jelas dalam menjelaskan hal tersebut, seperti penafsiran Malik bin Anas al-Ashbahi (w. 179 H.) ketika ditanya tentang bagaimana penafsiran ayat yang berbunyi "tsumma istawa 'ala al- 'Arsy," di mana ia menjawab bahwa kata al-Istiwa diartikan semayam dan ini bisa diketahui tapi bagaimana bersemayam Tuhan itu tidak dapat diketahui; seperti apa dan bagaimana, iman dengan semua itu hukumnya wajib dan menanyakan tentang hal tersebut bid'ah. Lihat, Muhammad bin 'Abd. Al-Karim bin Ahmad, Al- Milal wa al-Nihal, h. 93. Kemudian untuk lebih jelas mengenai bantahan kaum Syiah terhadap pendapat atau jawaban yang diberikan imam Malik di atas dalam menyikapi urusan "Tuhan bersemayam", mereka menampilkan beberapa riwayat atau pendapat dari jalur para imam ketika mereka manafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan Tuhan secara

berdusta sebagian dari hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan syariah. 69 Bahkan konsep kema'shuman ini dianggap sebagai pokok dari orientasi

yang baik dalam urusan penafsiran al-Qur'an bagi ahl al-Bait. Hal ini tersitir dari ucapan 'Ali al-Ridha bin Musa as. ketika ditanya oleh 'Ali bin Muhammad al- Jahm yang pada saat itu hadir di Majlis al-Makmun bertanya tentang kemaksuman

nabi Yusuf as. dari godaan Zulaikha dalam Q.s. Yusuf / 12 : 24. 70 Dari pernyataan

ini terlihat bahwa andaikata nabi Yusuf as. tidak melihat tanda kekuasaan Tuhan- Nya maka ia telah jelas-jelas tidak terjaga dari perbuatan dosa, akan tetapi karena ia melihat tanda kekuasan-Nya maka ia tetap ma'shum. Konsep ma'shum ini dalam pemahaman syi'ah tidak terbatas kepada para nabi saja akan tetapi berlanjut kepada para imam ahl-Bait yang di yakini sebagai khalifah Allah dalam melanjutkan dakwah kenabian.

Dalam urusan ru'yatullah (Melihat Tuhan) mereka beranggapan mustahil melihat Tuhan (di dunia dan hari kiamat) nanti, karena melihat Tuhan dengan mata hanya diberikan kepada nabi Muhammad saw. saja dan setelah ia meninggal maka kenikmatan itu tidak dapat diberikan kepada yang lain karena keistimewaan yang diberikan kepadanya melebihi mahluk yang lain, termasuk para malaikat dan nabi, serta taat kepada Rasul berarti taat kepada-Nya, mengikuti rasul berarti mengikuti-Nya, menziarahi Rasul di dunia berarti sama dengan menziarahi-Nya di

langsung, seperti Q.s, Thaha / 20 : 50, al-Baqarah / 2 : 255, al-Maidah / 5 : 64, al-An'am / 6 : 3, dan sebagainya. Lihat, 'Abd. Al-'Ali bin Jum'at al-'Arusi al-Khuwaizi (w. 1112 H.), Tafsir Nur al- Tsaqalain, tahqiq Sayyid 'Ali 'Asyur. Juz. I. Cet. I. (Beirut : Muassasat al-Tarikh al-'Arabi, 1422 H./2001 M.), h. 65. Bandingkan dengan Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhân fî Tafsîr al- Qur'an. Jld. I. Cet. I., h. 30-31.

69 Syarif Murtadha, Tanzih al-Anbiya. (Qum : Al-Haidari, 1412 H.), h. 3. 70 Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. 7., h. 119-120.

akhirat berdasarkan Q.s. al-Nisa / 4 : 80 dan Q.s. al-Fath / 48 : 10. 71 Sementara kelompok ahli hadis dan pengikut Asy'ariyah yang merupakan kelompok mayoritas dalam Islam beranggapan, sangat mungkin seseorang untuk melihat Tuhan-Nya di hari kiamat nanti, karena Ia akan menampakan kepada manusia di hari kiamat seperti halnya bulan purnama tampak di malam kesempurnaanya, dan

pendapat tersebut didukung oleh beberapa riwayat dan ayat-ayat al-Qur'an. 72 Dalam urusan hidayat dan dhalâlah (kesesatan), Syiah beranggapan

