Uji Efektivitas Gel Ekstrak Etanol daun Gulma Siam (Chromolaena odorata) terhadap Penyembuhan Luka Sayat

(1)

UJI EFEKTIVITAS GEL EKSTRAK ETANOL DAUN

GULMA SIAM

(Chromolaena odorata)

TERHADAP

PENYEMBUHAN LUKA SAYAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DIAN ATIKAH

NIM 111501035

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UJI EFEKTIVITAS GEL EKSTRAK ETANOL DAUN

GULMA SIAM

(Chromolaena odorata)

TERHADAP

PENYEMBUHAN LUKA SAYAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DIAN ATIKAH

NIM 111501035

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI EFEKTIVITAS GEL EKSTRAK ETANOL DAUN GULMA

SIAM (Chromolaena odorata) TERHADAP PENYEMBUHAN

LUKA SAYAT

OLEH: DIAN ATIKAH NIM 111501035

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 16 Desember 2015

Panitia Penguji, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Hakim Bangun., Apt NIP 195201171980031002

Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S.,Apt NIP 195504241983031003

Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt NIP 197712262008122002

Dr. Anayanti Arianto, M.Si., Apt. NIP 195306251986012001 Medan, Januari 2016

Disahkan Oleh:

Pejabat Dekan Fakultas Farmasi

Dr. Masfria, M.S., Apt NIP 195707231986012001 Dosen Pembimbing I

Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 195504241983031003

Dosen Pembimbing II

Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. NIP 195709091985112001


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah

SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, sehngga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencpai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul skripsi Uji Efektivitas Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Glma Siam (Chromolaena odorata) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Ibu Marline Nainggolan, M.S., Apt., yang telah membimbing dengan sangat baik, memberikan motivasi, petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt selaku Pejabat Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah memberikan bimbingan dan penyediaan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan, Bapak Prof. Hakim Bangun., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dra Anayanti Arianto, M.Si., Apt., dan Ibu Sumaiyah, M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan Bapak Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt selaku dosen penasehat akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai, serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada kedua orang tua tercinta, Tardianis dan Isnel yang telah memberikan kasih sayang yang tak ternilai, selalu mendukung, mendoakan dan memberikan


(5)

semangat yang tiada henti kepada penulis, serta kepada adik saya Dian Lathifah, Dian Zakiyah, dan Ahmed Alfaizi yang selalu memotivasi dan mendoakan. Penulis juga mengucapakan terimakasih kepada teman-teman Farmasi 2011,

Walidah, Hera, Syukria, Lita, Uti dan CIWI’s yang selalu memotivasi dan

meluangkan waktu dalam membantu penyelesaian skripsi ini dan juga kepada pihak-pihak yang selalu memberikan dukungan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritk dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan , Desember 2015 Penulis,

Dian Atikah NIM 111501035


(6)

UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL GULMA SIAM

(Chromolaena odorata) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA SAYAT Abstrak

Latar belakang: Gulma siam (Chromolaena odorata) dikenal sebagai daun kirinyuh, famili Asteraceae, banyak tumbuh di daerah daratan tinggi dan pegunungan. Masyarakat biasanya menggunakan perasan atau rebusan daun gulma siam ini sebagai obat luka dan obat sakit perut. Selain itu juga berkhasiat sebagai antibakteri, antiinflamasi, antipiretik dan antihipertensi.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam dan uji efektivitas sediaan gel ekstrak etanol daun gulma terhadap penyembuhan luka sayat.

Metode: Serbuk gulma siam di maserasi dengan pelarut etanol 80%. Maserat yang diperoleh diuapkan dengan bantuan rotary evaporator (±50°C) dan dikeringkan dengan freeze dryer (-40°C). Selanjutnya dilakukan skrining fitokimia, karakterisasi, dan ekstrak diformulasi menjadi gel berbasis HPMC dengan konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1%. Sediaan gel di evaluasi dan diuji efektivitasnya terhadap penyembuhan luka sayat pada punggung kelinci dan dilakukan uji statistik.

Hasil: Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol gulma siam masing masing di peroleh senyawa flavanoida, glikosida, tanin, saponin, alkaloida, steroid/triterpenoid, dan karakterisasi simplisia diperoleh kadar air (7,9%), kadar sari larut air (23,54%), kadar sari larut etanol (11,96%), kadar abu total (4,97%), dan kadar abu yang tidak larut asam (0,52). Hasil evaluasi sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam masih stabil dalam penyimpanan selama 90 hari. Pemeriksaan homogenitas menunjukkan sediaan gel homogen, pH sediaan gel di peroleh 6,2-6,3, nilai viskositas 2,9-3,7 poise. Hasil uji efektivitas ekstrak etanol daun gulma mampu menyembuhkan luka sayat dengan konsentrasi 0,125% (20 hari), 0,25% (19 hari), 0,50% (18 hari), 0,75% (21 hari) dan 1% (22 hari), sedangkan betadine salep (17 hari), tanpa perlakuan (24 hari), basis gel (23 hari). Uji statistik menunjukkan semua sediaan gel memberikan efek terhadap penyembuhan luka sayat.

Kesimpulan: Ekstrak etanol daun gulma siam dapat diformulasi sebagai gel dan memiliki efektivitas dalam penyembuhan luka sayat, konsentrasi terbaik dalam penyembuhan luka adalah 0,50%.

Kata kunci: ekstrak etanol daun gulma siam, uji efektivitas, sediaan gel, luka sayat.


(7)

EFFECTIVITY TEST OF ETHANOL EXTRACT GEL OF Chromolaena odorata LEAVES FOR WOUND HEALING

Abstract

Background: Chromolaena odorata known as kirinyuh leaf, family of Asteraceae, mostly grows on highland and mountains. People usually use the leaf extract or stew from boiled Chromolaena odorata leaves as medicine for wound healing and to heal stomach pain. Also, it is good for bacterial, anti-inflammation, anti-pireutic, and anti-hypertension.

Objective: The purpose of this study were to formulate gel from ethanol extract of Chromolaena odorata leaves and to test the effectivity of ethanol extract gel of

Chromolaena odorata leaves for wound healing.

Methods: Chromolaena odorata leaf powder was macerated by ethanol 80%. The macerate have evaporated by using rotary evaporator (±50ºC) and dried by freeze dryer (-40ºC). Then phytochemical screening, characterization, and the extract have formulated to gel material based HPMC with concentration 0.125, 0.25, 0.50, 0.75 and 1.00%, respectively. The gel material evaluated and tested its

effectiveness on rabbit’s back which have wounded. Then carried statistical test. Result: The results from phytochemicals screening of simplicia powder were flavanoid, glycosides, tannins, saponin, alkaloids, steroid/triterpenoids and

Chromolaena odorata leaf ethanol extract gel characterization was obtained by water level (7.9%), the levels of water soluble extract (23.54%), the level of ethanol soluble extract (11.96%), total ash content (4.97%), and level of acid insoluble ash (0.52%). The evaluation results of ethanol extract gel of

Chromolaena odorata leaves remain stable instorage for 90 days. Homogeneity examination showed a homogeneous gel material, the pH value of gel material was 6.2-6.3, viscosity value was 2.9-3.7 poise. The results show effectiveness of ethanol extract of weeds leaves was able to healing the wound with concentrations of 0.125% (20 days), 0.25% (19 days), 0.50% (18 days), 0.75% (21 days) and 1% (22 days), respectively, whereas betadine ointment (17 days), without treatment (24 days), and gel based (23 days). The statistical test show all dosage gel give effect to healing the wound.

Conclusion: The ethanol extract of Chromolaena odorata leaf can be formulated as a gel and has effect to wound healing and the best formulated is gel with 0.50% extract.

Keyword: Chromolaena odorata leaf, ethanol extract, effectiviness test, gel material, wound healing.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Uraian Tumbuhan ... 4

2.1.1 Habitat ... 4

2.1.2 Morfologi ... 4

2.1.3 Nama daerah ... 5

2.1.4 Sistematika tumbuhan ... 5

2.1.4 Kandungan kimia ... 5

2.1.6 Khasiat tumbuhan ... 6

2.2 Ekstraksi ... 6

2.3 Gel ... 7

2.3.1 HPMC ... 9


(9)

2.3.3 Metil Paraben ... 11

2.3.4 Propil Paraben ... 12

2.4 Kulit ... 13

2.4.1 Epidermis ... 14

2.4.2 Dermis ... 14

2.4.3 Hipodermis ... 15

2.5 Luka ... 15

2.6 Senyawa Kimia Tumbuhan Berkhasiat Penyembuhan Luka 19 2.6.1 Alkaloid ... 19

2.6.2 Flavanoid ... 20

2.6.3 Tanin ... 20

2.6.4 Saponin ... 20

2.6.5 Steroid/ Triterpenoid ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Alat dan Bahan ... 22

3.1.1 Alat ... 22

3.1.2 Bahan ... 22

3.2 Pembuatan Pereaksi ... 22

3.2.1 Pereaksi Meyer ... 22

3.2.2 Pereaksi Bouchardat ... 23

3.2.3 Pereaksi Dragendroff ... 23

3.2.4 Pereaksi Molish ... 23

3.2.5 Pereaksi Lieberman-Bourchad ... 23

3.2.6 Pereaksi besi (III) klorida 1% (b/v) ... 23

3.2.7 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M ... 23

3.2.8 Pereaksi asam klorida 2N ... 24

3.2.9 Pereaksi asam sulfat 2N ... 24

3.2.10 Pereaksi kloralhidrat ... 24


(10)

