Bioaktivitas Antioksidan dan Antiinflamasi Secara In Vitro serta Kandungan Kurkuminoid Temulawak dan Kunyit Asal Sukabumi
BIOAKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIINFLAMASI
IN VITRO SERTA KANDUNGAN KURKUMINOID
TEMULAWAK DAN KUNYIT ASAL SUKABUMI
NI LUH PUTU EKA KARTIKA SARI
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
NI LUH PUTU EKA KARTIKA SARI. Bioaktivitas Antioksidan dan
Antiinflamasi In Vitro serta Kandungan Kurkuminoid Temulawak dan Kunyit
Sukabumi. Dibimbing oleh WARAS NURCHOLIS dan LAKSMI AMBARSARI.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dan kunyit (Curcuma domestica) adalah
salah satu jenis tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang memiliki banyak
manfaat bagi kesehatan. Kedua rimpang ini memiliki kandungan kurkuminoid dan
bermanfaat sebagai antioksidan, serta antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis aktivitas antioksidan, antiinflamasi serta kadar kurkuminoid dari
ekstrak etanol temulawak dan kunyit asal Sukabumi. Metode HPLC digunakan
untuk mengukur kadar kurkuminoid. Aktivitas antioksidan (penangkapan radikal
bebas) dengan menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil).
Sedangkan, aktivitas antiinflamasi dianalisis dengan metode inhibisi enzim COX2 secara in vitro. Kadar kurkuminoid yang diperoleh pada temulawak sebesar
31.27 mg/g dan kunyit sebesar 66.32 mg/g. Aktivitas antioksidan pada kunyit
lebih tinggi dari temulawak karena nilai IC50 pada kunyit 73.31 μg/ml sedangkan
pada temulawak 81.99 μg/ml. Nilai % inhibisi terhadap penghambatan enzim
COX-2 diperoleh sampel kunyit sebesar 74.84 % sedangkan temulawak 67.96 %.
Berdasarkan penelitian ini, disimpulkan bahwa ekstrak etanol rimpang kunyit asal
Sukabumi memiliki kadar kurkuminoid, aktivitas antioksidan, dan antiinflamasi
yang lebih tinggi dari pada rimpang temulawak Sukabumi.
Kata kunci: kurkuminoid, antioksidan, antiinflamasi, temulawak, kunyit
ABSTRACT
NI LUH PUTU EKA KARTIKA SARI. In Vitro Antioxidant and AntiInflamatory Bioactivities and Curcuminoid Contents of Indonesia Curcuma
xanthorrhiza Roxb. and Curcuma domestica Val. Supervised by WARAS
NURCHOLIS and LAKSMI AMBARSARI.
Curcuma xanthorrhiza and Curcuma domestica are kind of medicinal plants
which have many health benefits. Both of them have curcuminoid content which
is useful as an antioxidant and anti-inflamatory. In this study, ethanol extracts of
C. xanthorrhiza and C. domestica promising lines from Sukabumi, Indonesia were
investigated for the presence of curcuminoids, antioxidant and anti-inflamatory
activities. HPLC method were used to determined curcuminoids content. The
antioxidant (radical scavenging) potential of the samples was evaluated using 2,2diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) free radical method. While for the antiinflamatory activity, the in vitro cyclooxygenase 2 (COX2) inhibition method was
used. The curcuminoid content of C. xanthorrhiza and C. domestica were 31.27
mg/g and 66.32 mg/g, respectively. IC50 values for DPPH radical scavenging
activity were 81.99 μg/mL and 73.31 μg/mL, with C. domestica having lowest
value and most potent than C. xanthorrhiza. Percent inhibition values for COX2
inhibitor activity were 74.84 % and 67.96 %, with C. domestica having the highest
value. In this study, the ethanol extracts of C. domestica promosing line from
Sukabumi of Indonesia exhibited most in curcuminoids content, antioxidants
properties and anti-inflamatory activity than C. xanthorrhiza promosing line.
Keywords: curcuminoid, antioxidant, anti-inflamatory, curcuma xanthorrhiza,
curcuma domestica
BIOAKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIINFLAMASI
IN VITRO SERTA KANDUNGAN KURKUMINOID
TEMULAWAK DAN KUNYIT ASAL SUKABUMI
NI LUH PUTU EKA KARTIKA SARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
1
Judul Skripsi
:
Nama
NIM
:
:
Bioaktivitas Antioksidan dan Antiinflamasi Secara In Vitro
serta Kandungan Kurkuminoid Temulawak dan Kunyit Asal
Sukabumi
Ni Luh Putu Eka Kartika Sari
G84080084
Disetujui
Komisi Pembimbing
Waras Nurcholis, S.Si, M.Si
Ketua
Dr.Laksmi Ambarsari, M.S
Anggota
Diketahui
Dr. Ir. I Made Artika, M.App. Sc.
Ketua Departemen Biokimia
Tanggal lulus :
2
PRAKATA
Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan kemudahan dalam penyusunan karya ilmiah yang
berjudul Bioaktivitas Antioksidan dan Antiinflamasi In Vitro serta Kandungan
Kurkuminoid Temulawak dan Kunyit Sukabumi. Penelitian ini dilakukan pada
bulan November 2011- Maret 2012 di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka,
Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian ini didukung oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi dalam kegiatan penelitian Hibah Kompetitif Penelitian
Strategis Unggulan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemetrian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Waras Nurcholis dan
Ibu Laksmi Ambarsari selaku komisi pembimbing atas bimbingan, arahan serta
nasehat dalam penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga
dipersembahkan kepada kedua orang tua penulis, adik Gede Sanjaya Adi Putra
atas doa dan kasih sayangnya. Terima kasih Penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir.
Latifah K Darusman selaku Kepala Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian
Bogor, serta seluruh staf laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, khususnya Ibu
Nunu, Mbak Wiwik, Mas Endi, dan Pak Zaim atas bantuan teknis dan saran yang
diberikan selama penelitian. Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh
dosen dan staf Departemen Biokimia IPB atas bantuan dan saran yang telah
diberikan.
Ucapan terima kasih penulis berikan kepada Lusianawati, Vita, Yoan, Dita,
Osa, Shelly, Annisa Rosyana, Nasodikin, Adit, Ucup, Reza, Faris, Iqbal Syukri
atas saran dan dukungan yang telah diberikan. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada I.B Dharma Yoga Santosa, Lilik Pratami, Meyga Semarayani, Mita, Ayus,
Debby, Made Ayu, Mayun, Wira, Dewa, Yuda, Joni atas doa, semangat,
dukungan moril serta segala motivasi untuk selalu berusaha menjadi lebih baik.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca serta
dapat menjadi langkah awal penulis untuk berjalan mencapai impiannya.
Bogor, Juni 2012
Ni Luh Putu Eka Kartika Sari
3
RIWAYAT HIDUP
Ni Luh Putu Eka Kartika Sari terlahir sebagai anak pertama dari Ketut
Suryadi dan Komang Suardani pada tanggal 5 Mei 1990. Penulis menyelesaikan
pendidikan jenjang menengah atas di SMA Negeri 3 Denpasar, Bali pada tahun
2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Departemen
Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur SNM-PTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri.
Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten
praktikum mata kuliah Kimia Dasar pada tahun ajaran 2011/2012. Pada tahun
2010 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan PKM-P (Program
Kreatifitas Mahasiswa bidang Penelitian) dengan judul karya ilmiah Fortifikasi
Yogurt Susu Kerbau (Dadih) Dengan Bifidobacterium bifidum dalam Bentuk
Tablet Hisap Effervescent. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan kegiatan
praktik lapang di Laboratorium Pangan dan Pakan Balai Pengawasan Mutu
Barang (BPMB) dengan karya ilmiah yang berjudul Studi Perbandingan Metode
Uji Komposisi Asam Lemak pada Minyak Goreng Secara Kromatografi Gas.
Penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi internal dan eksternal kampus.
Atas kemampuan organisasi yang baik, penulis pernah menjabat sebagai Ketua
divisi Sosial dan Lingkungan (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Institut
Pertanian Bogor (KMHD IPB) tahun 2009, sekretaris KMHD IPB tahun 2010,
bergabung dalam kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor (BEM KM IPB) Kementrian Pendidikan pada tahun
2011. Kegiatan organisasi di luar kampus, penulis pernah menjabat sebagai
sekretaris Brahmacarya Bogor pada periode kepengurusan 2009/2010 dan
2010/2011.
4
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak .......................................................................................................... 2
Kunyit .................................................................................................................. 3
Kurkuminoid ....................................................................................................... 3
Antioksidan ......................................................................................................... 4
Uji Antioksidan 2,2 Difenil-1-Pikril-Hidrazil ..................................................... 5
Inflamasi .............................................................................................................. 5
High Performance Liquid Chromatography ....................................................... 6
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat .................................................................................................... 7
Metode Penelitian ................................................................................................ 7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit .......................................................... 9
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit ....................... 10
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit .................... 11
Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit .................. 12
SIMPULAN .......................................................................................................... 13
SARAN ................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13
LAMPIRAN .......................................................................................................... 18
5
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Morfologi Tanaman (a) dan Rimpang Temulawak (b) ..................................... 2
2 Morfologi Tanaman (a) dan Rimpang Kunyit (b) .............................................. 3
3 Struktur Kimia Kurkuminoid ............................................................................. 4
4 Struktur Kimia DPPH ........................................................................................ 5
5 Diagram Alir HPLC ........................................................................................... 7
6 Format Micro plate Inhibisi COX-2 ................................................................. 9
7 Kadar Kurkuminoid Ekstrak Etanol Temulawak dan Kunyit ......................... 10
8 Jenis Senyawa Kurkuminoid Pada Temulawak dan Kunyit ........................... 11
9 Penghambatan Radikal Bebas DPPH Oleh Temulawak dan Kunyit ............... 11
10 Perubahan Warna DPPH Dalam Micro Plate .................................................. 11
11 Hasil Uji Antioksidan Ekstrak Temulawak dan Kunyit ................................... 12
12 Penghambatan COX-2 oleh Temulawak dan Kunyit ...................................... 13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Diagram Alir Penelitian ................................................................................... 19
2 Prosedur Ekstraksi Simplisia Temulawak dan Kunyit (BPOM 2005) ............. 20
3 Diagram Alir Uji Aktivitas Antioksidan Dengan Metode DPPH .................... 21
4 Preparasi Larutan Untuk Uji Aktivitas Inhibisi COX-2................................... 22
5 Rendemen Hasil Ekstraksi ............................................................................... 25
6 Hasil Pengukuran Kadar Kurkuminoid Temulawak Dengan HPLC ............... 26
7 Hasil Pengukuran Kadar Kurkuminoid Kunyit Dengan HPLC ....................... 27
8 Data Absorban Ekstrak Temulawak Sukabumi ............................................... 28
9 Data Absorban Ekstrak Kunyit Sukabumi ....................................................... 29
10 Pengaruh Sampel Terhadap % Inhibisi ............................................................ 30
11 Hasil Uji IC50 Sampel Temulawak dan Kunyit ................................................ 31
12 Kurva Standar Uji Inhibisi COX-2 .................................................................. 32
13 Data Uji Inhibisi Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit Sukabumi .......... 33
1
PENDAHULUAN
Penggunaan berbagai jenis tumbuhtumbuhan sebagai tanaman obat tradisional
telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia
jauh sebelum perkembangan obat-obatan
sintetik. Penggunaan obat-obatan tradisional
kembali meningkat seiring dengan kesadaran
masyarakat
terhadap
dampak
yang
ditimbulkan dari penggunaan obat-obatan
sintetik sehingga masyarakat beralih dari
konsumsi obat-obatan sintetik ke obat-obatan
tradisional. Perkembangan konsumsi obatobatan tradisional sebagai alternatif dalam
penyembuhan berbagai penyakit memicu
banyaknya penelitian di bidang biofarmaka
yaitu mengenai obat-obatan alami yang
berasal dari tumbuhan.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan
megabiodiversitas, yaitu suatu negara yang
memiliki keanekaragaman hayati flora dan
fauna yang sangat melimpah. Hal ini
didukung oleh keadaan geografis Indonesia
yang beriklim tropis dengan curah hujan ratarata tinggi sepanjang tahun. Sekitar 30.000
jenis tumbuhan yang ditemukan di Indonesia,
kurang lebih 7.000 diantaranya memiliki
khasiat sebagai obat. Beberapa jenis tanaman
yang diketahui berpotensi sebagai obat
fitofarmaka diantaranya temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) dan kunyit (Curcuma
domestica Val.). Karakteristik tanaman
sebagai obat fitofarmaka didasarkan pada
potensi tanaman tersebut sebagai antimikroba,
antioksidan, antifungi, antiinflamasi (Nuratmi
et al. 1996).
Temulawak merupakan salah satu jenis
tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang
potensial untuk dikembangkan dan merupakan
salah satu dari sembilan jenis tanaman
unggulan dari Direktorat Jenderal Pengolahan
Obat dan Makanan (Ditjen POM) yang
memiliki banyak manfaat sebagai bahan obat
(Hadipoentyanti & Syahid 2007). Rimpang
temulawak
memiliki
banyak
manfaat
diantaranya sebagai antimikroba (Hwang et
al. 2000), antikarsinogenik (Huang et al.
1998), antioksidan (Masuda et al. 1992),
antiinflamasi (WHO 1999), sedangkan kunyit
biasanya digunakan sebagai zat pewarna,
bahan baku industri, obat-obatan tradisional
dan bumbu masak. Berbagai penelitian telah
membuktikan manfaat yang dimiliki oleh
kunyit,
yaitu
sebagai
antihepatoksik,
antikolesterol, obat tumor, dan kanker. Sama
halnya dengan temulawak, kunyit juga
berkhasiat
sebagai
antiinflamasi
dan
antioksidan (Unnikrishnan & Rao 1995).
Salah satu komponen senyawa aktif yang
bertanggung jawab terhadap respon biologis
yang dimiliki temulawak dan kunyit adalah
kurkuminoid (Permadi 2008). Kurkuminoid
adalah pemberi warna kuning pada rimpang
temulawak
dan
kunyit.
Kurkuminoid
mempunyai aroma yang khas dan tidak
bersifat toksik (Sidik et al. 1995). Salah satu
efek farmakologi yang dimiliki kurkuminoid
adalah sebagai antiinflamasi (Banerjee et al.