kehidupan manusia di muka bumi ini tidak lepas dari keduanya sebagaimana kelompok Muslim yang lain (lihat, Q.s. al-Nahl / 16 : 93 dan Q.s. Ibrahim / 14 : 4). Akan tetapi menurut Syiah, keduanya dapat dibedakan, karena hidayah bersumber dari Allah swt. untuk kehidupan manusia, sedang kesesatan bersumber dari manusia itu sendiri, akan tetapi pada saat yang sama petunjuk dan kesesatan berjalan dalam kehidupan manusia sesuai dengan ikhtiyar dan ketetapan yang

dilakukan orang tersebut, serta mereka juga terkadang menafikan petunjuk dan kesesatan itu dan menjadikannya mutlak dari kehendak-Nya. 73 Hal ini sebagaimana tersitir dari perkataan Abu Ja'far Muhammad al-Baqir bin 'Ali Zain

71 Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhan fi Tafsir al-Qur'an. Jld. I. Cet. I., h. 34. Selain argumentasi di atas terdapat pula riwayat-riwayat yang disandarkan kepada nabi saw.

menyebutkan: "Barang siapa berkunjung kepadaku dalam kehidupanku atau setelah wafatku maka ia telah mengunjungi Allah swt." dan "Paling tinggi derajat di surga adalah derajat nabi, barang siapa mengunjunginya hingga ke derajatnya di surga dari sebagian tempatku maka ia benar-benar telah mengunjungi Allah swt." Lihat, Abu Ja'far Muhammad bin 'Ali al-Husnaini bin Babuyah al-Qumi (w. 381 H.), Al-Tauhid. Jld. 1. (Qum : Majmu'ah Baqir al-'Ulum al-Tsaqafiyah, 1412 H.), h. 120. Kitab "al-Tauhid" ialah termasuk kitab pokok di Syiah tentang dasar-dasar keilmuan yang bersumber dari argumentasi-argumentasi akal yang didukung ayat-ayat al-Qur'an, khabar-khabar mu'tabar dari para imam Syiah, analisa-analisa yang mendalam termasuk persoalan ketuhanan dan sebagainya. Selain kitab tersebut, Babuyah al-Qumi juga menulis "Ma'ani al- Akhbar", "Man la Yahdhuruh al-Faqih", "al-Miqna' wa al-Hiyah," dan "al-Khishal".

72 Di antara riwayat yang membahas hal tersebut seperti disebutkan Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H.), Shahih Muslim. Cet. I. (Beirut : Dar Ibn Hazm, 1416

H./1995 M.), h. 139-147. Di kitab ini terdapat 21 hadis; antara yang diulang dan yang tidak diulang baik dari teks sanad maupun matannya. Semua hadis-hadis yang tercantum terbagi dalam lima bab, yakni bab 77, 78/, 79, 80, dan 81 dalam "kitab al-Iman." Kemudian, adapun ayat al- Qur'an yang berbicara tentang persoalan tersebut ialah Q.s. al-Kiamat / 75 : 20-23. Menurut imam Asy'ari (w. 324 H.), ayat tersebut mengajarkan kepada kita tentang sesungguhnya Tuhan akan bisa dilihat dengan mata kita seperti terlihatnya rembulan di bulan purnama. Abu Musa al-Asy'ari, Al- Ibânah 'an Ushûl al-Diyânat, telah ditahqiq Fauqiyah Husain Mahmud. (Al-Hindi : Haidar Abad, 1421 H./1977 M.), h. 21; lihat juga, 'Ali 'Abd. Al-Fattah al-Mighzabi, Al-Firaq al-Kalamiyah al- Islamiyah; Madkhal wa Dirasat. Cet. II. (Al-Qahirah : Maktabah Wahbah, 1415 H./1995 M.), h. 268-271.

73 Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhân fi Tafsîr al-Qur'ân. Jld. I. Cet. I., h. 36.

al-'Abidin (w.114 H ) yang menafsirkan kalimat "la haula wa quwwata illa billah" dengan "kita tidak akan bisa menghindar dari maksiat kepada Allah swt. kecuali dengan pertolongan-Nya dan kita juga tidak akan bisa malaksanakan taat

kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya. 74 Dalam urusan Jibr (terpaksa/paksaan) dan tafwidh (berserah/kebebasan

mutlak), Syiah juga beranggapan atau berprinsip tengah-tengah di antara keduanya, dan karenanya mereka menamakan dirinya dengan al-Amr baina al-

Amrain. 75 Pengakuan prinsip ini sama persis seperti perkataan yang diberikan oleh Abu Ja'far al-Baqir dan Abu 'Abdillah al-Shadiq yang menyebutkan,