3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel ... 24

3.4.1 Pengumpulan sampel ... 24

3.4.2 Identifikasi tumbuhan ... 24

3.4.3 Pengolahan sampel ... 24

3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam ... 25

3.6 Skrining Fitokimia ... 25

3.6.1 Pemeriksaan alkaloida ... 25

3.6.2 Pemeriksaan flavonoida ... 26

3.6.3 Pemeriksaan tanin ... 26

3.6.4 Pemeriksaan glikosida ... 27

3.6.5 Pemeriksaan saponin ... 27

3.6.6 Pemeriksaan steroida/ triterpenoida ... 27

3.7 Karakteristik Simplisia dan Ekstrak ... 28

3.7.1 Penetapan kadar air ... 28

3.7.2 Penetapan kadar sari yang larut dalam air ... 28

3.7.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol ... 29

3.7.4 Penetapan kadar abu total ... 29

3.7.5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam ... 29

3.8 Pembuatan Formula Sediaan ... 30

3.8.1 Pembuatan basis gel ... 30

3.8.2 Komposisi formula ... 30

3.9 Evaluasi Formula ... 31

3.9.1 Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan gel EEDGS ... 31

3.9.2 Pemeriksaan homogenitas sediaan ... 31

3.9.3 Pemeriksaan pH sediaan ... 32

3.9.4 Pemeriksaan viskositas sediaan ... 32

3.10 Pengujian Sediaan Gel Terhadap Penyembuhan Luka Sayat 32 3.11 Analisis Data ... 33


(11)

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 34

4.2 Hasil Ekstraksi ... 34

4.3 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia Daun Gulma Siam . 34 4.4 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Daun Gulma Siam .. 35

4.5 Hasil Evaluasi Pemeriksaan Stabilitas Sediaan ... 36

4.5.1 Hasil pemeriksaan organoleptis EEDGS ... 36

4.5.2 Hasil pengamatan homogenitas sediaan gel EEDGS ... 37

4.5.3 Hasil penentuan pH sediaan gel EEDGS ... 37

4.5.4 Hasil penentuan viskositas ... 38

4.6 Hasil Uji Efektivitas Penyebuhan Luka Sayat ... 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1 Kesimpulan ... 51

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Komposisi formula gel ... 31

4.1 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak ... 34

4.2 Hasil karakterisasi simplisia ... 35

4.3 Data pemeriksaan stabilitas fisik sediaan gel ... 36

4.4 Data pengamatan homogenitas sediaan ... 37

4.5 Data pengukuran pH ... 38

4.6 Data pengukuran viskositas ... 39

4.7 Data rata-rata pengurangan diameter luka sayat ... 46


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Rumus bangun HPMC ... 10

2.2 Rumus bangun propilen glikol ... 11

2.3 Rumus bangun metil paraben ... 12

2.4 Rumus bangun propil paraben ... 12

2.5 Struktur kulit ... 13

2.6 Penyembuhan primer ... 17

2.7 Penyembuhan skunder ... 18

4.1 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,125% .. 40

4.2 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,25% .... 41

4.3 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,50% .... 42

4.4 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 0,75% .... 43

4.5 Grafik pengukuran diameter luka sayat sediaan gel 1,00% ... 44


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi tumbuhan gulma siam ... 59

2 Gambar tumbuhan dan daun segar gulma siam ... 60

3 Gambar simplisia dan serbuk simplisia ... 61

4 Sediaan gel ... 62

5 Homogenitas sediaan ... 63

6 Bagan pembuatan ekstrak ... 64

7 Bagan pembuatan sedian gel ... 65

8 Bagan alur penelitian ... 66

9 Data perubahan diameter luka sayat ... 67

10 Data Perubahan diameter rata-rata luka sayat ... 69

11 Gambar perubahan diameter luka sayat ... 70

12 Perhitungan karakterisasi simplisia ... 88

13 Perhitungan viskositas sediaan ... 93

14 Hasil uji statistik metode one way anova ... 94


(15)

UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL GULMA SIAM

(Chromolaena odorata) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA SAYAT Abstrak

Latar belakang: Gulma siam (Chromolaena odorata) dikenal sebagai daun kirinyuh, famili Asteraceae, banyak tumbuh di daerah daratan tinggi dan pegunungan. Masyarakat biasanya menggunakan perasan atau rebusan daun gulma siam ini sebagai obat luka dan obat sakit perut. Selain itu juga berkhasiat sebagai antibakteri, antiinflamasi, antipiretik dan antihipertensi.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam dan uji efektivitas sediaan gel ekstrak etanol daun gulma terhadap penyembuhan luka sayat.

Metode: Serbuk gulma siam di maserasi dengan pelarut etanol 80%. Maserat yang diperoleh diuapkan dengan bantuan rotary evaporator (±50°C) dan dikeringkan dengan freeze dryer (-40°C). Selanjutnya dilakukan skrining fitokimia, karakterisasi, dan ekstrak diformulasi menjadi gel berbasis HPMC dengan konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1%. Sediaan gel di evaluasi dan diuji efektivitasnya terhadap penyembuhan luka sayat pada punggung kelinci dan dilakukan uji statistik.

Hasil: Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol gulma siam masing masing di peroleh senyawa flavanoida, glikosida, tanin, saponin, alkaloida, steroid/triterpenoid, dan karakterisasi simplisia diperoleh kadar air (7,9%), kadar sari larut air (23,54%), kadar sari larut etanol (11,96%), kadar abu total (4,97%), dan kadar abu yang tidak larut asam (0,52). Hasil evaluasi sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam masih stabil dalam penyimpanan selama 90 hari. Pemeriksaan homogenitas menunjukkan sediaan gel homogen, pH sediaan gel di peroleh 6,2-6,3, nilai viskositas 2,9-3,7 poise. Hasil uji efektivitas ekstrak etanol daun gulma mampu menyembuhkan luka sayat dengan konsentrasi 0,125% (20 hari), 0,25% (19 hari), 0,50% (18 hari), 0,75% (21 hari) dan 1% (22 hari), sedangkan betadine salep (17 hari), tanpa perlakuan (24 hari), basis gel (23 hari). Uji statistik menunjukkan semua sediaan gel memberikan efek terhadap penyembuhan luka sayat.

Kesimpulan: Ekstrak etanol daun gulma siam dapat diformulasi sebagai gel dan memiliki efektivitas dalam penyembuhan luka sayat, konsentrasi terbaik dalam penyembuhan luka adalah 0,50%.

Kata kunci: ekstrak etanol daun gulma siam, uji efektivitas, sediaan gel, luka sayat.


(16)

EFFECTIVITY TEST OF ETHANOL EXTRACT GEL OF Chromolaena odorata LEAVES FOR WOUND HEALING

Abstract

Background: Chromolaena odorata known as kirinyuh leaf, family of Asteraceae, mostly grows on highland and mountains. People usually use the leaf extract or stew from boiled Chromolaena odorata leaves as medicine for wound healing and to heal stomach pain. Also, it is good for bacterial, anti-inflammation, anti-pireutic, and anti-hypertension.

Objective: The purpose of this study were to formulate gel from ethanol extract of Chromolaena odorata leaves and to test the effectivity of ethanol extract gel of

Chromolaena odorata leaves for wound healing.

Methods: Chromolaena odorata leaf powder was macerated by ethanol 80%. The macerate have evaporated by using rotary evaporator (±50ºC) and dried by freeze dryer (-40ºC). Then phytochemical screening, characterization, and the extract have formulated to gel material based HPMC with concentration 0.125, 0.25, 0.50, 0.75 and 1.00%, respectively. The gel material evaluated and tested its

effectiveness on rabbit’s back which have wounded. Then carried statistical test. Result: The results from phytochemicals screening of simplicia powder were flavanoid, glycosides, tannins, saponin, alkaloids, steroid/triterpenoids and

Chromolaena odorata leaf ethanol extract gel characterization was obtained by water level (7.9%), the levels of water soluble extract (23.54%), the level of ethanol soluble extract (11.96%), total ash content (4.97%), and level of acid insoluble ash (0.52%). The evaluation results of ethanol extract gel of

Chromolaena odorata leaves remain stable instorage for 90 days. Homogeneity examination showed a homogeneous gel material, the pH value of gel material was 6.2-6.3, viscosity value was 2.9-3.7 poise. The results show effectiveness of ethanol extract of weeds leaves was able to healing the wound with concentrations of 0.125% (20 days), 0.25% (19 days), 0.50% (18 days), 0.75% (21 days) and 1% (22 days), respectively, whereas betadine ointment (17 days), without treatment (24 days), and gel based (23 days). The statistical test show all dosage gel give effect to healing the wound.

Conclusion: The ethanol extract of Chromolaena odorata leaf can be formulated as a gel and has effect to wound healing and the best formulated is gel with 0.50% extract.