2003), antitumor (Khar et al. 1999). Menurut
Jayaprakash et al. (2006) kurkuminoid
berpotensi sebagai antioksidan (pertahanan
terhadap serangan radikal bebas).
Kondisi stres dan meningkatnya usia pada
seseorang akan memicu pembentukan radikal
bebas. Radikal bebas adalah senyawa yang
mengganggu sistem kekebalan tubuh, pemicu
beberapa penyakit degeneratif seperti kanker,
katarak, diabetes melitus, dan penyakit
jantung koroner. Stres oksidatif adalah suatu
keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh
kurang dari yang diperlukan untuk meredam
efek buruk radikal bebas yang merusak
kelangsungan hidup sel dan jaringan (Bagiada
2010). Serangan berbagai penyakit degeneratif
di tubuh tidak terlepas dari mekanisme
inflamasi. Proses inflamasi adalah respon
proteksi dari tubuh apabila ada cedera
jaringan atau infeksi akibat adanya agen-agen
berbahaya. Namun, respon ini dapat
menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang
bisa membawa kematian atau kerusakan organ
sehingga proses inflamasi di tubuh harus
dihambat melalui kerja enzim yang berperan
agar sesuai dengan kebutuhan perlindungan
tubuh (Hayes & Kee 1996).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
aktivitas antioksidan, antiinflamasi serta
kandungan kurkuminoid pada rimpang
temulawak dan kunyit Sukabumi melalui uji
antioksidan dengan metode DPPH untuk
mendapatkan nilai Inhibition Concentration
(IC50) terbaik dari temulawak dan kunyit, uji
antiinflamasi dengan Colorimetric COX
Inhibitor Screening Assay, serta menentukan
kandungan kurkuminoid dengan High
Performance
Liquid
Chromatography
(HPLC). Hipotesis penelitian adalah kedua
ekstrak rimpang temulawak dan kunyit
Sukabumi memiliki potensi bioaktivitas yang
tinggi. Potensi bioaktivitas dilihat berdasarkan
hasil uji antioksidan dan uji antiinflamasi pada
sejumlah sampel yang dilakukan. Penelitian
ini nantinya diharapkan dapat memberikan
informasi ilmiah mengenai daerah sentra
pembudidayaan rimpang temulawak dan
rimpang kunyit yang memiliki potensi serta
2
kualitas metabolit sekunder yang baik terlihat
dari potensinya sebagai antioksidan dan
antiinflamasi.
Hasil penelitian terhadap potensi rimpang
temulawak dan kunyit Sukabumi sebagai
antioksidan, antiinflamasi serta kandungan
kurkuminoid diharapkan mampu menjadikan
daerah
Sukabumi
menjadi
daerah
pembudidayaan temulawak dan kunyit dengan
kualitas metabolit sekunder yang baik.
Kandungan metabolit sekunder yang baik
tentunya meningkatkan potensi bioaktivitas
dan efek farmakologis dari temulawak dan
kunyit.
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak
Temulawak merupakan tanaman obat
berupa tumbuhan rumpun berbatang semu
(Gambar
1).
Temulawak
(Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) adalah tanaman yang
berasal dari daerah Jawa, Bali, dan Maluku.
Curcuma berasal dari bahasa arab kurkum
yang berarti kuning, sedangkan xanthorriza
berasal dari bahasa Yunani xantos yang
berarti kuning dan rhiza yang berarti akar.
Sesuai dengan klasifikasi botani, temulawak
termasuk dalam kingdom Plantae, divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospemae,
kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales,
famili Zingiberaceae, genus Curcuma dan
nama spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb.
(Rukmana 2006).
Tumbuhan temulawak adalah tumbuhan
tahunan yang berbatang tegak dengan tinggi
kurang lebih 2 m, berwarna hijau atau coklat
gelap. Pada Gambar 1a terlihat bahwa pada
tanaman
temulawak,
tiap
batangnya
mempunyai daun 2–9 helai dengan bentuk
bundar memanjang, berwarna hijau atau
coklat keunguan terang sampai gelap (Sidik et
al. 1995). Sebagai tanaman monokotil,
a
temulawak tidak memiliki akar tunggang.
Akar yang dimiliki adalah rimpang. Akar
rimpang temulawak
terbentuk dengan
sempurna, bercabang-cabang kuat. (Afifah
2003). Rimpang temulawak sering disebut
umbi temulawak. Umbi batang temulawak
berbentuk bulat telur sebesar telur ayam
namun terkadang ada yang lebih besar
(Gambar 1b). Umbi batang ini dinamakan
rimpang
yang penampang pinggirnya
berwarna kuning muda, sedangkan bagian
dalamnya berwarna kuning tua, aromanya
tajam dan rasanya pahit (Darwis 1991).
Kandungan kimia rimpang temulawak
sebagai sumber bahan pangan, bahan baku
industri atau bahan baku obat dapat dibedakan
atas
beberapa
senyawa,
yaitu
pati,
kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri (Sidik
et al. 1995). Kadar seluruh fraksi kandungan
bioaktif pada temulawak tersebut bervariasi
diantaranya pati (48 - 59.64%), kurkuminoid
(1.6 - 2.2%), dan minyak atsiri (1.48 - 1.63%)
(Sidik et al. 1995). Rimpang temulawak telah
digunakan oleh nenek moyang bangsa
Indonesia untuk makanan, tujuan pengobatan,
dan sebagai penambah energi
Tanaman temulawak merupakan satu dari
beberapa jenis Curcuma yang dikenal dan
banyak dikonsumsi masyarakat. Tanaman
temulawak memiliki kandungan flavonoid dan
minyak atsiri yang berpotensi sebagai
antioksidan (Rachman et al. 2008). Di
Indonesia
satu-satunya
bagian
yang
dimanfaatkan adalah rimpang dari temulawak
untuk dibuat jamu godog. Rimpang
temulawak dipercaya dapat meningkatkan
kerja ginjal serta antiinflamasi. Manfaat lain
dari rimpang tanaman ini adalah sebagai obat
jerawat,
meningkatkan
nafsu
makan,
antikolesterol,
antiinflamasi,
anemia,
antioksidan,
pencegah
kanker,
dan
antimikroba (Rukmana 2008).
b
Gambar 1 Morfologi tanaman (a) dan rimpang temulawak (b)
3
Kunyit
Kunyit (Curcuma domestica Val.)
merupakan salah satu tanaman rempah dan
obat. Habitat asli tanaman kunyit meliputi
wilayah Asia khususnya Asia Tenggara.
Tumbuhan kunyit tergolong dalam kingdom
Plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi
Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo
Zingiberales, suku Zingiberaceae, genus
Curcuma dan spesies Curcuma xanthorrhiza
Val. Tanaman kunyit dapat hidup dengan baik
pada suhu yang berkisar antara 20-300C
dengan curah hujan 1500-2000 mm/tahun
(Rukmana 2008). Tanaman kunyit memiliki
daun besar berbentuk lonjong dengan ujung
yang meruncing dan berwarna hijau (Gambar
2a). Tanaman kunyit tumbuh pada daerah
dataran rendah hingga 2000 meter diatas
permukaan laut dan memiliki tinggi kurang
lebih 40-100 cm.
Sama halnya dengan tanaman temulawak,
tanaman kunyit tidak memiliki akar tunggang
karena merupakan tumbuhan monokotil.
Tanaman kunyit memiliki akar berupa
rimpang. Khasiat terbaik rimpang kunyit yang
digunakan sebagai obat terdapat pada rimpang
induk yang warna bagian dalamnya
kemerahan dan masih segar (Gambar 2b).
Rimpang kunyit banyak digunakan oleh
masyarakat sebagai bagian dari rempahrempah untuk berbagai masakan, obat, dan
bahan kecantikan. Rimpang kunyit juga
mengandung tepung dan zat warna yang
mengandung alkaloid kurkumin sehingga
memiliki manfaat untuk bahan obat tradisional
serta bahan baku industri jamu dan kosmetik,
dan bahan bumbu masak. Selain itu rimpang
tanaman kunyit juga bermanfaat sebagai
antiinflamasi,
antioksidan,
antimikroba,
antidiabetes, pencegah kanker, dan antitumor
(Syukur 2010).
Rimpang kunyit mengandung senyawa
bioaktif yang berkhasiat sebagai obat yakni,
senyawa kurkuminoid yang terdiri atas tiga
senyawa yaitu: kurkumin, demetoksikurkumin
dan
bisdemetoksikurkumin.
Beberapa
kandungan senyawa lainnya dari rimpang
kunyit adalah resin, oleoresin, dan minyak
atsiri yang terdiri atas senyawa monoterpen,
dan sesquiterpen meliputi zingiberin, αtumeron, β-tumeron, tumerol, α-atlanton, dan
linalool (Oomah 2000). Menurut Rustam et al.
(2007), kurkuminoid yang terkandung di
dalam kunyit sebagai senyawa isolasi maupun
kurkuminnya mempunyai aktivitas yang
sangat luas, diantaranya sebagai antioksidan
(Hudayani 2008).
a
b
Gambar 2 Morfologi tanaman (a) dan
rimpang kunyit (b)
Kurkuminoid
Kurkuminoid
merupakan
senyawa
golongan flavonoid. Peningkatan kadar
kurkuminoid berhubungan dengan penurunan
kadar protein. Kadar protein yang mengalami
penurunan disebabkan karena protein diubah
menjadi kurkuminoid pada rimpang yang akan
digunakan untuk regenerasi. Pada umumnya
metabolit sekunder akan meningkat apabila
tanaman
mengalami
cekaman
dari
lingkungannya (Fatmawati 2008).
Kurkuminoid adalah komponen yang
memberikan warna kuning pada rimpang
temulawak
dan
kunyit.
Kurkuminoid
berwarna kuning atau kuning jingga, dan
berbentuk serbuk dengan rasa pahit.
Kurkuminoid larut dalam aseton, alkohol,
asam asetat glasial, dan alkali hidroksida.
Kurkuminoid tidak larut dalam air dan dietil
eter. Kurkuminoid mempunyai aroma yang
khas dan bersifat toksik (Sidik et al. 1995).
Senyawa kurkuminoid pada rimpang
temulawak terdiri dari dua komponen
senyawa kurkuminoid, yaitu kurkumin dan
demetoksikurkumin. Lain halnya, dengan
rimpang kunyit mengandung kurkuminoid
yang terdiri dari tiga komponen senyawa
turunan
kurkuminoid,
yaitu
senyawa
kurkumin,
demetoksikurkumin,
serta
bisdemetoksikurkumin. Sifat menarik dari
bisdemetoksikurkumin ini adalah aktivitas
kerjanya tehadap sekresi empedu antagonis
5
antioksidan maksimal yang diperbolehkan
dalam campuran makanan adalah sebesar 200
ppm (Hernani & Rahardjo 2005).
Uji Antioksidan 2,2 Difenil-1-PikrilHidrazil
Metode pengujian aktivitas antioksidan
diklasifikasikan berdasarkan transfer atom
hidrogen dan transfer elektron. Metode
transfer elektron pengukurannya didasarkan
pada kapasitas antioksidan dalam mereduksi
senyawa oksidan yang ditandai dengan
perubahan warna ketika direduksi. Terdapat
beberapa metode untuk menentukan aktivitas
antioksidan, diantaranya DPPH (2,2-difenil-1pikrilhidrazil),
Cupric
Ion
Reducing
Antioxidant (CUPRAC) dan Ferric Reducing
Ability of Plasma (FRAP) (Apak et al. 2007).
Reagen atau senyawa DPPH yang
digunakan dalam pengujian ini ditemukan
pertama kali pada tahun 1922 oleh
Goldschmidt dan Renn (Ionita 2003).
Senyawa DPPH adalah komponen berwarna
ungu yang tidak berdimerisasi dan berbentuk
kristalin. Senyawa tersebut adalah radikal
bebas yang stabil karena serapan delokalisasi
elektron pada seluruh molekul. Delokalisasi
yang terjadi pada senyawa radikal bebas
terjadi karena adanya warna violet tua dengan
panjang gelombang maksimum.
Senyawa atau reagen DPPH merupakan
senyawa yang tidak larut dalam air atau
disebut dengan senyawa hidrofobik. Senyawa
DPPH ini dapat berubah dari senyawa
hidrofobik ke hidrofilik dengan cara
melekatkan gugus CO maupun SO2 pada
DPPH. Berdasarkan karakteristiknya yang
merupakan senyawa radikal bebas yang stabil
maka reagen ini dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama tentunya pada kondisi
penyimpanan yang baik seperti tempat kering
(Ionita 2003).
Metode DPPH menggunakan reagen atau
senyawa DPPH sebagai model radikal bebas.
Selain sifat pengujiannya yang lebih
sederhana, metode DPPH memiliki beberapa
keunggulan lainnya, yaitu cepat, sensitif, dan
hanya membutuhkan sedikit sampel (Apak et
al. 2004). Penggunaan DPPH dalam pengujian
antioksidan harus diperhatikan sifat DPPH
terhadap pengaruh lingkungan penyimpanan.
Pada penggunaan DPPH harus dilakukan
secara hati-hati yang diinterpretasikan setelah
direaksikan dengan senyawa antioksidan
karena dapat didegradasi oleh cahaya,
oksigen, pH, dan jenis pelarut. Metode DPPH
dapat digunakan untuk screening berbagai
sampel
dalam
penentuan
aktivitas
antioksidannya (Molyneux 2004).
Pengukuran aktivitas antioksidan dengan
metode
DPPH
menggunakan
prinsip
spektrofotometri.
Prinsip
metode
uji
antioksidan DPPH didasarkan pada reaksi
penangkapan hidrogen oleh reagen atau
senyawa DPPH (Gambar 4) dari senyawa
antioksidan. Senyawa yang aktif sebagai
antioksidan mereduksi radikal bebas DPPH
menjadi senyawa difenil pikril hidrazin (Amic
et al. 2003). Reaksi yang terjadi ialah DPPH
akan diubah menjadi DPPH-H (bentuk
tereduksi DPPH) oleh senyawa antioksidan.
Reduksi
DPPH
menjadi
DPPH-H
menyebabkan perubahan warna pada reagen
DPPH dari warna semula ungu menjadi
kuning (Lupea et al. 2006).
Metode
DPPH
dapat
memberikan
informasi mengenai reaktifitas senyawa yang
diuji dengan suatu radikal yang stabil.