"sesungguhnya Allah swt. belas kasihan kepada hambanya daripada memaksanya bergelimang dosa-dosa, kemudian Ia menyiksa hamba itu karena dosa yang dilakukannya, Ia lebih mulia daripada Ia menghendaki lalu meniadakannya" bahkan keduanya juga ditanya, "apakah antara al-Jibr dan al-Qadr itu ada

tingkat yang ketiga ?," keduanya menjawab, "iya, dan itu lebih luas daripada isi langit dan bumi." 76 Dari sini terlihat jelas bahwa kelompok Syiah lebih menghindari Jibr dan Tafwidh dari kalamullah atau al-Qur'an. Semua yang disebutkan tentu semuanya pemikiran-pemikiran Syiah yang tumbuh dan berkembang sejak lama hingga sekarang.

Selain hal-hal yang telah disebutkan, dalam urusan penafsiran atau menafsirkan al-Qur'an Syiah juga senatiasa berpegang pada metode al-Qur'an ditafsirkan dengan al-Qur'an (tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an) sebagaimana Sunni. Dalam konteks ini, mereka berpendapat, barang siapa dalam tafsir al-Qur'an mengikuti metode ahl al-Bait maka ia telah dekat dengan mereka dan cara ini sudah dilakukan lama oleh mereka, bahkan metode yang digunakannya adalah metode yang paling utama dalam memahami al-Qur'an, karena al-Qur'an

74 Abu Ja'far Muhammad bin 'Ali al-Husnaini bin Babuyah al-Qumi (w. 381 H.), Al- Tauhid. Jld. 3., h. 242. Selain contoh di atas, di kitab tersebut disebutkan pula contoh lain baik

melalui riwayat-riwayat maupun penafsiran terhadap ayat al-Qur'an, dan untuk lebih jelas tentang masalah itu lihat di jilid lain dalam kitab yang sama. 75

Perlu dijelaskan di sini penamaan "al-Amr bain al-Amrain" ini dapat diduga keras dimotori oleh Abu 'Abdillah al-Shadiq pada saat ditanya tentang jibr dan tafwidh, dan mereka menjawab; "… bukan jibr dan tafwidh tapi amr baina amrain ". Lihat, Hasyim al-Husaini al- Bahrani, Al-Burhân fi Tafsîr al-Qur'ân. Jld. I. Cet. I., h. 36.

76 Abu Ja'far Muhammad bin 'Ali al-Husnaini bin Babuyah al-Qumi (w. 381 H.), Al- Tauhid. Jld. 3., h. 360.

merupakan sebaik-baik dalil mengurai al-Qur'an. Metode tersebut masih dilakukan oleh para ulama Syiah hingga sekarang, seperti yang dilakukan al- Thabathabai dalam al-Mîzân fî al-Tafsîr al-Qur'ân.

Selain semua itu, di kalangan Syiah juga menerima takwil sebagaimana para Sufi dalam menyikapi ayat-ayat al-Qur'an. 77 Masing-masing dari mereka, menerima takwil sebagai sebuah metode dalam memaknai ayat al-Qur’ân, terutama pada dimensi batin yang terkandung dalam sebuah ayat. Keduanya termasuk dalam kelompok yang menerima takwil dan (mungkin) yang terbanyak menggunakan takwil daripada sekte lain. Di antara dalil penggunaan takwil yang dilakukan Syiah terhadap al-Qur'an sebagaimana disebutkan Muhammad Hadi Makrifat berikut ini: 78

Tak satu ayat pun dalam al-Qur’ân kecuali memiliki makna lahir dan

batin. Dalam tradisi takwil Syiah, Nabi Muhammad saw. dianggap sebagai orang

pertama yang menggunakan takwil atau penafsiran secara esoterik. Bahkan, sekte Ismailiyah dan Bathiniyah dari kalangan Syiah hanya mengakui makna batin saja. Bagi mereka, makna batin al-Qur’ân hanya dapat disingkap oleh Nabi saw., dan dilanjutkan oleh imam ahl al-Bait yang maksum dan seolah diklaim sebagai ahli waris spiritual kenabian Nabi Muhammad saw. Bahkan, di kalangan mereka juga beranggapan bahwa semua ini yang terdapat dalam al-Qur’ân adalah mutasyâbihât dan dengan demikian dimungkinkan untuk dilakukan takwil. 79

77 Perihal penakwilan al-Qur’ân, pendapat ulama dapat diklasifikasi ke dalam tiga kelompok ulama. Pertama, kelompok yang menerima takwil, yaitu ulama Syiah, Muktazilah, dan

kalangan Sufi; Kedua, kelompok yang menolak takwil; dan Ketiga, kelompok yang hanya menerima sebagian bentuk takwil. Untuk lebih jelasnya lihat, Nasaruddin Umar, "Konstruksi Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah," dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol. II, No. 1, 2007.