Keyword: Chromolaena odorata leaf, ethanol extract, effectiviness test, gel material, wound healing.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tumbuhan obat yang potensial dengan keanekaragaman hayati menempati urutan ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, dan mempunyai jenis tumbuhan yang cukup banyak sehingga dapat dimanfaatkan sebagai obat (Hernani dan Endjo, 2004).

Penggunaan obat tradisional semakin disukai dari pada obat kimia karena mahalnya sehingga masyarakat beralih ke tumbuhan. Di masyarakat tumbuhan terutama digunakan untuk mencegah berbagai penyakit sehingga dapat menjaga kesegaran tubuh maupun mengobati penyakit (Mursito, 2001).

Gulma siam (Chromolaena odorata) merupakan sinonim dari Eupatorium

odoratum L, para pekebun menyebutnya kirinyuh atau gulma putihan. Daunnya

mengandung beberapa senyawa utama seperti fenol, tanin, steroid, saponin, flavonoid, dan alkaloid (Prajitno, dkk., 2013). Minyak essensial dari daun gulma

siam memiliki kandungan α-pinen, β-pinen, geijeren, pregeijeren, germakren D dan trans-β kariopilen (Felicien, dkk., 2012).

Tumbuhan ini oleh masyarakat Aceh dimanfaatkan secara tradisional untuk mengobati diabetes dan luka kulit. Daun gulma siam juga telah digunakan secara tradisional di Vietnam dan beberapa negara tropis lainnya untuk menangani gigitan lintah, luka jaringan lunak, luka bakar dan infeksi kulit, dengan cara meremas daun muda sampai hancur, dan cairan yang dihasilkan digunakan untuk mengobati luka kulit (Le, 1995)


(18)

suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh. Faktor tersebut seperti trauma, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Pusponegoro, 2005). Menurut Indonesia Enterostomal Therapy Nurse

Association (InETNA) (2004), luka merupakan kerusakan pada jaringan yang

mengganggu kehidupan normal sel.

Dipasaran obat luka telah banyak beredar dalam bentuk gel, salep, dan krim, tapi sediaan gel lebih banyak digunakan karena rasa dingin di kulit, mudah mengering membentuk lapisan tipis sehingga mudah dibersihkan (Suardi, dkk., 2008). Bahan pembawa yang digunakan untuk sediaan topikal berpengaruh terhadap absorbsi obat dan memiliki keuntungan jika dipilih dengan tepat (Lachman, dkk., 1994). Pemilihan hidroksi propil metil selulosa (HPMC) sebagai dasar gel karena tidak berbau, tidak berasa, mudah larut dalam air panas dan berfungsi sebagai penstabil pada sediaan topikal sedangkan propilenglikol digunakan sebagai pelarut dan pengawet (Rowe, dkk., 2005).

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Yuliani (2013), yaitu efek ekstrak etanol daun Chromolaena odorata L terhadap kesembuhan luka insisi pada tikus

sprague dawley terlihat bahwa ekstrak Chromolaena odorata L efektif untuk

kesembuhan luka. Penelitian Marianne, dkk., 2014 ekstrak ini pada dosis 5, 25, 125, dan 250 mg/kg bb mampu menurunkan kadar gula darah.

Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin menguji efektivitas sedian gel ekstrak etanol daun gulma siam terhadap penyembuhan luka sayat (luka eksisi).

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas masalah dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Apakah ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata) dapat


(19)

diformulasikan dalam bentuk sediaan gel?

b. Apakah sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena

odorata) mempunyai efek penyembuhan pada luka sayat?

1.3 Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata) dapat

diformulasikan dalam bentuk sediaan gel.

b. Sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata)

mempunyai efek penyembuhan pada luka sayat. 1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk membuat sediaan gel dari ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata).

b. Untuk menguji efektivitas penyembuhan pada luka sayat dari sediaan gel ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata).

1.5 Manfaat Penelitian

Dapat menambah informasi dan pengetahuan mengenai bentuk sediaan gel dari ekstrak etanol daun gulma siam (Chromolaena odorata) yang dapat


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi habitat, sistematika tumbuhan, nama daerah, morfologi tumbuhan, khasiat tumbuhan dan kandungan kimia.

2.1.1 Habitat

Kirinyuh adalah gulma yang awalnya berasal dari Amerika Selatan dan Tengah, menyebar ke daerah tropis Asia, Afrika dan Pasifik, digolongkan sebagai gulma invasif, semak berkayu yang berkembang cepat, juga dikenal sebagai gulma siam, berdiri membentuk padat yang dapat mencegah pertumbuhan jenis tumbuhan lainnya serta memiliki efek allelopati (Prawiradiputra, 2007).

Gulma ini diperkirakan sudah tersebar di Indonesia sejak tahun 1910-an (Sipayung, dkk., 1991), tidak hanya terdapat di lahan kering atau pegunungan tetapi juga banyak terdapat dilahan rawa dan lahan basah lainnya (Thamrin, dkk., 2007)

2.1.2 Morfologi

Tumbuhan gulma siam ini tumbuh dengan tinggi 1-2 m, batang tegak, berkayu, ditumbuhi rambut-rambut halus, bercorak garis-garis membujur yang paralel. Helai daun berbentuk segitiga/bulat panjang dengan pangkal agak membulat dan ujung tumpul atau agak runcing, tepinya bergigi, mempunyai tulang daun tiga sampai lima, permukaan daun gulma siam berbulu pendek, dan bila diremas terasa bau yang menyengat. Perbungaan majemuk berbentuk malai rata (corymbus) yaitu kepala bunga kira-kira berada pada satu bidang, lebarnya 6-15 cm, berbentuk bongkolan, warnanya lembayung kebiru-biruan (Nasution, 1986).


(21)

2.1.3 Nama daerah

Nama daerah, Sumatera Utara: lenga-lenga; Sunda: kirinyuh, babanjaran, darismin; Makassar: laruna, lahuna, kopasanda. Istilah dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Siam Weed, Christmas Bush, dan Common Floss Flower

(Chakraborty, dkk., 2010).

Chromolaena odorata (L.) King & H. E. Robins memiliki nama lain:

Eupatorium odoratum L., Eupatorium affine Hook & Arn., Eupatorium

brachiatum Wikstrom, Osmiaodorata (L.) Schultz-Bip, Osmia floribunda (Kunth)

Schultz-Bip (Chakraborty, dkk., 2010).

2.1.4 Sistematika tumbuhan (Herbarium Medanense)

Sistematika tumbuhan gulma siam adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Genus : Chromolaena

Spesies : Chromolaena odorata (L.) King & H.E. Robins

Nama Lokal : Gulma Siam 2.1.5 Kandungan kimia

Daun gulma siam mengandung senyawa aktif seperti alkaloid, flavanoid, saponin, dan tanin (Ikewuchi dan Ikewuchi, 2011). Flavonoid mengandung eriodiktol-7-4’-dimetil eter, naringenin-4’-metil eter dan 2’,4-dihidroksi-4’,5’,6’, -trimetoksi kalkon (Johari, dkk., 2012). Senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada daun gulma siam adalah alkaloid pyrrolizidine, glikosida


(22)

kardiak, tanin, terpenoid, saponin avenacin, senyawa fenol seperti protocatechuin, p-coumarin, ferulic, p-hidroksibenzoat, asam vanilik, flavonoid jenis quercetagetin, naringenin, kaempferol, sinensetin, skutelareintetrametil eter, scutellarein, luteolin, eriodiktiol, aromadendrin, apigenin, scutellarein, taxifolin,

quercetagetin, minyak essensial seperti α-pinen, β-pinen, germakren D, β -copaen-4-alpha-ol, β-caryopilen, geigeren, pregeijeren, cadinen, camphor, dan limonene (Omokhua, dkk., 2015).

2.1.6 Khasiat tumbuhan

Khasiat dari daun gulma siam adalah untuk menangani gigitan lintah, luka jaringan lunak, luka bakar, infeksi kulit. Daun gulma siam secara tradisional digunakan sebagai obat dalam penyembuhan luka, obat kumur untuk pengobatan sakit pada tenggorokan, obat batuk, obat malaria, antimikroba, sakit kepala, antidiare, astringent, antispasmodik, antihipertensi, antiinflamasi, mengobati diabetes, antikolesterol, antioksidan dan diueretik (Vital dan Rivera, 2009; Ikewuchi dan Ikewuchi, 2011; Yenti, dkk., 2011).

Daun gulma siam juga telah diaplikasikan pada manusia untuk membantu pembekuan darah akibat luka bisul atau borok (Hadiroseyani, 2005).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavanoid, tanin, glikosida dan lain lain. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu, dan kulit akar susah diserap oleh pelarut maka perlu


(23)

diserbuk sampai halus (DirJen, POM., 2000: DepKes, RI., 1979).

Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu: 1. Maserasi

Maserasi berasal dari kata “macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikkan simplisia dengan cara maserasi. Maserasi adalah cara penarikkan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni, 2006). Dengan kata lain maserasi merupakan proses pengekstrakan dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukkan pada temperatur ruangan. Remaserasi pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (DirJen, POM., 2000; DepKes, RI., 1979).

2. Perkolasi

Perkolasi berasal dari kata “percolare” yang artinya penetesan (Voigt, 1995). Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam (DepKes, RI., 1979; DirJen, POM., 2000).