Penangkapan radikal bebas menyebabkan
elektron menjadi berpasangan yang kemudian
menyebabkan
perubahan
warna
yang
sebanding dengan jumlah elektron yang
diambil. DPPH hanya dapat mengukur
senyawa antioksidan yang terlarut dalam
pelarut organik. Pengukuran absorbansi DPPH
dapat dilakukan pada kisaran panjang
gelombang 515-520 nm (Molyneux 2004).
Gambar 4 Stuktur kimia DPPH
(Kikuzaki et al. 2002)
Inflamasi
Inflamasi adalah respon protektif tubuh
karena adanya cedera jaringan dan infeksi
yang terjadi pada tubuh serta reaksi antara
antigen dan antibodi. Antibodi merupakan
sistem pertahanan tubuh terhadap bakteri,
virus, dan sel-sel asing lainnya yang dilakukan
oleh sel darah putih. Sel antibodi akan
menghadapi sel antibodi yang telah berubah
menjadi antigen dan akan menyerang sendi
serta organ eksternal lainnya, peristiwa
tersebut dapat menyebabkan terjadinya
inflamasi (Darlina & Wahyuni 2004).
Ciri-ciri terjadinya inflamsi adalah timbul
kondisi merah (rubor), panas (kalor), bengkak
6
(tumor), nyeri (dolor), dan akhirnya
menyebabkan gangguan fungsi (fungtio lasea)
(Hakim 2005). Penyebab inflamasi atau
cedera jaringan antara lain karena pengaruh
bahan kimia, mekanis atau fisika, seperti
trauma radiasi, panas, benda asing serta
trauma biologis seperti bakteri, fungi atau
parasit. Proses inflamasi merupakan suatu
mekanisme perlindungan dimana tubuh
berusaha untuk menetralisir dan membasmi
agen-agen yang berbahaya pada tempat cedera
serta
mempersiapkan
keadaan
untuk
perbaikan jaringan (Mitchell 2006).
Adanya pencederaan jaringan akan
membebaskan berbagai jenis mediator
inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin,
histamin, dan sebagainya. Salah satu mediator
inflamasi yaitu prostaglandin merupakan
kelompok senyawa turunan asam lemak
prostanoat (C20). Asam arakidonat merupakan
zat terpenting untuk mensintesis prostaglandin
pada manusia (Kartasasmita 2002).
Prostaglandin adalah senyawa lipida yang
dibangun oleh 20 atom karbon sebagai
pembentuk
rantai
utamanya
dengan
mengandung gugus hidroksil (-OH) pada
strukturnya. Prostaglandin dihasilkan oleh
jaringan yang sedang terluka atau sakit yang
disintesis dari asam lemak arakidonat.
Prostaglandin berperan penting terhadap
timbulnya nyeri, demam, dan reaksi-reaksi
inflamasi lainnya maka obat antiinflamasi
berbasis non steroid melalui penghambatan
(inhibisi) aktivitas enzim siklooksigenase
mampu menekan gejala-gejala tersebut. Obat
antiinflamasi non steroid dengan cara
menghambat biosintesis prostaglandin melalui
penghambatan (inhibisi) aktivitas enzim
siklooksigenase (Dannhardt & Laufer 2000).
Saat ini dikenal dua isoenzim COX
(Siklooksigenase), yaitu COX-1 dan COX-2.
Enzim COX-1 berfungsi sebagai enzim
constitutive yaitu mengubah PGH2 menjadi
berbagai jenis prostaglandin (PGI2, PGE2)
dan tromboxan yang dibutuhkan dalam fungsi
homeostatis. Enzim COX-2 yang terdapat di
dalam sel-sel imun (makrofag dan lainnya),
sel endotel pembuluh darah, dan fibroblas
sinovial sangat mudah diinduksi oleh berbagai
mekanisme sehingga akan mengubah PGH2
menjadi PGE2 yang berperan dalam proses
inflamasi, yaitu nyeri dan demam. Oleh
karena itu, COX-2 dikenal sebagai enzim
inducible. Pada kenyataannya, baik COX-1
dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat
diinduksi (Lelo 2001).
Enzim COX-1 mengkatalisis pembentukan
prostaglandin baik yang bertanggung jawab
untuk menjalankan fungsi-fungsi regulasi
fisiologis (Dannhardt & Laufer 2000).
Sebaliknya, enzim COX-2 tidak ditemukan di
jaringan pada kondisi normal, tetapi diinduksi
oleh berbagai stimulus, seperti endotoksin,
sitokin, mitogen, dan dihubungkan dengan
produksi prostaglandin selama proses
inflamasi, nyeri, dan respon piretik (Zhang et
al. 2004). Enzim COX-2 dapat diinduksi
apabila terdapat stimuli radang, mitogenesis
atau onkogenesis (Dannhardt & Laufer 2000).
Menurut Danhardt & Laufer (2000),
inflamasi tidak akan terlepas dari adanya
senyawa prostaglandin. Mekanisme inflamasi
yang terjadi di dalam tubuh bermula pada
membran sel atau jaringan yang mengalami
sakit atau terluka. Enzim fosfolipase dalam
tubuh dari membran sel menghasilkan asam
arakidonat yang nantinya akan melalui dua
jalur tahapan yaitu siklooksigenase dan
lipoksigenase. Pada jalur siklooksigenase,
akan terbentuk endoperoksida sedangkan pada
jalur
lipoksigenase
terbentuk
asam
hidroperoksida. Setelah proses stimulasi, dua
enzim siklooksigenase mulai mensintesis
pembentukan modulator peradangan seperti
halnya
enzim
COX-2
mengkatalisis
pembentukan prostaglandin jahat yang
menyebabkan radang (Dannhardt & Laufer
2000).
High Performance Liquid Chromatography
Kromatografi
adalah
suatu
teknik
pemisahan molekul berdasarkan perbedaan
pola pergerakan antara fase gerak dan fase
diam untuk memisahkan komponen yang ada
pada larutan sampel. Komponen-komponen
tersebut dipisahkan berdasarkan perbedaan
sifat fisiknya. Salah satu jenis kromatografi
adalah
High
Performance
Liquid
Chromatography (HPLC) yang merupakan
teknik kromatografi dengan fase gerak berupa
cairan (Harvey 2000). Kromatografi cair
kinerja
tinggi
dikembangkan
pada
pertengahan tahun 1970-an.
HPLC terdiri dari beberapa bagian
penting, yaitu: fase gerak, pompa, unit sistem
penginjeksian sampel, kolom dan detektor.
Cara kerja analisis sampel dari HPLC
didasarkan pada bantuan pompa untuk fase
gerak cair yang dialirkan melalui kolom ke
detektor. Sampel kemudian dimasukkan ke
dalam aliran fase gerak dengan cara
penyuntikan. Di dalam kolom terjadi
pemisahan komponen-komponen campuran
dikarenakan perbedaan kekuatan interaksi
antara larutan sampel terhadap fase diam.
7
Selanjutnya, sampel akan keluar kolom dan
dideteksi oleh detektor kemudian direkam
dalam pengolah data dalam bentuk
kromatogram (Gambar 5) (Meyer 2004).
Seperti pada kromatografi gas, jumlah peak
yang muncul
menyatakan konsentrasi
komponen
dalam
campuran.
Sistem
komputerisasi digunakan untuk mengontrol
kerja sistem HPLC dan mengumpulkan serta
mengolah data hasil pengukuran HPLC.
Prinsip dasar HPLC adalah pemisahan
analit berdasarkan kepolarannya, dengan fase
diam berupa kolom dan larutan tertentu
sebagai fase geraknya. Teknik HPLC
digunakan untuk memisahkan senyawasenyawa yang tidak mudah menguap tetapi
mudah terurai oleh panas. HPLC digunakan
untuk memisahkan golongan minyak,
misalnya terpenoid tinggi, segala senyawa
jenis fenol, alkaloid, lipid dan gula. Selain
untuk pemisahan, metode ini juga digunakan
untuk analisis kualitatif maupun kuantitatf
seperti penentuan kadar kurkuminoid.
Keuntungan menggunakan HPLC adalah
jumlah contoh yang digunakan sedikit
(mikroliter), waktu retensi hanya beberapa
menit,
dan
batas
deteksi
sampai
nanogram/liter (Hendayana et al. 1994).
Wadah fase gerak
Pompa
Injeksi
sampel
Kolom
Detektor
Pengolah data
Gambar 5 Diagram alir HPLC
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rimpang temulawak dan
kunyit asal Sukabumi, etanol 70 %, metanol,
standar
kurkuminoid
(kurkumin,
demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin),
DPPH (2,2 difenil-1-pikril hidrazil), DMSO
(Dimethyl Sulfoxyde), kit colorimetric COX
inhibitor screenin assay No. 560131 (Cayman
Chem Com 2011), UltraPure water,
aluminium foil.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini,
diantaranya gelas piala, gelas ukur, tabung
reaksi, gelas arloji, labu takar, cawan petri,
sudip, spatula, pipet mikro, tip, vortex, micro
plate, oven, rotavapor, penggiling 100 mesh,
freezer, neraca digital, dan micro plate reader.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Sampel basah terdiri atas 20 kg rimpang
temulawak dan 20 kg rimpang kunyit.
Masing-masing sampel dibersihkan dan dicuci
menggunakan air mengalir sampai semua
tanah dan kotoran yang menempel pada
simplisia hilang. Semua simplisia yang telah
bersih dipotong, selanjutnya dikeringkan di
bawah sinar matahari selama 5 hari.
Kemudian setiap simplisia kasar dari masingmasing sampel digiling dengan ukuran 100
mesh. Ukuran serbuk simplisia masingmasing sampel yang digunakan adalah 100
mesh (telah menjadi simplisia kering dengan
kadar air ≤ 10%).
Penentuan Kadar Air (AOAC 2006)
Cawan porselen kosong dikeringkan pada
suhu 1050C selama 30 menit di dalam oven.
Cawan
porselen
tersebut
selanjutnya
didinginkan di dalam eksikator dan ditimbang
sebagai bobot kosong cawan. Sebanyak 2
gram simplisia dimasukkan ke dalam cawan
dan dikeringkan pada suhu 1050C selama 3
jam. Setelah itu, cawan yang berisi simplisia
didinginkan dalam eksikator dan ditimbang
kembali sebagai bobot kering sampel.
Perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali
ulangan.
Ekstraksi Sampel Rimpang (BPOM 2005)
Pada teknik maserasi menggunakan
pelarut etanol 70% dengan perbandingan
simplisia dengan pelarut (b/v) adalah 1:10.
Sebanyak 0,5 kg simplisia dan 5 L etanol 70%
dimasukkan ke dalam maserator dan direndam
sambil sesekali diaduk, kemudian didiamkan
sampai 24 jam. Selanjutnya, maserat
dipisahkan dengan menyaring filtrat dengan
menggunakan kertas saring Whatman tipe 4.
Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan
dengan rotavapor penguap vakum (BUCHI,
R-250, Switzerland) pada suhu 500C hingga
diperoleh ekstrak kental. Ekstrak simplisia
8
yang telah pekat siap digunakan untuk
penelitian selanjutnya.
Analisis Kadar Komponen
Temulawak
Menggunakan
(Jayaprakasha et al. 2002)
Bioaktif
HPLC
Sebanyak 25 mg ekstrak rimpang
temulawak dan kunyit ditimbang dan
dilarutkan ke dalam 5 ml metanol. Larutan
disaring dengan kertas saring yang berukuran
0,45 μm dan ditempatkan pada vial HPLC.
Sebanyak 10 μL dari larutan ekstrak sampel
temulawak dan kunyit yang berasal dari
Sukabumi diinjeksikan ke dalam kolom
HPLC. Senyawa standar kurkuminoid yang
digunakan memiliki konsentrasi sebesar 0,5
ppm. Kondisi HPLC untuk analisis ini
digunakan jenis kolom C18 detektor UV Vis
dengan volume injeksi 10 μl, elusi gradien dan
suhu kolom yang digunakan yaitu pada 480 C.
Analisis kadar kurkuminoid dengan HPLC
menggunakan fase gerak polar yaitu metanol.
Analisis Aktivitas Antioksidan dengan
Metode DPPH (Udenigwe et al. 2009)
Ekstrak kental dari sampel temulawak dan
kunyit Sukabumi dari hasil maserasi
dilarutkan dengan metanol dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Modifikasi metode
dilakukan dengan mengubah konsentrasi
ekstrak yang digunakan untuk analisis yaitu
12,5, 25, 50, 100, 200 ppm. Larutan induk
untuk masing-masing sampel temulawak dan
kunyit Sukabumi yaitu 200 ppm dibuat
dengan menimbang 1 mg sampel dan
ditambahkan dengan 5 ml metanol.
Pembuatan larutan DPPH dilakukan dengan
menimbang 1,23 mg DPPH kemudian
diencerkan dengan metanol hingga 25 ml
menggunakan labu takar. Larutan sampel
dengan konsentrasi 12,5 ppm, 25 ppm, 50
ppm, 100 ppm dan 200 ppm dimasukkan ke
dalam masing-masing sumur (well plate) dan
dilakukan masing-masing tiga kali ulangan
sebanyak 100 μL setiap sampel dengan
masing-masing konsentrasi tersebut.
Pada masing-masing sumur ditambahkan
100 μL larutan DPPH 0,1 μM hingga volume
akhir yang terdapat pada sumur yaitu 200 μL.
Selanjutnya, diinkubasi pada suhu 370C
selama 30 menit dan diukur serapannya
menggunakan ELISA reader dengan panjang
gelombang 517 nm. Nilai absorbansi yang
diperoleh selanjutnya digunakan untuk
mendapatkan persen penangkapan radikal
bebas dan digunakan untuk mendapatkan
persamaan regresi linier dengan rumus yaitu
y = a + b ln x. Nilai IC50 dihitung dengan
menggunakan rumus persamaan regresi
tersebut (Lampiran 11). Nilai IC50 yang paling
rendah menunjukkan aktivitas antioksidan
yang paling tinggi.
Uji Daya Inhibisi Ekstrak Etanol Rimpang
Temulawak
dan
Kunyit
Sukabumi
terhadap Enzim COX-2 Secara In Vitro
(Cayman Chemical Catalog No. 560131).