78 Muhammad Hâdî Ma‘rifah, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fi Tsawbah al-Qasyîb. Juz. I. (T.tp.: al-Jâmi‘ah al-Ridhawiyyah li al-‘Ulûm al-Islâmiyyah, t.th.), h. 23.

79 Salah satu contoh dari model takwil yang diberikan oleh kalangan Syiah adalah pada saat mereka menafsirkan kata "Firaun" yang terdapat di Q.s. al-Baqarah / 2 : 49 (“Dan [ingatlah]

ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir`aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan- cobaan yang besar dari Tuhanmu”) dipahami sebagai Yazid ibn Muawiyah, karena Yazid telah membunuh anak laki-laki dan membiarkan anak perempuan hidup, juga menyembelih Hasan dan meracuni Husain kedua putera 'Ali bin Abi Thalib. Lihat, Nasaruddin Umar, "Konstruksi Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah," dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol. II, No. 1, 2007.

Orientasi dan metode penafsiran yang dibangun oleh Syiah di atas menunjukkan satu dasar, pokok dalam melihat prinsip atau keyakinan mereka, dan dari hal tersebut muncul sebuah metode sebagai sebuah keniscayaan dalam menyikapi dan memahami al-Qur'an, termasuk yang menggunakan metode tematik dalam menulis karyanya. Dengan demikian, orientasi pemikiran dan metode penafsiran al-Qur'an yang dilakukan Syiah menjadi hal yang signifikan pada saat menafsirkan al-Qur'an dan menulis tafsir al-Qur'an. Adapun sentral dari keyakinan, prinsip dan pemikiran Syiah adalah berakar dari permasalahan ushûl atau kalam, khususnya ishmah atau kemaksuman seorang imam di ahl al-Bait.

Kemudian, hal serupa juga dilakukan oleh Syiah adalah kalangan Sunni dalam memaknai atau menafsirkan al-Qur'an sebagai kitab pedomannya. Meskipun secara implisit telah disinggung di depan pada saat menguraikan orientasi pemikiran dan metode Syiah dalam menyikapi al-Qur'an. Di Sunni juga

memiliki orientasi dan pemikiran tafsir sebagaimana di kalangan Syiah, dan menurut hemat penulis, keduanya berangkat dari pemikiran ushul atau kalam yang diyakini atau dipegangani mereka.

Adapun pemikiran kalam yang dimaksud di Sunni, 80 ialah : 1) mereka tidak berpegang pada kebebasan manusia dan ikhtiyarnya, dan dengan ini mereka

beranggapan, bahwa semua perbuatan manusia berasal dari Tuhan tanpa terkecuali al-Kasb yang diupayakan oleh manusia tersebut, 2) kebaikan dan keburukan adalah satu esensi bagi sebuah perbuatan, bahkan keduanya dapat dinilai baik dan dapat pula dinilai buruk melalui syara', 3) keadilan (Tuhan) tidak dapat diwujudkan oleh akal tapi bisa diwujudkan melalui syara', 4) orang yang fasik dapat disebut sebagai orang beriman dan dengan ini boleh jadi ia termasuk

80 Sunni dalam kajian ilmu kalam seringkali diidentikan dengan Ahl al-Sunnah wa al- Jamaah, dan Abu al-Hasan al-Asy'ari (w. 324 H.) adalah syaikh dari kelompok tersebut.

Karenanya, berbicara Sunni berarti mereka yang menganut atau mengikuti paham-paham yang dibawa oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari, sedang untuk penamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah itu sendiri muncul setelah adanya perdebatan (selisih paham) tentang masalah tahkim antara Abu al- Hasan al-Asy'ari dengan Abu 'Ali Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Jubai (w. 303 H.), yang ketika itu adalah seorang gurunya juga imam Muktazilah di masanya. Dari sinilah, Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah berkembang secara perlahan hingga pada awal abad ke-5 H., bahkan paham tersebut pada tahun 408 H. telah menjadi sebuah madzhab resmi pemerintahan Abbasiyah yang ketika itu dipimpin Qadir Billah al-'Abbasi. Untuk lebih jelas mengenai perdebatan yang terjadi, lihat Muhammad Hadi Ma'rifah, Al-Tamhid fi 'Ulum al-Qur'an. Cet. 3. Jld. III. (Qum al-Musyarrafah : Muassasat al-Nasyr al-Islami, 1416 H.), h. 60-62.