2.3 Gel

Gel adalah suatu sistem padat atau setengah padat dari paling sedikit dua konstituen yang terdiri dari massa seperti pagar yang rapat dan diselusupi oleh cairan. Memiliki sifat yang lunak, lembut, mudah dioleskan, serta tidak meninggalkan lapisan berminyak pada permukaan kulit. Hal ini merupakan nilai tambah yang menunjukkan kemerataan distribusi dari komponen pembentuk gel dalam pelarut (Abdassah, dkk., 2009).


(24)

Sediaan gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (DepKes, RI., 1995). Gel dapat diklasifikasikan sebagai gel anorganik dan gel organik, contoh bahan anorganik pembentuk gel adalah bentonit sedangkan tragakan, hidroksipropilmetilselulosa, metilselulosa adalah bahan organik (Voigt, 1995). Gel mempunyai kekakuan yang disebabkan oleh jaringan yang saling menganyam dari fase terdispersi yang mengurung dan memegang medium pendispersi (Ansel, 1998).

Proses pembuatan gel meliputi proses peleburan atau diperlukan suatu posedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel (Lachman, dkk., 1994). Jika masa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda, maka gel ini dikelompokkan dalam sistem dua fase. Makromolekul pada sediaan gel disebarkan keseluruh cairan sampai tidak terlihat ada batas diantaranya, disebut dengan gel satu fase (Ansel, 1998)

Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel meliputi gom alam, tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintesis dan semisintetis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetilselulosa, dan karbopol (Aulton, 2007).

Gel dalam pembuatannya memerlukan suatu basis untuk mendapatkan suatu gel yang homogen dengan konsistensi yang baik. Basis yang sering digunakan dalam pembuatan gel adalah HPMC dan karbopol karena sifatnya yang mudah didispersikan oleh air dengan konsentrasi kecil dan dapat memberikan kekentalan yang cukup sebagai dasar gel, bersifat inert tidak mengiritasi kulit dan tidak dimetabolisme oleh tubuh (Quinones dan Ghaly, 2008).


(25)

tidak lengket, gel mempunyai aliran tiksotropik dan pseudoplastik yaitu gel berbentuk padat apabila disimpan dan akan mengalir apabila dikocok, konsentrasi bahan pembentuk gel yang dibutuhkan hanya sedikit untuk membentuk masa gel yang baik, viskositas gel tidak mengalami perubahan yang berarti pada suhu penyimpanan (Lieberman, dkk., 1998).

Beberapa keuntungan sediaan gel menurut Voigt, 1995 adalah: 1. Kemampuan penyebaran baik pada kulit

2. Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit 3. Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis

4. Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik 5. Pelepasan obatnya baik

Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi mikroba, yang secara efektif dapat dihindari dengan penambahan bahan pengawet seperti metil dan propil paraben. Upaya lain yang diperlukan adalah perlindungan terhadap penguapan yaitu untuk menghindari masalah pengeringan (Voigt, 1995; Aulton, 2007).

2.3.1 Hidroksi propil metil selulose (HPMC)

Hidroksi propil metil selulosa dengan nama lain hypromellosum, memiliki berat molekul 10.000-1.500.000 (Rowe, dkk., 2009). merupakan turunan metil selulosa yang memiliki ciri-ciri serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa. Sangat sukar larut dalam eter, etanol, atau aseton, mudah larut dalam air panas dan segera menggumpal membentuk koloid. HPMC pada sediaan topikal mampu menjaga penguapan air sehingga secara luas banyak digunakan sebagai kosmetik (Rowe., dkk, 2005; Reynold, 1989).


(26)

kompatibel dengan bahan-bahan lain, kecuali bahan-bahan yang oksidatif (Gibson, 2001). Hidroxy methyl cellulose (HPMC) merupakan gelling agent semi sintetik yang tahan terhadap fenol dan stabil pada pH 3-11. HPMC dapat membentuk gel yang jernih dan bersifat netral serta memiliki viskositas yang stabil pada penyimpanan jangka panjang (Rowe, dkk., 2005). Selain itu HPMC mengembang terbatas dalam air sehingga merupakan bahan pembentuk hidrogel yang baik. Hidrogel sangat cocok digunakan sebagai sediaan topikal dengan fungsi kelenjer sebaseus berlebih, dimana hal ini merupakan salah satu faktor penyebab jerawat (Voigt, 1995). Rumus bangun HPMC dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Rumus bangun HPMC 2.3.2 Propilen glikol

Propilen glikol adalah cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dengan rasa agak manis. Dapat bercampur dengan air, etanol, kloroform dan minyak lemak (DepKes, RI., 1979). Propilen glikol telah banyak digunakan sebagai pelarut dan pengawet dalam berbagai formulasi parental non parental. Propilen glikol secara umum merupakan pelarut yang lebih baik dari gliserin dan dapat melarutkan berbagai bahan seperti kortikosteroid, obat-obatan sulfa, barbiturat, A dan D, alkaloid, dan banyak anestetik lokal (Rowe., dkk, 2005; Reynold, 1989).


(27)

Propilen glikol berfungsi sebagai humektan yang menjaga kestabilan sediaan dengan cara mengabsorpsi lembab dari lingkungan dan mengurangi penguapan air dari sediaan dan mampu mempertahankan kandungan air dari suatu sediaan (Arikumalasari dkk, ; Kuncari dkk, 2014). Propilen glikol juga berfungsi meningkatkan penetrasi dengan cara merusak susunan lapisan lipid stratum korneum dan dengan denaturasi keratin atau melarutkan lapisan lipid pada stratum korneum sehingga mengurangi resistensi difusional dan meningkatkan permeabilitas kulit (Sinko, 2006; Sukmawati dkk, 2009). Rumus bangun propilen glikol dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Rumus bangun propilen glikol 2.3.3 Metil paraben

Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk halus, berwarna putih, hampir tidak berbau dan tidak mempunyai rasa kemudian agak membakar diikuti rasa tebal (Depkes, RI., 1979; Rowe, dkk., 2005)

Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi, kemampuan pengawet metil paraben ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol (Soni, 2002).

Metil paraben (standar 0,02-0,3%) dan propil paraben (standar 0,01-0,6%) dikombinasi bertujuan untuk memperluas aktivitas spektrum pengawet, karena adanya kandungan air yang cukup besar pada gel dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba (Kuncari dkk, 2014). Rumus bangun metil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.3


(28)

Gambar 2.3 Rumus bangun metil paraben 2.3.4 Propil paraben

Propil paraben merupakan serbuk kristal putih, tidak berbau, dan tidak berasa, berfungsi sebagai pengawet (Steinberg, 2005). Konsentrasi propil paraben yang digunakan pada sediaan topikal adalah 0,01-0,6%. Propil paraben efektif sebagai pengawet pada pH 4-8, peningkatan pH dapat menurunkan aktivitas antimikrobanya. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan etanol, larut dalam 250 bagian gliserin dan sukar larut di dalam air (Wade, 1994; Reynold, 1989). Rumus bangun propil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.4

Gambar 2.4 Rumus bangun propil paraben

2.4 Kulit

Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh manusia, 15% dari berat badan dewasa adalah kulit. Kulit memiliki bagian pelengkap seperti rambut, kuku dan kelenjar keringat/sebasea (Arisanty, 2013).

Fungsi kulit adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),


(29)

sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen (Perdanakusuma, 2007). Struktur kulit dapat dilihat pada Gambar 2.5.

3. 4. 5.

Gambar 2.5 Struktur kulit

Gambar 2.5 Struktur kulit

Kulit mempunyai daya regenerasi yang besar, misalnya pada saat kulit terluka, maka sel-sel dalam dermis melawan infeksi lokal kapiler dan jaringan ikat akan mengalami regenerasi sehingga terbentuk jaringan parut pada mulanya berwarna kemerahan karena meningkatnya jumlah kapiler dan akhirnya berubah menjadi serabut kolagen keputihan yang terlihat melalui epitel (Setiadi, 2007).

Fungsi utama kulit adalah sebagai pelindung, terdiri atas 650 kelenjar keringat, 20 pembuluh darah, 60.000 melanosit dan ribuan ujung saraf tepi. Kulit memiliki bagian pelengkap seperti rambut, kuku, dan kelenjar keringat/ sebasea (Arisanty, 2013).


(30)

Epdermis merupakan bagian terluar kulit, sebagian besar terdiri dari yang mengalami skuamosa yang bertingkat yang mengalami kreatinisasi yang tidak memiliki pembuluh darah. Sel-sel yang menyusun epidermis secara terus menerus terbentuk dari jaringan germinal dalam epitelium kolumnar (Setiadi, 2007).

Menurut Setiadi 2007, lapisan epidermis terdiri atas :

1. Stratum korneum merupakan lapisan tanduk terdiri dari sel gepeng yang mati, mengandung kreatin / sel tanduk.

2. Stratum lusidum merupakan sel gepeng tanpa inti, yang jelas terlihat pada telapak tangan dan kaki dengan ketebalan empat sampai tujuh lapisan sel 3. Stratum granulosum mengandung sel granular dan kreatin, pada lapisan ini sel

berinti mulai mati dan terus terdorong keatas.