Ekstrak diuji daya inhibisinya terhadap
enzim COX-2. Uji daya inhibisi dilakukan
dengan metode ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay), dengan menggunakan
COX Inhibitor Screening Assay Kit (Cayman
Chemical Catalog No. 560131) ) (Lampiran
4). Uji daya ekstrak etanol rimpang
temulawak dan kunyit dilakukan pada micro
plate yang telah disiapkan (Gambar 6).
Selajutnya hasil reaksi inhibisi antara sampel
rimpang temulawak dan kunyit Sukabumi
terhadap enzim COX-2 dibaca serapannya
menggunakan ELISA reader.
Preparasi larutan-larutan yang digunakan
pada uji aktivitas enzim COX-2 dapat dilihat
pada Lampiran 4. Sebanyak 100 μl buffer
Enzym ImmunoAssay (EIA) dimasukkan pada
sumur Non Spesific Binding (NSB).
Kemudian 50 μl buffer EIA pada sumur B0.
Larutan standar prostaglandin diisi ke dalam
sumur S8-S1. Sumur BC diisi dengan 50 μl
larutan background, sebanyak 50 μl larutan
aktivitas awal COX-2 dengan pengenceran
2.000 kali pada sumur (%), selanjutnya pada
sumur inhibitor COX-2 diisi dengan larutan
ekstrak etanol rimpang temulawak dan kunyit
yang telah diencerkan 2.000 kali. Tahap
berikutnya, setiap sumur ditambahkan
prostaglandin asetilkolinesterase (PG AchE
tracer) kecuali pada sumur Total Activity
(TA) dan Blk (Blanko), setiap sumur
ditambahkan 50 μl antiserum prostaglandin
kecuali sumur TA dan NSB kemudian plat
ditutup dan diinkubasi selama 18 jam pada
suhu ruang.
Setelah plate diinkubasi, plate dicuci
dengan larutan penyangga pencuci, kemudian
setiap sumur ditambahkan dengan pereaksi
Ellman sebanyak 0,2 ml dan sumur TA diisi
dengan larutan PG AchE tracer atau
prostaglandin asetilkolinesterase (tracer)
sebanyak 5 μl. Micro plate ditutup
menggunakan plastik film dan dibiarkan
bereaksi dengan diikubasi pada ruang gelap
selama 60-90 menit lalu diukur menggunakan
Elisa reader dengan panjang gelombang 412
9
nm. Persiapan larutan untuk uji dapat dilihat
pada Lampiran 4 yang sesuai dengan Cayman
Chemical Catalog No. 560131). Aktivitas
antiinflamasi diperoleh dengan perhitungan
absorbansi.
A
B
C
D
E
F
G
H
1
Blk
Blk
NSB
NSB
B0
B0
B0
TA
2
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
3
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
4
BC2
%
%
H
H
-
5
BC2
%
%
H
H
-
Gambar 6 Format Micro plate inhibisi
COX-2
Keterangan gambar
Blk
: blanko
TA
: aktivitas total
NSB
: non specific binding
B0
: maksimum binding
S1-S8 : standar 1-8
BC2
: background COX-2
%
: 100% initial activity samples
H
: COX inhibitor samples
Penentuan IC50 (Udenigwe et al. 2009)
Inhibition concentration 50 atau IC50
merupakan nilai konsentrasi minimal ekstrak
yang dapat menginhibisi enzim sampai 50%.
Nilai IC50 diperoleh dari masing-masing kurva
ekstrak sampel dengan memasukkan nilai
Y=50.
Y = a + bx (fungsi linier)
Y = ax2 + bx +c (fungsi kuadratik)
Y = a + b ln (x) (fungsi ln)
Keterangan:
a dan b = konstanta
x
= IC50
Dipilih satu persamaan yang paling sesuai
untuk masing-masing sampel dengan melihat
nilai r2 tertinggi yang diperoleh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit
Ekstraksi serbuk rimpang temulawak
dilakukan dengan menggunakan metode
maserasi. Pelarut yang digunakan dalam
proses maserasi adalah etanol 70%.
Penggunaan etanol sebagai pelarut disebabkan
beberapa hal di antaranya, kepolaran,
toksisitas, dan mudah diperoleh. Sifat dari
pelarut
etanol
yang
tidak
beracun
menyebabkan etanol ditetapkan standar
sebagai pelarut yang aman oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Etanol 70% digunakan karena memiliki
dua gugus fungsi yang berbeda tingkat
kepolarannya, yaitu gugus hidroksil (OH)
yang bersifat polar dan gugus alkil (-R) yang
bersifat non polar. Adanya kedua gugus
tersebut diharapkan agar senyawa-senyawa
kimia dengan tingkat kepolaran yang berbeda
dalam simplisia sampel akan terekstrak ke
dalam etanol (Khopkar 2003). Seperti halnya,
kurkuminoid merupakan senyawa yang
bersifat polar, kepolarannya disebabkan oleh
gugus –OH yang terdapat pada struktur
senyawa kurkuminoid. Kurkuminoid larut
dalam pelarut-pelarut yang mempunyai
kepolaran hampir sama. Etanol memiliki
kepolaran yang mirip dengan kurkuminoid
sehingga cocok digunakan sebagai pelarut
dalam proses ekstraksi rimpang temulawak
dan kunyit.
Metode maserasi dilakukan selama 3 x 24
jam. Menurut hasil penelitian yang dilakukan
Basalmah (2006) rendemen yang dihasilkan
dari suatu proses ekstraksi akan meningkat
seiring dengan peningkatan waktu ektraksi.
Hal ini disebabkan semakin lama waktu
ekstraksi, semakin lama waktu kontak antara
pelarut dan bahan baku sehingga proses
penetrasi pelarut ke dalam sel bahan (sampel)
akan semakin baik yang menyebabkan
semakin banyaknya senyawa yang berdifusi
keluar sel.
Rendemen ekstrak rata-rata dari 3 kali
ulangan yang dilakukan diperoleh hasil dari
penelitian ini yakni rendemen temulawak
sebesar 11,78% dan kunyit 15,65% (Tabel 1).
Berdasarkan hasil tersebut, rimpang kunyit (C.
domesticae) memiliki persentase rendemen
lebih tinggi dibandingkan temulawak.
Rendemen ekstrak rimpang temulawak dan
kunyit dari hasil penelitian ini lebih kecil jika
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh
Suwiah (1991), yakni sebesar 21.81-66.74%.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal
diantaranya ukuran serbuk, suhu, dan
kecepatan pengadukan yang digunakan
berbeda. Suwiah (1991) melakukan ekstraksi
dengan ukuran serbuk yang digunakan 60
mesh, suhu 70 oC dan kecepatan pengadukan
dengan pengaduk magnet skala 7, sedangkan
pada penelitian ini ukuran butir 100 mesh,
suhu 50 oC, dan pengadukan yang hanya
dilakukan sesekali.
Pemilihan suhu penguapan sebesar 50 °C
pada proses ekstraksi ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa etanol memiliki titik
10
Tabel 1 Persentase rendemen ekstrak
temulawak dan kunyit Sukabumi
Jenis sampel
Temulawak
Kunyit
Rendemen ratarata (%)
11.78
15.65
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Rimpang
Temulawak dan Kunyit
Senyawa kurkuminoid umumnya terdapat
pada tanaman jenis Curcuma dan telah
dilaporkan memiliki aktivitas biologis seperti
antioksidan dan antiinflamasi (Itokawa et al.
2008) Penetapan kadar kurkuminoid pada
temulawak dan kunyit Sukabumi dilakukan
dengan menggunakan High Performance
Liquid Chromatography (HPLC). Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi
kurkuminoid pada ekstrak etanol rimpang
temulawak lebih rendah dari rimpang kunyit.
Kadar kurkuminoid pada ekstrak etanol
temulawak adalah sebesar 31.27 mg/g
sedangkan kadar kurkuminoid pada ekstrak
etanol kunyit yaitu sebesar 66.32 mg/g. Jadi,
kadar kurkuminoid pada kunyit lebih tinggi
dibandingkan temulawak (Gambar 7).
Kadar kurkuminoid yang lebih tinggi pada
rimpang kunyit dibandingkan temulawak
dikarenakan perbedaaan jumlah kandungan
senyawa turunan kurkuminoid pada kunyit
dan temulawak. Menurut Hernani & Rahardjo
(2005), kadar senyawa kurkuminoid dalam
rimpang
temulawak yang terdiri dari
kurkumin yaitu 21.75 mg/g bahan dan
demetoksikurkumin yaitu 9.93 mg/g bahan.
Lain halnya dengan rimpang kunyit, yaitu
kurkumin sebesar 29.57 mg/g bahan,
(Bermawie et al. 2006), demetoksikurkumin
17.88 mg/g bahan, dan bisdemetoksikurkumin
18.87 mg/g bahan. (Wardiyati et al. 2008).
Berdasarkan hasil analisis kandungan
kurkuminoid dengan HPLC untuk kunyit dan
temulawak terlihat pada Lampiran 6 & 7
terlihat perbedaan kandungan senyawa
turunan kurkuminoid yang sangat mencolok
pada temulawak dan kunyit yaitu senyawa
bisdemetoksikurkumin pada temulawak hanya
sebesar 0,58 mg/g sedangkan pada kunyit
18,86 mg/g. Pada umumnya kunyit
mengandung senyawa turunan kurkuminoid
berupa
senyawa
kurkumin,
senyawa
demetoksikurkumin,
dan
senyawa
bisdemetoksikurkumin
sedangkan
pada
temulawak hanya mengandung senyawa
kurkumin dan senyawa demetoksikurkumin
(Lechtenberg et al. 2004) (Gambar 8). Namun
pada beberapa jenis rimpang temulawak
ditemukan senyawa bisdemetoksikurkumin
dalam jumlah yang kecil. Hal ini dipengaruhi
sifat genetis dan kondisi lingkungan dari
rimpang temulawak. Pada dasarnya, untuk
pembentukan metabolit sekunder dipengaruhi
oleh sifat dan jenis tanaman yaitu adanya
sifat-sifat genetik bawaan yang dimiliki oleh
suatu spesies baik antara spesies yang sama
maupun spesies yang berbeda.
66.32
70
Kandungan kurkuminoid (mg/g)
didih sekitar 78 °C dan bersifat volatil
meskipun pada suhu ruang sehingga perlakuan
suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan
penguapan pelarut yang lebih besar dan dapat
merusak senyawa yang tidak tahan panas.
Perbedaan jumlah rendemen pada ekstrak
sampel temulawak dan kunyit dikarenakan
pada ekstrak dengan rendemen tertinggi
mengandung lebih banyak senyawa yang
mudah larut dalam pelarut etanol 70%,
sedangkan ekstrak dengan rendemen yang
lebih rendah mengandung sejumlah senyawa
yang kurang larut dalam pelarut etanol 70%.
Pada penelitian ini rimpang temulawak
dan kunyit yang digunakan adalah rimpang
dari tanaman temulawak dan kunyit yang
berumur kurang lebih 9 bulan. Menurut
Wahid & Sudiarto (1985), mutu rimpang
temulawak sangat tergantung pada umur,
tempat tumbuh, dan jenis tanah. Umumnya
pada tanaman berimpang, peningkatan
karbohidrat terus meningkat secara cepat,
kemudian
makin
lambat
dengan
bertambahnya umur tanaman tersebut. Panen
rimpang dapat dilakukan pada saat kandungan
karbohidrat tinggi, yaitu pada umur 9-10
bulan, ukuran rimpang sudah optimal dengan
warna kuning kecoklatan (Rahmat 1995).
60
50
40
31.27
30
20
10
0
C. xanthorrhiza C. domestica
Gambar 7 Kadar kurkuminoid ekstrak etanol
temulawak dan kunyit
12
Pengukuran absorbansi pada
517 nm
0.9
0.8
0.7
C. xanthorrhiza
0.6
C. domestica
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
12.5
25
50
100
200
Konsentrasi sampel (ppm)
Gambar 11 Hasil uji antioksidan ekstrak temulawak dan kunyit
Artinya, konsentrasi sampel yang semakin
tinggi memiliki aktivitas antioksidan yang
semakin tinggi pula sehingga mampu
menghambat radikal bebas lebih banyak.
Peghambatan radikal bebas ini ditandai
dengan peluruhan warna warna ungu.
Penurunan nilai absorban karena yang diukur
oleh micro plate reader adalah warna ungu
DPPH yang semakin pudar seiring dengan
meningkatnya konsentrasi sampel.
Hal ini disebabkan satu molekul dari
senyawa antioksidan disumbangkan kepada
senyawa DPPH dan mekanisme ini dibuktikan
dengan perubahan warna DPPH (Naik et al.
2003). Perubahan warna DPPH diukur pada
panjang gelombang 517 nm dengan
menggunakan ELISA reader. Pemilihan
panjang gelombang 517 nm disebabkan warna
ungu larutan DPPH memiliki serapan yang
kuat pada panjang gelombang 517 nm dalam
bentuk teroksidasi (Masuda et al. 1999).
Perbedaan aktivitas antioksidan pada
temulawak dan kunyit disebabkan adanya
perbedaan kadar senyawa kurkuminoid yang
terkandung pada temulawak dan kunyit. Dari
keseluruhan komponen senyawa bioaktif yang
dimiliki temulawak dan kunyit, senyawa
kurkuminoid memiliki peran yang sangat
besar terhadap akvitas antioksidan pada kedua
rimpang ini (Timmerman 1995). Pada kunyit,
memiliki 3 jenis senyawa turunan dari
kurkuminoid yaitu senyawa kurkumin,
senyawa demetoksikurkumin, dan senyawa
bisdemetoksikurkumin.
Ketiga
senyawa
tersebut memiliki aktivitas tinggi sebagai
antioksidan dan kadarnya dalam kunyit pun
tinggi.
Lain halnya, dengan temulawak yang
hanya mengandung senyawa kurkumin dan
senyawa demetoksikurkumin serta senyawa
bisdemetoksikurkumin dalam kadar yang
kecil. Namun, besarnya aktivitas antioksidan
pada temulawak juga disebabkan ada senyawa
bioaktif lain yang terkandung pada rimpang
temulawak. Masuda et al. (1992) berhasil
mengisolasi analog kurkumin baru dari
rimpang temulawak, yaitu: 1-(4-hidroksi-3,5dimetoksifenil)-7-(4 hidroksi-3-metoksifenil)(1E.6E.)-1,6-heptadien-3,4-dion.