kelompok al-'Ushat (bermaksiat) yang mendapatkan ampunan tanpa harus bertaubat, 5) percaya dengan adanya atau datangnya syafa'at di hari nanti, 6) tidak berpegang pada al-Tauhid al-Shifat akan tetapi berpegang pada al-Tauhid al- Af'ali, 7) al-Qadha dan al-Qadr adalah urusan khusus Tuhan dan kehendak-Nya adalah umum bagi semua mahluk, 8) segala kebaikan dan keburukan berasal dari Allah swt., 9) kalamullah baik berupa kalam nafsi (dzat) maupun lafdzi itu qadim,

10) segala perbuatan Allah swt. itu tanpa sebab dan tanpa akhir, 11) sesungguhnya Allah swt. dapat dilihat secara kasat mata (al-'Ain al-Mâdiyat) di Hari Kiamat

nanti, dan 12) Alam [selain Allah swt] adalah sesuatu yang baru. 81 Selain orientasi pemikiran tersebut, Sunni juga memiliki metode

penafsiran tersendiri dalam menulis karya tafsir al-Qur'an sebagaimana Syiah. Kalau Syiah memegang batin al-Qur'an maka kelompok Sunni berpegang pada zahir ayat-ayat al-Qur'an dan terhindar atau jauh dari akal dalam aktivitas

penafsiran. 82 Inilah metode penafsiran yang dilakukan ulama Sunni. Karena itu, dalam tradisi penafsiran mereka dalam menulis tafsir dikenal hirarkis metode penafsiran atau sebaik-baiknya metode tafsir ialah menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an (tafsîr al-Qur'ân bi al-Qur'ân), menafsirkan al-Qur'an dengan sunnah / hadis (tafsir al-Qur'ân bi al-Sunnah), menafsirkan al-Qur'an dengan perkataan sahabat (tafsir al-Qur'ân bi Qaul al-Shahâbat), dan menafsirkan

al-Qur'an dengan perkataan tabi'in (tafsir al-Qur'an bi Qaul al-Tabi'în). 83 Meskipun untuk penafsiran yang terkahir di kalangan mereka sendiri masih

disangsikan atau masih dalam perdebatan antar absah dan tidaknya menafsirkan al-Qur'an dengan perkataan tabi'in. Selain itu baik Sunni maupun Syiah keduanya sama-sama menggunakan metode tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an.

Selain orientasi pemikiran dan metode penafsiran, di Sunni juga dikenal metode takwil. Akan tetapi metode takwil bagi kaum Sunni digunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’ân (ataupun hadis) yang mengarah kepada paham

81 Muhammad 'Ali al-Ridha al-Ashfahani, Manahij al-Tafsir wa Ittijahatuhu; Dirasat Muqaranat fi Manahij Tafsir al-Qur'an al-Karim. Cet. I., h. 367-368.

82 Muhammad 'Ali al-Ridha al-Ashfahani, Manahij al-Tafsir wa Ittijâhatuhu; Dirâsat Muqâranah fi Manâhij Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm. Cet. I., h. 368.

83 Untuk keterangan dan penerapan tentang semua itu dapat lihat pada tafsir-tafsir Sunni, seperti Jami' al-Bayan karya al-Thabari (w. 310 H.), Tafsir al-Qur'an al-'Azhim karya Abu al-Fida

Isma'il bin Katsîr (w. 774 H.), al-Durr al-Mantsûr karya al-Suyuthi (w. 911 H.), dan sebagainya.

antropomorfisme. Kendati demikian, takwil dari kalangan Sunni ini dapat diklasifikasi lagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu ijmâlî dan tafshîlî. 84

Dengan demikian, baik orientasi pemikiran tafsir maupun metode yang digunakan di kalangan Sunni tampaknya memiliki kesamaan dan perbedaan, yakni berangkat dari ushul atau persoalan kalam, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Orientasi-orientasi dan pemikiran-pemikiran tersebut yang mendasari para ulama Sunni dalam menulis karya tafsirnya.

84 Adapun contoh yang ijmâlî seperti jawaban yang diungkapkan oleh Imam Malik sebagaimana disebutkan sebelumnya, sedangkan contoh yang tafshîlî seperti penakwilan terhadap

kata “ayd” yang terdapat di al-Qur'an dengan “kekuasaan.”Nasaruddin Umar, "Konstruksi Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah," dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol. II, No. 1, 2007.