4. Stratum spinosum merupakan lapisan paling tebal yang memiliki banyak kolagen

5. Stratum basale bentuknya slindris dengan inti yang lonjong, didalamnya terdapat butir-butir halus yang disebut butir melanin warna, disini terjadi pembelahan yang cepat dan sel baru didorong masuk kelapisan berikutnya. 2.4.2 Dermis

Dermis merupakan lapisan kedua kulit, batas dengan epidermis dilapisi oleh membran basalis dan disebelah bawah berbatasan dengan subkutis. Didalam lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf, lapisan nya elastik, fibrosanya padat dan terdapat folikel rambut (Setiadi, 2007).

Dermis terdiri atas dua lapisan :

a. Lapisan papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang, terdiri dari serabut saraf dan pembuluh darah yang memberi nutrisi kepada epidermis bagian atas b. Lapisan retikuler , tebal terdiri dari jaringan ikat padat


(31)

Dermis terdiri atas jaringan ikat, protein kologen dan elastin, fibrolast, sistem imun dan sistem saraf. Fungsi dermis adalah sebagai struktur penunjang, suplai nutrisi, menahan shearing force dan respon inflamasi (Perdanakusuma, 2007; Hunter, 2003).

2.4.3 Hipodermis

Merupakan kumpulan-kumpulan sel lemak, lapisan paling tebal dari kulit, terdiri atas jaringan lemak, jaringan ikat, fibrolast dan pembuluh darah. Hipodermis berfungsi sebagai penyimpan lemak, kontrol temperatur, penyangga organ disekitarnya dan menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi (Boyle, 2009)

2.5 Luka

Luka adalah rusak atau hilangnya bagian jaringan tubuh karena adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh. Faktor tersebut seperti trauma, zat kimia, ledakan, sengatan lstrik atau gigitan hewan (Pusponegoro, 2005). Salah satu jenis luka adalah luka sayat yang dapat dibagi menjadi dua yaitu 1. Luka insisi adalah luka yang disebabkan karena teriris benda tajam dimana

terdapat robekan linier pada kulit dan lapisan dibawahnya. Luka ini terjadi tanpa kehilangan jaringan kulit dan memerlukan penyembuhan luka secara premier.

2. Luka eksisi adalah hilangnya kulit secara keseluruhan dan meluas sehingga menyebabkan banyaknya jaringan yang hilang dan memerlukan penyembuhan luka secara sekunder (Arisanty, 2013)

Menurut Baroroh 2009, luka dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu :

1. Stadium I, luka superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.


(32)

2. Stadium II, luka pastial thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis.

3. Stadium III, luka full thickness: yaitu hilangnya ulit keseluruhan meliputi kerusakan jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot

4. Stdium IV, luka full thickness ; yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/ kerusakan yang luas.

Penyembuhan luka adalah proses pengganti dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak. Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Boyle, 2009; Arisanty, 2013). Gambar penyembuhan luka secara primer dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Penyembuhan primer

Keterangan: A: tepi luka ditahan oleh gumpalan darah atau dengan jahitan B: regenerasi epidermis


(33)

C:regenerasi epidermis sempurna dan terbentuk jaringan parut (Robbins dan Kumar, 1992)

Penyembuhan luka secara primer dengan menyatukan kedua tepi luka

berdekatan dan saling berhadapan, jaringan granulasi yang dihasilkan sangat sedikit pada hari pertama setelah luka, garis insisi segera terisi bekuan darah dan terjadi reaksi radang akut, kemudian terjadi reepitelisasi permukaan dan pembentukan jembatan yang terdiri dari jaringan fibrosa yang menghubungkan kedua tepi celah subepitel, selanjutnya terjadi sintesis kolagen yang dirangsang oleh makrofag. Kolagen yang terbentuk akan merapatkan kedua tepi luka. Prosesnya berlangsung selama 10-14 hari, prosesnya epitelisasi dan deposisi jaringan ikat (Arisanty, 2013; Marison, 2003). Gambar penyembuhan luka secara skunder dapat dilihat pada Gambar 2.7

Gambar 2.7 Penyembuhan sekunder Keterangan: A: keadaan setelah terjadi luka


(34)

B: penyembuhan di bawah keropeng C: luka terbuka dengan jaringan granulasi

D:terbentuk jaringan parut atau daerah epidermis (Robbins dan kumar, 1992).

Penyembuhan luka secara sekunder adalah proses penyembuhan luka yang memerlukan terbentuknya jaringan granulasi yang banyak dimana jaringan granulasi tubuh dibawah keropeng dan terjadi regenerasi epitel dibawah keropeng kemudian keropeng akan lepas setelah terjadi epitelisasi sempurna. Prosesnya: proses granulasi (pertumbuhan sel), kontraksi (proses dimana daerah permukaan luka mengecil), epitelisasi (penutupan epidermis) untuk menutup luka (Morison, 2003; Arisanty, 2013)

Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk sintesis kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase seperti dibawah ini :

a. Fase inflamasi

Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah.

b. Fase proliferasi atau fibroplasi

Fase ini disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat menonjol perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka. Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi. c. Fase remodeling atau maturasi


(35)

Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen,

kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2 tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal (Perdanakusuma, 2007).

2.6 Senyawa Kimia Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka

Senyawa kimia tumbuhan yang dapat berkhasiat terhadap penyembuhan luka antara lain alkaloid, flavanoid, tanin, saponin, dan steroid / triterpenoid. 2.6.1 Alkaloid

Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan mekanisme mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel (Paju, dkk., 2013).

2.6.2 Flavanoid

Flavanoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan superhidroksi atau memperlambat timbulnya sel nekrosis tetapi juga dengan meningkatkan vaskularisasi dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak, flavanoid juga dapat menghambat pendarahan serta mampu mempercepat penyembuhan luka dengan aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitalisasi (Robinson, 1995; Barku dan Ayaba, 2013).

2.6.3 Tanin

Tanin merupakan kompenen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman yang berkhasiat sebagai astringen dan mampu menciutkan luka, menghentikan


(36)

pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010; Wijaya, dkk.,

2014). Selain itu juga dapat meningkatkan pembentukan fibroblas dan pembuluh darah baru yang berfungsi sebagai transportasi untuk pasokan makanan dan oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel yang sedang dalam perbaikan sehingga dapat mempercepat penyembuhan luka (Choudhary, 2011).

2.6.4 Saponin

Saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka, saponin juga memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami infeksi. (Mappa, dkk., 2013; Yenti, dkk., 2011).

2.6.5 Steroid / Triterpenoid

Steroid / triterpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktifitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitalisasi (Barku dan Ayaba, 2013).


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental meliputi: pengumpulan dan pengolahan sampel, identifikasi sampel, pembuatan simplisia, skrining fitokimia dan karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak, pembuatan sediaan gel, evaluasi sediaan gel, pengujian sediaan gel terhadap penyembuhan luka sayat.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, blender, neraca analitik, mortir, stamfer, pH meter, gunting bedah, pinset bedah, pisau cukur, pisau bedah, pot plastik, rotary evaporator, spatula,

sudip, termometer dan viskometer Brookfiled. 3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun gulma siam, etanol, kloralhidrat, toluen (p.a), akuades, kalium iodida, merkuri (II) klorida, bismut nitrat, asam nitrat, iodium, alpha naftol, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, kloroform, besi (III) klorida, timbal (II) asetat, natrium hidroksida, asam klorida pekat, metanol (teknis), eter minyak tanah (teknis), etil asetat (teknis), serbuk seng, serbuk magnesium, isopropanol, HPMC, propilenglikol, metil paraben, propil paraben, akuades, Lidokain HCl, Larutan dapar pH 4,0 dan 7,0.

3.2 Pembuatan Pereaksi 3.2.1 Pereaksi Meyer


(38)

larutan 1,358 g raksa (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (DepKes, RI.,1995).

3.2.2 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling, lalu ditambahkan 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu cukupkan dengan air suling hingga 100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.3 Pereaksi Dragendorff

Campur 20 ml larutan bismuth (III) nitrat dalam asam nitrat lalu tambahkan dengan 50 ml larutan kalium iodida diamkan sampai memisah sempurna. Ambil larutan jernih dan encerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.4 Pereaksi Molich

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.5 Pereaksi Lieberman Bouchard

Sebanyak 1 g bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian asam sulfat pekat.

3.2.6 Pereaksi besi (III) klorida 1% (b/v)

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.7 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air hingga 100 ml (DepKes, RI., 1995).


(39)

Sebanyak 5,5 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air sulinghingga 100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.9 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (DepKes, RI., 1995).

3.2.10 Pereaksi kloralhidrat

Larutkan 50 g kloralhidrat jenuh dalam 20 ml air (DepKes, RI., 1995).

3.3 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah 6 ekor kelinci jantan dengan berat 1,5 kg sampai 2 kg. Kelinci ini sebelumnya telah diaklimasi selama seminggu.

3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel 3.4.1 Pengumpulan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun gulma siam yang diambil di Desa Suayan Tinggi, Kabupaten Lima puluh kota, Provinsi Sumatera Barat.

3.4.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Herbarium Medanense, Depertemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.4.3 Pengolahan sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun gulma siam yang masih segar. Daun dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang. Selanjutnya daun tersebut dikeringkan dengan suhu 40º sampai daun kering


(40)

(ditandai bila diremas rapuh). Simplisia yang telah kering (rapuh) diserbuk dengan blender dan disimpan dalam wadah tertutup rapat dan disimpan pada suhu kamar.