Senyawa
tersebut
ternyata
menunjukkan
efek
antioksida
IN VITRO SERTA KANDUNGAN KURKUMINOID
TEMULAWAK DAN KUNYIT ASAL SUKABUMI
NI LUH PUTU EKA KARTIKA SARI
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
NI LUH PUTU EKA KARTIKA SARI. Bioaktivitas Antioksidan dan
Antiinflamasi In Vitro serta Kandungan Kurkuminoid Temulawak dan Kunyit
Sukabumi. Dibimbing oleh WARAS NURCHOLIS dan LAKSMI AMBARSARI.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dan kunyit (Curcuma domestica) adalah
salah satu jenis tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang memiliki banyak
manfaat bagi kesehatan. Kedua rimpang ini memiliki kandungan kurkuminoid dan
bermanfaat sebagai antioksidan, serta antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis aktivitas antioksidan, antiinflamasi serta kadar kurkuminoid dari
ekstrak etanol temulawak dan kunyit asal Sukabumi. Metode HPLC digunakan
untuk mengukur kadar kurkuminoid. Aktivitas antioksidan (penangkapan radikal
bebas) dengan menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil).
Sedangkan, aktivitas antiinflamasi dianalisis dengan metode inhibisi enzim COX2 secara in vitro. Kadar kurkuminoid yang diperoleh pada temulawak sebesar
31.27 mg/g dan kunyit sebesar 66.32 mg/g. Aktivitas antioksidan pada kunyit
lebih tinggi dari temulawak karena nilai IC50 pada kunyit 73.31 μg/ml sedangkan
pada temulawak 81.99 μg/ml. Nilai % inhibisi terhadap penghambatan enzim
COX-2 diperoleh sampel kunyit sebesar 74.84 % sedangkan temulawak 67.96 %.
Berdasarkan penelitian ini, disimpulkan bahwa ekstrak etanol rimpang kunyit asal
Sukabumi memiliki kadar kurkuminoid, aktivitas antioksidan, dan antiinflamasi
yang lebih tinggi dari pada rimpang temulawak Sukabumi.
Kata kunci: kurkuminoid, antioksidan, antiinflamasi, temulawak, kunyit
ABSTRACT
NI LUH PUTU EKA KARTIKA SARI. In Vitro Antioxidant and AntiInflamatory Bioactivities and Curcuminoid Contents of Indonesia Curcuma
xanthorrhiza Roxb. and Curcuma domestica Val. Supervised by WARAS
NURCHOLIS and LAKSMI AMBARSARI.
Curcuma xanthorrhiza and Curcuma domestica are kind of medicinal plants
which have many health benefits. Both of them have curcuminoid content which
is useful as an antioxidant and anti-inflamatory. In this study, ethanol extracts of
C. xanthorrhiza and C. domestica promising lines from Sukabumi, Indonesia were
investigated for the presence of curcuminoids, antioxidant and anti-inflamatory
activities. HPLC method were used to determined curcuminoids content. The
antioxidant (radical scavenging) potential of the samples was evaluated using 2,2diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) free radical method. While for the antiinflamatory activity, the in vitro cyclooxygenase 2 (COX2) inhibition method was
used. The curcuminoid content of C. xanthorrhiza and C. domestica were 31.27
mg/g and 66.32 mg/g, respectively. IC50 values for DPPH radical scavenging
activity were 81.99 μg/mL and 73.31 μg/mL, with C. domestica having lowest
value and most potent than C. xanthorrhiza. Percent inhibition values for COX2
inhibitor activity were 74.84 % and 67.96 %, with C. domestica having the highest
value. In this study, the ethanol extracts of C. domestica promosing line from
Sukabumi of Indonesia exhibited most in curcuminoids content, antioxidants
properties and anti-inflamatory activity than C. xanthorrhiza promosing line.
Keywords: curcuminoid, antioxidant, anti-inflamatory, curcuma xanthorrhiza,
curcuma domestica
BIOAKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIINFLAMASI
IN VITRO SERTA KANDUNGAN KURKUMINOID
TEMULAWAK DAN KUNYIT ASAL SUKABUMI
NI LUH PUTU EKA KARTIKA SARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
1
Judul Skripsi
:
Nama
NIM
:
:
Bioaktivitas Antioksidan dan Antiinflamasi Secara In Vitro
serta Kandungan Kurkuminoid Temulawak dan Kunyit Asal
Sukabumi
Ni Luh Putu Eka Kartika Sari
G84080084
Disetujui
Komisi Pembimbing
Waras Nurcholis, S.Si, M.Si
Ketua
Dr.Laksmi Ambarsari, M.S
Anggota
Diketahui
Dr. Ir. I Made Artika, M.App. Sc.
Ketua Departemen Biokimia
Tanggal lulus :
2
PRAKATA
Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan kemudahan dalam penyusunan karya ilmiah yang
berjudul Bioaktivitas Antioksidan dan Antiinflamasi In Vitro serta Kandungan
Kurkuminoid Temulawak dan Kunyit Sukabumi. Penelitian ini dilakukan pada
bulan November 2011- Maret 2012 di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka,
Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian ini didukung oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi dalam kegiatan penelitian Hibah Kompetitif Penelitian
Strategis Unggulan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemetrian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Waras Nurcholis dan
Ibu Laksmi Ambarsari selaku komisi pembimbing atas bimbingan, arahan serta
nasehat dalam penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga
dipersembahkan kepada kedua orang tua penulis, adik Gede Sanjaya Adi Putra
atas doa dan kasih sayangnya. Terima kasih Penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir.
Latifah K Darusman selaku Kepala Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian
Bogor, serta seluruh staf laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, khususnya Ibu
Nunu, Mbak Wiwik, Mas Endi, dan Pak Zaim atas bantuan teknis dan saran yang
diberikan selama penelitian. Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh
dosen dan staf Departemen Biokimia IPB atas bantuan dan saran yang telah
diberikan.
Ucapan terima kasih penulis berikan kepada Lusianawati, Vita, Yoan, Dita,
Osa, Shelly, Annisa Rosyana, Nasodikin, Adit, Ucup, Reza, Faris, Iqbal Syukri
atas saran dan dukungan yang telah diberikan. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada I.B Dharma Yoga Santosa, Lilik Pratami, Meyga Semarayani, Mita, Ayus,
Debby, Made Ayu, Mayun, Wira, Dewa, Yuda, Joni atas doa, semangat,
dukungan moril serta segala motivasi untuk selalu berusaha menjadi lebih baik.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca serta
dapat menjadi langkah awal penulis untuk berjalan mencapai impiannya.
Bogor, Juni 2012
Ni Luh Putu Eka Kartika Sari
3
RIWAYAT HIDUP
Ni Luh Putu Eka Kartika Sari terlahir sebagai anak pertama dari Ketut
Suryadi dan Komang Suardani pada tanggal 5 Mei 1990. Penulis menyelesaikan
pendidikan jenjang menengah atas di SMA Negeri 3 Denpasar, Bali pada tahun
2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Departemen
Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur SNM-PTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri.
Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten
praktikum mata kuliah Kimia Dasar pada tahun ajaran 2011/2012. Pada tahun
2010 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan PKM-P (Program
Kreatifitas Mahasiswa bidang Penelitian) dengan judul karya ilmiah Fortifikasi
Yogurt Susu Kerbau (Dadih) Dengan Bifidobacterium bifidum dalam Bentuk
Tablet Hisap Effervescent. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan kegiatan
praktik lapang di Laboratorium Pangan dan Pakan Balai Pengawasan Mutu
Barang (BPMB) dengan karya ilmiah yang berjudul Studi Perbandingan Metode
Uji Komposisi Asam Lemak pada Minyak Goreng Secara Kromatografi Gas.
Penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi internal dan eksternal kampus.
Atas kemampuan organisasi yang baik, penulis pernah menjabat sebagai Ketua
divisi Sosial dan Lingkungan (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Institut
Pertanian Bogor (KMHD IPB) tahun 2009, sekretaris KMHD IPB tahun 2010,
bergabung dalam kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor (BEM KM IPB) Kementrian Pendidikan pada tahun
2011. Kegiatan organisasi di luar kampus, penulis pernah menjabat sebagai
sekretaris Brahmacarya Bogor pada periode kepengurusan 2009/2010 dan
2010/2011.
4
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak .......................................................................................................... 2
Kunyit .................................................................................................................. 3
Kurkuminoid ....................................................................................................... 3
Antioksidan ......................................................................................................... 4
Uji Antioksidan 2,2 Difenil-1-Pikril-Hidrazil ..................................................... 5
Inflamasi .............................................................................................................. 5
High Performance Liquid Chromatography ....................................................... 6
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat .................................................................................................... 7
Metode Penelitian ................................................................................................ 7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit .......................................................... 9
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit ....................... 10
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit .................... 11
Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit .................. 12
SIMPULAN .......................................................................................................... 13
SARAN ................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13
LAMPIRAN .......................................................................................................... 18
5
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Morfologi Tanaman (a) dan Rimpang Temulawak (b) ..................................... 2
2 Morfologi Tanaman (a) dan Rimpang Kunyit (b) .............................................. 3
3 Struktur Kimia Kurkuminoid ............................................................................. 4
4 Struktur Kimia DPPH ........................................................................................ 5
5 Diagram Alir HPLC ........................................................................................... 7
6 Format Micro plate Inhibisi COX-2 ................................................................. 9
7 Kadar Kurkuminoid Ekstrak Etanol Temulawak dan Kunyit ......................... 10
8 Jenis Senyawa Kurkuminoid Pada Temulawak dan Kunyit ........................... 11
9 Penghambatan Radikal Bebas DPPH Oleh Temulawak dan Kunyit ............... 11
10 Perubahan Warna DPPH Dalam Micro Plate .................................................. 11
11 Hasil Uji Antioksidan Ekstrak Temulawak dan Kunyit ................................... 12
12 Penghambatan COX-2 oleh Temulawak dan Kunyit ...................................... 13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Diagram Alir Penelitian ................................................................................... 19
2 Prosedur Ekstraksi Simplisia Temulawak dan Kunyit (BPOM 2005) ............. 20
3 Diagram Alir Uji Aktivitas Antioksidan Dengan Metode DPPH .................... 21
4 Preparasi Larutan Untuk Uji Aktivitas Inhibisi COX-2................................... 22
5 Rendemen Hasil Ekstraksi ............................................................................... 25
6 Hasil Pengukuran Kadar Kurkuminoid Temulawak Dengan HPLC ............... 26
7 Hasil Pengukuran Kadar Kurkuminoid Kunyit Dengan HPLC ....................... 27
8 Data Absorban Ekstrak Temulawak Sukabumi ............................................... 28
9 Data Absorban Ekstrak Kunyit Sukabumi ....................................................... 29
10 Pengaruh Sampel Terhadap % Inhibisi ............................................................ 30
11 Hasil Uji IC50 Sampel Temulawak dan Kunyit ................................................ 31
12 Kurva Standar Uji Inhibisi COX-2 .................................................................. 32
13 Data Uji Inhibisi Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit Sukabumi .......... 33
1
PENDAHULUAN
Penggunaan berbagai jenis tumbuhtumbuhan sebagai tanaman obat tradisional
telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia
jauh sebelum perkembangan obat-obatan
sintetik. Penggunaan obat-obatan tradisional
kembali meningkat seiring dengan kesadaran
masyarakat
terhadap
dampak
yang
ditimbulkan dari penggunaan obat-obatan
sintetik sehingga masyarakat beralih dari
konsumsi obat-obatan sintetik ke obat-obatan
tradisional. Perkembangan konsumsi obatobatan tradisional sebagai alternatif dalam
penyembuhan berbagai penyakit memicu
banyaknya penelitian di bidang biofarmaka
yaitu mengenai obat-obatan alami yang
berasal dari tumbuhan.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan
megabiodiversitas, yaitu suatu negara yang
memiliki keanekaragaman hayati flora dan
fauna yang sangat melimpah. Hal ini
didukung oleh keadaan geografis Indonesia
yang beriklim tropis dengan curah hujan ratarata tinggi sepanjang tahun. Sekitar 30.000
jenis tumbuhan yang ditemukan di Indonesia,
kurang lebih 7.000 diantaranya memiliki
khasiat sebagai obat. Beberapa jenis tanaman
yang diketahui berpotensi sebagai obat
fitofarmaka diantaranya temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) dan kunyit (Curcuma
domestica Val.). Karakteristik tanaman
sebagai obat fitofarmaka didasarkan pada
potensi tanaman tersebut sebagai antimikroba,
antioksidan, antifungi, antiinflamasi (Nuratmi
et al. 1996).
Temulawak merupakan salah satu jenis
tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang
potensial untuk dikembangkan dan merupakan
salah satu dari sembilan jenis tanaman
unggulan dari Direktorat Jenderal Pengolahan
Obat dan Makanan (Ditjen POM) yang
memiliki banyak manfaat sebagai bahan obat
(Hadipoentyanti & Syahid 2007). Rimpang
temulawak
memiliki
banyak
manfaat
diantaranya sebagai antimikroba (Hwang et
al. 2000), antikarsinogenik (Huang et al.
1998), antioksidan (Masuda et al. 1992),
antiinflamasi (WHO 1999), sedangkan kunyit
biasanya digunakan sebagai zat pewarna,
bahan baku industri, obat-obatan tradisional
dan bumbu masak. Berbagai penelitian telah
membuktikan manfaat yang dimiliki oleh
kunyit,
yaitu
sebagai
antihepatoksik,
antikolesterol, obat tumor, dan kanker. Sama
halnya dengan temulawak, kunyit juga
berkhasiat
sebagai
antiinflamasi
dan
antioksidan (Unnikrishnan & Rao 1995).
Salah satu komponen senyawa aktif yang
bertanggung jawab terhadap respon biologis
yang dimiliki temulawak dan kunyit adalah
kurkuminoid (Permadi 2008). Kurkuminoid
adalah pemberi warna kuning pada rimpang
temulawak
dan
kunyit.
Kurkuminoid
mempunyai aroma yang khas dan tidak
bersifat toksik (Sidik et al. 1995). Salah satu
efek farmakologi yang dimiliki kurkuminoid
adalah sebagai antiinflamasi (Banerjee et al.