3.5 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 80%. Sebanyak 500 g serbuk simplisia dimasukkan dalam bejana, dituangi dengan 3,5 L (75 bagian) etanol 80%, ditutup, dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sesekali diaduk, kemudian disaring sehingga didapat maserat. Ampas dimaserasi kembali dengan etanol 80% hingga diperoleh 5 L (100 bagian). Pindahkan maserat ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk terlindung dari cahaya selama 2 hari, enap tuangkan. Pemekatan ekstrak dilakukan dengan alat rotary evaporator pada suhu ±50oC sampai diperoleh ekstrak kental, selanjutnya di freeze dryer pada suhu -400C selama ± 24 jam. (DepKes, RI., 1979).

3.6 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol gulma siam meliputi: pemeriksaan senyawa alkaloid, glikosida, saponin, flavonoid, tanin dan steroid/triterpenoid.

3.6.1 Pemeriksaan alkaloida

Sebanyak 0,5 g sampel ditimbang, kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Mayer akan terbentuk endapan berwarna putih kekuningan


(41)

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat akan terbentuk endapan berwarna coklat kehitaman

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Dragendorff akan terbentuk endapan berwarna merah atau jingga.

Alkaloid dinyatakan positif jika dua atau tiga reaksi di atas memberikan reaksi positif (DepKes, RI., 1995).

3.6.2 Pemeriksaan flavonoida Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC.Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara Percobaan:

Satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 ml asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (DepKes, RI., 1995).

3.6.3 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966). 3.6.4 Pemeriksaan glikosida


(42)

Sebanyak 3 g sampel ditimbang, kemudian disari dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling, selanjutnya ditambahkan 10 ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Pada 30 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian volume isopropanol. Diambil lapisan air kemudian ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (DepKes, RI., 1995).

3.6.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm. Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (DepKes RI., 1995).

3.6.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, laliu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa dalam cawan penguap ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan adanya steroida triterpenoida (Harborne, 1987).

3.7 Karakteristik Simplisia dan Ekstrak Etanol Gulma Siam 3.7.1 Penetapan kadar air


(43)

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluena). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung penyambung,tabung penerima 5 ml berskala 0,05 ml, alat penampung dan pemanas listrik.

Cara kerja :

Ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g sampel yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992; DepKes, RI., 1995).

3.7.2 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g sampel, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu


(44)

105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; DepKes, RI., 1995).

3.7.3 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g sampel, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; DepKes RI., 1995). 3.7.4 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; DepKes, RI., 1995).

3.7.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; DepKes, RI., 1995).


(45)

3.8 Pembuatan Formula Sediaan 3.8.1 Pembuatan basis gel

Formulasi basis gel dibuat menurut: Tambe, dkk., 2009; Suardi, dkk., 2008: Hidropropilmetilselulosa (HPMC) 4000 3 %

Propilen glikol 15 %

Metil paraben 0,18 %

Propil paraben 0,02 %

Air suling ad 100 g

Cara pembuatan : Akuades sebanyak 20 kali berat HPMC dipanaskan, kemudian dikembangkan HPMC di dalamnya. Metil paraben dan propil paraben dilarutkan dalam propilen glikol (Campuran I). Campuran I yang diperoleh ditambahkan sedikt demi sedikit ke dalam HPMC yang telah terdispersi dengan baik sambil digerus, kemudian ditambahkan sisa akuades dan digerus homogen (Soerartri, 2004).

3.8.2 Komposisi formula gel ekstrak etanol daun gulma siam (EEDGS)

Sediaan gel dibuat dalam 6 formula dengan jumlah masing-masing 200 g yang terlihat pada Tabel 3.1. Cara pembuatan sediaan gel EEDGS: ke dalam lumpang dimasukkan EEDGS masing-masing dengan konsetrasi 0,125%, 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1,00%, ditambahkan sedikit demi sedikit basis gel lalu gerus sampai homogen.

Tabel 3.1 Formulasi gel EEDGS

No. Formula Komposisi (200 g)

Basis gel EEDGS*


(46)

2. F2 199,75 g 0,25 g

3. F3 199,50 g 0,50 g

4. F4 199,00 g 1,00 g

5. F5 198,50 g 1,50 g

6 F6 198,00 g 2,00 g

Keterangan: EEDG = Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam

F1 = gel tanpa EEDGS, F2 = gel EEDGS 0,125% F3 = gel EEDGS 0,25%, F4 = gel EEDGS 0,50% F5 = gel EEDGS 0,75%, F6 = gel EEDGS 1,00%

3.9 Evaluasi Formula Gel Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam

Evaluasi formula meliputi evaluasi fisik dan biologi. Evaluasi fisik mencakup pemeriksaan stabilitas sediaan, homogenitas, pemeriksaan pH dan viskositas selama 90 hari, yaitu pada hari ke 0, 7, 14, 21, 28 dan 90 hari.

3.9.1 Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan gel EEDGS

Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan meliputi bentuk, warna dan bau yang diamati secara visual. Sediaan dinyatakan stabil apabila warna, bau dan penampilan tidak berubah secara visual selama penyimpanan. Pengamatan dilakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90.

3.9.2 Pemeriksaan homogenitas sediaan

Cara: Sejumlah tertentu sediaan diletakkan di atas kaca, kemudian ditutup dengan kaca yang lain lalu diratakan. Sediaan yang memenuhi persyaratan homogenitas harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butir-butir yang kasar (DepKes RI., 1979). Pengamatan dilakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90.


(47)

Pemeriksaan pH dilakukan dengan alat pH meter. Alat dikalibrasi dengan larutan dapar standar pH 4,0 dan pH 7,0. Kemudian pH meter dicuci dengan air suling dan dikeringkan dengan kertas tisu. Pengukuran pH sediaan dengan mencelupkan pH meter ke dalam larutan sediaan. Dicatat nilai pH yang ditunjukkan pada pH meter.

3.9.4 Penentuan viskositas sediaan

Penentuan viskositas sediaan menggunakan viskometer Brookfield.

Cara: sediaan dimasukkan kedalam pot plastik sampai mencapai volume 100 ml, lalu spindel diturunkan hingga spindel tercelup kedalam formulasi. Selanjutnya alat dihidupkan dengan menekan tombol ON. Kecepatan spindel diatur, kemudian dibaca skalanya (dial reading) dimana jarum merah yang bergerak stabil. Nilai

viskositas dalam sentipoise (cps) diperoleh dari hasil perkalian skala baca (dial reading) dengan faktor koreksi (f) khusus untuk masing-masing kecepatan spindel. Pengamatan dilakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90.

3.10 Pengujian Sediaan Gel terhadap Penyembuhan Luka Sayat

Pengujian dilakukan pada enam ekor kelinci, setiap kelinci menerima empat perlakuan. Pengujian terdiri atas 8 kelompok yaitu kelompok 1 diberi betadine salep (kontrol positif), kelompok 2 diberi gel tanpa EEDGS (kontrol negatif) (FI), kelompok 3 diberi gel EEDGS 0,125% (F2), kelompok 4 diberi gel EEDGS 0,25% (F3), kelompok 5 diberi gel EEDGS 0,50% (F4), kelompok ke 6 diberi gel EEDGS 0,75% (F5), kelompok ke 7 diberi gel EEDGS 1% (F6), dan kelompok ke 8 tanpa diberi perlakuan.


(48)

Kelinci sebelum pengujian dicukur bulu bagian punggungnya, dibuat pola berbentuk lingkaran diameter 2 cm, didesinfeksi kulitnya dengan alkohol 70%, lalu dianestesi lokal dengan 1 ml lidokain HCl (2%, 100mg/5ml). Kemudian dibuat luka dengan ukuran tanda yang telah dibuat bentuk lingkaran pada bagian punggung dengan cara mengangkat kulit hewan uji dengan pinset lalu digunting dengan gunting bedah. Luka dibuat sedalam 2 mm (Hajiaghaalipour, dkk., 2013; Gal, dkk., 2008). Setelah itu, pada kulit yang telah disayat dioleskan 0,5 g sediaan gel yang telah disediakan sesuai dengan kelompok masing-masing. Pemberian sediaan gel dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya di bagian luka sebanyak 1 kali sehari. Pengamatan luka dilakukan setiap hari secara visual dengan mengukur diameter luka dan hari kesembuhan. Luka dianggap sembuh jika diameter luka sama dengan nol.

Diameter luka dihitung dengan rumus:

Keterangan : d : diameter rata-rata d1 : diameter pertama d2 : diameter kedua d3 : diameter ketiga d4 : diameter keempat

3.11 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan program SPSS (Statistical

Product and Service Solution) 18, metode one way ANAVA untuk melihat apakah

sediaan gel EEDGS memberikan efek terhadap luka sayat dan dilanjutkan dengan uji Hoc Tukey HSD untuk melihat perbedaan nyata dari setiap perlakuan kelinci.


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ekstrak etanol daun gulma siam dapat di formulasi sebagai gel anti luka

2. Ekstrak etanol daun gulma siam memiliki efektivitas dalam penyembuhan luka sayat, konsentrasi terbaik dalam penyembuhan luka adalah 0,50%, sembuh pada hari ke 18 dan daya penyembuhannya lebih lama dibandingkan betadine yang sembuh pada hari ke 17

5.2 Saran

Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakuan uji aktifitas farmakologi lainnya seperti uji toksisitas dan antikolesterol.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Abdassah, M., Rusdiana, T., Subghan, A., Hidayati, G., (2009). Formulasi Gel Pengelupas Kulit Mati yang Mengandung Etil Vitamin C dalam Sistem Penghantaran Macrobead. Universitas Padjadjaran. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 7(2): 105-111.

Ansel, H. C. (1998). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Penerjemah: Farida Ibrahim. Jakarta: UI Press. Halaman 390-397.

Arikumalasari, J,. Dewantara, I G.N.A., Wijayanti, N.P.A.D. (2013). Optimasi HPMC sebagai Gelling Agent dalam Formula Gel Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcia mangosta L). Universitas Udayana. Halaman 147.

Arisanty, I.P. (2013). Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 1-7, 29.

Arun, M., Satish, S., Anima, P. (2013). Herbal Boon for Wounds. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science. 5(2):1-12.

Aulton, M.E. (2007). Aulton’s Pharmaceutics: The Design and Manufactures of

Medicine. Third Edition. New York: Churcill Livingstone Elsevier. Halaman 70-72.

Barku, V. Y. A., dan Ayaba, S. (2013). Phytochemical Screening and Assessment of Wound Healing Activity of The Leaves of Anogeissus leiocarpus. European Journal of Experimental Biology. 3(4): 25

Baroroh, D.B. (2011). Konsep Luka. Malang: Basic Nursing Department PSIK FIKES UMM. Halaman 2.

Boyle, M. (2009). Wound Healing in Midwifery. Abingdon: Radcliffe Publishing Ltd. Halaman 14.

Burns. (2006). Vogt PM PVP Iodine in Hydrosome and Hydrogel-a Novel Concept in Wound Therapy Leads TO Enhanced Epithelialization and Reduced Loss of Skin Grafis. 32(6): 698-705.

Chakarboty, A.K., Harikrishna, R., dan Shailaja, B. (2010). Evaluation of Antioxidant Activity of The Leaves of Eupatorim odoratum Linn. Int. J. Of Pharmacy and Pharmaceutical Sc. 2(4): 77-79.

Choudhary, G.P. (2011). Wound Healing Activity Of The Ethanolic Extract Of

Terminalia chebula Retz. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 2(1): 48-52

DepKes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 7

DepKes RI. (1995). Materia Mediaka Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 299-306, 321-322, 325, 333-337.


(51)

Direktorat Jendral POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Depertemen Kesehatan RI. Halaman 10-17.

Dewi, I.A.L.P., Damriyasa, I.M., dan Dada, I.K.A. (2013). Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus roseus) Terhadap Periode Epitelisasi Dalam Proses Penyembuhan Luka Pada Tikus Wistar. Indonesia Medicus Veterinus. 2(1): 71-72.

Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants. J. Pharm. Sci. 55(3): 264.

Felicien. A., Alitonou, Djenontin, Tchobo, Yehouenou, Menut, Sohounhloue. (2012). Chemical composition and Biological activities of the Essential oil extracted from the Fresh leaves of Chromolaena odorata (L. Robinson) growing in Benin. ISCA Journal of Biological Science. 1(3): 7-13.

Fulviana, Indrayudha, P., Sulaiman, T.N.S. (2013). Formulasi Sediaan Gel Antibakteri Ekstrak Etanol Herba Patikan Kebo (Euphorbia hirta L.) dan Uji Aktivitas secara In Vitro terhadap Pseudomonas aeruginosa. Naskah Publikasi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Halaman 1-15.

Gal, P., Kilik, R., Mokry, M., Vidinsky, B. (2008). Simple Method of Open Skin Wound Healing Model in Corticosteroid- Treated and Diabetic Rats: Standardization of Semi Quantitative and Quantitative Histological Assessments. Veterinari Medecina. 53(12): 652-659.

Gennaro, R.A. (2000). Remington: The Science an Practice of Pharmacy. Edition 20th. New York: Lippincot Williams and Wilkins. Halaman 1629.

Gibson, M. (2001) Pharmaceutical Preformulation and Formulation. CRC Press, United States of America. Halaman 546-550.

Goci, E., Haloci, E., Xhulaj, S., Malaj, L. (2014). Formulation and In Vitro Evaluation of Diclofenac Sodium Gel. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 6(6): 259-261.

Hadiroseyani, H., Hafifuddin, Alifuddin, M., dan Supriyadi, H. (2005). Potensi Daun Kirinyuh (Chromolaena odorata) untuk Pengobatan Penyakit Cacar pada Ikan Gurame (Osphronemus gouramy) yang Disebabkan Aeromonas hydrophilla S26. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4(2): 139-144.

Hajiaghaalipour, F., Kanthimathi, M., Mahmood, A.A and Junedah, S. (2013). The Effect of Camellia sinensis onWound Healing Potential in an Animal Model. Hindawi Publishing Corporation. Volume 2013, Article ID 386734.

Hans, T.T.H., Dan, T.T.H., Chau, V.M., dan Nguyen, T.D. (2011). Anti-Inflammatory Effect of Fatty Acids Isolation From Chromolaena Odorata.


(52)

Harbone, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Edisi II. Bandung: ITB

Press. Halaman 35.

Hernani dan Endjo, D. (2004). Gulma Berkhasiat Obat. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 2-3.

Hunter, J. (2003). Infections. In: Clinical Dermatology. 3rd edition. Massachusetts, USA: Blackwell Science. Halaman 208-209.

Ida, N., dan Noer, S.F. (2012). Uji Stabilitas Fisik Gel Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Vera L.) Majalah Farmasi Dan Farmakologi. 16(2): 82.

Ikewuchi, J.C., Ikewuchi, C.C. (2011). Anti Cholesterolemic Effect of Awueous Extract of The Leaves of Chromolaena odorata (L) Kingand Robinson (Asteraceae): Potential for the Reduction OF Cardiovascular Risk. The Pacific Journal of Science and Technology. 12(2): 385-391.

Indonesia Enterostomal Theraphy Nurse Association (InETNA) & Tim Perawatan Luka dan Stoma Rumah Sakit Dharmais. (2004). Perawatan Luka. Jakarta: Makalah Mandiri.

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston.(1995). Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa : Nugroho & R.F.Maulany). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 211,213,215

Johari, S.A., Kiong, L., S., Mohtar, M., Isa, M.M., Man, S., Mustafa, S., dan Ali, A.,M. (2012). Efflux Inhibitory activity of flavanoids from Chromolaena odorata againts selected methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) isolates. Afr. Journal Microbiol. 6: 5631-5635

Karim, A. Z,. Ernawati, N,. Ikka, N.S,. (2013). (Pachyrrizus erosus) Urban sebagai Tabir Surya pada Mencit dan Pengaruh Kenaikkan Kadarnya terhadap Viskositas Sediaan. Traditional Medicine Journal. 18(1): 6.

Kuncari, S.E., Iskandarsyah, Praptiwi. (2014). Evaluasi Uji Stabilitas Fisik Dan Sineresis Sediaan Gel yang Mengandung Minoksidil, Apigenin, dan Perasan Herba Seledri (Apium graviolens L,.). Buletin Penelitian Kesehatan. 42(4): 213-222.

Kusumawati, G.D., Mufrod, Setiyadi, G. (2012). Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Lidah Buaya (Aloe Vera (L.) Webb) dengan Gelling Agent Hydroxyprophyl Methylcellulose (Hpmc) 4000 SM dan Aktivitas Antibakterinya terhadap Staphylococcus Epidermidis. Naskah Publikasi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Halaman 1-14. Lachman, L., Herbet, A.L and Joseph, L.K. (1994). Teori Dan Praktek Farmasi

Industri . Terjemahan Siti Suyatmi. Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Halaman 1095, 1117.


(53)

Le, T. T. (1995). The European Tissue Repair Society Annual Meeting, Pavoda, Italy.

Lieberman, Rieger, M.M and Banker. (1998). Pharmaceutical Dosage: Disperse System. Volume 2. New York: Marcell dekker Inc. 495-508

Mappa, T., Edy, H.J., dan Kojong, N. (2013). Formulasi Gel Ekstrak Daun Sasaladahan (Peperomia Pellucida (L) H.B.K) Dan Uji Efektivitasnya Terhadap Luka Bakar Pada Kelinci. Pharmacon: Jurnal Ilmiah Farmasi.2(2): 52

Marianne, Dwi,L.P, Elin,Y.S, Neng,F.K, Rosnani,N. (2014). Antidiabetic Activity of Leaves Ethanol Ekstrak Chromolaena odorata L. R. M. King on Induced Male Mice with Alloxan Monohydrate. Jurnal Ilmiah. 1(14): 1-4.

Marison, M.J. (2003). Manajemen Luka. Jakarta: Penerbut Buku Kedokteran EGC. Halaman 4.