2003), antitumor (Khar et al. 1999). Menurut
Jayaprakash et al. (2006) kurkuminoid
berpotensi sebagai antioksidan (pertahanan
terhadap serangan radikal bebas).
Kondisi stres dan meningkatnya usia pada
seseorang akan memicu pembentukan radikal
bebas. Radikal bebas adalah senyawa yang
mengganggu sistem kekebalan tubuh, pemicu
beberapa penyakit degeneratif seperti kanker,
katarak, diabetes melitus, dan penyakit
jantung koroner. Stres oksidatif adalah suatu
keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh
kurang dari yang diperlukan untuk meredam
efek buruk radikal bebas yang merusak
kelangsungan hidup sel dan jaringan (Bagiada
2010). Serangan berbagai penyakit degeneratif
di tubuh tidak terlepas dari mekanisme
inflamasi. Proses inflamasi adalah respon
proteksi dari tubuh apabila ada cedera
jaringan atau infeksi akibat adanya agen-agen
berbahaya. Namun, respon ini dapat
menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang
bisa membawa kematian atau kerusakan organ
sehingga proses inflamasi di tubuh harus
dihambat melalui kerja enzim yang berperan
agar sesuai dengan kebutuhan perlindungan
tubuh (Hayes & Kee 1996).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
aktivitas antioksidan, antiinflamasi serta
kandungan kurkuminoid pada rimpang
temulawak dan kunyit Sukabumi melalui uji
antioksidan dengan metode DPPH untuk
mendapatkan nilai Inhibition Concentration
(IC50) terbaik dari temulawak dan kunyit, uji
antiinflamasi dengan Colorimetric COX
Inhibitor Screening Assay, serta menentukan
kandungan kurkuminoid dengan High
Performance
Liquid
Chromatography
(HPLC). Hipotesis penelitian adalah kedua
ekstrak rimpang temulawak dan kunyit
Sukabumi memiliki potensi bioaktivitas yang
tinggi. Potensi bioaktivitas dilihat berdasarkan
hasil uji antioksidan dan uji antiinflamasi pada
sejumlah sampel yang dilakukan. Penelitian
ini nantinya diharapkan dapat memberikan
informasi ilmiah mengenai daerah sentra
pembudidayaan rimpang temulawak dan
rimpang kunyit yang memiliki potensi serta
2
kualitas metabolit sekunder yang baik terlihat
dari potensinya sebagai antioksidan dan
antiinflamasi.
Hasil penelitian terhadap potensi rimpang
temulawak dan kunyit Sukabumi sebagai
antioksidan, antiinflamasi serta kandungan
kurkuminoid diharapkan mampu menjadikan
daerah
Sukabumi
menjadi
daerah
pembudidayaan temulawak dan kunyit dengan
kualitas metabolit sekunder yang baik.
Kandungan metabolit sekunder yang baik
tentunya meningkatkan potensi bioaktivitas
dan efek farmakologis dari temulawak dan
kunyit.
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak
Temulawak merupakan tanaman obat
berupa tumbuhan rumpun berbatang semu
(Gambar
1).
Temulawak
(Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) adalah tanaman yang
berasal dari daerah Jawa, Bali, dan Maluku.
Curcuma berasal dari bahasa arab kurkum
yang berarti kuning, sedangkan xanthorriza
berasal dari bahasa Yunani xantos yang
berarti kuning dan rhiza yang berarti akar.
Sesuai dengan klasifikasi botani, temulawak
termasuk dalam kingdom Plantae, divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospemae,
kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales,
famili Zingiberaceae, genus Curcuma dan
nama spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb.
(Rukmana 2006).
Tumbuhan temulawak adalah tumbuhan
tahunan yang berbatang tegak dengan tinggi
kurang lebih 2 m, berwarna hijau atau coklat
gelap. Pada Gambar 1a terlihat bahwa pada
tanaman
temulawak,
tiap
batangnya
mempunyai daun 2–9 helai dengan bentuk
bundar memanjang, berwarna hijau atau
coklat keunguan terang sampai gelap (Sidik et
al. 1995). Sebagai tanaman monokotil,
a
temulawak tidak memiliki akar tunggang.
Akar yang dimiliki adalah rimpang. Akar
rimpang temulawak
terbentuk dengan
sempurna, bercabang-cabang kuat. (Afifah
2003). Rimpang temulawak sering disebut
umbi temulawak. Umbi batang temulawak
berbentuk bulat telur sebesar telur ayam
namun terkadang ada yang lebih besar
(Gambar 1b). Umbi batang ini dinamakan
rimpang
yang penampang pinggirnya
berwarna kuning muda, sedangkan bagian
dalamnya berwarna kuning tua, aromanya
tajam dan rasanya pahit (Darwis 1991).
Kandungan kimia rimpang temulawak
sebagai sumber bahan pangan, bahan baku
industri atau bahan baku obat dapat dibedakan
atas
beberapa
senyawa,
yaitu
pati,
kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri (Sidik
et al. 1995). Kadar seluruh fraksi kandungan
bioaktif pada temulawak tersebut bervariasi
diantaranya pati (48 - 59.64%), kurkuminoid
(1.6 - 2.2%), dan minyak atsiri (1.48 - 1.63%)
(Sidik et al. 1995). Rimpang temulawak telah
digunakan oleh nenek moyang bangsa
Indonesia untuk makanan, tujuan pengobatan,
dan sebagai penambah energi
Tanaman temulawak merupakan satu dari
beberapa jenis Curcuma yang dikenal dan
banyak dikonsumsi masyarakat. Tanaman
temulawak memiliki kandungan flavonoid dan
minyak atsiri yang berpotensi sebagai
antioksidan (Rachman et al. 2008). Di
Indonesia
satu-satunya
bagian
yang
dimanfaatkan adalah rimpang dari temulawak
untuk dibuat jamu godog. Rimpang
temulawak dipercaya dapat meningkatkan
kerja ginjal serta antiinflamasi. Manfaat lain
dari rimpang tanaman ini adalah sebagai obat
jerawat,
meningkatkan
nafsu
makan,
antikolesterol,
antiinflamasi,
anemia,
antioksidan,
pencegah
kanker,
dan
antimikroba (Rukmana 2008).
b
Gambar 1 Morfologi tanaman (a) dan rimpang temulawak (b)
3
Kunyit
Kunyit (Curcuma domestica Val.)
merupakan salah satu tanaman rempah dan
obat. Habitat asli tanaman kunyit meliputi
wilayah Asia khususnya Asia Tenggara.
Tumbuhan kunyit tergolong dalam kingdom
Plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi
Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo
Zingiberales, suku Zingiberaceae, genus
Curcuma dan spesies Curcuma xanthorrhiza
Val. Tanaman kunyit dapat hidup dengan baik
pada suhu yang berkisar antara 20-300C
dengan curah hujan 1500-2000 mm/tahun
(Rukmana 2008). Tanaman kunyit memiliki
daun besar berbentuk lonjong dengan ujung
yang meruncing dan berwarna hijau (Gambar
2a). Tanaman kunyit tumbuh pada daerah
dataran rendah hingga 2000 meter diatas
permukaan laut dan memiliki tinggi kurang
lebih 40-100 cm.
Sama halnya dengan tanaman temulawak,
tanaman kunyit tidak memiliki akar tunggang
karena merupakan tumbuhan monokotil.
Tanaman kunyit memiliki akar berupa
rimpang. Khasiat terbaik rimpang kunyit yang
digunakan sebagai obat terdapat pada rimpang
induk yang warna bagian dalamnya
kemerahan dan masih segar (Gambar 2b).
Rimpang kunyit banyak digunakan oleh
masyarakat sebagai bagian dari rempahrempah untuk berbagai masakan, obat, dan
bahan kecantikan. Rimpang kunyit juga
mengandung tepung dan zat warna yang
mengandung alkaloid kurkumin sehingga
memiliki manfaat untuk bahan obat tradisional
serta bahan baku industri jamu dan kosmetik,
dan bahan bumbu masak. Selain itu rimpang
tanaman kunyit juga bermanfaat sebagai
antiinflamasi,
antioksidan,
antimikroba,
antidiabetes, pencegah kanker, dan antitumor
(Syukur 2010).
Rimpang kunyit mengandung senyawa
bioaktif yang berkhasiat sebagai obat yakni,
senyawa kurkuminoid yang terdiri atas tiga
senyawa yaitu: kurkumin, demetoksikurkumin
dan
bisdemetoksikurkumin.
Beberapa
kandungan senyawa lainnya dari rimpang
kunyit adalah resin, oleoresin, dan minyak
atsiri yang terdiri atas senyawa monoterpen,
dan sesquiterpen meliputi zingiberin, αtumeron, β-tumeron, tumerol, α-atlanton, dan
linalool (Oomah 2000). Menurut Rustam et al.
(2007), kurkuminoid yang terkandung di
dalam kunyit sebagai senyawa isolasi maupun
kurkuminnya mempunyai aktivitas yang
sangat luas, diantaranya sebagai antioksidan
(Hudayani 2008).
a
b
Gambar 2 Morfologi tanaman (a) dan
rimpang kunyit (b)
Kurkuminoid
Kurkuminoid
merupakan
senyawa
golongan flavonoid. Peningkatan kadar
kurkuminoid berhubungan dengan penurunan
kadar protein. Kadar protein yang mengalami
penurunan disebabkan karena protein diubah
menjadi kurkuminoid pada rimpang yang akan
digunakan untuk regenerasi. Pada umumnya
metabolit sekunder akan meningkat apabila
tanaman
mengalami
cekaman
dari
lingkungannya (Fatmawati 2008).
Kurkuminoid adalah komponen yang
memberikan warna kuning pada rimpang
temulawak
dan
kunyit.
Kurkuminoid
berwarna kuning atau kuning jingga, dan
berbentuk serbuk dengan rasa pahit.
Kurkuminoid larut dalam aseton, alkohol,
asam asetat glasial, dan alkali hidroksida.
Kurkuminoid tidak larut dalam air dan dietil
eter. Kurkuminoid mempunyai aroma yang
khas dan bersifat toksik (Sidik et al. 1995).
Senyawa kurkuminoid pada rimpang
temulawak terdiri dari dua komponen
senyawa kurkuminoid, yaitu kurkumin dan
demetoksikurkumin. Lain halnya, dengan
rimpang kunyit mengandung kurkuminoid
yang terdiri dari tiga komponen senyawa
turunan
kurkuminoid,
yaitu
senyawa
kurkumin,
demetoksikurkumin,
serta
bisdemetoksikurkumin. Sifat menarik dari
bisdemetoksikurkumin ini adalah aktivitas
kerjanya tehadap sekresi empedu antagonis
5
antioksidan maksimal yang diperbolehkan
dalam campuran makanan adalah sebesar 200
ppm (Hernani & Rahardjo 2005).
Uji Antioksidan 2,2 Difenil-1-PikrilHidrazil
Metode pengujian aktivitas antioksidan
diklasifikasikan berdasarkan transfer atom
hidrogen dan transfer elektron. Metode
transfer elektron pengukurannya didasarkan
pada kapasitas antioksidan dalam mereduksi
senyawa oksidan yang ditandai dengan
perubahan warna ketika direduksi. Terdapat
beberapa metode untuk menentukan aktivitas
antioksidan, diantaranya DPPH (2,2-difenil-1pikrilhidrazil),
Cupric
Ion
Reducing
Antioxidant (CUPRAC) dan Ferric Reducing
Ability of Plasma (FRAP) (Apak et al. 2007).
Reagen atau senyawa DPPH yang
digunakan dalam pengujian ini ditemukan
pertama kali pada tahun 1922 oleh
Goldschmidt dan Renn (Ionita 2003).
Senyawa DPPH adalah komponen berwarna
ungu yang tidak berdimerisasi dan berbentuk
kristalin. Senyawa tersebut adalah radikal
bebas yang stabil karena serapan delokalisasi
elektron pada seluruh molekul. Delokalisasi
yang terjadi pada senyawa radikal bebas
terjadi karena adanya warna violet tua dengan
panjang gelombang maksimum.
Senyawa atau reagen DPPH merupakan
senyawa yang tidak larut dalam air atau
disebut dengan senyawa hidrofobik. Senyawa
DPPH ini dapat berubah dari senyawa
hidrofobik ke hidrofilik dengan cara
melekatkan gugus CO maupun SO2 pada
DPPH. Berdasarkan karakteristiknya yang
merupakan senyawa radikal bebas yang stabil
maka reagen ini dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama tentunya pada kondisi
penyimpanan yang baik seperti tempat kering
(Ionita 2003).
Metode DPPH menggunakan reagen atau
senyawa DPPH sebagai model radikal bebas.
Selain sifat pengujiannya yang lebih
sederhana, metode DPPH memiliki beberapa
keunggulan lainnya, yaitu cepat, sensitif, dan
hanya membutuhkan sedikit sampel (Apak et
al. 2004). Penggunaan DPPH dalam pengujian
antioksidan harus diperhatikan sifat DPPH
terhadap pengaruh lingkungan penyimpanan.
Pada penggunaan DPPH harus dilakukan
secara hati-hati yang diinterpretasikan setelah
direaksikan dengan senyawa antioksidan
karena dapat didegradasi oleh cahaya,
oksigen, pH, dan jenis pelarut. Metode DPPH
dapat digunakan untuk screening berbagai
sampel
dalam
penentuan
aktivitas
antioksidannya (Molyneux 2004).
Pengukuran aktivitas antioksidan dengan
metode
DPPH
menggunakan
prinsip
spektrofotometri.
Prinsip
metode
uji
antioksidan DPPH didasarkan pada reaksi
penangkapan hidrogen oleh reagen atau
senyawa DPPH (Gambar 4) dari senyawa
antioksidan. Senyawa yang aktif sebagai
antioksidan mereduksi radikal bebas DPPH
menjadi senyawa difenil pikril hidrazin (Amic
et al. 2003). Reaksi yang terjadi ialah DPPH
akan diubah menjadi DPPH-H (bentuk
tereduksi DPPH) oleh senyawa antioksidan.
Reduksi
DPPH
menjadi
DPPH-H
menyebabkan perubahan warna pada reagen
DPPH dari warna semula ungu menjadi
kuning (Lupea et al. 2006).
Metode
DPPH
dapat
memberikan
informasi mengenai reaktifitas senyawa yang
diuji dengan suatu radikal yang stabil.