Martin, A., Swarbrick, J., dan Cammarata, A. (1993). Farmasi Fisik: Dasar dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Edisi Ketiga. Penerjemah: Yoshita. Jakarta: UI Press. Halaman 1176-1182

Mun’im, A,. Azizahwati, dan Fimani,A. (2010). Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sirih Merah (Piperr CF.Fragile, Benth) Secara Topikal Terhadap Penyembuhan Luka Pada Tikus Putih Diabet. Depok: Laboratorium Farmakognosi- Fitokimia, Depertemen Farmasi FMIPA UI, Kampus UI dan Laboratorium Farmakologi – Toksikologi, Depertemen Farmasi FMIPA UI Kampus UI. Halaman 81.

Mursito. (2001). Ramuan Tradisional untuk Kesehatan Anak. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman. 2.

Nasution, U.(1986). Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh, Tanjung Morawa: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa (P4TM). Halaman 155-157.

Omokhua, A.G., Lyndy, J.M.G., Jeffrey, F.F., dan Johannes, V.S. (2015). Chromolaena odorata (L) R.M.King & H.Rob (Asteraceae) in Sub-Saharan Africa: A Synthesis and Review of its Medical Potential. Journal of Etnopharmacology. Halaman 1-11.

Paju, N., Yamlean, P. V. Y., dan Kojong N. (2013). Uji Efektivitas Salep Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang Terinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. 2(1): 9.

Perdanakusuma, D.S. (2007). Anatomi Fisiologi Kulit Dan Penyembuhan Luka.

Surabaya; Airlanga University School Of Medicine – Dr. Soetomo General Hospital. Halaman 1-4.


(54)

Prajitno, A,. Eddy,S, Happy,N. (2013). The Identification of Chemical Compound and Antibacterial Activity Test of Kopasanda (Chromolaena odorata L.) Leaf Extract Against Vibriosis_Causing Vibrio harveyi (MR 275 Rif) on Tiger Shrimp. Aquatic Science and Technology. Page 15-29.

Prawiradiputra, B.R., (2007). Kirinyu (Chromolaena odorata (L) R. M. King dan H. Robinson): Gulma Padang Rumput yang Merugikan. Bulletin Ilmu Peternakan Indonesia. (WARTAZOA). 17(1): 46-52.

Pusponegoro AD. (2005). Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, De Jong W, penyunting. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta; ECG. Halaman 66-88.

Quinonens, D., Ghaly, S.E., (2008). Formulation and Characterization of Nystain Gel. PRHSJ (San Juan, PR). 27(1).

Rahmawanty, D,. Anwar, E,. Bahtiar, A,. (2014). Formulasi Gel Menggunakan Serbuk Daging Ikan Haruan (Channa striatus) sebagai Penyembuh Luka.

Media Farmasi. 11(1): 36-37.

Reynold, J.E.F. (1989). Martindale: The Extra Pharmacopeia. Twenty-seventh Edition. London: The Pharmaceutical Press. Halaman 925, 1285.

Robbins, L.S. dan Kumar, V. (1992). Buku Ajar Patologi I. Edisi IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 28.

Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi VI. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 193.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., AND Owen, S.C. (2005). Handbook of Pharmaceutical Exipiens. Pharmaceutical Association. 5rd edition. Halman 346,466 and 624.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Weller, P.J. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients. 6th edition. London: Pharmaceutical Press. Halaman 442.

Sanna, V., Peana, A.T., Moretti, M.D. (2010). Development of New Topical Formulations of Diphenhydramine Hydrochloride: In Vitro Diffusion and In Vivo Preliminary Studies. International Journal of PharmTech Research. 2(1): 863-867

Setiadi. (2007). Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia. Edisi pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Halaman 24-28.

Singh, S., Parhi, R., Garg, A. (2011). Formulation of Topical Bioadhesive Gel of Aceclofenac Using 3-Level Factorial Design. Iranian Journal of Pharmaceutical Research. 10(3): 435-445.

Sinko, PJ., (2006). Physical Pharmacy and Pharmaceutical Science. 5th Ed. Lippincot William & Wilkins, Philadelphia. Halaman 509 – 564.


(1)

Lampiran 15. (Lanjutan)

H13

Tukey HSDa

3 ,6000

3 ,7267

3 ,8267

3 ,8433

3 ,9633

3 1,0733

3 1,2733

3 1,3067

1,000 1,000 ,998 1,000 1,000 ,904

Perlakuan Gel EEDGS 0,50% Kontrol positif Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0.75% Kontrol negatif Tanpa perlakuan Gel EEDSR 1.00% Sig.

N 1 2 3 4 5 6

Subset f or alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. a.

H14

Tukey HSDa

3 ,5600 3 ,6000

3 ,7200

3 ,7867

3 ,8167

3 ,9267

3 1,0133

3 1,2733

,120 1,000 ,383 1,000 1,000 1,000 Perlakuan

Gel EEDGS 0,50% Kontrol positif Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.75% Kontrol negatif Tanpa perlakuan Gel EEDSR 1.00% Sig.

N 1 2 3 4 5 6

Subset f or alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. a.


(2)

46

Lampiran 15. (Lanjutan)

H15

Tukey HSDa

3 ,4400 3 ,4667

3 ,6133

3 ,6733

3 ,7300

3 ,8933

3 ,9700

3 ,9833

,401 1,000 1,000 1,000 1,000 ,948 Perlakuan

Kontrol positif Gel EEDGS 0,50% Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.75% Kontrol negatif Tanpa perlakuan Gel EEDSR 1.00% Sig.

N 1 2 3 4 5 6

Subset f or alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. a.

H16

Tukey HSDa

3 ,3167

3 ,4067

3 ,5233

3 ,5400

3 ,6967

3 ,8267

3 ,8433 ,8433

3 ,9033

1,000 1,000 ,982 1,000 ,982 ,076

Perlakuan Kontrol positif Gel EEDGS 0,50% Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.75% Gel EEDSR 1.00% Kontrol negatif Tanpa perlakuan Sig.

N 1 2 3 4 5 6

Subset f or alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. a.


(3)

Lampiran 15. (Lanjutan)

H17

Tukey HSDa

3 ,2633

3 ,3400

3 ,4233

3 ,4500

3 ,4700

3 ,7700

3 ,7867

3 ,8733

1,000 1,000 ,062 ,922 1,000

Perlakuan Kontrol positif Gel EEDGS 0,50% Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.75% Kontrol negatif Gel EEDSR 1.00% Tanpa perlakuan Sig.

N 1 2 3 4 5

Subset f or alpha = .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

a.

H18

Tukey HSDa

3 ,0000

3 ,2067

3 ,3100

3 ,3767

3 ,4033

3 ,6733

3 ,6900

3 ,7700

1,000 1,000 1,000 ,322 ,810 1,000 Perlakuan

Kontrol positif Gel EEDGS 0,50% Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.75% Gel EEDSR 1.00% Kontrol negatif Tanpa perlakuan Sig.

N 1 2 3 4 5 6

Subset f or alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. a.


(4)

46

Lampiran 15. (Lanjutan)

H19

Tukey HSDa

3 ,0000 3 ,0000

3 ,2200

3 ,3100

3 ,3733

3 ,5400

3 ,5800

3 ,6567

1,000 1,000 1,000 1,000 ,181 1,000 Perlakuan

Gel EEDGS 0,50% Kontrol positif Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.75% Gel EEDSR 1.00% Kontrol negatif Tanpa perlakuan Sig.

N 1 2 3 4 5 6

Subset f or alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. a.

H20

Tukey HSDa

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,2567

3 ,3367

3 ,4500

3 ,4533

3 ,5567

1,000 1,000 1,000 1,000 1,000

Perlakuan

Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,50% Kontrol positif Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.75% Gel EEDSR 1.00% Kontrol negatif Tanpa perlakuan Sig.

N 1 2 3 4 5

Subset f or alpha = .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

a.


(5)

Lampiran 15. (Lanjutan)

H21

Tukey HSDa

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,2533

3 ,3767

3 ,3967

3 ,4333

1,000 1,000 ,478 1,000

Perlakuan

Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,50% Kontrol positif Gel EEDGS 0.75% Gel EEDSR 1.00% Kontrol negatif Tanpa perlakuan Sig.

N 1 2 3 4

Subset f or alpha = .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

a.

H22

Tukey HSDa

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,2567

3 ,3067

3 ,3833

1,000 1,000 1,000 1,000

Perlakuan

Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,50% Gel EEDGS 0.75% Kontrol positif Gel EEDSR 1.00% Kontrol negatif Tanpa perlakuan Sig.

N 1 2 3 4

Subset f or alpha = .05

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.


(6)

46

Lampiran 15. (Lanjutan)

H23

Tukey HSDa

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,2067

3 ,3433

1,000 1,000 1,000 Perlakuan

Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,50% Gel EEDGS 0.75% Gel EEDSR 1.00% Kontrol positif Kontrol negatif Tanpa perlakuan Sig.

N 1 2 3

Subset f or alpha = .05

Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

a.

H24

Tukey HSDa

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,0000

3 ,2167

1,000 1,000 Perlakuan

Gel EEDGS 0,125% Gel EEDGS 0.25% Gel EEDGS 0,50% Gel EEDGS 0.75% Gel EEDSR 1.00% Kontrol positif Kontrol negatif Tanpa perlakuan Sig.

N 1 2

Subset f or alpha = .05

Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3, 000.

a.