Penangkapan radikal bebas menyebabkan
elektron menjadi berpasangan yang kemudian
menyebabkan
perubahan
warna
yang
sebanding dengan jumlah elektron yang
diambil. DPPH hanya dapat mengukur
senyawa antioksidan yang terlarut dalam
pelarut organik. Pengukuran absorbansi DPPH
dapat dilakukan pada kisaran panjang
gelombang 515-520 nm (Molyneux 2004).
Gambar 4 Stuktur kimia DPPH
(Kikuzaki et al. 2002)
Inflamasi
Inflamasi adalah respon protektif tubuh
karena adanya cedera jaringan dan infeksi
yang terjadi pada tubuh serta reaksi antara
antigen dan antibodi. Antibodi merupakan
sistem pertahanan tubuh terhadap bakteri,
virus, dan sel-sel asing lainnya yang dilakukan
oleh sel darah putih. Sel antibodi akan
menghadapi sel antibodi yang telah berubah
menjadi antigen dan akan menyerang sendi
serta organ eksternal lainnya, peristiwa
tersebut dapat menyebabkan terjadinya
inflamasi (Darlina & Wahyuni 2004).
Ciri-ciri terjadinya inflamsi adalah timbul
kondisi merah (rubor), panas (kalor), bengkak
6
(tumor), nyeri (dolor), dan akhirnya
menyebabkan gangguan fungsi (fungtio lasea)
(Hakim 2005). Penyebab inflamasi atau
cedera jaringan antara lain karena pengaruh
bahan kimia, mekanis atau fisika, seperti
trauma radiasi, panas, benda asing serta
trauma biologis seperti bakteri, fungi atau
parasit. Proses inflamasi merupakan suatu
mekanisme perlindungan dimana tubuh
berusaha untuk menetralisir dan membasmi
agen-agen yang berbahaya pada tempat cedera
serta
mempersiapkan
keadaan
untuk
perbaikan jaringan (Mitchell 2006).
Adanya pencederaan jaringan akan
membebaskan berbagai jenis mediator
inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin,
histamin, dan sebagainya. Salah satu mediator
inflamasi yaitu prostaglandin merupakan
kelompok senyawa turunan asam lemak
prostanoat (C20). Asam arakidonat merupakan
zat terpenting untuk mensintesis prostaglandin
pada manusia (Kartasasmita 2002).
Prostaglandin adalah senyawa lipida yang
dibangun oleh 20 atom karbon sebagai
pembentuk
rantai
utamanya
dengan
mengandung gugus hidroksil (-OH) pada
strukturnya. Prostaglandin dihasilkan oleh
jaringan yang sedang terluka atau sakit yang
disintesis dari asam lemak arakidonat.
Prostaglandin berperan penting terhadap
timbulnya nyeri, demam, dan reaksi-reaksi
inflamasi lainnya maka obat antiinflamasi
berbasis non steroid melalui penghambatan
(inhibisi) aktivitas enzim siklooksigenase
mampu menekan gejala-gejala tersebut. Obat
antiinflamasi non steroid dengan cara
menghambat biosintesis prostaglandin melalui
penghambatan (inhibisi) aktivitas enzim
siklooksigenase (Dannhardt & Laufer 2000).
Saat ini dikenal dua isoenzim COX
(Siklooksigenase), yaitu COX-1 dan COX-2.
Enzim COX-1 berfungsi sebagai enzim
constitutive yaitu mengubah PGH2 menjadi
berbagai jenis prostaglandin (PGI2, PGE2)
dan tromboxan yang dibutuhkan dalam fungsi
homeostatis. Enzim COX-2 yang terdapat di
dalam sel-sel imun (makrofag dan lainnya),
sel endotel pembuluh darah, dan fibroblas
sinovial sangat mudah diinduksi oleh berbagai
mekanisme sehingga akan mengubah PGH2
menjadi PGE2 yang berperan dalam proses
inflamasi, yaitu nyeri dan demam. Oleh
karena itu, COX-2 dikenal sebagai enzim
inducible. Pada kenyataannya, baik COX-1
dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat
diinduksi (Lelo 2001).
Enzim COX-1 mengkatalisis pembentukan
prostaglandin baik yang bertanggung jawab
untuk menjalankan fungsi-fungsi regulasi
fisiologis (Dannhardt & Laufer 2000).
Sebaliknya, enzim COX-2 tidak ditemukan di
jaringan pada kondisi normal, tetapi diinduksi
oleh berbagai stimulus, seperti endotoksin,
sitokin, mitogen, dan dihubungkan dengan
produksi prostaglandin selama proses
inflamasi, nyeri, dan respon piretik (Zhang et
al. 2004). Enzim COX-2 dapat diinduksi
apabila terdapat stimuli radang, mitogenesis
atau onkogenesis (Dannhardt & Laufer 2000).
Menurut Danhardt & Laufer (2000),
inflamasi tidak akan terlepas dari adanya
senyawa prostaglandin. Mekanisme inflamasi
yang terjadi di dalam tubuh bermula pada
membran sel atau jaringan yang mengalami
sakit atau terluka. Enzim fosfolipase dalam
tubuh dari membran sel menghasilkan asam
arakidonat yang nantinya akan melalui dua
jalur tahapan yaitu siklooksigenase dan
lipoksigenase. Pada jalur siklooksigenase,
akan terbentuk endoperoksida sedangkan pada
jalur
lipoksigenase
terbentuk
asam
hidroperoksida. Setelah proses stimulasi, dua
enzim siklooksigenase mulai mensintesis
pembentukan modulator peradangan seperti
halnya
enzim
COX-2
mengkatalisis
pembentukan prostaglandin jahat yang
menyebabkan radang (Dannhardt & Laufer
2000).
High Performance Liquid Chromatography
Kromatografi
adalah
suatu
teknik
pemisahan molekul berdasarkan perbedaan
pola pergerakan antara fase gerak dan fase
diam untuk memisahkan komponen yang ada
pada larutan sampel. Komponen-komponen
tersebut dipisahkan berdasarkan perbedaan
sifat fisiknya. Salah satu jenis kromatografi
adalah
High
Performance
Liquid
Chromatography (HPLC) yang merupakan
teknik kromatografi dengan fase gerak berupa
cairan (Harvey 2000). Kromatografi cair
kinerja
tinggi
dikembangkan
pada
pertengahan tahun 1970-an.
HPLC terdiri dari beberapa bagian
penting, yaitu: fase gerak, pompa, unit sistem
penginjeksian sampel, kolom dan detektor.
Cara kerja analisis sampel dari HPLC
didasarkan pada bantuan pompa untuk fase
gerak cair yang dialirkan melalui kolom ke
detektor. Sampel kemudian dimasukkan ke
dalam aliran fase gerak dengan cara
penyuntikan. Di dalam kolom terjadi
pemisahan komponen-komponen campuran
dikarenakan perbedaan kekuatan interaksi
antara larutan sampel terhadap fase diam.
7
Selanjutnya, sampel akan keluar kolom dan
dideteksi oleh detektor kemudian direkam
dalam pengolah data dalam bentuk
kromatogram (Gambar 5) (Meyer 2004).
Seperti pada kromatografi gas, jumlah peak
yang muncul
menyatakan konsentrasi
komponen
dalam
campuran.
Sistem
komputerisasi digunakan untuk mengontrol
kerja sistem HPLC dan mengumpulkan serta
mengolah data hasil pengukuran HPLC.
Prinsip dasar HPLC adalah pemisahan
analit berdasarkan kepolarannya, dengan fase
diam berupa kolom dan larutan tertentu
sebagai fase geraknya. Teknik HPLC
digunakan untuk memisahkan senyawasenyawa yang tidak mudah menguap tetapi
mudah terurai oleh panas. HPLC digunakan
untuk memisahkan golongan minyak,
misalnya terpenoid tinggi, segala senyawa
jenis fenol, alkaloid, lipid dan gula. Selain
untuk pemisahan, metode ini juga digunakan
untuk analisis kualitatif maupun kuantitatf
seperti penentuan kadar kurkuminoid.
Keuntungan menggunakan HPLC adalah
jumlah contoh yang digunakan sedikit
(mikroliter), waktu retensi hanya beberapa
menit,
dan
batas
deteksi
sampai
nanogram/liter (Hendayana et al. 1994).
Wadah fase gerak
Pompa
Injeksi
sampel
Kolom
Detektor
Pengolah data
Gambar 5 Diagram alir HPLC
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rimpang temulawak dan
kunyit asal Sukabumi, etanol 70 %, metanol,
standar
kurkuminoid
(kurkumin,
demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin),
DPPH (2,2 difenil-1-pikril hidrazil), DMSO
(Dimethyl Sulfoxyde), kit colorimetric COX
inhibitor screenin assay No. 560131 (Cayman
Chem Com 2011), UltraPure water,
aluminium foil.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini,
diantaranya gelas piala, gelas ukur, tabung
reaksi, gelas arloji, labu takar, cawan petri,
sudip, spatula, pipet mikro, tip, vortex, micro
plate, oven, rotavapor, penggiling 100 mesh,
freezer, neraca digital, dan micro plate reader.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Sampel basah terdiri atas 20 kg rimpang
temulawak dan 20 kg rimpang kunyit.
Masing-masing sampel dibersihkan dan dicuci
menggunakan air mengalir sampai semua
tanah dan kotoran yang menempel pada
simplisia hilang. Semua simplisia yang telah
bersih dipotong, selanjutnya dikeringkan di
bawah sinar matahari selama 5 hari.
Kemudian setiap simplisia kasar dari masingmasing sampel digiling dengan ukuran 100
mesh. Ukuran serbuk simplisia masingmasing sampel yang digunakan adalah 100
mesh (telah menjadi simplisia kering dengan
kadar air ≤ 10%).
Penentuan Kadar Air (AOAC 2006)
Cawan porselen kosong dikeringkan pada
suhu 1050C selama 30 menit di dalam oven.
Cawan
porselen
tersebut
selanjutnya
didinginkan di dalam eksikator dan ditimbang
sebagai bobot kosong cawan. Sebanyak 2
gram simplisia dimasukkan ke dalam cawan
dan dikeringkan pada suhu 1050C selama 3
jam. Setelah itu, cawan yang berisi simplisia
didinginkan dalam eksikator dan ditimbang
kembali sebagai bobot kering sampel.
Perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali
ulangan.
Ekstraksi Sampel Rimpang (BPOM 2005)
Pada teknik maserasi menggunakan
pelarut etanol 70% dengan perbandingan
simplisia dengan pelarut (b/v) adalah 1:10.
Sebanyak 0,5 kg simplisia dan 5 L etanol 70%
dimasukkan ke dalam maserator dan direndam
sambil sesekali diaduk, kemudian didiamkan
sampai 24 jam. Selanjutnya, maserat
dipisahkan dengan menyaring filtrat dengan
menggunakan kertas saring Whatman tipe 4.
Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan
dengan rotavapor penguap vakum (BUCHI,
R-250, Switzerland) pada suhu 500C hingga
diperoleh ekstrak kental. Ekstrak simplisia
8
yang telah pekat siap digunakan untuk
penelitian selanjutnya.
Analisis Kadar Komponen
Temulawak
Menggunakan
(Jayaprakasha et al. 2002)
Bioaktif
HPLC
Sebanyak 25 mg ekstrak rimpang
temulawak dan kunyit ditimbang dan
dilarutkan ke dalam 5 ml metanol. Larutan
disaring dengan kertas saring yang berukuran
0,45 μm dan ditempatkan pada vial HPLC.
Sebanyak 10 μL dari larutan ekstrak sampel
temulawak dan kunyit yang berasal dari
Sukabumi diinjeksikan ke dalam kolom
HPLC. Senyawa standar kurkuminoid yang
digunakan memiliki konsentrasi sebesar 0,5
ppm. Kondisi HPLC untuk analisis ini
digunakan jenis kolom C18 detektor UV Vis
dengan volume injeksi 10 μl, elusi gradien dan
suhu kolom yang digunakan yaitu pada 480 C.
Analisis kadar kurkuminoid dengan HPLC
menggunakan fase gerak polar yaitu metanol.
Analisis Aktivitas Antioksidan dengan
Metode DPPH (Udenigwe et al. 2009)
Ekstrak kental dari sampel temulawak dan
kunyit Sukabumi dari hasil maserasi
dilarutkan dengan metanol dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Modifikasi metode
dilakukan dengan mengubah konsentrasi
ekstrak yang digunakan untuk analisis yaitu
12,5, 25, 50, 100, 200 ppm. Larutan induk
untuk masing-masing sampel temulawak dan
kunyit Sukabumi yaitu 200 ppm dibuat
dengan menimbang 1 mg sampel dan
ditambahkan dengan 5 ml metanol.
Pembuatan larutan DPPH dilakukan dengan
menimbang 1,23 mg DPPH kemudian
diencerkan dengan metanol hingga 25 ml
menggunakan labu takar. Larutan sampel
dengan konsentrasi 12,5 ppm, 25 ppm, 50
ppm, 100 ppm dan 200 ppm dimasukkan ke
dalam masing-masing sumur (well plate) dan
dilakukan masing-masing tiga kali ulangan
sebanyak 100 μL setiap sampel dengan
masing-masing konsentrasi tersebut.
Pada masing-masing sumur ditambahkan
100 μL larutan DPPH 0,1 μM hingga volume
akhir yang terdapat pada sumur yaitu 200 μL.
Selanjutnya, diinkubasi pada suhu 370C
selama 30 menit dan diukur serapannya
menggunakan ELISA reader dengan panjang
gelombang 517 nm. Nilai absorbansi yang
diperoleh selanjutnya digunakan untuk
mendapatkan persen penangkapan radikal
bebas dan digunakan untuk mendapatkan
persamaan regresi linier dengan rumus yaitu
y = a + b ln x. Nilai IC50 dihitung dengan
menggunakan rumus persamaan regresi
tersebut (Lampiran 11). Nilai IC50 yang paling
rendah menunjukkan aktivitas antioksidan
yang paling tinggi.
Uji Daya Inhibisi Ekstrak Etanol Rimpang
Temulawak
dan
Kunyit
Sukabumi
terhadap Enzim COX-2 Secara In Vitro
(Cayman Chemical Catalog No. 560131).
Ekstrak diuji daya inhibisinya terhadap
enzim COX-2. Uji daya inhibisi dilakukan
dengan metode ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay), dengan menggunakan
COX Inhibitor Screening Assay Kit (Cayman
Chemical Catalog No. 560131) ) (Lampiran
4). Uji daya ekstrak etanol rimpang
temulawak dan kunyit dilakukan pada micro
plate yang telah disiapkan (Gambar 6).
Selajutnya hasil reaksi inhibisi antara sampel
rimpang temulawak dan kunyit Sukabumi
terhadap enzim COX-2 dibaca serapannya
menggunakan ELISA reader.
Preparasi larutan-larutan yang digunakan
pada uji aktivitas enzim COX-2 dapat dilihat
pada Lampiran 4. Sebanyak 100 μl buffer
Enzym ImmunoAssay (EIA) dimasukkan pada
sumur Non Spesific Binding (NSB).
Kemudian 50 μl buffer EIA pada sumur B0.
Larutan standar prostaglandin diisi ke dalam
sumur S8-S1. Sumur BC diisi dengan 50 μl
larutan background, sebanyak 50 μl larutan
aktivitas awal COX-2 dengan pengenceran
2.000 kali pada sumur (%), selanjutnya pada
sumur inhibitor COX-2 diisi dengan larutan
ekstrak etanol rimpang temulawak dan kunyit
yang telah diencerkan 2.000 kali. Tahap
berikutnya, setiap sumur ditambahkan
prostaglandin asetilkolinesterase (PG AchE
tracer) kecuali pada sumur Total Activity
(TA) dan Blk (Blanko), setiap sumur
ditambahkan 50 μl antiserum prostaglandin
kecuali sumur TA dan NSB kemudian plat
ditutup dan diinkubasi selama 18 jam pada
suhu ruang.
Setelah plate diinkubasi, plate dicuci
dengan larutan penyangga pencuci, kemudian
setiap sumur ditambahkan dengan pereaksi
Ellman sebanyak 0,2 ml dan sumur TA diisi
dengan larutan PG AchE tracer atau
prostaglandin asetilkolinesterase (tracer)
sebanyak 5 μl. Micro plate ditutup
menggunakan plastik film dan dibiarkan
bereaksi dengan diikubasi pada ruang gelap
selama 60-90 menit lalu diukur menggunakan
Elisa reader dengan panjang gelombang 412
9
nm. Persiapan larutan untuk uji dapat dilihat
pada Lampiran 4 yang sesuai dengan Cayman
Chemical Catalog No. 560131). Aktivitas
antiinflamasi diperoleh dengan perhitungan
absorbansi.
A
B
C
D
E
F
G
H
1
Blk
Blk
NSB
NSB
B0
B0
B0
TA
2
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
3
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
4
BC2
%
%
H
H
-
5
BC2
%
%
H
H
-
Gambar 6 Format Micro plate inhibisi
COX-2
Keterangan gambar
Blk
: blanko
TA
: aktivitas total
NSB
: non specific binding
B0
: maksimum binding
S1-S8 : standar 1-8
BC2
: background COX-2
%
: 100% initial activity samples
H
: COX inhibitor samples
Penentuan IC50 (Udenigwe et al. 2009)
Inhibition concentration 50 atau IC50
merupakan nilai konsentrasi minimal ekstrak
yang dapat menginhibisi enzim sampai 50%.
Nilai IC50 diperoleh dari masing-masing kurva
ekstrak sampel dengan memasukkan nilai
Y=50.
Y = a + bx (fungsi linier)
Y = ax2 + bx +c (fungsi kuadratik)
Y = a + b ln (x) (fungsi ln)
Keterangan:
a dan b = konstanta
x
= IC50
Dipilih satu persamaan yang paling sesuai
untuk masing-masing sampel dengan melihat
nilai r2 tertinggi yang diperoleh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit
Ekstraksi serbuk rimpang temulawak
dilakukan dengan menggunakan metode
maserasi. Pelarut yang digunakan dalam
proses maserasi adalah etanol 70%.
Penggunaan etanol sebagai pelarut disebabkan
beberapa hal di antaranya, kepolaran,
toksisitas, dan mudah diperoleh. Sifat dari
pelarut
etanol
yang
tidak
beracun
menyebabkan etanol ditetapkan standar
sebagai pelarut yang aman oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Etanol 70% digunakan karena memiliki
dua gugus fungsi yang berbeda tingkat
kepolarannya, yaitu gugus hidroksil (OH)
yang bersifat polar dan gugus alkil (-R) yang
bersifat non polar. Adanya kedua gugus
tersebut diharapkan agar senyawa-senyawa
kimia dengan tingkat kepolaran yang berbeda
dalam simplisia sampel akan terekstrak ke
dalam etanol (Khopkar 2003). Seperti halnya,
kurkuminoid merupakan senyawa yang
bersifat polar, kepolarannya disebabkan oleh
gugus –OH yang terdapat pada struktur
senyawa kurkuminoid. Kurkuminoid larut
dalam pelarut-pelarut yang mempunyai
kepolaran hampir sama. Etanol memiliki
kepolaran yang mirip dengan kurkuminoid
sehingga cocok digunakan sebagai pelarut
dalam proses ekstraksi rimpang temulawak
dan kunyit.
Metode maserasi dilakukan selama 3 x 24
jam. Menurut hasil penelitian yang dilakukan
Basalmah (2006) rendemen yang dihasilkan
dari suatu proses ekstraksi akan meningkat
seiring dengan peningkatan waktu ektraksi.
Hal ini disebabkan semakin lama waktu
ekstraksi, semakin lama waktu kontak antara
pelarut dan bahan baku sehingga proses
penetrasi pelarut ke dalam sel bahan (sampel)
akan semakin baik yang menyebabkan
semakin banyaknya senyawa yang berdifusi
keluar sel.
Rendemen ekstrak rata-rata dari 3 kali
ulangan yang dilakukan diperoleh hasil dari
penelitian ini yakni rendemen temulawak
sebesar 11,78% dan kunyit 15,65% (Tabel 1).
Berdasarkan hasil tersebut, rimpang kunyit (C.
domesticae) memiliki persentase rendemen
lebih tinggi dibandingkan temulawak.
Rendemen ekstrak rimpang temulawak dan
kunyit dari hasil penelitian ini lebih kecil jika
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh
Suwiah (1991), yakni sebesar 21.81-66.74%.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal
diantaranya ukuran serbuk, suhu, dan
kecepatan pengadukan yang digunakan
berbeda. Suwiah (1991) melakukan ekstraksi
dengan ukuran serbuk yang digunakan 60
mesh, suhu 70 oC dan kecepatan pengadukan
dengan pengaduk magnet skala 7, sedangkan
pada penelitian ini ukuran butir 100 mesh,
suhu 50 oC, dan pengadukan yang hanya
dilakukan sesekali.
Pemilihan suhu penguapan sebesar 50 °C
pada proses ekstraksi ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa etanol memiliki titik
10
Tabel 1 Persentase rendemen ekstrak
temulawak dan kunyit Sukabumi
Jenis sampel
Temulawak
Kunyit
Rendemen ratarata (%)
11.78
15.65
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Rimpang
Temulawak dan Kunyit
Senyawa kurkuminoid umumnya terdapat
pada tanaman jenis Curcuma dan telah
dilaporkan memiliki aktivitas biologis seperti
antioksidan dan antiinflamasi (Itokawa et al.
2008) Penetapan kadar kurkuminoid pada
temulawak dan kunyit Sukabumi dilakukan
dengan menggunakan High Performance
Liquid Chromatography (HPLC). Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi
kurkuminoid pada ekstrak etanol rimpang
temulawak lebih rendah dari rimpang kunyit.
Kadar kurkuminoid pada ekstrak etanol
temulawak adalah sebesar 31.27 mg/g
sedangkan kadar kurkuminoid pada ekstrak
etanol kunyit yaitu sebesar 66.32 mg/g. Jadi,
kadar kurkuminoid pada kunyit lebih tinggi
dibandingkan temulawak (Gambar 7).
Kadar kurkuminoid yang lebih tinggi pada
rimpang kunyit dibandingkan temulawak
dikarenakan perbedaaan jumlah kandungan
senyawa turunan kurkuminoid pada kunyit
dan temulawak. Menurut Hernani & Rahardjo
(2005), kadar senyawa kurkuminoid dalam
rimpang
temulawak yang terdiri dari
kurkumin yaitu 21.75 mg/g bahan dan
demetoksikurkumin yaitu 9.93 mg/g bahan.
Lain halnya dengan rimpang kunyit, yaitu
kurkumin sebesar 29.57 mg/g bahan,
(Bermawie et al. 2006), demetoksikurkumin
17.88 mg/g bahan, dan bisdemetoksikurkumin
18.87 mg/g bahan. (Wardiyati et al. 2008).
Berdasarkan hasil analisis kandungan
kurkuminoid dengan HPLC untuk kunyit dan
temulawak terlihat pada Lampiran 6 & 7
terlihat perbedaan kandungan senyawa
turunan kurkuminoid yang sangat mencolok
pada temulawak dan kunyit yaitu senyawa
bisdemetoksikurkumin pada temulawak hanya
sebesar 0,58 mg/g sedangkan pada kunyit
18,86 mg/g. Pada umumnya kunyit
mengandung senyawa turunan kurkuminoid
berupa
senyawa
kurkumin,
senyawa
demetoksikurkumin,
dan
senyawa
bisdemetoksikurkumin
sedangkan
pada
temulawak hanya mengandung senyawa
kurkumin dan senyawa demetoksikurkumin
(Lechtenberg et al. 2004) (Gambar 8). Namun
pada beberapa jenis rimpang temulawak
ditemukan senyawa bisdemetoksikurkumin
dalam jumlah yang kecil. Hal ini dipengaruhi
sifat genetis dan kondisi lingkungan dari
rimpang temulawak. Pada dasarnya, untuk
pembentukan metabolit sekunder dipengaruhi
oleh sifat dan jenis tanaman yaitu adanya
sifat-sifat genetik bawaan yang dimiliki oleh
suatu spesies baik antara spesies yang sama
maupun spesies yang berbeda.
66.32
70
Kandungan kurkuminoid (mg/g)
didih sekitar 78 °C dan bersifat volatil
meskipun pada suhu ruang sehingga perlakuan
suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan
penguapan pelarut yang lebih besar dan dapat
merusak senyawa yang tidak tahan panas.
Perbedaan jumlah rendemen pada ekstrak
sampel temulawak dan kunyit dikarenakan
pada ekstrak dengan rendemen tertinggi
mengandung lebih banyak senyawa yang
mudah larut dalam pelarut etanol 70%,
sedangkan ekstrak dengan rendemen yang
lebih rendah mengandung sejumlah senyawa
yang kurang larut dalam pelarut etanol 70%.
Pada penelitian ini rimpang temulawak
dan kunyit yang digunakan adalah rimpang
dari tanaman temulawak dan kunyit yang
berumur kurang lebih 9 bulan. Menurut
Wahid & Sudiarto (1985), mutu rimpang
temulawak sangat tergantung pada umur,
tempat tumbuh, dan jenis tanah. Umumnya
pada tanaman berimpang, peningkatan
karbohidrat terus meningkat secara cepat,
kemudian
makin
lambat
dengan
bertambahnya umur tanaman tersebut. Panen
rimpang dapat dilakukan pada saat kandungan
karbohidrat tinggi, yaitu pada umur 9-10
bulan, ukuran rimpang sudah optimal dengan
warna kuning kecoklatan (Rahmat 1995).
60
50
40
31.27
30
20
10
0
C. xanthorrhiza C. domestica
Gambar 7 Kadar kurkuminoid ekstrak etanol
temulawak dan kunyit
12
Pengukuran absorbansi pada
517 nm
0.9
0.8
0.7
C. xanthorrhiza
0.6
C. domestica
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
12.5
25
50
100
200
Konsentrasi sampel (ppm)
Gambar 11 Hasil uji antioksidan ekstrak temulawak dan kunyit
Artinya, konsentrasi sampel yang semakin
tinggi memiliki aktivitas antioksidan yang
semakin tinggi pula sehingga mampu
menghambat radikal bebas lebih banyak.
Peghambatan radikal bebas ini ditandai
dengan peluruhan warna warna ungu.
Penurunan nilai absorban karena yang diukur
oleh micro plate reader adalah warna ungu
DPPH yang semakin pudar seiring dengan
meningkatnya konsentrasi sampel.
Hal ini disebabkan satu molekul dari
senyawa antioksidan disumbangkan kepada
senyawa DPPH dan mekanisme ini dibuktikan
dengan perubahan warna DPPH (Naik et al.
2003). Perubahan warna DPPH diukur pada
panjang gelombang 517 nm dengan
menggunakan ELISA reader. Pemilihan
panjang gelombang 517 nm disebabkan warna
ungu larutan DPPH memiliki serapan yang
kuat pada panjang gelombang 517 nm dalam
bentuk teroksidasi (Masuda et al. 1999).
Perbedaan aktivitas antioksidan pada
temulawak dan kunyit disebabkan adanya
perbedaan kadar senyawa kurkuminoid yang
terkandung pada temulawak dan kunyit. Dari
keseluruhan komponen senyawa bioaktif yang
dimiliki temulawak dan kunyit, senyawa
kurkuminoid memiliki peran yang sangat
besar terhadap akvitas antioksidan pada kedua
rimpang ini (Timmerman 1995). Pada kunyit,
memiliki 3 jenis senyawa turunan dari
kurkuminoid yaitu senyawa kurkumin,
senyawa demetoksikurkumin, dan senyawa
bisdemetoksikurkumin.
Ketiga
senyawa
tersebut memiliki aktivitas tinggi sebagai
antioksidan dan kadarnya dalam kunyit pun
tinggi.
Lain halnya, dengan temulawak yang
hanya mengandung senyawa kurkumin dan
senyawa demetoksikurkumin serta senyawa
bisdemetoksikurkumin dalam kadar yang
kecil. Namun, besarnya aktivitas antioksidan
pada temulawak juga disebabkan ada senyawa
bioaktif lain yang terkandung pada rimpang
temulawak. Masuda et al. (1992) berhasil
mengisolasi analog kurkumin baru dari
rimpang temulawak, yaitu: 1-(4-hidroksi-3,5dimetoksifenil)-7-(4 hidroksi-3-metoksifenil)(1E.6E.)-1,6-heptadien-3,4-dion.
Senyawa
tersebut
ternyata
menunjukkan
efek
antioksida